Makalah ISBD Kelompok 2.docx

30
MAKALAH Masalah Sosial yang Terjadi di Sekitar Kita “Kekerasan terhadap Anak” DOSEN PEMBIMBING : MUDZALIFAH, S.P, M.Si OLEH : KELOMPOK 2 1. DAVID SIMANUNGKALIT H. (J1B110209) 2. ANIDA NORSYIFA (J1B113006) 3. EKA YULIYANTI (J1B113007) 4. RAHMAT AMIN (J1B113009) 5. GUSTI ABNIA FITRI (J1B113013) 6. MELISSA (J1B113036) 7. NORHILYANTI (J1B113041) 8. NORMA (J1B113205)

Transcript of Makalah ISBD Kelompok 2.docx

MAKALAHMasalah Sosial yang Terjadi di Sekitar KitaKekerasan terhadap Anak

DOSEN PEMBIMBING : MUDZALIFAH, S.P, M.Si

OLEH :KELOMPOK 21. DAVID SIMANUNGKALIT H. (J1B110209)2. ANIDA NORSYIFA (J1B113006)3. EKA YULIYANTI (J1B113007)4. RAHMAT AMIN (J1B113009)5. GUSTI ABNIA FITRI (J1B113013)6. MELISSA (J1B113036)7. NORHILYANTI (J1B113041)8. NORMA (J1B113205)

PROGRAM STUDI S-1 KIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATBANJARBARU2014KATA PENGANTARPuji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan nikmat dan kesehatan sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas pembuatan makalah tentang Masalah Sosial yang Terjadi di Sekitar Kita.Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis dan dukungan moril maupun materil yang sangat berharga.. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini terutama kepada kakak pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk menjadi lebih baik.Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua. Serta menambah wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat. Amin

Banjarbaru, Mei 2014

Tim Penulis

DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL iKATA PENGANTAR iiDAFTAR ISI iiiBAB I PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang11.2. Rumusan Masalah11.3. Tujuan Penulisan11.4. Metode Penulisan2BAB II ISI2.1. Pengertian Masalah Sosial32.2. Klasifikasi Masalah Sosial32.3. Masalah Sosial Masyarakat62.3.1. Kekerasan Anak dalam Dunia Pendidikan62.3.2. Gambaran Umum Tindak Kekerasan Terhadap Anak72.3.3. Klasifikasi102.3.4. Contoh kasus dan Faktor Penyebabnya142.3.5. Cara Penyelesaian142.3.6. Rancangan Kegiatan Kecil yang Memberi Dampak bagiMasyarakat14BAB III PENUTUP3.1. Kesimpulan153.2. Saran15DAFTAR PUSTAKA iv

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangSosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang masyarakat yang meliputi gejala-gejala sosial,struktur sosial dan perubahan sosial. Sosiologi menelaah gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial dalam lapisan masyarakat, lembaga masyarakat, proses sosial, perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya.Gejala-gejala tersebut ada yang tidak berlangsung normal sebagaimana yang dikehendaki masyarakat dan merupakan gejala-gejala abnormal atau gejala-gejala patologis, hal ini disebabkan adanya unsur-unsur masyarakat yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya yang menyebabkan kekecewaan dan penderitaan.1.2. Rumusan MasalahRumusan masalah pembuatan makalah ini adalah:1. Apa yang dimaksud dengan masalah sosial ?2. Bagaimana mengklasifikasikan masalah sosial ?3. Temukan masalah sosial disekitar anda . Klasifikasikan penyebab masalah tersebut dan bagaimana menurut anda cara penyelesaiannya4. Bagaimana rancangan/rangkaian suatu kegiatan kecil yang kira-kira bisa memberikan dampak nyata bagi masyarakat/orang sekitar anda.1.3. Tujuan PenulisanTujuan dari pembuatan makalah ini adalah:1. Mengetahui pengertian masalah sosial.2. Mengetahui klasifikasi dari masalah sosial.3. Menemukan masalah sosial dan menjelaskan cara penyelesaiannya.4. Merancang suatu kegiatan kecil yang memberi dampak nyata bagi masyarakat.

1.4. Metode PenulisanPenulis mempergunakan metode kepustakaan dan internet yaitu dengan membaca dan menganalisa berbagai buku-buku dan system informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut. Makalah ini bersumber dari pustaka dan bisa dikembalikan ke pustaka.

BAB IIISI2.1. Pengertian Masalah SosialMasalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.2.2. Klasifikasi Masalah SosialA. Klasifikasi atas dasar dikotomi1. Masalah Sosial Patologis dan non Patologis2. Masalah Sosial Klasik-Konvensional dan Modern-Kontemporer3. Masalah Sosial Manifes dan Laten4. Masalah Sosial Strategis dan non Strategis/Biasa 1. Masalah Sosial Patologis dan Non Patologisa. Masalah Sosial Patologis: Penyakit Sosial, sulit untuk dipecahkan, berhubungan dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.Misal: Pelacuran, kejahatan, perjudian dsb.b. Masalah Sosial non Patologis: mengacu pada masalah sosial yang bukan bersifat penyakit, sehingga relatif lebih mudah mengatasinya.Contoh: tawuran antar kelompok, kenakalan remaja dsb.Masalah Sosial jenis ini bila tidak segera ditangani dapat berubah menjadi masalah sosial patologis.2. Masalah Sosial Klasik-Konvensional dan Kontemporer- Moderna. Masalah Sosial Klasik-Konvensional: menunjuk pada masalah sosial yang terjadi pada masa dahulu atau pada masyarakat yang dahulu atau masyarakat sederhana atau sering disebut masyarakat pertanian. Masalah-masalah tersebut hingga kini masih tetap ada.Contoh: masalah kemiskinan, pengangguran, kejahatan, pelacuran dsb.b. Masalah Sosial Kontemporer-Modern: menunjuk pada masalah sosial yang baru muncul pada masa sekarang atau pada masyarakat industri. Contohnya: yang berkaitan dengan NAPZA (korban pengguna, pengedar dsb), HIV/AIDS, Trafficking, anak jalanan, buruh migrant, KDRT dsb.3. Masalah Sosial Manifest dan latent a. Masalah Sosial Manifest: merupakan produk dari ketimpangan-ketimpangnan sosial yang terjadi di masyarakat. Ketimpangan mana terjadi akibat dari ketidak sesuaian antara nilai dan norma yang ada, sehingga anggota masyarakat melakukan penyimpangan perilaku (deviant behavior). Masyarakat umumnya tidak menyukai perilaku tersebut dan berusaha untuk mengatasinya.b. Masalah sosial latent: merupakan masalah sosial yang ada tapi tidak disadari oleh masyarakat atau masyarakat tidak berdaya untuk mengatasinya, atau juga berkaitan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu masyarakat.Contoh: masalah konflik latent yang berlatar belakang SARA, keterbelakangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

4. Masalah Sosial Strategis dan Biasaa. Masalah Sosial Strategis merupakan masalah sosial yang dianggap sentral dan dapat mengakibatkan masalah-masalah sosial lainnya.Contoh : masalah kemiskinan yang dapat menyebabkan timbulnya masalah kejahatan, keterlantaran, pelacuran, penganiayaan, penjualan anak dan perempuan dsb.b. Masalah Sosial biasa, mengacu pada masalah yang terjadi dalam lingkup relatif kecil dan dianggap tidak akan menimbulkan dampak besar.Contoh : pertengkaran antar tetangga, perkelahian antar kelompok kecil, perceraian.B. Klasifikasi atas dasar Warisan (heritages)1. Warisan Sosial2. Warisan Biologis3. Warisan Fisik4. Warisan Akibat Kebijakan Sosial1. Warisan Sosial.Meliputi berbagai masalah yang berkaitan dengan interaksi sosial di masyarakat. Contoh : masalah depresi, hubungan kelompok mayoritas dan minoritas, pendidikan, politik, pelaksanaan hukum, agama, pengisian waktu luang, kesehatan dsb.2. Warisan Biologis.Berkaitan dengan masalah kependudukan. Misal : masalah migrasi, berkurang atau bertambahnya penduduk, terbatasnya kelahiran, kecacatan baik karena bawaan atau bukan.3. Warisan Fisik.Terjadi karena adanya keterbatasan atau pengurangan sumber daya alam yang menimbulkan masalah bagi masyarakat sekitarnya. Contoh: kemiskinan di daerah tandus, penyakit-penyakit karena adanya polusi tanah, air, udara.

4. Akibat Kebijakan Sosial.Masalah masalah sosial yang timbul akibat kurang tepatnya suatu penerapan kebijakan di masyarakat. Contoh : ketimpangan sosial ekonomi antar daerah, pencemaran industri, bencana alam (karena kebijakan HPH), masalah TKI, masalah anak yang disalah gunakan (dijual atau dilacurkan), disintegrasi bangsa dan sebagainya.2.3. Masalah Sosial di Masyarakat2.3.1. Kekerasan Anak dalam Dunia PendidikanKekerasan sudah mengakarabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Penyelesaian konflik selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan yang kerap terjadi bukan hanya dilakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat tetapi juga oleh aparat Negara. Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga) yaitu kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa; kekerasan struktural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural adalah sebuah sesuatu yang bersifat permanen. Ketiga tipologi kekerasan ini memasuki waktu secara berbeda , analog dengan perbedaan dalam teori gempa bumi antara gempa bumi sebagai suatu peristiwa (kekerasan langsung), gerakan-gerakan lempeng tektonik sebagai sebuah proses (kekerasan struktural), dan garis-garis retakan sebagai suatu kondisi yang permanen (kekerasan kultural).[footnoteRef:1] [1: Johan Galtung, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka, 2003, hal. 438]

Kondisi ini mengarah ke suatu citra strata kekerasan fenomenologi kekerasan. Kekerasan kultural merupakan strata yang paling dasar dan merupakan sumber inspirasi bagi kekerasan struktural dan kekerasan langsung. Strata berikutnya kekerasan struktural berupa ritme-ritme kekerasan yang melokal dan merupakan pola-pola dari kekerasan kultural. Puncaknya, kekerasan yang tampak oleh mata berupa kekerasan langsung yang dilakukan oleh manusia terhadap yang lain.[footnoteRef:2] [2: ibid. ]

Kekerasan langsung mewujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan struktur atau kekerasan yang melembaga mewujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan kultural mewujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat misalnya , kebencian, ketakutan, rasisme, seksisme, ketidaktoleranan.[footnoteRef:3] Menurut sifatnya kekerasan ada 2 (dua) yaitu kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Kekerasan struktural mengambil bentuk-bentuk seperti eksploitasi, fragmentasi masyarakat, rusaknya solidaritas, penetrasi kekuatan luar yang menghilangkan otonomi masyarakat, dan marjinalisasi masyarakat sehingga meniadakan partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan tentang nasib mereka sendiri. Kekerasan struktural ini juga menimbulkan kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, ketidakadilan sosial, dan alienasi atau peniadaan individual karena proses penyeragaman warga Negara. [3: Simon Fisher, et.al, Mengelola Konflik : keterampilan & Strategi untuk Bertindak, Jakarta, The British Council, 2001. hal. 10]

2.3.2. Gambaran Umum Tindak Kekerasan Terhadap AnakDi Indonesia, kurang lebih 500 anak mengikuti konsultasi anak tentang kekerasan terhadap anak. Dalam konsultasi ini anak-anak memberikan konfirmasi bahwa mereka semua pernah mengalami kekerasan dalam bentuk yang berbeda-beda. Pengalaman ini, menurut mereka adalah pengalaman yang sangat buruk dalam hidup mereka karena susah untuk dilupakan. Luka yang menggores di tubuh dan hati anak-anak yang mengalami kekerasan tak mudah di pulihkan, karena penderitaan yang di akibatkan oleh kekerasan tidak terbatas rasanya. Rasa malu, marah, sedih, sakit, dan tidak berdaya bercampur menjadi satu hingga menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan.[footnoteRef:4] [4: Lihat Antarini Arna, op. cit. ]

Kekerasan sangat dekat dengan kehidupan anak. Sejak usia sangat dini anak-anak sudah di kenalkan pada bentuk-bentuk kekerasan mulai dari yang verbal, fisikal, hingga seksual. Pengalaman anak-anak berhadapan dengan kekerasan sangat beraneka ragam baik dari segi bentuk-bentuk kekerasan yang dialami, pelaku kekerasan, tempat kejadian, dan sebab-sebab terjadinya kekerasan. Dalam kehidupan sehari-hari kekerasan yang dialami anak-anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki. Anak perempuan lebih sering mengalami kekerasan seksual hingga berdampak kehamilan sedangkan anak laki-laki lebih sering mengalami kekerasan fisik hingga berdampak pada kematian.[footnoteRef:5] [5: Lihat Antarini Arna, Summary Executive, Hasil Konsultasi Anak Propinsi dan Nasional Tentang Kekerasan Terhadap Anak]

Kekerasan bisa terjadi di rumah atau di lingkungan keluarga dan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak. Mereka adalah para Ibu, ayah, kakek, nenek, kakak, dan keluarga dekat lain nya. Di dalam lingkungan keluarga, anak-anak biasa di pukul, di jambak, di sulut rokok, di cubit, di ikat di pohon, di cambuk dan di tendang. Mereka juga mengalami kekerasan psikis seperti misalnya di kurung di kamar mandi, tidak di beri makan, di cacai maki, di hina, di olok-olok, dianggap bodoh dan di bentak-bentak. Kekerasan seksual, mulai dari di colek bagian-bagian tubuh tertentu hingga perkosaan juga terjadi di lingkungan keluarga. Tradisi menjodohkan dan mengawinkan anak perempuan sejak usia dini yang biasa di sebut pemaksaan perjodohan juga masih terjadi di tingkat keluarga di beberapa daerah di Indonesia. Kekerasan terhadap anak berbasis tradisi lain nya yang sampai saat ini masih di praktekkan di sebagian daerah Papua adalah pemotongan ruas jari pada saat orang tua meninggal dunia dan jual beli anak. Dari dalam rumah mereka pula orang tua anak-anak biasa memaksa anak-anak untuk bekerja. Mereka dipaksa untuk bekerja di warung remang-remang, mengamen, dan mengemis.[footnoteRef:6] [6: ibid]

Kekerasan juga dilakukan oleh guru di sekolah-sekolah umum maupun sekolah khusus seperti pesantren. Berbagai bentuk kekerasan fisik seperti di lempar dengan kapur, dan penghapus papan tulis, dipukul tangan nya dengan mistar besi panjang, di strap di depan kelas, dan di jemur di lapangan upacara sering dialami oleh anak-anak di sekolah. Penghukuman fisik (corporal punishment) masih menjadi alat untuk mendisiplinkan murid di sekolah. Mulai dari disuruh push up puluhan kali, lari mengelilingi lapangan upacara, hingga pemukulan. Sekolah juga menjadi ajang praktek kekerasan seksual yang dilakukan oleh murid laki-laki kepada murid perempuan, demikian pula guru terhadap murid perempuan.[footnoteRef:7] [7: ibid]

Bagi anak-anak yang pernah berkonflik dengan hukum, pengalaman menghadapi penyidik di kantor polisi merupakan catatan tersendiri. Pada saat penyidikan berlangsung, anak-anak sering di pukul, di bentak-bentak, dan di paksa untuk mengaku. Penyidikan di kantor polisi biasa dilakukan tanpa kehadiran pendamping atau pembela hukum sehingga anak-anak mengalami tekanan psikis. Kekerasan polisi terhadap tersangka anak terjadi di kantor-kantor kepolisian yang tidak memiliki Ruang Pemeriksaan Khusus (RPK). Di dalam institusi ini anak-anak di tahan bersama-sama dengan tahanan dewasa, dalam ruang tanpa penerangan yang cukup dan perasaan ketakutan yang luar biasa.[footnoteRef:8] [8: ibid]

Institusi Negara lain yang masih mempraktekkan kekerasan terhadap anak adalah penjara anak ( LAPAS). Anak didik LAPAS mendapatkan hukuman fisik berupa dipukul dengan karet timba, di tendang, di jemur di lapangan terbuka, dan di masukkan ke ruang isolasi. Kekerasan terhadap anak di LAPAS utamanya dilakukan oleh penjaga LAPAS, namun dalam hal tidak terjadi pemisahan penghuni anak dan dewasa, maka berbagai bentuk kekerasan fisik, psikis dan seksual dapat dilakukan oleh penghuni dewasa terhadap anak.[footnoteRef:9] [9: ibid]

Kekerasan juga dialami oleh anak-anak yang terpaksa harus bekerja baik di dalam rumah tangga maupun di tempat lain. Anak-anak yang bekerja dalam rumah tangga pada umumnya mengalami kekerasan dan tindakan tidak manusiawi lainnya termasuk dipukul dengan besi panas, di siram air panas, di seterika, dan tidak di beri makan. Di tempat kerja lain seperti di jermal, di pabrik, dan industri rumah tangga terjadi eksploitasi fisik oleh majikan dan mandor, artinya dengan beban kerja yang cukup berat, anak-anak tidak di beri waktu untuk istirahat dengan cukup. Di lingkungan kerja anak-anak mengalami penghinaan dengan di bentak-bentak dan di cerca dengan kata-kata kotor.[footnoteRef:10] [10: ibid]

Satu area yang belum di sebutkan diatas dan menjadi tempat terjadinya kekerasan terhadap anak tanpa dapat di control adalah jalanan dan lingkungan komunitas. Kekerasan terhadap anak yang terjadi di jalanan dan lingkungan komunitas dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk aparat Negara yang secara spesifik di identifikasi sebagai petugas trantib ( ketentraman dan ketertiban), Satpol PP (satuan polisi pamong praja). Dalam setiap razia, penggusuran dan street cleansing anak-anak jalanan dan anak-anak yang dilacurkan di jalanan menjadi sasaran kekerasan. Anak-anak mengalami intimidasi dan ancaman, pemukulan, caci maki dan hinaan dari aparat Negara tersebut. Kecuali itu, anak-anak juga menjadi sasaran kekerasan preman jalanan, pengemudi dan awak angkutan umum perkotaan serta waria. Anak laki-laki yang hidup di jalanan mengalami kekerasan seksual berupa tindakan sodomi dan dipaksa melakukan oral seks , dipalak (dipaksa menyerahkan uang) dan diancam oleh preman jalanan. Anak-anak perempuan mengalami pelecehan seksual perkosaan, dan exploitasi seksual untuk kepentingan komersial dan rekreasi orang dewasa.[footnoteRef:11] [11: ibid]

2.3.3. KlasifikasiLebih jauh, pergulatan hidup yang berat membuat sebagian pendidik belum mampu mengelola emosi negative sehinga harus mengumpat di kelas, mengasihani diri sendiri, atau memperlakukan peserta didik dengan kasar.[footnoteRef:12] Dalam titik ini negara dikatakan sebagai pelaku tindak kekerasan dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi pemerintah. Kekerasan ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya kekerasan dalam bentuk indoktrinasi, kebijakan serta bentuk represif lainnya.[footnoteRef:13] Ideologi yang mendasari penyusunan kurikulum sangat menentukan perilaku masyarakatnya dan arah kemajuan atau kemunduran bangsa.[footnoteRef:14] [12: Anita Lie, Guru, Bukan Sekedar Operator Kurikulum, dalam Basis , No. 07-08, Juli-Agustus 2005, Yogyakarta, Yayasan BP Basis, hal. 16] [13: Lihat Justin Sihombing, op.cit , hal. 20] [14: Anita Lie, op.cit, hal. 17]

Kebijakan penetapan kurikulum pendidikan yang mengakibatkan terjadi tindak kekerasan di sekolah merupakan bentuk kekerasan struktural. Kekerasan struktural dimaksudkan kekerasan tidak langsung, yang bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu. Kekerasan ini beroperasi melalui (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat). Perbuatan kekerasan apalagi yang struktural tidak harus selalu dengan menggunakan secara fisik. Ia bisa berupa sesuatu yang non-fisik, yang psikologis berupa stigmatisasi, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis dengan diskriminasi ethnis, yang struktural, bahkan dari yang berwajib / berkuasa secara psikis, sampai pada yang bersifat naratif.[footnoteRef:15] Kekerasan struktural ini berbentuk eksploitasi sistematis disertai mekanisme yang menghalangi terbentuknya kesadaran serta menghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi dan penindasan. Oleh karenanya, kekerasan jenis ini lebih tersembunyi dan lebih berbahaya tentu. Ketidakadilan, kebijakan yang menindas, perundang-undangan yang diskriminatif adalah bentuk-bentuk kekerasan struktural. Kekerasan Struktural termanifestasi dalam bentuk ketimpangan kekuasaan yang menyebabkan ketimpangan hidup.[footnoteRef:16] [15: Lihat J.E. Sahetapy, Kekerasan Struktural, www.khn.go.id] [16: Lihat John Bamba, Mengayau atau Perang ? Fenomenologi Kekerasan Antar Etnis di Kalimantan Barat, makalah untuk Seminar Dalam Rangka Kampanye Melawan Diskriminasi Ras, Etnis, Agama, Jender, Xenophobia dan Bentuk-Bentuk Intoleransi Lainnya "HindariKekerasan. Hentikan Diskriminasi. Kita Semua Manusia" di Pontianak 18 September 2001 kerjasama Komnas HAM-Insitut Dayakologi ]

Kekerasan di sekolah yang marak terjadi seringkali dibenarkan oleh masyarakat bahkan orang tua dari peserta didik karena tindak kekerasan tersebut merupakan bagian dari proses mendidik anak. Padahal hukuman apapun bentuknya bagi peserta didik, dalam jangka pendek, akan mempengaruhi konsentrasi, persepsi dan perilakunya, hingga tidak tertutup kemungkinan anak menjadi malas belajar atau bahkan sekolah. Pada akhirnya peserta didik tinggal kelas atau berhenti sekolah. Secara psikologis, hukuman di lembaga pendidikan dapat menyebabkan anak menjadi trauma atau antipati terhadap pendidikan.[footnoteRef:17] [17: Syamsuarni, Hukuman di Sekolah dan Hak Anak atas Pendidikan, dalam Kalingga, Edisi Maret-April 2004, Medan, PKPA, hal. 14]

Kekerasan merupakan operasionalisasi dari pola asuh authoritarian. Pengajar authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap-sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut mengenai perilaku. Pengajar ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang kehendak diri anak bila perilaku dan keyakinan-keyakinan anak bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut keyakinan dirinya. Dampak pola pengasuhan authoritarian adalah anak menjadi penakut, cemas atau gelisah, suka murung, tidak bahagia, mudah tergganggu dan suka mengganggu, permusuhan secara pasif dan menggunakan tipu daya, mudah stres atau tegang, mudah dongkol dan menarik diri dari masyarakat, serta tidak terarah.[footnoteRef:18] [18: John Th Ire, mengutip penelitian Baumrind dalam Lerner & Hullsch, dalam Anakmu Bukanlah Anakmu, www.indomedia.com/poskup/2005/11/09/edisi09/0911pin1.htm]

Perspektif Galtung memandang bahwa baik kekerasan struktural maupun kekerasan langsung bersumber pada kekerasan cultural. Kekerasan kultural adalah kekerasan yang melegitimasi terjadinya Kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung serta menyebabkan tindakan kekerasan dianggap wajar saja terjadi (diterima) oleh sebuah masyarakat.[footnoteRef:19] Ketiga jenis kekerasan ini saling berhubungan satu sama lain dalam hubungan sebab-akibat. Menurut Galtung, sumbernya ada pada Kekerasan Kultural (atau lebih tepat: Kultur Kekerasan) yang melegitimasi terjadinya Kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung. Dengan kata lain, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Langsung berlangsung karena disahkan oleh Kekerasan Kultural.[footnoteRef:20] Istilah kekerasan kultural disini meliputi aspek-aspek budaya dan ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, dan ilmu pengetahuan yang melegitimasi kekerasan langsung dan struktural.[footnoteRef:21] [19: ibid] [20: ibid] [21: Johan Galtung, op. cit, hal. 443]

Pemukulan, penghinaan, pengucilan, jika itu dilakukan kepada anak selalu ada rasionalisasinya entah untuk pendidikan, untuk pendisiplinan atau malah dianggap untuk kebaikan. Masyarakat mempunyai anggapan bahwa anak-anak sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan dan penghukuman fisik sebagai proses pembelajaran dalam hidupnya. Bahkan, kebisuannya diartikan sebagai kerelaan menerima kekerasan. Anggapan ini mencerminkan adanya relasi yang dominatif antara orang dewasa dan anak yang pada gilirannya salah satu pihak dapat memamerkan kuasa atau dominasinya kepada pihak lain yang dianggap lebih lemah.[footnoteRef:22] [22: Lihat Antarini Arna, Analisis Konsultasi Anak Nasional : Kekerasan Terhadap Anak: Agresi Terhadap Martabat Kemanusiaan Anak]

Fenomena tersebut mendeskripsikan bahwa kekerasan kultural dan kekerasan struktural merupakan akar dari kekerasan langsung. Dengan kata lain bentuk-bentuk kekerasan langsung yang terjadi di sekolah seperti pemukulan, penganiayaan, dan penghukuman yang lain merupakan buah-buah dari kekerasan kultural dan struktural. Fenomena kekerasan langsung ini nampak dalam gambar di bawah ini :

Kekerasan Langsung

Kekerasan KulturalKekerasan Struktural

Sumber: John Th Ire, 20052.3.4. Contoh Kasus dan Faktor PenyebabnyaKasus 1 :Namanya Alan Anarki, usianya 8 tahun, siswa kelas IV SD. Anak ini kebetulan tidak bisa perkalian tujuh. Karena tidak bisa perkalian inilah maka teman-teman sekelasnya yang jumlahnya 29 orang diminta memukuli Alan dengan mistar. Penyiksaan ini membuat Alan terkencing dan muntah. Penyiksaan ini atas perintah gurunya sendiri.[footnoteRef:23] [23: Lihat Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta, Insist Press, hal. 104]

Kasus 2 : Gara-gara tidak mengerjakan mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) 8 (delapan) siswa Kelas IV SD dihukum di depan kelas dalam keadaan setengah bugil. Mereka berjalan dengan terseok-seok karena celana dan rok seragam mereka melorot sampai batas mata kaki. Hukuman ini merupakan perintah langsung sang guru.[footnoteRef:24] [24: ibid]

Tindak-tindak kekerasan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut : pertama, kurikulum pendidikan yang cukup padat dan sarat beban, menyebabkan anak harus belajar berbagai hal dalam waktu yang ditentukan. Kurikulum yang ada sangat memaksa anak untuk mengikuti dan mengejar pencapaian kurikulum, walaupun apa yang diinginkan kurikulum belum tentu relevan dengan cita-cita anak. Kedua, pengajar saat ini sangat sarat dengan persoalan. Pengajar sebagai pemegang kunci (key person), dalam kenyataannya tidak layak mengajar dan mendidik di sekolah. Intelektualitas pendidik yang rendah namun dipaksa mengejar target kurikulum.[footnoteRef:25] [25: Tabrani Yunis, Ramai-Ramai Menyiksa Anak di Sekolah, dalam KALINGGA, Edisi, Maret-April 2004, Medan, PKPA, 2004, hal. 4-5]

2.3.5. Cara Penyelesaian1. Pemerintah sudah saatnya memasukkan substansi HAM, khususnya hak-hak anak ke dalam kurikulum pendidikan untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis peserta didik2. Pemerintah menyelenggarakan pelatihan HAM, khususnya hak-hak anak kepada para pengambil kebijakan di sector pendidikan dan pelaksana pendidikan di sekolah (seperti Kepala Sekolah, Komite Sekolah, dan pengajar).3. Pemerintah mengeluarkan kebijakan baik di level daerah maupun pusat yang melarang dilakukannya praktik-praktik kekerasan di sekolah-sekolah4. Pemerintah sudah saatnya menjadikan indicator-indikator pemenuhan hak anak atas pendidikan yang tercantum dalam instrument hukum HAM internasional dijadikan pijakan dan diadopsi dalam kebijakan sektor pendidikan dan penyusunan anggaran publik.5. Membuka ruang partisipasi bagi peserta didik untuk menyuarakan aspirasinya sehingga dunia pendidikan yang layak terhindar dari kekerasan dapat terwujud karena hak anak adalah hak asasi manusia.2.3.6 Rancangan Kegiatan Kecil yang Memberi dampak bagi MasyarakatMemberikan suatu penyuluhan kepada anak-anak dengan menggunakan media sesuai dengan usia mereka. Penyuluhan ini bukan hanya untuk anak-anak tapi juga untuk orang tua dan guru. Dalam hal ini, sangat perlu diberikan bimbingan kepada para guru untuk memberikan pengajaran yang menyenangkan bagi anak-anak. Para guru diharapkan untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak bila mereka berbuat salah agar anak tidak terdoktrin dalam pikiran mereka bahwa bila berbuat salah itu harus dihukum dengan kekerasan. Kepada orang tua juga diberikan suatu penyuluhan agar orang tua bisa memantau kegiatan anak-anak di sekolah sehingga jika anak mendapatkan kekerasan di sekolah maka orang tua bisa langsung mengetahuinya.

BAB IIIKESIMPULAN3.1. Kesimpulan1. Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.2. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada.3. Masalah masalah sosial yang timbul akibat kurang tepatnya suatu penerapan kebijakan di masyarakat.4. Pemerintah sudah saatnya memasukkan substansi HAM, khususnya hak-hak anak ke dalam kurikulum pendidikan untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis peserta didik5. Rancangan Kegiatan kecil yang memberikan dampak bagi masyarakat yaitu memberikan suatu penyuluhan kepada anak-anak dan masyarakat.3.2. SaranKekerasan pada anak yang kerap terjadi di masyarakat itu terjadi karena kurangnya perhatian dan pembekalan moral dari lingkungannya terutama dari lingkungan sekitar seperti sekolah dan keluarga. Jadi, diharapkan agar anak-anak diberi pembekalan mulai awal agar nilai-nilai moralnya terbentuk.

DAFTAR PUSTAKAFisher , Simon, et.al. 2001. Mengelola Konflik : keterampilan & Strategi untuk Bertindak. The British Council: Jakarta.

Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban. Pustaka Eureka: Surabaya.

Lie ,Anita. 2005. Guru, Bukan Sekedar Operator Kurikulum, dalam Basis. Yayasan BP Basis :Yogyakarta.

Syamsuarni. 2004. Hukuman di Sekolah dan Hak Anak atas Pendidikan. PKPA :Medan.http://www.indomedia.com/poskup/2005/11/09/edisi09/0911pin1.htm

Yaunis, Tabrani. 2004. Ramai-Ramai Menyiksa Anak di Sekolah. PKPA :Medan.