Makalah Gadis Pantai

download Makalah Gadis Pantai

of 34

Transcript of Makalah Gadis Pantai

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    1/34

    I. Pendahuluan1. Latar Belakang Masalah

    Menulis sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari latar belakang situasi saat

    karya itu diciptakan, termasuk pula latar belakang pengarang yang menjadi bagian dari proses

    terciptanya karya sastra tersebut. Hal tersebut menjelaskan bahwa karya sastra tidak ditulis

    dalam kekosongan budayanya, akan tetapi karya sastra ditulis berdasarkan konvensi sastra

    yang ada (Teeuw, 1988). Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri

    adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1979:1). Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup

    hubungan masyarakat, baik secara pribadi sebagai individu maupun relasi sebagai masyarakat

    pada umumnya.Karya sastra merupakan sebuah bentuk cerita rekaan yang sifatnya fiksi. Namun pada

    kenyataannya, banyak pengarang yang sering menggunakan objek sejarah dalam melakukan

    proses kreatifnya. Hal tersebut sering disebut dalam genre prosa sebagai sebuah roman.

    Dalam hal ini, seorang pengarang mencoba untuk mengekspresikan segala sesuatu (perasaan

    takut, sedih, gembira, benci, dan marah) yang telah dialaminya, dalam arti terjadi secara

    faktual maupun baru berupa gagasan.

    Sastrawan hidup di tempat dan zaman tertentu sebagai bagian dari masyarakatnya. Ia

    tumbuh dalam tradisi pemikiran yang ada dalam masyarakatnya tersebut. Seorang sastrawan

    dibentuk oleh tradisi dan mungkin juga ikut membentuk tradisi tersebut. Pendidikan, sejarah,

    lingkungan sosial, dan ideologi akan ikut memberikan sumbangan terhadap karya sastra yang

    dihasilkannya. Di samping itu, sebagai seorang pribadi, ia juga memiliki pandangan sendiri

    yang mungkin berbeda dengan yang ada dalam masyarakatnya.

    Menulis merupakan upaya merekonstruksi bacaan, begitu pula yang dilakukan oleh

    seorang pengarang dalam proses kreatifnya selalu menuangkan setiap bacaan yang tertangkap

    dalam pancaran citra inderawi sebagai kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi. Novel

    merupakan jenis karya sastra yang sedikit banyak memberikan gambaran tentang masalah

    kemasyarakatan. Novel tidak dapat dipisahkan dari gejolak atau keadaan masyarakat yang

    melibatkan penulis dan juga pembacanya. Dapat dikatakan secara hampir pasti bahwa

    perkembangan masyarakat memainkan peranan penting dalam perkembangan novel sebagai

    hasil sastra maupun barang dagangan (Damono, 1979: 3).

    Bagi seorang Pramoedya Ananta Toer, menulis bukan sekadar mengetik dan

    menggerakan imajinasi. Seorang pengarang harus mempunyai keberanian untuk

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    2/34

    mengevaluasi dan merevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan. Sastra tidak bertugas

    memotret, tetapi mengubah kenyataan-kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi yang

    membawa pembacanya lebih maju daripada yang mapan. Sastra harus bisa memberikan

    keberanian, nilai-nilai baru, cara pandang dunia baru, harkat manusia, dan peran individu

    dalam masyarakatnya. Estetika yang dititikberatkan pada bahasa dan penggunaannya

    dianggarkan pada orientasi baru peranan individu dalam masyarakat yang dicita-citakan.

    Novel Gadis Pantai bercerita tentang keadaan sosial pada fase sejarah

    perkembangan Indonesia, yang berisi kritikan terhadap kefeodalan Jawa pada zamannya. Seperti

    istilah yang dikemukakan oleh Pramoedya bahwa novel Gadis Pantai merupakan kritiknya

    terhadapJawanisme; Saya sangat anti-Jawanisme (Vltchek, Rossie. I, 2006: 72).

    Paham Jawanisme tersebut sangat kental terasa dalam karyanya Gadis Pantai.

    Seperti yang dikemukakan oleh Andre Vltchek dan Rosisie Indira dalam sebuahwawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Gadis Pantai merupakan novel yang paling berani

    mendefinisikan apa itu Jawanisme dengan gaya yang puitis dan lembut. Novel ini

    menggambarkan kultus kepatuhan dan hierarki (Vltchek, Rossie. I, 2006: 72).

    Wellek dan Warren (1990: 111) mengemukakan beberapa pendapat mengenai ragam

    pendekatan terhadap karya sastra. Setidaknya terdapat tiga jenis pendekatan yang berbeda

    dalam sosiologi sastra. Pertama, Sosiologi pengarang, profesi pengarang, institusi sastra.

    Permasalahan yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang

    sosial, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya

    sastra. Kedua, adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya

    sastra itu sendiri, dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan

    dampak sosial karya sastra.

    Teks naratif atau prosa fiksi menurut Luxemburg (1991:20) adalah campuran

    peristiwa, pelukisan informasi tentang siapa yang melakukan apa, hal tersebut diperoleh

    melalui kegiatan membaca sehingga diperoleh gambaran tentang sesuatu secara keseluruhan.

    Suatu rentetan kejadian yang saling berkaitan secara tekstual. Definisi tersebut semakin

    menegaskan bahwa karya sastra tidak diciptakan dalam kekosongan budaya. Di dalam

    penciptaan karya sastra, ada berbagai hal yang secara tidak langsung membentuk karya sastra itu

    sendiri. Seperti konteks sosial ketika karya itu dibuat dan pengarang yang merupakan produk

    dari keadaan sosial. Begitupun dalam sebuah karya sastra selalu memunculkan sebuah ide dan

    gagasan dari pengarangnya.

    Sosiologi sastra merupakan telaah sastra yang berpusat pada persoalan hubungan

    karya sastra dengan pengarang, pengarang dengan pembaca, pembaca dengan karya. Dalam

    telaah sosiologi sastra ini dikaji sampai seberapa jauh nilai sastra dapat berfungsi sebagai alat

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    3/34

    penghibur dan pendidik masyarakat (fungsi sosial rakyat).

    Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat

    dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat

    sebagai berikut:

    1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, dan pengarang adalah anggota masyarakat.2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang

    terjadi dalam masyarakat.

    3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan merupakan kompetensimasyarakat yang dengan sendirinya mengandung masalah-masalah

    kemasyarakatan.

    4) Di dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika.5) Karya sastra adalah hakikat intersubjektifitas masyarakat menemukan citra

    dunianya dalam suatu karya.

    Oleh karena itu, Sapardi menjelaskan bahwa salah satu gagasan atau konsep sosiologi

    sastra adalah bahwa sastra merupakan cerminan zamannya, atau merupakan dokumen

    sosiokultural. Konsep ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa karya sastra merupakan

    cermin langsung dari berbagai struktur sosial.

    Berdasarkan konsep di atas penulis tertarik untuk mengkaji novel Gadis Pantai, karenadalam novel Gadis Pantai tersebut menggambarkan kehidupan sosial budaya pada masa itu.

    Pengkajian dilakukan dengan mencari tahu unsur intrinsik dan ekstrinsik serta nilai- nilai sosial

    budaya dalam novel tersebut. Sehingga akan mempermudah dalam memahami novel tersebut.

    2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah

    sebagai berikut:

    a. Bagaimana unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Gadis Pantai?b. Apa saja nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam novel Gadis Pantai?

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    4/34

    3. TujuanTujuan dari penelitian ini adalah:

    a. Mengetahui unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Gadis Pantaib. Menjelaskan nilai- nilai sosial budaya yang ada dalam novel Gadis Pantai

    4. ManfaatManfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    a. Memperluas wawasan siswa tentang sastra Indonesiab. Meningkatkan kemampuan siswa dalam berbahasa Indonesia

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    5/34

    I. Pembahasan1. Analisis Novel Gadis Pantai

    Novel merupakan sistem formal yang anasirnya antara lain alur, tokoh, latar, tema

    (Damono, 2000:10). Beberapa aspek tersebut merupakan unsur novel dalam tataran intrinsik, dan

    sering pula disebut sebagai pendekatan struktural. Berikut akan dijelaskan tentang unsur intrinsik

    dalam novel Gadis Pantai.

    a. Tema Novel Gadis PantaiTema merupakan sesuatu yang menjadi dasar cerita atau ide dan tujuan

    utama cerita. Tema biasanya selalu berkaitan dengan pengalaman-pengalaman

    kehidupan sosial, cinta, ideologi, maut, religius dan sebagainya. Tema yang

    disajikan dalam Roman ini adalah mengenai sosio-kritik dalam sistem masyarakat.

    Bagaimana rakyat kecil yang diwakili oleh Gadis Pantai yang menjadi istri seorangPriyayi, diperlakukan oleh Priyayi sebagai pemuas nafsunya, dijauhkan dari dunia

    luar yang menurut Priyayi tersebut sebagai dunia yang kotor dan ia dicampakan

    dan diusir oleh Priyayi tersebut dengan alasan dia tak sederajat dengannya.

    Adapun kritik yang ditujukan pada sistem feodalisme adalah melalui

    gambaran dalam cerita yang disebutkan bahwa semua yang ada di Gedung Besar

    adalah rakyat jelata yang harus tunduk dan patuh pada Priyayi, dan mereka tidak

    patut dihormati.

    b. Alur/Plot Novel Gadis PantaiAlur merupakan tahapan-tahapan peristiwa yang dihadirkan oleh para

    pelaku dalam sebuah cerita, sehingga membentuk suatu rangkaian cerita. Alur

    dapat kita perhatikan dari rangkaian-rangkaian peristiwa yang dibangunnya.

    Dengan demikian untuk mengetahui bagaimana alur sebuah cerita rekaan, kita

    perlu menyimak rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya yang bersangkutan.

    Jenis alur yang digunakan dalam novel Gadis Pantai adalah alur maju, hal

    itu tertlihat dari rangkaian kejadian dari gadis pantai yang hidup di Kampung

    nelayan, berubah menjadi seorang Priyayi karena menikah dengan Priyayi

    pembesar kota Rembang. Dari situ kehidupan Gadis Pantai menjadi lebih baik,

    sampai puncaknya ketika ia dapat menyesuaikan dengan kehidupan Bendoro.

    Namun setelah ia melahirakan anak, ia diusir kembali dari gedung besar. Karena

    sesuai dengan apa yang menjadi janji Bendoro, ia tidak akan menjadikan seorang

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    6/34

    perempuan sebagai pendamping hidupnya kecuali dia sederajat denganya. Adapun

    pengilasan balik cerita itu hanya sebagai pendukung jalan cerita atau narasi dari

    novel tersebut.

    Pramoedya Ananta Toer menyajikan cerita dengan bagian awal cerita

    sebagai pendeskripsian tokoh utama, yaitu Gadis Pantai yang bertubuh kecil,

    kuning langsat yang hidup di Kampung. Di bagian tengahnya menghadirkan

    konflik baik yang terjadi dalam diri Gadis Pantai atau pun konflik dengan tokoh

    yang lain. Lalu akhir dari bagian cerita tersebut yaitu keadaan yang

    memprihatinkan yang terjadi pada diri Gadis Pantai akibat dari keganasan praktik

    Feodalisme.

    c. Tokoh dan PenokohanSesuai KBBI penokohan dapat diartikan sebagai pencitraan citra tokoh dalam sebuah

    karya sastra. Tokoh yang terdapat dalam novel Gadis Pantai terdapat tiga tokoh. Pertama yaitu

    tokoh utama atau tokoh yang mendominasi cerita. Yang menjadi tokoh utama yaitu Gadis Pantai,

    digambarkan sebagai tokoh yang menghormati, patuh kepada orang tua dan suaminya. Ia juga

    selalu ingin memberontak terhadap aturan yang ada di gedung rumah Priyayi.

    Kedua yaitu tokoh protagonis atau tokoh yang dikagumi sesuai dengan harapan pembaca.

    Yang merupakan tokoh protagonis yaitu pembantu tua yang tinggal di gedung besar, yang selalu

    memberikan penjelasan atau memberi bantuan kepada tokoh utama. Selain itu juga ada emak dan

    bapaknya. Ketiga yaitu tokoh antagonis atau tokoh yang tidak disenangi pembaca karena memiliki

    watak yang tidak sesuai dengan harapan pembaca. Yang merupakan tokoh ini adalah Bendoro

    yang arogan, sombong, dan kelakuanya merupakan bagian dari sistem feodalisme. Selain bendoro

    juga Mardinah dan komplotannya yang berusaha menghabisi tokoh utama.

    Untuk lebih lanjut akan dipaparkan beberapa tokoh di atas sebagai pelaku dalam

    cerita dengan menelitinya secara tiga dimensional yang meliputi aspekfisiologis,psikologis, dan

    sosiologis.

    a. Gadis Pantai/ Mas Nganten

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    7/34

    Tokoh Gadis Pantai digambarkan sebagai sosok wanita yang cantik sehingga memikat hati

    Bendorodari Rembang untuk menikahinya. Tokoh Gadis Pantai merupakan tokoh utama dalam

    novel Gadis Pantai ini. Gambaran tokoh Gadis Pantai tersebut terdapat pada kutipan di bawah ini:

    Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kuning langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak

    sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai

    keresidenan Jepara Rembang (Toer, 2007:11).

    Tokoh Gadis Pantai setelah diperistri oleh Bendoro berganti nama menjadi Mas

    Nganten. Perubahan nama tersebut terjadi sebagai bagian dari tradisi priyayi, ketika status

    Gadis Pantai yang merupakan golongan orang kebanyakan berubah menjadi priyayi

    diharuskan mengubah nama. Seperti terdapat pada kutipan di bawah ini:Mas Nganten? Siapa itu Mas Nganten?

    Bujang itu tertawa terkekeh ditekan. dipandanginya majikannya yang baru dan

    terlampau muda itu, dibelainya dagunya yang licin seperti ikan lele. Dan akhirnya dengan

    empu jari ia menuding ke dada orang yang dilawannya bicara (Toer, 2007:27).

    Dari kutipan di atas terlihat bagaimana kebingungan yang dihadapi Gadis Pantai

    dalam menjalani dunia barunya sebagai seorang priyayi. Selanjutnya Gadis Pantai lebih

    banyak menghabiskan waktunya dengan menangis dan meratapi nasibnya sebagai

    seorang priyayi, istri seorang Bendoro.

    b. Bendoro

    Tokoh Bendoro merupakan bagian dari tokoh utama dalam novel Gadis Pantai karya

    Pramoedya Ananta Toer ini. Bendoro digambarkan sebagai seorang sosok priyayi tulen,

    dengan segala atribut yang ada pada dirinya. Bendoro digambarkan dalam cerita melalui

    tokoh Gadis Pantai sebagai penuturnya. Seperti kutipan di bawah ini:

    Waktu Bendoro terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencoba

    mengamati wajahnya. Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terlentang di

    terik matari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak muda! Ingin ia

    rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik kecil dulu.

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    8/34

    (Toer, 2007:33).

    Ia sudah hafal suara itu: lunak, lembut, sopan. Dan seperti ditarik oleh benang-

    benang gaib, ia bangkit berjalan tanpa jiwa menuju pintu (Toer, 2007:39).

    Kutipan cerita di atas menggambarkan dengan jelas fisik dari tokoh Bendoro,

    gambaran sosok seorang priyayi pada umumnya. Gambaran yang jelas terhadap tokoh

    Bendoro merupakan upaya pengarangnya untuk menegaskan perbedaan antara priyayi

    dengan orang kebanyakan.

    c.

    Bapak

    Bapak merupakan orangtua dari Gadis Pantai. Bapak dalam novel ini digambarkan

    sebagai seorang pelaut dengan tubuh yang kuat dan tegap. Bapak sangat dihormati

    dikampung karena keberaniannya ketika melaut, ditambah setelah Gadis Pantai menjadi

    seorang priyayi, orang dikampung semakin menghormati Bapak.

    ...Nelayan yang paling terhormat, dialah yang bawa pulang ikan terbesar. Dia

    pahlawan. (Toer, 2007:83).

    Gambaran di atas menggambarkan betapa terhormatnya tokoh Bapak di kampung

    nelayan. Bagi warga kampung nelayan, pola kehormatan terletak pada keberanian seseorang

    dalam mengarungi lautan, bukan pada status yang disandangnya.

    d. Emak

    Emak merupakan orang tua dari tokoh Gadis Pantai. Emak sebagai seorang ibu

    digambarkan sebagai tokoh yang sabar, nrimo, dan selalu menenangkan hati Gadis Pantai.

    Tokoh Emak digambarkan sebagaimana wanita Jawa pada umumnya. Gambaran tersebut

    dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    9/34

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    10/34

    Mardinah merupakan kemenakan dari Bendoro yang bertugas untuk membantu Gadis

    Pantai. Setelah Mbok di usir oleh Bendoro, Mardinah bertugas untuk menemani Gadis Pantai

    dalam menjalankan kehidupan di rumah Bendoro. Sosok Mardinah sendiri digambarkan oleh

    Gadis Pantai sebagai perempuan cantik. Seperti terdapat pada kutipan di bawah ini:

    Gadis Pantai terdiam. Waktu ia melirik dilihatnya Mardinah tertidur senang

    bersandarkan keranjang tembakau. Ia awasi wajah wanita muda itu. Bodohlah pria bila tak

    perhatikan dia. Mukanya bulat, dan mulutnya begitu kecil, seakan sebuah bawang merah

    menempel pada sebuah cobek. Sepasang alisnya hitam tebal, hampir-hampir bersambung,

    sedang dagunya yang begitu tumpul seakan merupakan bagian dari dasar mukanya yang bulat.

    Wajah yang seindah itu .(Toer, 2007:150).

    Mardinah ditugaskan oleh putri dari Demak untuk mengabdi kepada Bendoro, dan juga

    untuk mengawasi Gadis Pantai dalam menjalankan kehidupan di rumah Bendoro. Hal tersebut

    dapat dilihat dalam kutipan dialog di bawah ini:

    Apa harus kupanggil kau? Gadis Pantai bertanya. Mas Nganten, nama sahaya

    Mardinah.

    Itu bukan nama orang desa.

    Sahaya lahir di kota, Mas Nganten. Di Semarang.Berapa umurmu?

    Empat belas, Mas Nganten. Belum ada laki?

    Janda Mas Nganten.

    Gadis Pantai tertegun. Ditatapnya wanita muda itu. Lebih tinggi dari dirinya. Air

    mukanya begitu jernih dan ceria, gerak-geriknya cepat tanpa ragu-ragu.

    Dimana pernah kerja?

    Di Kabupaten Demak, Mas Nganten. Mengapa keluar dan kerja disini?

    Sahaya diperintahkan Bendoro Puteri Demak bekerja disini, Mas Nganten. Apa

    hubungannya Bendoro Puteri Demak dengan aku?

    Mana saya tahu, Mas Nganten? Sahaya Cuma jalankan perintah.

    Engkau terlalu cantik buat pelayanku, juga terlalu muda. (Toer, 2007:44).

    Kutipan dialog di atas merupakan awal pertemuan Mardinah dengan Gadis Pantai,

    dari pertemuan tersebut muncul kecurigaan Gadis Pantai terhadap Mardinah. Menurut Gadis

    Pantai, Mardinah secara fisik tidak pantas untuk menjadi bujang bagi Gadis Pantai.

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    11/34

    g. Agus-Agus Kecil

    Agus-agus kecil merupakan kumpulan remaja yang masih kemenakan dari Bendoro.

    Agus-agus kecil diceritakan dalam novel Gadis Pantai sebagai para priyayi muda, dan dalam

    menjalankan kehidupannya sangat kuat menjalankan prinsip-prinsip kepriyayian. Tokoh

    Agus-Agus kecil yang terdiri atas Abdullah, Karim, Said, menggambarkan pola tingkah laku

    priyayi muda yang angkuh, sombong, yang merupakan ciri dari seorang priyayi pada

    umumnya.

    Tokoh Agus-agus kecil muncul dalam novel Gadis Pantai ini ketika terjadi kasus

    pencurian yang menimpa tokoh Gadis Pantai. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dibawah ini:

    Panggil semua agus kemari.

    Semua mereka yang duduk di lantai mengangkat pandang. Tapi segera mereka

    melihat Bendoro dengan kasar sedang lemparkan pandang ke arah mereka, mereka

    menunduk kembali.

    Siapa tidak mengerti? Bendoro bertanya dengan suara mengancam. Setiap orang

    yang duduk di lantai semakin dalam tunduknya.

    Ya, semua mengerti, itu penting buat dipahami. Tapi apa kehormatan itu? Diam

    sejenak tak seorang berani bergerak.

    Abdullah, apa kehormatan itu?tak terjawab.

    Pertanyaan dibuat untuk dijawab, Abdullah, Suaranya menurun jadi lembut kembali.

    Berapa tahun kau sudah tinggal di sini? Tujuh? Kau tak mau menjawab

    pertanyaanku?

    Jawabanmu mau kudengar. Hanya jawaban. Kau takkan rugi apa-apa. Sahaya,

    pamanda.

    Apa itu kehormatan? tak berjawab. Tapi kau tahu artinya maling? Sahaya,

    pamanda.

    Kau tak tahu apa arti kehormatan? tak berjawab.

    Jadi sampai di mana kau belajar mengaji? Benar-benar kau tak tahu maknanya? tak

    berjawab.

    Jadi kau tidak punya kehormatan? Sahaya, pamanda.

    Kau malingnya!

    Tidak, tidak, pamanda sahaya bukan maling. Sahaya tahu makna maling. Dan sahaya

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    12/34

    tahu sahaya bukan maling.

    Apa penjelasannya, maka kau bukan maling?

    Tidak ada bukti dapat dikemukakan sahaya seorang maling, pamanda.Kau, Karim,

    apa kata gurumu tentang kemunafikan?

    Ampun, pamanda, sahaya tiada hafal. Berapa umurmu?

    Sembilan belas, pamanda.Kau duduk di kelas berapa?Enam, Pamanda.

    Sini, kau berdiri di hadapanku.

    Pemuda Karim beringsut-ingsut dari duduknya sampai di hadapan Bendoro, ia tetap

    duduk menggelesot di lantai.

    Kau dengar aku Karim? Berdiri?

    Ampun, pamanda. Dan Karim tetap tidak berdiri. Said, panggil Bendoro pada

    pemuda yang lain. Sahaya, pamanda.Apakah guru ngajimu sama dengan Abdullah?Sama, Pamanda.

    Sama dengan Karim?

    Sama, Pamanda. Haji Masduhak. Karim! panggil Bendoro tegas-tegas. Apa

    sebabnya uang itu kau ambil? Tiada jawaban (Toer, 2007: 116-118).

    Kutipan dialog di atas menunjukan dengan tegas sikap, sifat, dan perilaku para Agus-

    agus kecil yang merupakan para priyayi muda dengan segala kepatuhan yang

    ditunjukannya terhadap Bendoro. Kutipan di atas semakin menggambarkan keambiguan dari

    sifat seorang priyayi, disatu sisi mereka memegang teguh kehormatan dan kearifan sikap,

    namun di lain pihak mereka pun sangat menjaga kehormatannya dari segala hal yang dapat

    meruntuhkan segala derajat kepriyayiannya tersebut.

    h. Si Dul

    Si Dul merupakan tokoh tambahan dalam novel Gadis Pantai ini. Keberadaannya ada

    dalam cerita sebagai seorang pendongeng yang merupakan bagian dari warga kampung

    Nelayan. Kemunculan Si Dul bermula ketika tokoh Gadis Pantai pulang mengunjungi

    kampung nelayan.

    Setiap orang merasa bangga, seorang gadis dari kampung mereka telah jadi orang

    kota, jadi bangsawan, jadi Bendoro.

    Si Dul pendongeng dengan rebana di tangan sedang asyik mendongeng ketika orang-

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    13/34

    orang pada sibuk melayani Gadis Pantai. Ia menyanyikan cerita waktu tuan besar Guntur

    alias Daendels membangun jalan raya menerjang selatan daerah mereka (Toer, 2007: 116-

    118).

    Tradisi bertutur atau mendongeng merupakan budaya khas dalam masyarakat

    Indonesia. Seperti yang digambarkan dalam kutipan di atas, Pramoedya mencoba

    menggambarkan cita rasa ke-Indonesia-an dalam novelnya tersebut. Salah satunya dengan

    penggambaran tradisi lisan tersebut yang digambarkan pada tokoh si Dul.

    i.

    Mak Pin

    Tokoh Mak Pin merupakan tokoh tambahan dalam cerita novel Gadis Pantai ini. Mak

    Pin muncul dalam cerita sebagai seorang bajak laut yang menyamar menjadi seorang

    perempuan. Kedatangannya di kampung nelayan merupakan bagian dari upaya perampokan

    yang akan dilakukan para pembajak kepada Gadis Pantai. Kedatangan Gadis Pantai sebagai

    seorang Bendoro, mengundang para pembajak untuk menyerang kampung nelayan.

    Gambaran tokoh Mak Pin dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

    Gadis Pantai mengawasi Mak Pin, yang dengan tangannya memberi isyarat agar ia

    rebah lagi. Tapi Gadis Pantai tetap mengawasinya. Tiba-tiba Gadis Pantai merasa takut,

    wajahnya mendadak kecut. Gelak tawa di dapur terhenti. Semua mata melihat Gadis Pantai,

    kemudian pada Mak Pin.

    Gadis Pantai turun dari bale, berdiri, mengawasi Mak Pin sambil melangkah

    mundur- mundur. Suasana tiba-tiba berubah. Ketegangan merayapi setiap pojok rumah.

    Bapaaak! Gadis Pantai memekik sekuat-kuatnya.

    Pandang liar ketakutan pada mata Gadis Pantai. Beberapa orang lelaki masuk ke

    dalam. Bapak menghampiri anaknya, dan tanpa menengok ke belakang pada Bapak, Gadis

    Pantai mengulurkan tangan ke belakang dan Bapak menangkapnya.

    Siapa dia? Gadis Pantai menuding Mak Pin. Mak Pin. Kita kenal dia.

    Bukan! Dia lelaki! suara Gadis Pantai melengking sekuat-kuatnya. Lelaki? semua

    orang berseru, heran.

    Mak Pin yang tiba-tiba saja dalam kepungan semua orang mencoba bicara dengan

    matanya (Toer, 2007: 186-187).

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    14/34

    Kutipan cerita di atas merupakan gambaran keberadaan tokoh Mak Pin dalam novel

    Gadis Pantai. Kedatangan Gadis Pantai yang merupakan seorang priyayi ke kampung

    nelayan, mengundang para pembajak untuk merampok kampung yang disinggahi oleh Gadis

    Pantai. Salah satunya dengan penyamaran yang dilakukan oleh Mak Pin dalam mengintai

    mangsanya, yaitu Gadis Pantai.

    Dengan demikian, dari pemaparan tokoh-tokoh cerita dalam novel Gadis Pantai di atas,

    beserta analisis yang meliputi aspekfisiologis, psikologis, dan sosiologis dari berbagai tokoh

    dapat memperjelas keberadaan tokoh-tokoh tersebut sebagai bagian dalam sebuah struktur

    cerita.

    Penokohan yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer yaitu melalui deskripsi dan dialog

    antara tokoh yang satu dengan yang lain.

    d. Latar/ SettingLatar /setting dalam sebuah karya sastra adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan

    suasana terjadinya kejadian. Dalam novel Gadis Pantai menghadirkan dua latar: Pertama adalah

    latar fisik, merupakan latar pada lokasi tertentu atau waktu tertentu secara jelas.

    a. Latar Tempat

    Latar rumah Bendoro tampak pada bagian awal novel ini ketika rombongan pengantar

    Gadis Pantai sampai di kediaman Bendoro. Kedatangan rombongan tersebut untuk

    menyerahkan Gadis Pantai yang telah dinikahi oleh Bendoro. Dalam cerita rombongan

    tersebut dipersilahkan menunggu di sebuah kamar. Berikut kutipan ceritanya.

    Mereka melaluinya, kemudian masuk ke dalam ruangan yang panjang. Saking

    panjangnya ruangan itu sehingga nampak seakan sempit. Beberapa kursi berdiri di

    dalamnya dan sebuah sofa yang merapat ke dinding. Di penghujung ruangan terdapat kamardengan pintu yang terbuka lebar. Nampak di dalamnya sebuah ranjang besi berpentol

    kuningan mengkilat, kelambunnya menganga berkait pada jangkar-jangkar gading.

    Mereka ditinggalkan diruangan panjang itu. Tak ada seorang pun bicara. Gadis Pantai

    lupa pada tangisnya. Mereka tak berani bergerak, apalagi meninggalkan kamar (Toer,

    2007:17).

    Selanjutnya adalah latar kamar tempat Gadis Pantai meluangkan hari-harinya sebagai

    istri dari Bendoro. Di kamar tersebut Gadis Pantai ditemani oleh seorang bujang sebagai

    orang yang sehari-hari membantu Gadis Pantai dalam menghadapi dunia barunya sebagai

    priyayi muda.

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    15/34

    Di ruangan ini tak ada lesung. Tak ada bau udang kering. Tak ada babon tongkol

    tergantung di atas pengasapan. Tak ada yang bergantungan di dinding terkecuali

    kaligrafi-kaligrafi Arab yang tak mengeluarkan bau.

    Inilah kamar tidur Mas Nganten, kata bujang dengan senyum bangga sambil

    berjongkok di permadani yang menghampar antara tempat tidur dan meja hias. (Toer,

    2007:26).

    Latar kamar juga merupakan tempat pertemuan untuk pertama kalinya dengan

    Bendoro. Dalam kamar tersebut Gadis Pantai merasakan kedekatannya dengan Bendoro

    yang telah dianggap sebagai suaminya sendiri.

    Sunyi-senyap sejenak di dalam kamar. Tapi angin dari laut dengan ganasnya

    menggaruki genteng, sedang laut yang makin lama makin mendesak ke kota, dalam malam

    tanpa suara manusia, terdengar merangsang masuk ke dalam hati. (Toer, 2007:102).

    Selanjutnya adalah latar khalwat, yang merupakan tempat untuk bersembahyang

    Bendoro. Gadis Pantai dibimbing oleh bujangnya untuk melakukan ibadah mengikuti

    Bendoro, disini pula untuk pertama kalinya Gadis Pantai melakukan ibadah. Seperti terdapat

    pada kutipan di bawah ini.

    Bujang itu kemudian mengajarnya ambil air wudhu. Air suci sebelum sembahyang,

    Mas Nganten.

    Untuk pertama kali dalam hidupnya Gadis Pantai bersuci diri dengan air wudhu dan

    dengan sendirinya bersiap untuk bersembahyang.

    Ini khalwat, bujang itu berbisik. Kalwat?

    Iya Khalwat. Jangan salah sebutkhalwat. Bujang itu tak membetulkannya lagi.

    Mereka masuk.

    Ruang itu luas, sangat luas, persegi panjang. Lampu listrik teram-temaram menyala di

    dua tempat, tergantung rendah pada tali kawat. Tak ada perabot pun disana, kecuali dua

    lembar permadaniselembar disana, selembar di dekat pintu mereka masuk (Toer,

    2007:34-35).

    Untuk pertama kalinya Gadis Pantai merasakan kedekatannya dengan Bendoro.

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    16/34

    Setelah pertemuannya dengan Bendoro di kamar, dan beribadah bersama di Khalwat,

    kedekatan tersebut terjalin dengan keakraban yang Bendoro berikan untuk Gadis Pantai.

    Kebun merupakan latar selanjutnya, di tempat ini Bendoro dan gadis pantai sering

    berbincang-bincang. Seperti terdapat pada kutipan cerita di bawah ini.

    Mereka sedang menghirup udara pagi di kebun belakang. Dan kebun belakang itu jauh

    lebih besar dari seluruh kampung nelayan tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.

    Seluruhnya terpagari dinding tembok tinggi (Toer, 2007:40).

    Latar selanjutnya adalah dapur. Sebagaimana diceritakan dalam novel ini, rutinitas

    Gadis Pantai tidak jauh dari kamar, khalwat, dan dapur. Setiap pagi Gadis Pantai memeriksa

    dapur untuk mengawasi santapan yang akan dihidangkan untuk Bendoro. Sesuai dengan

    kutipan di bawah ini.

    Saban pagi Gadis Pantai turun dari kamarnya, memasuki dapur dan

    mengawasi santapan yang akan dihidangkan pada suaminya. Ia cicipi semua untuk

    menentukan baik tidaknya makanan dihidangkan, kemudian ia tutup meja, setelah itu

    membatik. Dalam seminggu ini bila ia masuk ke dapur, matanya tajam mengikuti segala

    gerak gerik pelayannya. (Toer, 2007:127-128).

    Latar tempat yang terakhir adalah perkampungan nelayan. Gadis Pantai memohon

    ijin kepada Bendoro untuk menjenguk orang tuanya di kampung Nelayan, setelah dua

    tahun mengabdi kepada Bendoro. Kemudian Bendoro mengijinkan Gadis Pantai untuk

    pulang dengan ditemani oleh Mardinah. Rombongan pun berangkat dengan dokar menuju

    kampung nelayan.

    Ia dengarkan deburan ombak sepanjang pantai yang semakin mendekati darat.

    Matari makin condong ke barat, dan ombak tampak semakin besar. (Toer, 2007:150).

    Bocah-bocah pada berkicau mengenalkan keanehan pantai waktu Gadis Pantai lebih

    jauh lagi berjalan, yang nampak dan tercium masih yang dulu juga, ampas manusia yang

    berbaris sepanjang pantai, berbaris tanpa komando.

    Lihatlah, ia menuding pada laut, dia tak berubah, kemudian membalik badan

    menuding ke kampung. Dia pun tak berubah. Atap-atap rumbainya tak ada yang baru. Pohon-

    pohon kelapa itukulihat tak bertambah. Ada yang mati sepeninggalanku?

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    17/34

    b. Latar Sosial

    Kedua adalah latar sosial, merupakan latar pada hal-hal yang berhubungan pada

    perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Penceritaan

    latar sosial hanya menggambarkan di mana yang tergambar, yaitu dengan kondisi masyarakat

    kampung nelayan yang bodoh (tidak bisa baca tulis), hidup mereka hanya bergantung pada

    laut. Berbeda dengan kehidupan golongan Priyayi yang sangat berlebihan.

    e.

    Sudut Pandang

    Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana

    untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita.

    Dalam penceritaanya Pramoedya menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia) serba tahu.

    Hal itu di tunjukan melalui deskripsi.

    f. AmanatAmanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dari sebuah karya

    sastra. Dalam roman ini secara eksplisit pengarang memberikan sebuah pesan mengenai

    kebudayaan Jawa hasil dari peninggalan jajahan Belanda yang telah menyengsarakan rakyat

    pribumi dan mereka membodohinya.

    oh, oh, dewa sejagat kalah bengisnya

    matilah dia berani tolak perintahnya

    bupati mantra semua Priyayi apalagi

    orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli

    dia sandang pedang tipis di pinggang kiri

    tapi titahnya wah-wah lebih dahsyat lagi

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    18/34

    laksana geledek sambar perahu dan tali-temali

    sehela nafas sedepa jalan harus jadi

    menggigil semua dengar namanya guntur

    semua pada takluk gunung kali dan rawa

    pantai dan jalan berjajar panjang membujur

    kepala kawula jadi titian orang yang kuasa

    [.]

    waktu jalan panjang sempurna jadi

    kereta-kereta indah jalan tiap hari

    bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putra-putri

    tuan besar gubernur jenderal dan para abdi (170-171).

    Selain itu juga bila melihat dari deskripsi puisi yang dilantunkan tokoh si Dul,

    menandakan ketidakberdayaan rakyat, yang badan dan jiwanya telah dikuasai oleh elit

    kekotaan Jawa wakil setempat raja-raja tradisional di Jawa Tengah, serta orang Belanda yaituGubernur Jenderal Daendels.

    b. Unsur EkstrinsikUnsur Ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, akan tetapi

    secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur

    ekstrinsik berupa:

    1) Kehidupan Pengarang dan Latar Belakang Pengarang

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    19/34

    Kehidupan pengarang merupakan suatu yang mempengaruhi jenis kepengarangan para

    sastrawan. Di mana ia bekerja, bersekolah ataupun pergaulannya. Pramoedya Ananta Toer

    merupakan Sastrawan yang lahir di Blora, pada tahun 1925. Menurut sejarah Ayah Pram

    menikah dengan Ibunya pada saat berumur 15 tahun. Saat Pram ada konflik dengan ayahnya

    ibunya-lah yang paling menyayanginya dan ia lah yang memperjuangkan kehidupan

    keluarganya walaupun dalam keadaan sakit. Maka tak heran apabila ia sangat sayang pada

    ibunya.

    Dalam kepengaranganya Pram banyak menceritakan tentang wanita yang hampir

    menjadi manusia teladan, yang berani dan tabah, yang tetap memperjuangkan kemanusiaanan

    keadilan. Dalam novel Gadis Pantai, Pram terinspirasi oleh seorang wanita yang tak lain

    adalah neneknya dari ibu, ia bernama Satimah. Satimah adalah wanita yang dijadikan selir

    oleh kakeknya, Penghulu Rembang. Tetapi setelah melahirkan anaknya (Ibu Pram), Satimah

    dienyahkan dari gedung tuannya. Satimah adalah wanita yang periang, tabah, tak kenal putus

    asa, rajin, dan seorang pekerja sejati. Ia dari keluarga miskin, meskipun miskin dia tetap

    menyayangi cucu-cucunya dengan selalu memberikan hadiah kecil. Meskipun Pram tidak tahu

    banyak tentang neneknya namun dari situ, nenek Satimah merupakan prototype Gadis Pantai.

    Dalam hal ini stastus sosial, ideologi dan lain-lain menyangkut Pramoedya Ananta

    Toer dilihat, diperlakukan sebagai individu atau sebuah bagian dari sistem. Dalam kasus ini,

    Pramoedya diperlakukan sebagai bagian dari sebuah sistem yaitu menyangkut keterlibatannya

    dalam LEKRA.

    Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir

    separuh hidupnya dihabiskan dalam penjarasebuah wajah semesta yang paling purba bagi

    manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun dalam penjara Orde

    Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, Pulau

    Nusakambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, Pulau Buru Agustus 1969-12 November 1979,Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan.

    Pada tanggal 21 Desember 1979, Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan

    secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G 30 S/ PKI tetapi masih dikenakan

    tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara, sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim

    Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih satu tahun. Beberapa karyanya lahir

    dari tempat purba ini, di antaranya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak

    Langkah danRumah Kaca).

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    20/34

    Penjara tak membuatnya berhenti menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan

    nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya

    dibakar.

    Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam

    lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan,

    Pramoedya Ananta Toer dianugerahi berbagai penghargaan internasional. Sampai kini, ia

    adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat

    Pemenang Nobel Sastra (diambil dari buku Gadis Pantai Juni 2002).

    Pramoedya telah menghasilkan belasan buku, baik kumpulan cerpen maupun novel.

    Pengalaman dipenjara dan pengalaman perampasan hak dan kebebasan menjadikan karya-

    karyanya banyak memperjuangkan tentang nasib perjuangan rakyat kecil, seperti juga dalamnovel Gadis Pantai.

    Pramoedya pernah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang

    merupakan underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) karena itulah karya-karya Pramoedya

    banyak mengusung aliran realisme-sosialis yang merupakan nafas para Marxis ketika

    berkarya.

    Pengaruh realisme sosialis jelas bukan sesuatu yang mengada-ada, sebab Pramoedya

    sendiri kerap mengungkapkan antusiasmenya terhadap aliran tersebut. Ia antara lain pernah

    menulis makalah dalam kesempatan memberikan prasaran untuk sebuah seminar di Fakultas

    Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 26 Januari 1963, dengan judul Realisme Sosialis

    dan Sastra Indonesia.

    Napas realisme sosialis sangat terasa dalam novel Gadis Pantai. Aliran realisme

    merupakan teori seni yang mendasarkan antara kontemplasi diaklektik antara seniman dan

    lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada.

    Hakikat realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana penyadaranbagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagi manusia yang

    terasing (teralienasi menurut istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia

    yang memiliki kebebasan.

    Dalam novelnya ini, Pramoedya mengusung perlawanan terhadap feodalisme Jawa.

    Hal ini dinyatakan dalam bentuk kehidupan Si Gadis Pantai yang berasal dari kelas rendah

    dan kemudian dinikahi oleh pembesar. Penyadaran-penyadaran akan nasib kaum teralienasi

    itu disampaikan Pramoedya dalam bentuk narasi-narasi yang menceritakan ketertekanan

    Gadis pantai menjalani hidupnya di bawah bayang-bayang suaminya yang berasal dari kelas

    lebih tinggi dari dirinya.

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    21/34

    Pramoedya seolah menegaskan bahwa feodalisme Jawa selayaknya dihapuskan karena

    menciptakan kesenjangan sosial dan memperburuk kehidupan masyarakat. Dalam sebuah

    dialog dinyatakan, Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan

    pun hampir tidak. (Toer, 2007: 54).

    Kesenjangan sosial tersebut ternyata berdampak buruk pada psikologi tokoh dan status

    sosialnya di masyarakat, seperti dalam cuplikan dialog: Bapak? mengapa bapak segan

    menatap aku? anaknya sendiri. dan bumi di bawah kakinya terasa goyah. Kampung nelayan

    ini telah kehilangan perlindungn yang meyakinkan baginya. Sedang di belakang terus

    mengikuti mata-mata Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya. Ia masih

    kenal benar siapa-siapa yang menjemputnyatetangga-tetangganya. Ada yang dulu

    menjewernya. Ada yang mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan

    menggendongnya sewaktu habis jatuh dari pohon jambu. ada yang sering dibantunya

    menunggu dapur. Dan ada bocah-bocah kecil yang digendongnya dulu. Antara sebentar ia

    dengar kata Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro! Bendoro Putri! kata itu mendengung

    memburu. Mengiris dan meremas di dalam otaknya. Bendoro! Bendoro Putri! Bendoro!

    Bendoro Putri! Dan berpasang-pasang mata yang menunduk hormat bila tertatap olehnya

    seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu! (Toer, 2007: 165)

    Sesuai dengan tujuan aliran realisme sosialis, novel ini memperjuangkan kelas

    proletaryang diwakili oleh tokoh gadis pantai, agar tidak terdapat lagi masyarakat berkelas-

    kelas. Novel ini di samping mencerminkan kenyatan sosial pada masa itu di Jawa juga

    menyuarakan perlawanan terhadap kelas tinggi dalam masyarakat Jawadalam novel ini

    diwakili oleh tokoh Bendoro.

    Karya Novel Pramoedya adalah Perburuan (1950), Bumi dan Manusia, Anak Semua

    Bangsa, Jejak Langkah, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arus Balik, dan Arok Dedes. Kranji

    Bekasi Jatuh (1947), Keluarga Gerilya, Percikan Revolusi (1950) ,Mereka yang dilumpuhkan,Bukan Pasar Malam, Di Tepi Kali Bekasi, Dia yang Menyerah (1951), Gulat di Jakarta

    (1953), Midah si Manis Bergigi Emas, Korupsi (1954), Calon arang (1957), Hoakiau di

    Indonesia (1959), Panggil Aku Kartini Saja (1962), Bumi Manusia, Edisi Inggris Anak Semua

    Bangsa (1980), Tempo Doeloe (1982), Jejak Langkah, Sang Pemula (1985), Gadis Pantai,

    Rumah Kaca (1987).

    2) Keadaan Masyarakat

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    22/34

    Pram merupakan gambaran dari masyarakat Jawa kebanyakan yang tertindas oleh

    Kolonial Belanda. Namun Ia tidak seperti orang jawa kebanyakan yang menyerah dengan

    keadaan. Pram memiliki kesadaran nasional yang kuat, ketabahanya dalam melawan segala

    apa yang dianggap tidak adil, pengalamanya tentang masalah-masalah sosial dalam

    masyarakat jawa pengertianya tentang pendidikan sebagai sarana untuk membangun bangsa

    dan manusia yang bebas dan merdeka. Ia hidup di mana pada saat itu penjajah belada tengah

    berkuasa di nusantara ini terutama di daerah jawa tengah. Dan pada saat itu pula praktik-

    praktik kolonialisme belanda, salah satunya feodalisme. Melalui karyanya Roman Gadis

    Pantai Pram berusaha untuk menusuk praktik feodalisme Jawa yang tidak mengenal adab

    dan jiwa kemanusiaan.

    3) Relasi GenderDalam Roman ini setidaknya ada empat tokoh perempuan yang ada di dalamnya, yaitu

    Gadis Pantai, Emak, Bujang wanita, Mardinah dan Mas Ayu (Bendoro wanita yang akan

    dinikahi Bendoro). Gadis Pantai adalah gadis belia yang sangat lugu, tentu saja karena ia baru

    berusia 14 tahun kala itu, sebelum ia dinikahi Bendoro. Ia berasal dari kalangan rakyat bawah,

    penduduk kampung nelayan yang miskin, ia pun buta akan ilmu pengetahuan dan tata karma.

    Sedangkan Bendoro adalah Priyayi yang terhormat yang memiliki pengetahuan agama yang

    luas. Kontras sekali dengan Mardinah. Seorang tokoh antagonis di dalam roman ini. Ia tiba-

    tiba dihadirkan oleh narator sebagai seorang janda, yang pernah menjadi Mas Nganten. Ia

    lahir di kota Semarang, ia sangat muda dan karena ia mampu membaca ia jauh lebih cerdas

    dari pada Gadis Pantai. Mardinah pun tahu benar bagaimana seharusnya menjadi Mas Ngaten

    yang baik dan benar. Karena merasa lebih pintar, dan lebih terhormat, Mardinah begitu

    meremehkan Gadis Pantai. Karena ia menganggap ia lebih berderajat karena ia lahir di kota

    sedangkan Gadis Pantai lahir di perkampungan nelayan yang miskin; Mardinah mampumembaca dan menulis, sedangkan Gadis Pantai hanya mampu membaca Al Quran saja.

    Ambisinya yang ingin membinasakan Gadis Pantai adalah hanya semata-mata karena ia

    dijanjikan untuk dijadikan istri kelima bagi Bendoro Demak jika ia berhasil menyingkirkan

    Gadis Pantai dan menikahkan putri Bendoro Demak dengan Bendoro (Priyayi yang menikahi

    Gadis Pantai).

    Emak adalah ibu dari Gadis Pantai yang mengharapkan anaknya mendapat

    penghidupan dan derajat yang lebih baik. Bujang perempuan adalah pelayan Gadis Pantai

    ketika ia masih mengawali kehidupannya sebagai Mas Nganten. Sedangkan Mas Ayu adalah

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    23/34

    seorang perempuan berderajat yang akan dinikahi oleh Bendoro. Hal yang sangat mencolok

    dalam novel ini adalah terpisahnya ibu dan anak secara paksa, dan diceraikannya seorang Mas

    Nganten setelah ia melahirkan anak bagi Bendoro. Dalam masyarakat feodal nampak sekali

    perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Berapa besarnya keinginan rakyat feodal

    untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan mereka mengharapkan adanya penerus

    bagi mereka. Dalam masyarakat ini anak perempuan hanya dianggap sebagai pengganggu saja

    dan tidak dapat dibanggakan. Perempuan dianggap sebagai tempat pelepasan birahi dan

    melahirkan anak saja. Apa lagi jika perempuan itu berasal dari rakyat rendahan. Selain itu

    pula, bagi seorang perempuan yang menjadi Mas Nganten akan diceraikan begitu saja oleh

    Bendoro setelah ia memberikan seorang anak kepada Bendoronya.

    Seperti halnya apa yang dialami Gadis Pantai dalam roman ini. Setelah masuk tahun

    ketiga dari pernikahannya, dan setelah ia melahirkan seorang anak yang ternyata perempuan.

    Betapa murkanya Sang Bendoro dan selang beberapa bulan setelah melahirkan, Gadis Pantai

    pun diceraikannya. Seperti kutipan berikut.

    Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar? Sahaya, Bendoro.

    Jadi cuma perempuan? Seribu ampun, Bendoro. Bendoro membalikkan badan, keluar

    kamar sambil menutup pintu kembali. Gadis Pantai memiringkan badan, di peluknya bayinya

    dan diciuminya rambutnya (Pramoedya, 2007: 253).

    Gadis Pantai, seorang gadis dari kalangan rakyat rendahan, ia belum mengenal cinta

    dan dicintai, dan ia pun belum banyak tahu tentang kehidupan dan bahkan pengetahuan

    tentang etika dan tata krama rakyat feodal. Dalam usia yang sangat belia ia menjadi Mas

    Nganten. Kebahagiaan baginya adalah masa-masa ketika ia masih hidup di pesisir pantai, dikampung nelayan yang kumuh dan miskin, bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya;

    bermain, bercengkrama dan tertawa lepas bersama teman-temannya di antara bulir-bulir pasir

    hangat yang menjadi alas kakinya dan deburan ombak sebagai dendangan yang selalu

    mengiringi langkahnya. Semua terenggut ketika ia menjadi istri seorang Bendoro, yang

    walaupun dalam kehidupan Priyayi ia mendapatkan cukup makan, pakaian yang bagus dan

    perhiasan yang indah, namun sesingkat waktu ia dicampakkan begitu saja, anaknya terenggut

    paksa dari pelukkannya. Ia pun kembali menapaki hidupnya semula, sebagai Gadis Pantai dari

    golongan bawah.

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    24/34

    2. Nilai-nilai Sosial BudayaDari segi sosial budaya sebagai cerminan masyarakat, sastra dilihat sejauh mana sastra

    dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri

    masyarakat yang ditampilakan dalam karya sastra itu (Sapardi, 2002:5).

    Dari novel Gadis Pantai, didapatkan unsur sosial budaya yang melatar belakangi

    penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa pada masa novel

    ini ditulis. Masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga-tipe yang mencerminkan organisasi moral

    kebudayaan, yaitu kebudayaan abangan, santri, dan priyayi. Kaum abangan adalah penganut

    kejawen yang sangat percaya akan eksistensi makhluk halus yang mempengaruhi kehidupan

    manusia, seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, dan magis.

    Tipe kedua dari masyarakat Jawa yaitu santri, adalah komunitas yang menjalankan

    kaidah-kaidah agama Islam secara lebih murni, dengan melaksanakan secara cermat dan

    teratur asas-asas peribadatan Islam seperti shalat, puasa, dan haji termasuk pengelolaan

    organisasi sosial dan politik Islam. Kelompok ini biasanya dihubungkan dengan elemen

    pedagang, meskipun ada sebagian kecil dari golongan petani.

    Sedangkan golongan priyayi adalah mereka yang berasal dari aristokrat, yangkebangsawanannya dimiliki secara turun-temurun. Mereka ini tidak menekankan kepada

    elemen animistik dan sinkretinisme Jawa yang dianut kaum abangan dan tidak juga

    menekankan kepada elemen Islam sebagaimana yang dipraktekkan kaum santri, tetapi lebih

    menitikberatkan kepada elemen-elemen Hinduisme yang secara luas dihubungkan dengan

    unsur-unsur birokratis.(Haryanto, 2006)

    Priyayi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan.

    Mereka hidup berkecukupan, seperti yang terlihat dari cuplikan dialog: Ya, orang

    kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak. (Gadis

    Pantai, hal. 54), dan pada cuplikan dialog: Bagi orang sudah tua seperti sahaya ini, siapa

    yang beri makan di sana? semua pada hidup susah. (Gadis Pantai, hlm. 55). Kemudian

    pada cuplikan dialog: Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja.

    Hanya orang kebanyakan yang kerja. (Toer, 2007: 68).

    Dan cuplikan dialog:

    Kalau ada nasib, Bapak suka jadi priyayi?

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    25/34

    Itulah yang dicitakan setiap orang.

    Kalau Bapak tahu bagaimana mereka hidup di sana...

    Setidak-tidaknya mereka tak mengadu untung setiap hari. Setidak-tidaknya mereka tidak

    berlumuran kotor setiap hari. (Toer, 2007:181)

    Dan tugas bagi orang yang kedudukannya lebih rendah adalah mengabdi kepada para

    priyayi tersebut, seperti dalam cuplikan dialog:

    Apa salahku?

    Salah Mas Nganten seperti sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan.

    Lantas Mbok, lantas?

    Kita sudah ditakdirkan oleh orang yang kita puji dan yang kita sembah buat jadi pasangan

    orang rendahan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.

    Aku ini, Mbok, aku ini orang apa? rendahan? atasan?

    Rendahan Mas Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.

    Jadi apa yang mesti aku perbuat?

    Ah, beberapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai

    tanah pada Bendoro... (Toer,2007: 99)

    Para priyayi menganggap, orang dengan kelas lebih rendah dari dirinya adalah

    miliknya sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berhak mengatur kehidupan mereka. Seperti dalam

    cuplikan dialog: Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan btidak boleh,

    harus dan mesti kau kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.

    (Toer,2007:136)

    Karena kedudukannya yang dianggap lebih tinggi itu, para priyayi harus dihormati dan

    diperlakukan seolah raja oleh para kelas yang lebih rendah, hal ini tercermin dalam cuplikan

    dialog: Pada aku ini, Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut

    di hadapan dan untuk Mas Nganten. (Toer,2007: 27). Dan pada cuplikan dialog Tidak

    mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin. ( Toer,2007:

    127)

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    26/34

    Bahkan karena kedudukanya itu, jika seorang priyayi menikah dengan gadis

    dari tingkat kelas yang lebih rendah, maka gadis itu belum dianggap sebagai istri sahnya.

    Priyayi itu masih dianggap perjaka jika belum menikah dengan wanita dari kalangan yang

    sederajat dengannya. Seperti terlihat dari cuplikan dialog: Jadi Mas Nganten tahu siapa

    sahaya. Seseorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah perintahkan

    sahaya kemari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan seorang gadis yang

    benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah menunggu. Siapa saja boleh Bendoro ambil,

    sekalipun sampai empat. (Toer,2007:132)

    Kemudian pada cuplikan dialog:

    Perjaka? jadi aku ini apanya?

    Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.

    (Toer,2007:155).

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    27/34

    BAB III

    PENUTUP

    1. Simpulan

    Gadis Pantai, dalam usia yang masih begitu belia telah kehilangan segalanya. Karena

    begitu malu kembali ke kampungnya, Gadis Pantai dengan perasaan remuk memilih berputar

    arah ke Selatan, ke Blora. Kisah sekuel Gadis Pantai terhenti di sini. Lewat sekuel pertama ini,

    Pram meunjukkan kontradiksi negatif praktik feodalisme di tanah Jawa yang tak memiliki

    adab dan jiwa kemanusiaan. Betapa seorang manusia tak dihargai dari hatinya, namun dari

    pangkat dan golongan mana dia berasal. Layak dijadikan perenungan.

    Kemudian penjajahan belanda mengakibatkan adanya sistem feodalisme yang

    menjalar ke darah daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial

    masyarakat yang mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, kebobrokan mental, serta tidak

    adanya pemerataan ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini,

    masih membekas tentang kerja paksa Rodi, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat

    kecil. Juga perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi

    Belanda.

    Gambaran tradisi yang dimunculkan dalam cerita novel Gadis Pantai ini secara

    garis besar merupakan gambaran umum tentang pola tingkah laku priyayi Jawa pada

    zamannya. Perubahan nama, menjunjung tinggi kehormatan, perkawinan, ajaran-ajaran

    wayang, dan menembang merupakan bagian dari tradisi priyayi Jawa yang direpresentasikan

    dalam novel ini. Akan tetapi, gambaran tradisi priyayi Jawa tersebut merupakan kritikan

    terhadap bentuk feodalisme Jawa yang tergambar dalam setiap bentuk tradisi yang dilakukan

    oleh para priyayi pada zamannya. Gambaran tradisi tersebut juga merupakan gambaran

    bentuk kasar mentalitas para priyayi yang tidak terkendali dan tanpa beban susila maupun

    agama. Hal tersebut merupakan gambaran hedonisme para priyayi pada zamannya. Gambaran

    tradisi priyayi Jawa dalam novel ini tergambar dengan jelas dalam setiap tuturan teks. Hal

    tersebut tidak terlepas dari penyajian struktur cerita (alur, tema, tokoh, latar) yang saling

    membangun dalam satu kesatuan isi cerita.

    Kehadiran priyayi merupakan bagian dari kebudayaan Jawa (feodalisme Jawa).

    Priyayi merupakan wujud aktivitas dalam sebuah kebudayaan, khususnya dalam konteks

    ini adalah kebudayaan Jawa. Jika dilihat dari segi sejarah mentalitas, konsep priyayi yang

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    28/34

    direpresentasikan dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya ini mengacu kepada konsep

    sentral priyayi yang alus dan kasar. Priyayi dalam novel ini menunjukkan sosok priyayi

    yang agung, mengabdi, dan teratur, walau tetap yang dimunculkan dalam novel ini adalah

    sisi kelam (kasar) dari sosok priyayi tersebut sebagai sebuah ambiguitas dari

    keberadaannya.

    Priyayi dalam novel Gadis Pantai ini merupakan sekelompok orang (Jawa) yang

    mempunyai kehormatan dan dihormati dalam sebuah sistem sosial. Priyayi dalam novel ini

    juga cenderung berurusan dengan masalah penataan dunia spiritual, seperti pengendalian.

    Buku ini juga tidak negatif, sebab langkah pertama ke arah pembebasan dari

    penindasan dan penghinaan telah diambil dari Gadis Pantai: ia mulai sadar tentang kenyataan

    sosial di tempat hidupnya. Ia tidak dapat kembali ke masa lampau, ia harus maju: Tanpa

    menengok ke belakang lagi, Gadis Pantai memusatkan matanya ke depan, demikian dikatakanpada halaman penghabisan.

    Pram melalui Roman Gadis Pantai berhasil menguak kebengisan sistem feodalisme

    Jawa. Dengan teknik kepengaranganya Roman ini berhasil menjadi Roman sosio-kritis. Yang

    memperjuangkan rakyat kecil dan terutama wanita-wanita Jawa yang dijadikan selir para

    Priyayi. Dengan adanya roman ini kita berharap di masa sekarang tidak ada lagi praktik-

    praktik Feodalisme.

    2. SaranSaran-saran ini ditujukan kepada pendidik dan tenaga kependidikan, para peneliti

    sastra, penulis buku dan sastrawan untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan

    dalam mengabdikan tugas-tugas mereka.

    1) Untuk Pendidika. Novel Gadis Pantai sangat baik digunakan sebagai bahan pelajaran sastra.b. Nilai pendidikan yang terkandung dalam Gadis Pantai untuk nilai pendidikan bagi

    siswa SMA dan generasi muda umumnya. Pendidikan nilai moral dan pendidikan nilai

    budaya serta pendidikan agama sangat baik ditanamkan kepada generasi muda.

    2) Penyusun buku pelajaranHasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penyusunan materi buku ajar.

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    29/34

    3) Pembacaa. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. Khususnya mengenai

    pembahasan tokoh dan perwatakannya.

    b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca mengenai nilai-nilai pendidikan yangada didalamnya.

    4) Peneliti berikutnyaPenelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian berikutnya ketika

    menganalisis karya sastra.

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    30/34

    JuduL :

    Mengulas feodalisme dalam novel Gadis pantai

    Analisis novel gsdis pantai dan nilai sosial budaya

    yang terkandungAnalisis novel gsdis pantai

    Mengupas

    ksmpulan

    Kedua, gambaran tradisi yang dimunculkan dalam cerita novel Gadis Pantai ini

    secara garis besar merupakan gambaran umum tentang pola tingkah laku priyayi Jawa pada

    zamannya. Perubahan nama, menjunjung tinggi kehormatan, perkawinan, ajaran-ajaran

    wayang, dan menembang merupakan bagian dari tradisi priyayi Jawa yang direpresentasikan

    dalam novel ini. Akan tetapi, gambaran tradisi priyayi Jawa tersebut merupakan kritikan

    terhadap bentuk feodalisme Jawa yang tergambar dalam setiap bentuk tradisi yang dilakukan

    oleh para priyayi pada zamannya. Gambaran tradisi tersebut juga merupakan gambaran

    bentuk kasar mentalitas para priyayi yang tidak terkendali dan tanpa beban susila maupun

    agama. Hal tersebut merupakan gambaran hedonisme para priyayi pada zamannya. Gambaran

    tradisi priyayi Jawa dalam novel ini tergambar dengan jelas dalam setiap tuturan teks. Hal

    tersebut tidak terlepas dari penyajian struktur cerita (alur, tema, tokoh, latar) yang saling

    membangun dalam satu kesatuan isi cerita.

    Ketiga, kehadiran priyayi merupakan bagian dari kebudayaan Jawa (feodalismeJawa). Priyayi merupakan wujud aktivitas dalam sebuah kebudayaan, khususnya dalam

    konteks ini adalah kebudayaan Jawa. Jika dilihat dari segi sejarah mentalitas, konsep priyayi

    yang direpresentasikan dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya ini mengacu kepada

    konsep sentral priyayi yang alus dan kasar. Priyayi dalam novel ini menunjukkan sosok

    priyayi yang agung, mengabdi, dan teratur, walau tetap yang dimunculkan dalam novel ini

    adalah sisi kelam (kasar) dari sosok priyayi tersebut sebagai sebuah ambiguitas dari

    keberadaannya.

    Priyayi dalam novel Gadis Pantai ini merupakan sekelompok orang (Jawa) yang

    mempunyai kehormatan dan dihormati dalam sebuah sistem sosial. Priyayi dalam novel ini

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    31/34

    juga cenderung berurusan dengan masalah penataan dunia spiritual, seperti pengendalian

    1 Alur

    Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah wacana sastra yang satu dengan

    yang lainnya memiliki hubungan kausalitas. Alur selalu berhubungan dengan sebuah

    peristiwa dan kejadian. Peristiwa tersebut merupakan tindakan tokoh yang berakibat padakehidupan tokoh dalam cerita.

    Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu hanya

    dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan

    terjadinya peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 2002:113). Berdasarkan pengerutannya,

    peristiwa dan kejadian dalam sebuah cerita cenderung menggunakan tiga teknik utama, yakni

    teknik penundaan (suspending), teknik pembayangan (foresshadowing), dan teknik

    pembalikan (flashingback).

    13

    Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa

    dan kejadian yang saling berhubungan dengan adanya sebuah deretan hubungan kausalitas

    (sebab-akibat).

    2.3.1.2 Tokoh

    Tokoh merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh

    pembaca ditafsirkan memiliki kausalitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    32/34

    diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams dalam

    Nurgiyantoro 2002:165).

    Menurut Sudjiman (1990:79) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa

    atau berlakuan dalam berbagai peristiwa di dalam sebuah cerita. Tokoh dalam sebuah cerita

    menempati posisi strategis sebagai pembawa atau penyampai pesan, amanat, moral, atau

    sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh dalam sebagai pelaku cerita

    meliputi tiga aspek yang meliputi aspekfisiologis,psikologis, dan sosiologis.

    Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh merupakan orang yang secara

    imajinatif ditampilkan sebagai pelaku cerita dan berperan sebagai orang yang menggerakkan

    alur dalam sebuah cerita.

    2.3.1.3 Latar

    Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan

    dalam sebuah karya sastra (Sudjiman, 1990:48). Latar disebut juga sebagai landasan tumpu

    yang menyaran kepada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

    terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002:216).

    Menurut Stanton, latar dapat diimajinasikan secara faktual oleh pembaca.

    4.1.3

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    33/34

    BAB 5

    SIMPULAN DAN SARAN

    5.1. Simpulan

    Berdasarkan uraian pada bab empat, maka pada bab lima ini akan dipaparkan

    simpulan dari analisis yang telah dilakukan. Simpulan ini akan menjawab masalah yang telah

    dikemukakan sebelumnya.

    Pertama, mengenai struktur novel Gadis Pantai telah dilakukan analisis yang

    meliputi aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik. Aspek sintaksis mengemukakan tentang

    analisis alur. Melalui analisis alur dengan menggunakan fungsi utama, penulis telah

    menemukan 127 fungsi utama dalam novel Gadis Pantai ini.

    Aspek semantik meliputi analisis tokoh dan latar. Pada analisis tokoh telah ditemukan

    sembilan tokoh yang ada dalam novel ini. Bendoro, Gadis Pantai, dan Mbok merupakan tiga

    tokoh utama, karena ketiganya merupakan penggerak cerita dalam novel Gadis Pantai ini.

    Selain itu, terdapat juga tokoh Bapak, Emak, Mardinah, Agus-agus kecil, Mak Pin, dan si Dul

    sebagai tokoh-tokoh tambahan. Analisis latar meliputi latar tempat dan latar waktu. Latar

    tempat dalam novel ini meliputi keraton sebagai rumah Bendoro, kamar, khalwat, dapur,

    kebun, dan perkampungan nelayan. Sementara itu, latar waktu meliputi waktu pagi, siang,

    sore, dan malam.

    Analisis struktur pada aspek pragmatik dilakukan untuk mengetahui sudut pandang

  • 8/3/2019 Makalah Gadis Pantai

    34/34

    pengarang dalam sebuah karyanya. Dalam novel Gadis Pantai ini, analisis penceritaan

    meliputi aspek kehadiran pencerita dan tipe penceritaan. Peran pengarang dalam novel ini

    yaitu sebagai pencerita ekstren, pengarang tidak hadir dalam teks dan hanya mengarahkan

    dan menggerakkan para tokoh sebagai orang ketiga. Tipe penceritaan dalam novel ini

    banyak

    menggunakan tipe penceritaan dengan jenis wicara alihan, karena dalam novel ini

    banyak menceritakan pemikiran-pemikiran para tokoh (Mbok dan Gadis Pantai).