makalah ketahanan pangan
-
Upload
iendah-puja-purwanila -
Category
Documents
-
view
408 -
download
2
Transcript of makalah ketahanan pangan
MAKALAH
KRISIS PANGAN DAN MASALAH PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA
Disusun Oleh :
1. Pujo Warsono (2012513179)2. Joko Pitoyo ( )3. Heri Marwanto ( )4. Sulistyono ( )5. ( )
FAKULTAS EKONOMISTIE AUB SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia
mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan
masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 tahun
1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan
pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat
menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan
sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu,
aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai
peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan
dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan,
mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi
pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Di PP tersebut juga
disebutkan dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan
distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat
mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi
pangan.
Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi
pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui
peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat
untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang. PP Ketahanan Pangan juga
menggarisbawahi untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber
daya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping
itu, kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan dan
distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan serta
riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas terlihat ketahanan pangan berdimensi sangat luas dan melibatkan
banyak sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat
ditentukan tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja tetapi juga oleh sektor lainnya.
Dengan demikian sinergi antar sektor, sinergi pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia
usaha) merupakan kunci keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.
Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001 telah membentuk
Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan Menteri Pertanian sebagai
Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri termasuk Menteri Riset dan Teknologi dan 2
Kepala LPND. Dalam pelaksanaan sehari-hari, DKP dibantu oleh Badan Bimas Ketahanan
Pangan Deptan, Tim Ahli Eselon I Menteri Terkait (termasuk Staf Ahli Bidang Pangan
KRT), Tim Teknis dan Pokja.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan pasal 9
menyebutkan: (1) penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk meningkatkan
ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, (2)
penganekaragaman pangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat1 dilakukan dengan a.
Meningkatkan keragaman pangan, b. Mengembangkan teknologi pengolahan dan produk
pertanian dan c. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam
pangan dengan prrinsip gizi berimbang.
BAB II
PEMBAHASAN
Kondisi iklim yang ekstrim di berbagai belahan dunia baru-baru ini secara langsung
dan tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan pangan. Kekeringan yang
berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir serta bencana alam lainnya di berbagai wilayah
dunia terutama di sentra-sentra produksi pangan, sangat mempengaruhi ketersediaan gandum
dan tanaman bijian-bijian lainnya yang tentu saja berdampak pada ketersediaan produk
pangan tersebut untuk marketing season 2010/2011.
Menurut FAO jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan pada tahun 2010
mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin berkurangnya investasi di
sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir, sementara sektor
pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya
kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain dari permasalahan tersebut secara
keseluruhan akan menghambat pencapaian goal pertama dari Millennium Development Goals
(MDGs) yakni eradication of poverty and extreme hunger.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial. Pangan merupakan
basic human need yang tidak ada substitusinya. Indonesia memandang kebijakan pertanian
baik di tingkat nasional, regional dan global perlu ditata ulang. Persoalan ketahanan pangan
dan pembangunan pertanian harus kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan
nasional dan global. Oleh karena itu Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang
upaya bersama mewujudkan ketahanan pangan global dan regional.
Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian, ketahanan pangan dan
pengentasan kemiskinan Indonesia selaku koordinator G-33 secara aktif mengedepankan isu
food security, rural development dan livelihood security sebagai bagian dari hak negara
berkembang untuk melindungi petani kecil dari dampak negatif masuknya produk-produk
pertanian murah dan bersubsidi dari negara maju, melalui mekanisme special products dan
special safeguard mechanism.
Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga stabilitas ketahanan
pangan global, Indonesia juga telah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan FAO pada
bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan Indonesia terhadap berbagai program
peningkatan ketahanan pangan global dan pembangunan pertanian negara-negara
berkembang lainnya. terutama dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-South
Cooperation), kerjasama teknis negara-negara berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian
goal dari MDGs. Penandatanganan LoI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran
Indonesia dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara
berkembang, terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah berjalan sejak
tahun 1980.
Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengutarakan ada
sembilan masalah terkait ketahanan pangan yang dihadapi oleh Indonesia seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk Indonesia menjadi 235-240 juta pascasensus penduduk 2010.
Permasalahan itu diantaranya sinergi dan sistem yang terintegrasi diperlukan untuk
dapat mengelola keamanan makanan, energi dan air sehingga tidak menimbulkan masalah di
masa kini dan mendatang. Selain itu upaya untuk meningkatkan sejumlah komoditas
unggulan pertanian --beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi-- menuju swasembada dan
swasembada berkelanjutan. Juga sistem cadangan dan distribusi serta rantai pasokan dan
logistik nasional yang efisien.
Masalah lainnya adalah kekurangan produksi di sejumlah daerah. Dan terpenting
adalah stabilitas harga. Sementara koordinasi antara peneliti dan kalangan industri sehingga
permasalahan lainnya yaitu penganekaragaman konsumsi pangan serta mekanisme pasar
pasokan pangan.
ARAH PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN 2013
Memasuki tahun 2013 kekhawatiran semakin parahnya krisis pangan menghantui
sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Organisasi Pangan dan Pertanian
(FAO) PBB mengingatkan krisis pangan seperti yang terjadi pada 2007/2008 bisa berulang
pada tahun 2013. Untuk mencegah krisis pangan di Indonesia, ketahanan pangan mutlak
diperkuat. Beberapa komoditas seperti kedelai dan daging tergolong rawan.
Menurut FAO, krisis pangan terjadi karena komoditas pangan tidak terkelola dengan
baik. Setiap negara mengupayakan penyelamatan sendiri. Negara-negara yang dikenal
pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam mulai mengamankan terlebih dahulu
kebutuhan dalam negeri. Mencermati fenomena ini, pemerintah Indonesia patut melakukan
peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan. Kemandirian pangan dan surplus
produksi beras sebanyak 10 juta ton tahun 2014 harus dicapai.
Belum Mantap
Pemerintah harus mendorong masyarakat untuk semakin memahami dan memaknai
pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi nasional, meskipun pemerintah
kerap mengklaim Indonesia telah berhasil mencapai swasembada pada beberapa komoditas
pangan tertentu. Namun harus diakui pencapaian swasembada belum mantap karena amat
riskan digoyang krisis ekonomi.
Untuk itu setidaknya ada lima masalah mendasar yang menjadi alasan penting
menentukan arah pembangunan ketahanan pangan 2013. Yaitu: Pertama, pangan adalah
bagian dari basic human need yang tidak ada substitusinya. Kedua, pertumbuhan penduduk
yang masih tinggi, disadari atau tidak, mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap
pangan (growing demand). Selain itu, peningkatan jumlah the middle class yang berhilir pada
peningkatan konsumsi pangan yang lebih banyak. Ketiga, kerusakan lingkungan yang
diakibatkan antara lain oleh climate change yang sudah mengganggu produksi dan
produktivitas pangan nasional. Keempat, kompetisi antara sumber energi (bio fuel) dan
sumber pangan yang dapat mengganggu suplai pangan. Kelima, pentingnya kemandirian
pangan berkelanjutan serta masih adanya kerentanan dan kerawanan (baca krisis) pangan di
berbagai daerah.
Kelima hal mendasar itu mengindikasikan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat,
daerah dan pelaku usaha untuk peningkatan produksi komoditas pangan. Jika hanya
mengandalkan peningkatan produksi untuk pencapaian surplus beras sebanyak 10 juta ton,
setidaknya sektor pertanian membutuhkan tambahan 2 juta hektare (ha) lahan baru. Namun
pencetakan sawah baru untuk mengembangkan tanaman pangan dan menjamin ketahanan
pangan di masa depan adalah pekerjaan yang relatif sulit dan membutuhkan biaya besar.
Saat ini kondisi lahan pertanian, termasuk persawahan, sangat mengkhawatirkan
karena terus dikonversi atau beralih fungsi menjadi nonpertanian, seperti permukiman,
perdagangan, industri, dan jalan. Berkurangnya lahan sudah pasti akan berpengaruh pada
aktivitas sektor pertanian dan berkorelasi positif pada defisit kebutuhan tenaga kerja. Yang
dapat melahirkan lebih banyak lagi pengangguran karena lahan pertanian semakin sempit
yang memaksa pelaku sektor ini meninggalkan pertanian.
Di setiap provinsi belakangan ini penggunaan kenderaan bermotor roda empat yang
jumlahnya meningkat secara signifikan membutuhkan penambahan jalan untuk kelancaran
lalu lintas. Setiap membuka jalan baru, akan ada konversi lahan berkali lipat. Pembangunan
jalan tol misalnya yang memakan lahan sawah akan diikuti pembangunan lainnya di
sepanjang jalan tol, antara lain untuk permukiman, pusat perdagangan dan perkantoran.
Selain itu, kepemilikan lahan sawah juga sangat kecil, rata-rata di bawah 0,5 ha per petani.
Akibatnya, sampai kapan pun tidak akan membuat petani sejahtera. Bahkan, kondisi ini
memacu penjualan lahan sawah untuk keperluan nonpertanian. Lahan pertanian yang
dikonversi diperkirakan mencapai 100.000 ha per tahun. Meski pemerintah dan DPR sudah
mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
namun penerapannya tidak mudah. Tata ruang di daerah yang sering berubah-ubah dan tidak
konsisten berdampak pada pembangunan sektor pertanian.
Di sisi lain, petani mewariskan lahan kepada anak-anaknya dalan luasan yang semakin
kecil sehingga tidak efisien, yang akhirnya dijual karena tidak menguntungkan. Pemerintah
patut memikirkan solusi agar keluarga petani tidak membagi-bagi lahan tetapi membagi
penghasilan.
Upaya penambahan lahan untuk pencetakan sawah baru guna mengatasi laju konversi
lahan yang kian masif belakangan ini patut menjadi program kerja pemerintah. Data yang
tersedia di BPN (Badan Pertanahan Nasional) lahan tidur yang tersedia saat ini di seluruh
Tanah Air ada sekitar 7,3 juta ha yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian.
Kementerian Pertanian dapat juga bekerja sama dengan PT Perhutani untuk memanfaatkan
lahan di bawah kendali Perhutani untuk penguatan di sektor hilir. Di Pulau Jawa saja BUMN
ini memiliki lahan seluas 2,4 juta ha. Jika pemerintah bisa memanfaatkan paling tidak
500.000 ha tanaman hutan milik Perhutani untuk dikombinasikan dengan tanaman pangan
akan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional
Kinerja Semakin Baik
Kita menyayangkan kenyataan masih sempitnya perspektif para kepala daerah di
sejumlah kabupaten/kota terkait dengan ketahanan pangan. Mereka belum memaknai
ketahanan pangan untuk kepentingan nasional. Namun baru sekedar untuk kepentingan
daerahnya semata sehingga penganggaran biaya program kerja penguatan ketahanan pangan
sering dalam jumlah yang relatif kecil.
Sebagai negara agraris yang dikenal dengan jargon gemah ripah loh jinawi,
Indonesia sesungguhnya menjanjikan surplus produksi beras dan pangan lainnya yang dapat
diandalkan untuk penguatan ketahanan pangan berbasis kedaulatan pangan. Sejak ratusan
tahun lalu petani di negeri ini sudah mengenal pertanian padi dan membangun lumbung padi
untuk menjaga ketersediaan pangan manakala ada bencana. Dengan program kerja Badan
Ketahanan Pangan Kementan yang belakangan ini menunjukkan kinerja yang semakin baik,
kini lumbung pangan tidak hanya ada di Pulau Jawa, di luar Jawa pun sudah banyak dibangun
lumbung pangan guna mengawal ketahanan pangan berkelanjutan dan mencegah kerentanan
dan kerawanan pangan di berbagai daerah.
Sayangnya pembangunan lumbung pangan yang sudah banyak menyedot anggaran
belanja negara belum berfungsi dengan baik karena petani kini tidak terbiasa lagi menyimpan
hasil panennya di lumbung yang dibangun pemerintah. Padi (beras) sebagai makanan pokok
tingkat konsumsinya ditengah warga masih tetap tinggi sehingga tidak sempat lagi disimpan
dalam lumbung. Sebaliknya, pangan berbasis umbi-umbian belum dapat berkembang secara
optimal baik dari segi budi dayanya maupun teknologi pengolahan untuk mengatrol citranya
di tengah masyarakat. Pembudidayaan tanaman pangan masih terkonsentrasi pada beberapa
komoditas strategis dan umbi-umbian kerap dianaktirikan. Lima pangan strategis tetap
berpusat pada beras, kedelai, jagung, gula dan daging, diikuti dengan laju konsumsi produk
olahan gandum yang meningkat secara signifikan sehingga harus diimpor dalam jumlah
banyak setiap tahun. Gandum sebagai pangan subtropis kini semakin menjadi tren konsumsi
warga Indonesia.
Untuk memperkuat arah pembangunan ketahanan pangan 2013, wajib hukumnya
pemerintah kembali memperhatikan berbagai pangan potensial wilayah sehingga kita bisa
lebih berdaulat di bidang pangan. Pemerintah juga harus melakukan perubahan paradigma
pembangunan pertanian dari orientasi produksi ke orientasi petani. Sudah lama petani
dibelenggu oleh pemerintah - mulai Orde Lama hingga Orde Reformasi - hanya sekedar
obyek kebijakan yang perumusnya kerap belum mengenal dan memahami seluk beluk
pertanian. Sekedar menyebut contoh kreativitas petani dikebiri melalui undang-undang, hak
dan kedaulatan petani tergerus atas sumber daya produktif. Yang paling menyedihkan adalah
petani dibiarkan bersaing di pasar bebas tanpa pendampingan.
Solusi instan tidak dikenal untuk pembangunan pertanian. Guna mengawal
penguatan ketahanan pangan dan mengingat krisis pangan akan bisa berulang pada tahun-
tahun mendatang maka perencanaan pembangunan pertanian membutuhkan political will
pemerintah. Tidak sekedar wacana dalam pidato-pidato politik partai tetapi harus ada aksi
nyata yang membutuhkan kerja keras dan program kerja yang masuk akal dan pro petani.
Pahlawan ketahanan pangan ini harus ditempatkan sebagai aktor utama pembangunan
pertanian yang akan menyelamatkan kita dari krisis pangan di masa datang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia, pertama kali digunakan pada
tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara formal baru mengadopsi ketahanan pangan
dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang kemudian definisi ketahanan pangan
pada undang-undang pangan no:7 ada pada tahun 1996.
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi,
ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi
utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai
ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan.
Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan
Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi
program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat secara efektif mendukung
kebijakan strategi ketahanan pangan.
Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian serta kebijakan strategi ketahanan pangan (ketersediaan, distribusi dan konsumsi),
dan keberhasilan swasta (kasus Garudafood) dan daerah (kasus Pemerintah Daerah
Gorontalo) dalam pengembangan agribisnis jagung dapat dirumuskan kebijakan strategis
pengembangan teknologi pangan. Kebijakan strategis tersebut mencakup aspek
pengembangan kualifikasi teknologi; keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan
efektivitas teknologi; pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan
komoditas prospektif berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja secara luas;
pengembangan program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan pengembangan program
Primatani berbasis industri pengolahan.
Saran
Adapun saran yang bisa di berikan adalah sebaiknya pemerintah lebih
memperhatikan masalah ketahanan pangan yang ada di Indonesia. Karena masih banyak
masyarakat yang belum memahami bagaimana cara atau strategi yang baik guna menjaga
ketahanan pangan mereka.