MAKALAH Hukum Lingkungan
-
Upload
erik-sosanto -
Category
Documents
-
view
189 -
download
8
Transcript of MAKALAH Hukum Lingkungan
i
MAKALAH
HUKUM LINGKUNGAN
DOSEN PENGASUH : YACOB FERDINAN MARTONO,SH.MH
Disusun Oleh:
NAMA : ERIK SOSANTO
NIM : EAA 110 039
JURUSAN : HUKUM
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2011
ii
TEMA : Lahan Gambut Menyangkut REDD
SUB TEMA : Lahan Gambut Terkait Pangan, Pemanfaatan, Kesejahteran,
Konstitusi, dan Keterkaitan Ekologi Dan Keberlanjutan.
DOSEN PENGASUH : YACOB FERDINAN MARTONO,SH.MH
Disusun Oleh:
NAMA : ERIK SOSANTO
NIM : EAA 110 039
JURUSAN : HUKUM
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2011
i
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan
Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai hukum lingkungan khususnya
lahan gambut menyangkut REDD.
Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya yang
berhubungan dengan tema dan sub tema di atas.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan
menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini.
Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya tentang hukum lingkungan khususnya lahan gambut.
Palangka Raya, November 2011
Penyusun
ii
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 2
1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Peranan Potensi dan Pengelolaan Lahan Gambut Terkait Pangan .......... 3
2.2 Peranan Lahan Gambut terkait Pemanfaatannya ..................................... 6
2.3 Peranan Pemanfaatan Lahan Gambut terkait Kesejahteraan ................... 7
2.4 Peranan Lahan Gambut terkait Konstiusi ................................................ 9
2.5 Lahan Gambut dan Keterkaitan ekologi serta keberlanjutan ................... 10
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 11
3.2. Saran ....................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Tanah gambut atau Organosol adalah tanah yang mempunyai lapisan atau horison H,
setebal 50 cm atau lebih atau dapat 60 cm atau lebih bila terdiri dari bahan Sphagnum atau
lumut, atau jika berat isinya kurang dari 0,1 g cm- 3. Ketebalan horison H dapat kurang dari 50
cm bila terletak diatas batuan padu. Tanah yang mengandung bahan organik tinggi disebut
tanah gambut (Wirjodihardjo, 1953) atau Organosol (Dudal dan Soepratohardjo, 1961) atau
Histosol(PPT,1981).
Gambut ini dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga
mencapai ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses
geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986). Gambut
terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir
sepanjang tahun.Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan
yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam
perombakan.
Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh paduan antara keadaan topografi dan curah
hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung
oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah. Ketebalan gambut pada
setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada: 1).Proses penimbunan yaitu jenis tanaman
yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan
tersebut, 2).Proses kecepatan perombakan gambut, 3).Proses kebakaran gambut, dan
4).Perilaku manusia terhadap lahan gambut. Gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih termasuk
kategori kawasan lindung sebagai kawasan yang tidak boleh diganggu.Kebijakan ini
dituangkan melalui Keppres No. 32 tahun 1990 yang merupakan kebijakan umum dalam
reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia. Berdasarkan besarnya potensi
sumberdaya, kendala biofisik dan peluang pengembangan, maka rawa khususnya gambut
pedalaman perlu mendapatkan perhatian serius. Gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal,
karena kendala biofisiknya sukar diatasi. Produktifitas gambut sangat beragam, ketebalan
gambut juga menentukan kesuburannya (Barchia, 2006).
2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas bahwa produktifitas
gambut sangat beragam bahkan ketebalan gambut juga menentukan kesuburannya, maka
perumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam makalah ini berdasarkan upaya
2
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) lahan gambut adalah sebagai
berikut:
a) Peranan Potensi dan Pengelolaan Gambut terkait Pangan ?
b) Peranan Lahan Gambut terkait Pemanfaatan ?
c) Peranan Pemanfaatan Lahan Gambut terkait Kesejahteraan ?
d) Peranan Lahan Gambut terkait Konstitusi ?
e) Lahan Gambut dan Keterkaitan ekologi serta keberlanjutan ?
3. Tujuan Penulisan
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a) Mengetahui Peranan gambut terkait potensi pengelolaan dan pemanfaataannya.
b) Mengetahui dan memahami Peranan gambut terkait pemanfaatan untuk kesejahteraan,
terkait konstitusi dan keterkaitan ekologi serta keberlanjutan.
4. Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku
referensi yang berhubungan dengan hukum lingkungan khususnya gambut dan peranannya dan
situs internet yang langsung mengangkat pembahasan tentang peranan gambut dalam upaya
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi.
5. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
a) Sebagai media untuk menambah wawasan.
b) Bahan referensi aktual serta bahan bacaan dan pengetahuan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peranan Potensi dan Pengelolaan Gambut terkait Pangan
1. Potensi lahan gambut untuk tanaman pangan semusim
Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008), lahan gambut
yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (< 100
cm).Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih
tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Lahan
gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk
berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan
unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu
beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubi kayu, kacang panjang dan berbagai jenis
sayuran lainnya.
2. Pengelolaan air
Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi pengelolaan air,
yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman. Pembuatan saluran
drainase mikro sedalam 10-50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman
pangan pada lahan gambut. Tanaman padi sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit
sedalam 10-30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan
keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam
organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin
tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam
saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut.
3. Pengelolaan kesuburan tanah
Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya ameliorasi untuk
meningkatkan PH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral,
pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk
meningkatkan PH dan basa-basa tanah.
Tidak seperti tanah mineral, PH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai PH 5 saja
karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan PH sampai tidak lebih
dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam organik
beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-bahan amelioran yang banyak
4
mengandung kation polivalen seperti kerak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai
Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman padi .
Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat rendah. Jenis
pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg. Walaupun KTK
gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan
sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan dosis rendah
agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat
alam akan lebih baik dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah
dan dapat meningkatkan PH tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation polivalen
seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi
kehilangan hara P melalui pencucian (Rachim, 1995) Tanah gambut juga kahat unsur mikro
karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan
pemupukan unsur mikro seperti terusi, magnesium sulfat dan seng sulfat masing-masing 15
kg ha-1 tahun-1, mangan sulfat 7 kg ha-1 tahun-1, sodium molibdat dan borax masing-
5
masing 0,5 kg ha-1 tahun-1. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada
tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah.
4. Strategi petani dalam meningkatkan kesuburan tanah gambut
Karena keterbatasan akses dan kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan bahan
amelioran, maka untuk meningkatkan kesuburan tanah, petani membakar seresah tanaman
dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Praktek ini dapat ditemukan di
kalangan petani yang menanam sayuran dan tanaman pangan secara tradisional di berbagai
tempat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi. Dengan cara
ini petani mendapatkan amelioran berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut.
Namun abu hasil pembakaran mudah hanyut dan efektivitasnya terhadap peningkatan
kesuburan tanah tidak berlangsung lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena bisa
memicu kebakaran hutan dan lahan secara lebih luas, mempercepat subsiden, meningkatkan
emisi CO2 dan mendatangkan asap yang mengganggu kesehatan serta mempengaruhi lalu
lintas. Untuk menghindari kebakaran, maka pembakaran serasah harus dilakukan secara
terkendali di satu tempat khusus berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga
api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan baik di lahan gambut di
Pontianak, Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di
lapangan, maka harus dipastikan bahwa gambut di bawahnya jenuh air supaya gambutnya
tidak ikut terbakar. Dalam jangka panjang pembakaran seresah dan gambut perlu dicegah
untuk menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan bimbingan
cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk bagi petani.
Keterangan : Potensi Lahan Gambut Untuk Pertanian Khususnya Pangan dan Perkebunan.
6
2.2 Peranan Lahan Gambut terkait Pemanfaatannya
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian masih pro dan kontra antara berbagai pihak,
walaupun dari pemanfaatan yang telah dilakukan belum nyata memberikan hasil yang
maksimal. Oleh karena itu,perlu diupayakan suatu kesepakatan yang mendasar tentang
pemahaman dari kata “pemanfaatan”.
Ada Beberapa Pemanfaatan Lahan Gambut Sebagai Berikut :
a) Gambut Untuk Pertanian
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian termasuk perkebunan dan tanaman industri
tergolong sangat rawan, terutama jika dilaksanakan pada gambut tebal di daerah
pedalaman (disebut gambut pedalaman). Kenapa? Jawaban yang pasti adalah jika lahan
gambut pedalaman dimanfaatkan untuk pengembangan komoditi-komoditi diatas,maka
mengharuskan adanya upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan
dengan cara membuat saluran drainase atau kanal. Sedangkan untuk jenis gambut pantai
didaerah pasang surut, pembuatan drainase atau kanal ditujukan untuk menyalurkan air
ke bagian dalam (beberapa kilometer dari tepi sungai atau laut). Tanpa membuat saluran
drainase atau kanal pada gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli setempat
(ramin, meranti rawa, jelutung, gemor, dll) yang bisa tumbuh dalam kondisi jenuh air
atau daerah yang dominan basah. Dibalik pembuatan drainase yang menyebabkan
penurunan air tanah, maka terjadi perubahan suhu dan kelembaban di lapisan gambut
dekat permukaan, sehingga mempercepat proses pelapukan dan permukaan gambut
semakin menurun.
Contoh penurunan permukaan lahan gambut :
1) Limin et al. (2000) melaporkan bahwa penurunan permukaan lahan gambut di
daerah Kalampangan (eks UPT Bereng Bengkel) paling sedikit 1-3 cm tiap tahun.
Limin (1998) menyatakan walaupun pelapukan bahan organik tersebut
menghasilkan hara bagi tanaman, pelapukan juga menghasilkan asam organik yang
berpengaruh lebih kuat dan dapat menyebabkan keracunan bagi tanaman.
Pembuatan saluran drainase atau kanal-kanal melintasi lapisan gambut tebal,
tampaknya belum banyak diketahui oleh banyak pihak akan berdampak negatif
jangka panjang.
2) Proyek PLG sejuta hektar yang mulai dibangun tahun 1996. Dengan program
kanalisasi yang mencincang habis hamparan gambut diantara 4 sungai besar
(Sabangau, Kahayan, Kapuas dan Barito), sejak itu pula terjadi perubahan drastis
neraca air pada 4 (empat) daerah aliran sungai (DAS)tersebut, sehingga kawasan eks
PLG merupakan penghasil asap terbesar di Kalimantan Tengah. Selain itu, kerugian
besar telah diderita oleh masyarakat asli setempat akibat perubahan ekosistem,
karena usaha tradisional yang telah diandalkan sebagai sumber pendapatan tetap
mengalami penurunan produktivitas hingga hilang (tidak dapat diusahakan lagi).
7
b). Kriteria Pemanfaatan Gambut
Kegagalan pemanfaatan gambut tidak lain disebabkan banyak faktor yang dilangkahi dan
tidak dipertimbangkan sebagai kriteria dalam pemanfaatannya. Dasar pemanfaatan lahan
gambut yang selama ini hanya mengandalkan KEPPRES No.32 Tahun 1990 yang
menyatakan bahwa ketebalan gambut lebih dari 3 meter untuk dikonservasi atau untuk
kehutanan dan kurang dari 3 meter dapat dijadikan kawasan produksi, tampaknya harus
ditinjau kembali. Mengacu dari pertemuan Tim Ad Hoc di BAPPENAS, Limin et al
(2003) menyatakan bahwa KEPPRES No. 23/1990 ditetapkan tidak berdasarkan hasil
riset dan fakta lapangan, melainkan hanya mengakomodir pendapat para peserta rapat
yang hadir dalampenetapannya. Tetap memberlakukan KEPPRES No. 32/1990 tersebut
dipastikan akan menyebabkan kerusakan hebat pada lahan gambut yang tersisa, dan
menyulitkan restorasi lahan gambut yang telah rusak. Oleh karena itu, selain harus
mempertimbangkan aspek budaya masyarakat dan aspek pasar.
c). Manfaatkan Gambut untuk Tanaman Hutan
Pemanfaatan lahan gambut untuk tetap dipertahankan sebagai habitat ratusan species
tanaman hutan, merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat. Disamping kawasan
gambut tetap mampu menyumbangkan fungsi ekonomi bagi manusia di sekitarnya
(produk kayu dan non kayu) secara berkelanjutan, fungsi ekologi hutan rawa gambut
sebagai pengendali suhu, kelembaban udara dan hidrologi kawasan akan tetap
berlangsung sebagai konsekuensi dari ekosistemnya tidak berubah. Mempertahankan
lahan gambut untuk tetap menjadi habitat jenis pohon adalah beralasan. Hutan rawa
gambut memiliki jenis pohon bernilai ekonomis tinggi, demikian pula satwa. Berdasarkan
data pada salah satu HPH yang berlokasi di lahan gambut, diketahui bahwa
populasi 10 jenis pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis yang dilindungi dengan
diameter ≥ 20 cm rata-rata 21 pohon/ha dengan volume rata-rata 30,94 m3/ha.
Diantara ke-10 jenis pohon tersebut terdapat 67,83% adalah ramin (Gonystylus bancanus
Kurz). Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan alami pohon-pohon bernilai
ekonomis tersebut, maka “Wise Use of Tropical Peatland” hendaknya tidak lagi harus
dipaksa untuk melakukan perubahan yang justru mengakibatkan munculnya
permasalahan baru yang berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan.
2.3 Peranan Pemanfaatan Lahan Gambut terkait Kesejahteraan
Pro Kontra mengenai pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian sudah berjalan sejak
lama, berawal dari pembukaan besar-besaran lahan gambut pada era permulaan orde baru
1970-an. Pro kontra menghangat kembali setelah ditandatanganinya Letter of Intent antara
Pemerintah RI dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia yang mensyaratkan moratorium
selama dua tahun konsesi/pembukaan hutan gambut dan hutan alami mulai 1 Januari 2011.
“Satu pihak pemanfaatan lahan gambut telah memberikan dampak positif bagi
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan di lain pihak, penentang
8
menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan gambut memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan yang lebih besar daripada dampak positifnya dan menuntut pemanfaatan lahan
gambut untuk pertanian dihentikan. Kontroversi ini semakin tidak bertemu ujungnya, karena
seluruh pihak hanya berargumentasi di tingkat makro atau tingkat global,” ujar Prof. Sitanala
Arsyad, Guru Besar (emeritus) Konservasi Tanah dan Air Fakultas Pertanian IPB saat
menjadi keynote speaker dalam Seminar Lokakarya Nasional tentang Pemanfaatan Lahan
Gambut Berkelanjutan untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan
Daerah di IICC (28/10).
Menurutnya, pembangunan sosial ekonomi, dan pengurangan/penghapusan kemiskinan
harus dimulai dengan peningkatan produksi dan penyediaan lapangan kerja. Untuk negara
agraris, seperti Indonesia, peningkatan produksi pertanian menjadi andalan. Peningkatan
produksi pertanian dapat dicapai dengan dua jalur utama yaitu peningkatan produktivitas
lahan dan efisiensi kegiatan pasca panen, dan perluasan areal tanaman dengan memanfaatkan
lahan baru dan lahan tidur (lahan terlantar).
Jenis lahan yang tersedia di Indonesia berbeda-beda. Di Jawa hampir seluruh lahan
merupakan tanah mineral yang terbentuk dari batuan yang melapuk, berbagai provinsi di
Sumatera memiliki lahan dari tanah mineral, sedangkan beberapa propinsi lainnya seperti
Riau, Jambi dan Sumatera Selatan memiliki lahan yang luas berasal dari bahan organik yang
biasa disebut lahan gambut. Lahan yang memiliki lapisan bahan organik yang tertumpuk di
permukaan tanah dinyatakan sebagai lahan gambut jika kandungan C-organiknya melebihi
18% dan kedalamannya mencapai 50 cm atau lebih. Bahkan di Kalimantan dan Papua
luasnya lebih besar.
Berbagai sifat lahan gambut yang sensitif terhadap perubahan lingkungan menyebabkan
lahan gambut mendapatkan perhatian besar dan memerlukan kehati-hatian dalam
pemanfaatannya. Sifat lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, sebagai
sumber emisi gas rumah kaca, ancaman kebakaran lahan, sifat hidrologi (pengeringan
irreversible) dan penurunan permukaan.
Namun tidak dapat disangkal bahwa pemanfaatan lahan gambut untuk pangan dan
hortikultura, tanaman industri dan hutan industri banyak yang berhasil, disamping tentunya
ada kegagalan-kegagalan.
Total lahan gambut di Indonesia sangat besar. Tentu dalam pengunaannya harus
produktif dengan kerusakan lingkungan dan emisi Gas Rumah Kaca sekecil mungkin.
9
2.4 Peranan Gambut terkait konstitusi
Implementasi kebijakan hutan dan lahan gambut tidak hanya berpotensi mengorbankan
kepentingan nasional, tetapi sudah mengabaikan amanat UUD 1945 dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Sebab, secara tegas amanat pasal 33 menyebutkan, seluruh kekayaan
alam yang terkandung dalam bumi dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. "Jadi keberpihakan pemerintah dipertanyakan. Jangan kita
dipaksa dan kemudian diberi imbalan oleh asing, pemerintah ikut melakukan tanpa
memikirkan dampaknya bagi perekonomian masyarakat.
Bahkan kekhawatiran terhambatnya investasi di bidang pertanian, perkebunan, dan
pertambangan dengan penerapan kebijakan hutan tersebut harus segera dijawab secara
gamblang oleh pemerintah. Apalagi kebijakan sebagai upaya untuk menghentikan
penebangan kayu semata, maka kebijakan tersebut bukan jawaban yang diharapkan.
"Penghentian pembalakan hutan sudah menjadi tugas pemerintah, tanpa harus diminta oleh
negara lain. Karena itu pemerintah harus selektif dalam menetapkan daerah/wilayah yang
memungkinkan untuk dimasukkan dalam target kebijakan hutan dan lahan gambut.
Pemerintah harus menyiapkan data yang kemudian disampaikan ke DPR dan masyarakat.
"Pemerintah juga harus terbuka. Kalau sudah puluhan tahun tidak ada kayunya, ini juga harus
disampaikan ke publik, agar mereka juga bisa melakukan sesuatu di daerah tersebut. Meski
demikian kebijakan pengelolaan dan pelestarian hutan ini harus mengutamakan kepentingan
negara untuk menyejahterakan rakyat. Namun selama ini Kementerian Kehutanan masih
kesulitan dalam mendata lahan-lahan tersebut. Ini terlihat dari tidak adanya data spesifik di
kementerian tersebut mengenai berapa besar hutan yang telah rusak dan terdapat di desa atau
kecamatan mana saja hutan atau lahan gambut tersebut. Pemerintah, menurut dia, hanya
memberikan data global sekitar 400.000 hektare lebih lahan yang akan dikonversi, namun
tidak pernah disebutkan lahan tersebut berada di desa dan kecamatan mana. "Kemudian
kegiatan apa saja yang saat ini sedang dilakukan masyarakat sekitar di daerah yang akan
dikonversi pemerintah tersebut. Ini jelas menunjukkan tidak ada keseriusan pemerintah untuk
melakukan pembahasan mengenai konversi lahan oleh DPR. implementasi kebijakan hutan
dan lahan gambut harus dilakukan tepat guna dan diharapkan tidak menimbulkan keresahan
di pelaku usaha nasional. Sebab, kebijakan konversi hutan dan lahan gambut tersebut harus
tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkan pembangunan
berkelanjutan. Dalam dokumen letter of intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dan
Norwegia, yang ditandatangani pada 26 Mei 2010, menyebutkan, penghentian pengeluaran
izin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun dimulai pada Januari 2011.
Contoh Implementasinya usaha pertambangan yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 4 Tahun 2009 terus berupaya menerapkan manajemen pengelolaan tambang yang
baik dan lebih memperhatikan lingkungan (green mining).
Meski demikian ketegasan dari pemerintah pusat dan daerah untuk menertibkan para
pelaku usaha pertambangan yang komitmen untuk mewujudkan green mining masih belum
jelas. "UU pertambangan kita tidak jelek dan masih berdaulat. Namun, para kepala daerah
10
harus sadar dalam memberikan izin usaha baru pertambangan di wilayahnya.
Apalagi, dengan tingginya harga batu bara saat ini, usaha pertambangan dituntut untuk
memperbesar program reklamasi dan rehabilitasi lingkungan pascatambang serta
merealisasikan program tanggung jawab sosialperusahaan(corporate social
responsibility/CSR) yang lebih baik. Regulasi kebijakan yang dikeluarkan nanti
diharapkan sejalan dengan Undang-Undang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN) dan undang-undang lainnya. Karena itu, Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia
perlu melihat fakta bahwa tidak semua kabupaten/kota memiliki areal terdegradasi dan
telantar yang memadai untuk ditawarkan kepada investor sawit.
2.5 Peranan Gambut dan Keterkaitan ekologi serta keberlanjutan
Peningkatan keberlanjutan pengelolaan lahan gambut dilakukan dengan perbaikan atribut
kunci yang mempengaruhi dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, infrastruktur dan
teknologi serta hukum dan kelembagaan yang terdapat pada agroekologi perkebunan kelapa
sawit rakyat. Atribut kunci yang dimaksud adalah pengaturan tata air dan lahan, penambahan
amelioran/pemupukan, pencegahan kebakaran lahan, manajemen produksi tanaman,
pemasaran hasil TBS, pemberian kredit usaha tani, kepemilikan lahan, harga TBS, peluang
kemitraan, pencegahan konflik lahan, pemberdayaan masyarakat, tingkat pendidikan,
standarisasi mutu produk sawit, sarana dan prasarana, industri pengolahan, interaksi antar
lembaga, keberadaan lembaga keuangan dan keberadaan kelompok tani. Misalnya model
pengelolaan lahan gambut berbasis sumber daya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa
sawit rakyat diKabupaten Bengkalis menggunakan pendekatan integratif dengan melakukan
perbaikan dan peningkatan pada faktor dominan antara lain :
a) Pengelolaan tata air mikro dengan pembuatan saluran dan pengaturan pintu air (tabat);
b) Pemberdayaan masyarakat dengan membentuk kelembagaan kerjasama jangka panjang
antara pemerintah, investor, perbankan dengan pekebun yang terhimpun dalam koperasi;
c) Pembentukan kelembagaan lintas sektoral (pokja) untuk mendukung kerjasama antar
stakeholders;
d) Menerapkan manajemen produksi tanaman kelapa sawit dengan persiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan dan konservasi tanah serta perawatan prasarana;
e) Integrasi struktur pabrik dan pekebun dalam usaha perkebunan kelapa sawit rakyat
melalui kemitraan usaha pola agroindustri kelapa sawit skala kecil (5 ton TBS jam-1);
f) Memperkuat akses petani terhadap permodalan pada lembaga keuangan.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Begitu banyak keprihatinan global terhadap deforestasi lahan gambut di Indonesia
mempunyai arti bahwa negara ini merupakan salah satu dari tiga negara utama penghasil
emisi karbon dioksida, penyumbang utama pemanasan global.Keadilan Iklim Dan
Penghidupan Yang Berkelanjutan, sekaligus sangat rentan terhadap dampak yang
ditimbulkannya. Perusakan hutan, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan dituding
sebagai penyebab utama masuknya Indonesia dalam urutan tiga besar penghasil emisi
terbesar gas rumah kaca setelah AS dan Cina. Berdasarkan data tahun 2000, emisi tahunan
Indonesia dari sektor kehutanan dan perubahan peruntukan tanah diperkirakan setara dengan
2.563 megaton karbon dioksida (MtCO2e), jauh melebihi jumlah emisi tahunan dari sektor
energi, pertanian dan limbah yang besarnya 451 MtCO2e. Sebagai perbandingan, total emisi
Indonesia adalah 3.014 MtCO2e, sedangkan total emisi Cina sebesar 5.017 dan AS sebesar
6.005 MtCO2e. Perusakan lahan gambut yang mempengaruhi munculnya angka emisi total
tersebut. Rata-rata, sekitar 600 Mt CO2e terlepas ke udara dari pembusukan gambut kering
setiap tahunnya. Sejumlah 1.400 Mt lainnya terlepas dalam kebakaran hutan gambut yang
bisa berlangsung berbulan-bulan. Laporan tersebut, yang diluncurkan Mei 2007, juga
menunjukkan bahwa emisi dari sektor energi Indonesia jumlahnya kecil, namun tumbuh
sangat cepat seperti emisi dari pertanian dan limbah kecil.
3.2 Saran
Apa yang dapat kita lakukan untuk menghentikan perusakan hutan dan lahan gambut dan
menurunkan emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim? „Pencegahan deforestasi‟
adalah inisiatif utama yang muncul selama beberapa tahun terakhir, namun hingga kini hanya
mendapat sedikit perhatian kritis dari masyarakat sipil. Kunci untuk memahami pencegahan
deforestasi dan masalah-masalah yang mungkin muncul adalah naskah yang diterbitkan
bulan Juni 2007 oleh LSM yang berkedudukan di Inggris, Forest Peoples Programme, Seeing
“RED”? “Avoided deforestation” and the rights of Indigenous Peoples and local
communities. Berikut ini ringkasan dari dokumen tersebut, dengan beberapa tambahan kecil
oleh DTE.
Istilah „avoided deforestation‟ atau pencegahan deforestasi, sebagaimana kini digunakan di
kalangan pegiat pembangunan, mengacu pada pencegahan atau pengurangan hilangnya hutan
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Perubahan peruntukan tanah, terutama hilangnya
hutan di daerah tropis, dipercaya menyumbang antara 18% dan 20% dari seluruh emisi
12
tahunan karbon dioksida (CO2), sehingga muncul desakan internasional untuk menurunkan
tingkat deforestasi sebagai cara memerangi perubahan iklim. Beberapa negara menginginkan
skema pencegahan deforestasi mencakup perbaikan area hutan yang terdegradasi (dinamakan
Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation–REDD atau penurunan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), tidak hanya perlindungan terhadap hutan-hutan
yang ada. Tidak mengherankan, Indonesia mendukung pilihan ini, yang menguntungkan
negara-negara dengan kerusakan hutan yang parah karena industri perkayuan yang tidak
lestari. Negara lain ingin membatasi hanya skema pencegahan deforestasi saja (RED),
dengan alasan bahwa terlalu sulit mengukur degradasi, dan kemudian menilai keuntungan
dari upaya restorasi hutan.
Usulan-usulan untuk pencegahan deforestasi terbagi terbagi menjadi dua kelompok
utama :
a) Pendekatan berbasis pasar mengaitkan skema-skema pengurangan deforestasi dengan
sistem perdagangan karbon. Koalisi negara-negara yang memiliki hutan hujan (the
Coalition for Rainforest Nations), sebagian besar LSM konservasi dan kalangan bisnis
pendanaan karbon mendorong skema-skema dimana negara-negara yang memiliki hutan
mendapat kredit penurunan emisi karbon bila tidak menebangi hutan mereka. Kredit ini
dapat dijual di pasar karbon internasional kepada negara-negara yang memiliki industri
beremisi karbon yang membutuhkan kredit untuk menjalankan operasi mereka. Hal ini
menimbulkan masalah etika sebab negara dan perusahaan dapat membeli hak untuk tetap
mencemari atmosfir bumi.
b) Pendekatan dana publik memakai dana bantuan dari negaranegara kaya untuk membayar
negara-negara kaya hutan di Selatan untuk mengurangi pembukaan hutan. Bantuan
tersebut dikumpulkan melalui sumbangan sukarela dari negara-negara industri atau lewat
pajak. Indonesia dan Brazil suka dengan pilihan ini. Apakah pembayaran dilakukan
setiap tahun atau dengan jangka waktu tertentu dan apakah pembayaran dilakukan
dimuka atau setelah ada tindakan juga masih dalam negosiasi.
13
DAFTAR PUSTAKA
Baba S Barkah, Survey Vegetasi Dan Kerusakan Hutan Rawa Gambut Areal MRPP, Report No.
12.TA. Finaljuli 2009.
CIFOR(Center for International Forestry Research) 2010 REDD, Apakah Itu? Pedoman CIFOR
Tentang Hutan, Perubahan Iklim Dan REDD, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Suwido H. Limin, Pemanfaatan Lahan Gambut Dan Permasalahannya, Workshop
Gambut, Jakarta, 22 November 2006.
Fahmuddin Agus dan I.G. Made Subiksa, Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan , Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF)
Bogor 2008.
Gumilar R. Sumantri, “Community Development” di Wilayah Lahan Gambut” , doktor
sosiologi Universitas Bilefeld, Jerman (1995), dosen FISIP Universitas Indonesia;
tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Seputar Tanaman Perkebunan, Potensi dan pengelolaan lahan gambut untuk tanaman pangan,
on Monday, June 13, 2011 at 4:29am.
Mindo Sianipar Anggota Komisi IV DPR, Amanat Konstitusi Diabaikan, Selasa, 1 Februari
2011 Jakarta (Suara Karya).
Dede, Keadilan Iklim Dan Penghidupan Yang Berkelanjutan, Percetakan : KIPPY Print
Solution 2009 .
Fahmuddin Agus dan I.G. Made Subiksa