makalah ISBD jadi

16
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK MORAL DAN HUKUMMakalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ”ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASA” Dosen Pengampu : Tentrem Widodo Disusun Oleh: Anta Nurrohmani Y D K 1509007 Agus Santoso K 1509003 Dwi Beauty Ratnawuri H K 1509014 Probo Septiani K 1509032 Widi Juli Budiarto K 1509041 Budi Setiawan K 15060 PENDIDIKAN TEHNIK SIPIL/BANGUNAN JURUSAN PENDIDIKAN TEHNIK DAN KEJURUAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Transcript of makalah ISBD jadi

Page 1: makalah ISBD jadi

” MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK MORAL DAN HUKUM”

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

”ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASA”

Dosen Pengampu : Tentrem Widodo

    Disusun Oleh:

Anta Nurrohmani Y D K 1509007

Agus Santoso K 1509003

Dwi Beauty Ratnawuri H K 1509014

Probo Septiani K 1509032

Widi Juli Budiarto K 1509041

Budi Setiawan K 15060

PENDIDIKAN TEHNIK SIPIL/BANGUNAN

JURUSAN PENDIDIKAN TEHNIK DAN KEJURUAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

Page 2: makalah ISBD jadi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan

tugas perkuliahan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar ini dengan tema “Manusia Sebagai Makhluk

Moral dan Hukum”.Dan sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi

agung Muhammad SAW.

Semoga dengan disusunnya makalah ini diharapkan bisa menambah pengetahuan

tentang manusia sebagai makhluk moral dan hukum khususnya pada kelompok penyusun dan

umumnya pada teman-teman semua.

Kritik dan saran kami harapkan agar dapat memperbaiki tugas kami serta kami juga

minta maaf apabila ada yang kurang atau salah dalam penyusunan makalah ini.

                                                                                 Surakarta,15 Desember 2010

                                                                                               Penulis

Page 3: makalah ISBD jadi

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu tersendiri, melainkan lebih merupakan kajian yang interdisipliner. Mata kuliah ini merupakan sumber nilai dan pedoman bagi penye1enggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadian, kepekaan sosial, kemampuan hidup bermasyarakat, pengetahuan tentang pelestarian, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan mempunyai wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni.

ISBD memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala sosial budaya. Standar kompetensi yang ingin dicapai adalah agar mahasiswa dapat menjadi ilmuwan dan profeosional yang berpikir kritis, kreatif, sistemik dan ilmiah, berwawasan luas, etis, memiliki kepekaan dan empati sosial, bersikap demokratis, berkeadaban serta dapat ikut berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial dan budaya secara arif.

ISBD diharapkan dapat membekali kepada mahasiswa dalam menghadapi tantangan sosial budaya di lingkungan sekitarnya dan dalam memberi kontribusi bagi pemecahan masalah-masalah sosial budaya.

B. PERUMUSAN MASALAH

Pokok bahasan dalam makalah yang berjudul “Manusia Sebagai Makhluk Moral Dan Hukum”, penulis membagi berdasarkan kisi-kisi sebagai berikut :o Pengertian Moralo Pengertian Hukumo Hubungan Moral dan Hukum

Page 4: makalah ISBD jadi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, moral adalah:

1. (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan;

2. kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yg tinggi;

3. ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu cerita;

Menurut Bertens, moral berawal dari bahasa latin mos, jamaknya mores yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral, keduanya berarti adat kebiasaa. Perbedaannya hanya pada bahasa asalnya, Etika berasal dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa latin.

Dalam Wikipedia dijelaskan, Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama.

Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.

Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio,

Page 5: makalah ISBD jadi

sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.

Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Inti pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik buruknya sebagai manusia.

B. Pengertian Hukum

Kata “hukum” mengandung makna yang luas meliputi semua peraturan atau ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi terhadap pelanggarnya.

Para ahli sarjana hukum memberikan pengertian hukum dengan melihat dari berbagai sudut yang berlainan dan titik beratnya. Berbeda-beda antara ahli yang satu dengan yang lain, karena itu tidak ada kesatuan atau keseragaman tentang definisi hukum, antara lain di bawah ini:

1. Menurut Van KanHukum merupakan keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa

untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.2. Menurut Utrecht

Hukum merupakan himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah.

3. Menurut Wiryono KusumoHukum adalah merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis

maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi.

Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum memiliki beberapa unsur yaitu :

1. Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa2. Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis3. Mengatur kehidupan masyarakat4. Mempunyai sanksi.

Peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat mempunyai dua bentuk yaitu tertulis dan tidak tertulis. Peraturan yang tertulis sering disebut perundang undangan tertulis atau hukum tertulis dan kebiasan-kebiasaan yang terpelihara dalam kehidupan masyarakat. Sedang Peraturan yang tidak tertulis sering disebut hukum kebiasaan atau hukum adat.

Page 6: makalah ISBD jadi

C. Hubungan Moral dan Hukum

Menurut DR. Haryatmoko, dalam Kompas, 10 Juli 2001 mengatakan, ada lima pola hubungan moral-hukum yang bisa dibagi dalam dua kerangka pemahaman.Kerangka pemahaman pertama, moral sebagai bentuk yang mempengaruhi hukum. Moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi. Sebagai gagasan masih menantikan pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum positif.

Pola hubungan moral-hukum itu yaitu:

Pertama, moral dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial. Upaya-upaya nyata dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apa pun usaha itu tidak akan pernah bisa menyamai ideal itu. Bagi penganut paham hukum kodrat, ini merupakan pola hubungan hukum kodrat dan hukum positif.

Kedua, hanya perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang berlaku, sanggup memberi bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita moral tidak hanya dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi (kecuali dalam bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak hanya melalui tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan kekuatan dan kekuasaan, tempat di mana dibangun realitas moral (partai politik, birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-sumber ekonomi).

Pola ketiga adalah voluntarisme moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan nyata moral bisa memiliki makna; di lain pihak, moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik. Satu-satunya cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkret adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Implikasinya akan ditatapkan pada dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak, pilihan reformasi yang terus-menerus. Pilihan ini merupakan keprihatinan agar moral bisa diterapkan dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sangsi akan keberhasilannya. Maka yang bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus-menerus. Di lain pihak, pilihan berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, misalnya Taliban di Afganistan, ada kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu bisa dilakukan dengan memaksakannya kepada semua anggota masyarakat. Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter. Kerangka pemahaman kedua menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan tidak dapat direduksi menjadi politik. Moral dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan sejarah atau politik kecuali dengan melihat perbedaannya. Dalam kelompok ini ada dua pola hubungan antara moral dan hukum.

Dalam pola keempat, moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral menjadi semacam penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari suatu kewibawaan tertentu. Tetapi, kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan

Page 7: makalah ISBD jadi

yang efektif, karena tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan hukum. Pola hubungan ini mirip dengan posisi kenabian. Nabi dimengerti sebagai orang yang mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang sedang berlangsung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ada di luar permainan politik. Tetapi, nabi memiliki kewibawaan tertentu. Dalam perspektif ini, hubungan antara moral dan hukum atau politik biasanya bersifat konfliktual. Dalam rezim ini ada pemisahan antara masalah agama dan masalah politik.

Dalam pola kelima, politik dikaitkan dengan campur tangan suatu kekuatan dalam sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang berhasil melandaskan diri pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkret bukan hanya bentuk dari tindakan. Dengan demikian moral berbagi lahan dengan politik. Di satu pihak, moral hanya bisa dipahami melalui praktik politik. Melalui politik itu moral menjadi efektif: melalui hukum, lembaga-lembaga negara, upaya-upaya dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi, moral tetap tidak bisa direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik mengakali moral. Sampai pada titik tertentu, politik (dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan moral karena politik hanya menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat.

1. Mengawal Penegakan Hukum Dengan Moral

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa' [4]: 58).

Predikat negara hukum menggambarkan bahwa segala sesuatu harus berjalan menurut aturan yang jelas; masyarakat yang merupakan warga negara hidup dalam ketertiban, ketenangan, keamanan dan keadilan. Hukum dibuat sebagai salah satu sarana untuk menciptakan kondisi demikian. Sebagai sebuah sarana, dia lebih berjalan pada proses. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka proses harus berjalan secara maksimal pula. H.L.A. Hart (1965) mengatakan bahwa untuk menciptakan keadilan, hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Murphy & Coelman, 1984: The Philosophy of Law). Jadi apabila ingin menciptakan keadilan dalam masyarakat maka unsur moral harus dipenuhi. Belum terciptanya rasa keadilan atau dengan kata lain gagalnya penegakan hukum dalam masyarakat kita sampai saat ini karena belum adanya "pengawalan" moral dari aparat penegaknya.

a. Hukum Sebagai Jaring Terluar

Kehidupan sosial masyarakat tidak akan pernah terlepas dari relasi satu sama lain. Di sinilah sistem hukum bekerja. Sistem hukum, bertanggung jawab menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini masyarakat "minimal" menjalankan apa yang diperintahkan oleh hukum dan meninggalkan larangan-larangan

Page 8: makalah ISBD jadi

hukum. Inilah yang penulis maksud dari hukum sebagai jaring terluar. Sebenarnya, kalau kita dapat memenuhi standar minimal ini saja, keadilan sudah bisa tercipta. Namun yang terjadi tidak demikian. Jaring terluar ini sering dilanggar dengan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum, yang menimbulkan "kekacauan" dalam sistem sosial yang ada. Lebih parah lagi, para pelanggar hukum sering berlindung dibalik teks-teks hukum dengan "mengutak-atik" dan mencari celah dalam aturan hukum.

Dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita telah berkembang menjadi begitu kompleks. Keadilan menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan. Kalaulah ada, harus dibeli dengan harga yang cukup mahal. Maka tidak heran yang dapat menikmati keadilan di negara hukum ini hanyalah segelintir orang, yaitu orang-orang yang mempunyai cukup uang untuk membelinya.

b. Keadilan Formal Hukum

Hukum sebagai perangkat untuk menciptakan keadilan hanya berdasarkan fakta yang tampak dan dapat dibuktikan secara empiris. Adapun hal yang tidak dapat dilihat dan tidak empiris maka tidak menjadi obyek dan perangkat untuk mengukur keadilan dalam hukum.

Masalah-masalah hukum dan keadilan di negara kita hanya sekedar masalah teknis-prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan. Apabila suatu tindakan yang secara empiris dapat dibuktikan tidak melanggar hukum, maka ia akan dinyatakan tidak melanggar hukum dan terbebas dari hukuman, meskipun tindakan itu tidak benar, apalagi baik. Dan sebaliknya, apabila ada seseorang melakukan tindakan yang secara empiris dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut melanggar hukum maka ia harus dihukum, meskipun tindakan itu baik dan benar.

Hal ini dapat dimengerti, karena hukum memang hanya menjadi sarana atau perangkat untuk mewujudkan keadilan. Sebuah perangkat memang harus jelas dan dapat dinilai serta berlandaskan fakta empiris. Sebagai konsekuensinya, produk-produk yang dihasilkan oleh proses hukum adalah sesuatu yang jelas pula. Ukuran kebenaran yang menjadi landasan hukum sebagai perangkat formal juga hanya berdasarkan hal-hal yang empiris pula. Jadi keadilan yang dapat diwujudkan oleh hukum hanyalah keadilan, atau bahkan hanya kebenaran legal formal yang jauh dari nilai-nilai keadilan.

c. Keadilan Hakiki Berangkat dari Nurani

Keadilan legal formal tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan ideal moral yang pada dasarnya "keadilan tertinggi" yang dikehendaki oleh masyarakat; keadilan yang sesuai dengan hati nurani. Berdasarkan pemaparan di atas, tampaknya keadilan ini tidak dapat tercipta hanya mengandalkan sistem kerja perangkat legal formal hukum semata.

Page 9: makalah ISBD jadi

Oleh kerena itu unsur moral harus benar-benar diterapkan dalam proses hukum kita, agar keadilan yang dikehendaki oleh nurani masyarakat benar-benar terwujud.

Merujuk pada filsuf Yunani, Aristoteles, yang cenderung menggunakan etika untuk menunjukkan filsafat moral, menjelaskan bahwa fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati (Kanter 2001). Moral mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Jadi manusia dituntut untuk bertindak berdasarkan pada suara hati nuraninya.

Berangkat dari pemaparan di atas, para penegak hukum hendaknya menjalankan fungsinya berdasarkan pada dua hal; pertama, berlandaskan pada "aturan main" yang telah berlaku. Pada dasarnya apabila ini sudah terpenuhi setidaknya rasa keadilan dapat terwujud, meskipun mungkin tidak maksimal, karena peraturan dapat dipelintir dan direkayasa. Kedua, berpegang teguh pada suara hati nurani. Aturan-aturan hukum yang ada harus dikawal dengan moral yang bersumber dari hati nurani. Apabila unsur moral ini dapat terpenuhi maka rasa keadilan yang hakiki akan dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat. Karena hati nurani tidak akan pernah berdusta, apalagi berhianat.

2. Analisis Contoh Kasus

Pengadilan adalah jantung hukum itu sendiri karena menjadi laboratorium bedah atas paket perundang-undangan, profesional hukum melaksanakan fungsi, produk keadilan, dan pertarungan antara moral dan kepentingan-kepentingan lain.

Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa sebaik atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Di sinilah pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan.

Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena hilangnya keadilan di pengadilan adanya kasus Minah, Basar-Kolil, dan Prita Mulyasari. Di sisi lain, semuanya merupakan kelompok masyarakat kelas bawah sehingga menjadi bukti langsung bahwa hukum belum dapat dicerna oleh masyarakat awam.

Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian hukum. Itulah sebabnya, hukuman terhadap Amir Mahmud, sopir di BNN hanya karena sebuah pil ekstasi justru dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sedangkan jaksa Ester dan Dara yang telah menggelapkan 343 butir ekstasi hanya divonis 1 tahun.

Page 10: makalah ISBD jadi

Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.

Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.

Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah, secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format.

Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold Rothwax dalam buku Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System bahwa masyarakat modern tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari kemenangan dengan segala cara. Setidaknya hal demikian dapat terbaca dalam kasus Prita yang menjadi tersangka pencemaran nama baik Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang. Prita dituduh setelah menulis keluhan pelayanan rumah sakit itu terhadap dirinya melalui internet.

Page 11: makalah ISBD jadi

BAB III

KESIMPULAN

Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian hukum.

Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang.

Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.

Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah, secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format.

Page 12: makalah ISBD jadi

DAFTAR PUSTAKA

Mardian, A. H., 2010, Moral dan Hukum Positif, http://www.mardianaly.co.cc/2010/04/makalah-moral-dan-hukum-positif.html , April 30

Arif, N., 2010, Pengertian Hukum, http://arifnurahmanblog.blogspot.com/2010/03/pengertian-hukum.html, Maret