Makalah Reformasi Penegakan Hukum Dan Penguatan Kelembagaan Di Lingkungan Kejaksaan RI
-
Upload
timothy-briggs -
Category
Documents
-
view
30 -
download
1
Transcript of Makalah Reformasi Penegakan Hukum Dan Penguatan Kelembagaan Di Lingkungan Kejaksaan RI
REFORMASI PENEGAKAN HUKUM
DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN DI LINGKUNGAN
I. PENDAHULUAN
Hukum dan masyarakat adalah sua
lain. Berlakunya hukum itu
dengan masyarakat. P
menggambarkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat.
Chamblis dan Seidman, bahwa suatu masyarakat yang secara murni diatur oleh hukum
yang telah dirumuskan secara jelas adalah suatu ideal yang
tetap dibutuhkan adanya diskresi para pejabat penegak hukum dalam penerapannya,
walaupun diskresi yang berlebihan yang didasarkan pada kebebasan dan kelonggaran
yang dimiliki oleh aparat penegak hukum dapat menyebabkan ketimpangan akan rasa
keadilan yang ingin dicapai oleh hukum, bahkan bisa membawa kehancuran bagi
kehidupan masyarakat.
kepentingan penguasa, ataupun kepe
1 Makalah disampaikan dalam
Hukum di Indonesia”, pada tanggal 12 Oktober 2011 di Hotel Sari Pan Pasific Jakarta.2 Jaksa Agung Republik Indonesia
3 Mochtar Kusumaatmadja,
4 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
REFORMASI PENEGAKAN HUKUM
DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN DI LINGKUNGAN
KEJAKSAAN RI1
Oleh:
Basrief Arief2
Hukum dan masyarakat adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Berlakunya hukum itu berlangsung di dalam suatu tatanan so
dengan masyarakat. Pameo bangsa Romawi yang menyatakan ubi societas ibi
menggambarkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat.
mblis dan Seidman, bahwa suatu masyarakat yang secara murni diatur oleh hukum
yang telah dirumuskan secara jelas adalah suatu ideal yang agak sulit dicapai, karena
tetap dibutuhkan adanya diskresi para pejabat penegak hukum dalam penerapannya,
kresi yang berlebihan yang didasarkan pada kebebasan dan kelonggaran
leh aparat penegak hukum dapat menyebabkan ketimpangan akan rasa
keadilan yang ingin dicapai oleh hukum, bahkan bisa membawa kehancuran bagi
kehidupan masyarakat.4 Masyarakat menghendaki hukum tidak lagi menjadi alat untuk
kepentingan penguasa, ataupun kepentingan politik walaupun banyak faktor di luar
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Reformasi Penegakan
Hukum di Indonesia”, pada tanggal 12 Oktober 2011 di Hotel Sari Pan Pasific Jakarta.
Jaksa Agung Republik Indonesia.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2006, hlm. 3.
Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006, hlm. 65.
1
REFORMASI PENEGAKAN HUKUM
DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN DI LINGKUNGAN
hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama
berlangsung di dalam suatu tatanan sosial yang disebut
ubi societas ibi us telah
menggambarkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat.3 Menurut
mblis dan Seidman, bahwa suatu masyarakat yang secara murni diatur oleh hukum
agak sulit dicapai, karena
tetap dibutuhkan adanya diskresi para pejabat penegak hukum dalam penerapannya,
kresi yang berlebihan yang didasarkan pada kebebasan dan kelonggaran
leh aparat penegak hukum dapat menyebabkan ketimpangan akan rasa
keadilan yang ingin dicapai oleh hukum, bahkan bisa membawa kehancuran bagi
at menghendaki hukum tidak lagi menjadi alat untuk
tingan politik walaupun banyak faktor di luar
(FGD) dengan tema “Reformasi Penegakan
Hukum di Indonesia”, pada tanggal 12 Oktober 2011 di Hotel Sari Pan Pasific Jakarta.
Bandung: Alumni, 2006, hlm. 3.
, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006, hlm. 65.
2
hukum yang turut menentukan bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Fenomena ini
harus direspon secara positif oleh setiap aparatur penegak hukum untuk terus menerus
berupaya meningkatkan kinerjanya, sehingga tujuan penegakan hukum yang konsisten
dan konsekuen yang berkeadilan dapat terwujud.
Reformasi secara gramatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun, dan
mempersatukan kembali.5 Secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format,
baik pada struktur maupun aturan main (rule of the game) ke arah yang lebih baik. Pada
kata reformasi terkandung pula dimensi dinamik berupa upaya perombakan dan
penataan yakni perombakan tatanan lama yang korup dan tidak efisien (dismantling the
old regime) dan penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, efisien, dan
berkeadilan sosial (reconstructing the new regime). Selain itu, kata reformasi memuat
nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan
bermasyarakat. Sedangkan penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut dengan
“Law Enforcement”. Menurut Black’s Law Dictionary, Law Enforcement diartikan sebagai
“The act of putting something such as a law into effect; the execution of law ; the
carriying out of a mandate or command.6 Secara sederhana Muladi menyatakan bahwa
penegakan hukum (law enforcement) merupakan usaha untuk menegakkan norma-
norma hukum dan sekaligus nilai-nilai yang ada di belakang norma tersebut. Dengan
demikian para penegak hukum harus memahami benar-benar spirit hukum (legal spirit)
yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan dan dalam hal ini akan
berkaitan dengan pelbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-
undangan (law making process).7
Reformasi penegakan hukum merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di
Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan negara hukum yang dicita-
citakan. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup,
nilai-nilai budaya dan nilai keadilan. Selain itu, hukum mengemban fungsi instrumental
yaitu sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas,
sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana
5 W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary, Canada: Thompson and Nelson Ltd, 1982, hlm. 422.
6 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, St. Paul Minesota: West Publishing, 1990.
7 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cet. II, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2002, hlm. 69.
3
pendidikan serta pengadaban masyarakat dan sarana pembaharuan masyarakat
(mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan perubahan masyarakat).8
Reformasi penegakan hukum idealnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem
hukum (legal system). Sudikno Mertokusomo mengartikan sistem hukum adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan
bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.9 Menurut Lawrence M.
Friedman, dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub sistem, yaitu sub sistem
substansi hukum (legal substance), sub sistem struktur hukum (legal structure), dan sub
sistem budaya hukum (legal culture).10 Substansi hukum meliputi materi hukum yang
diantaranya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Struktur hukum,
menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum, kewenangan lembaga dan
personil (aparat penegak hukum). Sedangkan kultur hukum menyangkut perilaku
(hukum) masyarakat. Ketiga unsur itulah yang mempengaruhi keberhasilan penegakan
hukum di suatu masyarakat (negara), yang antara satu dengan lainnya saling bersinergi
untuk mencapai tujuan penegakan hukum itu sendiri yakni keadilan. Salah satu sub
sistem yang perlu mendapat sorotan saat ini adalah struktur hukum (legal structure). Hal
ini dikarenakan struktur hukum memiliki pengaruh yang kuat terhadap warna budaya
hukum. Budaya hukum adalah sikap mental yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari, atau bahkan disalahgunakan. Struktur hukum yang tidak mampu
menggerakkan sistem hukum akan menciptakan ketidakpatuhan (disobedience) terhadap
hukum. Dengan demikian struktur hukum yang menyalahgunakan hukum akan
melahirkan budaya menelikung dan menyalahgunakan hukum. Berjalannya struktur
hukum sangat bergantung pada pelaksananya yaitu aparatur penegak hukum.
Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah
luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak
langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Dari pengertian luas tadi, dia lebih
membatasi pengertiannya yaitu kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam
bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi
8 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 189.
9 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1991, hlm. 102.
10 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, 2
nd Edition (Hukum Amerika: Sebuah Pengantar,
Penerjemah: Wisnu Basuki), Jakarta: Tatanusa, 2001, hlm. 6-8.
4
juga peace maintenance. Dengan demikian mencakup mereka yang bertugas di bidang-
bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.11
Membahas penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan
penegakannya, merupakan pembahasan yang steril sifatnya. Apabila membahas
penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana
tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka hanya akan memperoleh gambaran
yang stereotipis yang kosong. Membahas penegakan hukum menjadi berisi apabila
dikaitkan pada pelaksanaan yang konkret oleh manusia.
Penegakan hukum dalam konteks hukum pidana dilaksanakan melalui sistem
peradilan pidana (SPP) yang pelaksanaannya terdiri dari setidaknya 4 (empat)
komponen, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan. Keempat
komponen tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berfungsi tidaknya suatu lembaga pelaksana peradilan
pidana pada prinsipnya berpengaruh pada fungsi lembaga lain. Dalam posisi inilah
Sistem Peradilan Pidana yang dicanangkan dalam KUHAP tersebut menjadi sebuah
Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system).
II. KEJAKSAAN RI DAN PERANNYA DALAM REFORMASI PENEGAKAN HUKUM
Untuk mewujudkan hukum sebagai ide-ide ternyata dibutuhkan suatu organisasi
yang cukup kompleks. Negara yang harus campur tangan dalam perwujudan hukum
yang abstrak ternyata harus mengadakan pelbagai macam badan untuk keperluan
tersebut. Dalam kaitan itu, negara membentuk lembaga-lembaga penegak hukum,
diantaranya adalah lembaga Kejaksaan, suatu lembaga yang tugas pokoknya melakukan
penuntutan. Sebagai komponen dari salah satu elemen sistem hukum, Kejaksaan
mempunyai posisi sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum.12
Posisi sentral dan peranan yang strategis ini karena Kejaksaan berada di poros dan
menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan.
Disamping itu, Kejaksaan memiliki tugas sebagai pelaksana penetapan dan putusan
pengadilan. Oleh karena itu, eksistensi Kejaksaan dalam upaya penegakan hukum
11
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007, hlm. 19. 12
Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum, Jakarta: Timpani Publishing, 2010, hlm. 28.
5
diharapkan untuk selalu meningkatkan kinerjanya secara profesional, berintegritas,
transparan dan akuntabel.
Tugas dan wewenang Kejaksaan RI, secara normatif ditegaskan dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia:
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengamanan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Selain itu berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Kejaksaan dapat
diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Sebagai sebuah organisasi besar, yang terus tumbuh dan berkembang di tengah
perkembangan pemikiran dan wawasan masyarakat, Kejaksaan terus menjadi pusat
6
perhatian masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum.
Kecaman dan soroton negatif terhadap aparat Kejaksaan, tidak pula mengurangi
tingginya ekspektasi masyarakat terhadap penegakan supremasi hukum yang dilakukan
Kejaksaan.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Kejaksaan bersama-sama dengan
lembaga penegak hukum lainnya mempunyai peran masing-masing dalam melakukan
reformasi penegakan hukum di Indonesia. Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem
dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu juga tidak dapat bekerja sendiri sehingga dalam
upaya meningkatkan kerjasama, koordinasi dan sinergitas dengan penegak hukum
lainnya, misalnya melalui Nota Kesepahaman (MoU) atau Surat Kesepakatan Bersama
(SKB) dengan Ketua Mahkamah Agung, Kapolri, Ketua KPK dan Menteri Huku dan HAM
serta dengan lembaga-lembaga lain yang terkait dengan penegakan hukum.
Upaya yang dilakukan Kejaksaan dalam rangka reformasi penegakan hukum
tersebut diantaranya adalah dengan menetapkan beberapa program kerja dan program
percepatan (quick wins) penanganan perkara.
Program kerja tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu program jangka pendek
(satu tahun atau kurang dari satu tahun); program jangka menengah (satu tahun
sampai dua tahun); dan program jangka panjang (lebih dari dua tahun).
Program jangka pendek, bentuk kegiatan:
• Penetapan kebijakan strategis penanganan perkara (pidana umum dan pidana
khusus);
• Pengembangan website Kejaksaan;
• Pengembangan fasilitas pengaduan masyarakat melalui website Kejaksaan RI.
Program jangka menengah, bentuk kegiatan:
• Implementasi kebijakan strategis tentang percepatan penanganan Perkara Pidana
Umum dan Pidana Khusus pada keempat satuan kerja pilot project;
• Pembenahan infrastruktur SIMKARI (Sistem Informasi Manajemen Kejaksaan
Republik Indonesia) pada keempat satuan kerja pilot project dalam upaya
mendukung sistem online proses percepatan dan penanganan Perkara Pidana Umum
dan Pidana Khusus;
• Pembenahan infrastruktur SIMKARI pada keempat Satuan Kerja Pilot Project dalam
upaya mendukung sistem online penanganan pengaduan masyarakat.
7
Program jangka panjang, bentuk kegiatan:
• Pembenahan infrastruktur SIMKARI pada seluruh unit kerja Kejaksaan Tinggi dan
Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia dalam upaya mendukung sistem online
proses percepatan penanganan perkara pidana umum dan pidaana khusus;
• Pembenahan infrastruktur SIMKARI pada seluruh unit kerja Kejaksaan Tinggi dan
Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia dalam upaya mendukung sistem online
penanganan pengaduan masyarakat;
• Menetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) sistem aplikasi SIMKARI;
• Melaksanakan entri data melalui aplikasi SIMKARI secara serentak di seluruh
Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri;
• Penetapan dan pelaksanaan program percepatan dan optimalisasi yang tidak hanya
meliputi pidum, pidsus dan pengawasan, akan tetapi juga akan dilakukan
pengembangan pada perdata dan tata usaha negara, intelijen dan pembinaan.
Adapun program percepatan (quick wins) merupakan program yang mengawali
proses Reformasi Birokrasi Kejaksaan Republik Indonesia dengan hasil akhir berupa
perbaikan pada ketatalaksanaan produk utama Kejaksaan sehingga mempu membangun
kepercayaan masyarakat terhadap Institusi Kejaksaan. Tujuan akhir program percepatan
(quick wins) yaitu:
1. Membangun kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan (Public Trust Building);
2. Menciptakan perubahan pola pikir, budaya kerja dan perilaku Aparatur Kejaksaan
(Change, Mindset work culture, behaviour);
3. Perbaikan Produk Utama Kejaksaan melalui peningkatan kinerja penanganan perkara
dan pengaduan masyarakat (Improvement of Bussiness Process/ Core Bussiness).
Program percepatan (quick wins) dicanangkan bersamaan dengan peluncuran
program Reformasi Birokrasi Kejaksaan pada bulan September 2008 meliputi 4 (empat)
program, yaitu:
1. Program percepatan dan optimalisasi penanganan perkara (Pidana Umum dan Pidana
Khusus);
2. Program Penerapan Sistem Teknologi Informasi (online) Penanganan Perkara (Pidana
Umum dan Pidana Khusus);
8
3. Program Penerapan Sistem Teknologi Informasi (online) Lapdu;
4. Pengembangan Website Kejaksaan.
Program percepatan dan optimalisasi penanganan perkara (Pidana Umum dan
Pidana Khusus)
Program percepatan dan optimalisasi penanganan perkara (Pidana Umum dan Pidana
Khusus) dilakukan dengan cara:
Perkara Pidana Umum:
Melaksanakan kebijakan strategis pimpinan tentang percepatan dan optimalisasi
penanganan perkara Pidana Umum secara konsisten, seperti pedoman tuntutan pidana,
pendelegasian dan pengendalian RENTUT, meminimalisir bolak-baliknya perkara, dan
penyelesaian tunggakan SPDP dan P-21.
Tujuan dari penerapan percepatan dan optimalisasi penanganan perkara pidana umum
adalah:
• Penyelesaian penanganan perkara yang lebih cepat, efektif, efisien dan terkendali
secara profesional dan proporsional.
• Kesetaraan penerimaaan dan penyelesaian hasil penyidikan yang lebih sederhana.
• Pedoman (kriteria) tuntutan pidana sebagai optimalisasi pemenuhan rasa keadilan
masyarakat.
• Pendelegasian kewenangan pengendalian Rentut pidana PK-TING.
• Meminimalisir bolak balik perkara serta tunggakan SPDP dan P-21.
Perkara Pidana Khusus:
Melaksanakan kebijakan strategis pimpinan tentang percepatan dan optimalisasi
penanganan perkara pidana khusus secara konsisten, seperti penetapan standar kinerja
penanganan perkara tindak pidana korupsi, pengendalian penanganan perkara tindak
pidana korupsi, penangguhan dan pengalihan jenis penahanan, mempercepat proses
penanganan perkara korupsi se-Indonesia, pembentukan satuan khusus penanganan
perkara tindak pidana korupsi, pembentukan satuan khusus supervisi dan bimbingan
teknis penuntutan perkara tindak pidana korupsi, perikanan dan ekonomi (cukai dan
kepabeanan).
9
Tujuan dari penerapan percepatan dan optimalisasi penanganan perkara pidana khusus
adalah:
• Penanganan perkara korupsi lebih cepat, efektif, efesien, dan terkendali secara
profesional dan proporsional.
• Penanganan perkara korupsi lebih terukur melalui standar kinerja (jangka waktu).
• Optimalisasi pengembalian kerugian negara kualitas perkara.
• Efektifnya kegiatan dan penerangan hukum kepada masyarakat.
Program Penerapan Sistem Teknologi Informasi (online) Penanganan Perkara
(Pidana Umum dan Pidana Khusus)
Penanganan perkara pidana umum dan pidana khusus dengan memanfaatkan sistem
teknologi informasi (online) pada SIMKARI, akan menghasilkan data base penanganan
perkara serta memberi akses kepada masyarakat untuk mengetahui setiap
perkembangan penanganan perkara yang ditangani Kejaksaan yang pada akhirnya dapat
menciptakan akuntabilitas dan iklim transparansi.
Tujuan dari penerapan sistem online penanganan perkara pidum dan pidsus, yaitu:
• Administrasi perkara dapat dilaksanakan dengan lebih tertib sehingga membantu
mempercepat proses penanganan perkara.
• Mengurangi kemungkinan terjadinya “praktek menyimpang” dalam penanganan
perkara.
• Mempermudah proses monitoring status perkembangan penanganan perkara
termasuk kinerja perorangan, unit kerja maupun wilayah kerja.
• Meningkatkan tranparansi dan akuntabilitas penanganan perkara.
• Mempermudah akses mayarakat untuk memonitor perkembangan kasus perkara
• Menciptakan perencanaan kerja dan proses pengambilan keputusan lebih cepat,
efektif dan efisien.
• Tersedianya bank data penanganan perkara yang up to date menuju pada e-
administration case (Elektronik Administrasi Perkara).
Program Penerapan Sistem Teknologi Informasi (online) Lapdu
10
Penerapan laporan pengaduan (Lapdu) secara online, memungkinkan masyarakat untuk
menyampaikan pengaduan secara langsung terkait dugaan pelanggaran perilaku ataupun
ketidakprofesionalan Jaksa dan pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya.
Tujuan dari penerapan sistem online Lapdu, yaitu:
• Tersedianya akses masyarakat untuk menyampaikan pengaduan melalui website
Kejaksaan RI.
• Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengontrol perilaku pegawai
Kejaksaan.
• Memungkinkan adanya transparansi kepada masyarakat, diantaranya masyarakat
dapat mengetahui perkembangan dan hasil penanganan Lapdu secara cepat dan up
to date.
• Meminimalisir kemungkinan terjadinya “praktek menyimpang” dalam penanganan
dan penyelesaian Lapdu.
• Adminsitrasi berkas Lapdu tertera dengan baik sehingga mempermudah pimpinan
dalam memonitor status perkembangan Lapdu.
• Transparansi dan akuntabilitas unit kerja pengawasan.
• Tersedianya bank data penanganan Lapdu yang up to date menuju pada e-
administration controller (Administrasi Elektronik Pengawasan).
Pengembangan Website Kejaksaan
Website Kejaksaan RI dibentuk karena kesadaran Kejaksaan untuk memenuhi kebutuhan
informasi publik akan Kejaksaan dan kinerjanya dalam rangka menyukseskan program
Reformasi Birokrasi yang telah dicanangkan.
Re-design terhadap website Kejaksaan meliputi penyederhanaan tampilan laman website
sehingga memudahkan pengunjung mengakses informasi yang dibutuhkannya. Selain
itu, juga dilakukan penambahan beberapa kanal yang lebih spesifik untuk informasi-
informasi tertentu seperti info perkara, kanal Kejati, laporan Pengaduan dan Daftar
Buronan.
Adapun website Kejaksaan Republik Indonesia adalah: www.kejaksaan.go.id
11
Tujuan dari penerapan pengembangan website Kejaksaan, yaitu:
• Memudahkan akses masyarakat akan kebutuhan informasi yang berkaitan dengan
kinerja dan tugas pokok Kejaksaan.
• Informasi penanganan perkara (Pidum dan Pidsus) di website Kejaksaan sebagai
tindak lanjut UU No. 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik.
• Upaya transparansi dan akuntabilitas kinerja Kejaksaan.
Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-014/A/JA/02/2010 tanggal 14
Pebruari 2010 tentang Tim Penguatan, Pengembangan dan Implementasi Program
Percepatan (Quick Wins) Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI, maka ditetapkan program
kerja Quick Wins tahun 2010 sebagai berikut:
1. Melakukan penguatan terhadap dua Kejati dan dua Kejari yang telah ditetapkan
sebagai satuan kerja pilot project pada tahun 2009 sehingga seluruh jaksa dapat
mengimplementasikan empat program Quick Wins secara konsisten, sistematik dan
terukur.
2. Melakukan pengembangan satuan kerja pilot project di 10 Kejati dan 4 Kejari.
3. Melakukan sosialisasi dan pendampingan dalam rangka penerapan program Quick
Wins di seluruh satuan kerja pilot project.
4. Melakukan implementasi serta monitoring dan evaluasi secara terukur terhadap
penerapan (implementasi) keempat program Quick Wins.
5. Mengembangkan dan menetapkan program Quick Wins di bidang pembinaan,
intelijen serta perdata dan tata usaha negara untuk dapat segera diimplementasikan
pada tahun 2011.
Tahun 2010 dilakukan pengembangan Program Quick Wins pada:
1. Bidang pembinaan
Program Quick Wins difokuskan pada data base kepegawaian dan keuangan
secara online.
2. Bidang Intelijen
Program Quick Wins difokuskan pada percepatan dan optimalisasi penyelesaian
penyelidikan intelijen dan cegah tangkal (cekal).
3. Bidang perdata dan tata usaha negara
12
Program Quick Wins difokuskan pada percepatan dan optimalisasi penanganan
perkara perdata dan tata usaha negara (Datun).
III. PENGUATAN KELEMBAGAAN DI LINGKUNGAN KEJAKSAAN RI
Salah satu tuntutan masyarakat yang muncul setelah lahirnya gerakan reformasi
ialah adanya penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut disuarakan masyarakat, mengingat praktek
penyelenggaraan negara pada masa sebelumnya dianggap kurang efektif, kurang efisien,
kurang transparan dan kurang akuntabel sehingga rawan terjadi praktek penyimpangan.
Menyikapi tuntutan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan
Ketetapan (TAP) MPR Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. TAP MPR tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Untuk melaksanakan kedua ketentuan di atas, seluruh lembaga negara terutama
lembaga penegak hukum dituntut untuk melakukan pembenahan dan penguatan
kelembagaan (birokrasi). Pembenahan dan penguatan birokrasi lembaga penegak
hukum, seperti lembaga Kejaksaan merupakan suatu keharusan guna memulihkan
kepercayaan masyarakat (public trust) dan meningkatkan citra institusi. Bagi Kejaksaan,
penguatan dan pembenahan birokrasi harus segera dilakukan mengingat beberapa tahun
terakhir Kejaksaan mendapat sorotan masyarakat karena kinerjanya dianggap belum
maksimal sehingga belum dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum sebagaimana
yang diharapkan oleh masyarakat. Pembenahan dan penguatan birokrasi Kejaksaan
harus dilakukan dan salah satunya adalah melalui Reformasi Birokrasi.
Reformasi birokrasi merupakan program kerja pemerintah yang secara tegas
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Bab IV, butir 1.2 huruf E Angka 35
Lampiran Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2007 menyatakan bahwa “Pembangunan
Aparatur Negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan
profesionalisme Aparatur Negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik,
di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di
bidang-bidang lainnya.”
13
Sebagai lembaga penegak hukum, kejaksaan masuk prioritas pertama lembaga
negara yang melaksanakan program Reformasi Birokrasi yang pelaksanaannya
dikoordinasikan oleh Kementerian PAN dan RB. Melalui reformasi birokrasi diharapkan
dapat terwujud tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Melalui reformasi
birokrasi diharapkan dapat tercipta suatu organisasi modern yang mengutamakan
pelayanan publik dalam penegakan hukum melalui pembenahan sistem yang meliputi:
pembenahan kelembagaan, bisnis proses, dan sumber daya manusia. Melalui reformasi
birokrasi sekurang-kurangnya ingin diperoleh sebuah implementasi birokrasi yang di
dalamnya menggambarkan proses demokratisasi, efektivitas dan efisiensi birokrasi,
transparansi dan akuntabilitas, serta bertanggung jawab dalam kerangka memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat.
A. Dari Agenda Pembaruan Menuju Reformasi Birokrasi.
Reformasi birokrasi pada hakekatnya adalah segala upaya untuk melakukan
perubahan kearah perbaikan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Cikal bakal
lahirnya Reformasi Birokrasi Kejaksaan diawali dengan diluncurkannya Agenda
Pembaruan Kejaksaan dihadapan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada Hari
Bhakti Adhyaksa tanggal 22 Juli 2005. Agenda Pembaruan Kejaksaan disusun
dengan sitematika:13
1. Pembaharuan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan serta Sumber Daya Manusia
Pembaharuan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan serta SDM sangat penting
guna meningkatkan profesionalisme jaksa melalui pola rekrutmen CPNS dan
calon jaksa secara transparan dan akuntabel. Pembaharuan ini juga merupakan
mandat dari Undang-Undang Nomor: 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dan
Guidelines in The Role of Prosecutors and International Association of
Prosecutors, yang menekankan terwujudnya jaksa dan kejaksaan yang
profesional dan berintegritas.
2. Pembaharuan Organisasi dan Tata Kerja Intelijen
Pembaharuan Organisasi dan Tata Kerja intelijen dilakukan agar peran dan
fungsi intelijen kejaksaan dapat lebih optimal sehingga intelijen kejaksaan bukan
13
Basrief Arief, Penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dalam Pembaharuan Kejaksaan Guna
Mewujudkan Profesionalisme dan Integritas Aparatus Kejaksaan, makalah disampaikan dalam seminar Hari Bhakti
Adhyaksa ke-46 tanggal 11 Juli 2006 di Jakarta, hal. 7-8.
14
hanya fokus pada penyelidikan perkara korupsi tetapi juga dapat menjadi indera
adhyaksa bagi bidang-bidang lainnya. Sehingga ancaman, ganggguan,
hambatan dan tantangan (AGHT) yang dihadapi oleh bidang-bidang lain dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya dapat diantisipasi dan diatasi dengan lebih
baik lagi sehingga pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan lancar.
3. Pembaharuan Manajemen Umum
Pembaharuan ini meliputi urusan sarana dan prasarana, anggaran penanganan
perkara tertentu dan operasional lainnya, serta anggaran bagi peningkatan
kesejahteraan jaksa dan pegawai kejaksaan lainnya. Hal ini ditujukan untuk
menjamin tersedianya biaya operasional kejaksaan dalam menjalankan
fungsinya sebagai lembaga penegak hukum dan tercukupinya kesejahteraan
para jaksa dan aparatur kejaksaan, sehingga mereka dapat menajalankan tugas
dan fungsinya dengan baik.
4. Pembaharuan Manajemen Perkara
Pembaharuan manajemen perkara meliputi pengembangan Sistem Informasi
Penanganan Perkara untuk menjamin transparansi dan akses publik dalam
rangka mendorong penanganan perkara yang lebih profesional, transparan dan
akuntabel, serta peningkatan kerja sama antar instansi terkait terutama
terhadap penanganan kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat.
5. Pembaharuan Sistem Pengawasan Kejaksaan
Pembaharuan sistem pengawasan dimaksudkan untuk meningkatkan budaya
hukum di kalangan jaksa dan pegawai kejaksaan sehingga dapat meningkatkan
ethos kerja aparatur kejaksaan. Untuk itu, dalam program ini dikembangkan
Code of Conduct jaksa yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan
ada/tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh jaksa. Dalam program ini juga
dikembangkan mekanisme koordinasi antara jajaran Jaksa Agung Muda Bidang
Pengawasan dengan unit pengawasan eksternal seperti Komisi Kejaksaan.
Program-program di atas, merupakan program-progran prioritas terpilih yang
dapat dilakukan kejaksaan tanpa harus menunggu prakarsa lembaga negara
yang lain.
15
Sebagai tindak lanjut dari Laporan Satu Tahun Pembaruan Kejakasaan pada
bulan Oktober 2006 dibentuk 7 (tujuh) kelompok kerja (Pokja) pembaruan
kejaksaan yang melibatkan masyarakat sipil (civil society), khususnya kalangan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi. Ketujuh kelompok kerja
tersebut meliputi:
1. Pokja Pembaruan Ortala Kejaksaan;
2. Pokja Rekruitmen dan Pembinaan Karir;
3. Pokja Pendidikan dan Pelatihan (Diklat);
4. Pokja Pembaharuan Ortala Intelijen;
5. Pokja Penyusunan Kode Perilaku Jaksa (Code of Conduct) dan Standar Minimum
Profesi Jaksa (SMPJ);
6. Pokja Mekanisme dan Prosedur Pengawasan; dan
7. Pokja Comparative Study.
Agenda Pembaruan Kejaksaan menghasilkan 6 (enam) Peraturan Jaksa Agung
R.I. yang dikenal dengan nama Perja Pembaruan. Keenam Perja yang diterbitkan
pada tanggal 12 Juli 2007 tersebut, terdiri dari:
1. Perja Sistem Rekruitmen CPNS dan Calon Jaksa;
2. Perja Sistem Pembinaan Karir Pegawai;
3. Perja Sistem Pendidikan dan Pelatihan;
4. Perja Kode Perilaku Jaksa;
5. Perja Standar Minimum Profesi Jaksa; dan
6. Perja Sistem Penyelenggaraan Pengawasan.
Keenam bidang tersebut dianggap sebagai prioritas utama guna meningkatkan
profesionalitas, integritas dan kualitas jaksa. Dari Keenam Perja tersebut di atas, ada
4 (empat) Perja yang mengalami perubahan pada tahun 2009 yakni, Perja Sistem
Rekruitmen CPNS dan Calon Jaksa, Perja Sistem Pembinaan Karir Pegawai, Perja
Perja Sistem Pendidikan dan Pelatihan, dan Perja Sistem Penyelenggaraan
Pengawasan.
Pembaharuan kejaksaan dilakukan secara komprehensif melalui Program
Reformasi Birokrasi Kejaksaan yang diluncurkan kepada publik pada tanggal 18
September 2008. Tujuannya adalah untuk membangun profil dan membentuk
16
perilaku pegawai kejaksaan yang berintegritas tinggi; berproduktifitas tinggi dan
bertanggung jawab; serta mengutamakan pelayanan masyarakat guna mewujudkan
birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Adapun sasaran
reformasi birokrasi kejaksaan adalah terwujudnya organisasi kejaksaan yang modern
yang mengutamakan pelayanan publik, ’right sizing’ (tepat ukuran dan tepat fungsi)
dengan prosedur kerja yang jelas demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance).
Reformasi birokrasi kejaksaan mencakup 3 (tiga) aspek yaitu: kelembagaan
(organisasi); ketatalaksanaan (business process); dan sumber daya manusia
(aparatur).
1. Aspek Kelembagaan
Reformasi di bidang kelembagaan diperlukan untuk menata ulang struktur
organisasi kejaksaan agar terbentuk organisasi yang tepat fungsi dan tepat
ukuran (right sizing) sehingga tercipta organisasi modern yang mampu
mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi secara efektif, efisien, transparan dan
akuntabel serta lebih mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.
2. Aspek Ketatalaksanaan
Reformasi di bidang tata laksana diperlukan agar dalam setiap pelaksanaan
tugas dan fungsi baik itu yang sifatnya teknis yuridis maupun administratif
mempunyai panduan yang jelas sehingga hasil-hasilnya dapat terukur dengan
jelas. Reformasi ketetalaksanaan dilakukan dengan membangun sistem, proses,
dan prosedur kerja (SOP) yang jelas, tertib, tidak tumpang tindih, sesuai dengan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
3. Aspek Sumber Daya Manusia(SDM)
Reformasi aspek sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor yang yang
paling penting karena aspek inilah yang nantinya akan mengimplementasikan
atau menggerakan semua program reformasi birokrasi. Reformasi di bidang
SDM, meliputi 3 (tiga) hal, yaitu: perubahan pola pikir (mind set), perubahan
budaya kerja (culture set), dan perubahan tata laku (behavior).
a. Perubahan pola pikir (mind set)
Perubahan pola pikir (mind set), harus dilakukan oleh seluruh aparatur
kejaksaan mulai dari pimpinan paling atas sampai pegawai paling bawah.
17
Pola pikir sebagai penguasa yang cenderung ingin mendapatkan pelayanan
harus diubah menjadi pelayanan masyarakat, karena pada dasarnya
aparatur kejaksaan merupakan abdi negara yang harus mengutamakan
pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya perubahan pola pikir
diharapkan aparatur kejaksaan memiliki sense of belonging, sense of
responsibility, dan sense of crisis dalam setiap melaksanakan tugas pokok,
fungi dan kewenangannya, khususnya dalam pelaksanaan penegakan
hukum.
b. Perubahan budaya kerja (culture set)
Perubahan budaya kerja (culture set) sangat erat kaitannya dengan rasa
tanggung jawab (sense of responsibility) terutama dalam pelaksanaan
tugas sehari-hari, khususnya dalam penggunaan waktu, anggaran,
peralatan dan lain sebagainya. Pegawai kejaksaan diharapkan selalu
berusaha untuk menambah wawasan dan meningkatkan kapabilitas
personilnya dengan tidak menunda-nunda pekerjaan dan berusaha sekuat
tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu dan
penggunaan anggaran yang sehemat dan secermat mungkin.
c. Perubahan tata laku (behavior)
Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, setiap pegawai kejaksaan harus
mempunyai perilaku yang terpuji, terutama pada saat menjalankan tugas
dan fungsinya. Aparatur kejaksaan harus mampu memberi tauladan kepada
masyarakat, terutama dalam hal ketaatan dan kepatuhan terhadap norma-
norma hukum yang berlaku . Jangan sampai sebagai aparat lembaga
penegak hukum, aparatur kejakaan justru melakukan pelangaran hukum.
B. Pelaksanaan dan Implementasi Program Reformasi Birokrasi Kejaksaan
Dalam rangka melaksanakan dan mengimplementasikan reformasi birokrasi,
kejaksaan telah melaksanakan berbagai program, antara lain: program percepatan
(quick wins); penyusunan Profil Kejaksaan Tahun 2025; serta penataan sistem dan
restrukturisasi organisasi melalui kegiatan evaluasi kinerja, analisisi jabatan, evaluasi
jabatan, analisis beban kerja dan penghitungan remunerasi.
18
1. Program Percepatan (Quick Wins);
Program quick wins merupakan program unggulan yang mengawali proses
reformasi birokrasi dengan tujuan untuk membangun kembali kepercayaan
masyarakat (public trust building) terhadap kejaksaan dalam waktu yang cepat.
Hasil akhir atau keluaran (out put) dari program ini adalah perbaikan bisnis
proses dari produk utama (core business) kejaksaan sehingga manfaatnya dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat pencari keadilan.
Langkah-langkah yang dilakukan kejaksaan dalam melaksanakan program
quick wins, adalah sebagai berikut:
a. Melakukan pembenahan standar operasional prosedur (SOP) penanganan
perkara, khususnya perkara tindak pidana khusus dan tindak pidana umum
serta laporan masyarakat.
b. Melakukan pembenahan sistem informasi penanganan perkara, khususnya
perkara tindak pidana khusus dan tindak pidana umum serta laporan
masyarakat .
c. Melakukan pembenahan terhadap website Kejaksaan
d. Menerapkan SOP baru dalam penanganan perkara, khususnya perkara
tindak pidana umum, tindak pidana khusus dan laporan masyarakat
(percepatan dalam hal waktu penanganan perkara dan kedisiplinan
terhadap prosedur).
Adapun sasaran yang hendak dicapai melalui program quick wins adalah:
a. Memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat melalui percepatan
proses penanganan perkara demi terciptanya penegakan hukum yang
menjamin terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.
b. Meningkatkan profesionalitas jaksa melalui prosedur dan mekanisme kerja
yang menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas, dengan
menggunakan Sistem Informasi Manajemen Kejaksaan RI (SIMKARI) secara
online, sehingga dapat menyajikan informasi penanganan perkara secara
cepat tepat dan akurat.
c. Meningkatkan pelayanan laporan pengaduan (Lapdu) masyarakat melalui
pemberian akses (website kejaksaan) dan mempercepat proses
penanganan penyelesaian Lapdu yang berbasis data base.
19
d. Memperluas akses informasi publik yang berkaitan dengan kinerja
kejaksaan, khususnya dalam penanganan perkara, sebagai upaya
akuntabilitas dan transparansi kinerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Program quick wins terdiri dari 4 (empat) program, yaitu: percepatan dan
optimalisasi penanganan perkara; penerapan sistem teknologi informasi (TI)
online penanganan perkara; penerapan sistem teknologi informasi (TI) online
laporan pengaduan (Lapdu); dan pembenahan website kejaksaan.
2. Penyusunan Profil Kejaksaan Tahun 2025;
Dalam rangka melaksanakan program reformasi birokrasi agar tepat
sasaran, Tim Reformasi Birokrasi Kejaksaan telah menyusun Profile Kejaksaan
2025. Profil Kejaksaan ini berfungsi sebagai pedoman dan arah bagi kejaksaan
dalam mengelola perubahan dengan menempatkan setiap tahap dan kegiatan
pembaruan secara strategis sebagai bagian dari pencapaian tujuan utama.
Dalam Profil Kejaksaan 2025 dirumuskan wajah kejaksaan masa depan, yang
meliputi:
a. Visi dan Misi Kejaksaan;
b. Independensi Jaksa dan Kejaksaan;
c. Profil Organisasi Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan
Negeri;
d. Profil Manajemen Kinerja;
e. Profil Integritas dan Pengawasan; dan
f. Profil Manajemen SDM yang meliputi: Organisasi Kepegawaian;
Penempatan Pegawai; Rekruitmen Pegawai; serta Pendidikan dan Pelatihan
3. Penataan Sistem dan Restrukturisasi Organisasi
Penataan sistem dan restrukturisasi organisasi dilakukan melalui kegiatan
antara lain: evaluasi kinerja; analisis jabatan, evaluasi jabatan, penghitungan
remunerasi; dan analisisi beban kerja. Evaluasi kinerja, analisis jabatan, evaluasi
jabatan, penghitungan remunerasi dilaksanakan pada reformasi birokrasi tahap
I, sedangan analisis beban kerja dilaksanakan pada reformasi birokrasi tahap II.
a. Evaluasi Kinerja;
20
Dalam rangka mendorong tercapainya reformasi birokrasi kejaksaan,
khususnya dalam mewujudkan organisasi kejaksaan yang berorientasi pada
hasil (result oriented government) maka dilaksanakan evaluasi kinerja
kejaksaan. Evaluasi kinerja kejaksaan bertujuan untuk mengetahui kondisi
obyektif kinerja kejaksaan saat ini dalam menerapkan berbagai prinsip-
prinsip pengelolaan sumber daya manusia (SDM) dan pencapaian hasil-hasil
organisasi kejaksaan. Evaluasi kinerja kejaksaan dilakukan terhadap 8
(delapan) aspek, yaitu: kepemimpinan, perencanaan kinerja, organisasi,
manajemen SDM) penganggaran, manajemen informasi dan manajemen
proses.
Dari evaluasi terhadap delapan aspek tersebut, aspek manajemen SDM
menempati prioritas utama yang mendesak untuk dilakukan reformasi
birokrasi. Aspek manajemen ini meliputi: sistem rekruitmen, penempatan
pegawai, pemberian pendidikan dan pelatihan, penilaian kinerja, mutasi-
promosi, pemberian penghargan dan penjatuhan hukuman. Setelah aspek
manajemen SDM, selanjutnya adalah aspek manajemen proses, yaitu perlu
adanya standar pelayanan minimal dan manajemen pelayanan kepada
masyarakat.
b. Analisis Jabatan, Evaluasi Jabatan dan Struktur Remunerasi
Analisis jabatan dilakukan untuk menghasilkan uraian jabatan bagi
posisi-posisi yang telah ditentukan untuk mencapai kejelasan jabatan;
evaluasi jabatan untuk menghasilkan bobot jabatan bagi posisi-posisi dan
level yang telah diidentifikasi; dan struktur remunerasi dilakukan untuk
menghasilkan tunjangan kinerja bagi aparatur kejaksaan berdasarkan
pembobotan yang telah ditentukan. Kegiatan analisis jabatan, evaluasi
jabatan dan penghitungan remunerasi telah dilakukan pada Desember 2008
s/d April 2009 dengan melibatkan konsultan SDM Hay Group yang ditunjuk
oleh The Asia Foundation sebagai lembaga donor.
c. Analisis Beban Kerja
Sejak bulan Juni 2009 kejaksaan telah melanjutkan reformasi birokrasi
tahap II dengan fokus pada perubahan struktur organisasi guna
mewujudkan organisasi dengan fungsi dan ukuran yang tepat (right sizing),
21
profesional, produktif dan efisien. Untuk itu, dilakukan analisis beban kerja
guna mengetahui beban kerja masing-masing kantor kejaksaan,
pemanfaatan waktu yang dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi teknis
penanganan perkara, tugas di bidang manajerial dan tugas lainnya,
keseimbangan pelaksanaan tugas teknis penanganan perkara dan tugas
manajerial, produktivitas SDM dan sebagainya. Dengan adanya analisis
beban kerja, dapat diketahui berapa jumlah SDM secara ideal yang
dibutuhkan oleh masing-masing kantor kejaksaan
Hasil dari kegiatan evaluasi kinerja, analisisi jabatan, evaluasi jabatan dan
analisis beban kerja antara lain: restrukturisasi organisasi, penyusunan SOP,
profile assesment dalam promosi jabatan, dan pengembangan sistem penilaian
kinerja.
a. Restrukturisasi Organisasi
Restrukturiasi organisasi kejaksaan merupakan hal penting yang dilakukan,
karena akan mempengaruhi berbagai aspek lainnya, termasuk dalam
membenahi sistem SDM dan perubahan tata laksana (business process).
Restrukturisasi organisasi kejaksaan dilakukan berdasarkan Peraturan
Presiden RI Nomor: 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia dan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-
009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia banyak jabatan struktural di kejaksaan dihapuskan. Hal tersebut
dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan struktur organisasi
yang tepat ukuran dan tepat fungsi (right sizing). Di dalam kedua peraturan
tersebut, ribuan jabatan struktural terutama jabatan eselon V teknis di
kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi serta jabatan struktural eselon IV
teknis di Kejaksaan Agung dihapuskan.
b. Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP)
Standar operasional prosedur (SOP) merupakan pedoman baku bagi
pelaksanaan tugas dan fungsi tiap-tiap unit kerja yang ada di kejaksaan. Oleh
karena itu, dalam rangka pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi, perlu
disusun tata laksana yang menghasilkan SOP berdasarkan pada prinsip-
22
prinsip bussines process yang bersifat lengkap dan kronologis, berciri
spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, sesuai kepentingan/ keinginan
stakeholder dan jelas penentuan batas waktunya. Dengan adanya SOP
diharapkan proses kerja dan out put kinerja dapat lebih kredibel, sehingga
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan. Beberapa SOP
yang telah disusun, antara lain:
− Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Perja-039/A/JA/10/2010 tanggal 29
Oktober 2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan
Perkara Tindak Pidana Korupsi;
− Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Perja-040/A/JA/12/2010, tanggal 13
Desember 2010 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelaksanaan
Tugas, Fungsi dan Wewenang Datun (perdata dan tata usaha negara);
dan
− Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-022/A/JA/03/2001, tanggal 18
Maret 2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik
Indonesia.
Adapun SOP penanganan perkara di Bidang Tindak Pidana Umum dan SOP
pelaksanaan tugas di Bidang Intelijen masih dalam proses penyelesaian dan
penyesuaian karena adanya perubahan nomenklatur Direktorat pada Jaksa
Agung Muda Bidang PIDUM dan perubahan nomenklatur Direktorat pada
Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen seiring dengan dikeluarkannya Peraturan
Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
c. Profile Assesment
Pimpinan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan berhasil
tidaknya suatu organisasi menjalankan tugas dan fungsinya. Untuk itu, pada
setiap unit kerja dibutuhkan pimpinan yang visioner, memiliki komitmen dan
mampu menggerakkan perubahan organisasi ke arah yang lebih baik.
Seorang pimpinan harus mempunyai kompetensi secara teknis, konseptual
dan interpersonal serta transparan dan akuntabel dalam mengkomunikasikan
suatu kebijakan. Dalam rangka mendapatkan pimpinan yang memenuhi
kriteria tersebut, kejaksaan menerapkan profile assessment untuk para
23
pejabat yang akan dipromosikan ke jabatan setingkat lebih tinggi.
Kedepannya, sistem ini akan terus dievaluasi dan diperbaiki sehingga dapat
menempatkan orang sesuai dengan kompetensinya (the right man in the
right place) sesuai prinsip-prinsip manajemen modern.
d. Pengembangan Sistem Penilaian Kinerja
Dalam rangka meningkatkan kinerja dan meminimalisir penyimpangan yang
dilakukan oleh jaksa dan satuan kerja dikejaksaan, telah dikembangkan
Instrumen Penilaian Kinerja Satuan Kerja (IPKSK) dan Instrumen Penilaian
Kinerja Jaksa (IPKJ). IPKJ adalah sarana yang digunakan dalam pengawasan
melekat (Waskat) terhadap jaksa untuk menilai unsur penanganan perkara
dan administrasi perkara. Mekanisme yang digunakan dalam IPKJ adalah self
assessment yang dibuktikan dengan dokumen pekerjaan dari jaksa yang
bersangkutan. IPKJ dijadikan sebagai dasar promosi, mutasi dan
pengembangan SDM, khususnya jaksa.
C. Reformasi Birokrasi dan Peningkatan Profesionalitas Aparatur Kejaksaan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, reformasi dalam aspek sumber daya
manusia (SDM) merupakan faktor yang paling penting karena unsur SDM inilah
sebagai penggerak dan pelaksana suatu organisasi. Oleh karena itu, dengan adanya
reformasi birokrasi diharapkan dapat dikembangkan suatu: sistem pengadaan dan
seleksi yang mampu menghasilkan aparatur yang berkualitas dan kompeten; pola
pengembangan dan pelatihan pegawai yang baik; pola rotasi, mutasi, promosi, dan
pola jenjang karir yang transparan dan akuntabel. Semua sistem dan pola tersebut
dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya aparatur kejaksaan (khususnya jaksa)
yang profesional dan berintegritas.
Jabatan jaksa merupakan jabatan profesi di bidang penegakan hukum, oleh
karena itu seorang jaksa haruslah profesional. Menurut Samuel P. Huntington, jaksa
sebagai seorang profesional harus memiliki 3 (tiga) karakteristik, yaitu: keahlian
(expertise), pertanggungjawaban sosial (social responsibility), dan memiliki rasa
kesatuan dan keterikatan baik antara sesama sejawat maupun dengan anggota
24
masyarakat yang dilayani (corporatness).14 Untuk itu, jaksa harus memiliki
kemampuan mengembangkan keahlian dan mengembangkan hubungan, baik secara
perorangan maupun kelembagaan. Sebab, hukum dalam dimensi yang luas tidak
hanya sekedar aturan tertulis dalam suatu undang-undang saja, tetapi yang
terpenting ialah bagaimana hukum dapat menciptakan keadilan dan kepastian sesuai
harapan masyarakat, bukan sekedar menghukum.
Sebagai figur yang profesional, berintegritas dan berdisiplin, setiap jaksa harus
berpedoman pada doktrin Tri Krama Adhyaksa yaitu: Satya, Adhi dan Wicaksana,
sebagaimana diatur dalam KEPJA Nomor: Kep-030/JA/3/1988. Satya: berarti
kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
terhadap diri sendiri dan keluarga maupun terhadap sesama manusia; Adhi: berarti
kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab
– bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga dan terhadap
sesama manusia; dan Wicaksana: berarti bijaksana dalam tutur kata dan tingkah
laku khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan landasan moral bagi Korps Adhyaksa
dalam menunaikan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara penegak hukum.
Sebagai abdi negara penegak hukum, pada hakekatnya jaksa merupakan abdi
masyarakat yang berusaha turut berfungsi sebagai pencari kebenaran, pendamba
keadilan dan pewujud kepastian hukum dalam rangka memelihara dan mewujudkan
keamanan dan ketertiban menuju tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,
seorang jaksa harus memiliki kemampuan profesional, berintegritas dan berdisiplin
tinggi dalam mengemban bakti profesi kepada masyarakat, bangsa dan negara yang
tercermin dalam Tata Krama Adhyaksa, antara lain:15
1. Jaksa adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Jaksa mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara
sesama pencari keadilan serta menjunjung tinggi asas parduga tak bersalah.
3. Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban melindungi kepentingan umum.
14
Samuel P. Huntington, Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil, (Penerjemah: Deasy
Sinaga), Jakarta: PT. Grasindo, 2003, hal. 8-10. 15
Persatuan Jaksa Republik Indonesia, Kode Etik Jaksa dan Tata Krama Adhyaksa, Jakarta: Kejaksaan Agung RI,
1995, hal. 43.
25
4. Jaksa senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pengabdiannya dengan
memperhatikan disiplin ilmu hukum.
5. Jaksa berlaku adil dalam memberikan pelayanan kepada pencari keadilan.
6. Jaksa senantiasa memupuk serta mengembangkan kemampuan profesional,
integritas pribadi dan disiplin yang tinggi.
7. Jaksa berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam
tata pikir, tata tutur dan tata laku.
8. Jaksa senantiasa membina dan mengembangkan kader Adhyaksa dengan
semangat ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Melalui reformasi birokrasi, lembaga kejaksaan diharapkan mampu melahirkan
jaksa yang memenuhi berbagai kriteria di atas, sehingga pelayanan kepada
masyarakat dapat diberikan secara prima. Untuk itu, Program Reformasi Birokrasi
Kejaksaan akan selalu dievaluasi dan diperbaiki serta diupayakan menjadi suatu
gerakan yang terus berjalan hingga pelayanan prima kepada masyarakat dapat
terwujud. Sebab bisa jadi, apa yang telah dihasilkan sekarang sudah tidak sesuai
lagi dengan tuntutan masyarakat di masa yang akan datang sehingga perlu
dilakukan reformasi kembali. Oleh karena itu, Reformasi Birokrasi Kejaksaan akan
selalu dilaksanakan sampai pelayan prima kepada masyarakat, khususnya para
pencari keadilan, dapat diwujudkan.
Selain itu, dalam rangka menunjang keberhasilan pelaksanaan reformasi
birokrasi dan pelaksanaan tugas kejaksaan yang lebih baik, kejaksaan akan terus
meningkatkan kerjasama dengan Komisi Kejaksaan. Sebab Komisi Kejaksaan
merupakan institusi yang diberi amanat oleh peraturan perundang-undangan untuk
melakukan pengawasan, penilaian dan memberikan masukan terhadap lembaga
kejaksaan. Kerjasama tersebut ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya nota
kesepahaman antara Jaksa Agung dengan Ketua Komisi Kejaksaan Nomor: KEP-
099/A/JA/05/2011, Nomor: NK-001/KK/05/2011 tanggal 19 Mei 2011 tentang
Mekanisme Kerja Antara Kejaksaan Republik Indonesia dengan Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia dalam Pelaksanaan Pengawasan, Pemantauan dan Penilaian atas
Kinerja dan Perilaku Jaksa dan Pegawai Kejaksaan. Tugas dan wewenang Komisi
26
Kejaksaan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor: 18 Tahun 2011
tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, antara lain:
− Pasal 3 Perpres Nomor 18 Tahun 2011 menyatakan:
Komisi Kejaksaan mempunyai tugas:
a. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan
perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kode
etik;
b. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap perilaku Jaksa
dan/atau pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan;
dan
c. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, tata kerja,
kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di
lingkungan Kejaksaan.
− Pasal 4 Perpres Nomor 18 Tahun 2011 menyatakan:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Komisi
Kejaksaan berwenang:
a. Menerima dan menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat tentang
kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya;
b. Meneruskan laporan atau pengaduan masyarakat kepada Jaksa Agung untuk
ditindaklanjuti oleh aparat pengawas internal kejaksaan;
c. Meminta tindak lanjut pemeriksaan dari Jaksa Agung terkait laporan
masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai kejaksaan;
d. Melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan
yang telah dilakukan oleh aparat pengawas internal kejaksaan;
e. Mengambil alih pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat pengawas
internal kejaksaan; dan
f. Mengusulkan pembentukan Majelis Kode Perilaku Jaksa.
− Pasal 9 Perpres Nomor 18 Tahun 2011 menyatakan:
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4, Komisi Kejaksaan dapat menyampaikan rekomendasi berupa:
27
a. Penyempurnaan organisasi dan tata kerja serta peningkatan kinerja
kejaksaan;
b. Pemberian penghargaan kepada jaksa dan/atau pegawai kejaksaan yang
berprestasi dalam melaksanakan tugas kedinasannya; dan/atau
c. Pemberian sanksi terhadap jaksa dan/atau pegawai kejaksaan sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
Kode Etik, dan/atau peraturan perundang-undangan.
IV. PENUTUP
Reformasi penegakan hukum merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di
Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan negara hukum yang dicita-
citakan. Bahwa pada kenyataannya, reformasi penegakan hukum tidak bisa berjalan
secara parsial. Reformasi penegakan hukum harus dilaksanakan secara bersama-sama
dengan komitmen yang sama dari seluruh aparat penegak hukum yang terlibat. Hal yang
sangat tidak mungkin adalah melakukan reformasi penegakan hukum dari satu institusi
tanpa ada dukungan dari institusi lain dan yang lebih penting adalah perlunya dukungan
dari semua kalangan masyarakat. Reformasi tidak akan terlaksana sebagaimana yang
kita cita-citakan bersama tanpa adanya kebersamaan dari seluruh kalangan dari
pemerintahan maupun masyarakat untuk menjadikan negara ini ke arah yang lebih baik.
Sebagai salah satu sub sistem dalam penegakan hukum pada umumnya dan
sebagai komponen dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu pada khususnya, Kejaksaan
memiliki peran yang cukup signifikan dalam upaya melakukan reformasi penegakan
hukum di Indonesia. Semakin banyak kita dengar berbagai permasalahan hukum yang
terjadi di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian lebih dan perbaikan dalam
penanganannya, khususnya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan tugas dan
kewenangan Kejaksaan. Salah satu upaya yang dilakukan Kejaksaan dalam rangka
reformasi penegakan hukum tersebut diantaranya adalah dengan menetapkan beberapa
program kerja dan program percepatan (quick wins) dalam penanganan perkara.
Dengan program kerja dan percepatan yang sedang dilaksanakan oleh Kejaksaan,
diharapkan akan meminimalisir terjadinya berbagai permasalahan hukum tersebut. Di
samping itu, Kejaksaan juga sedang gencar melakukan pembenahan dan penguatan
28
kelembagaan (birokrasi) guna memulihkan kepercayaan masyarakat (public trust)
terhadap lembaga Kejaksaan. Pembenahan dan penguatan birokrasi bagi Kejaksaan
dilakukan melalui Program Reformasi Birokrasi Kejaksaan yang diluncurkan dan langsung
diterapkan pada tanggal 18 September 2008 hingga sekarang.
Kejaksaan sebagai suatu lembaga sangat menyadari dalam pelaksanaan perubahan
ke arah yang lebih baik akan menghadapi berbagai hambatan dan kendala baik itu dari
internal maupun eksternal. Namun demikian segala upaya yang dilakukan oleh seluruh
pegawai Kejaksaan merupakan tekad bersama dan komitmen bersama untuk membawa
Kejaksaan menjadi lembaga penegak hukum yang lebih baik lagi.
Jakarta, 12 Oktober 2011
29
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Basrief. Penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dalam Pembaharuan Kejaksaan Guna Mewujudkan Profesionalisme dan Integritas Aparatus Kejaksaan, makalah disampaikan dalam seminar Hari Bhakti Adhyaksa ke-46 tanggal 11 Juli 2006 di Jakarta.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary, Edisi VI, St. Paul Minesota: West Publishing, 1990.
Cunningham, W.T. Nelson Contemporary English Dictionary, Canada: Thompson and Nelson Ltd, 1982.
Effendy, Marwan. Kejaksaan dan Penegakan Hukum, Jakarta: Timpani Publishing, 2010.
Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction, 2nd Edition (Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Penerjemah: Wisnu Basuki), Jakarta: Tatanusa, 2001.
Huntington, Samuel P. Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil, (Penerjemah: Deasy Sinaga), Jakarta: PT. Grasindo, 2003.
Kejaksaan Agung RI. Perkembangan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi: Materi Sosialisasi Reformasi Birokrasi Kejaksaan, Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 2009.
------------. Kumpulan Perja Pembaruan Kejaksaan 2007. Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 2009.
------------. Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia 1945-1985. Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1985.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2006.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1991.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cet. II, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002
Persatun Jaksa Republik Indonesia. Kode Etik Jaksa dan Tata Krama Adhyaksa. Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1995.
Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006
30
Sidharta, Bernard Arief. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2000.
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700.
------------. Undang-Undang Nomor: 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401;
------------. Undang-Undang Nomor: 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851;
------------. Peraturan Presiden RI Nomor: 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan Republik
Indonesia.