Makalah geng motor
-
Upload
holis-fiven -
Category
Law
-
view
1.339 -
download
12
Transcript of Makalah geng motor
Makalah Geng Motor Dan Punkkers Dalam Kehidupan Remaja "
Makalah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas kelompok Media Bimbingan dan
Konseling. Makalah ini disusun berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada Geng Motor dan Anak Punk di Wilayah Gresik.
Dosen Pembimbing :
Drs. M. Nursalim, M.Si. & Najlatul Naqiyah, S.Ag.,M.Pd
oleh Feri Kurniawan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini punkkers dan geng-geng motor telah menjadi gejala sosial yang sangat meresahkan
masyarakat. Kehadiran kelompok-kelompok remaja dengan penampilan khasnya itu identik
dengan kekerasan. Melalui tayangan televisi, kita dapat menyimak mereka menjalankan aksi
brutal di jalanan. Mereka juga digambarkan sebagai kaum remaja yang sering membuat
keributan dan sudah dicap negative oleh kalangan masyarkat umum. Para anggota punk ini
sering dikenal degan sebutan Punkers.
Dalam bahasa psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), kaum remaja itu lebih mengikuti
kekuatan id (dorongan-dorongan agresif) ketimbang superego (hati nurani). Keberadaan ego
(keakuan) mereka gagal untuk memediasi agresivitas menjadi aktivitas sosial yang dapat
diterima dengan baik dalam kehidupan sosial (sublimasi).
Namun, pendekatan psikologis itu sekadar mampu mengungkap persoalan dalam lingkup
individual. Itu berarti nilai-nilai etis yang berdimensi sosial cenderung untuk dihilangkan.
Padahal, kehadiran Punkers lebih banyak berkaitan dengan problem sosiologis.
Definisi tentang kedua geng itu sendiri sangat jelas identik dengan kehidupan berkelompok.
Hanya saja geng memang memiliki makna yang sedemikian negatif. Geng bukan sekadar
kumpulan remaja yang bersifat informal. Geng (gank) adalah sebuah kelompok penjahat yang
terorganisasi secara rapi. Dalam konsep yang lebih moderat, geng merupakan sebuah kelompok
kaum muda yang pergi secara bersama-sama dan seringkali menyebabkan keributan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai Punkers tersebut dapat di rumuskan beberapa rumusan
masalah yaitu sebagai berikut:
1. Mengapa ada sebagian kalangan remaja yang mudah terbujuk untuk mengikuti Punkkers
dan geng-geng motor?
2. Benarkah seluruh fenomena itu sekadar persoalan psikologis, ataukah justru lebih
bercorak sosiologis? Apabila problem sosial itu dilihat dari perspektif psikologistis, maka
penilaian yang muncul adalah kaum remaja yang menjadi anggota Punkkers/geng
tersebut sedang melampiaskan hasrat tersembunyinya.
3. Mengapa sekalipun geng identik dengan pola-pola sosial yang negatif, kaum remaja
relatif mudah tergelincir memasuki kelompok sejenis itu? Apabila kita mengikuti
pemikiran Jurgen Habermas, kaum remaja yang terlibat dalam kehidupan geng
sebenarnya sedang mengalami distorsi komunikasi. Kaum remaja tidak mampu
memahami atau sengaja tidak sudi untukmenyepakati aturan-aturan budaya, masyarakat,
dan komunitas tempat berfungsinya dengan baik. Padahal, dalam aturan-aturan itu dapat
ditelusuri latar belakang sosial dan kultural yang memberikan kemungkinan
membayangkan diri kita dalam posisi orang lain.
Komunikasi yang terdistorsi itulah, yang menjadikan anggota-anggota geng lebih
permisif untuk melakukan kekerasan. Itu disebabkan karena mereka telah kehilangan sensitivitas
terhadap kehadiran pihak lain. Bahkan rasa simpati dilenyapkan begitu saja.
Tidak aneh, jika anggota-anggota Punkers memiliki preferensi untuk memaksa, dan
setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak yang
dipandang tidak sejalan. Itulah yang disebut sebagai praktik bullying yang dapat terjadi di lokasi
mana pun, baik di sekolah maupun jalanan. Melalui pemahaman demikian, tampaknya lebih
tepat apabila kehadiran Punkers dilihat sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial.
Kaum remaja yang terlibat dalam kehidupan geng sebenarnya sedang mengalami distorsi
komunikasi. Kaum remaja tidak mampu memahami atau sengaja tidak sudi untuk menyepakati
aturan-aturan budaya, masyarakat, dan komunitas tempat berfungsinya dengan baik.
Hal tersebut dikarenakan para anggota Punkers secara sadar melakukan pelanggaran
terhadap norma-norma sosial. Perasaan khawatir bahwa geng ini akan merebak atau menular
layaknya bahaya patologis pun dapat dimengerti. Sebab, apa yang disebut sebagai kenakalan
remaja tidak dapat lahir sendiri.
Kenakalan atau penyimpangan sosial remaja, yang terlihat dengan bertumbuhnya geng,
ditransmisikan dan dipelajari dari kelompok yang satu kepada kelompok yang lain. Terlebih lagi
remaja sangat rentan untuk melakukan tindakan-tindakan peniruan, apalagi terhadap perilaku
yang dianggap sebagai mode (fashion) yang menimbulkan heroisme dan rasa bangga.
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendiskripsikan secara singkat tentang
beberapa kenakalan remaja yang saat-saat ini berkembangbiak di masyarakat, terutama bagi
kalangan remaja. Karena bagaimanapun remaja memiliki suatu ego yang besar sehingga sulit
untuk mengontrol diri dari hal-hal negative. Hal ini desebabkan oleh minimnya penanaman nilai-
nilai agama (akhlak) sehingga para remaja tidak memiliki benteng untuk menfilter maupun
menghindari hal-hal negative tersebut. Hal ini diperkuat dengan lingkungan yang serba cuek
ataupun bahkan memberikan contoh-contoh negative, sehingga semua hal-hal yang berbau
negative seakan-akan mendapat pupuk ataupun angin segar untuk berkembangbiak. Karena
bagaimanapun yang haq dan yang batil itu jelas jadi kita tidak boleh membiarkan yang batil itu
berkembangbiak. Pepatah mengatakan janganlah engkau bermain-main dengan api, karena
engkau pasti akan terkena percikannya. Dalam makalah ini kami mencoba untuk membahas
secara singkat tentang punkkers dan geng motor.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kenakalan remaja (Punkker dan Geng motor) dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke
dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi
karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan
norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah
karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang
secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang
tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya
perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku
kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang
disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami
bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia
tahu apa yang dilakukan melanggar aturan.
Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk
mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian.
Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk
melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan
yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari
dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Punkers dan Geng motor
Dalam Kehidupan Remaja” bisa melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam
pendekatan individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi,
perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati
belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja (Kauffman ,
1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan
dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang
tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak
benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau
“kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam
beberapa hal.
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan
menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan
lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang
diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa
beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena
lokasi tersebut mempunyai karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan
tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian
wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat
kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil Sutherland dalam
(Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal melalui interaksi.
Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan
besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan
memungkinkan untuk menumbuhkan tindakan kriminal.
Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang
bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber
masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat menjadi buruk/jelek oleh karena
hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya
pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi
kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga
memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang
disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan surutnya kekuatan
mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang karena tidak memperoleh
sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan wajar.
BAB III
Diskusi Permasalahan Dan Pembahasan
BERITA tentang perilaku punkkers dan geng motor akhir-akhir ini bisa dianggap sudah
sangat meresahkan masyarakat, sehingga dapat dikategorikan sebagai kondisi patologi sosial,
penyakit masyarakat yang perlu segera diobati. Lembaga kepolisian sampai mempermaklumkan
akan menembak di tempat anggota Punkkers maupun geng motor yang melakukan kebrutalan.
Perang antar Punkkers dan geng kerap menimbulkan korban luka hingga korban jiwa.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, saat ini aksi Punkers sudah bukan tawuran antar Punkkers
lagi, namun sudah melibatkan masyarakat umum sebagai korban mereka.
Subkultur geng anak muda, kata kriminolog Cloward dan Ohlin, akan tumbuh subur
tergantung pada tipe atau cara pertentangan di mana mereka tinggal. Ada tiga tipe geng:
Pertama, geng pencurian (thief gangs), mereka berkelompok melakukan pencurian yang mula-
mula hanya untuk menguji keberanian anggota kelompok.
Kedua, geng konflik (conflict-gangs) kelompok ini suka sekali mengekpresikan dirinya melalui
perkelahian berkelompok supaya tampak gagah dan pemberani.
Ketiga, geng pengasingan (retreats gangs), kelompok geng ini sengaja mengasingkan dirinya
dengan kegiatan minum minuman keras, atau napza yang kerap dianggap sebagai suatu cara
”pelarian” dari alam nyata. Tetapi bisa saja sebuah geng memiliki lebih dari satu macam tipe.
Dalam geng acapkali tumbuh subkultur kekerasan (subculture of violence). Munculnya
subkultur itu disebabkan oleh adanya sekelompok orang yang memiliki sistem nilai yang berbeda
dengan kultur dominan. Masing-masing subkultur memiliki nilai dan peraturan berbeda-beda
yang kemudian mengatur anggota kelompoknya. Nilai-nilai itu terus berlanjut karena adanya
perpindahan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berlatar belakang pengetahuan tentang berbagai jenis geng, kini perlu diteliti secara
objektif keberadaan komunitas Punk di Indonesia. Dari hasil penelitian punkkers maupun geng
motor dapat diidentifikasi bercirikan: punya identitas (nama, ornamen pembeda, lambang, dsb).
Kelompok ini identik dengan minuman keras, obat-obatan terlarang (ganja,sabu-sabu,ektasi,etc),
freesexs, berkendaraan,bergerombol, dengan penampilan khasnya yang terlihat urak-urakan; dan
memiliki semacam daerah kekuasaan, dan musuh berupa Punkers lainnya.
1. Karakteristik keanggotaan
Karakteristik anggota Punkkers maupun geng motor adalah sebagai berikut: usia antara
14-32 tahun; kebanyakan berjenis kelamin laki-laki; sangat bangga dengan statusnya sebagai
salah satu anggota Punkers; agresif dan menantang bahaya; tingkat pendidikan antara SMP
sampai dengan perguruan tinggi; menjadi anggota Punkers atas ajakan rekan sekolah maupun
lingkungan.
Apabila geng mereka diekspos di media massa, mereka merasa sangat bangga, sehingga
semakin berlomba-lomba untuk lebih banyak melakukan perilaku yang mereka anggap
menimbulkan sensasi yang akan dipublikasikan oleh media. Kadang-kadang mereka tidak
menyadari bahwa perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Misalnya
merampas milik orang lain, melakukan tindak kekerasan, tawuran antargeng, dan melakukan
pembunuhan terhadap anggota geng lain . Namun setelah kami melakukan interview langsug
pada komunitas geng tersebut (Punkkers Gresik), semua realita diatas tidak sesuai dengan tujuan
utama terbentuknya Punkkers dan geng-geng tersebut. Karena tujuan utama pendirian kelompok
tersebut merupakan upaya (expresi) penolakan terhadap benyaknya peraturan-paraturan dalam
masyarakat yang banyak membatasi kegiatan (aktivitas) mereka.
Menurut hasil analisis kami, hal ini terjadi karena mereka tidak sadar bahwa ada
kemungkinan terbuka peluang bagi para penjahat yang menyusup ke dalam punkkers maupun
geng motor, sehingga masyarakat menganggap perilaku kriminal tersebut dilakukan oleh para
remaja yang sebenarnya tidak berniat untuk melakukan tindak kriminal. Penyusupan tersebut
sulit untuk diidentifikasikan, karena jumlah Punkers di kota-kota sangat banyak. Dan ketika
melakukan operasi, mereka menggunakan penutup yang menutupi seluruh wajah. Jadi sulit
sekali mengidentifikasi pelaku.
Inilah yang membuat polisi melakukan tindakan represif dan mempermaklumkan
tindakan tembak di tempat untuk para pelaku kekerasan dari geng motor. Namun demikian,
polisi harus berhati-hati menumpas perilaku kriminal tersebut, sehingga masyarakat tidak resah,
terutama bagi para orang tua yang kebetulan anak remajanya terlibat dalam Punkkers maupun
geng motor. Polisi harus benar-benar bekerja keras untuk menyisir mana remaja yang delinquent
dan mana para kriminal yang berkedok geng motor atupun punkkers juga provokator.
Membubarkan atau melarang tumbuhnya Punkers bukan merupakan jalan keluar yang
baik, bahkan akan jadi bumerang bagi penegakan hukum. Karena akan melahirkan masalah
sosial yang baru; remaja akan kehilangan ruang publik untuk berekspresi diri, dan mencari
kegiatan lain yang boleh jadi lebih patologis wujudnya, misalnya kebut-kebutan di jalan.
2. Faktor Kenakalan Remaja
Berdasarkan perkembangan zaman saat ini adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab
kenakalan remaja saat ini adalah:
1. Faktor intern
Faktor intern adalah faktor yang datangnya dari dalam tubuh remaja sendiri. Faktor intern ini
jika mendapatkan contoh-contoh yang kurang mendidik dari tayangan televisi akan
menimbulkan niat remaja untuk meniru adegan-adegan yang disaksikan pada isi program televisi
tersebut. Khususnya menyangkut masalah pergaulan remaja di zaman sekarang yang makin
berani mengedepankan nilai-nilai budaya luar yang tidak sesuai dengan adat budaya bangsa.
Akhirnya keinginan meniru tersebut dilakukan hanya sekedar rasa iseng untuk mencari sensasi
dalam lingkungan pergaulan dimana mereka bergaul tanpa batas dan norma agar dipandang oleh
teman-temannya dan masyarakat sebagai remaja yang gaul dan tidak ketinggalan zaman.
Timbulnya minat atau kesenangan remaja yang memang gemar menonton acara televisi
tersebut dikarenakan kondisi remaja yang masih dalam tahap pubertas. Sehingga rasa ingin tahu
untuk mencontoh berbagai tayangan tersebutyang dinilai kurang memberikan nilai moral bagi
perkembangan remaja membuat mereka tertarik. Dan keinginan untuk mencari sensasipun timbul
dengan meniru tayangan-tayangan tesebut, akibat dari kurangnya pengontrolan diri yang
dikarenakan emosi jiwa remaja yang masih labil.
2. Faktor ekstern
Faktor ekstern adalah faktor yang datangnya dari luar tubuh remaja. Faktor ini dapat
disebut sebagai faktor lingkungan yang memberikan contoh atau teladan negatif serta didukung
pula oleh lingkungan yang memberikan kesempatan.
Hal ini disebabkan karena pengaruh trend media televisi saat ini yang banyak
menampilkan edegan-adegan yang bersifat pornografi, kekerasan, hedonisme dan hal-hal yang
menyimpang dari nilai moral dan etika bangsa saat ini. sepertinya media televisi telah memaksa
remaja untuk larut dalam cerita-cerita yang mereka tampilkan seolah-olah memang begitulah
pergaulan remaja seharusnya saat ini. Yang telah banyak teradopsi oleh nilai-nilai budaya luar
yang kurang dapat mereka seleksi mana yang layak dan yang tidak layak untuk ditiru.
3. Minimnya perhatian dari Orang Tua dan Lingkungan
Hal tersebut memberikan dampak buruk pula bagi remaja untuk mudah larut dalam hal-
hal negatif. Baik dari tayangan televisi maupun dari pergaulan teman-temannya. Kurangnya
perhatian orang tua banyak para remaja mencari perhatian didunia luar. Mereka cenderung
melakukan atau mencari kesenangan di lingkungan pergaulannya. Ikut-ikutan dan tak lagi dapat
membedakan yang mana baik dan buruk. Rasa takut hilang karena menganggap banyak
temannya yang melakukan hal keliru tersebut. Hingga akhirnya ketergantungan dan mereka terus
melakukannya berulang kali seperti halnya biasa dan membentuk sebuah budaya yang tak bisa
lepas dari hidup mereka. Seperti mengkonsumsi minuman keras, narkoba dan kegiatan lain yang
dinilai dapat memberikan kesenangan sesaat. Dan dampak dari kegiatan tersebut akan
menciptakan orang-orang yang hedonis.
Faktor lain yang juga ikut berperan menjadi alasan mengapa remaja saat ini memilih
bergabung dengan geng motor adalah kurangnya sarana atau media bagi mereka untuk
mengaktualisasikan dirinya secara positif. Begitu juga dengan keterlibatannya menjadi anak-
anak punk.
Remaja pada umumnya, lebih suka memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Namun,
ajang-ajang lomba balap yang legal sangat jarang digelar. Padahal, ajang-ajang seperti ini sangat
besar manfaatnya, selain dapat memotivasi untuk berprestasi, juga sebagai ajang aktualisasi diri.
Karena sarana aktualisasi diri yang positif ini sulit mereka dapatkan, akhirnya mereka
melampiaskannya dengan aksi ugal-ugalan di jalan umum yang berpotensi mencelakakan dirinya
dan orang lain.
4. Pengendalian
Dalam literatur sosiologi (Paul B Horton dan Chester L Hunt, 1964: 140-146, dan Alex
Thio, 1989: 176-182), ada tiga cara yang dapat dikerahkan untuk mengatasi deviasi sosial.yaitu:
Pertama, Internalisasi atau penanaman nilai-nilai sosial melalui kelompok informal atau
formal. Lembaga-lembaga sosial, seperti keluarga dan sekolah, adalah kekuatan yang dapat
membatasi meluasnya punkkers ataupun geng motor. Mekanisme pengendalian itu lazim disebut
sebagai sosialisasi.
Dalam proses sosialisasi itu, setiap unit keluarga dan sekolah memiliki tanggung jawab
membentuk, menanamkan, dan mengorientasikan harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, serta
tradisi-tradisi yang berisi norma-norma sosial kepada remaja. Bahkan, hal yang harus ditegaskan
adalah sosialisasi yang bersifat informal dalam lingkup keluarga jauh lebih efektif. Sebab, dalam
domain sosial terkecil itu terdapat jalinan yang akrab antara orang tua dengan remaja.
Kedua, penerapan hukum pidana yang dilakukan secara formal oleh pihak negara.
Dalam kaitan itu, aparat penegak hukum, seperti kepolisian, pengadilan, dan lembaga
pemenjaraan, digunakan untuk mengatasi geng motor maupun punkkers.Keuntungannya adalah
penangkapan dan pemberian hukuman kepada anggota-anggota geng/punkkers yang melakukan
tindakan kriminal mampu memberikan efek jera bagi anggota-anggota atau remaja lain.
Kerugiannya, aplikasi hukum pidana membatasi kebebasan pihak lain yang tidak berbuat serupa.
Bukankah dalam masyarakat ada kelompok-kelompok pengendara sepeda motor yang memiliki
tujuan-tujuan baik, misalnya untuk menyalurkan hobi automotif? Selain itu bukankah ada juga
pembentukan kelompok-kelompok yang bertujuan untuk positif? Seperti kelompok peduli
lingkungan dan hutan Indonesia, etc.
Ketiga, dekriminalisasi yang berarti bahwa eksistensi geng-geng motor ataupun
punkkers justru diakui secara hukum oleh negara. Tentu saja, dekriminalisasi bukan bermaksud
untuk melegalisasi kejahatan, kekerasan, dan berbagai pelanggaran norma-norma sosial yang
dilakukan remaja. Dekriminalisasi memiliki pengertian sebagai “kejahatan yang tidak memiliki
korban”. Prosedur yang dapat ditempuh adalah pihak pemerintah dan masyarakat membuka
berbagai jenis ruang publik yang dapat digunakan kaum remaja untuk mengekspresikan
keinginannya, terutama dalam menggunakan kendaraan bermotor. Lapangan terbuka atau arena
balap bisa jadi merupakan jalan keluar terbaik. Kehadiran geng motor dan punkkers merupakan
fenomena sosial yang harus direspons secara proporsional. Menanggapi kemunculan mereka
dengan lagak sok moralistis atau menunjukkan sikap sebagai aparat negara dan orang tua yang
sedemikian histeris, justru dengan mudah memancing kaum remaja menjadi semakin sinis.
4. Penanaman Nilai-nilai Agama
Sebagai upaya preventif terhadap peningkatan jumlah anggota geng motor dan punkkers
di kemudian hari, perlu dilakukan penanaman nilai-nilai agama sejak dini. terutama tentang
akhlaq (moral dan etika). Dengan begitu anak akan mengetahui mana yang layak dilakukan dan
mana yang tidak boleh dilakukan. Sehingga pada saat mereka sudah mulai berinteraksi dengan
masyarakat mereka tahu batasan-batasan dan aturan yang harus dipatuhi.
Salah satu solusi yang bisa memperbaiki keadaan mereka secara efektif adalah peran;
kepedulian; dan kasih sayang orang tua mereka sendiri.
”Solusi ini akan lebih efektif, mengingat penyebab utama mereka memilih geng motor dan
punkkers sebagai bagian kehidupannya adalah karena mereka merasa jauh dari kasih sayang
orang tua. Dalam menterapi anaknya yang sudah terlanjur terlibat anggota geng motor, orang tua
bisa bekerja sama dengan psikolog yang mereka percayai. Sehingga secara pasikologis sedikit
demi sedikit anak akan mendapatkan kembali kenyamanan berada dalam kasih sayang orang tua”
selain itu kita sebagai mahluk Allah swt juga berkewajiban memasukkan nilai-nilai religius
kepada para anak didik kita. Karena bagaimanapun kita harus mematuhi peraturan-peraturan
yang telah ditetepkan oleh sang pencipta, selain itu yang menjadi benteng paling efektif untuk
mencegah nilai-nilai negatif yang sudah dijelaskan diatas hanyalah agama”.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Tindak kekerasan yang dilakukan geng motor dan punkkers ini merupakan cermin
kondisi masyarakat yang sedang sakit dan tengah mengalami krisis multidimensi yang
berkepanjangan.
Penanganan geng motor dan punkkers sendiri tidak dapat dilakukan secara represif karena
anggota-anggotanya kebanyakan berasal dari kalangan remaja. ”Hukum memang harus
ditegakkan, tetapi tetap harus dipilah-pilah”.
Di tengah kondisi masyarakat yang sedang mengalami patologi, sanksi yang bersifat
represif bukanlah obat yang mujarab. Bentuk sanksi yang bersifat represif seperti ancaman
tembak di tempat maupun ancaman dikeluarkan dari sekolah, tidak tepat.
Pasalnya sanksi represif justru tidak akan membuat anggota geng motor dan punkkers
menjadi jera. Justru dikhawatirkan remaja yang menjadi anggota-anggotanya menjadi penjahat
besar.
Untuk anggota geng motor dan punkkers yang masih remaja, sebaliknya dilakukan
pendekatan secara psikologis dan sosiologis. Penanganannya tetap perlu melibatkan masyarakat
secara luas, terutama melibatkan peran orang tua secara aktif. Orang tua menjadi ujung tombak
penting.
Membubarkan geng motor juga bukan solusi yang tepat. hal itu malah menimbulkan
tindak kriminalitas baru.Penanganan terhadap geng motor dan punkkers tak hanya sebatas
dengan cara-cara hukum. ”Polisi tetap mengedepankan cara-cara lain dengan melibatkan orang
tua, guru dan masyarakat secara luas
Bagi anggota geng motor dan punkkers yang terbukti melakukan tindak kriminal, polisi
tetap memberikan sanksi hukum.
Sanksi hukum diharapkan dapat menjadi efek jera. berharap penanganan yang dilakukan
dapat menjadi obat yang tepat. Sebab, jika obat tersebut keliru, dikhawatirkan di masa
mendatang fenomena geng motor dan punkkers dengan aksi kekerasannya justru semakin marak.
Jika melihat kenakalan remaja yang dilakukan oleh geng motor dan punnkers, maka saran
yang dapat diajukan adalah:
Pertama, sebaiknya masalah tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok tersebut diatas
diatur secara khusus dalam sebuah peraturan daerah (perda) yang tentu saja secara yuridis harus
mengacu pada perundang-undangan yang lebih tinggi. Isi perda memuat ketentuan penanganan
masalah kejahatan remaja yang meliputi empat unsur, yaitu unsur preventif, unsur represif, unsur
kuratif, dan unsur koordinatif.
Ketentuan sanksinya dibuat lebih tegas, tidak hanya terhadap pelaku tetapi juga kepada
anggota kelompok geng lainnya yang mempengaruhi untuk melakukan tindak kejahatan. Dan
yang sangat penting pula adanya penyuluhan hukum kepada anggota geng motor dan punnkers
agar mereka ”melek hukum”.
Kedua, penanganan masalah tindak pidana yang dilakukan geng motor dan punnkers
harus melibatkan berbagai pihak dalam masyarakat. Upaya pembinaan dilakukan tidak hanya
terhadap pelaku tindak pidana juga terhadap semua unsur dalam masyarakat, yaitu aparat
penegak hukum, instansi terkait, dan masyarakat luas. Karena adanya aparat penegak hukum
yang profesional mutlak diberlakukan dalam upaya penegak hukum.
Begitu juga pada masyarakat, dengan dilakukannya pembinaan tersebut, diharapkan terjadi
peningkatan kesadaran hukum masyarakat untuk mematuhi peraturan yang ada, tidak melakukan
ejekan dan sangkaan buruk terhadap remaja yang tergabung dalam kelompok geng bermotor.
Terutama peran pihak keluarga remaja diperlukan agar dapat lebih memperhatikan kebutuhan
dan kasih sayang yang seharusnya didapatkan oleh para remaja seusianya, serta memberikan
bimbingan yang lebih baik terhadap apa yang mereka lakukan.
Ketiga, untuk remaja sendiri diperlukan sikap mawas diri dalam melihat kelemahan dan
kekurangan diri sendiri dan melakukan introspeksi dan koreksi terhadap kekeliruan yang telah
dilakukan. Sebaliknya, orang tua dan para pembina remaja harus memperbanyak kearifan,
kebaikan, dan keadilan, agar orang dewasa dapat dijadikan panutan bagi anak-anak muda demi
perkembangan dan proses kultivasi generasi muda penerus bangsa.***
DAFTAR PUSTAKA
Faizah, S.Ag, M.A dan H. Lalu Muchsin Effendi, Lc., M.A. “Psikologi Dakwah”.
Jakarta : Kencana, 2006.
Walgito,Bimo. Prof. Dr. (R004) “Pengantar Psikolagi Umum”. Yogyakarta :Andi Ofset
Kartono, Kartini, “Psikologi Umum”. (Bandung: Mandar Maju,1996)
Irwanto, Drs.dkk. “Psikologi Umum”. Jakarta, 2002.