Makalah

39
Tinjauan Pustaka Epilepsi Tonik Klonik dan Penanganannya Ervin Pratiwi Pasang NIM : 102011389/F5 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Pendahuluan Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki- laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit susunan saraf pusat (SSP) yang timbul akibat adanya ketidakseimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidakseimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). 1

description

yes

Transcript of Makalah

Tinjauan Pustaka

Epilepsi Tonik Klonik dan Penanganannya

Ervin Pratiwi Pasang

NIM : 102011389/F5

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Pendahuluan

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua

bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat

pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah

tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Epilepsi merupakan salah satu penyakit

neurologis yang utama.

Pada dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit susunan saraf pusat (SSP) yang timbul

akibat adanya ketidakseimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidakseimbangan polarisasi listrik

tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan

muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak.

Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi

psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi,

stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).

Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan

interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka memiliki risiko lebih

besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsi.

Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan

perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang

muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat

tentang penderita epilepsi.

Tujuan pembuatan makalah ini adalah penulis ingin mengetahui kapan seseorang

dikatakan terkena epilepsi, bagaimana manifestasi klinisnya, dan bagaimana penanganan yang

tepat untuk penderita epilepsi.

1

Anamnesis

Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit pasien merupakan hal yang

penting. Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya.

Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung bahkan kadang-

kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa.

Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu dalam bentuk

serangan. Di luar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke

dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya kecuali

dengan bantuan laporan yang dikemukakan oleh penderita dan orang yang menyaksikannya. Hal

ini dijumpai pada penderita epilepsy.

Pada skenario seperti kita ketahui laki-laki berusia 23 tahun mengalami kejang.

Anamnesis yang dapat kita tanyakan antara lain apa keluhan utama yang membuat pasien ke

rumah sakit, dan hal itu berlangsung sudah sejak kapan. Kemudian tanyakan riwayat penyakit

sekarang seperti:

Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan dapat

memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.1

Apakah pasien mengalami  semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu

serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien

menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila

muncul sebelum  serangan kejang parsial sederhana  berarti ada fokus di otak. Sebagian “

aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi

lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di

lambung. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin  dialami oleh pasien dengan

epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal

ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh

pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.

Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan serangan

kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan

ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan

kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal

2

serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah

pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip

berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism”   pada satu sisi ?

Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien

mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan

kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus

temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada

serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang

berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan

dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang

parsial kompleks.1

Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah serangan

kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah  “post ictal period ” Sesudah mengalami

serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran

yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial

kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“

yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan

kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas

tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.

Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik dan

mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu  terjaga dan pagi hari. Serangan kejang

lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis

biasanya muncul pada waktu malam hari.

Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur,

cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur,  konsumsi

alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental,

suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor

pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam

mencegah serangan kejang.

Bagaimana frekuensi serangan kejang? Informasi ini  dapat membantu untuk mengetahui

bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat  obat anti kejang.

3

Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba

untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan

dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?

Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang

berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara

lengkap.1

Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?  Pertanyaan ini

penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang  ada yang

diawali dengan  “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak

menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang  atau mungkin  ada “aura“ , sehingga

dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk  mengurangi bahaya

terjadinya luka.

Riwayat penyakit dahulu:

o Apakah ada riwayat kejang sebelumnya? Dan apakah ada kejang demam saat masih

kecil? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana  sekitar

2% dan serangan kejang demam kompleks  13 %.

o Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? Atau

penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang.

Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.

o Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra

serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?

o Apakah ada riwayat tumor otak?

o Apakah ada riwayat stroke? 1

Riwayat sosial

o Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya?  Pasien epilepsi yang seragan

kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan

pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak

terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan  pekerjaan adalah merupakan

suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan  memilih bekerja dikantoran,

4

sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja

di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan

penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak

membahayakan dirinya.

o Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang

serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran  sebaiknya tidak

mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun

masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien

epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.1,2

o Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan

kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi

dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan

kejang khususnya sesudah minum alkohol .1,2

o Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom

epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik

dimana manifestasinya adalah serangan kejang.

o Riwayat pengobatan. Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi,

perlu ditanyakan bagaimana  kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan

berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek

sampingnya.1,2

Pemeriksaan Fisik.

Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah melakukan pemeriksaan TTV, kemudian

mengamati keadaan umum pasien, dan melihat serta menentukan tingkat kesadaran pasien.

Setelah itu, mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol, atau

obat terlarang, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), kanker, dan defisit neurologik fokal atau

difus. Yang kedua adalah melakukan pemeriksaan neurologis. Hasil yang diperoleh dari

pemeriksaan neurologik sangat bergantung pada interval antara saat dilakukanya pemeriksaan

dengan bangkitan terakhir. Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka

akan tampak tanda pasca-iktal terutama tanda fokal seperti Todd’s paresis, transient aphasic

5

symptoms, yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi. Jika dilakukan pada beberapa

waktu setelah bangkitan terakhir berlalu, sasaran utama adalah untuk menentukan apakah ada

tanda-tanda disfungsi sistem saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang apakah

ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.1

Pada pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik umum dan neurologik, yang bertujuan

mencari :

1. Gejala penyakit yang sering disertai bangkitan epilepsi.

2. Defisit neurologis yang mungkin menerangkan suatu cacat otak yangepileptogen

3. Adanya cedera yang mungkin disebabkan kehilangan kesadaran saatbangkitan epilepsi.

Pemeriksaan fisik pada kelainan atau gangguan neurologis, mencakup beberapa

pemeriksaan yaitu, pemeriksaan umum, harus diberikan untuk mencegah dan mengatasi 5H,

yaitu hipoksia otak, hipotensi, hipoglikemia, hipertermia, dan herniasi di otak. Pemeriksaan

umum ini mencakup, gejala vital, kulit, kepala, toraks, jantung, paru, abdomen, dan ekstremitas.

Pemeriksaan neurologis, pada tiap penderita koma atau kesadaran menurun harus dilakukan

pemeriksaan neurologis. Dengan pemeriksaan ini sering dapat diungkapkan penyebab koma.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin kuat rangsang yang dibutuhkan untuk

membangkitkan jawaban, semakin dalam penurunan tingkat kesadaran. Untuk memantau

perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow, yang memperhatikan

respons (tanggapan) penderita terhadap rangsang. Selain itu, perlu juga diperiksa keadaan

respirasi, pupil mata, gerakan bola mata, funduskopi, dan motorik. 2

Pemeriksaan neurologis, meliputi, pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf

otak, sistem motorik, sistem sensorik refleks, dan pemeriksaan mental (fungsi luhur). Dalam

memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi dan bila perlu

memberikan rangasang nyeri. Tingkat kesadaran terdiri dari kesadaran normal (compos mentis),

somnolen, spoor (stupor), koma-ringan, koma (koma dalam).3

Rangsang selaput otak, adapun tes yang dapat dilakukan adalah, tes kaku kuduk,

dilakukan dengan cara tangan pemeriksa berada di bawah kepala pasien yang sedang berbaring,

kemudian kepala pasien difleksikan dan diusahakan agar dagu mencapai dada, perhatikan adanya

tahanan (biasanya akan positif pada penyakit meningitis). Tanda Lasegue, dilakukan dengan

keadaan pasien yang berbaring, kedua tungkainya diluruskan (ekstensi), kemudian satu diangkat

lurus (dibengkokkan di sendi panggulnya), sementara tungkai yang lainya dalam posisi lurus.

6

Pada keadaan normal, dapat dicapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit dan tahanan, jika

timbul sebelum 70 derajat, berarti lasegue positif. Tanda lasegue positif pada keadaan, rangsang

selaput otak, isialgia, iritasi pleksus lumbosakral (hernia nukelosus pulposus lumbalis). Tanda

Kernig, penderita yang berbaring, difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai

membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.

Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan tungkai

atas. Tanda kernig positif pada, rangsang selaput otak, dan iritasi akar lumbosakral atau

pleksusnya (HNP-lumbal). Pada meningitis tandanya positif bilateral, sedangkan pada HNP-

lumbal dapat unilateral. Tanda Brudzinski, tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala

pasien yang sedang berbaring, ditekukkan sejauh mungkin, sampai dagu pasien menyentuh dada.

Bila positif, tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua tungkai.

Pemeriksaan saraf otak (kranial), biasanya diperiksa secara berlebihan pada pasien yang

tidak mempunyai gejala neurologis:3

Saraf kranial I, kecuali jika terdapat trauma kepala, keadaan indra penghidu pasien

mungkin tidak perlu dipertanyakan.

Saraf kranial II, pemeriksaan visus dan lapang pandang mungkin tidak perlu jika pasien

menjawab bahwa visusnya normal. Pemeriksaan penyaring yang cepat terhadap lapang

pandang adalah meminta pasien menutup salah satu matanya dan melihat hidung Anda

dengan mata yang lain (dari jarak sekitar 12 inci), dan laporkan jika terdapat bagian

daerah wajah Anda yang tidak terlihat. Nilai refleks cahaya dan akomodasi secara rutin,

dan lakukan oftalmoskopi (untuk perubahan akibat hipertensi atau diabetes atau edema

papil dini).3

Saraf kranial III, IV, VI. Nilai gerakan mata dan tanyakan apakah pasien mengalami

diplopia. Cari keberadaan nistagmus (yang dapat asimtomatik).

Saraf kranial V dan VII. Minta pasien untuk membuka mulutnya (memeriksa otot

pterigoideus) dan kemudian menggertakkan giginya (memeriksa otot masseter). Karena

hampir semua pasien memperlihatkan giginya ketika menggertakkan giginya, hal ini

secara efektif menguji fungsi saraf VII (jika tidak ada kelemahan mulut, sangat tidak

mungkin terdapat kelemahan otot dahi). Sensasi wajah, refleks hentak rahang atau refleks

kornea tidak mungkin abnormal pada pasien yang tidak mempunyai gejala neurologis.

7

Saraf kranial VIII. Tutup masing-masing telinga secara bergantian dan uji pendengaran

dengan memberikan pertanyaan secara berbisik yang harus dijawab pasien (dengan

menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai hal ini dapat juga merupakan cara yang

halus untuk meguji orientasi, waktu, tempat, dan orang).

Saraf kranial IX, X, dan XII

Uji ketiga saraf ini secara bersamaan dengan memperhatikan artikulasi dan fonasi pasien.

Refleks muntah tidak mungkin abnormal jika kemampuan menelan normal dan sebaiknya

diabaikan. Pada setiap kasus, tenggorokan harus dilihat sebagai bagian dari pemeriksaan

umum dan sentralitas letak uvula harus diperhatikan sebelumnya sewaktu memeriksa

status neurologis lidah.

Saraf kranial XI

Rotasi kepala dapat juga dinilai secara bersamaan pada saat memeriksa tenggorokan.

Pemeriksaan motorik, yaitu pemeriksaan yang dilakukan pada bagian yang dapat

bergerak, mencakup, inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerakan pasif, pemeriksaan gerakan aktif,

dan koordinasi gerak. Pada inspeksi, perlu diperhatikan sikap, bentuk (perhatikan adanya

deformitas), ukuran (atrofi dan hipertrofi), dan adanya gerak abnormal yang tidak dapat

dikendalikan (tremor, khorea, distonia, spasme, dll.). Palpasi, dapat menentukan konsistensi

tonus otot ataupun adanya nyeri tekan pada bagian anggota gerak ataupun badan. Pemeriksaan

gerakan pasif, penderita yang akan diperiksa sebaiknya mengistirahatkan ekstremitasnya. Bagian

ekstremitas tersebut, digerakkan oleh pemeriksa, dan dinilai tahanannya.

Dalam keadan normal tidak ditemukan tahanan yang berarti. Pemeriksaan gerakan aktif,

pemeriksa dalam hal ini, menilai kekuatan (kontraksi) otot. Untuk memeriksa adanya

kelumpuhan, dapat digunakan 2 cara berikut, (1) Pasien disuruh menggerakkan bagian

ekstremitas atau badannya dan kita menahan gerakan ini, (2) Pemeriksa menggerakkan bagian

ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan. Dalam praktek sehari-hari, tenaga otot

dinyatakan dengan menggunakan angka dari 0-5 (0 berarti lumpuh sama sekali, dan 5 = normal).

Otot yang biasanya di tes adalah, otot deltoid, otot biseps, triseps, pergelangan tangan, dan jari-

jari tangan.

Pemeriksaan koordinasi, dilakukan untuk menilai adanya gangguan atau lesi di

serebelum, yaitu kurangnya koordinasi (dissinergia), biasanya dilakukan dengan percobaan

tunjuk hidung.2 Tonus dan kekuatan ekstremitas atas dapat dinilai dengan meminta pasien untuk

8

mempertahankan lengannya dalam keadaan terentang selama sekitar 20 detik. Kemudian pasien

diminta untuk “menahan tekanan yang Anda lakukan pada ekstremitasnya ke bawah atau ke

atas”, sementara pemeriksa menekan ujung jari jemari tangan pasien yang terentang (untuk

memeriksa kekuatan) dan kemudian pemeriksa secara tak terduga melepaskan tahanan tangannya

untuk melihat adanya reaksi berlebihan yang menunjukkan adanya hipotonia. Jika terdapat

kelainan, pemeriksaan yang lebih ketat diperlukan.

Pemeriksaan sistem sensorik, mencakup superfisial (eksteroseptif), atau protektif (yang

mengurus rasa raba, nyeri, suhu), sensasi proprioseptif (sensasi dalam, mencakup rasa

gerak/kinetic, rasa sikap/statognesia dari otot dan persendian, rasa getar, rasa tekan-dalam, rasa

nyeri-dalam otot), sensasi viseral dihantar melalui serabut otonom aferen (mencakup rasa lapar,

enek, dan rasa nyeri pada visera), sensasi khusus, yaitu menghidu, melihat, mendengar,

mengecap, dan keseimbangan yang diatur oleh saraf otak tertentu. 2Gejala sensorik positif

(kesemutan, disestesia, parestesia) dan negatif (mati rasa) bisa menggambarkan patologi di mana

saja yang ada di jalur sensorik.

Pemeriksaan status mental, dapat diperiksa hal-hal berikut, yaitu tingkat kesadaran, atensi

(pemusatan perhatian), orientasi (orang, tempat, waktu), berbahasa, memori, pengetahuan umum,

berhitung, abstraksi, gnosia, praksia, dan respons emosional.3 Dari pemeriksaan fisik yang

dilakukan didapatkan hasil tanda-tanda vital dalam batas normal (tekanan darah 120/80 mmHg,

suhu 380C, napas 19x/menit, nadi 88x/menit), dan pemeriksaan saraf kranial, sensorik, motorik

dan refleks-refleks dalam batas normal.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Electro-encephalography (EEG).

EEG paling berguna dalam mengevaluasi pasien dengan epilepsi yang dicurigai. Adanya

aktivitas kejang elektrografik seperti aktivitas ritmik, berulang, dan abnormal mempunyai gejala

dan terminasi tiba-tiba, menegakkan diagnosis secara jelas. Gambaran EEG juga digunakan

dalam mengklasifikasikan gangguan kejang dan terapi anti kejang yang sesuai untuk pasien.

Gambaran pada EEG rekaman kepala rutin dapat menunjukkan prognosis gangguan kejang; pada

umumnya EEG normal menggambarkan prognosis yang lebih baik dibandingkan yang lain,

sedangkan latar belakang abnormal atau aktivitas epileptiformis profus mendukung pandangan

jelek. Rekaman EEG dapat membedakan kejang fokal yang disertai generalisasi sekunder dengan

9

kejang generalisata primer dan terutama berguna pada diagnosis banding hilangnya kesadaran

yang singkat. Gambaran EEG tidak membantu menentukan pasien mana dengan trauma kepala,

stroke, atau tumor otak akan menjadi kejang, karena pada keadaan ini, aktivitas epileptiformis

sering dialami tanpa memandang apakah terjadi kejang.

Gambaran EEG kadang digunakan untuk menentukan apakah pengobatan anti kejang

dapat dihentikan pada pasien epileptik yang menderita kejang bebas selama beberapa tahun,

tetapi penemuan memberikan penuntun umum terhadap prognosis; kejang lanjutan dapat terjadi

setelah penghentian pengobatan anti kejang walaupun EEG normal atau kebalikannya, tidak

terjadi walaupun abnormalitas EEG terus terjadi. Keputusan untuk menghentikan terapi anti

kejang dibuat dengan dasar klinis, dan EEG tidak mempunyai peranan berguna pada konteks ini

kecuali untuk memberikan penuntun bila terdapat keraguan klinis atau pasien memerlukan

keyakinan mengenai perjalanan penyakit.

EEG tidak mempunyai peranan dalam penatalaksanaan status epileptikus klonik-tonik

kecuali bila terdapat ketidakpastian klinis apakah kejang terus terjadi pada pasien koma.

Rekaman EEG pada pasien dengan kejang tonik-klonik memperlihatkan aktivitas cepat dan

bervoltase rendah (10Hz atau lebih) selama fase tonik, yang secara bertahap berubah menjadi

gelombang tajam besar yang lebih lambat, di seluruh kedua hemisfer. Selama fase klonik,

terdapat ledakan gelombang tajam yang berhubungan dengan kontraksi otot yang ritmik dan

gelombang lambat yang bersamaan dengan masa pause. Seringkali aktivitas otot eksesif pada

kejang menyebabkan artifak yang mempengaruhi perekaman EEG iktal. Secara interiktal, EEG

sering abnormal, dengan polyspike dan gelombang atau kadang-kadang timbulnya gelombang

lambat dan tajam; EEG interiktal juga dapat normal.4

Baku emas untuk diagnosis epilepsy adalah pemantauan video EEG secara simultan yang

mengaitkan temuan EEG dengan serangan. Pasien dipantau 24 jam dengan radiotelemetri.

Elektroda ditanam dan dihubungkan ke suatu alat telemetri yang di pasang di kepala pasien.5

Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)

Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam mendeteksi lesi

epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologik dapat

terdiagnosis secara non-invasif, misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma,

malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepihelial tumor). Ditemukannya lesi-lesi

10

ini menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter terhadap OAE. Funtional brain imaging

seperti Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Comuted Tomography

(SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam menyediakan

informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional

di otak berkaitan dengan bangkitan.4

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hematologi. Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit,

trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium). kadar gula,

fungsi hati, ureum, kreatinin). Pemeriksaan ini dilakukan pada awal pengobatan, beberapa bulan

kemudian, diulang bila timbul gejala klinik, dan rutin setiap tahun sekali.

Working diagnosis

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien laki-laki, 23 tahun

yang dibawa ke UGD setelah mengalami kejang-kejang yang mendadak kurang lebih 30 detik

dan setelah itu pasien tidak sadarkan diri dengan riwayat kejang satu bulan yang lalu, didiagnosis

menderita epilepsi tonik-klonik.

Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala

tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron

kortikal secara berlebihan. Orang awam biasa menyebutnya penyakit ayan.6 Epilepsi merupakan

kelompok gangguan yang ditandai oleh perubahan fungsi neurologic kronik, rekuren, dan

paroksismal akibat abnormalitas aktivitas elektrik otak. Setiap episode gangguan fungsi

neurologic disebut kejang (seizure). Kejang bisa berupa konvulsif jika disertai dengan

manifestasi motorik atau dapat bermanifestasi dengan perubahan lain pada fungsi neurologik.

Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involunter, dapat timbul karena anoksia

serebri, intoksikasi serebri hysteria atau berbagai manifestasi epilepsi.

Kejang tonik-klonik adalah kejang epilepsi yang klasik, merupakan kejang generalisata

primer atau disebut juga grand mal yang manifestasinya diawali oleh hilangnya kesadaran

dengan cepat dan mendadak, kontraksi otot tonik, hilangnya kendali postural, dan menangis yang

ditimbulkan oleh ekspirasi paksa akibat otot respiratorius. Individu jatuh ke lantai dengan posisi

opistotonik, sering terkena cedera dan tetap kaku selama beberapa detik.4 Epilepsi grand mal

adalah epilepsi yang terjadi secara mendadak, di mana penderitanya hilang kesadaran lalu

11

kejang-kejang dengan napas berbunyi ngorok dan mengeluarkan buih/busa dari mulut. Epilepsi

grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron diseluruh

area otak-di korteks, dibagian dalam serebrum dan bahkan di batang otak dan thalamus, kejang

grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.4

Rekam EEG pada pasien dengan kejang tonik klonik memperlihatkan aktivitas cepat

yang bervoltase rendah (10 Hz atau lebih) selama fase tonik, yang secara bertahap berubah

menjadi gelombang tajam besar yang lebih lambat di seluruh kedua hemisfer. Selama fase

klonik, terdapat ledakan gelombang tajam yang berhubungan dengan kontraksi otot ritmik dan

gelombang lambat yang bersamaan dengan masa pause. Sering kali aktivitas otot eksesif pada

kejang menyebabkan artifak yang mempengaruhi perekaman EEG iktal. Secara interiktal, EEG

sering abnormal, dengan polyspike (atau spike) dan gelombang atau kadang-kadang timbulnya

gelombang lambat dan tajam; EEG interiktal juga dapat normal.4

Klasifikasi jenis epilepsy

Klasifikasi epilepsi dapat didasarkan pada bentuk klinis (jenis bangkitan), penyebab, usia,

gambaran EEG, dan kelainan anatomisnya. International League Againts Epilepsy (ILAE) pada

tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan, ada 2 kategori utama

dalam klasifikasi ini, yaitu Bangkitan Fokal dan BangkitanUmum. Dimana bangkitan fokal

merupakan cetusan epelepsi yang dimulai dari fokusterlokalisir di otak, sedangkan bangkitan

umum adalah cetusan umum terjadi padadaerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.Ada

dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan tahun

1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi

epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):2,5

1. Serangan parsial

o Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)

- Dengan gejala motorik

- Dengan gejala sensorik

- Dengan gejala otonom

- Dengan gejala psikis

o Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

12

- Gangguan kesadaran saat awal serangan

o Serangan umum sederhana

- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik

- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik

- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik

2. Serangan umum

o Absans (Lena): genetic, menatap, melotot, sentakan, regangan saraf, mulai kanak-

kanakdan berhenti saat pubertas.

o Mioklonik: sentakan dan regangan tubuh bagian atas, lengan dan kaki.

o Klonik: sentakan berulang gerakan otot pada kedua belah tubuh.

o Tonik: kekakuan otot pada tubuh (punggung, lengan, kaki).

o Atonik (Astatik): kehilangan tonus otot normal dan jatuh, kepala drop involuntary.

o Tonik-klonik: kekakuan tubuh dan sentakan berulang pada lengan, kaki dan

kehilangan kesadaran.

3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap).

Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena

hanya ada dua kategori utama, yaitu: Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari

fokus yang terlokalisir di otak, dan serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah

yang lebih luas pada kedua belahan otak.2 Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang

dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :

1. Berkaitan dengan letak fokus

Idiopatik

- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike)

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

Simptomatik

- Lobus temporalis

- Lobus frontalis

- Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis

2. Umum

Idiopatik

13

- Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benig

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

- Epilepsi Absans pada anak.

  Etiologi

Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai tipe idiopatik atau simptomatik. Pada epilepsy

idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya suatu lesi sentral. Pada epilesi simptomatik

atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang mendorong terjadinya respon kejang.

Kemungkinan penyebab dari kejang tergantung pada usia pasien dan jenis kejang. Pada bayi,

anoksia atau iskemia sebelum atau selama lahir, trauma lahir intracranial, gangguan metabolik

seperti hipoglikemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia; malformasi kongenital otak; dan

infeksi merupakan penyebab kejang yang paling sering. Pada anak usia muda, trauma dan infeksi

merupakan penyebab tersering epilepsi, meskipun kejang idiopatik (mungkin disebabkan oleh

faktor genetik) menerangkan penyebab mayoritas pasien. Faktor genetik dapat mempengaruhi

perkembangan epilepsi dan juga telah dapat mempengaruhi pola EEG pada umumnya. Anak

muda sekitar 2-5% juga sering menderita kejang dengan penyakit demam. Febris konvulsi ini

merupakan konvulsi tonik-klonik generalisata singkat yang terjadi selama fase awal penyakit

demam pada anak usia 3 bulan dan 5 tahun.

Pada remaja dan dewasa muda, trauma kepala merupakan penyebab utama epilepsy fokal

atau parsial. Pada kelompok umur ini, kejang tonik-klonik generalisata cenderung idiopatik atau

berhubungan dengan penggunaan obat terutama kokain atau dengan penghentian atau

penggunaan alkohol. Antara umur 30-50 tahun tumor otak menjadi penyebab tersering dan dapat

timbul pada 30% pasien dengan kejang fokal baru. pada umumnya, insiden kejang lebih tinggi

dengan berkembangnya tumor otak secara lambat yang mengenai serebrum seperti meningioma

atau glioma derajat rendah, dibandingkan dengan tipe yang lebih ganas. Namun, kejang dapat

terjadi pada seseorang dengan semua jenis lesi massa sistem saraf pusat.

Usia diatas 50 tahun, penyakit serebrovaskuler merupakan penyebab kejang generalisata

atau fokal paling sering. Kejang dapat terjadi akut pada pasien dengan embolus, perdarahan atau

yang lebih jarang thrombosis tetapi lebih sering sebagai sekuele lanjut dari lesi ini. Kejang dapat

juga disebabkan oleh infark serebri pada pasien dengan penyakit serebrovaskuler yang tidak

14

diketahui. Tumor otak, baik primer atau metastasis juga timbulkan kejang pada kelompok usia

yang lebih tua.

Pada semua umur, berbagai penyakit medis dapat menimbulkan gangguan metabolik

yang dapat tampil sebagai kejang. Uremia, gagal hepar, hipo- atau hiperkalsemi, hipo- atau

hiperglikemia, dan hipo- atau hipernatremia dapat disertai kejang mioklonik atau kejang tonik

klonik generalisata. Selain itu, kejang tonik-klonik generalisata dapat terjadi pada orang yang

secara neurologis normal, setelah kekurangan tidur yang tidak berat. Kejang seperti ini juga

dapat terjadi pada orang yang bekerja dua shift, mahasiswa pada waktu musim ujian, dan pada

tentara yang kembali dari masa cuti pendek.4-5

Epidemiologi

Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara

berkembang mencapai 100/100.000. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per

tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan

pada usia lanjut. Diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama

hidup mereka. Dua puncak usia untuk insidensi kejang adalah decade pertama kehidupan dan

setelah usia 6o tahun. Data mengenai insiden kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa

10% orang akan mengalami kejang paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka dan

sekitar 0,3%-0,5% akan didiagnosis mengidap epilepsy (didasarkan pada kriteria dua atau lebih

kejang spontan atau tanpa pemicu. Laporan-laporan spesifik-jenis kelamin mengisyaratkan angka

yang sedikit lebih besar pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Insiden berdasarkan

usia memperlihatkan bahwa pola konsisten berupa angka paling tinggi adalah pada tahun

pertama kehidupan, penurunan pesat menuju usia remaja dan pendataran secara bertahap selama

usia pertengahan untuk kembali memuncak pada usia setelah 60 tahun. Lebih dari 75% pasien

dengan epilepsy mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun; apabila kejang pertama

terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder.5

Patofisiologi

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat

pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya

tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu

15

dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.

Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA

(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam

sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan

fokus epileptogen.

Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron

di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami

muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-

mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu

sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi,

aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya

akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat

manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih

mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika

natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel

sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau

elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi

neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter

aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang

atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang

sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus,

dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum

dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang

memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila

terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.

16

Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam

repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-

aminobutirat (GABA).

Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang

mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.

Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter

aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian

disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama

kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik

dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi

dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah

kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah

dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh

berlebihan) selama aktivitas kejang.5

Pada epilepsi idiopatik tipe grandmal, secara primer muatan listrik dilepaskan olen nuclei

intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti ini merupakan terminal

dari lintasan ascendens aspesifik atau lintasan ascendens ekstralemnsnikal. Input dari korteks

serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali

tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal oleh karena sebab yang belum dapat

Manifestasi klinis

Kejang tonik-klonik yang dahulu disebut grand mal adalah kejang epilepsi yang klasik

diawali oleh hilangnya penurunan kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis,

akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan

posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik (peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku,

kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala

mungkin berputar ke satu sisi dan dapat menyebabkan henti nafas) kemudian klonik (gerakan

menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai atau torso) dan

inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya) disertai disfungsi autonom.6

17

Pada fase tonik, otot-otot berkontraski dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini

berlangsung selama beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot

berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak.

Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin

tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan

kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin

berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar, pasien mungkin tampak

kebingugan, agak stupor (kantuk yang dalam), atau bingung. Umumnya pasien tidak dapat

mengingat kejadian kejangnya.

Pada kejang tonik-klonik generalisata, serangan epileptic primer itu berupa gerakan

tonik-klonik involunter otot segenap tubuh dengan hilang kesadaran tanpa suatu tanda yang

mendahuluinya. Karena gerakan tonik klonik otot dari kandung kemih, maka kandung kemih

yang penuh dengan urin akan mengeluarkan isinya. Dalam hal ini, penderita grand mal akan

ngompol pada waktu terjadi serangan kejang tonik-klonik umum. Begitu juga buih tampak

keluar dari mulut penderita, apabila banyak air liur yan

g terkumpul di ruang mulut itu karena otot pernapasan yang spasme pada saat terjadi kejang.5

Differential diagnosis

Epilepsi umum tonik.

Kejang tonik merupakan bentuk kejang generalisata primer yang tidak begitu sering

terjadi dan terdiri dari kejadian mendadak posisi kaku pada anggota gerak atau tubuh, sering

dengan deviasi kepala dan mata kea rah satu sisi. Keadaan ini tidak diikuti oleh fase klonik dan

sering merupakan fase yang lebih pendek dibandingkan kejang tonik-klonik.

Epilepsi umum klonik

Kejang klonik, terdiri dari gerakan berulang (ritmik) yang kasar (rhythmic jerking) dari

kedua tangan dan tungkai, kadang-kadang terjadi di kedua sisi tubuh. Lamanya kejang

bervariasi, namun biasanya singkat. Klonus berarti perubahan dari kontraksi dan relaksasi otot

yang cepat dan berulang, dengan kata lain gerakan tersentak-sentak yang berulang. Gerakan

tersebut tidak dapat dihentikan dengan menahan atau mengembalikan kaki dan tangan tersebut

pada posisinya. Kejang klonik jarang terjadi, lebih umum terjadi pada kejang tonik-klonik,

dimana gerakan tersentak ini didahului oleh gerakan kaku (fase tonik). Kadang-kadang, kejang

18

tonik-klonik dimulai dengan hanya gerakan tersentak. Ini dinamakan kejang klonik-tonik-klonik.

Kejang ini dapat terjadi pada siapa saja, umur berapa saja, termasuk pada bayi baru lahir. Satu

faktor yang membedakan klonik dari tonik klonik adalah, pada kejang klonik, tidak diikuti oleh

periode kelelahan atau kebingungan, yang pada tonik-klonik biasanya ada.5

Epilepsi parsial generalisata sekunder

Kejang parsial kompleks atau sederhana dapat berkembang menjadi kejang generalisata

dengan hilangnya kesadaran dan sering dengan aktivitas motor konvulsif. Keadaan ini dapat

terjadi segera atau setelah beberapa detik atau setelah satu atau dua menit. Selain itu, banyak

pasien dengan kejang fokal atau parsial mempunyai kejang generalisata tanpa komponen fokal

awal yang nyata sehingga sulit untuk dibedakan dengan kejang generalisata primer. Adanya aura

atau dijumpainya gambaran fokal apa saja (kedutan pada satu ekstremitas atas, afasia, deviasi

mata tonik) pada awitan kejang generalisata atau adanya devisit neurologik fokal pasca iktal

(paralisis Todd) merupakan petunjuk penting asal fokal kejang.4

Komplikasi

Status epileptikus

Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan aktivitas kejang yang kontinyu atau

intermitten yang berlangsung selama 20 menit atau lebih saat pasien kehilangan kesadarannya.

Status epileptikus harus dianggap sebagai suatu kedaruratan neurologik. Dapat terjadi kerusakan

saraf yang bermakna akibat aktivitas listrik abnormal yang berkelanjutan. Angka kematian untuk

status epileptikus tetap tinggi walaupun dengan terapi obat secara agresif.6

Aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit dan usia lanjut adalah faktor yang

memperburuk prognosis. Kematian pada status epileptikus disebabkan oleh hipereksia dan

obstruksi ventilasi, aspirasi muntahan, dan kegagalan mekanisme kompensasi dan regulatorik.

Terdapat dua jenis status epileptikus yaitu konvulsif dan non konvulsif. Kejang tonik-klonik

pada status epileptikus konvulsif menandakan keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak terjadi

pada status epileptikus non konvulsif. Para pasien ini mungkin membentuk sampai 10% dari

semua pasien status epileptikus yang dirawat di unit perawatan intensif. Tidak ada tanda klinis

dari kejang yang menandai status epileptikus tipe ini, tetapi pasien tetap tumpul atau tidak sadar

selama lebih dari 30 menit setelah kejang tonik-klonik yang nyata telah berhenti. Keadaan

komatosa ini sering disangka disebabkan oleh efek sedasi obat-obat yang diberikan selama

19

keadaan kejang. Satu-satunya alat untuk mendiagnosis status epileptikus nonkonvulsif adalah

elektroensefalogram. Karena sering salah diagnosis, kematian sangat tinggi.

Pada status epileptikus baik konvulsif maupun nonkonvulsif, tujuan pengobatan ialah

menghentikan secepatnya aktivitas kejang. Diperlukan penatalaksanaan yang agresif. Obat yang

sering digunakan adalah golongan benzodiazepine, fosfofenitoin dan fenobarbital. The American

Academy of Neurology merekomendasikan bahwa semua pasien status epileptikus juga mendapat

tiamin (vitamin B1) dan dekstrosa 50%. Semua pasien dengan kejang dan rekalsitran

memerlukan intubasi dan bantuan pernapasan. Apabila semua tidakan gagal, maka dokter dapat

mempertimbangkan sedasi dalam dengan infuse midazolam atau koma barbiturat.5

Cedera akibat jatuh atau luka saat menjalankan mesin

Kesulitan belajar

Kerusakan otak permanen.2

Terapi medica-mentosa

Pemilihan obat disesuaikan dengan keadaan klinis, efek samping, interaksi antar OAE,

dan harga obat. Dimulai dengan monoterapi OAE lini pertama sesuai dosis, kemudian

ditingkatkan dosisnya sampai bangkitan teratasi atau didapat hasil yang optimal dan konsentrasi

plasma OAE pada kadar yang maksimal. Jika bangkitan masih tidak teratasi, secara bertahap

ganti ke OAE lini kedua sebelum pemberian politerapi. Pengobatan OAE dapat dimulai bila

terjadi dua kali bangkitan dalam selang waktu yang tidak lama (maksimum satu tahun). Pada

umumnya bangkitan tunggal tidak memerlukan terapi OAE kecuali bila terdapat pertimbangan

kemungkinan berulang tinggi. Bangkitan parsial sederhana tipe sensorik atau psikis biasanya

tidak perlu OAE, kecuali mengganggu penderita.

Beritahu kepada keluarga dan pasien bahwa penggunaan OAE jangka lama tidak akan

menimbulkan perlambatan mental permanen (meskipun penyebab dasar kejang dapat

menimbulkan keadaan demikian) dan pencegahan kejang untuk 1-2 tahun dapat menurunkan

kemungkinan bangkitan berulang. Perubahan obat atau dosis harus sepengetahuan dokter.

Pasien harus diperiksa secara berkala dan awasi adanya toksisitas OAE. Pemeriksaan

darah dan uji fungsi hati harus dilakukan secara periodik pada beberapa obat. penting juga

dilakukan evaluasi ulang fungsi neurologis secara rutin. Teruskan pengobatan sampai pasien

bebas bangkitan sekurang-kurangnya 1-2 tahun. Penghentian obat dilakukan secara bertahap.

20

Jika dilakukan secara tiba-tiba, pasien harus dalam pengawasan ketat karena dapat mencetuskan

bangkitan bahkan status epileptikus. Jika bangkitan timbul selama atau sesudah penghentian

pengobatan, OAE harus diberikan lagi sekurang-kurangnya 1-2 tahun.2,7

Indikasi untuk penggunaan obat spesifik pada kejang tonik-klonik generalisata

(grandmal), terdapat 4 terapi yang terbukti berharga pada bentuk kejang yang sangat sering ini

yaitu:5,7

Fenitoin (atau difenilhidantoin). Fenitoin sering dapat menimbulkan kontrol efektif tanpa

sedasi dan sangat sedikit, jika ada, gangguan intelektual. Namun, fenitoin mengakibatkan

hyperplasia ginggiva pada beberapa individu, kasarnya gambaran wajah dan hirtusisme

ringan, semua ini dapat menyebabkan perubahan jangka panjang pada kinerja, yang terutama

tidak menyenangkan untuk perempuan muda. Fenitoin dapat mengakibatkan limfadenopati

dan pada dosis yang sangat tinggi dapat toksik terhadap serebelum. Kadarnya meningkat bila

diberikan bersama dengan INH, dikumarol, sulfonamide, dan kadarnya menurun apabila

diberikan bersama karbamazepin dan fenobarbital.

Karbamazepin. Fenitoin sama efektifnya dan tidak mempunyai banyak efek samping seperti

yang terlihat pada fenitoin. Fungsi kognitif dipertahankan dengan baik. Namun,

karbamazepin dapat mengeksaserbasi discharge gelombang-spikes generalisata pada EEG

dan kejang absen, juga pada pasien yang hanya menderita kejang tonik-klonik generalisata

sebelumnya. Karbamazepin dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal dan dapat

menyebabkan supresi sumsus tulang dengan turunnya jumlah sel darah putih perifer ringan

sampai sedang yang kadang dapat menjadi berat dan harus diperhatikan secara hati-hati.

Selain itu, CBZ juga dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Untuk alasan ini, jumlah darah

lengkap dan tes fungsi hepar harus dilakukan sebelum memulai pemberian karbamazepin dan

pada interval 2 minggu untuk periode setelah memulai terapi.

Fenobarbital (dan barbiturate jangka panjang lainnya). Fenobarbital juga efektif terhadap

kejang tonik-klonik dan tidak mempunyai efek samping sistemik. Obat inu sering

menyebabkan sedasi dan penumpulan intelek, namun terutama pada awal penggunaanya, dan

dapat menyebabkan kepatuhan berobat yang buruk. Sedasi tergantung dari efek dosis dan

dapat membatasi jumlah obat yang diberikan untuk mencapai control lengkap. Namun, jika

kontrol dapat dicapai dengan dosis fenobarbital non sedatif, obat ini dapat menjadi resimen

yang aman. Primidon adalah barbiturate yang dimetabolisme terhadap fenobarbital dan

21

feniltilmalonamid. Pada anak, barbiturate dapat menimbulkan hiperaktivitas dan

hiperiritabilitas yang akan membatasi kegunaannya. Barbiturate juga dapat mengeksaserbasi

depresi.

Asam valproat. Obat ini juga efektif terhadap kejang tonik-klonik dan tidak menimbulkan

sedasi atau bercampur dengan fungsi kognitif. Dapat menyebabkan iritasi gastrointestinal,

hilangnya rambut tak sempurna, berat badan berlebihan, supresi sumsum tulang terutama

trombositopenia, hiperamonemia, dan gangguan fungsi hati. Jumlah darah lengkap dengan

jumlah trombosit dan uji fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai terapi dan pada

interval dua minggu setelah memulai terapi selama periode yang sesuai sampai keamanan

obat ini ditegakkan pada pasien individual.

Kebanyakan pasien ini akan dikontrol oleh dosis satu dari obat ini yang sangat kuat,

meskipun pasien dapat memberikan respon lebih baik terhadap satu atau yang lain.

Terapi non medika-mentosa

Selain mengkonsumsi obat-obatan untuk mengendalikan epilepsi, perlu juga dilakuan

dengan mengubah pola hidup dan menghindari faktor pemicu.

Pencegahan

Bila ditemukan penyakit dasarnya, obati penyakit ini, disamping pengobatan epilepsi.

Bila tidak ditemukan penyakit dasar, atau bila penyebabnya diperkirakan sequele penyakit

sebelumnya, maka pengobatan ditujuakan terhadap gejala epilepsinya. Epilepsi sering diseratai

dengan gangguan mental sehingga perlu dilakuakan penanganan dengan terapi sosial, psikologis,

sekolahnya, pekerjaanya dan sebagainya.

Pencegahan cedera penting untuk dilakukan, memberikan pendidikan tentang pencegahan

kejang kepada pasien yang memiliki ganguan kesadaran selama terjaga. Sebagian besar

kecelakaan terjadi ketika pasien memiliki gangguan kesadaran. Hal-hal yang dapat dilakukan

perhatian dan kasih sayang pada penderita epilepsi juga sangkat diperlukan. Pada penderita

epilepsi harus diberikan penjelasan, supaya penderita mengerti persoalannya dan dengan

demikian dapat diperoleh kooperasi dari penderita. untuk mencegah terjadinya kecelakaan

seperti: pembatasan mengemudi kendaraan, berenang, mandi tanpa pengawasan, bekerja di

22

ketinggian, penggunaan api dan alat-alat listrik. Ketogenik diet juga diperlukan untuk mencegah

tercetusnya kejang, serta vitamin dan asam folat. 4

Prognosis

Pasien epilepsy yang berobat teratur, 1/3 akan bebas dari serangan paling sedikit 2

tahun,dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak

mengalami epilepsi lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30%  pasien tidak

mengalami remisis meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan

munculnya serangan ulang paling sering didapat pada epilepsy tonik-klonik dan epilepsi parsial

kompleks.

Kesimpulan

Epilepsi merupakan kelompok gangguan yang ditandai oleh perubahan fungsi neurologic

kronik, rekuren, dan paroksismal akibat abnormalitas aktivitas elektrik otak. Epilepsi grand mal

adalah epilepsi yang terjadi secara mendadak, di mana penderitanya hilang kesadaran lalu

kejang-kejang dengan napas berbunyi ngorok dan mengeluarkan buih/busa dari mulut. Epilepsi

grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron diseluruh

area otak-di korteks, dibagian dalam serebrum dan bahkan di batang otak dan thalamus, kejang

grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit. Jadi, laki-laki 23 tahun dengan keluhan kejang

saat belajar larut malam, kedua tungkai terlihat kaku dan kelojotan dengan mata medelik ke atas

dan kejangnya berlangsung kurang lebih 30 detik dan setelah itu mengalami penurunan

kesadaran, menderita epilepsi tonik-klonik generalisata.

23

Daftar pustaka

1. Dewanto B, Suwono J, Riyanto B, dkk. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf.

Jakarta: EGC;2007.h.85-7.

2. Misbach J, dkk. Pedoman tatalaksana epilepsi. Jakarta: Perdosi ; 2011.h.1-28.

3. Lumbantobing,SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta; FKUI;2008.h.1-115.

4. Asdie A H (editor). Harrison: prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Jakarta:EGC;

2012.h. 2446-62.

5. Price S A, Wilson L M. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.

Jakarta:EGC;2005.h.1157-63.

6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat;2012.h.439-50.

7. Yasavati K N, Arif A, Rumawas M A, dkk. Farmakoterapi penyakit neurologi dan psikiatri.

Jakarta: Universitas Kristen Krida Wacana;2012.h.46-50.

24