Makalah Alergi Obat Docik

28
MAKALAH ALERGI OBAT Disusun oleh : Eirdy Herlindo, S.Farm 1241012229

description

panduan alergi obat

Transcript of Makalah Alergi Obat Docik

MAKALAHALERGI OBAT

Disusun oleh :Eirdy Herlindo, S.Farm1241012229PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS ANDALASPADANG2014BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat, terutama untuk obat dengan efek terapi sistemik.Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi.Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi. Hanya beberapa golongan obat saja yang dapat menimbulkan reaksi alergi itupun tidak terjadi pada semua orang. Golongan obat yang dapat menimbulkan reaksi alergi adalah obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin dan derivatnya, sulfonamid, dan obat-obatan antikonvulsan.

Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis alergi obat yang timbul tergolong serius karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius dari alergi obat.

Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.

Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran kelainan serta pengobatan pada keadaan alergi obat.1.2 Tujuan Tujuan umum

Dapat memberikan pengobatan pada pasien dengan kelainan alergi obat Tujuan Khusus

a. Mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan alergi obat

b. Mampu membuat analisa data pada pasien dengan alergi obat

c. Mampu mengetahui diagnosa pada pasien dengan alergi obat

d. Mampu merencanakan pengobatan pada pasien dengan alergi obat

e. Mampu melaksanakan tindakan kefarmasian pada pasien dengan alergi obat

f. Mampu melaksanakan evaluasi pengobatan pada pasien dengan alergi obat 1.3 Manfaat1. Secara umum

a. Menambah wawasan, pengetahuan penulis dan pembaca di bidang kesehatan khususnya alergi obatb. Memberikan informasi mengenai kelainan alergi obat dan perencanaan pengobatan terhadap kelainan alergi obatc. Meningkatkan ketrampilan penulis dalam melakukan tindakan kefarmasian pada pasien alergi obat2. Secara khusus

a. Bagi Penulis

Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan saya sebagai mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya pencegahan dan pengobatannya pada keadaan alergi obat agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baikb. Bagi PembacaDiharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang alergi obat lebih dalam sehingga dapat mencegah serta mengatasi kondisi alergi obatc. Bagi Petugas Kesehatan

Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam penanganan kelainan alergi obat sehingga dapat meningkatkan pelayanan kefarmasian yang baikd. Bagi Institusi PendidikanDapat menambah informasi tentang kelainan alergi obat serta dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi ini.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Alergi adalah suatu reaksi abnormal jaringan terhadap berbagai substansi yang secara normal tidak berbahaya bagi individu pada umumnya.Istilah alergi berasal dari bahasa Yunani (Allos= yang lain, suatu penyimpangan dari cara biasa; ergon= kerja). Sehingga semua keadaaan penderita yang menyimpang dari reaksi imun biasa dinamakan alergi, seperti keadaan penderita yang mengalami reaksi terhadap toksin, serbuk sari atau urtikaria yang disebabkan oleh makanan tertentu.

2.2 Patofisiologi dan Etiologi

Patofisiologi

Ada dua macam mekanisme yang dikenal dalam perjalanan terjadinya reaksi alergi obat. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya alergi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolism tubuh.Tabel. Reaksi imunologis dan non imunologisRiedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp1. Mekanisme Imunologis

Berdasarkan mekanisme imunologis perjalanan terjadinya reaksi alergi obat dibagi menjadi beberapa tipe:Tipe I (Reaksi anafilaksis)

Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Perjalanan pertama dari obat dalam tubuh tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.Tipe II (Reaksi Autotoksis)

Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah perjalanan terhadap antigen. 2. Mekanisme Non Imunologis

Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuseEtiologi

Reaksi alergi disebabkan oleh adanya benda asing atau alergen yang masuk ke dalam tubuh. Alergen bersifat antigenik, artinya menyebabkan pembentukan antibodi atau mempunyai kemampuan untuk menginduksi respon imun. Jika jaringan orang yang rentan berulang kali terpapar dengan alergen, seperti mukosa nasal terhadap serbuk sari, maka dapat mengakibatkan jaringan ini tersensitisasi sehingga terjadi pembentukan antibodi. Dan pada pemaparan berikutnya terjadi reaksi antigen-antibodi.Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:

1. Jenis kelaminWanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.

2. Sistem imunitasErupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.3. UsiaAlergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.

4. DosisPemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.

5. Infeksi dan keganasanMortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat.

2.3 Clinical Presentation

Perlu diketahui bahwa alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;a) Urtikaria

Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritema disertai edema akibat tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema. Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam. Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam jangka waktu satu jam saja sudah dapat menimbulkan urtikaria.Gambar. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

b). Eritema

Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut eritema skarlatiniformis.c). Dermatitis medikamentosa

Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan simetris. d). Purpura

Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat.e). Alergi eksantematosa

Lebih dari 90% alergi obat yang ditemukan berbentuk alergi eksantematosa. gejala yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Alergi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Alergi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan.Alergi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena T sel dapat menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten.

Tabel. Beberapa obat yang dapat menimbulkan alergi eksantematosa.

Sumber: Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdfGambar. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh penggunaan obat golongan sefalosporin.

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

f). Eritema nodosum

Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor tungkai bawah. g). Eritroderma

Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada umumnya yang biasanya disertai eritema dan skuama. Pada penderita alergi obat terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium penyembuhan.

h). Alergi pustuler

Ada jenis alergi pustular, pertama alergi akneiformis dan kedua Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).

i). Alergi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan actinomisin. Alergi timbul pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo.ii). Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi (>380C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat jarang terjadi.

i). Alergi bulosa

Alergi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus (dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan golongan thiol). fixed drug eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ (Sindrom Stevens-Johnson) dan NET (Nekrolisis Epidermal Toksik)

Pengelompokan alergi yang timbul berdasarkan waktu

SegeraCepatLambatSangat lambat

Urtikaria

Hipotensi

Asthma

Edema larynx

Urtikaria

Erupsi morbiliform

Edema larynxUrtikaria

Exanthema

Serum siekness

Drug fever

Anemia hemolitik

Thrombositipenia

Granulositopenia

Sindroma Steven Johnson

Payah ginjal akut

Sindroma lupus

Cholestatica jaundice

2.4 Diagnosis

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya gejala harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami reaksi alergi obat yang bersifat sistemik.Dasar diagnosis untuk kondisi alergi obat adalah:1. Anamnesis yang teliti mengenai:

a. Obat-obatan yang dipakai

b. Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat

c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.

2. Kelainan kulit yang ditemukan:

a. Distribusi : menyeluruh dan simetris

b. Bentuk kelainan yang timbul

Tabel. Rangkuman penilaian yang harus dilakukan

Karakteristik klinis

Tipe lesi primer

Distribusi dan jumlah lesi

Keterlibatan membran mukosa

Tanda dan gejala yang timbul: demam, pruritus, perbesaran limfonodus

Faktor kronologisCatat semua obat yang dipakai pasien dan waktu pertama pemakaiannya

Waktu ketika timbulnya alergiInterval waktu saat pemberian obat dengan munculnya alergi kulit

Respon terhadap penghentian agen yang dicurigai menjadi penyebab

Respon saat dilakukan pemaparan kembali

LiteraturData yang dikumpulkan oleh perusahaan obat

Daftar pemakaian obat dengan peringatan

Bibliografi obat

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah: 9

1. Pemeriksaan in vivo

o Uji tempel (patch test)

o Uji tusuk (prick/scratch test)

o Uji provokasi (exposure test)

2. Pemeriksaan in vitro

a. Yang diperantarai antibodi:

o Hemaglutinasi pasif

o Radio immunoassay

o Degranulasi basofil

o Tes fiksasi komplemen

b. Yang diperantarai sel:

o Tes transformasi limfosit

o Leucocyte migration inhibition testPemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari terjadinya reaksi alergi obat.2.5 Desired Outcome

Menghentikan segera pemberian obat yang diduga menjadi penyebab alergi.

Mencegah pelepasan mediator sel mast secara langsung,seperti histamin, bradikinin, serotonin, heparin dll Mengatur metabolisme enzim asam arachidonat sel

Mencegah pembentukan komplek antigen-antibodi, jika sudah terbentuk diharapkan obat yang mampu mencegah pengendapan komplek tersebut

2.6 Algoritma Treatment Penanganan terhadap reaksi alergi obat dapat dilakukan secara Farmakologi dan non farmakologi.A. Farmakologi

1. Sistemik

a. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA karena reaksi alergi obat. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama. b. Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid. 2. Topikal

Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10%. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.

B. Non Farmakologi Melindungi kulit khususnya, dengan tidak memberikan atau menghentikan penggunaan obat yang diduga menjadi penyebab alergi Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya alergi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan.

Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok. Pengobatan erythema multiforme major, SSJ dan NET pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita

Bila diperlukan dapat menggunakan jenis sabun khusus dn sunscremAlgotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana reaksi alergi obat

Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp2.7 Evaluation of Therapeutic

Evaluasi dari pengobatan yang sudah diberikan dapat dikontrol meliputi:Jumlah dan ukuran Lesi, pruritus, perbesaran limfonodus, kondisi membran mukosa dan demamBAB III

KESIMPULAN

Reaksi alergi obat atau allergic drug reaction ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.

Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya reaksi obat adalah jenis kelamin, sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan.

Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis.

Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang dikemukakan oleh Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat).

Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast secara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata diffuse.

Morfologi alergi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, alergi eksantematosa, eritroderma, reaksi alergi pustuler, dan alergi bulosa.

Pemeriksaan penunjang alergi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in vivo. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik in-vitro yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin.

Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin.

Evaluasi terapi alergi obat sangat tergantung pada luas permukaan kulit yang terkena.DAFTAR PUSTAKA

1. ERUPSI ALERGI OBAT,Oleh: Harry Wahyudhy Utama, S.Ked, Dedy Kurniawan, S.Ked FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA. PALEMBANG. 2007

2. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352

3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf4. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp5. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K.. 1993. Access on: June 3, 2007. Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf6. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht

7. Docrat ME. Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & Clinical Immunology. No.1. Volume 18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June 3, 2007. Available at: www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf