Atresia Ani New
-
Upload
carinasheliap -
Category
Documents
-
view
314 -
download
14
description
Transcript of Atresia Ani New
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Atresia ani adalah ketiadaan, penutupan, atau konstriksi rektum atau anus.
Kondisi ini merupakan salah satu kelainan kongenital yang lebih umum dijumpai
pada saluran pencernaan. Atresia ani sering terdeteksi pada bayi baru lahir.
Frekuensi kelainan kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000
kelahiran, sedangkan atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital
pada neonatus.1
Angka kejadian kasus di Amerika Serikat adalah 1 dalam 5000 kelahiran..
Berdasarkan data yang didapatkan, kasus atresia ani yang terjadi dijawa tengah
khasusnya semarang yaitu sekitar 50% dari tahun 2007-2009. 1
Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2% atresia
ani adalah atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4:0.
Kejadian yang tinggi terjadi adalah di daerah India selatan.3
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani
dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki
golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum,
perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit.
Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara < 1 cm
dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada
dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan
dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada.
dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit.4
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Tracheal, Esofageal, Renal, Limb).5
2.2. Embriologi
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan
hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,
esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.
Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon
asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat
disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum
urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan
anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan
proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani
perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus
dapat tidak ada atau rudimenter.5
2.3. Etiologi.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1
dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani
dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
3
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik.6
2.4. Klasifikasi 7
1. Secara fungsional
a. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinalis
dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini melibatkan bayi
perempuan dengan fistula rektovagina dimana fistula ini sering dengan
bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat
untuk sementara waktu
b. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat dengan jalan
keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk
menghasilkan dekompresi kolon dan memerlukan beberapa bentuk
intervensi bedah segera
2. Berdasarkan letak
a. Anomali rendah rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot
puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang
baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.
b. Anomali intermediet Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot
puborektalis.
c. Anomali tinggi Ujung rektum di atas otot puborektalis dan sfingter
internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula
genitourinarius-retrouretral (pria) atau rektovagina (perempuan). Jarak
antara ujung buntu rektum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.
4
Gambar 1. Lesi rendah (kiri) dan lesi tinggi (kanan) dengan atresia ani.
3. Klasifikasi Wingspread
a. Jenis Kelamin Laki-Laki
i. Golongan I
Kelainan fistel urin
Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke
vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah
dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin
jernih berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter.
Bila kateter urin mengandung mekonium maka fistel ke vesika
urinaria. Bila evakuasi feses tidak lancer maka penderita
memerlukan kolostomi segera.
Atresia rectum
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan. Pada
atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemeriksaan
colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada
evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi
5
Perineum datar
Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram maka perlu segera dilakukan kolostomi
ii. Golongan II
Kelainan fistel perineum
Fistel perineum sama dengan pada perempuan, lubangnya
terletak lebih anterior dari letak anus normal tetapi tanda anus
yang buntu menimbulkan obstipasi
Membran anal
Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di
bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya
dilakukan terapi definitif secepat mungkin
Stenosis anus
Pada stenosis anus sama dengan perempuan. Pada stenosis
anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya tetapi
sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya
harus segera dilakukan terapi definitif.
Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara < 1 cm dari kulit pada
invertogram maka perlu dilakukan kolostomi.
b. Jenis Kelamin Perempuan
i. Golongan I
Kelainan kloaka
Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus
urinarius, traktus genitalis dan jalan cerna. Evakuasi feses
umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan
kolostomi.
Fistel vagina
6
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina.
Evakuasi feses menjadi tidak lancer sehingga sebaiknya
dilakukan kolostomi
Fistel rektovestibular
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya
minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai
makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila
penderita dalam keadaan normal
Atresia rectum
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan. Pada
atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemeriksaan
colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada
evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan
kolostomi.
Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram maka perlu dilakukan kolostomi.
Gambar 2. Vestibular fistula (kiri) dan Kloaka (kanan) dengan atresia ani.
ii. Golongan II
7
Kelainan fistel perineum
Lubang fistel perineum biasanya terdapat di antara vulva dan
tempat letak anus normal, tetapi tanda anus yang buntu
menimbulkan obstipasi.
Stenosis anus
Pada stenosis anus sama dengan perempuan. Pada stenosis
anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya tetapi
sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya
harus segera dilakukan terapi definitif.
Fistel tidak ada
Jika fistel tidak ada dan udara < 1 cm dari kulit pada
invertogram maka perlu dilakukan kolostomi.
2.5. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1
dalam 5000 kelahiran. Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan
kelainan yang paling banyak ditemukan pada bayi laki-laki diikuti oleh fistula
perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling
banyak ditemukan adalah anus imperforata diikuti fistula rektovestibular dan
fistula perineal. Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan
bahwa malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan
malformasi letak tinggi.1,8
2.6. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
merupakan bakal genitourinarius dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal
karena ada penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak ada
8
kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara minggu ke 7 dan ke
10 dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat terjadi karena kegagalan
dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada ureter dan vagina. Tidak adanya
pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan feses tidak bisa
dikeluarkan sehingga usus mengalami obstruksi.1,9
Manifestasi klinis ini diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum maka urin
akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremi, sebaliknya feses yang
mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan
ini biasanya terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita
90% kasus atresia ani dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya ke vesika
urinaria atau ke prostat (rektovesika). Pada letak rendah, fistula menuju ke uretra
(rektouretra).1,9
9
Gambar 3. Pathway Atresia Ani
2.7. Diagnosis
Diagnosis atresia ani ditegakkan melalui pemeriksaan fisik yaitu inspeksi
head to toe pada bayi baru lahir dan biasanya dijumpai tidak adanya anus dan
kemungkinan juga ditemukan adanya fistula, kemudian juga bisa didapatkan bayi
mengalami distensi abdomen 4-8 jam setelah lahir.10
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto sakral PA dan lateral
digunakan untuk mengukur ratio sakral dan melihat defek sakral, hemivertebra
dan massa presakral. MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat digunakan untuk
mendeteksi malformasi spinal seperti meningokel atau meningomielokel atau
10
teratoma. Augmented-pressure distal colostography merupakan pemeriksaan
diagnostik yang paling penting untuk mendeteksi kelainan malformasi anatomi
yang akan menjalani kolostomi. Dengan fluoroskopi, balon kateter dimasukkan ke
distal stoma dan dikembangkan kemudian dimasukkan kontras, biasanya tekanan
diperlukan untuk melawan tekanan dari M. levator ani dan kontras akan menuju
bagian terbawah kolon dan mendeteksi adanya fistel. Dengan adanya fistel ke
vesika urinaria maka vesika urinaria akan terisi.1
Menurut Pena untuk mendiagnosa dsengan menggunakan cara berikut:10
a. bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perium dan urin bila:
- fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal
membrane berati atresia letak rendah, maka dilakukan minimal
Postero Sagital Anorektoplasty (PSARP) tanpa kolostomi
- bila meconium (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan
kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 inggu kemudian dilakukan
tindakan definitif .
b. bayi perempuan 90% atresia ani disertai fistel
- bila ditemukan fistel perianal (+) maka dilakukan minimal Postero
Sagital Anorektoplasty (PSARP) tanpa kolostomi
- bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu
- bila fistel (-) aka dilakukan invertogram apabila akhiran <1 cmdari
kulit dilakukan postero sagittal anorectoplasty, apabila akhiran <1
cm dari kulit dilakukan kolostomi terlebih dahulu
Leape (1987) menyatakan bila meconium didapatkan pada perineum,
vestibulum, atau fistel perianal maka kelahiran adalah letak rendah. Bila pada
pmeriksaan tidak dijumpai fistel maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisi udara
dengan cara knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul di
daerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.10
11
2.8. Diagnosis Banding
Pada perempuan dapat ditemukan fistula dan kutaneus, fistula
rektoperinium dan fistula rektovagina. Pada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk
fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rektoperineum. 11
2.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,
tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus
yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode
operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara
membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk
memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.10
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan
ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain
dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca
operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi,
persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari
berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian
akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.10
Leape (1987) menganjurkan pada: 10
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi
batas otot sfingter ani ekternus
12
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling
banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited
atau full postero sagital anorektoplasti. 10
Penatalaksanaan malformasi anorektal 12
Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus laki-
laki12
Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal
pada 95% kasus malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip
penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan hampir sama dengan
bayi laki-laki.7
13
Penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan 12
Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus
perempuan12
Anoplasty
PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan
anorektal. Jika bayi tumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada
usia 3 bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon. Pada kasus
fistula rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk
menemukan memobilisasi rektum bagian distal. Demikian juga pada pasien
kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.7
Hal ini berupa memposisikan pasien dengan posisi pronasi jackknife,
membagi otot levator ani dan kompleks sphincter eksternal pada posterior
midline, memisahkan komunikasi antara traktus gastrointestinal dengan traktus
14
urinari, dan menarik kebawah rektum setelah ukuran yang dikehendaki tercapai.
Otot tersebut kemudian direkonstruksi dan dijahit ke rektum.3
Gambar 6. Posisi Prone Jackknife
Pasien dengan lesi letak tinggi memiliki resiko inkontinensia postoperatif,
sedangkan pasien dengan lesi letak rendah memiliki resiko konstipasi.
Tatalaksana pasien dengan lesi letak tinggi dapat difasilitasi dengan pendekatan
laparoskopi, dimana pasien diposisikan supine dan rektum dimobilisasi kebawah
di bagian koneksi fistula menuju leher kandung kemih. Fistula lalu dipisahkan dan
rektum dimobilisasi dibawah tepat di bawah refleksi peritoneal. Prosedur tersebut
lalu dilanjutkan di bagian perineum, dan lokasi otot ditentukan menggunakan
stimulator saraf. Jarum Veress ditelusuri melalui kulit pada tempat yang
diindikasikan, dengan pedoman laparoskopi menuju bagian intrapelvik. Dilator
menggantikan jarum Veress, rektum ditarik melalui pembukaan perioneal ini dan
anoplasti telah terbentuk.3
15
Gambar 7. Bidang diseksi pada PSARP (kiri), proses penjahitan pada anoplasti
(kanan A) dan penjahitan subkutikuler (kanan B)
Gambar 8. Prosedur PSARP
2.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:1
1. Perforasi intestinal: dapat terjadi pada fase manapun. Perforasi dapat
terjadi selama proses dilatasi anus.
16
2. Komplikasi selama operasi: fistula postoperasi yang terbuka, fistula yang
tidak ketahuan, iskemik, perlukaan urologi
3. Stenosis (anus baru yang menyempit)
4. Hidrokolpos yang tak habis
5. Konstipasi
2.11. Prognosis
Prognosis sebaiknya ditentukan berdasarkan kemungkinan kembalinya
kontinensia fekal primer karena pasien yang mengalami malformasi anorektal
tanpa komorbid yang mengancam nyawa biasanya dapat bertahan hidup. Fungsi
kontinensia tidak hanya bergantung pada kekuatan spingter dan sensibilitasnya,
tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental penderita.1
17
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis
Identitas Pribadi
Nama : YT
Jenis Kelamin : Laki laki
Usia : 3 hari
Suku Bangsa : Batak
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kiwi 20 No. 304 Kec Medan Denai
Tanggal Masuk : 28 September 2015
3.2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Keluhan Utama : Tidak ada lubang anus
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak lahir. Mual dan muntah tidak
dijumpai. Demam tidak dijumpai. Riwayat BAK dalam
batas normal. Riwayat persalinan : Os lahir dengan BB
3600gram, cukup bulan, spontan, langsung menangis dan di
tolong oleh bidan 7 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat ANC 5x ke bidan. Os merupakan anak ke-3, usia
saat ibu hamil 40 tahun. Saat hamil ibu menderita demam,
riwayat hipertensi dan diabetes mellitus saat hamil
disangkal. Riwayat pemakaian obat – obatan sewaktu hamil
(-).
RPO : -
RPT : -
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Sens : CM Anemis : tidak diumpai
HR : 158x/i Sianosis : tidak dijumpai
18
RR : 60 x/i Edema : tidak dijumpai
Temp : 37,2 Dispnue : tidak dijumpai
Stattus Lokalisata
Kepala : Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-)
T/H/M : dbn/dbn/dbn
Leher : Pembesaran KGB : tidak dijumpai
Thorax : Inspeksi : Simetris Fusiformis
Palpasi : Stem Fremitus ka=ki, kesan : normal
Perkusi : Sonor pada paru kanan dan kiri
Auskultasi : SP : Vesikuler
ST : -
Abdomen : Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : Soepel, H/L/R : tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Genitalia : Laki-laki, dalam batas normal
Anus : Anus (+), fistula (-), bucket handle (+)
Ekstremitas : Edema (-/-), CRT < 3”
3.4. Pemeriksaan Tambahan
Hasil Laboratorium tanggal 28 September 2015
Pemeriksaan 28/09/15 Nilai normal
Darah lengkap
Hb (gr%) 21,1 11,30-14,10
RBC (106/mm3) 5,4 4,40-4,48
WBC (103/mm3) 25,1 4,50-13,50
HT (%) 59,20 37-41
PLT (103/mm3) 114 (150-450)
MCV (fL) 109,20 81-95
19
MCH (pg) 38,90 25-29
MCHC (gr%) 35,60 29-31
RDW (%) 23,00 11,60-14,80
PCT (%) 0,40 -
PDW (fL) 9,40 -
Neutrofil (%) 47,00 37-80
Limfosit (%) 13,00 20-40
Monosit (%) 11,00 2-8
Eosinofil (%) 0,00 1-6
Basofil (%) 0,00 0-1
Faal Hemostasis
PT (detik) 104,9 (14,2) -
APTT (detik) 100,9 (33,8) -
TT (detik) 29,3 (17,5) -
INR 8,28
Faal Ginjal
Ureum (mg/dL) 10,50 <50
Kreatinin (mg/dL) 0,64 0,32-0,59
Met. Karbohidrat
KGD adr (mg/dL) 92,00 <200
Elektrolit
Na (mEq/L) 134 135-155
K (mEq/L) 4,6 3,6-5,5
Cl (mEq/L) 107 96-106
Hati
Albumin 3,4 3,8-5,4
20
Foto (28/09/2015)
21
3.5. Diagnosis : Atresia Ani + NCB-SMK
3.6. Tatalaksana
Inj. Ceftazidine 195 mg/ 12 jam/IV
Inj. Gentamycin 19,5 mg/30 jam/IV
Inj. Vit K 3 mg selama 3 hari
Transfusi FFP 10 cc//kg = 30 cc
Kebutuhan cairan 60cc/kg/BB/ hari = 216 cc / hari
Parenteral : 60 cc/kg/BB/ hari IVFD D10% = 9cc/jam
3.7. Follow up :
Tanggal S O A P
2
8/09/201
5
Demam
(+)
Sensorium:
Compos mentis
Keadaan umum:
Stabil
Atresia Ani +
NCB -SMK +
Sangkaan
sepsis
Inj. Ceftazidine 195
mg/ 12 jam/IV (H1)
Inj. Gentamycin 19,5
mg/30 jam/IV (H1)
22
Nadi: 160 x/i
Pernafasan: 42 x/i
Suhu: 38,6 0C
Abdomen:
Inspeksi: Distensi (+)
Auskultasi: Peristaltik
(+)
Palpasi: Soepel
Perkusi: Timpani
Inj. Vit K 3 mg
selama 3 hari (H1)
IVFD D10% 9cc/jam
Rencana operasi
emergency
colostomy hari
selasa (29/09/2015)
2
9/09/201
5
Demam
(-)
Sensorium:
Compos mentis
Keadaan umum:
Stabil
Nadi: 135 x/i
Pernafasan: 40 x/i
Suhu: 36,8 0C
Abdomen:
Inspeksi: Distensi (-),
tampak stoma viable,
produksi (+)
Auskultasi: Peristaltik
(+)
Palpasi: Soepel
Perkusi: Timpani
Atresia Ani + NCB + SMK + Sangkaan sepsis
Inj. Ceftazidine 195
mg/ 12 jam/IV (H2)
Inj. Gentamycin 19,5
mg/30 jam/IV (H2)
Inj. Vit K 3 mg (H2)
IVFD D10% 9cc/jam
R/ Operasi colostomy
emergency hari ini
3
0/09/201
5
- Sensorium:
Compos mentis
Keadaan umum:
Stabil
Nadi: 140 x/i
Pernafasan: 40 x/i
Suhu: 36,9 0C
Post op
sigmoidecto
my a/i
malformasi
anorektal
letak tinggi
tanpa fistula
Inj. Ceftazidine 19,5
mg/ 12 jam/IV (H3)
Inj. Gentamycin 19,5
mg/30 jam/IV (H3)
Inj Metronidazole 28
mg/12 jam/ IV
Inj. Vit K 3 mg (H3)
23
Abdomen:
Inspeksi: Distensi (-),
stoma (+) berwarna
merah, produksi
colostomy (+)
Auskultasi: Peristaltik
(+) lemah
Palpasi: Soepel
Perkusi: Timpani
+ NCB-SMK IVFD D10% 9cc/jam
Diet ASI/ PASI
3cc/2jam/OGT bila
peristaltik usus (+).
BAB 4
MASALAH DAN PEMBAHASAN
24
TEORI KASUS
Atresia ani adalah suatu kelainan
kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya
agenesis ani, agenesis rektum dan
atresia rektum. Insiden 1:5000
kelahiran yang dapat muncul sebagai
sindroma VACTRERL (Vertebra,
Anal, Cardial, Trachea, Esofageal,
Renal, Limb).
Pasien dengan kelainan kongenital
atresia ani dengan keluhan utama tidak
ditemukan anus sejak lahir.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
dapat ditemukan:
Bayi cepat kembung antara 4-8 jam
setelah lahir
Tidak ditemukan anus,
kemungkinan juga ditemukan
adanya fistula
Bila ada fistula pada perineum maka
meconium (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah
Pasien datang dengan keluhan utama
tidak ada lubang anus sejak lahir (7 jam
sebelum masuk RSUP HAM)
Pemeriksaan penunjang antara lain
radiologi dengan foto sakral, MRI
spinal, augmented-pressure distal
colostography dan pemeriksaan
lainnya seperti voiding
cystourethrography, USG dan
anorektal manometri
Pada pasien yang direncanakan
colostomy emergency dilakukan
pemeriksaan invertogram dengan hasil
Penatalaksanaan pasien tergantung
klasifikasinya. Pada atresia ani letak
tinggi harus dilakukan kolostomi
terlebih dahulu. Penatalaksanaan
Pada pasien telah dilakukan colostomy 1
hari setelah lahir
25
berbeda tergantung pada letak
ketinggian akhiran rektum dan ada
tidaknya fistula
26
BAB 5
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 1 hari, masuk ke IGD
RSUP HAM pada tanggal 28 September 2015 dengan keluhan tidak ada anus.
Pasien dilakukan sigmoidectomy pada tanggal 29 September 2015. Pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. Pasien didiagnosa
dengan Atresia Ani + NCB-SMK.
Pasien dirawat dengan rencana kolostomi emergensi dan dipuasakan, serta
diberikan ceftazidine dan gentamisin.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Rosen, N.G., 2013. Pediatric Imperforate Anus. Medscape. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/929904-overview#a0199 [Accessed
Sept 23, 2015]
2. Forrester M, and Merz R. Descriptive epidemiology of anal atresia in Hawaii,
1986-1999. Teratology 66: S12-S16, 2002.
3. Kisra M, Alkadi H, Zerhoni H, Ettayebi F, Benhammou M. Rectal atresia
Department of Pediatric Surgery, Rabat University Children’s Hospital, Rabat,
Morocco, 2005
4. Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku-
ajar ilmu bedah. editor, Peter J,.-Ed.2.-Jakarta : EGC.
5. Faradilla N, Damanik R.R, Mardhiya W.R.2009. Anestesi pada Tindakan
Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal. Universitas
Riau.
6. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare
Diseases 2007, 2:33. Available from : http://www.ojrd.com/content/2/1/33
[Accessed Sept 23, 2015]
7. Oldham K., Colombani P., Foglia R., Skinner M. Principles and Practice of
Pediatric Surgery Vol 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005;
1395-1434
8. Boocock G., Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and
Associated Anomalies. Archive of Disease in Childhood, 2007.
9. Behrman, R.E., et al, 2011. Anorectal Malformation. In: Nelson Textbook of
Pediatrics 19th ed. Elsevier Saunders; 1355-1359.
10. Bedah UGM. Atresia Ani. http://www.bedahugm.net. [Accessed Sept 23,
2015].
11. De Jong, Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
12. University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery
University of Michigan available from :
http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/a/anorectalmalfor
mation [Accessed Sept 23, 2015]