Makalah Filariasis Kelompok II

18
A. ETIOLOGI PENYAKIT FILARIASIS Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia, ditularkan oleh serangga (nyamuk) secata biologik, penyakit ini besifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapaykan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (disebut elephantiasis / kaki gajah), pembesaran lengan, payudara dan alat kelamin wanita maupun laki-laki.

description

Filariasis

Transcript of Makalah Filariasis Kelompok II

Page 1: Makalah Filariasis Kelompok II

A. ETIOLOGI PENYAKIT FILARIASIS

Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing

filaria yang cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia,

ditularkan oleh serangga (nyamuk) secata biologik, penyakit ini besifat

menahun (kronis) dan bila tidak mendapaykan pengobatan akan

menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (disebut elephantiasis /

kaki gajah), pembesaran lengan, payudara dan alat kelamin wanita maupun

laki-laki.

Page 2: Makalah Filariasis Kelompok II

Filariasis merupakan penyakit infeksi sistemik kronik yang

disebabkan oleh cacing seperti benang, dari genus Wuchereria dan Brugia

yang dikenal sebagai filarial yang tinggal di sistem limfa (mengandung getah

bening), yaitu jaringan pembuluh yang berfungsi untuk menyangga dan

menjaga keseimbangan cairan antara darah dan jaringan otot yang merupakan

komponen esensial dari sistem kekebalan tubuh. 1 Filariasis atau yang lebih

dikenal dengan sebutan penyakit “kaki gajah” ini disebabkan oleh tiga spesies

filarial.

Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu :

Wuchereria bancrofiti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacaing ini

menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar

getah bening dan darah. Cacing dapat hidup dalm kelenjar getah bening

manusia selama 4-6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dwasa betina

menghasilkan jutaan anak cacing/larva (disebut mictofilaria). Larvafilaria

memiliki perilaku yang spesifik yaitu pada siang hari larva filaria berada di

paru-paru atau pembukuh darah besar sedangkan pada malam hari larva ini

berpindah ke pembuluh darah arteri atas atau vena perifer dekat kulit.

Anak cacing (mikrofilaria) muncul diperedaran darah enam bulan

sampai satumtahun kemudian dan dapat bertahan hidup hingga 5 – 10 tahun.

Pada Wuchereria bancrofiti, mikrofilaria berukuran 250 – 300 mikron,

sedangkan pada Brugia malayi, dan Brugia timori, mikrofilaria berukuran

177 – 230 mikron.

Page 3: Makalah Filariasis Kelompok II

Banyak spesies nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis,

tergantung pada jenis cacing filarianya. Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk

yang diketahui bertindak sebagai vektor yaitu dari genus : Mansonia, Culeks,

Anopheles, Aedes dan Armigeres. Karena inilah filariasis dapat menular

dengan sangat cepat. Secara rincih vektor nyamuk itu adalah :

Wuchereria bancrofiti perkotaan dengan vektor Culex

quinquefasciatus

Wuchereria bancrofiti pedesaan dengan vektor Anopheles, Ades

dan Armigeres

Yaknya Brugia malayi dengan vektor ansonia spp, dan Anopheles

barbirostris.

Brugia timori dengan vektor Anopheles barbirostris.

Faktor-faktor yang terbukti sebagai faktor risiko terjadinya

filariasis adalah adanya genangan air, adanya persawahan, tidak adanya

hewan predator, kebiasaan tidak menggunakan kelambu, dan kebiasaan

tidak menggunakan obat anti nyamuk. Melakukan kebersihan lingkungan,

membersihkan saluran-saluran air yang tergenang, menggunakan kelambu

dan obat anti nyamuk pada waktu tidur, melakukan penyuluhan agar

masyarakat tahu cara penanggulangan filariasis, Pemeliharaan ikan

predator (ikan pemakan jentik nyamuk vektor) seperti : mujair, lele, kepala

timah dan sejenisnya sebagai musuh alami larva/jentik nyamuk vektor

pada genangan-genangan air.

Page 4: Makalah Filariasis Kelompok II

B. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT FILARIASIS

Penyakit filariasis merupakan penyakit parasit yang penyebarannya

tidak merata, melainkan terkonsentrasi dibeberapa kantong-kantong wilayah

tertentu. Dataran pulau sumatera sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi

kawasan yang dari tahun ketahun menjadi infeksi penyakit ini. Meskipun

demikian, penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting, karena

menyebabkan kerugian masyarakat berupa penurunan produktivitas

penderitanya, oleh karena itu harus ada pemberabtasan penyakit ini. Penyakit

filariasis tidak menyebebkan kematian secara langsiung, tetapi menyebabkan

penderitaan seta kerigian tidak sedikit, jika dihitung kehilangan jam kerja yang

disebabkannya.

Dalam segitiga epidemiologi dikemukakan bahwa penularan penyakit

dapat terjadi karena adanya interaksi antara host, agent dan vektor.

Sementara, menurut Hendrik L. Blum (1974), terdapat empat faktor yang

yang mempengaruhi status kesehatan manusia, yaitu: lingkungan, perilaku,

pelayanan kesehatan dan keturunan. Diantara keempat faktor tersebut, faktor

yang akan diteliti adalah pelayanan kesehatan yang mencakup akses dan

pemanfaatan pelayanan kesehatan. Filariasis menyebar hampir di seluruh

wilayah Indonesia. Jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6233

orang yang tersebar di 1553 desa, di 231 kabupaten dan di 26 Propinsi.

Berdasarkan hasil survey tahun 2002-2005 jumlah penderita terbanyak

ditemukan di Sumatera dan Kalimantan dengan 84 kabupaten/kota memiliki

microfilaria rate 1% atau lebih, hal ini menggambarkan bahwa seluruh daerah

Page 5: Makalah Filariasis Kelompok II

di Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah endemis filariasis. Akses

terhadap pelayanan kesehatan yang rendah merupakan salah satu factor risiko

peningkatan kasus filariasis sehingga perlu dilakukan analisis untuk

mengetahui hubungan akses pelayanan kesehatan dengan kejadian filariasis.

Analisis dilakukan terhadap data Riskesdas tahun 2007. Hasil analisis

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara akses pelayaan

kesehatan terhadap kejadian filariasis yang meliputi: jarak dan waktu tempuh

ke RS, PKM, Pustu, Dokter dan Bidan praktek, Posyandu dan Poskesdes;

ketersediaan sarana transportasi ke sarana kesehatan.

Page 6: Makalah Filariasis Kelompok II
Page 7: Makalah Filariasis Kelompok II

C. DAUR HIDUP WUCHERERIA BANCROFTI, BRUGIA MALAYI,

DAN BRUGIA TIMORI

Page 8: Makalah Filariasis Kelompok II

Cacing ini habitatnya dalam sistem peredaran darah, limfa, otot,

jaringan ikat, atau rongga serosa. Cacing dewasa merupakan cacing yang

langsing seperti benang, berwarna putih kekuningan, pajangnya 2-70 cm,

cacing betina panjangya lebih kurang dua kali cacing jantan. Biasanya tidak

mempunyai bibir yang jelas, mulutya sederhana, rogga mulut tidak nyata.

Eksofagus berbentuk seperti tabung, tanpa gulbus eksofagus, biasanya bagian

enterior berotot sedangkan bagian posterior berkelejar. Cacing jantan

memiliki dua spikula untuk populasi, kadang-kadang pada bagian ekor

memiliki alae. Cacing betia vivipar melahirka mikro filaria paralarva. Mikro

filaria, W. Bacrofii, B. Malayi, B. Timori dan I oa loa memiliki sarung yang

belum diketahui kegunaannya, haya tampak pada bagian kepala dan ekor

yang berupa membran halus, melekat ketat, berasal dari kulit telur. Terdapat

sebaris sel yang berwarna tua pada pewarnaannya, merupaka sisa usus dan

mungkin alat-alat lain yang berderet hampir sepanjang tubuh dan hampir

mengisi seluruh lebar tubuh, disebut “inti”, dipakai untuk menentukan

spesies, yaitu ada atau tidaknya susunan dari inti tersebut pada ujug ekor pada

bagian kepala terdapat bagian kosong yang tidak mengadung inti disebut

eepbalic space atau ruang kepala. Untuk membantu spesies, biasanya panjang

eepbalic spacedibandigka dengan lebarnya. Mikrofilaria ukuraya bervariasi,

hidupnya didalam darah, supkuta atau jaringan lainnya tergantung spesies.

Larva filarial memiliki perilaku spesifik yaitu pada siang hari larva

filarial berada di paru-paru atau pembuluh darah besar sedangkan pada

Page 9: Makalah Filariasis Kelompok II

malam hari larva ini berpindah ke pembuluh arteri atau vena perifer dekat

kulit.

Menurut Gandahusada (1998), siklus hidup cacing filarial terdiri dari

2 fase yaitu :

1. Perkembangan dalam tubuh manusia sebagai hospes

Transmisi penyakit muncul melalui gigitan nyamuk genus

Anopheles, Aedes, Culex atau Mansonia, yang telah menggigit

penderita filariasis dan mengandung larva filaria. Larva

berkembang menjadi dewasa dan menghasilkan microfilaria lagi.

Larva (mikrofilaria) dewasa mikrofilaria

2. Perkembangan dalam tubuh nyamuk sebagai vector

Pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk kurang lebih selama

dua minggu. Fase ini dimulai dari microfilaria/larva (dari

penderita) dalam lambung nyamuk selanjutnya menuju usus,

migrasi ke thorax, selanjutnya menuju proboscis, setelah beberapa

hari baru ditularkan lagi kepada manusia.

Secara umum dapat dilihat dalam skema berikut :

Page 10: Makalah Filariasis Kelompok II
Page 11: Makalah Filariasis Kelompok II

D. PATOMEKANISME PENYAKIT FILARIASIS

Filariasis berbula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing

filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa ini melalui saliran limfe

atau sinus-sinus limfe menyebabkan pengembangan/ dilatasi limfe pada

tempat-tempat yang dilalui. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan

plasma yang teridsi dari pembuluh darah yang menyebabkan penabalan

pembuluh darah disekitarnya. Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi

infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar

pembuluh darah yang terinfeksi. Infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi

proliverasi jaringan ikat dan menyebabkan pembukuh limfe disekelilingnya

menjadi berkelok-kkelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup

disepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya terjadi limfedema dan

perubahan pad akulit di atas pembuluh menjadi tak terhindarkan lagi.

Singkatnya cacing filaria dewasa yang merusak pembukuh limfe serta muncul

mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi

jaringan ikat disekitar pembuluh. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe

akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang

memicu timbulnya granuoma dan vibrosis sekitar limfe yang berakibat

terjadinya penyumbatan (malfungsi) drainase limfe di daerah tersebut,

sehingga jadilah pembengkakan pada lengan, kaki atau kelamin.

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila

orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung

larva. Nyamuk mendapat cacing flaria kecil (mikrifilaria) sewaktu menghisap

Page 12: Makalah Filariasis Kelompok II

darah penderita yang mengandung micrifilaria atau binatang reservoir yang

mengandung mikrofilaria.

Klinik Akut berupa demam berulang-ulang selama 3 – 5 hari, demam

dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat, pembengkakan

kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak

(lymphadenitis) yang tamopak kemerahan, panas dan sakit, radang saluran

kelenjar getah bening terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki

dan pangkal lengan karena ujung (retrograde lymphangitis).

Gejalah Klinis yang Kronis berupa pembesaran yang menetap pada

tungkai (elephantiasis), lengan, buah dada, buah zakar (elephentiasis skroti),

pembesaran tersebut dapat pecah, mengeluarkan darah dan nanah.

Page 13: Makalah Filariasis Kelompok II

DAFTAR PUSTAKA

Juriastuti, Puji, dkk. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Kelurahan Jati Sampurna. Makara Kesehatan. Vol 14 (1). Hal 31-36.

Mulyono, R.,A, dkk. 2008. Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang Berpengaruh Terhadapo Kejadian Filariasis (Studi Kasus diWilayah Kerja Kabupaten Pekalongan). Program Studi Magister Epidemiologi Program Pasca Sarjana Undip. Hal 1-3.

Natadisastra, D., Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Putri, Y.,V, dkk. 2012. Upaya Keluarga Dalam Pencegahan Primer Filariasis Di Desa Nanjung Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung. Students e-journals. Vol 1 (1). Hal 1-15.

Zulkoni,Akhsin. 2011. Parasitologi. Penerbit Nuha Medika. Yogyakarta.