makalah anestesi
-
Upload
sindhu-wahyudya-pratama -
Category
Documents
-
view
248 -
download
0
description
Transcript of makalah anestesi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seseorang tidak dapat hidup tanpa menghirup oksigen. Begitu esensialnya
unsur ini bagi kehidupan sehingga apabila 10 detik saja otak manusia tidak
mendapatkan oksigen, maka yang akan terjadi kemudian adalah penurunan
kesadaran dan apabila terus berlanjut, otak akan mengalami kerusakan yang lebih
berat dan irreversible. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan,
oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh.
Dengan penemuan yang sangat penting mengenai molekul oksigen oleh
Joseph Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada proses
pernafasan oleh Lavoisier, oksigen menjadi suatu cara pengobatan dalam
perawatan pasien. Sebelum tahun 1920 suplementasi oksigen dievaluasi oleh
Baruch dkk dan akhirnya pada tahun 1920 ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen
dapat dipergunakan sebagai terapi. Sejak itu efek hipoksia lebih dimengerti dan
pemberian oksigen pada pasien penyakit paru membawa dampak meningkatnya
jumlah perawatan pasien.1
Dua penelitian dasar di awal 1960an memperlihatkan adanya bukti
membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen Therapy
Trial (NOTT), pemberian oksigen 12 jam atau 24 jam sehari selama 6 bulan dapat
memperbaiki keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan genggaman,
namun tidak memperbaiki emosional mereka atau kualitas hidup mereka. Namun
penelitian lain memperlihatkan bahwa pemberian oksigen pada pasien-pasien
hipoksemia, dapat memperbaiki harapan hidup, hemodinamik paru, dan kapasitas
latihan. Keuntungan lain pemberian oksigen pada beberapa penelitian diantaranya
dapat memperbaiki kor pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki
fungsi neuropsikiatrik dan pencapaian latihan, mengurangi hipertensi pulmonal,
dan memperbaiki metabolisme otot.2
Komposisi udara kering ialah 20,98% O2, 0,04% CO2, 78,6% N2 dan
0,92% unsur inert lainnya, seperti argon dan helium. Tekanan barometer (PB) di
permukaan laut ialah 760 mmHg (satu atmosfer). Dengan demikian, tekanan
parsial (dinyatakan dengan lambang P). O2 udara kering di permukaan laut adalah
0,21 x 760, atau 160 mmHg. Tekanan parsial N2 dan gas inert lainnya 0,79 x 760,
atau 600 mmHg; dan PCO2 ialah 0,0004 x 760 atau 0,3 mmHg. Terdapatnya uap
air dalam udara pada berbagai iklim umumnya akan menurunkan persen volume
masing masing gas, sehingga juga sedikit mengurangi tekanan parsial gas gas-
tersebut. Udara yang seimbang dengan air jenuh dengan uap air, dan udara
inspirasi akan jenuh dengan uap air saat udara tersebut mencapai paru-paru.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu
intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang
terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan
menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan
lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi
fisiologis normal.8
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama
beraktivitas pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya pemberian
oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di
rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan efektif perlu pemahaman
mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian
oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.8
Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2)
dibawah nilai normal. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan
berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2, yaitu:3,8
1. Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan
SaO2 90-94%
2. Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%
3. Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari
75%.
Hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan ventilasi, perfusi,
hipoventilasi, pirau, gangguan difusi dan berada ditempat yang tinggi.
Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang
bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai.
Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan
meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan
sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan
vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi,
juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup
jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki.3,8
Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner
sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru
terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal
sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasitas
transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan
peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi
pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian.8
Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini lebih
tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benar-
benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Jaringan akan mengalami
hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah
ventilasi spontan berhenti. Secara tradisional, hipoksia dibagi dalam 4 jenis.
Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut :5
1. Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik) yaitu apabila PO2 darah arteri
berkurang. Merupakan masalah pada individu normal pada daerah
ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai
penyakit sistim pernafasan lainnya. Gejala yang muncul pada keadaan ini
antara lain iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas, mual dan
muntah.
2. Hipoksia anemik yaitu apabila O2 darah arteri normal tetapi mengalami
denervasi. Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena
terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah, kecuali
apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita
anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan
latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan
pengangkutan O2 ke jaringan aktif.
3. Hipoksia stagnan akibat sirkulasi yang lambat merupakan masalah bagi
organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hipoksia akibat sirkulasi
lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat
terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat
hipoksia stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan normal,
aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka
waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun, syok
paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah
paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.
4. Hipoksia histotoksi adalah hipoksia yang disebabkan oleh hambatan
proses oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida.
Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim
lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan
sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan sianida, menghasilkan
sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik. Pemberian terapi oksigen
hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan
berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke
metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk
metabolisme. Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi
asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolisme
selule terganggu dan mengakibatkan kematian sel. Pemeliharaan oksigenasi
jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskular,
hematologi, dan respirasi.7
Manifestasi klinik hipoksia
Manifestasi klinik hipoksia tidak spesifik, sangat bervariasi,
tergantung pada lamanya hipoksia, kondisi kesehatan individu, dan
biasanya timbul pada keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi
klinik dapat berupa perubahan status mental/bersikap labil, pusing,
dispneu, takipneu, respiratory distress, dan aritmia. Sianosis sering
dianggap sebagai tanda dari hipoksia, namun hal ini hanya dapat
dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.8
Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse
oxymetry) dan analisis gas darah. Bila nilai saturasi kurang dari 90%
diperkirakan hipoksia, dan membutuhkan oksigen.8
Tabel 3. Gejala dan Tanda-Tanda Hipoksia Akut.8
Sistem Gejala dan tanda
Respirasi Sesak nafas, sianosis
Kardiovaskuler
Cardiac output meningkat, palpitasi,
takikardi, aritmia, hipotensi, angina,
vasodilatasi, dan syok
Sistem saraf pusat Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai,
bingung, delirium, gelisah, edema papil,
koma
Neuromuskular Lemah,tremor,hiperrefleks, incoordination
Metabolik Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat
Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lain
Karena berbagai tanda dan gejala hipoksia bervariasi dan tidak
spesifik, maka untuk menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah
pemeriksaan PaO2 arteri atau saturasi oksigen arteri melalui pemeriksaan
invasif yaitu analisis gas darah arteri ataupun non invasif yaitu pulse
oximetry.Pada pemeriksaan gas darah, spesimen darah diambil dari
pembuluh darah arteri (a.Radialis atau a.Femoralis) dan akan didapatkan
nilai PaO2, PCO2, saturasi oksigen, dan parameter lain.8
Pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen.
Pemeriksaan saturasi oksigen ini tidak cukup untuk mendeteksi
hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaO2 ≥ 60 mmHg atau
PaO2 < 60mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidak
bisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigen jangka panjang,
namun pemeriksaan noninvasif ini efektif digunakan untuk evaluasi
kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan
memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan terapi oksigen
di rumah.6,8
Gagal Nafas
Gagal nafas merupakan suatu keadaan kritis yang memerlukan
perawatan di instansi perawatan intensif. Diagnosis gagal nafas ditegakkan
bila pasien kehilangan kemampuan ventilasi secara adekuat atau tidak
mampu mencukupi kebutuhan oksigen darah dan sistem organ. Gagal nafas
terjadi karena disfungsi sistem respirasi yang dimulai dengan peningkatan
karbondioksida dan penurunan jumlah oksigen yang diangkut kedalam
jaringan.8
Gagal nafas akut sebagai diagnosis tidak dibatasi oleh usia dan dapat
terjadi karena berbagai proses penyakit. Gagal nafas hampir selalu
dihubungkan dengan kelainan diparu,tetapi keterlibatan organ lain dalam
proses respirasi tidak boleh diabaikan.8
1. Gagal Nafas Tipe I
Pada tipe ini terjadi perubahan pertukaran gas yang
diakibatkan kegagalan oksigenasi. PaO2 ≤50 mmHg merupakan
ciri khusus tipe ini, sedangkan PaCO2 ≤40 mmHg, meskipun ini
bisa juga disebabkan gagal nafas hiperkapnia. Ada 6 kondisi yang
menyebabkan gagal nafas tipe I yaitu:
Ketidaknormalan tekanan partial oksigen inspirasi (low PIO2)
Kegagalan difusi oksigen
Ketidakseimbangan ventilasi / perfusi [V/Q mismatch]
Pirau kanan ke kiri
Hipoventilasi alveolar
Konsumsi oksigen jaringan yang tinggi
2. Gagal Nafas Tipe II
Tipe ini dihubungkan dengan peningkatan karbondioksida
karena kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup.
Beberapa kelainan utama yang dihubungkan dengan gagal nafas
tipe ini adalah kelainan sistem saraf sentral, kelemahan
neuromuskuler dan deformitas dinding dada.Penyebab gagal nafas
tipe II adalah :
Kerusakan pengaturan sentral
Kelemahan neuromuskuler
Trauma spina servikal
Keracunan obat
Infeksi
Penyakit neuromuskuler
Kelelahan otot respirasi
Kelumpuhan saraf frenikus
Gangguan metabolism
Deformitas dada
Distensi abdomen massif
Obstruksi jalan nafas
Manfaat Terapi Oksigen
Tujuan terapi oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan
dan meminimalkan asidosis respiratorik. Ada beberapa keuntungan dari
terapi oksigen. Terapi oksigen pada pasien PPOK dengan konsentrasi
oksigen yang tepat dapat mengurangi sesak nafas saat aktivitas, dapat
meningkatkan kemampuan beraktifitas dan dapat memperbaiki kualitas
hidup.8,4
Manfaat lain dari terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik
paru, kapasitas latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac
output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik,
mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.8,4
Indikasi Terapi Oksigen
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien
benar-benar membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen
jangka pendek (Short-term oxygen therapy) atau terapi oksigen jangka
panjang (Long term oxygen therapy).6
Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang
diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.6
Terapi Oksigen Jangka Pendek
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya pneumonia,
PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular,
emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan secara
adekuat. Pemberian oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat
tetap dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan
FiO2 60-100% dalam waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang
spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat
mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan,
oksigen harus diberi secara terus-menerus.5
Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek terdapat
rekomendasi dari The American College of Chest Physicians dan The
National Heart, Lung, and Blood Institute(tabel 4).5
Tabel 4. Indikasi Akut Terapi Oksigen5
Indikasi yang sudah direkomendasi :
Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
Cardiac arrest dan respiratory arrest
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18
mmol/L)
Respiratory distress (frekuensi pernafasan > 24/min)
Indikasi yang masih dipertanyakan :
Infark miokard tanpa komplikasi
Sesak nafas tanpa hipoksemia
Krisis sel sabit
Angina
Terapi Oksigen Jangka Panjang
Banyak pasien hipoksemia membutuhkan terapi oksigen jangka
panjang. Pasien dengan PPOK merupakan kelompok yang paling banyak
menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Studi awal pada terapi oksigen
jangka panjang pada pasien PPOK memperlihatkan bahwa pemberian
oksigen secara kontinu selama 4-8 minggu menurunkan hematokrit,
memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonar.8
Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi oksigen jangka
panjang dapat meningkatkan jangka hidup sekitar 6 sampai 7 tahun. Angka
kematian menurun pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila oksigen
diberikan lebih dari 12 jam sehari dan manfaat survival lebih besar telah
ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan.8
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen
jangka panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya perbaikan
dengan terapi oksigen jangka panjang, maka direkomendasikan untuk pasien
hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88%) oksigen
diberikan secara terus-menerus 24 jam dalam sehari. Pasien dengan
PaO2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal atau polisitemia
juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang.8
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi
rendah (FiO224-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil
pemeriksaan analisis gas darah, dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan
menghindari penurunan pH dibawah 7,26. Oksigen dosis tinggi yang
diberikan kepada pasien PPOK yang sudah mengalami gagal nafas tipe II
(peningkatan karbondioksida oleh karena kegagalan ventilasi dengan
oksigen yang relatif cukup) akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk
pemicu gerakan bernafas dan meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi. Hal
ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis
respiratorik yang berakibat fatal.8
Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang
dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan
mendapat terapi oksien mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu
lagi meneruskan suplemen oksigen.8
Indikasi terapi oksigen
Tabel 5. Indikasi terapi oksigen jangka panjang8
Pemberian oksigen secara kontinyu :
PaO2 istirahat ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada satu keadaan :
- Edema yang disebabkan karena CHF
- P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3mm pada lead
II, III, aVF
Eritrositoma (hematokrit > 56%)
PaO2 > 59 mmHg atau saturasi oksigen > 89%
Pemberian oksigen tidak kontinyu :
Selama latihan : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%
Selama tidur : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan artimia
Tabel 6. Indikasi terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK8
Indikasi Pencapaian terapi
PaO2 ≤ 55 mmHg or SaO2 ≤
88%
PaO2 ≥ 60 mmHg atau SaO2 ≥ 90%
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur dan latihan
Pasien dengan kor pulmonal
PaO2 55-59 mmHg atau SaO2 ≥
89%
PaO2 ≥ 60 mmHg atau SaO2 ≥ 90%
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur dan latihan
Adanya P pulmonal pada EKG
Hematokrit > 55%
Gagal jantung kongestif
Indikasi khusus
Nocturnal hypoxemia
Tidak ada hipoksemia saat
istirahat, tetapi saturasi
menurun selama latihan
atau tidur
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat latihan
Kontraindikasi
Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada:9
Pasien dengan keterbatasan jalan nafas yang berat dengan keluhan utama
dispneu, tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak
mempunyai hipoksia kronik.
Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang
buruk dan dapat meningkatkan resiko kebakaran.
Pasien yang tidak menerima terapi adekuat.
Teknik Pemberian Oksigen
Cara pemberian oksigen dibagi dua jenis, yaitu sistem arus rendah
dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan
dan kerugian.9
Alat oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng
oksigen, reservoir mask,kateter transtrakheal, dan simple mask. Alat oksigen
arus tinggi diantaranya venturi mask, dan reservoir nebulizer blenders9.
Alat pemberian oksigen dengan arus rendah.9
Kateter nasal dan kanul nasal merupakan alat dengan sistem arus
rendah yang digunakan secara luas. Kanul nasal terdiri dari
sepasang tube dengan panjang ± 2 cm, dipasangkan pada lubang
hidung pasien dan tube dihubungkan secara langsung ke oxygen
flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat
masker, terutama bagi pasien yang membutuhkan suplemen
oksigen rendah. Kanul nasal arus rendah mengalirkan oksigen ke
nasofaring dengan aliran 1-6 L/m, dengan FiO2 antara 24-40%.
Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara
bermakna diatas 44% dan akan menyebabkan mukosa membran
menjadi kering. Kanul nasal merupakan pilihan bagi pasien yang
mendapatkan terapi oksigen jangka panjang.
Gambar 1. Kanul nasal
Simple oxygen mask dapat menyediakan 40-60% FiO2, dengan
aliran 5-10 L/m. aliran dapat dipertahankan 5 L/m atau lebih
dengan tujuan mencegah CO2 yang telah dikeluarkan dan tertahan
di masker terhirup kembali. Penggunaan alat ini dalam jangka
panjang dapat menyebabkan iritasi kulit dan pressure sores.
Gambar 2. Simple oxygen mask
Partial rebreathing mask merupakan simple mask yang disertai
dengan kantung reservoir. Aliran oksigen harus selalu tersuplai
untuk mempertahankan kantung reservoir minimal sepertiga
sampai setengah penuh pada inspirasi. Sistem ini mengalirkan
oksigen 6-10L/m dan dapat menyediakan 40-70% oksigen.
Sedangkan non-rebreathing mask hampir sama dengan parsial
rebreathing mask kecuali alat ini memiliki serangkai katup ‘one-
way’. Satu katup diletakkan diantara kantung dan masker untuk
mencegah udara ekspirasi kembali kedalam kantung. Untuk itu
perlu aliran minimal 10L/m. Sistem ini mengalirkan FiO2sebesar
60-80%.
Gambar 3. Partial rebreathing mask
Gambar 4. Non-rebreathing mask
Transtracheal oxygen. Mengalirkan oksigen secara langsung
melalui kateter ke dalam trakea. Oksigen transtrakea dapat
meningkatkan kesetiaan pasien menggunakan oksigen secara
kontinyu selama 24 jam, dan sering berhasil bagi pasien
hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi, dengan oksigen
transtrakea ini dapat menghemat penggunaan oksigen 30-60%.
Keuntungan dari pemberian oksigen transtrakea yaitu tidak menyolok
mata, tidak ada bunyi gaduh, dan tidak ada iritasi muka/hidung. Rata-
rata oksigen yang diterima mencapai 80-96%. Kerugian dari
penggunaan oksigen transtrakea adalah biaya tinggi dan resiko infeksi
lokal. Komplikasi yang biasa terjadi pada pemberian oksigen
transtrakea ini adalah emfisema subkutan, bronkospasme, dan batuk
paroksismal. Komplikasi lain diantaranya infeksi stoma, dan mucus ball
yang dapat mengakibatkan fatal.
Gambar 5. Transtrakheal oksigen
Alat pemberian oksigen dengan arus tinggi10
Alat oksigen arus tinggi diantaranya venture mask dan reservoir nebulizer
blenders. Alat venturi mask menggunakan prinsip jet mixing (efek
Bernoulli). Jet mixing mask,mask dengan arus tinggi, bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Pada pasien
dengan PPOK dan gagal nafas tipe II, bernafas dengan mask ini mengurangi
resiko retensi CO2, dan memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih
nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan
dengan arus tinggi tersebut.
Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit oksigen
melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi.
Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi adalah
pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian FiO2, dan pasien
hipoksia dengan ventilasi abnormal.
Gambar 6. Venturi mask
Komplikasi Terapi Oksigen
Penderita PPOK dengan retensi CO2 sering bergantung pada “hypoxic
drive” untuk mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi
dapat mengurangi “drive” ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan
dengan persentase rendah dan pasien diobservasi secara ketat untuk
menilai adanya retensi CO2.10
Kerusakan retina (retrorental fibroplasia) menyebabkan kebutaan pada
neonatus, terjadi karena pemberian terapi oksigen yang tidak tepat.
Semua terapi oksigen pada bayi baru lahir harus dimonitor secara
berkelanjutan.10
Pneumonitis dan pembentukan membran hyaline didalam alveoli yang
dapat menyebabkan penurunan pergantian gas dan atelektasis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan
manusia, sebentar saja manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung
fatal akibatnya. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan,
oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian oksigen
dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah perbaikan penyakit dan
memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan
jangka panjang.
Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti indikasi pemberian oksigen,
teknik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan, dan lamanya
oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu
selalu dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan
mencegah terjadinya retensi CO2.
DAFTAR PUSTAKA
1. AARC CPG, 2002, “AARC Clinical Practice Guideline : Oxygen Therapy
for Adults in the Acute Care Facility”, diakses
dari www.rcjournal.com pada tanggal 12 Januari 2010.
2. Admin, 2008, “Oksigen”, diakses
dari www.healthcare.wordpress.com pada tanggal 13 Januari 2014.
3. Anonymous, “Stress and Health Solution”, diakses dari
www.MedDzik.org pada tanggal 13 Januari 2014.
4. Astowo, Pudjo, 2005, “Terapi oksigen”, Ilmu Penyakit Paru. Bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Jakarta: FK UI.
5. Ganong, F. William, 2003, “ Fisiologi Kedokteran”, Edisi 20, Jakarta:
EGC.
6. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran”, edisi 9, Jakarta: EGC. Latief, A. Said, 2002, “Petunjuk
Praktis Anestesiologi”, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta:
FK UI.
7. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2006, “Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
8. Singh, CP., Brar, Gurmeet K., et al, 2001, “Emergency Medicine: Oxygen
Therapy”, Journal, Indian Academy of Clinical Medicine _ Vol. 2, No.
3, diakses dariwww.medind.com/nic/injact pada tanggal 13 Januari 2014.
9. South Durham Health Care NHS, 2000, “Guideline for the Management of
Oxygen Therapy”, diakses
dari www.ndhd.com/nhs.uk.content.clinguide pada tanggal 13 Januari
2014.
10. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2006, “Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam”, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI.