Makalah ISBD-Diskriminasi (Fixed)
-
Upload
rippi-maya -
Category
Documents
-
view
2.331 -
download
5
Embed Size (px)
Transcript of Makalah ISBD-Diskriminasi (Fixed)

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan
dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama
yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu
mendatang. Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi
diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi
lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat
yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan
masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas
yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inherent yang dimiliki manusia
sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada
dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia. Kesetaraan
derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan
meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan
atas asal rasial, suku bangsa, kebangsawanan ataupun kekayaan dan kekuasaan.
Tidak dapat dipungkiri lagi, hampir semua wilayah (termasuk kota) di
Indonesia adalah wilayah dengan masyarakat multikultur. Kondisi masyarakat
Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti
budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya
gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku
musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama
dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis.
Di Indonesia, berbagai konflik antar suku bangsa, antar penganut keyakinan
keagamaan, ataupun antar kelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta
harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon, Poso, dan kalimantan Tengah.
Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan tatanan kehidupan yang
egalitarian dan demokratis.

2
Kerusuhan rasial yang pernah terjadi tersebut menunjukkan bahwa di
Indonesia, pada sebagian warga negaranya masih terdapat adanya diskriminasi
atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam
kehidupan sosial ekonomi. Konflik antar ras dan etnis tersebut biasanya diikuti
dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan
pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan
hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi,
maupun dalam hubungan kekuasaan.
Adanya dominasi sosial dimana semua kelompok manusia ditunjukkan pada
struktur dalam sistem hirarki sosial pada suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan
satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan
satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Di antara
kelompok-kelompok yang ada, kelompok dominan dicirikan dengan kepemilikan
yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang berlaku. Dominasi sosial
ini dapat mengakibatkan ketidak-seimbangan hubungan sehingga konflik sosial
menjadi lebih tajam.
Konflik yang terjadi tersebut tidak hanya merugikan kelompok-kelompok
masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara
keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang
berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan,
persahabatan, perdamaian dan keamanan di dalam suatu negara serta menghambat
hubungan persahabatan antarbangsa.
Konsitusi yang merupakan cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang
dirumuskan oleh pendiri bangsa, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara yang berkesetaraan. Pasal 27 menyatakan: “Setiap warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan” adalah rujukan
yang melandasi seluruh produk hukum dan ketentuan moral yang mengikat warga
negara. Keberagaman bangsa yang berkesetaraan merupakan kekuatan besar bagi
kemajuan dan kesejahteraan negara Indonesia. Negara yang beragam tetapi tidak
memiliki kesetaraan dan diskriminatif akan menghadirkan kehancuran.

3
Berdasarkan sejarah dan pengalaman kehidupan manusia Indonesia itulah,
guna menghilangkan diskriminasi ras dan etnis yang telah mengakibatkan
keresahan, perpecahan serta kekerasan fisik, mental, dan sosial, sangat diharapkan
adanya suatu langkah atau terobosan. Melalui terobosan tersebut nantinya
diharapkan falsafah Pancasila, pandangan hidup bangsa Indonesia serta Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua “Kemanusiaan
yang adil dan beradab” dapat terlaksana sepenuhnya di masyarakat. Pada akhirnya
amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia dapat dijalankan dan segala bentuk
diskriminasi ras dan etnis dapat terhapuskan sepenuhnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1) Apakah diskriminasi dan konflik itu?
2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya konflik dari
diskriminasi di Indonesia serta dampak yang ditimbulkannya?
3) Bagaimanakah bentuk-bentuk perilaku diskriminasi di Indonesia?
4) Bagaimanakah keterkaitan perilaku diskriminasi tersebut dengan
kemajemukan/keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia?
5) Apa saja penyelesaian atau terobosan yang diharapkan untuk diterapkan
guna menghapuskan diskriminasi di masyarakat Indonesia sepenuhnya?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk menambah pengetahuan di Bidang Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
tentang diskriminasi dan konflik serta problematikanya di masyarakat
Indonesia.
2) Melalui pengetahuan yang didapat tersebut, pembaca diajak untuk
menjauhkan diri dari perilaku diskriminasi karena banyaknya dampak
negatif yang ditimbulkan.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Diskriminasi & Konflik
Kata diskriminasi berasal dari bahasa Belanda “discriminatie” artinya
pemisahan atau perbedaan. Kata diskriminasi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi III artinya perbedaan perlakuan terhadap sesame warga Negara.
Kata diskriminasi juga berasal dari bahasa Inggris disebut “discrimination”
artinya perbedaan perlakuan. Kata diskriminasi yang berasal dari bahasa Arab
disebut “tafriq” dan merupakan sifat tercela yang harus dihapus.
Menurut UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab 1 pasal
1 menjelaskan kata diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung atau tidak langsung didasarkan pada perbedaan
manusia atas alasan agama, suku, ras, etnik, kelompok, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dalam
kehidupan, baik individu atau kolektif dalam bidang politik ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lain.
Menurut Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah perlakuan yang
tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu,
biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesuku-bangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut
biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan
dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah sehingga dapat dikatakan
bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam
arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat aktif atau aspek yang dapat terlihat
(overt) dari prasangka yang bersifat negatif (negative prejudice) terhadap seorang
individu atau suatu kelompok.
Diskriminasi juga diartikan sebagai tindakan yang melakukan pembedaan
terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etnis,
kelompok, golongan, status, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik,

5
usia, orientasi seksual, pandangan ideologi, dan politik serta batas negara dan
kebangsaan seseorang.
Definisi yang dikemukaan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
berbunyi: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja yang berdasarkan perbedaan
yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat yang tidak ada
hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya (merit)”.
Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi
mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang
pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek
diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama.
Apakah diskriminasi dianggap illegal tergantung dari nilai-nilai yang dianut
masyarakat bersangkutan atau kepangkatan dalam masyarakat.
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan
sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
2.2. Faktor-faktor Penyebab Diskriminasi dan Konflik
Komunitas Internasional telah mengakui bahwa diskriminasi masih terjadi
di berbagai belahan dunia, dan prinsip non diskriminasi harus mengawali

6
kesepakatan antar bangsa untuk dapat hidup dalam kebebasan, keadilan, dan
perdamaian. Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi
karena adanya beberapa faktor penyebab antara lain:
1) Persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan, terutama
ekonomi.
2) Adanya tekanan dan intimidasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok
yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah.
3) Ketidak-berdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan
membuat mereka terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.
Dari kajian yang dilakukan terhadap berbagai kasus disintekrasi bangsa dan
hancurnya sebuah negara, dapat disimpulkan adanya enam faktor utama yang
sedikit demi sedikit bisa menjadi penyebab utama yaitu:
1) Kegagalan kepemimpinan
2) Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama
3) Krisis politik
4) Krisis sosial
5) Demoralisasi
6) Interfensi asing
Agus Dwiyanto (2001) menyebutkan ada tiga faktor utama yang menjadi
penyebab diskriminasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia. Pertama,
faktor struktural yaitu adanya ssstem paternalisme dalam birokrasi. Paternalisme
adalah sistem yang menempatkan atasan sebagai pihak yang sentral dalam
birokrasi. Orientasi aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan lebih ditujukan
kepada kepentingan pejabat atasan dibanding ke masyarakat pengguna jasanya.
Kedua, faktor kultural yaitu adanya ikatan kekerabatan untuk mendahulukan
lingkungan terdekat yakni saudara terdekatnya atau sesama etniknya. Budaya
nepotisme ini turut memberikan sumbangan terhadap perlakuan diskriminatif
dalam pelayanan publik. Ketiga, faktor ekonomi. Rendahnya tingkat penghasilan
seorang petugas pelayanan memaksa petugas untuk mencari alternatif sumber

7
penghasilan yang lain dengan jalan memberikan pelayanan lebih cepat kepada
pengguna jasa dengan imbalan tertentu.
Ketiga faktor penyebab di atas cocok untuk menjelaskan diskriminasi dalam
pelayanan publik yang berdasarkan alasan status sosial ekonomi. Dalam
pemberian pelayanan publik juga berlaku diskriminasi yang tidak disadari sebagai
bentuk ketidakadilan yakni diskriminasi karena karakteristik fisik seperti cacat
tubuh, ras, dan jenis kelamin.
Menurut Novi (2010), diskriminasi diawali dari proses keragaman dengan
faktor-faktor penyebab sebagai berikut:
1) Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali
memiliki kebudayaan yang berbeda.
2) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat non komplemeter.
3) Kurang mengembangkan konsesus diantara para anggota masyarakat
tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
4) Secara relatif sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan
yang lainnya.
5) Secara relatif intergrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling
ketergantungan didalam bidang ekonomi.
6) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain.
Secara umum konflik dapat terbentuk akibat:
1) Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung
pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang
merasa terhibur.

8
2) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-
pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya
akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang
orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi
bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi
mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-
pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan
membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian
dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan
kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah
yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
4) Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat
memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang

9
mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik
sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak
pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi
formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
2.3. Dampak Diskriminasi
Perilaku diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat akan cenderung
menimbulkan konflik pada masyarakat itu sendiri. Ada beberapa teori yang
menyatakan munculnya konflik dalam masyarakat antara lain:
1) Teori hubungan masyarakat, memiliki pandangan bahwa konflik yang
sering muncul ditengah masyarakat disebabkan polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda,
perbedaan bisa dilatarbelakangi SARA bahkan pilihan ideologi politiknya.
2) Teori identitas yang melihat bahwa konflik yang mengeras di masyarakat
tidak lain disebabkan identitas yang terancam yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan
3) Teori kesalahpahaman antar budaya, teori ini melihat konflik disebabkan
ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara budaya yang
berbeda.
4) Teori transformasi yang memfokuskan pada penyebab terjadi konflik adalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial
budaya dan ekonomi.

10
Menurut Novi (2010), jika masalah diskriminasi tidak diselesaikan dengan
baik ada beberapa masalah lanjutan yang akan timbul yaitu:
1) Disharmonisasi, adalah tidak adanya penyesuaian atas keragaman antara
manusia dengan dunia lingkungannya.
2) Kesenjangan dalam berbagai bidang yang tentu saja tidak menguntungkan
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
3) Eksklusivisme, rasialis, bersumber dari superioritas diri, alasannya dapat
bermacam-macam, antara lain keyakinan bahwa secara kodrati ras/sukunya
kelompoknya lebih tinggi dari ras/suku/kelompok lain.
2.4. Bentuk-bentuk Diskriminasi di Indonesia
Diskriminasi adalah perbuatan zalim dan tercela karena akan mendatangkan
kerugian kepada orang yang diperlakukan diskriminatif. Secara umum
diskriminasi bisa terdapat dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga,
bermasyarakat dan bernegara.
1) Orangtua yang membeda-bedakan perlakuan terhadap anak-anaknya adalah
contoh perilaku diskriminasi dalam kelusarga .
2) Islam mengajarkan agar dalam berkehidupan bertetangga, antara satu
tetangga dengan tetangga lainnya saling menghormati dan menghargai,
tanpa membedakan suku bangsa, agama, status sosial, dan sebagainya.
3) Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, perilaku
diskriminasi itu misalnya jika pemerintah hanya melindungi golongan
tertentu. Padahal pemerintah wajib melindungi seluruh rakyatnya tanpa
kecuali.
Berdasarkan ras, suku, warna kulit, perlakuan diskriminasi antara lain
adalah:
1) Diskriminasi kelamin, yaitu pembedaan sikap dan perlakuan terhadap orang
berdasarkan jenis kelamin. Di kota Mekkah pada masa Jahiliah, kaum
perempuan berkedudukan sangat rendah.

11
2) Diskriminasi ras, yaitu pembedaan berdasarkan asal bangsa yang
menganggap bahwa tras yang satu lebih hebat daripada ras yang lain.
3) Diskriminasi sosial, yaitu berdasarkan status sosialnya, seperti kaya dan
miskin, bangsawan dan rakyat jelata, atau suatu agama dengan agama lain.
4) Diskriminasi warna kulit (apartheid) yaitu berdasarkan warna kulit, orang
yang berkulit putih dianggap lebih terhormat.
Di Indonesia terdapat berbagai bentuk diskriminasi. Beberapa bentuk
diskriminasi yang disebutkan di bawah ini adalah segelintir kasus yang sering
beredar di masyarakat. Permasalahan diskriminasi yang paling umum misalnya
adalaha dalam jenis kelamin, permasalahan utama yang dihadapi adalah kuatnya
pandangan sebagian masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan. Pandangan demikian tidak hanya terdapat pada kaum laki-laki, tetapi
juga banyak perempuan yang mempunyai pandangan bahwa perempuan secara
kodrati memang merupakan subordinasi dari laki-laki. Apabila seseorang yang
berpandangan demikian berada di posisi pembentuk peraturan perundang-
undangan atau pembuat kebijakan publik, potensi terjadinya kebijakan yang
diskriminatif menjadi lebih besar. Di samping itu, kurangnya perhatian para
pembentuk peraturan perundang-undangan dalam mematuhi asas kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan juga berperan besar bagi lahirnya
peraturan perundang-undangan yang diskriminatif.
Di beberapa daerah, kebijakan yang bersifat diskriminatif masih sering
terjadi, antara lain dengan dibentuknya peraturan daerah (perda) yang mengatur
tentang tata cara berpakaian dan batas ruang gerak perempuan di ruang publik
serta melarang perempuan keluar malam tanpa muhrim.
Disamping itu, sejak diberlakukannya UU Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, laporan terhadap terjadinya tindakan kekerasan terhadap
perempuan malah semakin meningkat, sedangkan catatan terjadinya kekerasan
terhadap laki-laki tidak tersedia. Sistem sosial belum memungkinkan hal tersebut
dilakukan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) mencatat bahwa pada tahun 2005 terjadi 20.392 kasus kekerasan

12
terhadap perempuan. Angka tersebut meningkat menjadi 22.512 kasus pada tahun
2006.
Selain itu, Indonesia sebagai negara yang juga meratifikasi berbagai
konvensi, salah satunya adalah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women/CEDAW) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984,
tetapi dalam tataran pelaksanaan ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut
belum sepenuhnya dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam
penyelesaian kasus-kasus yang berhubungan dengan tindakan diskriminasi
khususnya diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam konteks kesenjangan ekonomi, diskriminasi pada tingkat kebijakan
juga terjadi pada kelompok masyarakat kurang mampu. Dalam kaitan itu,
beberapa peraturan perundang-undangan, terutama pada tingkat operasional,
menetapkan berbagai persyaratan tertentu yang mengakibatkan sulitnya kelompok
masyarakat kurang mampu untuk memperoleh pelayanan publik hampir pada
semua bidang. Hal itu antara lain tercermin dari tingginya biaya pendaftaran
perkara perdata pada pengadilan tingkat pertama, sehingga menyulitkan kelompok
masyarakat yang kurang mampu untuk memperoleh pelayanan publik di bidang
hukum atau memperoleh keadilan. Kendala yang sama juga dialami oleh
kelompok masyarakat kurang mampu dalam memperoleh pelayanan publik pada
bidang kehidupan lainnya.
Pada tingkat pelaksanaan, permasalahan utama terletak pada kurangnya
pemahaman masyarakat termasuk para penyelenggara negara dan aparat penegak
hukum akan pentingnya kesamaan cara pandang dalam upaya penghapusan
diskriminasi dalam berbagai bentuk, misalnya terminologi kekerasan dalam
rumah tangga yang sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan fisik,
padahal peraturan perundang-undangan memberikan arti luas, antara lain meliputi
kekerasan ekonomi (penelantaran ekonomi) dan kekerasan psikis.
Hal yang perlu mendapat perhatian khusus berkaitan dengan upaya
penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk ialah dalam penyelenggaraan
pelayanan umum. Keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik

13
merupakan isu yang sering kita dengar dari masyarakat. Secara umum yang
menjadi permasalahan adalah kelambanan proses pelayanan terhadap kelompok
masyarakat yang kurang mampu dibandingkan dengan kelompok yang secara
ekonomis lebih mampu.
Pada kenyataannya, beberapa contoh yang telah tersebut di atas belumlah
mewakili kasus-kasus diskriminasi di Indonesia. Mengingat bahwa bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk, kemajemukan yang besar
tersebut akan semakin besar potensinya dalam memunculkan kasus-kasus
diskriminasi lain jika tidak ditangani secara baik dan tepat.
2.5. Keragaman Bangsa Indonesia
Berdasarkan teori kultur dominan, masyarakat multikultur di Indonesia dalam
lingkup provinsi dapat dikategorikan menjadi empat:
1) Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya. Beberapa
provinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah lima provinsi di
Jawa (Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Jawa Barat), Bali, Gorontalo,
Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat,
Nangroe Aceh Darusalam
2) Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di luar wilayah teritorialnya. Untuk
kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi
mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung (Peminggir, Pepadun,
Abang Bunga Mayang) justru menjadi minoritas.
3) Beberapa etnis memiliki jumlah yang berimbang, dapat dikateorikan lagi
menjadi:
Perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar Kategori
ini kebanyakan berasal dari etnis diaspora seperti Batak, Bugis, Melayu,
Minahasa, dan Buton di wilayah teritorialnya. Selain itu, etnis Banten
juga paling banyak jumlahnya meskipun tidak dominan. Beberapa
provinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah: Banten,
Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jambi, Riau,
Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

14
Perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis pendatang lebih besar
Kategori ini kebanyakan terjadi di wilayah dimana para pendatang yang
justru “membangun” wilayah di perantauan, terutama DKI Jakarta,
Kalimanatan Timur, Kalimantan Tengah, dan Bengkulu. Di ketiga
propinsi ini orang Jawa merupakan etnis yang jamlahnya terbesar.
4) Beberapa etnis memiliki jumlah yang berimbang, namun yang terbanyak adalah
kumpulan beberapa etnis (kelompok lain-lain), yaitu Maluku, Maluku Utara,
Papua, dan Sulawesi Tengah.
Pemahaman terhadap multikultural sendiri sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari pengertian kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang
menjadi kunci pemahaman konsep multikulturalisme. Kebudayaan merupakan
sekumpulan nilai moral untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan.
Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan
dalam kesetaraan, biak secara individual maupun secara kelompok dalam
kerangka kebudayaan. Heterogenitas kekayaan Negara Indonesia ini terekatkan
dalam bhineka tunggal ika. Dengan kata lain, kekayaan budaya dapat bertindak
sebvagai faktor pemersatu, yang sifatnya majemuk dan dinamis. Tidak ada
kebudayaan Indonesia, bila bukan terbentuk dari kebudayaan masyarakat yang
lebih kecil.
Sebagai sebuah konsep, mutikulturalisme manjadi dasar bagi tumbuhnya
masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial. Dengan
demikian, bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat dan kelancaran tata
kehidupan masyarakat.
Melihat kemajemukan Indonesia yang begitu luasnya terdiri dari sedikitnya
500 suku bangsa, maka mutikulturalisme hendaknya tidak hanya sekedar retorika,
tetapi harus diperjuangkan sebagai landasan bagi tumbuh dan tegaknya proses
demokrasi, pengakuan hak asasi manusia, dan akhirnya bermuara pada
kesejahteraan masyarakat. Upaya itu harus dilakukan jika melihat berbagai
konflik yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air beberapa waktu lalu. Konflik
itu mengindikasikan belum tuntasnya penbentuka masyarakat mutikultural di
Indonesia. Munculnya konflik antar suku misalnya, menunjukkan belum

15
dipahaminya prinsip mutikulturalisme yang mengakui perbedaan dalam
kesetaraan. Pemahaman nilai-nilai kesetaraan dalam perbedaan itulah yang
senantiasa dilakukan secara aktif baik oleh tokoh masyarakat, tokoh partai,
maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, pemahaman bahwa
bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai kebudayaan
harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesetaraan setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat
tradisional merupakan unsur dasar dari prinsip demokrasi yang terkandung dalam
pengakuan terhadap kesetaraan dan toleransi perbedaan dalam kemajemukkan.
Tuntutan kesetaraan mungkin belum beberapa abad terakhir ini dimulai oleh
manusia. Tentunya seruan dengan suara kecil malah yang hamper tidak terdengar,
pada ribuan tahun yang lalu suda ada. Tingkatanya rakyat jelata, tetapi
berkeinginnan agar menjadi seapadan dengan para bangsawan, dengan para orang
kaya serta berkuasa bahkan memjadi anggota kalangan sang bagianda raja. Kalau
seandainya setiap orang mau memikirkan matang-matang keinginan untuk setara
itu, biasanya dan selalu datang dari pihak yang kurang beruntung untuk menyamai
kaum yang sedang atau sudah beruntung.
Sudah adakah yang sebaliknya? Mungkin saja pernah ada dan contohnya
bisa kita ambil misalnya saja seorang raja yang ingin hidup seperti rakyat biasa,
seorang pemimpin atau khalifah yang amat merakyat. Mungkin yang dijalani oleh
Umar bin Abdul Aziz adalah seperti itu. Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad
adalah contoh lain yang paling mengena. Seorang penguasa seperti dia masih
hidup di rumahnya yang kecil sejak dia masih dosen, tidur bukan di atas temapat
tidur, tetapi di atas kasur yang digelar dilantai, kalau bersembahyang di dalam
masjid, dia duduk dimana saja, di tengah jamaah lain, tidak menuju shaf paling
depan seperti presiden lainnya yang selalu begitu.
Kalau sekarang ini ada yang meneriakkan kesetaraan mungkin sekali adalah
karena jurang yang memisahkan kaum yang merasa dirinya tidak setara dengan
kaum yang ingin disetarai, semakin suram dan semakin lebar saja. Kesetaraan ini
tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan
diatas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang

16
lain. Republik yang sudah berumur tua untuk ukuran manusia, 65 tahun saja tidak
ada keadilan dalam kehidupan berbangsa. Keadaan adil dan makmur yang
menjadi idaman seluruh rakyat Indonesia tidak pernah datang sampai sekarangdan
kemungkinan besar di masa yang akan dating nanti.
Untuk mencapai kesetaraan itu sebaiknya dengan cara menaikkan derajat,
peringkat, kondisi serta kemampuan setiap perorangan ketingkat yang diingininya
dengan upaya sendiri-sendiri untuk tahap awal. Ini adalah satu-satunya jalan.
Jangan mengajak teman sejawat terlebih dahulu hanya untuk membentuk mass
forming. Mass forming seperti ini akan menjadi utuh kalau para pemebentuknya
memang memiliki peringkat yang setara. Kalau isi para pembentuknya tidak sama
kemampuannya, visinya dan tugasnya maka masa yang dibentuknya akan tidak
utruh serta mudah tercerai-berai. Yang memilukan adalah bahwa setiap orang
yang menpunyai ambisi untuk menggerakkan massa untuk mencapai kesetaraan,
kurang mengamati sekelilingnya sendiri.
Dengan identitas pluralis dan multikulturalis itu bangunan interaksi dan
relasi antara manusia Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan
menandai cara berfikir dan perilaku bangsa Indonesia, apabila setiap orang
Indonesia berdiri di atas realitas bangsanya yang plural dan multikultural itu.
Identitas kesetaraan ini tidak akan mucul dan berkembang dalam susunan
masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok
terhadap kelompok yang lain. Kesetaraan merupakan identitas nasional Indonesia.
2.6. Solusi Penyelesaian Masalah Diskriminasi
Dalam menghapus permasalahan diskriminasi ini sangat diharapkan
partisipasi berbagai pihak. Untuk itu penulis menawarkan beberapa solusi pada
setiap sisi yang terlibat antara lain:
1) Keagamaan
Dengan dasar Al-Qur’an:

17
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (Q.S. Al Hujurat:13)
Maka diskriminasi dapat dihilangkan dengan cara-cara berikut:
a) Gemar bersilaturahmi
b) Menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan
c) Bersikap toleransi (tasamuh) terhadap sesama umat beragama dan tidak
memaksakan keyakinan agama kepada orang lain.
d) Aktif dalam kegiatan yang tujuannya mengahapus diskriminasi.
e) Tidak menimpakan kesalahan kepada orang lain.
f) Tidak menghina, berburuk sangka , bahakn memfitnah orang lain.
g) Selalu beribadah kepada Allah dan tidak menyukutukan-Nya, serta berbuat
baik kepada sesama.
2) Pemerintahan
Berdasarkan pandangan dan pertimbangan, undang-undang yang dibuat oleh
pemerintah hendaklah harus mengenai aspek berikut:
a) Asas dan tujuan penghapusan diskriminasi ras dan etnis
b) Tindakan yang memenuhi unsur diskriminatif
c) Pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami tindakan
diskriminasi ras dan etnis
d) Penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk
tindakan diskriminasi ras dan etnis yang diselenggarakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, serta seluruh warga negara
e) Pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras
dan etnis oleh Komnas HAM
f) Hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam
mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya
g) Kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya penghapusan
diskriminasi ras dan etnis
h) Gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan etnis

18
i) Pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan berupa
perlakukaan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan
berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau
pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.
Di samping itu pemerintah juga harus mempercepat penyusunan RUU Anti-
Diskriminasi Ras dan Etnik yang saat ini sedang dilakukan pembahasan antara
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai salah satu upaya untuk
menghapuskan diskriminasi dalam berbagai bentuk terutama diskriminasi rasial.
Dengan demikian, diharapkan RUU itu dapat segera disahkan dalam waktu dekat.
Serta meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Culture Rights
(ICESCR) dan I (ICCPR) melalui UU No. 11 dan UU No.12 Tahun 2005, saat ini
sedang dilakukan proses harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan
untuk mewujudkan kepastian hukum di bidang tersebut.
Penghapusan diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik juga
harus terus dilakukan melalui berbagai penyederhanaan persyaratan, prosedur
serta peningkatan transparansi. Dalam rangka mendukung peningkatan investasi
telah dilakukan pendelegasian wewenang kepada 33 Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan HAM serta peningkatan kualitas pelayanan melalui proses sistem
informasi penyusunan prosedur, standardisasi, persyaratan pelayanan jasa hukum.
3) Pendidikan
Sudah saatnya memikirkan pendidikan multikultur yang mengembangkan
konsep toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyadari
tentang sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan
reorientasi pembelajaran agama kepada para peseta didik dengan tetap
mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing agama yang
diajarkan tetapi dengan mengembangkan konsep multiculturalism
education/learning. Karena dengan begitu mekanisme manajemen konflik akan
bisa dilaksanakan.

19
Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors pada tahun 1996
mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu:
a) Learning to know (belajar untuk mengetahui)
Yaitu memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan
keseempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlah kecil mata
pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar)
sehingga memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan
yang disediakan sepanjang hayat.
b) Learning to do (belajar untuk berbuat)
Yaitu untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga
lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan
bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum
muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat
informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal
melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja.
c) Learning to live togather, learning to live with others (belajar
untuk hidup bersama)
Yaitu dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan
apresiasi atas interdependensi melaksanakan proyek-proyek bersama dan
belajar mengatur konflik dalam semangat menghormati nilai-nilai
kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.
d) Learning to be ( belajar untuk menjadi seseorang)
Yaitu mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak
mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang
semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan
keterampilan berkomunikasi.
4) Kebangsaan
Solusi yang pantas untuk dikembangkan lainnya adalah pembangunan
karakter dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB).
Dalam hal ini, karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa

20
Indonesia yang (pernah) dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dan
sebagainya. Sedangkan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat
mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa.
Karakter dan semangat kebangsaan seperti itu akan berkembang, baik secara
natural maupun kultural, menuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam konteks NCB, bangsa itu adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan. Pada
akhirnya persatuan dan kesatuan merupakan konsekuensi logis pengembangan jati
diri dan keinginan mendasar untuk berbangsa.

21
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya, ada beberapa
kesimpulan yang dapat diambil yaitu:
1) Diskriminasi merupakan tindakan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung atau tidak langsung didasarkan pada perbedaan manusia yang
menyebabkan ketidakseimbangan terhadap perorangan atau kelompok.
2) Suatu konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi, dimana perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya
adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya.
3) Perilaku diskriminasi dapat terbentuk dari berbagai hal atau faktor. Faktor
yang paling berpengaruh dalam terbentuknya adalah terbentuknya
segementasi dan stratifikasi yang tidak seimbang atau disalahartikan.
4) Konflik yang berkepanjangan merupakan dampak dari perilaku
diskriminasi.
5) Dengan keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia, sangatlah penting untuk
memahami, menghargai, mengakui dan menerima keberagaman yang sudah
menjadi realitas sosial.
6) Penyelesaian diskriminasi dan konflik dapat ditempuh melalui tindakan-
tindakan yang solutif di bidang keagamaan, pemerintahan, pendidikan dan
kebangsaan.
3.2. Saran
Berdasarkan analisa dan pengamatan yang dilakukan penulis, saran-saran
yang pantas untuk dilakukan antara lain:
1) Setiap orang adalah sama di hadapan Allah SWT, hanya taqwa yang
membedakannya.

22
2) Biasakanlah hidup dengan nilai-nilai keagamaan dan rasa cukup, syukur
serta tidak berlebihan.
3) Mulailah untuk membentuk rasa sosial dan saling toleransi serta buanglah
keangkuhan.
4) Teruslah belajar dan belajar dan menerapkan apa yang didapat, karena
dengan hal tersebut orang-orang akan menjadi semakin baik seiring
berjalannya waktu.

23
DAFTAR PUSTAKA
Andarimsa, Wenaldy, 2010, Pluralisme Indonesia, Hubungan Internasional Unikom, Diakses dari www.google.com pada 14 Oktober 2011 pukul 23.04 WIB.
Anonimus, 2011, Kemajemukan Indonesia dan Konflik Sosial.doc, Diakses dari www.google.com pada 14 Oktober 2011 pukul 23.00 WIB.
Anonimus, 2011, Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk: Bab 9 dan Bab 10.doc, Diakses dari www.google.com pada 14 Oktober 2011 pukul 23.04 WIB.
CWGI, 2007, Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) di Indonesia.pdf, Jakarta.
Danandjaja, James, Prof, Dr, MA., Diskriminasi Minoritas Merupakan Masalah Aktual sehingga Perlu Ditangani Segera.pdf. Diakses dari www.google.com pada 14 Oktober 2011 pukul 22.58 WIB.
Febriyanti, Novi, dkk., 2011. Makalah Ilmu Sosial Budaya Dasar: Manusia, Keragaman dan Kesetaraan.pdf, Jurusan Teknik Elektro-Fakultas Teknik, Palembang, Universitas Sriwijaya.
Muttaqin, Tatang, 2006, Strategi dalam Membangun Masyarakat Multikultur.doc, Diakses dari www.google.com pada 14 Oktober 2011 pukul 23.05 WIB.
Nitibaskara, T.R.R, 2002, Paradoks Konflik dan Otonomi Daerah: Sketsa Bayang-bayang Konflik Dalam Prospek Maasa depan Otonomi Daerah, Peradaban, Jakarta.
Septianingrum, Herwinda, dkk., 2010, Proposal Ilmu Sosial Budaya Dasar: Keragaman Etnis dan Ras di Indonesia.pdf, Program Studi Teknik Informatika-Fakultas Teknik, Malang, Universitas Muhammadiyah Malang.
Sudiadi, Dadang, 2011, Menuju Kehidupan Harmonis Dalam Masyarakat Yang Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan di Indonesia.doc. Diakses dari www.google.com pada 14 Oktober 2011 pukul 23.18 WIB
Syamsuri, Drs. H., 2007, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Erlangga.
Theodorson, G. A. dan Theodorson A. G., 1979, A Modern Dictionary of Sociology, London, Barnes & Noble Books.

24
Yuliani, Sri, Waria: Warga Negara yang Tersisihkan dalam Pelayanan Publik.doc, Program Studi Administrasi Negara FISIP UNS, Diakses dari www.google.com pada 14 Oktober 2011 pukul 23.08 WIB.