Makalah HAKI
-
Upload
erik-sosanto -
Category
Documents
-
view
142 -
download
3
Transcript of Makalah HAKI
i
MAKALAH
PELANGGARAN-PELANGGARAN HUKUM
HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
DI INDONESIA
DOSEN PENGASUH :
DOSEN PENGASUH : TAHASAK SAHAY, SH.,MH
Disusun Oleh:
NAMA : ERIK SOSANTO
NIM : EAA 110 039
JURUSAN : ILMU HUKUM
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2012
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan
Yang Maha Esa karena atas izinnyalah saya masih diberikan kesempatan atas selesainya
penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas dan pedoman mengenai Pelanggaran-
pelanggaran hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia.
Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber buku-buku
dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Pelanggaran-pelanggaran hukum Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas
ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan
menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini.
Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya tentang Pelanggaran-pelanggaran hukum Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI) di Indonesia.
Palangka Raya, 20 Oktober 2012
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 2
1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Apa yang dimaksud dengan HaKI atau H.K.I ........................................ 3
2.2 Klasifikasi HaKI atau H.K.I ................................................................... 3
2.3 Dasar hukum HaKI atau H.K.I ............................................................... 4
2.4 Pelanggaran-pelanggaran terhadap HaKI atau H.K.I ............................. 4
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 11
3.2. Saran ....................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak atas Kekayaan Intelektual (haki) merupakan terjemahan atas istilah
''Intellectual Property Right'' (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci yaitu:
Hak, Kekayaan dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat: dimiliki,
dialihkan, dibeli, maupun dijual. Sedangkan ''Kekayaan Intelektual'' merupakan
kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi,
pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir,
''Hak atas Kekayaan Intelektual'' (haki) merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan)
untuk berbuat sesuatu atas Kekayaan Intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma
atau hukum-hukum yang berlaku. ``Hak'' itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Pertama,
``Hak Dasar (Azasi)'', yang merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.
Umpama, hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua,
``Hak Amanat/Peraturan'' yaitu hak karena diberikan oleh masyarakat melalui
peraturan/perundangan. Di berbagai negara, termasuk Amerika dan Indonesia, haki
merupakan ''Hak Amanat/Peraturan'', sehingga masyarakatlah yang menentukan,
seberapa besar haki yang diberikan kepada individu dan kelompok. Sesuai dengan
hakekatnya pula, haki dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak
berwujud (intangible). Terlihat bahwa haki merupakan Hak Pemberian dari Umum
(Publik) yang dijamin oleh Undang-undang. Haki bukan merupakan Hak Azazi,
sehingga kriteria pemberian haki merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik.
Demikian pula terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak milik yang menjadi
pemberian dari Umum (Publik) yang dijamin oleh Undang-undang, maka penulis
melalui makalah ini mencoba untuk mengangkat permasalan tersebut.
2
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
perumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan HaKI atau H.K.I ?
b. Klasifikasi HaKI atau H.K.I?
c. Dasar hukum HaKI atau H.K.I?
d. Pelanggaran-pelanggaran terhadap HaKI atau H.K.I di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a. Mengetahui Apa yang dimaksud dengan HaKI atau H.K.I dan klasifikasinya.
b. Mengetahui dan memahami Dasar hukum HaKI atau H.K.I dan Pelanggaran-
pelanggaran terhadap HaKI atau H.K.I di Indonesia.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada
buku-buku referensi yang berhubungan dengan hak atas kekayaan intelektual dan situs
internet yang langsung mengangkat permasalahan-permasalahan tentang pelanggaran-
pelanggaran hak atas kekayaan intelektual di Indonesia.
1.5 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai media untuk menambah wawasan.
b. Bahan referensi aktual dan Bahan bacaan serta pengetahuan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau H.K.I
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau
harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual
Property Right. Kata "intelektual" tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut
adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the
Human Mind) (WIPO, 1988:3). Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak
eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas
karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk.
Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu
benda tidak berwujud (benda imateriil). Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk
dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak
Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, sastra, keterampilan Dan sebaginya Yang tidak mempunyai bentuk
tertentu.
2.2 Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektul
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelektual dapat dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu hak cipta ( copyrights), dan hak kekayaan industri (industrial property rights).
(1) Hak Cipta ( copyrights )
Hak eksklusif yang diberikan negara bagi pencipta suatu karya (misal karya seni
untuk mengumumkan, memperbanyak, atau memberikan izin bagi orang lain
untuk memperbanyak ciptaanya tanpa mengurangi hak pencipta sendiri. UU No.
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang
mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang
dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau
konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Untuk mendapatkan
perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk mendaftarkan.
Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka. Dengan
4
demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta
melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan
mencantumkan tanda Hak Cipta.
(2) Hak Kekayaan Industri (Indutrial Property Rights)
Hak kekayaan industri (industrial property rights) adalah hak yang mengatur
segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan
hukum. Hak kekayaan industri (industrial property rights) berdasarkan pasal 1
konvensi paris mengenai perlindungan hak kekayaan industri tahun 1883 yang
telah direvisi dan di amandemen pada tanggal 2 oktober 1979, meliputi:
a. Paten
b. Merek
c. Varietas tanaman
d. Rahasia dagang
e. Desain industri
f. Desain tata letak sirkuit terpadu.
2.3 Dasar Hukum Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Pengaturan hukum terhadap hak kekayaan inteletual di Indonesia dapat ditemukan
dalam:
(1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
(3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
(4) Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman
(5) Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
(6) Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
(7) Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu.
2.4 Pelanggaran-pelanggaran terhadap HaKI atau H.K.I di Indonesia
Ada beberapa Pelanggaran-pelanggaran terhadap HaKI atau H.K.I di Indonesia
yang menyita perhatian publik sebagai berikut :
5
(1) Kasus Hak Cipta :
Kompas.com
Jumat, 12 September 2008 | 14:47 WIB
DENPASAR, JUMAT- Malang benar nasib Ketut Deni Aryasa, perajin perak
asal Bali. Ia dituding menjyiplak salah satu motif perusahaan perak milik
asing, PT Karya Tangan Indah. Deni Aryasa bahkan telah diseret ke meja hijau
dan dituntut dua tahun penjara. “Motif yang saya gunakan ini adalah milik
kolektif masyarakat di Bali, yang sudah ada sejak dulu. Bukan milik
perseorangan, tapi mengapa bisa dipatenkan pihak asing,” kata Deni Aryasa, yang
ditemui di rumahnya di Denpasar, Jumat (12/9). Deni Aryasa dituding meniru dan
menyebarluaskan motif fleur atau bunga. Padahal motif ini adalah salah satu motif
tradisional Bali yang kaya akan makna. Motif serupa dapat ditemui di hampir
seluruh ornamen seni di Bali, seperti gapura rumah, ukiran-ukiran Bali, bahkan
dapat ditemui sebagai motif pada sanggah atau tempat persembahyangan umat
Hindu di Bali. Ironisnya, motif tradisional Bali ini ternyata dipatenkan pihak
asing di Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Republik Indonesia pada tahun 2006 dengan nomor 030376. Pada
surat keputusan Ditjen Haki, tertulis pencipta motif fleur adalah Guy
Rainier Gabriel Bedarida, warga Prancis yang bermukim di Bali. Sedangkan
pemegang hak cipta adalah PT Karya Tangan Indah milik pengusaha asal Kanada,
John Hardy. Dengan tudingan melanggar hak cipta, Deni Aryasa kini dituntut dua
tahun penjara. Bahkan Deni sempat ditahan selama 40 hari di LP Kerobokan Bali.
Kini Deni menjalani tahanan rumah. “Saya mungkin satu-satunya orang yang
dituntut melanggar hak cipta yang pernah ditahan selama 40 hari,” kata Deni
Aryasa. Peradilan kasus hak cipta ini akan dilanjutkan pada Rabu (17/9)
mendatang di Pengadilan Negeri Denpasar dengan agenda pledoi atau tanggapan
terhadap tuntutan jaksa. Motif fleur ini juga telah dipatenkan di Amerika Serikat,
sehingga kini perajin perak di Bali yang menggunakan motif yang sama pun
terancam ikut terjerat pelanggaran hak cipta. Asosiasi Perajin Perak mencatat
terdapat sedikitnya 800 motif perak tradisional Bali yang telah dipatenkan pihak
asing di Amerika Serikat.
6
Tanggapan :
Masyarakat di Indonesia ini semakin aneh, bingung, bahkan sudah tidak peduli
dengan sekelilingnya yang terlalu kejam untuk menangani masalah Hak Cipta.
Terutama Hak Cipta milik negaranya sendiri, yaitu Indonesia. Ada masyarakat
yang peduli, namun ada juga masyarkat yang tidak peduli. Bahkan para petinggi-
petinggi negara banyak yang tidak peduli. Mereka mendengar namun acuh bahkan
tak mau melihat dan mau mendengar tentang kepunyaan negaranya yang telah
diakui oleh negara lain. Atau mereka mendengar namun mereka nggak mau
berurusan dengan negara lain karena negara luar sana sangat berpengaruh dalam
hidup keduniaannya. Tetapi bukan salah para petinggi negara juga, dan kita juga
jangan terlalu sering untuk bernegative thingking dengan petinggi negara tersebut,
siapa tahu diantara mereka banyak yang peduli bahkan mereka lagi berusaha
untuk menyelamatkan HAK CIPTA kepunyaan baik barang maunpun non barang
yang dimiliki oleh negara tercinta kita ini, yaitu Indonesia. Kita juga sebagai
masyarakat Indonesia harus lebih peka bahkan lebih aktif dalam menyelesaikan
masalah tentang pemberian Hak Cipta kepada barang – barang milik negara. Yang
saya tangkap dalam kasus diatas, bahwa Kurangnya koordinasi masyarakat
indonesia dengan para – para petinggi negara yang mengurus tentang kekayaan
apa saja yang dimiliki Indonesia dari yang masih ada bahkan sampai kekayaan
yang sudah tidak ada lagi di tangan Bangsa Indonesia. Namun demikian, kita
sebagai masyarakat Indonesia yang demokratis dan kritis. Kita tidak boleh
langsung setuju dan langsung percaya tentang argumen yang telah diberikan oleh
para pemerintah. Kita juga pasti punya sejarah bahkan orangtua kita pasti lebih
mengenal bahkan lebih mengerti tentang kekayaan apa saja yang memang milik
Indonesia. Setelah kita tahu apa saja yang memang punya negara indonesia, kita
sebagai masyarakat harus lebih menjaga, memperkenalknan pada dunia tentang
kekayaan kita sebagai bangsa indonesia. Kekayaan itu bisa berupa rumah adat,
makanan daerah, lagu – lagu daerah, tarian, alat musik, pakaian daerah, simbol –
simbol daerah, dan kekayaan lain yang dimiliki oleh daerah-daerah yang
berdomisili di Indonesia. Kita sebagai masyarakat harus lebih mengenal dan lebih
7
memahami kekayaan apa saja yang dimiliki oleh Indonesia. Sehingga negara lain
tidak boleh mengakui secara sembarangan kekayaaan kita tersebut adalah
miliknya. Itu sebagai pandangan masyarakat. Dan bagi para pemerintah,
pemerintah harus lebih ketat dalam hal hukum serta perundang-undangan
mengenai tentang hak kekayaan bangsa indonesia. Pemerintah juga harus
mengabadikan kekayaan kita ini agar ada bukti bahwa kekayaan yang sedang kita
rebutkan itu adalah milik kita. Pemerintah juga harus memberikan status kepada
kekayaan bangsa Indonesia agar ada masyarakat luas menjadi tahu bahwa itu
memang milik kita. Pemerintah juga memberikan sarana, baik materi maupun non
materi kepada pihak yang menjaga, melestarikan, mengembangkan,
memperkenalkan kekayaan kita kepada dunia luar. Yang paling penting adalah
seluruh masyarakat indonesia yang berdomisili di Indonesia harus menjaga,
melestarikan, mengembangkan terhadap kekayaan milik Indonesia. Dan
mayarakat indonesia jangan pernah mau di bodohi dengan negara luar. Serta
jangan pernah mau bahkan menerima nasib saja kalau memang kekayaan kita
diambil bahkan diakui / dipatenkan dengan negara lain. Jangan ada kalimat itu.
Kita harus menjaga dan melindungi kekayaan kita. Karena kekayaan tersebut yang
membuat kita satu dan luar biasa spesial di mata negara lain. Serta pemerintah pun
mampu mempunyai Hukum yang lebih terpercaya serta konsisten apabila terjadi
pelanggaran. Dan pemerimah pun harus tanggap. Apabila ada terjadi pelanggaran
hak cipta, hukum tentang HAKI di Indonsia pun harus berjalan sesuai kaedah –
kaedah yang ada. Serta pihak pemerintah pun harus lebih tegas dan lebih aktif
dalam kasus yang melanggar Hak Cipta. Apabila ada yang melanggar, maka orang
itu harus dihukum atau diberi sanksi. Jangan ada kelemahan dalam hukum –
hukum yang terdapat dalam tubuh peradilan di negara Indonesia. Dan Bagi
masyarakat pun harus diberikan penyuluhan dan pengetahuan tentang undang –
undang ( Hukum ) HAKI yang berlaku di Indonesia. Agar masyarakat Indonesia
tidak sembarangan dalam melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan Hak
Cipta.
8
(2) Hak Merek
Kasus Buddha Bar, Pelecehan Agama JAKARTA, KOMPAS.com
Umat Buddha menilai kasus Buddha Bar (BB) tidak hanya melecehkan simbol
agama Buddh, tetapi juga menduga ada pelanggaran hukum pendirian usaha.
“Yang jelas, sikap kami menentang berdirinya Buddha Bar sekaligus menentang
penggunaan simbol agama Buddha dalam Buddha Bar,” kata Mulyadi, Anggota
Majelis Agama Buddha Teravada Indonesia (Magabudhi), menjelang persidangan
kasus BB di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Senin (3/8). Menurut dia,
berdirinya BB telah melanggar UU No 15/2001 tentang Merek yang dalam Pasal
5 menyatakan bahwa mereka tidak dapat didaftar apabila bertentangan dengan
perundangan-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban
umum. Kedua, bertentangan dengan UU No 1/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Pasal 156 (a). Ketiga, bertentangan
dengan Konvensi Paris 1883 tentang hak kekayaan industrial antara lain
menyatakan bahwa tidak boleh ada merek yang mengandung unsur agama.
“Konvensi ini diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden RI No 15/1997,”
ungkap Mulyadi. Lebih lanjut ia menuturkan bahwa kasus BB Ini adalah tanggung
jawab pemerintah. “Kalau nama Buddha Bar boleh atau dibiarkan seperti
sekarang, nanti akan merembet ke pelecehan agama lain. Sampai sekarang di BB
masih ada menu Buddha Bar Chicken Salad, Buddha Bar Pad Thai, Buddha Bar
Roll,” paparnya. Buddha Bar di Jalan Teuku Umar Jakarta dibuka pada bulan
November 2008 dengan pengelola PT Nireta Vista Creative dan merupakan satu-
satunya di Asia. Bar tersebut dikecam oleh berbagai pihak khususnya umat
Buddha karena menggunakan simbol agama Buddha untuk kegiatan komersial.
Tanggapan :
Di Indonesia terlalu banyak merek dagang yang dijadikan suatu symbol yang
salah bagi perusahan dan bagi masyarakat yang ingin memproduk suatu barang
atau tempat atau lainnya. Mereka terlalu dibutakan dengan keuntungan yang
9
sangat luar biasa tinggi. Untuk memperoleh keuntungan yang sangat luar biasa
mereka tidak mau melihat kaedah-kaedah apa saja yang harus dipenuhi dalam
memberikan nama pada merek dagangan mereka, yaitu berdasarkan peraturan /
perundang-undangan yang dibuat dibuat oleh Direktorat Jenderal HAKI,
Departemen Kehakiman. Kita sebagai orang baru yang ingin memberikan nama
ke produk kita, harus diajukan kepada Departemen Kehakiman agar tidak terjadi
kesamaaan antar merek barang lainnya. Yang saya lihat dari kasus di atas adalah
”Seseorang yang terlalu mencintai agamanya, dan menganggap bahwa simbol –
simbol agamanya dibuat merek atas produk/tempat yang ia jual/dirikan dapat
membuat dia bisa mendapatkan keuntungan serta mendapatkan pelanggan yang
satu iman / agama dengannya” . Namun, ia sedikit menyimpang. Dikarenakan
sebagian masyarakat di Indonesia terlalu ”risih” atas penamaan produk / tempat
yang membawa unsur agama. Karena sebagian masyarakat berpendapat bahwa
agama itu adalah suatu keyakinan yang sangat sakral. Sehingga apabila ada
masyarakat yang memberikan merek terhadap produk/tempat yang ia jual, akan
mengundang masyarakat lain untuk melecehkan agama. Apalagi tempat – tempat
yang memang dianggap ”nakal”, kemudian di beri merek simbol – simbol agama,
masyarakat Indonesia akan marah dan kecewa terhadap pendiri tempat tersebut.
Jadi kita sebagai masyarakat Indonesia harus saling mengerti dan saling
bertoleransi dalam hal agama. Jangan pernah membawa agama dalam kehidupan
bersosialisasi karena itu akan membuat perbedaan yang terlalu besar dan jangan
menganggap agamanya terlalu besar dan berkuasa. Karena semua makhluk hidup
ini sama di mata Tuhan Yang Maha Esa. Dan hukum di Indonesia pun harus
mampu menetralisasikan keadaan ini. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan
keributan atas kejadian ini. Dan masyarakat indonesia pun harus mendapatkan
penyuluhan tentang hokum-hukum yang ada di Indonesia mengenai HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL agar masyarakat di Indonesia mempunyai
pengetahuan tentang undang-undang mengenai HAKI, bagaimana cara
masyarakat membuat merek yang sesuai dengan kaidahnya. Dengan begitu hukum
di Indonesia tentang hak merek tidak dianggap lemah oleh masyarakatdan mereka
tidak akan melakukan kesalahan dalam untuk melakukan perbuatan yang
10
berkaitan dengan Hak Merek seseorang. Namun dari pihak pemerintah pun harus
lebih tegas dan lebih aktif dalam kasus yang melanggar Hak Merek. Apabila ada
yang melanggar, maka orang itu harus dihukum atau diberi sanksi. Jangan ada
kelemahan dalam hokum-hukum yang terdapat dalam tubuh peradilan di negara
Indonesia.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas kita dapat kita simpulkan hal-hal berikut :
(1) HAKI adalah salah satu perangkat yang dapat dipakai sebagai “jaminan
perlindungan” para desainer atau pencipta atas hasil karya intelektual .
(2) Dalam upaya mengurangi terjadinya persaingan curang, plagiasi dan pemalsuan
maka perlu perenungan bersama, baik produsen, desainer, biro iklan dan lembaga
terkait untuk perlu segera mendaftarkan karya hak atas kekayaan intelektual
sesuai kategori produk yang dihasilkan.
(3) Perlu sosialisai undang-undang perlindungan HAKI, paten, hak cipta, dan merek
baik lewat lembaga formal ataupun informal.
3.2 Saran
Pengakuan HAKI sekarang semakin perlu diperhatikan, karena barang sepelepun
bisa diklaim sebagai hak cipta atau hak paten seseorang atau negara lain hanya karena
kelalaian kita mencari payung hukum yang aman agar apa yang leluhur kita ciptakan
akan dianggap ciptaan negara lain dan kita akan terlihat semakin lemah sebagai negera
hukum. Setelah melihat masalah yang timbul maka penulis memberikan saran:
(1) Diperlukan adanya tindakan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAKI
(2) Kepada pemilik hak agar segera mendaftarkan hak miliknya ke DITJEN HAKI
12
DAFTAR PUSTAKA
Maulana, Insan B., Tanya Jawab Paten, Merek dan Hak Cipta. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1996.
Baskoro S. Banindro, Wacana Hak-Hak Atas Kekayaan Intelektual Dalam Penciptaan Karya
Desain Grafis, NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 118 – 130
Tantipuspita.blogspot.com/2012/04/hak-atas-kekayaan-intelektual.html?m=1