Makalah
-
Upload
dessy-puji-lestari -
Category
Documents
-
view
147 -
download
0
Transcript of Makalah
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 1/15
BAB I : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Alam merupakan bagian dari bumi yang menjadi sumber kehidupan semua
makhluk hidup, termasuk manusia. Manusia mengolah alam dengan alat kerjanya
sehingga dapat berproduksi untuk bertahan hidup. Dengan bertambahnya kemampuan
produksi, bertambah pula kemampuan manusia menaklukkan alam. Begitu besar
pengaruh manusia terhadap alam sehingga kehidupan manusia tak bisa dipisahkan dari
alam. Untuk itulah dibutuhkan keseimbangan agar alam dapat terus bereproduksi demikelestarian dirinya, sekaligus memenuhi kebutuhan makhluk hidup lainnya. Bagaimana
agar alam terus lestari, sementara pada dasarnya, lambat laun alam sendiri pasti akan
mengalami perubahan kualitas yang menurun? Alam, pada satu titik, akan tidak
sanggup lagi menahan kohesifitas bumi karena alam merupakan bagian dari bumi yang
bergerak sehingga segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk alam, juga ikut bergerak.
Gerak hukum alam ini berjalan lambat, bisa jutaan tahun lamanya, mengikuti umur
bumi. Namun, akibat ulah manusia, bumi menjadi cepat mengalami perubahan, karena
alam telah dieksploitasi dan dijadikan komoditas demi tujuan pertumbuhan ekonomi.
Di dalam masyarakat dunia yang hubungan sosialnya ditentukan oleh
kepemilikan terhadap alat produksi, produksi barang (dan jasa) tak akan ada kontrol
sosialnya. Kelimpahan produksi hasil kerja manusia mengelola alam tak diabdikan
untuk kemakmuran dan kemajuan mayoritas manusia serta melestarikan daya topang
alam, melainkan untuk keberlangsungan akumulasi keuntungan belaka. Sehingga tak
heran, di dalam sistem semacam itu, seberapapun majunya pengetahuan dan alat kerja
manusia tidak ada sangkut pautnya dengan pemerataan kesejahteraan dan keberlanjutan
hidup bumi. Itulah bencana besar kemanusiaan di dalam sebuah sistem masyarakat
kapitalisme saat ini. Segelintir manusia yang bermodal besar, pemilik pabrik-pabrik
dan perusahaan raksasa, memiliki kepentingan lebih hebat dalam mengeksploitasi
sumber daya alam, sekadar demi akumulasi keuntungan dan perluasan modalnya.
Mereka tidak memperdulikan syarat keseimbangan lingkungan, karena yang paling
penting bagi mereka adalah sebanyak-banyaknya produksi, tak perduli sesuai atau tidak
dengan kebutuhan dan daya jangkau mayoritas rakyat, atau merusak masa depan
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 2/15
lingkungan alam. Itulah konsekuensi fundamental sistem kapitalisme yang diterapkan
saat ini, penyebab utama kerusakan alam.
Proses dialektika penaklukan manusia terhadap alam tergantung pada tingkat
perkembangan tenaga-tenaga produktif (manusia dan alat kerjanya), karakter sistem
sosial, dan tingkat perkembangan masyarakat dan manusia itu sendiri. Semakin maju
alat kerja manusia, semakin besar kemungkinan penaklukan alam, semakin besar pula
potensi pengrusakannya. Pengrusakan atau pelestarian alam adalah pilihan yang hanya
dapat terjadi pada karakter sistem ekonomi dan hubungan sosial tertentu. Dan
kapitalisme adalah hubungan ekonomi dan sosial yang memungkinkan pengrusakan
lingkungan terjadi secara massal dan cepat. Namun, perkembangan pengetahuan dan
teknologi dalam kapitalisme tersebut, sekaligus, memberikan kemungkinan manusia
mengembangkan segala kreativitasnya untuk memperbaiki kerusakan alam.
B. BATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka makalah ini khusus membahas
masalah bagaimana sebuah kebijakan atau perundang-undangan mempengaruhi keadaan
alam di Indonesia.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, hal-hal yang dibahas
dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Apa kebijakan ekonomi dan politik yang berdampak langsung terhadap alam?2. Mengapa kebijakan tersebut bisa mempengaruhi kondisi alam dan bagaimana
cara kerjanya?
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 3/15
BAB II : ISI
KEBIJAKAN EKONOMI DAN POLITIK YANG BERDAMPAK LANGSUNG
TERHADAP ALAM
Menurut penelitian, kerusakan dan pencemaran lingkungan 30 tahun terakhir
jauh melampaui kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas manusia selama
ribuan tahun lalu. Apalagi dengan berkembang pesatnya pasar akibat kebijakan
neoliberal yang digalakkan oleh seluruh perangkat ekonomi kapitalisme, khususnya
WTO, IMF, ADB dan Bank Dunia, serta berbagai perjanjian perdagangan bebas selama
lebih dari satu dekade ini, yang dilegitimasi oleh rezim pendukung investasi tanpa
berpikir panjang.
Logika akumulasi keuntungan dan modal, dengan memperdalam eksploitasi
manusia dan alam (anarkisme produksi atau produksi tanpa kontrol sosial),
menyebabkan overproduksi kapitalisme. Pertumbuhan ekonomi bermakna peningkatan
konsumsi dan produksi komoditas industri tanpa pertimbangan masa depan. Akibat
logika semacam inilah alam tak lagi mampu menopang kehidupan manusia di masayang akan datang. Bahkan para aktivis lingkungan menyatakan, bahwa, demi
mengembalikan kondisi alam seperti semula, mereka menghendaki pertumbuhan
ekonomi nol persen, atau dikenal sebagai zero growth.
Krisis ditandai oleh fakta bahwa sekitar 29% lahan bumi telah mengalami
penggurunan, 6% lainnya dikategorikan mengalami penggurunan yang parah. Hutan
tropis yang mencakup 6% luas permukaan bumi (sebagian besar terletak di Brazil dan
Indonesia), namun memiliki keanekaragaman hayati hingga sekitar 50% dari seluruh
jumlah spesies yang ada, kini 7,6 sampai 10 juta hektar pertahunnya menjadi musnah
(Todaro, 1995: 275-277). Kehancuran hutan (deforestasi) semakin hari semakin besar
jumlahnya, dan dilegalisasi oleh kebijakan negara. Kebijakan tersebut antara lain dalam
bentuk penjualan hutan yang melegitimasi jutaan hektar hutan dibabat habis oleh para
pemilik modal. Di Indonesia tercermin dalam peraturan Hak Pengelolaan Hutan (Hak
Penggusuran Hutan).
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 4/15
Akibat selanjutnya dari perubahan iklim hingga tahun 2050, diperkirakan,
ketersediaan pangan tak mencukupi sehingga penderita kelaparan dapat mencapai 600
juta orang; perluasan areal banjir mengorbankan 100-250 juta orang; kekeringan
berkepanjangan membuat kekurangan air diderita 3,5 milyar orang lebih; dan
meningkatnya penderita malaria hingga mencapai 300 jiwa. Krisis pangan yang
sekarang melanda dunia disebabkan diantaranya oleh perubahan iklim yang drastis
sehingga mengakibatkan gagal panen. Demikian halnya dengan perluasan areal banjir
dan kekeringan. Indonesia adalah salah satu diantara negara-negara yang mengalami
dampak terparah dari rangkaian krisis lingkungan ini. Penggundulan hutan yang terus
meningkat demi perluasan industri pertambangan dan kelapa sawit, pencemaran udara
di kota-kota besar akibat membludaknya pemakaian kendaraan bermotor, gedung-
gedung raksasa yang membabat areal hijau, dan seterusnya, menambah deretan
kejahatan terhadap lingkungan yang dampaknya kembali kepada manusia.
Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun
1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun
2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru
dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut
menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluas-
luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat
untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara
sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu
pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian
yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya
dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang
menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga
dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber
daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 5/15
yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan
keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh
program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan
meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah
ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan
perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan
dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan
efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Pada tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah mengundang suara pro dan
kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang
sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi
daerah-daerah miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut.
Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk
peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi
daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan.
Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun
2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa hal
baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan, prasarana maupun sarana dan
sumber daya lainnya belum siap.
Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal,
bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis
ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan
dinamika penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan
masyarakat.
Pengelolaan Sumber Daya Alam di era Otda banyak menimbulkan dampak
negatif keinginan Pemda untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), telah
menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak
negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Era Otda tidak disikapi baik oleh aparat Pemda, DPRD maupun warga
masyarakat dengan kematangan berfikir, bersikap dan bertindak. Masing-masing
elemen masyarakat lebih menonjolkan hak dari pada kewajiban dalam mengatur dan
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 6/15
mengurus sesuatu yang menjadi kepentingan umum. Dengan kata lain, masing-masing
lebih mengedepankan egonya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemahaman
terhadap Otda yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat
menyebabkan pelaksanaan Otda menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang
aman, damai dan sejahtera. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan
kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar,
memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan
atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya alam yang tersedia,
dll. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi
kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing
semaunya sendiri. Di pihak lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang
seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otda
tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut
terhanyut dan berlomba mengambil untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang
salah . Semua itu terjadi karena Otda lebih banyak menampilakn nuansa kepentingan
pembangunan fisik dan ekonomi. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan
lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh
wilayah tanah air, bahkan untuk Pulau Jawa dan Bali sejak tahun 1995 telah mengalami
defisit air karena kebutuhan air jauh di atas ketersediaan air (Sumber: Direktorat
Geologi dan Tata Lingkungan, 2001).Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali
juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak
terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme
yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
Sementara pembangunan sumber daya manusia / SDM (moral, spiritualintelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan, (karena SDM berkualitas
ini merupakan prasyarat), sangat kurang mendapat perhatian sebagaimana dikemukakan
oleh Riwu Kaho (1988:60), bahwa penerapan otonomi daerah yang efektif memiliki
beberapa syarat, sekaligus sebagai faktor yang sangat berpengaruh, yaitu :
Manusia selaku pelaksana harus berkualitas
Keuangan sebagai biaya harus cukup dan baik
Prasarana, sarana dan peralatan harus cukup dan baik
Organisasi dan manajemen harus baik
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 7/15
Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah faktor
yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain
bergantung pada faktor manusia ini. SDM yang tidak/belum berkualitas inilah yang
menyebabkan penyelenggaraan Otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya,
penuh dengan intrik, konflik dan carut-marut serta diwarnai oleh menonjolnya
kepentingan pribadi dan kelompok. Kerusakan SDA dan lingkungan paling parah juga
terjadi di daerah miskin sumber daya SDA dimana lahan dan sumber daya yang ada di
atasnya merupakan pilihan utama mata pencaharian penduduk. Sementara itu,
kebodohan penduduk menyebabkan mereka umumnya menggantungkan sumber mata
pencahariannya pada sektor pertanian dan hasil hutan. Kondisi seperti ini dialami oleh
sebagian besar daerah kabupaten di Jawa dan Madura, sehingga dari hari ke hari luas
hutan di Jawa dan Madura semakin menyempit. Diperkirakan luasnya kurang dari 15 %
dari seluruh luas tanah. Padahal sebenarnya luas hutan dan areal di Jawa paling sedikit
30 % dari seluruh luas tanah. Sebagian besar penduduk yang berpengetahuan rendah,
menyikapi pemberlakuan otonomi daerah yang bersamaan dengan krisis ekonomi dalam
hal eksplolitasi SDA dengan cara-cara yang tidak/kurang bertanggungjawab, pertama;
tidak taat hukum/peraturan, beberapa contoh dalam hal ini; penjarahan hutan (termasuk
hutan reboisasi), penjarahan areal pertambangan yang sudah dikonsesikan kepada
perusahaan (BUMN, BUMD & Swasta) dan mengolah tanah dengan serampangan
(tidak sesuai dengan kaidah/metoda pertanian). Dampak negatif dari penjarahan hutan
dan cara bertani yang salah dan ilegal telah menyebabkan kerugian ganda, yakni
kehilangan lapisan tanah subur karena erosi, banjir setiap hujan besar, sumber air
semakin menyusut dan kepunahan dari sebagian flora serta fauna langka. Kedua;
rendahnya tingkat kepedulian dan rasa tanggung jawab, baik kepedulian/tanggung
jawab sosial maupun lingkungan alam; bahkan terhadap masa depan diri dan anak
cucunya. Ketiga; malas bekerja, gejala ini tampak dari banyaknya tenaga muda
potensial yang putus sekolah atau tamat sekolah malas bekerja, mereka banyak yang
meninggalkan kampung/desa tempat tinggalnya berbondong-bondong pergi ke kota. Di
kota mereka lebih banyak menjadi “beban” karena sebagian hanya bekerja secara
sambilan di sektor informal (seperti pedagang kaki lima, pengamen, buruh bangunan,
pengemis, dll). Gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi), baik yang
permanen maupun yang musiman, merupakan penyebab utama terjadinya
kesemrawutan wajah kota, kriminalitas dan kepadatan penduduk kota yang sulit
diperhitungkan serta dikendalikan. Sementara itu, aktivitas pertanian dan nelayan di
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 8/15
desa-desa telah mengalami stagnasi,bahkan penurunan yang signifikan karena
kekurangan tenaga kerja muda. Dua gejala yang kontradiktif (pertumbuhan kota yang
sangat cepat, tak teratur di satu pihak dan pedesaan yang stagnan serta banyaknya
kerusakan lingkungan di pihak lain), tampaknya di era otonomi daerah ini tidak
dipandang sebagai suatu masalah yang patut mendapat perhatian dan upaya solusi yang
sungguh-sungguh. Bilamana hal ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan masalah
besar dan kompleks sehingga makin sulit diatasi. Di samping itu perusakan atau
pelanggaran terhadap lingkungan yang dibiarkan berkepanjangan dapat menyebabkan
para pelakunya menjadi bebal (tidak merasa apa yang diperbuatnya sebagai suatu
kejahatan). Padahal penjahat lingkungan itu merupakan “teroris laten” karena akibat
perbuatannya dapat menyengsarakan banyak orang di masa yang akan datang yang
tidak dapat diperkirakan berapa lama.
Kebijakan otonomi daerah muncul karena dirasakannya kebutuhan mencegah
terjadinya disintegrasi nasional setelah lengsernya presiden Soeharto, serta memberikan
kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk menguasai dan memperoleh pendapatan
dari sumberdaya mereka. Papua Barat dan Aceh, yang paling berkeinginan untuk
merdeka, ditawarkan paket otonomi khusus yang disetujui menjadi undang-undang pada
akhir 2001.
Selama ini, hutan sebagai salah satu sumber daya alam terpenting di Indonesia,
telah menjadi sumber pertikaian kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah daerah telah mengambil alih kewenangan atas sumber-sumber tersebut,
sementara pemerintah pusat tetap berusaha untuk mempertahankan penguasaan atas
sumber daya yang ada.
Salah satu kementerian yang sangat menentang digerogotinya kekuasaannya
oleh adanya otonomi daerah adalah Kementerian Kehutanan. Perebutan kekuasaaan
antara pusat dan daerah terfokus pada hal-hal dibawah ini :
Pendapatan dari penebangan
Dengan undang-undang tahun 1999 tentang desentralisasi keuangan, pendapatan
dari kehutanan harus dibagi 80% untuk daerah dan 15% untuk pemerintahan pusat. Pada
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 9/15
tahun 2000 menteri kehutanan Nur Mahmudi mengusulkan pembagian 70% dan 30%
yang memicu kemarahan para kepala daerah.
Pendapatan dana reboisasi
Pemerintah pusat pada awalnya mengusulkan pembagian dana reboisasi sebesar
40% untuk daerah dan 60% bagi pemerintah pusat. Pembagian ini kemudian dirubah
menjadi 90:10 dimana daerah mendapatkan porsi terbesar.
Pengambilan keputusan mengenai HPH
SK 05.1 tahun 2000 yang diterbitkan bulan November 2000, memperbolehkan
pemerintah daerah menetapkan izin HPH. Menteri kehutanan mencoba untuk merevisi
keputusan tersebut pada tahun berikutnya, karena beberapa bupati mengeluarkan
ratusan izin penebangan di daerah mereka, namun tidak dihiraukan.
Kemudian ada sebuah ancaman baru bagi hutan Indonesia dan masyarakat hutan
yaitu sesuatu yang disebut “HPH kecil” yang diberikan oleh pejabat lokal. Yang
dimaksud disini adalah HPH seluas 100 hektar (HPHH), yang didasarkan pada
keputusan menteri (KepMen HutBun 310/1999) untuk mengurangi penebangan ilegal
dan konflik atas sumberdaya alam. Dasar pemikirannya adalah untuk meningkatkan
pendapatan daerah dengan memberi masyarakat kesempatan mengeksploitasi hutan.
Desa dapat membentuk koperasi atau perusahaan kemudian melakukan penebangan di
areal hutan konversi selama 1 tahun. Izin untuk kegiatan ini adalah wewenang
pemerintah daerah.
Di beberapa propinsi, ratusan HPH 100 hektar telah dikeluarkan dan masih ada
ratusan lainnya yang telah mengajukan permohonan. Wilayah propinsi KalimantanTimur dan Barat yang paling banyak tercatat mengeluarkan izin tersebut. Di Kutai
Barat, bupati Rama Asia hingga pertengahan 2001 telah mengeluarkan lebih dari 600
HPH kecil. Bupati Bulungan dan Kutai Tengah juga mengeluarkan ratusan izin, tetapi
pejabat kehutanan propinsi Kalimantan Timur tidak mengetahui secara pasti berapa
banyak yang telah dikeluarkan. Dinas Kehutanan Kalimantan Barat mengeluh terlalu
banyaknya HPH kecil yang diterbitkan di daerah-daerah seperti Sintang.
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 10/15
Banyak bukti menunjukkan bahwa efek dari banyaknya penebangan berskala
kecil sama merusak dengan HPH besar. Tidak ada pemantauan di mana penebangan itu
dilakukan hanya, sehingga mungkin melebihi 100 hektar. Terlebih lagi banyak izin ini
diberikan juga untuk daerah hutan produksi dimana masih terdapat banyak kayu
komersial. Setidak-tidaknya ada satu kabupaten dimana sebuah kontraktor perusahaan-
perusahaan dari Malaysia mengambil alih izin tahunan semacam ini dan berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain apabila izinnya sudah selesai.
Masih ada banyak masalah lain. HPH kecil bukannya meredam konflik, bahkan
sebaliknya menimbulkan persengketaan antar masyarakat desa dan antar desa dengan
perusahaan penebangan. Di Kutai Barat, 250 kasus konflik di 15 kecamatan disebabkan
persengketaan karena daerah HPH kecil tumpang tindih dengan HPH yang telah ada
sebelummnya, konflik dengan keluarga setempat atau desa karena batas HPH-100
hektar tidak jelas dan konflik mengenai siapa yang berwenang memberi izin. Yang
membingungkan adalah karena istilah HPH kecil juga dipakai untuk merujuk konsesi
yang lebih besar. Surat keputusan menteri no 5.1 tahun 2000 mengizinkan kabupaten
untuk memberikan izin penebangan hingga 50.000 hektar dan propinsi hingga 100.000
hektar kepada perusahaan lokal. Sebenarnya izin penebangan ini dimaksudkan untuk
daerah hutan produksi yang telah habis masa berlakunya atau yang dicabut izinnya oleh
pemerintah pusat. Sejak adanya otonomi daerah, beberapa pejabat lokal memanfaatkan
peluang ini untuk mengeluarkan peraturan atau keputusan daerah yang memungkinkan
mereka memberi izin untuk HPH di daerahnya. Izin semacam ini diberi nama berbeda-
beda di masing-masing daerah seperti IPH (di kabupaten Batanghari); IUPHHK (Kutai
Barat) dan IPKHPA (Merangin). HPH yang diterbitkan oleh daerah setempat
mengandung banyak hal negatif, diantaranya :
Semua izin hanya dapat diperoleh oleh usaha berbadan hukum: yaitu koperasi
atau perusahaan. Dengan demikian masyarakat tidak dapat mengajukan
permohonan melalui lembaga adat;
Perusahaan dan koperasi sering dikuasai oleh pengusaha dari kota, pejabat
pemerintah dan anggota asosiasi setempat dan bukan masyarakat hutan;
Korupsi. Izin diberikan oleh bupati sebagai hadiah kepada pendukungnya dan
kemungkinan dijual kembali kepada perusahaan-perusahaan lain;
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 11/15
Perencanaan hutan pada tataran propinsi dan nasional hampir-hampir tidak
mungkin;
Meningkatnya penggundulan hutan yang diakibatkan oleh penebangan illegal
karena tidak adanya pengawasan.
Pada bulan Februari tahun 2001 para bupati mendesak presiden Megawati untuk
menyerahkan wewenang penuh atas hutan kepada mereka. Kemudian pada bulan yang
sama menteri kehutanan yang baru, Muhammad Prakosa me-resentralisasi manajemen
hutan dengan membatalkan SK Mahmudi pada tahun 2000. Dengan demikian para
bupati dan gubernur tidak diperbolehkan lagi mengeluarkan izin penebangan. Prakosa
menyatakan dalam sebuah wawancara pada bulan April 2002 bahwa desentralisasi akan
dilakukan secara selektif dan perlahan-lahan. Maka semakin tidak jelas wewenang
bupati dalam membuat keputusan tentang hutan. Hal ini diperparah karena peraturan
pelaksanaan undang-undang kehutanan tahun 1999 – khususnya yang menekankan
tentang pembagian otoritas administratif – hingga saat ini belum juga selesai.
Hierarki Kewenangan
Para bupati menganggap bahwa mereka dapat mengabaikan arahan dari
pemerintah pusat karena tidak adanya hirarki kewenangan antara pusat, propinsi dan
kabupaten. Mereka berpendapat bahwa peraturan daerah (perda) memiliki bobot yang
sama dengan peraturan pemerintah pusat sehingga mereka dapat tetap memakai perda
meskipun hal itu bertentangan dari peraturan pemerintah pusat.
Salah satu kelemahan otonomi daerah ialah kecenderungan penguatan posisi elit
politik dan bisnis setempat. Wirausahawan, pejabat pemerintah dan aparat militer
bersama-sama menggali sebanyak mungkin keuntungan dari hutan dalam waktu yang
sesingkat mungkin, melalui perizinan HPH setempat. Di Kalimantan Tengah contohnya,
sebuah investigasi yang dilakukan oleh ORNOP Telapak dibantu oleh EIA dari Inggris
menemukan adanya penebangan ilegal dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting.
Perusahaan kayu tersebut dikendalikan oleh Abdul Rasyid, seorang anggota MPR.
Perusahaannya Tanjung Lingga diidentifikasikan sebagai sarana transit semua hasil
kayu curian di Kalimantan Tengah serta diketahui memiliki jaringan untuk mengekspor
kayu ilegal ke Cina. Meskipun Rasyid sudah disidik oleh kantor kejaksaan agung
namun hingga saat ini dia tidak ditahan.
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 12/15
Di beberapa daerah, Perhutani dan Inhutani dituduh berkolusi dengan pejabat
setempat dan pengusaha perkayuan dalam melakukan penebangan secara ilegal.
Kelompok masyarakat sipil telah mendesak pemerintah daerah untuk mencegah
perusahaan-perusahaan yang korup ini beroperasi.
Sangat disayangkan, Undang-Undang No.22 dan No.25 tahun 1999 mengenai
Otonomi Daerah yang semula dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat justu pada
akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan polemik antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 13/15
BAB III : PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pemberlakuan Otonomi Daerah membawa dampak buruk terhadap pengelolaan
SDA di semua daerah. Penduduk dan atau warga masyarakat mengeksploitasi SDA
dengan semena-mena tanpa dilandasi pertimbangan kearifan dan kemaslahatan demi
kepentingan jangka panjang dan keseimbangan lingkungan.
Pendayagunaan SDA yang semena-mena memberikan dampak negatif ganda
(multiple impact) terhadap semua aspek kehidupan dan sumber penghidupan
masyarakat yang pada gilirannya merugikan generasi yang akan datang.
B. SARAN
Menanggapi persoalan yang dibahas dalam makalah ini, penulis memliki
beberapa saran yang mungkin bisa diterapkan, yaitu :
Pemerintah atau pihak yang berwajib harus menerapkan kebijakan yang ketatterhadap pengelolaan kawasan konservasi SDA seperti: hutan lindung, hulu
sungai, sumber mata air, DAS dan hutan pantai tirai gelombang.
Pemerintah atau pihak yang berwajib harus konsisten menerapkan kebijakan dan
peraturan perundang-undangan serta memberikan sanksi hukum yang berat
kepada perusak lingkungan.
Pemerintah atau pihak yang berwajib harus membuka akses kepada masyarakat
tentang informasi kebijakan pendayagunaan SDA.
Pemerintah atau pihak yang berwajib harus membuka ruang partisipasi
masyarakat dalam memperoleh dan menyalurkan informasi, serta mencari solusi
kerusakan SDA sebagai akibat pengelolaan yang salah/illegal.
Pemerintah atau pihak yang berwajib harus menyelenggarakan pengawasan
dan pengendalian pengelolaan SDA yang intensif dan ekstensif.
Masyarakat harus memberikan masukan kepada pemerintah tentang pendaya-
gunaan dan penyelamatan SDA yang benar.
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 14/15
Masyarakat harus memberikan informasi secara dini tentang kejadian/peristiwa
bencana alam, kerusakan lingkungan dan pelaku kejahatan lingkungan/SDA.
Masyarakat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan
tindakan aparat pemerintah yang merugikan lingkungan dan SDA.
5/12/2018 Makalah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 15/15
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Firman. “Menggali Potensi, Mengubah Paradigma”. http://green-pnpm.com/pnpmlmp/baru/BeritaNew/DetailBerita.php?kodeberita=B0037. (Diakses
tanggal 21 Desember 2011).
Majid, Abdul. “Dampak Positif d an Negatif Otonomi Daerah Terhadap Kemajuan
Bangsa Indonesia”. http://majidbsz.wordpress.com/2008/06/30/dampak-positif-dan-
negatif-otonomi-daerah-terhadap-kemajuan-bangsa-indonesia-dilihat/ . (Diakses tanggal
21 Desember 2011).
Nababan, Abdon. “ Konflik Penguasaan & Pengelolaan Sumberdaya Alam :
Implikasinya Terhadap Masyarakat Adat”.
http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/makalah_ttg_konflik_sda.html. (Diakses tanggal
21 Desember 2011).
Purbawati , Christina Yulita. “Kapitalisme Merusak Alam!”.
http://koranpembebasan.wordpress.com/2011/10/13/kapitalisme-merusak-alam/ .
(Diakses tanggal 21 Desember 2011).
Tarmansyah, Umar S. “ Dampak Negatif Otonomi Daerah dan Peran Dephan Dalam
Pendayagunaan Sumber Daya Nasional untuk Kepentingan Pertahanan Negara”.
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=4&vnomor=14. (Diakses tanggal
21 Desember 2011)
-. “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999”.
http://www.djmbp.esdm.go.id/sijh/uu-25-1999.pdf . (Diakses tanggal 21 Desember
2011).
-. “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999”.
http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-22-1999.pdf . (Diakses tanggal 21 Desember
2011).