Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
-
Upload
putri-hardyanti -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
1/26
MAKALAH TUTORIAL
KASUS KE – 3
RHINITIS
DISUSUN OLEH :
TUTORIAL A-2
NUR KHAIRANI ACHMAD 1310211007
TIRA KURNIATI 1310211025
RYANTINO IRDAN 1310211058
JEANNE d'Arc DYANCHANA 1310211076
IRMA RIZKI HIDAYATI 1310211103
IBNU WADUDU PUJANGGA 1310211107
WIDYA NOVIT AMANDA 1310211110
SYIFA SILVIYAH 1310211125
PUTRI HARDYANTI 1310211142
ANNISA FIRIZQI NAHILA 1310211199
HESTI HERLINAWATI 1310211203
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
TAHUN 2016
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
2/26
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tutorial kasus mengenai rhinitis guna sebagai bahan
pembelajaran bagi kami dan untuk bahan penilaian terhadap kami.
Tak ada gading yang tak retak, begitupun hal yang kami tuangkan dalam
makalah kami mohon dimaafkan dengan memberikan kritik dan saran yang
membangun. Terima kasih.
Penulis
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
3/26
Rinosinusitis
1. Definisi
Rinosinusitis adalah istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan
sinus paranasal.
2. Anatomi
Sinus paranasal adalah pneumonitisasi dari tulang-tulang kepala sehingga membentuk rongga
udara yang berada di sekitar hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat rongga di setiap sisi
wajah. rongga ini mulai dari yang terbesar adalah sinus maksilaris, sinus frontal, sinus ethmoid
dan sinus sphenoid.
2.1. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-
8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu
15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita
dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum
etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
- Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
- Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
- Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik,
lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
4/26
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
5/26
Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal
adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.
2.3. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap
paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang
dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di
bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan
terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga
orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.
2.4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya,
dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
6/26
berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons.
2.5. Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid
dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila
3. Fisiologis
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Beberapa
pendapat
3.1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udarainspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang
definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi
dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
3.2. Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3.3. Membantu keseimbangan kepala
Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
3.4. Membantu resonansi suara
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
7/26
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan
besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
3.5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
3.6. Membantu produksi mucus
Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari
meatus medius, tempat yang paling strategis.
4. Pemeriksaan
4.1. Inspeksi
Yang diperhatikan adalah pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak
mata bawah yag berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukan sinusitis maksila akut.
Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid
akut jarang menyebabkan pembengkakan diluar, kecuali bila telah terbentuk abses
4.2. Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada
sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu oada bagian medial atap orbita.
Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.
4.3. Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk memeriksa
sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.
Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan
transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di
dalam sinus maksila.
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
8/26
Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini
seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal,
sedangkan gambaran yang gelap mungkin hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.
4.4. Pemeriksaan Radiologik
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal,maka dapat dilakukan pemeriksaan
radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P.A, dan lateral. Posisi Waters terutama
untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior anterior
untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan
CT-scan.
4.5. Sinuskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukkan melalui
lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fossa kanina.
Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan
granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka
5. Etiologi dan KlasifikasiTerjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi
(dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat
terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam.
Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi hidung,
hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi.Rinosinusitis ini sering bermula dari infeksi
virus pada selesma, yang kemudian karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi
bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab
lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi fraktur dan tumor.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada rhinosinusitis akut adalah
Streptococcus pneumonia (30-50%) Haemophylus Influenzae (20-40%) dan Moraxella
catarrhalis (4%). M.catarrhalis lebih banyak ditemukan pada anak.
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
9/26
6. Diagnosa
6.1. Anamnesa
Terdapat 2 gejala mayor yang salah satunya adalah purulent atau obstruksi
Atau 1 gejala mayor yang salah satunya adalah purulent atau obstruksi diikuti 2 gejala minor
6.2. Pemeriksaan
Nyeri tekan pada sinus yang terkena (maksila, frontal)
Rhinoskop ditemukan pus
- Meatus medius : maksila, etmoid anterior, frontal
- Meatus superior : etmoid posterior, sphenoid
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
10/26
7. Patogenesis
Rhinitis
udem mukosa
ostium menyempit
gangguan drainasePosisi osteum sinus maksilaris lebih tinggi dari dasar sinus maksilaris gangguan drainase
Infeksi gigi menyebar infeksi sinus maksilaris udem gangguan drainase
Gangguan drainase infeksi kuman
8. Terapi
Antibiotik + dekongestan
Antibiotik : Penicilin (amoksisilin) bila curiga resisten tambahakan asam klavulanad atau
sefalosporin generasi 2/3 (cefixime). Berikan selama 10-14 hari
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
11/26
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
12/26
9. Komplikasi
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
13/26
1. Definisi rinitis alergi
Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal yang disebabkan oleh
paparan material alergenik yang terhirup yang kemudian memicu serangkaian respon
imunologik spesifik diperantarai IgE (Bousquet et al , 2008).
2. Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies and Higler ., 1997). Penyebab rinitis alergi tersering
adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Beberapa pasien
sensitif terhadap beberapa allergen sekaligus. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Allergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma
yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker et al., 1994).
3. Patofisiologi rinitis alergi
a. Sensitisasi
Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana ketika suatu
allergen terhirup, maka Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel langerhans pada
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
14/26
epitelium yang melapisi saluran paru-paru dan hidung, akan memproses dan
mengekpresikan alergen tersebut pada permukaan sel. Allergen tersebut kemudian
akan dipresentasikan kepada sel lain yang terlibat dalam respon imun, khususnya sel t-
limfosit. Melalui beberapa interaksi sel spesifik kemudian sel b-limfosit akan
bertransformasi menjadi antibody secretory cell , yaitu sel plasma (Schwinghammer in
DiPiro et al., 2009). Pada respon alergi, sel plasma tersebut memproduksi antibodi IgE
yang seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan dengan allergen spesifik
melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan memasuki sirkulasi, ia akan
berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor afinitas tinggi di sel mast, sementara sisi
reseptornya yang bersifat spesifik terhadap allergen akan siap untuk berinteraksi
dengan allergen pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu
mengekspresikan reseptor afinitas tinggi kepada IgE antara lain adalah basofil, sel
langerhans, dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibodi IgE yang bersifat allergen-
spesific inilah yang menimbulkan respon imun yang disebut sensitisasi (World Allergy
Organization, 2003).
b. Reaksi alergi fase cepat
Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak
kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini
yaitu histamin, triptase, dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2), dan
bradikinin. Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh
darah dan dilatasi dari anastomosis arteri yang menyebabkan terjadi edema,
berkumpulnya darah pada karvenous sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
15/26
tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan
sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).
c. Reaksi alergi fase lambat
Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan oleh
mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel post-kapiler yang
menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) di mana molekul ini
menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada dinding endotel. Faktor
kemotaktik seperti interleukin-5 (IL-5) menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast,
limfosit, neutrofil, dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi
teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsivitas
hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan
hidung (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).
4. Klasifikasi rinitis alergi
Rinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Rinitis alergi :
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
16/26
disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh hidung.
b. Rinitis non-alergi :
disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rinitis non-alergi dibagi lagi menjadi tiga,
yaitu rinitis vasomotor, rinitis medicamentosa, dan rinitis struktural.
1) Rinitis vasomotor
Merupakan tipe rinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas pada saluran
pernapasan bagian atas terhadap faktor pemicu eksternal non-spesifik, seperti
perubahan suhu dan kelembaban, asap rokok, atau aroma tajam. Simptom yang sering
muncul pada tipe ini adalah inflamasi nasal (sebagian kecil pasien), hiperreaktivitas
parasimpatik dan/atau glandular.
2) Rinitis medicamentosa
Rinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada pasien yang
menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis. Belum diketahui dengan jelas
penyebabnya, namun vasodilatasi dan edema intravaskular telah menjadi implikasi
utamanya. Penanganan rinitis medicamentosa membutuhkan penghentian penggunaan
nasal dekongestan untuk memulihkan kondisi nasal, lalu diikuti dengan terapi sesuai
dengan simptom yang timbul. 3) Rinitis stuktural Rinitis tipe ini disebabkan oleh adanya
kelainan anatomi hidung yang diakibatkan oleh injury (kecelakaan), congenital (kelainan
bawaan), maupun kelainan tumbuh-kembang. Pasien rinitis tipe ini dapat mengalami
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
17/26
simptom rinitis kapan saja dalam setahun dan biasanya keparahannya lebih tinggi pada
salah satu sisi hidung dibanding sisi lainnya (Northern Nevada Allergy Clinic, 2006). c.
Rinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1) Seasonal (hay fever) Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti
pollen, rerumputan, dan alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap tahunnya
(musim semi dan/atau gugur) dan umumnya memicu simptomsimptom akut lebih
banyak.
2) Perrenial (interm ittent or p ersisten t) Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun,
sebagai respon terhadap allergen non-musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur,
dan biasanya menimbulkan simptom yang lebih kronis.
a) Interm ittent Seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila gejala
rinitis yang ia alami terjadi kurang dari 4 hari tiap minggunya, atau terjadi selama tidak
lebih dari empat minggu berturut-turut.
b) Persis tent Sedangkan seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila
gejala rinitis yang ia alami terjadi lebih dari 4 hari tiap minggunya, dan terjadi selama
lebih dari empat minggu berturutturut.
3) Occupat ional Rinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di
tempat kerja, misalnya paparan terhadap agen dengan bobot molekul tinggi, agen
berbobot molekul rendah, atau zat-zat iritan, melalui mekanisme imunologi atau
patogenik non-imunologi yang tidak begitu diketahui (Ikawati, 2011).
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
18/26
5. Diagnosis rinitis alergi
a. Gejala dan tanda
Seseorang dapat diduga menderita rinitis alergi bila mengalami dua atau lebih dari
gejala-gejala rinore anterior dengan produksi air berlebih, bersin-bersin, obstruksi nasal,
rasa gatal atau pruritis pada hidung, atau konjungtivitis (jarang) selama lebih dari satu
hari (Bousquet et al., 2008).
b. Pemeriksaan fisik
Pada anak, hasil pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan adanya lingkaran hitam di
bawah mata (allergic shiners), adanya luka pada daerah hidung yang disebabkan
karena seringnya anak menggosok hidung, pernapasan adenoidal, edema nasal yang
dilapisi dengan lendir jernih, serta pembengkakan periorbital. Simptom fisik lebih susah
diamati pada orang dewasa (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya menunjukkan jumlah eosinofil
yang sangat banyak. Penghitungan eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi
sifatnya kurang spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST)
dapat digunakan untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
19/26
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
20/26
Gambar 1. Tatalaksana Terapi Rinitis Alergi (Bousquet et al., 2008)
a. Tujuan terapi
1) Meningkatkan kualitas tidur
2) Meningkatkan performa pasien di tempat kerja atau sekolah 3) Menghilangkan
gejala-gejala yang mengganggu aktivitas 4) Menghilangkan atau meminimalkan efek
samping terapi
b. Strategi terapi (farmakologi dan non-farmakologi)
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
21/26
1) Terapi non-farmakologi
Salah satu terapi alergi adalah pencegahan terhadap paparan
allergen. Namun, pencegahan alergi tidak mudah, apalagi jika
allergen penyebabnya belum bisa dipastikan. Rumah harus kerap dibersihkan, tidak
boleh memelihara binatang, sebaiknya tidak menggunakan bantal atau kasur kapuk
(diganti dengan busa atau
springbed ) dan sebaiknya tidak menggunakan karpet. Jika memungkinkan, perlu
digunakan penyaring udara berupa Air Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate
Air (HEPA) filter. Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim penyerbukan, dan
gunakan masker pada saat berkebun (Ikawati, 2011).
2) Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan mengurangi atau
meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain adalah: antihistamin,
dekongestan nasal, kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan kromolin (Ikawati,
2011).
7. Obat-obat yang digunakan
a. Oral antihistamin (H1-blocker )
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
22/26
H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir histamin pada
reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejalagejala rinitis yang diperantarai
oleh histamin, seperti rinore, bersin, hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi
kurang efektif untuk mengatasi hidung tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman
untuk anak-anak. Oral antihistamin generasi pertama menimbulkan efek samping yang
signifikan akibat sifat sedatif dan antikolinergiknya (ARIA, 2008). Contoh obat golongan
ini antara lain adalah cetirizin, loratadin, dan fexofenadin.
b. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular)
Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya diadministrasikan dalam
mengatasi gejala hidung gatal, kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin. Intraokular
H1-antihistamin efektif dalam mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat
golongan ini adalah sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008).
Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan olopatadin.
c. Lokal glukokortikosteroid
Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam
penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat golongan ini adalah
metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain sebagainya. Keuntungan
menggunakan intranasal glukokortikosteroid untuk penanganan rinitis alergi adalah
konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa adanya efek
sistemik yang tidak diinginkan. Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala
rinitis alergi maupun gejala-gejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan gejala-
gejala lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah first line therapy yang
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
23/26
direkomendasikan di atas obat golongan lain. Melihat dari mekanisme aksinya, efek
obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian, namun efikasi maksimum
kemungkinan baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).
d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak merespon terhadap
obat-obatan lain atau intoleran terhadap sediaan intranasal, perlu ditangani dengan
glukokortikosteroid sistemik (misal: prednisolon) jangka pendek. Glukokortikosteroid
dapat diberikan dalam sediaan oral ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon).
Pemberian jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat menimbulkan efek
samping sistemik yang bermakna. Penggunaan intramuskular glukokortikosteroid tidak
disarankan (Bousquet et al., 2008).
e. Lokal kromon (intranasal, intraokular)
Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena bekerja dengan
mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, termasuk histamin. Contoh
obat golongan ini adalah kromoglikat dan nedokromil. Efek sampingnya yang paling
sering adalah iritasi lokal yaitu bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung
(Ikawati, 2011).
f. Dekongestan
Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi pada reseptor α-
adrenergik pada hidung yang menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
24/26
membengkak, dan memperbaiki pernapasan. Contoh obat golongan ini antara lain
adalah pseudoefedrin dan oxymetazolin (intranasal). Penggunaan agen topikal yang
lama dapat menyebabkan rinitis medicamentosa, oleh karena itu durasi terapi dengan
dekongestan topikal sebaiknya dibatasi 3-5 hari. Sedangkan dekongestan oral secara
umum tidak direkomendasikan, karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak
memiliki efek samping (Ikawati, 2011).
g. Intranasal antikolinergik
Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik, efektif untuk pasien rinitis
alergi maupun non-alergi, yang menderita gejala rinore. Efek samping topikal jarang
ditemui, dan intensitasnya bersifat dose-dependent (Bousquet et al., 2008). Contoh
obat golongan ini adalah ipratropium.
h. Antileukotrien
Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh obat golongan ini
adalah montelukast, pranlukast dan zafirlukast. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa obat ini lebih efektif ketimbang placebo dan setara dengan oral H1-antihistamin,
tetapi kurang unggul dibanding intranasal glukokortikosteroid dalam menangani rinitis
alergi seasonal (Bousquet et al., 2008)
i. Imunoterapi Imunoterapi
Terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya
efektif jika allergen spesifiknya diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen
yang dianggap dapat memicu timbulnya gejala alergi. Imunoterapi diindikasikan bagi
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
25/26
pasien yang tidak mempan terhadap farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan
penghindaran allergen, dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi
dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak stabil, penyakit paru
atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas dan kanker serta ibu hamil,
karena beresiko menyebabkan reaksi anafilaksis sistemik pada janinnya (Ikawati,
2011).
-
8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis
26/26
DAFTAR PUSTAKA
Adam,Boies, Higler,2012, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta
Aring, A, 2011, Acute Rhinosinusitis in Adults diakses tanggal 20-01-2016http://www.aafp.org/afp
Bacher, C , 2014, Crhonic Rhinosinusitis, diakses tanggal 20-01-2016
http://www.waojournal.org/content/7/1/25
Soepardi, E, Iskandar, N, Bashirudin, J, Restuti, R, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi 6, FKUI, Jakarta