makalah farmasi klinik
-
Upload
rahma-lala-qodriyan -
Category
Documents
-
view
86 -
download
3
Transcript of makalah farmasi klinik
BAB I
PENDAHULUAN
Pankreas merupakan organ yang panjang dan ramping yang panjangnya sekitar 6
inch dan lebar 1,5 inch. Pankreas terletak retroperitoneal dan dibagi dalam 3 segmen
utama diantaranya yaitu kaput, korpus dan kauda. Kaput terletak pada bagian cekung
duodenum, dari kauda menyentuh lien.
Pankreas dibentuk dari 2 sel dasar yang mempunyai fungsi berbeda sama sekali.
Sel eksokrin, berkelompok dalam kelompokan yang dinamakan asini, menghasilkan
unsur-unsur getah pankreas. Sel endokrin, atau pulau langerhans, menghasilkan sekresi
endokrin, insulin dan glukagon, yang pwnting untuk metabolisme karbohidrat.
Pankreas merupakan kelenjar kompleks tubuloalveolar. Secara keseluruhan, ia
menyerupai setangkai anggur. Cabang-cabangnya merupakan saluran yang bermuara
pada duktus pakreatikus utama (duktus wirsung). Saluran – saluran kecil dari tiap – tiap
asinus mengosongkan isinya ke saluran utama. Saluran utama berjalan di sepanjang
kelenjar, sering bersatu dengan duktus koledokus pada ampula Vater sebelum masuk ke
duodenum. Saluran tambahan, duktus santorini, sering ditemukan berjalan dari kaput
pankreas masuk ke duodenum, sektar satu inch di atas papila duodeni.
Perubahan patologis pada penyakit hati, kandung empedu, dan pakreas, secara luas
dapat dibagi dalam tiga jenis : peradangan, fibrosis, dan neoplasma. Pankreatitis
menunjukkan adanya peradangan akut atau kronik dari jaringan yang terserang.
Penyakit pankreas luar biasa banyaknya karena fungsi organ tersebut sebagai
kelenjar endokrin dan eksokrin. Hasil eksokrin pankreas berupa enzim-enzim yang kuat,
yang dalam keadaan normal mencernakan protein, lemak, dan karbohidrat pada makanan
yang dimakan. Akan tetapi, enzim – enzim yang paten ini, yang demikian efektif pada
pencernaan dalam lumen usus halus, juga berperan sebagai sumber bahaya yang besar
terhadap organ bila mereka diaktifkan dalam pankreas sendiri. Inilah yang sebenarnya
terjadi pada pankreatitis. Pankreatitis sering dibagi dalam bentuk akut dan kronik.
Pankreatitis akut
Pankreatitis akut merupakan suatu proses peradangan yang mengenai pankres dan
ditandai oleh berbagai derajat udema, perdarahan, dan nekrosis pada sel-sel asinus dan
pembuluh darah. Mortalitas dan gejala klinik berbeda-beda menurut derajat proses
patologi. Bila hanya udema pankreas, mortalitas mungkin berkisar dari 5 sampai 10
persen, sedangkan perdarahan masif nekrotik mempunyai mortalitas 50 – 80%.
Etiologi dan Patogenesis
Faktor etiologi utama pada pankreatitis akut adalah penyakit saluran empedu dan
alkoholisme. Penyebab yang lebih jarang adalah trauma, khususnya luka peluru atau
pisau, tukak duodenum yang mengadakan penetrasi, hiperparatiroidisme, hiperlipidemia,
infeksi virus, dan obat-obat tertentu seperti kortikosteroid dan diuretik tiazida. Lebih
banyak lagi penyebab yang mempercepat yang tidak dapat ditemukan.
Pankreatitis sangat sering ditemukan pada orang dewasa, tetapi jarang terdapat
pada anak-anak. Pada pria, pankreatitis lebih sering dikaitkan dengan alkoholisme,
sedangkan pada pria lebih sering dikaitkan dengan batu empedu.
Terdapat persetujuan umum bahwa mekanisme patogenetik yang sering pada
pankreatitis adalah autodigesti, tetapi bagaimana enzim –enzim pankreas diaktifkan tidak
jelas. Pada pankreas normal, trerdapat sejumlah mekanisme protektif yang bekerja
sebagai pelindung terhadap pengaktifan enzim yang tidak hati-hati dan autodigesti.
Pertama, enzim yang mencernakan protein disekresi sebagai bentuk prekursor inaktif
(zimogen) yang harus diaktifkan oleh tripsin. Tripsinogen , bentuk inaktif tripsin, dalam
keadaan normal diubah menjadi tripsin oleh kerja enterokinase dalam usus halus. Setelah
tripsin terbentuk, ia mengaktifkan semua enzim proteolitik lainnya. Inhibitor tripsin
terdapat dalam plasma dan dalam pankreas, yang dapat berikatan dan menginaktifkan
setiap tripsin yang dihasilkan kurang hati-hati, sehingga pencernaan proteolitik jarang
terjadi pada pankreas normal.
Refluks empedu dan isi duodenum duktus pankreatikus telah dikemukan sebagai
mekanisme yang mungkin terjadi untuk pengaktifan enzim pankreas. Hal ini mungkin
terjadi bila terdapat saluran bersama dan batu empedu menyumbat pada amlpua vater.
Atoni dan udema sfinkter Oddi dapat mengakibatkan refluks duodenum, obstruksi duktus
pankreatikus dan iskemia pankreas jugaa dapat berperan.
Dua enzim yang aktif diduga berperan utama pada autodigesti pankreas adalah
elastase dan fosfolipase A. Fosfolipase A dapat diaktifkan oleh tripsin atau asam empedu
mencernakan fosfo lipid membrab sel. Elastase diaktifkan oleh tripsin dan mencernakan
jaringan elastin dinding pembuluh darah, mengakibatkan perdarahan. Pengaktifan
kalikrein menyebabkan vasodilator, peningkatan permeabilitas kapiler, invasi sel darah
putih dan rasa sakit.
Gambaran Klinik
Gejala pankreatitis akut yang paling menyolok adalah sakit perut hebat yang timbul
mendadak dan terus-menerus. Biasanya rasa sakit terasa di epigastrium tetapi dapat
terpusat di kanan atau kiri garis tengah. Rasa sakit sering menyebar ke pungung, dan
penderita mungkin merasa lebih enak dengar duduk sambil membungkuk ke depan.
Nausea dan vomitus selama sekitar 24 jam dan kemudian hilang selama beberapa hari.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan berbagai derajat syok, takikardi,
leukositosis, dan demam. Dinding abdomen kembung, nyeri tekan, tetapi rigodotas dan
bukti adanya peritonitis hanya terjadi bila peradangan mengenai peritoneum. Bising usus
mungkin kurang atau tidak ada. Perdarahan retroperitonial berat dapat dimanifestasikan
sebagai bising ada pinggang atau sekitar umbilikus.
Diagnosis pankreatitis akut biasanya ditegakkan bila ditemukan peningkatan kadar
amilase serum. Kadar amilase meningkat selama 24 – 72 jam pertama dan besarnya
mungkin lima kali kadar normal. Kadar amilase meningkat sampai 2 minggu setelah
peristiwa pankreatitis akut. Perubahan biokimia lain adalah peningkatan kadar lipase
serum, hiperglikemia, hipokalasemia, dan hipokalemia. Hipokalesmia sering ditemukan
akibat nekrosis lemak yang nyata disertai pembentukan sabun kalsium. Hal ini mungkin
sukup hebat sehingga menyebabkan tetani.
Kompiklasi pankreatitis akut adalah timbulnya diabetes mellitus; tetani hebat; efusi
pleura, khususnya pada hemitoraks, kiri; dan abses atau pseudoksita pankreas.
Abses didefinisikan sebagai penimbunan caiaran sekretorik dan hasil – hasil
nekrotik dalam pankreas, sedangkan penimbunan yang terjadi selama minggi II atau III
setelah timbulnya pankreatitis. Tempat pseudoksita pankreas yang tersering adalah
omentum minus. Infeksi sekunder pada penimbunan ini sering terjadi.
Cacat pankreatitis akut sering terjadi adalah serangan akut rejuren dan timbulnya
pankreatitis kronik.
Pengobatan
Pengobatan primer dini pankreatitis akut adalah medik, disertai pembedahan
terbatas pada obstruksi salruan empedu atau pengobatan komplikasi spesifik seperti
pseudoksita pankreas. Sasaran pengobatan adalah menghilangkan rasa sakit, mengurasi
sekresi pankreas, pencegahan atau pengobatan syok, perbaikan keseimbangan cairan dan
elektrolit, dan pengobatan infeksi sekunder. Syok dan hipovolemia diobati dengan infus
plasma dan elektrolit dengan menggunakan hematokrit, tekanan vena sentral, dan
pengeluaran urin sebagai petunjuk apakah penggatian volume cukup atau tidak.
Demerol, bukan opiat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit, karena demerol kurang
menyebabkan spasme sfinkter Oddi. Penghentian semua pemasukan oral dan penyedotan
isi lambung yang terus-menerus mengurangi peregangan usus dan mencegah isi yang
asam masuk duodenum dan merangsang sekresi pankreas. Pengobatan antibiotika bila
terdapat infeksi perlu dilakukan, dan dapat diberikan selama 2 minggu pertama dengan
harapan untuk mencegah abses pankreas.
Abses pankreas diobati dengan drainage melalui dinding anterior abdomen atau
pinggang. Pseudoksita pankreas dirawat dengan drainage interna antara dinding anaterior
kista dan dinding posterior antrum lambung.
Bila fase akut penyakit mereda, makanan oral dapat diberikan, dimulai dengan
karbohidrat, yang paling sedikit merangsang sekresi pankreas. Dicoba untuk menentukan
penyebab peradangan. Penderita dinasehati untuk menghindari alkohol paling sedikit 3
bulan, dan bila pankreatitis diduga diakibatkan oleh alkohol, sebainya alkohol dihindari
selamanya.
Pankreatitis kronik
Pankreatitis kronik ditandai oleh destruksi progresif kelenjar disertai penggantian
oleh jaringan fibrosis yang mengakibatkan striktura dan kalsifikasi. Faktor etioogi adalah
sama seperti pada pankreatitis akut yaitu sekitar satu pertiga sampai separo penderita
adalah alkoholisme. Perjalanan klinik mungkin merupakan salah satu peristiwa rekuren,
sakit akut, masing – masing menginggalkan massa pankreas yang berfungsi lebih sedikit,
atau melanjut secara perlahan-lahan. Steatorhea, malabsorpsi, penurunan berat badan,
dan diabetes merupakan manifestasi destruksi lanjut. Pankreatitis dapat menyertai
pankreatitis akut, tapi pada kebanyak penderita berlangsung secara perlahan – lahan.
Tes yang paling sensitif untuk mengetahui pankreatitis kronik adalah penentuan
konsentrasi bikarbonat dan pengeluaran pada duodenum setelah perangsangan dengan
sekretin. Tindakan dignostik lain yang bermanfaat adalahpenentuan lemak feses, kadar
glukosa darah puasa untuk menentukan kerusakan pulau langerhans, dan arteriografi dan
pemerisaan sinar-x untuk mengetahui fibrosis dan klasifikasi. Sayangnya, karsinoma
pankreas yang invasif dapat menimbulkan gambaran patofisiologi yang sama seperti
menimbulkan kesulitan besar bagi dokter untuk diagnosis banding.
Pengobatan pankreatitis kronik merupakan beban dan tidak memuaskan.
Penghilangan rasa sakit sukar dan memerlukan dosis anlagetik yang besar dan sering.
Adiksi narkotika merupakan kesulitan yang besar. steatorhea dirawat dngan diet rendah
lemak dan pemberian enzim pankreas per oral. Diabetes memerlukan perawatn baik
dengan agen hipoglikemik oral atau insulin. Minum alkohol merupakan kontraindikasi.
BAB II
OBAT YANG MENYEBABKAN PANKREATITIS
HMG-CoA INHIBITOR
Ia telah mengemukakan bahwa obat-diinduksi oleh AP inhibitor HMG-CoA, sering disebut
sebagai statin, adalah efek kelas (7, 13). Laporan kasus AP druginduced telah dipublikasikan
untuk semua statin, rosuvastatin dengan statin terbaru terlibat. Menurut Badalov dan rekan,
statin dikategorikan sebagai kelas Ia, Ib, III, dan IV.
Thisted dan rekan melakukan populationbased, studi kasus-kontrol yang mengevaluasi risiko
AP terkait dengan statin (14). Penelitian ini melibatkan 2.576 penerimaan rumah sakit baru
untuk AP dan 25.817 kontrol cocok. Analisis ini melibatkan "sebelumnya" pengguna, "saat
ini" pengguna yang memenuhi resep dalam waktu 90 hari dari diagnosis, "baru" pengguna
yang memenuhi resep pertama dalam waktu 90 hari dari diagnosis, dan "mantan" pengguna
yang belum mengisi resep di > 90 hari dari diagnosis. AP didiagnosis pada 3,9% dari
"pernah" pengguna dan 2,9% dari kontrol (rasio odds yang disesuaikan, 1,44, interval
kepercayaan 95% [CI], 1,15-1,80). Baik "saat ini" dan "mantan" pengguna menunjukkan
peningkatan risiko mengembangkan AP (rasio odds yang disesuaikan, 1,26 dan 2,02, masing-
masing; 95% CI, 0,96-1,64 dan 1,37-2,97, masing-masing). Terakhir, peningkatan risiko AP
tidak tercatat di antara pengguna "baru". Para peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang kuat antara statin dan AP dan malah menyarankan efek perlindungan
mungkin. Selanjutnya, kajian studi observasional terkontrol dan laporan kasus yang
diterbitkan oleh Singh dan Loke menyimpulkan bahwa statin-induced AP adalah kedua dosis-
independen dan tak terduga (15).
Statin-induced AP dapat berkembang dari jam ke tahun setelah memulai terapi (14, 15).
Kurangnya periode laten yang konsisten menunjukkan kemungkinan efek toksik langsung ke
pankreas dan akumulasi metabolit toksik sebagai mekanisme yang mungkin (14). Mekanisme
lain dari aksi statin-induced AP berspekulasi terkait dengan rhabdomyolysis, mialgia, dan /
atau metabolisme atau interaksi obat melalui CYP3A4 (15, 16). Dalam beberapa laporan
kasus, baik mialgia atau rhabdomyolysis terjadi sebelum pengembangan AP (15, 16).
Pravastatin mungkin memiliki laporan kasus lebih sedikit obat-induced AP daripada statin
lain karena tidak dimetabolisme oleh CYP3A4 (15).
ACE INHIBITOR
Laporan kasus ACE inhibitor-induced AP melibatkan benazepril, kaptopril, enalapril,
lisinopril, quinapril, dan ramipril. ACE inhibitor dikategorikan sebagai kelas Ia, III, dan IV
sesuai dengan sistem klasifikasi dibangun oleh Badalov dan rekan.
Eland dan rekan melakukan studi kasus-kontrol Eropa yang menilai risiko yang terkait
dengan AP ACE inhibitor (17). Peserta penelitian adalah 40 sampai 85 tahun usia dengan
baik masuk rumah sakit untuk AP atau pengembangan AP dalam waktu 3 hari penerimaan.
Berdasarkan 724 kasus dan 1791 kontrol, hasil penelitian menunjukkan bahwa inhibitor ACE
dikaitkan dengan peningkatan risiko mengembangkan AP (rasio odds yang disesuaikan, 1,5,
95% CI, 1,1-2,2). Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa risiko yang lebih tinggi
dari AP terjadi dalam 6 bulan pertama terapi memulai (rasio odds yang disesuaikan, 3,2, 95%
CI, 1,4-7,3) dan dengan dosis tinggi ACE inhibitor (rasio odds yang disesuaikan, 3,3; 95 %
CI, 0,8-14,3).
Mekanisme yang diusulkan tindakan untuk ACE inhibitor-induced AP adalah angioedema
lokal dari saluran pankreas (17, 18). ACE inhibitor mengurangi degradasi bradikinin, yang
terkait dengan pengembangan angioedema (19). Ini juga telah menunjukkan bahwa
bradikinin yang dilepaskan selama AP, yang berkorelasi dengan perkembangan peningkatan
permeabilitas vaskuler pankreas (19). Akibatnya, edema pankreas dapat terjadi dan enzim
dan zat beracun lainnya dapat terperangkap di dalam pankreas, yang menyebabkan kerusakan
jaringan pankreas dan pankreatitis (19). Terakhir, II reseptor angiotensin mungkin penting
dalam regulasi sekresi pankreas dan mikrosirkulasi (19)
KONTRASEPSI ORAL / HRT
Kontrasepsi oral dan HRT dengan estrogen dengan atau tanpa progestin telah dikaitkan
dengan AP. Badalov dan rekan dikategorikan mengandung estrogen agen sebagai kelas Ib
dan II.
Dalam studi kasus-kontrol Denmark, asosiasi HRT dan AP dievaluasi pada tahun 1054
pengguna dan mantan HRT (baik estrogen saja atau estrogen yang dikombinasikan dengan
progestin) dan 10.540 kontrol populasi (20). Kasus tersebut melibatkan perempuan di atas
usia 45 tahun dengan dikeluarkan dari rumah sakit pertama kali untuk AP, studi dikecualikan
pasien dengan diagnosis penyakit batu empedu, penyakit yang berkaitan dengan alkohol, dan
penyakit inflamasi usus. Hasil menunjukkan tidak signifikan peningkatan risiko
mengembangkan AP di bekas pengguna estrogen dan progestin gabungan HRT (risk adjusted
relatif, 1,6, 95% CI, 1,0 sampai 2,5). Para penulis menyimpulkan bahwa peningkatan risiko
antara mantan pengguna bisa saja karena baik kebetulan atau penghentian HRT, yang
mungkin telah menyebabkan hipertrigliseridemia, merupakan faktor risiko untuk AP.
Sayangnya, keterbatasan dari studi ini adalah ketidakmampuan untuk mengidentifikasi wanita
dengan hipertrigliseridemia.Ada dua mekanisme yang diusulkan tindakan untuk estrogen-
induced AP, yang keduanya berkaitan dengan efek samping dari kontrasepsi oral dan HRT.
Mekanisme pertama menunjukkan bahwa pasien mengembangkan hipertrigliseridemia baik
sebagai diagnosis baru, eksaserbasi dari hipertrigliseridemia yang ada, atau diagnosis
hyperlipoproteinemia keluarga yang sebelumnya tidak diketahui (7, 12, 21-23). Mekanisme
yang diusulkan kedua tindakan adalah bahwa estrogen menginduksi keadaan hiperkoagulasi,
yang dapat menyebabkan nekrosis pankreas (12, 21, 23)
Diuretik
Loop diuretik dan hydrochlorothiazides telah terlibat dalam obat-induced AP. Furosemide
adalah agen Ia kelas, sedangkan diuretik thiazide adalah kelas II dan III agen (7).
Sebuah studi kasus-kontrol yang dilakukan oleh calon Bourke dan rekan sejarah pengobatan
dievaluasi pada pasien yang disajikan dengan episode pertama dari AP (24). Obat diambil
oleh pasien ini termasuk baik furosemide dan diuretik thiazide. Para peneliti menyimpulkan
bahwa pasien yang mengambil diuretik disajikan dengan AP dua setengah kali lebih sering
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, pasien yang mengembangkan AP lebih
mungkin memakai diuretik thiazide. Namun, Eland dan rekan juga meneliti risiko AP terkait
dengan hemat kalium, lingkaran, dan thiazide diuretik (17). Mereka menyimpulkan bahwa
tidak ada peningkatan risiko AP dengan lingkaran dan diuretik thiazide, dan ada tidak
signifikan peningkatan risiko dengan diuretik hemat kalium (rasio odds yang disesuaikan,
1,7, 95% CI, 0,98-2,8).
Mekanisme tindakan yang disarankan untuk furosemide diinduksi AP termasuk efek toksik
langsung ke pankreas, stimulasi diuretik-induced sekresi pankreas, dan iskemia (8, 17, 19).
Sebuah studi eksperimental menunjukkan bahwa penurunan volume cairan ekstraselular
mengganggu aliran darah pankreas, yang menyebabkan iskemia (22). Dua efek samping
hydrochlorothiazides adalah hiperkalsemia dan hiperlipidemia. Hydrochlorothiazides
peningkatan reabsorpsi kalsium tulang dan meningkatkan kadar kalsium serum, yang
merupakan faktor risiko untuk AP (22, 23). Selanjutnya, hydrochlorothiazides mungkin
terlibat dalam pengembangan hiperparatiroidisme, yang dapat menyebabkan hiperkalsemia
dan AP (18, 19). Kadar trigliserida serum juga dapat meningkatkan dengan penggunaan
hydrochlorothiazides (22, 23).
HAART THERAPY
Pasien yang terinfeksi HIV adalah 35-800 kali lebih mungkin untuk mengembangkan AP
daripada populasi umum (2, 25). AP umumnya terkait dengan HIV dan penggunaan ART
pada pasien HIV-positif. Para agen antiretroviral dikaitkan dengan AP termasuk protease
inhibitor (PI) dan nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Badalov dan rekan
dikategorikan empat agen ART sebagai berikut: lamivudine dan nelfinavir sebagai agen kelas
Ib, ddI sebagai agen kelas II, dan ritonavir sebagai agen kelas IV.
Dalam sebuah penelitian kohort retrospektif, peneliti memanfaatkan Medicaid Ohio
mengklaim database untuk mengevaluasi risiko AP dengan berbagai rejimen obat ART (25).
Dari 4972 pasien yang menerima terapi antiretroviral, 3,2% dikembangkan AP. AP terjadi
pada 4,2% dari baru didiagnosis dan 2,6% dari sebelumnya didiagnosis pasien HIV.
Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa AP terjadi pada 5,2% pasien yang
menerima ARV ddI ditambah lainnya, 4,2% dari pasien yang menerima PI ditambah baik
NRTI atau non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), dan 3,5 % dari pasien
yang menerima NRTI dikombinasikan dengan NNRTI. Para peneliti juga mengidentifikasi
faktor risiko untuk AP, yang termasuk penyakit HIV lanjut, penyakit hati yang sudah ada
sebelumnya, peningkatan usia, dan ras non-Kaukasia (25).
Sebuah mekanisme potensial dari AP adalah infeksi HIV itu sendiri, yang menyebabkan
peradangan langsung pankreas (2, 25). Terapi obat ART juga mungkin terlibat dalam
pengembangan AP. Terapi antiretroviral dapat menyebabkan baik efek toksik langsung pada
pankreas atau efek buruk yang terkait dengan AP. Sebuah efek samping yang serius dari PI
adalah gangguan metabolisme, yang meliputi pengembangan resistensi insulin,
hiperglikemia, hiperkolesterolemia, dan hipertrigliseridemia. Namun, AP telah dilaporkan
pada pasien yang menerima PI tetapi tidak memiliki peningkatan kadar trigliserida (26).
Terakhir, dalam sebuah penelitian retrospektif, para peneliti menyimpulkan bahwa setelah
pengenalan PI, tidak ada peningkatan yang signifikan dalam prevalensi AP (26).
Asam valproikValproik asam-diinduksi AP telah dilaporkan sejak tahun 1979 dan tercatat
terjadi lebih sering pada anak-anak (27). Insiden pada populasi anak diperkirakan menjadi
13% (27). Pada tahun 2000, US Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan
kotak hitam pada potensi risiko pankreatitis fatal penggunaan asam valproik (28, 29). Asam
valproik diklasifikasikan oleh Badalov dan rekan sebagai agen Ia kelas.
Sebuah studi retrospektif yang dilakukan oleh Pellock dan rekan ditinjau kasus AP dalam
asam valproik / divalproex uji klinis database (29). Dari 3007 pasien yang menerima asam
valproik, 0,2% dikembangkan AP. Kebanyakan pasien memiliki faktor risiko etiologi
potensial lainnya untuk AP, seperti cholelithiasis atau obat bersamaan lain yang terkait
dengan AP. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara asam valproik dan kelompok plasebo
diperlakukan mengacu pada tingkat amilase tinggi. Para penulis menyimpulkan bahwa asam
valproik-induced AP jarang dan mungkin terkait dengan faktor risiko lain yang hadir.
Berbeda dengan kesimpulan ini dari kejadian jarang valproik asam-diinduksi AP, Gerstner
dan rekan melakukan penelitian kuesioner di Jerman dan mengidentifikasi 16 kasus
didokumentasikan valproik asam-diinduksi AP lebih dari 10 tahun (27). Mereka
menyimpulkan bahwa asam valproik-induced AP adalah dilaporkan.
Sebuah studi kasus-kontrol berbasis populasi yang dilakukan oleh Nørgaard dan rekan
mengevaluasi risiko AP berhubungan dengan asam valproik dalam populasi Denmark (30).
Penelitian ini melibatkan 3083 pengguna asam valproik (kasus) dan 30.830 pengguna
antiepilepsi lainnya (kontrol) didiagnosis dengan AP dari 1998 hingga 2003. Penggunaan
keberadaan asam valproik didefinisikan sebagai menerima setidaknya satu resep dalam waktu
90 hari dari penerimaan untuk AP. Penggunaan masa lalu didefinisikan sebagai menerima
resep asam valproik yang berjarak 91 sampai dengan 365 hari dari AP diagnosis. Hasil
menunjukkan bahwa di antara kasus, AP terjadi pada 0,52% dari 0,13% saat ini dan
pengguna asam valproik masa lalu. Terjadinya AP lebih tinggi di antara pengguna sekarang
dan masa lalu dari asam valproik dibandingkan antara pengguna sekarang dan masa lalu dari
antiepileptics lainnya. Perbedaan antara pengguna masa lalu atau asam valproik antiepileptics
lainnya lebih besar dari kalangan pengguna hadir (rasio odds yang disesuaikan, 2,6 dan 1,8,
masing-masing; 95% CI, 0,8-8,7 dan 1,1-3,0, masing-masing). Para peneliti menyimpulkan
bahwa asam valproik dikaitkan dengan peningkatan risiko AP tetapi hipotesis bahwa faktor
risiko lain bisa terlibat dalam pengembangan AP.
Valproik asam-diinduksi AP biasanya terjadi dalam tahun pertama pengobatan, dan risiko
meningkat dengan dosis yang lebih tinggi (29). Mekanisme yang diusulkan tindakan valproik
asam-diinduksi AP merupakan efek langsung beracun radikal bebas pada jaringan pankreas
dan penipisan superoksida dismutase, katalase, dan glutation peroksidase (27). Berdasarkan
hasil seri kasus mereka valproik asam-diinduksi AP, Sinclair dan rekan menyarankan bahwa
reaksi obat idiosinkratik mungkin mekanisme, terutama pada pasien dengan riwayat
kepekaan obat (31).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Iklan obat bebas harus obyektif, lengkap dan tidak menyesatkan dan ditayangkan setelah mendapat persetujuan menteri kesehatan.
2.Pengawasan iklan obat bebas dilakukan oleh Badan POM dan Balai POM di provinsi. Kerjasama dengan berbagai pihak perlu dilakukan agar iklan obat bebas mentaati peraturan perundangan yang berlaku.
3.Peran serta masyarakat dalam pengawasan iklan obat antara lain dalam bentuk pengaduan kepada Badan POM atau lembaga masyarakat yang terkait dengan iklan obat. Apabila konsumen obat merasa dirugikan oleh iklan obat dapat menempuh jalur hukum melalui pendekatan administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana
SARAN
1. Upaya pengawasan iklan obat dan obat tradisional secara efektif dan efisien diperlukan kerjasama dengan semua institusi yang terkait dengan iklan, termasuk kerjasama dengan Dinkes Provinsi dan Dinkes Kota/ Kabupaten.
2. Untuk perlindungan masyarakat dari iklan obat dan obat tradisional yang tidak memenuhi syarat, sebaiknya Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten melakukan iklan layanan masyarakat yang sesuai kebutuhannya untuk dimuat di media lokal.
DAFTAR PUSTAKA