Makalah Atresia Ani 1

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000- 10000 kelahiran, sedangkan atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat muncul sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih banyak ditemukan dari pada pasien perempuan. Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup dengan sedikit lebih banyak terjadi pada laki- laki. 20 % -75 % bayi yang menderita atresia ani juga menderita anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus imperforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan (Alpers, 2006). Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari data yang didapatkan penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah khususnya Semarang yaitu sekitar 50% dari tahun 2007-2009. Menyikapi kasus yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit atresia ani, maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk lebih memahami perawatan pada pasien dengan atresia ani. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan atresia Ani? 2. Apa etiologi dari atresia ani? 3. Apa saja klasifikasi dari atresia ani? 1

Transcript of Makalah Atresia Ani 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan

atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat muncul

sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih

banyak ditemukan dari pada pasien perempuan.

Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup dengan sedikit

lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang menderita atresia ani juga

menderita anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus

imperforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada

perempuan (Alpers, 2006).

Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari data yang didapatkan

penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah khususnya Semarang yaitu sekitar 50%

dari tahun 2007-2009. Menyikapi kasus yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit

atresia ani, maka penulis mengangkat kasus atresia ani untuk lebih memahami perawatan

pada pasien dengan atresia ani.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan atresia Ani?

2. Apa etiologi dari atresia ani?

3. Apa saja klasifikasi dari atresia ani?

4. Bagaimana patofisiologi dari atresia ani?

5. Bagaimana WOC dari atresia ani?

6. Apa saja tanda dan gejala atresia ani?

7. Apa saja pemeriksaan penunjang dari atresia ani?

8. Bagaimana penatalaksanaan dari atresia ani?

9. Apa saja komplikasi dari atresia ani?

10. Apa saja isi pengkajian asuhan keperawatan pada atresia ani?

11. Apa saja diagnosa asuhan keperawatan pada atresia ani?

12. Bagaimana intervensi asuhankeperawatan pada atresia ani?

1

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi dari atresia ani

2. Mengetahui etiologi dari atresia ani

3. Mengetahui klasifikasi dari atresia ani

4. Mengetahui patofisiologi dari atresia ani

5. Mengetahui WOC dari atresia ani

6. Mengetahui tanda dan gejala dari atresia ani

7. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari atresia ani

8. Mengetahui penatalaksanaan dari atresia ani

9. Mengetahui komplikasi dari atresia ani

10. Mengetahui pengkajian dari asuhan keperawatan pada atresia ani

11. Mengetahui diagnosa keperawatan dari asuhan keperawatan atresia ani

12. Mengetahui intervensi dari asuhan keperawatan atresia ani

2

BAB II

ISI

A. Definisi dan Anatomi

Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan

trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu

keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.

Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang

keluar (Walley, 1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak

lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara

abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana

rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.

Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi

gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan. Jadi menurut

kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus

tidakmempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan

kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti

saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau

pemeriksaan perineum. Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai

anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002).

Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang

memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak

sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus

namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM).

B. Etiologi

Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan

kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan anus

dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan

rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter

internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi

bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang

mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan

3

pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan

kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani.

Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi

rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan

septum urorektal yang memisahkannya.

Faktor predisposisi

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir

seperti :

1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal,

jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).

2. Kelainan sistem pencernaan.

3. Kelainan sistem pekemihan.

4. Kelainan tulang belakang.

C. Klasifikasi

Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar

yaitu:

1. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai

melalui saluran fistula eksterna.

Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau

rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi,

maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.

2. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.

Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi

spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa

diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :

a. Anomali rendah

Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat

sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal

dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.

b. Anomali intermediet

Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan

sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.

4

c. Anomali tinggi

Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini

biasanya berhubungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau

rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum

lebih dari 1 cm.

Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi

2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I

dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar

dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium

eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara

praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter

terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter.

Bila dengan kateter urin mengandung mekonium maka fistel ke vesikaurinaria. Bila

evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia

rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak

ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan

kolostomi.

Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu

kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak

ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi

tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara

fistel terdapat divulva.

Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu.

Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi

dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka

tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna.

Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan

kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok

dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium

sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram.

Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,

membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada

wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal

5

biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada

sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan

perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1

cm dari kulit pada invertogram, perlu juga dilakukan pembedahan.

Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel

perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat

diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu

menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang

seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus

segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara <

1cm dari kulit dapat segera dilakukan pembedahan definitive. Dalam hal ini evakuasi

tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

D. Patofisiologi

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara

komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan

embrionik.Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi

lahir tanpa lubang dubur.

Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada

kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan.

Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.

Terdapat tiga macam letak :

1. Tinggi (supralevator) : Rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis)

dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak

upralevator biasanya disertai dengan fistel kesaluran kencing atau saluran

genital.

2. Intermediate : Rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak

menembusnya.

3. Rendah : Rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan

ujung rectum paling jauh 1 cm.

6

E. Pathway

7

Penumpukan Sisa Metabolisme

Feces Masuk Uretra

Mikroorganisme Masuk Saluran Kemih

Dysuria

Feces Menumpuk

Feces Tidak Keluar

Vistel Rektovaginal

Gangguan Pertumbuhan

Pembentukan Anus Dari Tonjolan Embrionik

ATRESIA ANI

Reabsorbsi Sisa Metabolisme oleh Tubuh

Peningkatan Tekanan Intra Abdomen

Mual, Muntah

Gangguan Rasa Nyaman

NyeriResti Infeksi

Gangguan Eliminasi

BAK

Operasi:AnoplastiColostomi

Resti Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan

Gangguan Kecemasan

Perubahan Defekasi

Trauma Jaringan

Pengeluaran Tidak

Terkontrol

Iritasi Mukosa

Resti Kerusakan Integritas Kulit

Nyeri

Gangguan Rasa Nyaman

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya

mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal

dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi, 2001). Gejala lain yang nampak diketahui

adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan

intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat

menonjol (Adele,1996).

Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah

satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena

cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.

F. Pemeriksaan Penunjang

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai

berikut :

1. Pemeriksaan radiologis

Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

2. Sinar X terhadap abdomen

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui

jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.

3. USG terhadap abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan

dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.

4. CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

5. Pemeriksaan fisik rectum

Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.

H. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Medis

a. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang

disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.

b. Colostomi sementara

8

BAB III

ASKEP TEORI

3.1 Pengkajian

Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah

pasien dengan tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan.

Dan keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori

yang difunakan penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon.

a. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi:

1) Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan

Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.

2) Pola nutrisi – Metabolik

Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan

atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu

oleh mual dan munta dampak dari anestesi.

3) Pola Eliminasi

Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka

tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan dari

produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada

anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi (Whaley &

Wong, 1996).

4) Pola Aktivitas dan Latihan

Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.

5) Pola Persepsi Kognitif

Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya

ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.

6) Pola Tidur dan Istirahat

Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada

luka inisisi.

7) Konsep Diri dan Persepsi Diri

Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body

comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka

jahitan operasi (Doenges, 1993).

9

8) Peran dan Pola Hubungan

Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.

Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik

untuk melaksanakan peran (Doenges, 1993).

9) Pola reproduksi dan Seksual

Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,

1993).

10) Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi

Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah

(Doenges, 1993).

11) Pola Keyakinan dan Nilai

Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang

dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat

dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya

pelaksanaan ibadah (Mediana, 1998).

b. Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah

anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi,

termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi

terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja

dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).

1. Keadaan umum: Klien lemah

2. Tanda-tanda vital

a. Nadi : 120 – 140 kali per menit

b. Tekanan darah : -

c. Suhu : 36,5-37,5 C

d. RR : 30-40 kali per menit

e. BB : >2500 gr

f. TB : normal

3. Data sistematik

a) System kardiovaskuler

Tekanan darah normal, Denyut nadi normal (120-140 kali per menit)

b) System respirasi dan pernafasan

Klien tidak mengalami gangguan pernapasan

10

c) System gastrointestinal

Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit pada

24-28 jam setelah lahir. Tidak ditemukan adanya saluran anus.

d) System musculosceletal

Klien tidak mengalami gangguansistem musculoskeletal

e) System integument

Klien tidak mengalami gangguan system integument

f) System perkemihan

Pada bayi laki-laki terdapat mekonium di dalam urine, dan pada bayi

perempuan dengan fistula urogenital ditemukan mekonium dalam vagina.

c. Diagnosa Keperawatan

Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan

diagnosa keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang

spesifik. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani

yaitu:

Sebelum proses pembedahan :

1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak

lengkapnya pembentukan anus (Suriadi, 2001).

2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia dan atu muntah (Doenges,1993).

3) Kecemasan keluarga berhubungan dengan prosedur pembedahan dan

kondisi bayi (Suriadi, 2001).

Setelah proses pembedahan :

1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1993).

2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges, 1993).

3) Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges, 1993).

4) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan

(Doenges, 1993).

5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di

rumah (Whaley & Wong, 1996).

11

d. Intervensi Keperawatan

Fokus intervensi keperawatan pada atresia ani adalah sebagai berikut :

Sebelum proses pembedahan :

1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik) berhubungan dengan tidak

lengkapnya pembentukan anus (Suriadi, 2001).

Tujuan : terjadi peningkatan fungsi usus

Kriteria hasil : pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek,

terbentuknya tinja, tidak ada nyeri saat defekasi, tidak terjadi perdarahan.

Intervensi :

a) Dilatasikan anal sesuai program.

b) Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus

normal.

2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia

dan atau muntah (Doenges, 1993).

Tujuan : kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi

Kriteria hasil : menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium

normal, bebas tanda mal nutrisi.

Intervensi :

a) Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan.

b) Kaji kesukaan makanan anak.

c) Beri makan sedikit tapi sering.

d) Pantau berat badan secara periodik.

e) Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk

anak untuk makan.

f) Beri perawatan mulut sebelum makan.

g) Berikan isirahat yang adekuat.

h) Pemberian nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan

kalori sesuai program diit.

3) Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi

(Suriadi, 2001 : 159).

Tujuan : memberi support emosional pada keluarga

Kriteria hasil : keluarga akan mengekspresikan perasaan dan pemahaman

terhadap kebutuhan intervensi perawatan dan pengobatan.

Intervensi :

12

a) Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.

b) Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah.

c) Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien.

d) Berikan pujian pada keluarga saat memberikan perawatan pada pasien.

e) Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan

pengkajian.

Setelah proses pembedahan :

1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges, 1996).

Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit

Kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan

di daerah sekitar anoplasti.

Intervensi :

a. Kaji area stoma.

b. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada

area stoma.

c. Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma.

d. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar

1/8 dari ukuran stoma.

e. Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.

2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges, 1993).

Tujuan : tidak terjadi infeksi

Kriteria hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal.

Intervensi :

a) Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis

atau perawatan.

b) Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.

c) Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih.

d) Pantau dan batasi pengunjung, beri isolasi jika memungkinkan.

e) Beri antibiotik sesuai advis dokter. .

3) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan

(Doenges, 1996).

Tujuan : pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien

akan tampak rileks

Kriteria hasil : ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.

13

e. Implementasi

Adalah tahap pelaksanaan atau implementasi terhadap rencana tindakan

keperawatan yang telah dibuat atau ditetapkan untuk perawat bersama klien ataupun

tenaga kesehatan lainnya guna mengatasi masalah kesehatan klien. Pelaksanaan

dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang telah divalidasi sesuai dengan

kebutuhan klien.

f. Evaluasi

Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan ini adalah

membandingkan hasil yang telah dicapai setelah tahap pelaksanaan tidakan

keperawatan dengan tujuan dan criteria hasil yang diharapkan dalam tahap

perrencanaan. Perawat mempunyai 3 alternatif dalam mengevaluasi atau menentukan

sejauh mana tujuan tersebut tercapai, diantaranya adalah :

1. Tujuan tercapai : jika data subjektif dan objektif ditemukan pada saat

evaluasi telah memenuhi kriteria hasil.

2. Tujuan teratasi sebagian : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan hanya

sebagian yang sesuai dengan kriteria hasil.

3. Tujuan belum tercapai : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan tidak

sesuai dengan kriteria hasil.

14

BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rectum tidak mempunyai lubang

keluar (Walley, 1996). Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada

sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan

pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Secara fungsional, atresia ani dibagi

menjadi 2 yaitu tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis

dan tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang seperti

pemeriksaan Sinar X terhadap abdomen, Ultrasound terhadap abdomen, CT Scan dan

Pemeriksaan fisik rektum. Penatalaksanaan Medis yang sering dilakukan pada pasien

atresia ani yaitu pada Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang

disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital dan Colostomi

sementara.

3.2 Saran

Sebagai seorang perawat yang professional, maka seharusnya kita bisa melakukan

pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir terutama pada anggota badan yang rentan

mengalami kelainan kongenital seperti anus. Hal yang harus dilakukan adalah bayi

dilakukan colok dubur untuk mengetahui apakah bayi mempunyai anus atau tidak. Lalu

dianjurkan bayi untuk menginap di klinik atau RS dalam waktu 24 jam untuk mengetahui

apakah bayi sudah mengeluarkan mekonium atau tidak, kalau dalam jangka waktu

tersebut bayi sudah mengeluarkan mekonium maka bayi tidak mengalami kelainan.

Untuk ibu bayi yang mengalami atresia ani sebaiknya bias berkolaborasi dengan tim

medis dalam melakukan perawatan bayinya tersebut. Bayi terkadang dilakukan

pembedahan kolostomi dan harus dirawat secara ekstra agar kolostomi tersebut tidak

mengalami infeksi.

15

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. “Buku Saku Keperawatan

Pediatrik”. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.

Doengoes Merillynn. 1999. “Rencana Asuhan Keperawatan, Nursing care

plans, Guidelines for planing and documenting patient care”. Alih bahasa : I Made

Kariasa, Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC

Wong, Donna L. 2003. “Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik”. Sri

Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC..

Jakarta.

jtptunimus-gdl-sriwenidew-5112-2-bab2.pdf

http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/11/askep-atresia-ani/

http://ainicahayamata.wordpress.com/nursing-only/keperawatan-anak/askep-

atresia-ani/

http://www.kapukonline.com/2010/03/askepatresiaani.html

16