Makalah Imam Syafi'i Dan Cara Pengambilan Hukumnya Catatan Mahasiswa Syari'Ah
-
Upload
ahmad-rivai -
Category
Documents
-
view
145 -
download
3
description
Transcript of Makalah Imam Syafi'i Dan Cara Pengambilan Hukumnya Catatan Mahasiswa Syari'Ah
…
…
…
…
…
…
CARA PENGAMBILAN HUKUM IMAM
SYAFI’IMakalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyriq
yang diampu oleh Bapak Ali Ridho L.c
Disusun Oleh :
AGUS SANROSAD
AHMAD FAIYUN
AJI SANTOSO
AHAKINA KHUSNIATY W
ANA RESTYA
FSHI / AS SEMESTER V
UNSIQ JAWA TENGAH DI
WONOSOBO
2011
…
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
1 of 15 10/2/2012 8:35 AM
BAB I
PENDAHULUANDalam islam kita mengenal empat imam madzhab besar, yang tokoh-
tokohnya terdiri dari Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Pandangan-pandangan dari empat ke empat madzhab lebih dikenal
kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai
perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan
penerapan hukum islam[1]
. Namun disini pemakalah hanya
akan membahas sedikit mengenai imam Syafi’i, bagaimana kisah
hidupnya, cara pengambilan hukum dan sumber hokumnya. Karena
Imam Syafi’I secara khusus dikenang karena membangun dan
mensistematisasi metode juris prudensi (secara tradisional disebut ushul
Fiqih) yang membahas dalil-dalil syara’utama, seperti Al Qur’an,
as-Sunnah, Ijma’, Qiyas dan beberapa sumber bernilai lainnya yang tidak
seluruhnya diterima oleh seluruh madzhab-madzhab dibidang hokum.[2]
LATAR BELAKANG MASALAH
1. Siapakah Imam Syafi’I dan bagaimana kehidupannya?
2. Jelaskan mengenai pola pemikiran, factor- factor yang mempengaruhi
dan metode ijtihad imam Syafi’i dalam menetapkan hokum islam?
3. Bagaimana seluk beluk Qaul Qodim dan Qoul Jadid?
BAB I
PEMBAHASAN
Riwayat singkat kehidupan Imam Syafi’i
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa
awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan
dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah
hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan
‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam
memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya
masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara
umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang
dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari
penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun
menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka
tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
2 of 15 10/2/2012 8:35 AM
pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
a. Kelahiran
Ia lahir di Gaza palestina Kebanyakan ahli sejarah berpendapat
bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat
ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah
kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli
sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun
ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu
Hanifah[3] .
b. Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia
termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin
Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi
Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr
bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar
bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-
Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin
Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’,
dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama
As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu
`anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga
terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi.
Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani
Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang
melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani
Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan
jari jemari kedua tangan beliau. “
HR. Abu Nu’aim
Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66
C. PENDIDIKAN IMAM SYAFI’I
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun
kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek
moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil
Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra
sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani
Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad
bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
i) Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada
Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik
dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
3 of 15 10/2/2012 8:35 AM
dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis
dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad
bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan
memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu
Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat
mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`i sendiri sangat terkesan dan
sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin
Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan
pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik
bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari
Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada
Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik
menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan
kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak
ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab
Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca
Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”[4]
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa
guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas,
kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga
duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di
Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin
Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di
majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits,
memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang
menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal
lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan
gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau
tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam
berbagai periwayatan ilmu.
ii) Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di
sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh
beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan
banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour
ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak
mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di
negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan
Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
ii) Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia
menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran
yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid. Dan selama beliau di Iraq,
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
4 of 15 10/2/2012 8:35 AM
yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid. Dan selama beliau di Iraq,
dapatlah menambah dan meluaskan ilmu pengetahuan fiqh ahli Iraq;
pun beliau dapat pula menambah pengetauan tentang cara-cara
Qadhy (hakim) memeriksa perkara dan memutuskan urusan,
cara-cara memberi fatwa dan menjatuhkan hokum dan sebagainya
yang dilakukan oleh para Qadht dan Mufty disana (kepala agama
yang bertanggung jawab tentang masalah-masalah agama), yang
selamanya belum pernah beliau ketahui selama di Hijaz.[5]
Beliau juga
mendirikan madzhab Qadim / Qaul Qadim.[6]
iii) Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun
187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan
nasikh dan mansukhnya. Kalau di Baghdad ia menamakan madzhab
Al-Qadhim, maka madzhab di Mesir ini disebut Al-Jadid . ada
diantara fatwanya, pada Al-Qadim berbeda dengan fatwanya di Al
Jadid ini. Disebutkan Qaulul Qadim dan Qaulul Jadid[7]
. Di sana beliau
wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab hari jumat 204 H[8]
.
D. KARYA TULIS IMAM SYAFI’I
Kami hanya mengambil tiga karya Imam Syafi’I yang paling
termashyhur saja, diantaranya adalah :
i) Kitab Ar Risalah
Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana
didalamnya membahas tentang beberapa ketentuan yang nada di
dalam dua nash, baik itu terdapat dalam Al Qur;an dan al-Hadits,
masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-Mansukh,
syarat-syarat penerimaan sanad dari para perowi tunggal, masalah-
masalah yang berkaitan dengan Ijma’, Ijtihad, Istihsan dan
al-Qiyas.[9]
Kitab ini diriwayatkan oleh
Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murady[10]
.
ii) Kitab Al Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam
Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi,
Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang
madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan
perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah
perkataanku di belakang tembok,”[11]
pembahasan dalam kitab ini,
terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan ‘Ibadah, Muamalah,
masalah pidana da Munakahat. Bahkan dalam kitab ini dijelaskan
tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan al-Syaibaniy
terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
5 of 15 10/2/2012 8:35 AM
antara Imam Abu Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka
dapat dikatakan bahwa kitab al-Umm ini, merupakan hasil dari
penggabungan beberapa kitab dalam berbagai pandangan
Mujtahid.[12]
iii) Kitab ‘’Ikhtilaf Malik Wa Syafi’I”
Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali
dan Ibu Mas’ud dan antara Imam Syafi’I dengan Abu Hanifah.
E. POLA PEMIKIRAN, FAKTOR-FAKTOR yang MEMPENGARUHI DAN
METODE ISTIDLAL IMAM SYAFI’I DALAM MENETAPKAN HUKUM
ISLAM
i) Pola Pemikiran dan Faktor
Imam Syafi’i termasuk salah seorang imam madzhab
yang masuk kedalam jajaran “Ahli Al Sunnah wal Jama’ah”, yang
didalam bidang “furu’iyyah” ada dua kelompok yaitu : “Ahl
al-Hadits” dan “Ahl al-Ra’yu” dan beliay sendiri termasuk “Ahl
al-Hadits”. Imam Syafi’I termasuk imam madzhab yang mendapat
julukan “Rihalah fi Thalab al-‘Ilm” yang pernah meninggalkan
Mekkah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik
dank e Irak menuntut ilmu ke Muhammad Ibn al-Hassan (seorang
murid Imam Abu Hanifah). Karena kedua guru inilah, beliau
termasuk kelompok Ahl al-Hadits, tetapi dalam bidang fiqih
banyak terpengaruh oleh kelompok “Ahl al-Ra’yu” dengan melihat
metode penerapan hokum yang beliau pakai.
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul
Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama
masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu
menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah
dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli
kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah
Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil
pendapat yang lain.”Karena komitmennya mengikuti sunnah dan
membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa
al-Hadits.
Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah
berarti ia telah menerima apa yang datang dari Allah, karena Dia
telah mewajibkan kita untuk mentaatinya”. Beliau berdalil dengan
sejumlah ayat di antaranya firman Allah,” Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”, (QS. 4:59).
Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari
sunnah sebagai hujjah.
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
6 of 15 10/2/2012 8:35 AM
sunnah sebagai hujjah.
1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah
Rasulullah dan menyuruh kita mematuhi perintah dan menjauhi
larangannya.
2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah
Allah tersebut kecuali dengan mengamalkan apa yang datang
dari Rasulullah dengan lapang dada dan bersih hati dari
keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan
hukum-hukumnya.
3. Seorang muslim membutuhkan sunnah Rasulullah
untuk menjelaskan globalitas isi Al-Qur’an.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi semua
atau sebagian syarat –syarat hadits mutawattir. Yaitu
diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika
mereka tidak mungkin berdusta, dan diriwayatkan dari orang
banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu yang bisa
dirasakan oleh indera.
ii) Sumber hukum dan Metode Imam Syafi’i dalam
berhujjah
Oleh karena itu Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan
sunnah pada al Qur'an, tetapi juga berupaya meletakkan asumsi
dasar bahwa sunnah adalah bagian organik dalam struktur al
Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Karena al Qur'an
dan Sunnah menjadi struktur organik semantik, maka syafi'I pun
dapat membangun ijma' atas dasar struktur tersebut hingga
menjadi teks tasyri' yang memperleh signifikasinya dari
pengertian teks yang tersusun dari al Qur'an dan sunnah. Sumber
ke empat dalam fiqih Imam Syafi'i adalah qiyas yang juga diambil
dari teks yang tersusun dari ke tiga dasar sebelumnya.
Para ulama' setelah Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai
sumber hukum Islam pertama dan sunnah sebagai sumber kedua
setelah al kitab, begitu juga sebelum Imam Syafi'i, seperti Imam
Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam pengambilan hukum
pertama harus dari al kitab, kemudian kalau tidak diperoleh, baru
mengambil dari sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin
Jabal ketika ditanya oleh nabi: "Dengan apa kamu memutuskan
sesuatu?", kemudian jawabnya: "Saya memutuskan sesuatu
dengan Kitab Allah. Jika tidak didapati di dalamnya maka dengan
sunnah rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka saya
berijtihad dengan akal.
Syafi'i meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam
hal sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i
tidak menyamakan al Qur'an dan sunnah dalam segala aspek,
menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa al Qur'an
mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya
sedangkan kebanyakan sunnah tidak mutawatir juga
membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, al Qur'an adalah kalam
Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
7 of 15 10/2/2012 8:35 AM
Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga
menjelaskan bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an
dalam masalah aqidah.
Al Qur'an
Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al Qur'an,
berdasarkan berbagai uraiannya, para pengikutnyalah yang
memberikan definisi terhadap al Qur'an. Misalnya definisi yang
diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa al Qur'an adalah lafadz
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mu'jizat
dan membacanya merupakan ibadah.
Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh
al Qur'an terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di
dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka sejalan dengan itu ia
mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari
bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia
dapat mengucapkan syahadat, membaca al Qur'an, dan
mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan fardhu ‘ain yang
berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab
secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah)
atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya penguasaan
bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al
Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.
Sunnah
Meskipun Syafi'i tidak mengemukakan rumusan dalam
bentuk definisi dan batasan sunnah, dapat diketahui dengan jelas
sunnah menurut Syafi'i yaitu perkataan, perbuatan, atau taqrir
yang disandarkan kepada nabi SAW. Secara umum, batasan
seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang kemudian.
Seorang pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat
memastikan bahwa penegakkan sunnah sebagai sumber hukum
merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahkan yang paling
asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan signifikasi historis
dari pemberian gelar nashir al Sunnah (pembela tradisi)
kepadanya.
Syafi'i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah
yang wajib diikuti samahalnya dengan al Qur'an. Untuk
mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil, baik dalil naqli
maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya
kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits
yang shohih (tsabit) dari Rosulullah SAW, maka dalil dalil berupa
perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang
telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi mempunyai pilihan
kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan
"Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal ini dunnah) suatu saat
dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali lainnya tidak".
Tentang hubungan antara sunnah dengan al Qur'an,
Syafi'i mengemukakan bahwa fungsi sunnah sebagai berikut[13]
:
a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
8 of 15 10/2/2012 8:35 AM
a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an
b) Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global
(mujmal)
c) Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur
dalam al Qur'an
Bahwa sunnah tidak dapat menaskh al-Kitab. Fungsi
sunnah terhadap al-Kitab hanyalah mengikuti apa yang
diturunkan sebagai naskh,danmenafsirkan apa yang diturunkan
secara global (mujmal)… Dan firman Allah “tidak ada sepatutnya
bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” (Yunus : 15)
merupakan penjelasan dari apa yang telah dikemukakan, bahwa
al-kitab hanya bias dinaskhkan oleh al-Kitab . Allah
mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang menghilangkan
apa yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh
siapapun diantara makhlukNya.[14]
Syarat syarat penerimaan sunnah
Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar
al-ammah (hadits mutawatir) dan kabar khashah (hadits ahad). Ia
memandang hadits mutawatir itu pasti, sehingga hadits tersebut
mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits ahad
hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada
pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu
hadits dapat diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh
para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada masa kemudian, yakni
menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang harus terpenuhi
pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang
diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam
hadits tersebut.
2. Ijma'
"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena ijma' itu
tidak mungkin salah" (Syafi'i). Syafi'i menyepakati bahwa ijma'
merupakan hujjah agama (hujjatd din). Ijma' menurut Syafi'i
adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa tentang
hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al
Qur'an dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an
dan sunnah. Oleh karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan
sunnah bukan merupakan hujjah dan dalam kenyataannya tidak
mungkin ada ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah.
Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan
kepada semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mjtahid itu
sepakat memutuskan/menentukan hukumnya[15]
.
Ijma' umat terbagi menjadi dua:
Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama'
mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang
menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di
masanya.
Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam,
tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
9 of 15 10/2/2012 8:35 AM
tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
menyetujui.
Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah
ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang
pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya.
Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam
ijma' yang lain, yaitu:
Ijma' sahabat
Ijma' Khalifah yang empat
Ijma' Abu Bakar dan Umar
Ijma' ulama Madinah
Ijma' ulama Kufah dan Basrah
ijma' itrah (golongan Syiah)
Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran,
sebab ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran
tersebut dapat berupa dalil qath'i yaitu Qur'an dan Hadits
mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu Hadits ahad dan
qiyas[16]
.Rumusan Syafi'i berbeda
dengan rumusan Imam Malik yang menganggap kesepakatan
penduduk Madinah sebagai ijma' dan rumusan madzhab Zahiri
yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma'
yang mula-mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma
sahabat dan ia menerima ijma' sebagai hujjah di tempat tak ada
nash. Kemudian yang perlu di ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak
menerima ijma' sukuti.
Sedangkan menurut Dr. Muh Zuhri[17]
yang
dimaksud ijma menurut Imam Syafi’ri adalah kesepakatan seluruh
ulama dalam kurun waktu yang sama, disana tidak boleh ada
seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus
yang dicarikan kesepakatannya. Teori ijma’ Imam Syafi’i tentunya
sulit diwujudkan kalau hendak dikatakan tidak mungkin. Namun
tampaknya ide ijma’ sebagai sumber hokum ini merupakan upaya
antisipasif agar masyarakat islam tetap terpelihara dalam
persatuan. Ulama fiqih termasuk Imam Syafi’I melihat pertikaian
politik dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua
masyarakat islam sudah sampai pada titik yang membahayakan.
Perpecahan ummat yang disebabkan perbedaan inilah yang
dirasa membahayakan persatuan. Lembaga ijma’ dimaksudkan
untuk menyatukan pandangan di kalangan para ulama. Dengan
kesatuan ulama maka akan terwujudlah persatuan ummat islam.
3. Qiyas
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
10 of 15 10/2/2012 8:35 AM
Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula
menguraikan dasar qiyas. Para fuqaha sebelumnya membahas
tentang ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya dan
dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma
Ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih.
Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus
dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang
tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang
salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya,
dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Juga
diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas.
Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan
macam-macam istinbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas.
Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang pertama dalam
menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat
ta'rif qiyas. Akan tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh,
bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan hakekat qiyas,
yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh ulama' ushul.
Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam
merumuskan definisi qias, namun secara implisit mereka
mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun qiyas. Hal ini
karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada
empat unsur pembentuk qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh
nash (ashl), kasus yang baru akan ditentukan hukumnya (far'u),
sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah ditentukan oleh nash
(hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat syarat
terhadap masing masing unsur qiyas tersebut.
Pembagian Qiyas
Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far
dan ashl menurut al-Syafi'i dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Qiyas yang iillat hukum cabangnya (far') lebih kuat
daripada iillat pada hukum ashl. Qiyas ini, oleh ulama ushul figh
Syafi'iyah disebut sebagai qiyas awlawi. Misalnya, mengqiyaskan
memukul pada ucapan "ah". Keharaman pada perbuatan
memukul lebih kuat daripada kaharaman ucapan "ah", karena
sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang
terdapat pada ucapan "ah".
2. Qiyas yang illat pada far' sama keadaan dan kekuatan
dengan 'illat yang pada ashl. Qiyas seperti ini, disebut oleh ulama
ushul Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-musawi. Misalnya
mengqiyaskan membakar harta anak yatim kapada memakannya
secara tidak patut dalam menetapkan hukum haram. Artinya
membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut
adalah sama-sama merusak harta anak yatim dan hukumnya
sama-sama haram.
3. Qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih lemah
dibamdingkan dengan illat hukum ashl. Qiyas seperti ini, disebut
dengan qiyas al-adna, seperti mengqiyaskan apel dengan
gandum dalam berlakunya riba fadhl, mengandung illat yang
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
11 of 15 10/2/2012 8:35 AM
sama, yaitu sama-sama makanan. Memperlakukan riba pada
apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum
karena illat lebih kuat.
QOUL-QODIM DAN QOUL-JADID, SERTA
KEDUDUKANNYA DALAM MADZHAB.
Qaul Qodim dan Qoul jaded merupakan produk hokum
yang bernuansa social-politik dan social-kultur adalah dua fatwa
Imam Syafi’i yang dilakukan di dua daerah yang berbeda sosio-
kultur dan sosio-politiknya yaitu :
· Qaul Qadim : dimana situasi bagdad saat itu
merupakan daerah yang sangat sederhana dan
boleh dikatakan sangat terbelakang disbanding
dengan daerah lain.
· Qaul jaded : dimana daerah Mesir saat itu
merupakan daerah Metropolis yang
mengharuskan untuk berinteraksi dengan
memodifikasi terhadap putusan-putusan atau
fatwa-fatwa yang sudah pernah diputuskan,
sehingga prinsip Maslahah menjadi pertimbangan
yang sangat penting dalam setiap mengambil
keputusan, sebab keputusan yang diambil dalam
wujud qaul jadid merupakan pertimbangan
terhadap qaul qadim.
Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap
pendapat Madzhab adalah ‘Qoul-Jadid’ seperti yang di katakan
Imam Syafi’i : “tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim
sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan Qoidah
Usuliyah : Jika seorang mujtahid berpendapat, kemudian setelah
itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap Ruju’/ralat
bagi yang pertama.
Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi :
1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim
harus ditinggalkan, kecuali beberapa masalah yang berkisar
antara 14 sampai dengan 30 masalah.
2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab
kecuali dengan jelas Imam Syafi’i mengatakan bahwa dia sudah
meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada penjelasan dari
Imam Syafi’i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab.
3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat
madzhab.
Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati
kebenaran, mengingat ulama Syafi’iyyah setelah meneliti dengan
seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang tersebut
dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid ,
kalaupun ada ulama Syafi’iyyah yang memakai dan berfatwa
dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau berijtihad dan
ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan
Imam Nawawi( 676 H).
Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
12 of 15 10/2/2012 8:35 AM
Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas
ulama, sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H)
dan Imam Nawawi : “Pendapat ini jelas salah, sebab antara Qoul
Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan,
apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus
dipakai sedang yang pertama di buang.
Sementara itu ada yang membandingkan dengan
madzhab Hanafi, yang bertentangan dengan madzhab Hanafi
adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan,
sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali ada
dalil yang lebih kuat, dan itu adalah pilihan Syech Abu Hamid
Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H ) justru
sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam
menetapkan hukum adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas.
Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum yang ada
di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya.
Imam Syafi'i pernah menetap di Baghdad, Iraq. Dan Selama
tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang mana
disebut sebagai Qaul Qadim. Karena adanya pergolakan serta
munculnya aliran Mu’tazilah yang ketika itu telah berhasil
mempengaruhi Kekhalifahan. Akhirnya Imam Syafi’i pindah ke
Mesir, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan
masalah sebelumnya (ketika tinggal di Baghdad). Imam Syafi’I
kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru, yang dinamakan
sebagai Qaul Jadid. Daerah/negara yang Menganut Mazhab
mayoritas Syafi’I : Libia, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia,
Palestina, Yordania, Libanon, Siriya, Irak, Hijaz, Pakistan, India
Jaziraa, dll.
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
13 of 15 10/2/2012 8:35 AM
DAFTAR PUSTAKA
Chalil, Moenawar.1965.Biography empat serangkai imam madzhab,
Jakarta : N.V Bulan- Bintang
Dyaya, tamar. Studi Perbandingan Imam Madzhab, Penerbit :
Ramadhani
Khallaf, Syekh Abdul Wahab.1955.ilmu Ushul Fiqih, Jakarta : PT Rineka
Cipta
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006.Fiqih Lima Madzhab, Jakarta :
Lentera
Syaltut, Mahmud. 1973.Fiqih Tujuh Madzhab, Bandung : CV Pustaka
Setia
Zayd, Nashr Hamid Abu. 1997.Imam Syafi’i Moderatisme Eklektisme
Arabisme, Yogyakarta : LKiS
Zein, Muhammad Ma’sum.2008.Arus Pemikiran Empat Madzhab,
Jombang : Darul Hikmah
Zuhri, Muh.1996.Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : PT
Raja Grafindo
http://pesantren.uii.ac.id/content/view/119/52/1/2/
di akses pada 20 Desember 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Syafi%27i
di akses pada 21 Desember 2011
[1] Tamar
Djaja (Studi perbandingan imam madzhab) hal 1
[2]
Hossein Nasr (islam: agama, sejarah dan peradaban) hal 45
[3]
Muhammad Jawad Mughniyah (Fiqh lima madzhab)pembukaan
[4] K.H Ali
Yafie (menggagas fiqih social) hal 45
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
14 of 15 10/2/2012 8:35 AM
Yafie (menggagas fiqih social) hal 45
[5]
Moenawar cholil (biography empat serangkai imam madzhab) hal 151
[6] Drs
Muh. Ma’sum Zein (Arus pemikiran 4 madzhab) hal 159
[7] Tamar
Djaya (studi perbandingan Imam madzhab) hal 154
[8] Prof Dr
Manmud Syalthut (fiqih tujuh madzhab) pembukaan
[9] Drs
Muh. Ma’sum Zein (Arus pemikiran 4 madzhab) hal 172
[10]
Moenawar cholil (biography empat serangkai imam madzhab) hal 216
[11]
Wikipedia.com//Imam Syafi’i
[12] Ibid
hal 172-173
[13] Nasr
hamid Abu-Zayd (imam syafi’i: moderatisme,ekletisisme,arabisme) hal 29
[14] Ibid
hal 38
[15]
Syekh Abdul Wahab Khallaf (Ilmu Ushul Fikih) hal 49
[16]
Wikipedia.org//ijma’
[17] Dr.
Muh. Zuhri (hokum islam dalam lintasan sejarah) hal 116-117
MAKALAH IMAM SYAFI'I DAN CARA PENGAMBILAN HUK... http://sanrosad.blogspot.com/2012/02/makalah-imam-syafii-dan-cara.html
15 of 15 10/2/2012 8:35 AM