MAKALAH Hukum Lingkungan

17
MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN DOSEN PENGASUH : YACOB FERDINAN MARTONO,SH.MH Disusun Oleh: NAMA : ERIK SOSANTO NIM : EAA 110 039 JURUSAN : HUKUM KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM TAHUN 2011

Transcript of MAKALAH Hukum Lingkungan

Page 1: MAKALAH Hukum Lingkungan

i

MAKALAH

HUKUM LINGKUNGAN

DOSEN PENGASUH : YACOB FERDINAN MARTONO,SH.MH

Disusun Oleh:

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

JURUSAN : HUKUM

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

TAHUN 2011

Page 2: MAKALAH Hukum Lingkungan

ii

TEMA : Lahan Gambut Menyangkut REDD

SUB TEMA : Lahan Gambut Terkait Pangan, Pemanfaatan, Kesejahteran,

Konstitusi, dan Keterkaitan Ekologi Dan Keberlanjutan.

DOSEN PENGASUH : YACOB FERDINAN MARTONO,SH.MH

Disusun Oleh:

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

JURUSAN : HUKUM

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

TAHUN 2011

i

Page 3: MAKALAH Hukum Lingkungan

iii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan

Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai hukum lingkungan khususnya

lahan gambut menyangkut REDD.

Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya yang

berhubungan dengan tema dan sub tema di atas.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan

menambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini

masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini.

Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang membacanya tentang hukum lingkungan khususnya lahan gambut.

Palangka Raya, November 2011

Penyusun

ii

Page 4: MAKALAH Hukum Lingkungan

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 2

1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2

1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 2

1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Peranan Potensi dan Pengelolaan Lahan Gambut Terkait Pangan .......... 3

2.2 Peranan Lahan Gambut terkait Pemanfaatannya ..................................... 6

2.3 Peranan Pemanfaatan Lahan Gambut terkait Kesejahteraan ................... 7

2.4 Peranan Lahan Gambut terkait Konstiusi ................................................ 9

2.5 Lahan Gambut dan Keterkaitan ekologi serta keberlanjutan ................... 10

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 11

3.2. Saran ....................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

iii

Page 5: MAKALAH Hukum Lingkungan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Tanah gambut atau Organosol adalah tanah yang mempunyai lapisan atau horison H,

setebal 50 cm atau lebih atau dapat 60 cm atau lebih bila terdiri dari bahan Sphagnum atau

lumut, atau jika berat isinya kurang dari 0,1 g cm- 3. Ketebalan horison H dapat kurang dari 50

cm bila terletak diatas batuan padu. Tanah yang mengandung bahan organik tinggi disebut

tanah gambut (Wirjodihardjo, 1953) atau Organosol (Dudal dan Soepratohardjo, 1961) atau

Histosol(PPT,1981).

Gambut ini dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga

mencapai ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses

geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986). Gambut

terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir

sepanjang tahun.Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan

yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam

perombakan.

Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh paduan antara keadaan topografi dan curah

hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung

oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah. Ketebalan gambut pada

setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada: 1).Proses penimbunan yaitu jenis tanaman

yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan

tersebut, 2).Proses kecepatan perombakan gambut, 3).Proses kebakaran gambut, dan

4).Perilaku manusia terhadap lahan gambut. Gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih termasuk

kategori kawasan lindung sebagai kawasan yang tidak boleh diganggu.Kebijakan ini

dituangkan melalui Keppres No. 32 tahun 1990 yang merupakan kebijakan umum dalam

reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia. Berdasarkan besarnya potensi

sumberdaya, kendala biofisik dan peluang pengembangan, maka rawa khususnya gambut

pedalaman perlu mendapatkan perhatian serius. Gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal,

karena kendala biofisiknya sukar diatasi. Produktifitas gambut sangat beragam, ketebalan

gambut juga menentukan kesuburannya (Barchia, 2006).

2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas bahwa produktifitas

gambut sangat beragam bahkan ketebalan gambut juga menentukan kesuburannya, maka

perumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam makalah ini berdasarkan upaya

Page 6: MAKALAH Hukum Lingkungan

2

pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) lahan gambut adalah sebagai

berikut:

a) Peranan Potensi dan Pengelolaan Gambut terkait Pangan ?

b) Peranan Lahan Gambut terkait Pemanfaatan ?

c) Peranan Pemanfaatan Lahan Gambut terkait Kesejahteraan ?

d) Peranan Lahan Gambut terkait Konstitusi ?

e) Lahan Gambut dan Keterkaitan ekologi serta keberlanjutan ?

3. Tujuan Penulisan

Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :

a) Mengetahui Peranan gambut terkait potensi pengelolaan dan pemanfaataannya.

b) Mengetahui dan memahami Peranan gambut terkait pemanfaatan untuk kesejahteraan,

terkait konstitusi dan keterkaitan ekologi serta keberlanjutan.

4. Metode Penulisan

Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku

referensi yang berhubungan dengan hukum lingkungan khususnya gambut dan peranannya dan

situs internet yang langsung mengangkat pembahasan tentang peranan gambut dalam upaya

pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi.

5. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :

a) Sebagai media untuk menambah wawasan.

b) Bahan referensi aktual serta bahan bacaan dan pengetahuan.

Page 7: MAKALAH Hukum Lingkungan

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peranan Potensi dan Pengelolaan Gambut terkait Pangan

1. Potensi lahan gambut untuk tanaman pangan semusim

Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008), lahan gambut

yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (< 100

cm).Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih

tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Lahan

gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk

berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan

unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu

beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubi kayu, kacang panjang dan berbagai jenis

sayuran lainnya.

2. Pengelolaan air

Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi pengelolaan air,

yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman. Pembuatan saluran

drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman

pangan pada lahan gambut. Tanaman padi sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit

sedalam 10-30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan

keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam

organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin

tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam

saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut.

3. Pengelolaan kesuburan tanah

Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya ameliorasi untuk

meningkatkan PH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral,

pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk

meningkatkan PH dan basa-basa tanah.

Tidak seperti tanah mineral, PH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai PH 5 saja

karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan PH sampai tidak lebih

dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam organik

beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-bahan amelioran yang banyak

Page 8: MAKALAH Hukum Lingkungan

4

mengandung kation polivalen seperti kerak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai

Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan

produksi tanaman padi .

Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat rendah. Jenis

pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg. Walaupun KTK

gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan

sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan dosis rendah

agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat

alam akan lebih baik dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah

dan dapat meningkatkan PH tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation polivalen

seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi

kehilangan hara P melalui pencucian (Rachim, 1995) Tanah gambut juga kahat unsur mikro

karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan

pemupukan unsur mikro seperti terusi, magnesium sulfat dan seng sulfat masing-masing 15

kg ha-1 tahun-1, mangan sulfat 7 kg ha-1 tahun-1, sodium molibdat dan borax masing-

Page 9: MAKALAH Hukum Lingkungan

5

masing 0,5 kg ha-1 tahun-1. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada

tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah.

4. Strategi petani dalam meningkatkan kesuburan tanah gambut

Karena keterbatasan akses dan kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan bahan

amelioran, maka untuk meningkatkan kesuburan tanah, petani membakar seresah tanaman

dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Praktek ini dapat ditemukan di

kalangan petani yang menanam sayuran dan tanaman pangan secara tradisional di berbagai

tempat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi. Dengan cara

ini petani mendapatkan amelioran berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut.

Namun abu hasil pembakaran mudah hanyut dan efektivitasnya terhadap peningkatan

kesuburan tanah tidak berlangsung lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena bisa

memicu kebakaran hutan dan lahan secara lebih luas, mempercepat subsiden, meningkatkan

emisi CO2 dan mendatangkan asap yang mengganggu kesehatan serta mempengaruhi lalu

lintas. Untuk menghindari kebakaran, maka pembakaran serasah harus dilakukan secara

terkendali di satu tempat khusus berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga

api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan baik di lahan gambut di

Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di

lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut di bawahnya jenuh air supaya gambutnya

tidak ikut terbakar. Dalam jangka panjang pembakaran seresah dan gambut perlu dicegah

untuk menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan bimbingan

cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk bagi petani.

Keterangan : Potensi Lahan Gambut Untuk Pertanian Khususnya Pangan dan Perkebunan.

Page 10: MAKALAH Hukum Lingkungan

6

2.2 Peranan Lahan Gambut terkait Pemanfaatannya

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian masih pro dan kontra antara berbagai pihak,

walaupun dari pemanfaatan yang telah dilakukan belum nyata memberikan hasil yang

maksimal. Oleh karena itu,perlu diupayakan suatu kesepakatan yang mendasar tentang

pemahaman dari kata “pemanfaatan”.

Ada Beberapa Pemanfaatan Lahan Gambut Sebagai Berikut :

a) Gambut Untuk Pertanian

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian termasuk perkebunan dan tanaman industri

tergolong sangat rawan, terutama jika dilaksanakan pada gambut tebal di daerah

pedalaman (disebut gambut pedalaman). Kenapa? Jawaban yang pasti adalah jika lahan

gambut pedalaman dimanfaatkan untuk pengembangan komoditi-komoditi diatas,maka

mengharuskan adanya upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan

dengan cara membuat saluran drainase atau kanal. Sedangkan untuk jenis gambut pantai

didaerah pasang surut, pembuatan drainase atau kanal ditujukan untuk menyalurkan air

ke bagian dalam (beberapa kilometer dari tepi sungai atau laut). Tanpa membuat saluran

drainase atau kanal pada gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli setempat

(ramin, meranti rawa, jelutung, gemor, dll) yang bisa tumbuh dalam kondisi jenuh air

atau daerah yang dominan basah. Dibalik pembuatan drainase yang menyebabkan

penurunan air tanah, maka terjadi perubahan suhu dan kelembaban di lapisan gambut

dekat permukaan, sehingga mempercepat proses pelapukan dan permukaan gambut

semakin menurun.

Contoh penurunan permukaan lahan gambut :

1) Limin et al. (2000) melaporkan bahwa penurunan permukaan lahan gambut di

daerah Kalampangan (eks UPT Bereng Bengkel) paling sedikit 1-3 cm tiap tahun.

Limin (1998) menyatakan walaupun pelapukan bahan organik tersebut

menghasilkan hara bagi tanaman, pelapukan juga menghasilkan asam organik yang

berpengaruh lebih kuat dan dapat menyebabkan keracunan bagi tanaman.

Pembuatan saluran drainase atau kanal-kanal melintasi lapisan gambut tebal,

tampaknya belum banyak diketahui oleh banyak pihak akan berdampak negatif

jangka panjang.

2) Proyek PLG sejuta hektar yang mulai dibangun tahun 1996. Dengan program

kanalisasi yang mencincang habis hamparan gambut diantara 4 sungai besar

(Sabangau, Kahayan, Kapuas dan Barito), sejak itu pula terjadi perubahan drastis

neraca air pada 4 (empat) daerah aliran sungai (DAS)tersebut, sehingga kawasan eks

PLG merupakan penghasil asap terbesar di Kalimantan Tengah. Selain itu, kerugian

besar telah diderita oleh masyarakat asli setempat akibat perubahan ekosistem,

karena usaha tradisional yang telah diandalkan sebagai sumber pendapatan tetap

mengalami penurunan produktivitas hingga hilang (tidak dapat diusahakan lagi).

Page 11: MAKALAH Hukum Lingkungan

7

b). Kriteria Pemanfaatan Gambut

Kegagalan pemanfaatan gambut tidak lain disebabkan banyak faktor yang dilangkahi dan

tidak dipertimbangkan sebagai kriteria dalam pemanfaatannya. Dasar pemanfaatan lahan

gambut yang selama ini hanya mengandalkan KEPPRES No.32 Tahun 1990 yang

menyatakan bahwa ketebalan gambut lebih dari 3 meter untuk dikonservasi atau untuk

kehutanan dan kurang dari 3 meter dapat dijadikan kawasan produksi, tampaknya harus

ditinjau kembali. Mengacu dari pertemuan Tim Ad Hoc di BAPPENAS, Limin et al

(2003) menyatakan bahwa KEPPRES No. 23/1990 ditetapkan tidak berdasarkan hasil

riset dan fakta lapangan, melainkan hanya mengakomodir pendapat para peserta rapat

yang hadir dalampenetapannya. Tetap memberlakukan KEPPRES No. 32/1990 tersebut

dipastikan akan menyebabkan kerusakan hebat pada lahan gambut yang tersisa, dan

menyulitkan restorasi lahan gambut yang telah rusak. Oleh karena itu, selain harus

mempertimbangkan aspek budaya masyarakat dan aspek pasar.

c). Manfaatkan Gambut untuk Tanaman Hutan

Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap dipertahankan sebagai habitat ratusan species

tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat. Disamping kawasan

gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi manusia di sekitarnya

(produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi ekologi hutan rawa gambut

sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan hidrologi kawasan akan tetap

berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya tidak berubah. Mempertahankan

lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis pohon adalah beralasan. Hutan rawa

gambut memiliki jenis pohon bernilai ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan

data pada salah satu HPH yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa

populasi 10 jenis pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan

diameter ≥ 20 cm rata-rata 21 pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3/ha.

Diantara ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83% adalah ramin (Gonystylus bancanus

Kurz). Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan alami pohon-pohon bernilai

ekonomis tersebut, maka “Wise Use of Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi harus

dipaksa untuk melakukan perubahan yang justru mengakibatkan munculnya

permasalahan baru yang berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan.

2.3 Peranan Pemanfaatan Lahan Gambut terkait Kesejahteraan

Pro Kontra mengenai pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian sudah berjalan sejak

lama, berawal dari pembukaan besar-besaran lahan gambut pada era permulaan orde baru

1970-an. Pro kontra menghangat kembali setelah ditandatanganinya Letter of Intent antara

Pemerintah RI dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia yang mensyaratkan moratorium

selama dua tahun konsesi/pembukaan hutan gambut dan hutan alami mulai 1 Januari 2011.

“Satu pihak pemanfaatan lahan gambut telah memberikan dampak positif bagi

peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan di lain pihak, penentang

Page 12: MAKALAH Hukum Lingkungan

8

menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan gambut memberikan dampak negatif terhadap

lingkungan yang lebih besar daripada dampak positifnya dan menuntut pemanfaatan lahan

gambut untuk pertanian dihentikan. Kontroversi ini semakin tidak bertemu ujungnya, karena

seluruh pihak hanya berargumentasi di tingkat makro atau tingkat global,” ujar Prof. Sitanala

Arsyad, Guru Besar (emeritus) Konservasi Tanah dan Air Fakultas Pertanian IPB saat

menjadi keynote speaker dalam Seminar Lokakarya Nasional tentang Pemanfaatan Lahan

Gambut Berkelanjutan untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan

Daerah di IICC (28/10).

Menurutnya, pembangunan sosial ekonomi, dan pengurangan/penghapusan kemiskinan

harus dimulai dengan peningkatan produksi dan penyediaan lapangan kerja. Untuk negara

agraris, seperti Indonesia, peningkatan produksi pertanian menjadi andalan. Peningkatan

produksi pertanian dapat dicapai dengan dua jalur utama yaitu peningkatan produktivitas

lahan dan efisiensi kegiatan pasca panen, dan perluasan areal tanaman dengan memanfaatkan

lahan baru dan lahan tidur (lahan terlantar).

Jenis lahan yang tersedia di Indonesia berbeda-beda. Di Jawa hampir seluruh lahan

merupakan tanah mineral yang terbentuk dari batuan yang melapuk, berbagai provinsi di

Sumatera memiliki lahan dari tanah mineral, sedangkan beberapa propinsi lainnya seperti

Riau, Jambi dan Sumatera Selatan memiliki lahan yang luas berasal dari bahan organik yang

biasa disebut lahan gambut. Lahan yang memiliki lapisan bahan organik yang tertumpuk di

permukaan tanah dinyatakan sebagai lahan gambut jika kandungan C-organiknya melebihi

18% dan kedalamannya mencapai 50 cm atau lebih. Bahkan di Kalimantan dan Papua

luasnya lebih besar.

Berbagai sifat lahan gambut yang sensitif terhadap perubahan lingkungan menyebabkan

lahan gambut mendapatkan perhatian besar dan memerlukan kehati-hatian dalam

pemanfaatannya. Sifat lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, sebagai

sumber emisi gas rumah kaca, ancaman kebakaran lahan, sifat hidrologi (pengeringan

irreversible) dan penurunan permukaan.

Namun tidak dapat disangkal bahwa pemanfaatan lahan gambut untuk pangan dan

hortikultura, tanaman industri dan hutan industri banyak yang berhasil, disamping tentunya

ada kegagalan-kegagalan.

Total lahan gambut di Indonesia sangat besar. Tentu dalam pengunaannya harus

produktif dengan kerusakan lingkungan dan emisi Gas Rumah Kaca sekecil mungkin.

Page 13: MAKALAH Hukum Lingkungan

9

2.4 Peranan Gambut terkait konstitusi

Implementasi kebijakan hutan dan lahan gambut tidak hanya berpotensi mengorbankan

kepentingan nasional, tetapi sudah mengabaikan amanat UUD 1945 dalam mewujudkan

kesejahteraan rakyat. Sebab, secara tegas amanat pasal 33 menyebutkan, seluruh kekayaan

alam yang terkandung dalam bumi dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. "Jadi keberpihakan pemerintah dipertanyakan. Jangan kita

dipaksa dan kemudian diberi imbalan oleh asing, pemerintah ikut melakukan tanpa

memikirkan dampaknya bagi perekonomian masyarakat.

Bahkan kekhawatiran terhambatnya investasi di bidang pertanian, perkebunan, dan

pertambangan dengan penerapan kebijakan hutan tersebut harus segera dijawab secara

gamblang oleh pemerintah. Apalagi kebijakan sebagai upaya untuk menghentikan

penebangan kayu semata, maka kebijakan tersebut bukan jawaban yang diharapkan.

"Penghentian pembalakan hutan sudah menjadi tugas pemerintah, tanpa harus diminta oleh

negara lain. Karena itu pemerintah harus selektif dalam menetapkan daerah/wilayah yang

memungkinkan untuk dimasukkan dalam target kebijakan hutan dan lahan gambut.

Pemerintah harus menyiapkan data yang kemudian disampaikan ke DPR dan masyarakat.

"Pemerintah juga harus terbuka. Kalau sudah puluhan tahun tidak ada kayunya, ini juga harus

disampaikan ke publik, agar mereka juga bisa melakukan sesuatu di daerah tersebut. Meski

demikian kebijakan pengelolaan dan pelestarian hutan ini harus mengutamakan kepentingan

negara untuk menyejahterakan rakyat. Namun selama ini Kementerian Kehutanan masih

kesulitan dalam mendata lahan-lahan tersebut. Ini terlihat dari tidak adanya data spesifik di

kementerian tersebut mengenai berapa besar hutan yang telah rusak dan terdapat di desa atau

kecamatan mana saja hutan atau lahan gambut tersebut. Pemerintah, menurut dia, hanya

memberikan data global sekitar 400.000 hektare lebih lahan yang akan dikonversi, namun

tidak pernah disebutkan lahan tersebut berada di desa dan kecamatan mana. "Kemudian

kegiatan apa saja yang saat ini sedang dilakukan masyarakat sekitar di daerah yang akan

dikonversi pemerintah tersebut. Ini jelas menunjukkan tidak ada keseriusan pemerintah untuk

melakukan pembahasan mengenai konversi lahan oleh DPR. implementasi kebijakan hutan

dan lahan gambut harus dilakukan tepat guna dan diharapkan tidak menimbulkan keresahan

di pelaku usaha nasional. Sebab, kebijakan konversi hutan dan lahan gambut tersebut harus

tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkan pembangunan

berkelanjutan. Dalam dokumen letter of intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dan

Norwegia, yang ditandatangani pada 26 Mei 2010, menyebutkan, penghentian pengeluaran

izin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun dimulai pada Januari 2011.

Contoh Implementasinya usaha pertambangan yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU)

Nomor 4 Tahun 2009 terus berupaya menerapkan manajemen pengelolaan tambang yang

baik dan lebih memperhatikan lingkungan (green mining).

Meski demikian ketegasan dari pemerintah pusat dan daerah untuk menertibkan para

pelaku usaha pertambangan yang komitmen untuk mewujudkan green mining masih belum

jelas. "UU pertambangan kita tidak jelek dan masih berdaulat. Namun, para kepala daerah

Page 14: MAKALAH Hukum Lingkungan

10

harus sadar dalam memberikan izin usaha baru pertambangan di wilayahnya.

Apalagi, dengan tingginya harga batu bara saat ini, usaha pertambangan dituntut untuk

memperbesar program reklamasi dan rehabilitasi lingkungan pascatambang serta

merealisasikan program tanggung jawab sosialperusahaan(corporate social

responsibility/CSR) yang lebih baik. Regulasi kebijakan yang dikeluarkan nanti

diharapkan sejalan dengan Undang-Undang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

(RTRWN) dan undang-undang lainnya. Karena itu, Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia

perlu melihat fakta bahwa tidak semua kabupaten/kota memiliki areal terdegradasi dan

telantar yang memadai untuk ditawarkan kepada investor sawit.

2.5 Peranan Gambut dan Keterkaitan ekologi serta keberlanjutan

Peningkatan keberlanjutan pengelolaan lahan gambut dilakukan dengan perbaikan atribut

kunci yang mempengaruhi dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, infrastruktur dan

teknologi serta hukum dan kelembagaan yang terdapat pada agroekologi perkebunan kelapa

sawit rakyat. Atribut kunci yang dimaksud adalah pengaturan tata air dan lahan, penambahan

amelioran/pemupukan, pencegahan kebakaran lahan, manajemen produksi tanaman,

pemasaran hasil TBS, pemberian kredit usaha tani, kepemilikan lahan, harga TBS, peluang

kemitraan, pencegahan konflik lahan, pemberdayaan masyarakat, tingkat pendidikan,

standarisasi mutu produk sawit, sarana dan prasarana, industri pengolahan, interaksi antar

lembaga, keberadaan lembaga keuangan dan keberadaan kelompok tani. Misalnya model

pengelolaan lahan gambut berbasis sumber daya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa

sawit rakyat diKabupaten Bengkalis menggunakan pendekatan integratif dengan melakukan

perbaikan dan peningkatan pada faktor dominan antara lain :

a) Pengelolaan tata air mikro dengan pembuatan saluran dan pengaturan pintu air (tabat);

b) Pemberdayaan masyarakat dengan membentuk kelembagaan kerjasama jangka panjang

antara pemerintah, investor, perbankan dengan pekebun yang terhimpun dalam koperasi;

c) Pembentukan kelembagaan lintas sektoral (pokja) untuk mendukung kerjasama antar

stakeholders;

d) Menerapkan manajemen produksi tanaman kelapa sawit dengan persiapan lahan,

penanaman, pemeliharaan dan konservasi tanah serta perawatan prasarana;

e) Integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat

melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit skala kecil (5 ton TBS jam-1);

f) Memperkuat akses petani terhadap permodalan pada lembaga keuangan.

Page 15: MAKALAH Hukum Lingkungan

11

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Begitu banyak keprihatinan global terhadap deforestasi lahan gambut di Indonesia

mempunyai arti bahwa negara ini merupakan salah satu dari tiga negara utama penghasil

emisi karbon dioksida, penyumbang utama pemanasan global.Keadilan Iklim Dan

Penghidupan Yang Berkelanjutan, sekaligus sangat rentan terhadap dampak yang

ditimbulkannya. Perusakan hutan, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan dituding

sebagai penyebab utama masuknya Indonesia dalam urutan tiga besar penghasil emisi

terbesar gas rumah kaca setelah AS dan Cina. Berdasarkan data tahun 2000, emisi tahunan

Indonesia dari sektor kehutanan dan perubahan peruntukan tanah diperkirakan setara dengan

2.563 megaton karbon dioksida (MtCO2e), jauh melebihi jumlah emisi tahunan dari sektor

energi, pertanian dan limbah yang besarnya 451 MtCO2e. Sebagai perbandingan, total emisi

Indonesia adalah 3.014 MtCO2e, sedangkan total emisi Cina sebesar 5.017 dan AS sebesar

6.005 MtCO2e. Perusakan lahan gambut yang mempengaruhi munculnya angka emisi total

tersebut. Rata-rata, sekitar 600 Mt CO2e terlepas ke udara dari pembusukan gambut kering

setiap tahunnya. Sejumlah 1.400 Mt lainnya terlepas dalam kebakaran hutan gambut yang

bisa berlangsung berbulan-bulan. Laporan tersebut, yang diluncurkan Mei 2007, juga

menunjukkan bahwa emisi dari sektor energi Indonesia jumlahnya kecil, namun tumbuh

sangat cepat seperti emisi dari pertanian dan limbah kecil.

3.2 Saran

Apa yang dapat kita lakukan untuk menghentikan perusakan hutan dan lahan gambut dan

menurunkan emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim? „Pencegahan deforestasi‟

adalah inisiatif utama yang muncul selama beberapa tahun terakhir, namun hingga kini hanya

mendapat sedikit perhatian kritis dari masyarakat sipil. Kunci untuk memahami pencegahan

deforestasi dan masalah-masalah yang mungkin muncul adalah naskah yang diterbitkan

bulan Juni 2007 oleh LSM yang berkedudukan di Inggris, Forest Peoples Programme, Seeing

“RED”? “Avoided deforestation” and the rights of Indigenous Peoples and local

communities. Berikut ini ringkasan dari dokumen tersebut, dengan beberapa tambahan kecil

oleh DTE.

Istilah „avoided deforestation‟ atau pencegahan deforestasi, sebagaimana kini digunakan di

kalangan pegiat pembangunan, mengacu pada pencegahan atau pengurangan hilangnya hutan

untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Perubahan peruntukan tanah, terutama hilangnya

hutan di daerah tropis, dipercaya menyumbang antara 18% dan 20% dari seluruh emisi

Page 16: MAKALAH Hukum Lingkungan

12

tahunan karbon dioksida (CO2), sehingga muncul desakan internasional untuk menurunkan

tingkat deforestasi sebagai cara memerangi perubahan iklim. Beberapa negara menginginkan

skema pencegahan deforestasi mencakup perbaikan area hutan yang terdegradasi (dinamakan

Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation–REDD atau penurunan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), tidak hanya perlindungan terhadap hutan-hutan

yang ada. Tidak mengherankan, Indonesia mendukung pilihan ini, yang menguntungkan

negara-negara dengan kerusakan hutan yang parah karena industri perkayuan yang tidak

lestari. Negara lain ingin membatasi hanya skema pencegahan deforestasi saja (RED),

dengan alasan bahwa terlalu sulit mengukur degradasi, dan kemudian menilai keuntungan

dari upaya restorasi hutan.

Usulan-usulan untuk pencegahan deforestasi terbagi terbagi menjadi dua kelompok

utama :

a) Pendekatan berbasis pasar mengaitkan skema-skema pengurangan deforestasi dengan

sistem perdagangan karbon. Koalisi negara-negara yang memiliki hutan hujan (the

Coalition for Rainforest Nations), sebagian besar LSM konservasi dan kalangan bisnis

pendanaan karbon mendorong skema-skema dimana negara-negara yang memiliki hutan

mendapat kredit penurunan emisi karbon bila tidak menebangi hutan mereka. Kredit ini

dapat dijual di pasar karbon internasional kepada negara-negara yang memiliki industri

beremisi karbon yang membutuhkan kredit untuk menjalankan operasi mereka. Hal ini

menimbulkan masalah etika sebab negara dan perusahaan dapat membeli hak untuk tetap

mencemari atmosfir bumi.

b) Pendekatan dana publik memakai dana bantuan dari negaranegara kaya untuk membayar

negara-negara kaya hutan di Selatan untuk mengurangi pembukaan hutan. Bantuan

tersebut dikumpulkan melalui sumbangan sukarela dari negara-negara industri atau lewat

pajak. Indonesia dan Brazil suka dengan pilihan ini. Apakah pembayaran dilakukan

setiap tahun atau dengan jangka waktu tertentu dan apakah pembayaran dilakukan

dimuka atau setelah ada tindakan juga masih dalam negosiasi.

Page 17: MAKALAH Hukum Lingkungan

13

DAFTAR PUSTAKA

Baba S Barkah, Survey Vegetasi Dan Kerusakan Hutan Rawa Gambut Areal MRPP, Report No.

12.TA. Finaljuli 2009.

CIFOR(Center for International Forestry Research) 2010 REDD, Apakah Itu? Pedoman CIFOR

Tentang Hutan, Perubahan Iklim Dan REDD, CIFOR, Bogor, Indonesia.

Suwido H. Limin, Pemanfaatan Lahan Gambut Dan Permasalahannya, Workshop

Gambut, Jakarta, 22 November 2006.

Fahmuddin Agus dan I.G. Made Subiksa, Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek

Lingkungan , Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF)

Bogor 2008.

Gumilar R. Sumantri, “Community Development” di Wilayah Lahan Gambut” , doktor

sosiologi Universitas Bilefeld, Jerman (1995), dosen FISIP Universitas Indonesia;

tinggal di Bogor, Jawa Barat.

Seputar Tanaman Perkebunan, Potensi dan pengelolaan lahan gambut untuk tanaman pangan,

on Monday, June 13, 2011 at 4:29am.

Mindo Sianipar Anggota Komisi IV DPR, Amanat Konstitusi Diabaikan, Selasa, 1 Februari

2011 Jakarta (Suara Karya).

Dede, Keadilan Iklim Dan Penghidupan Yang Berkelanjutan, Percetakan : KIPPY Print

Solution 2009 .

Fahmuddin Agus dan I.G. Made Subiksa