Makalah

15
 BAB I : PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alam merupakan bagian dari bumi yang menjadi sumber kehidupan semua makhluk hidup, termasuk manusia. Manusia mengolah alam dengan alat kerjanya sehingga dapat berproduksi untuk bertahan hidup. Dengan bertambahnya kemampuan produksi, bertambah pula kemampuan manusia menaklukkan alam. Begitu besar pengaruh manusia terhadap alam sehingga kehidupan manusia tak bisa dipisahkan dari alam. Untuk itulah dibutuhkan keseimbangan agar alam dapat terus bereproduksi demi kelestarian dirinya, sekaligus memenuhi kebutuhan makhluk hidup lainnya. Bagaimana agar alam terus lestari, sementara pada dasarnya, lambat laun alam sendiri pasti akan mengalami perubahan kualitas yang menurun? Alam, pada satu titik, akan tidak sanggup lagi menahan kohesifitas bumi karena alam merupakan bagian dari bumi yang bergerak sehingga segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk alam, juga ikut bergerak. Gerak hukum alam ini berjalan lambat, bisa jutaan tahun lamanya, mengikuti umur bumi. Namun, akibat ulah manusia, bumi menjadi cepat mengalami perubahan, karena alam telah dieksploitasi dan dijadikan komoditas demi tujuan pertumbuhan ekonomi. Di dalam masyarakat dunia yang hubungan sosialnya ditentukan oleh kepemilikan terhadap alat produksi, produksi barang (dan jasa) tak akan ada kontrol sosialnya. Kelimpahan produksi hasil kerja manusia mengelola alam tak diabdikan untuk kemakmuran dan kemajuan mayoritas manusia serta melestarikan daya topang alam, melainkan untuk ke berlangsungan a kumulasi keuntungan be laka. Sehingga tak heran, di dalam sistem semacam itu, seberapapun majunya pengetahuan dan alat kerja manusia tidak ada sangkut pautnya dengan pemerataan kesejahteraan dan keberlanjutan hidup bumi. Itulah bencana besar kemanusiaan di dalam sebuah sistem masyarakat kapitalisme saa t ini. Segelintir manusia ya ng bermodal besar, pe milik pabrik-pabrik dan perusahaan raksasa, memiliki kepentingan lebih hebat dalam mengeksploitasi sumber daya alam, sekadar demi akumulasi keuntungan dan perluasan modalnya. Mereka tidak memperdulikan syarat keseimbangan lingkungan, karena yang paling penting bagi mereka adalah sebanyak-ba nyaknya produksi, tak perduli sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan daya jangkau mayoritas rakyat, atau merusak masa depan

Transcript of Makalah

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 1/15

BAB I : PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG

Alam merupakan bagian dari bumi yang menjadi sumber kehidupan semua

makhluk hidup, termasuk manusia. Manusia mengolah alam dengan alat kerjanya

sehingga dapat berproduksi untuk bertahan hidup. Dengan bertambahnya kemampuan

produksi, bertambah pula kemampuan manusia menaklukkan alam. Begitu besar

pengaruh manusia terhadap alam sehingga kehidupan manusia tak bisa dipisahkan dari

alam. Untuk itulah dibutuhkan keseimbangan agar alam dapat terus bereproduksi demikelestarian dirinya, sekaligus memenuhi kebutuhan makhluk hidup lainnya. Bagaimana

agar alam terus lestari, sementara pada dasarnya, lambat laun alam sendiri pasti akan

mengalami perubahan kualitas yang menurun? Alam, pada satu titik, akan tidak 

sanggup lagi menahan kohesifitas bumi karena alam merupakan bagian dari bumi yang

bergerak sehingga segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk alam, juga ikut bergerak.

Gerak hukum alam ini berjalan lambat, bisa jutaan tahun lamanya, mengikuti umur

bumi. Namun, akibat ulah manusia, bumi menjadi cepat mengalami perubahan, karena

alam telah dieksploitasi dan dijadikan komoditas demi tujuan pertumbuhan ekonomi.

Di dalam masyarakat dunia yang hubungan sosialnya ditentukan oleh

kepemilikan terhadap alat produksi, produksi barang (dan jasa) tak akan ada kontrol

sosialnya. Kelimpahan produksi hasil kerja manusia mengelola alam tak diabdikan

untuk kemakmuran dan kemajuan mayoritas manusia serta melestarikan daya topang

alam, melainkan untuk keberlangsungan akumulasi keuntungan belaka. Sehingga tak 

heran, di dalam sistem semacam itu, seberapapun majunya pengetahuan dan alat kerja

manusia tidak ada sangkut pautnya dengan pemerataan kesejahteraan dan keberlanjutan

hidup bumi. Itulah bencana besar kemanusiaan di dalam sebuah sistem masyarakat

kapitalisme saat ini. Segelintir manusia yang bermodal besar, pemilik pabrik-pabrik 

dan perusahaan raksasa, memiliki kepentingan lebih hebat dalam mengeksploitasi

sumber daya alam, sekadar demi akumulasi keuntungan dan perluasan modalnya.

Mereka tidak memperdulikan syarat keseimbangan lingkungan, karena yang paling

penting bagi mereka adalah sebanyak-banyaknya produksi, tak perduli sesuai atau tidak 

dengan kebutuhan dan daya jangkau mayoritas rakyat, atau merusak masa depan

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 2/15

lingkungan alam. Itulah konsekuensi fundamental sistem kapitalisme yang diterapkan

saat ini, penyebab utama kerusakan alam.

Proses dialektika penaklukan manusia terhadap alam tergantung pada tingkat

perkembangan tenaga-tenaga produktif (manusia dan alat kerjanya), karakter sistem

sosial, dan tingkat perkembangan masyarakat dan manusia itu sendiri. Semakin maju

alat kerja manusia, semakin besar kemungkinan penaklukan alam, semakin besar pula

potensi pengrusakannya. Pengrusakan atau pelestarian alam adalah pilihan yang hanya

dapat terjadi pada karakter sistem ekonomi dan hubungan sosial tertentu. Dan

kapitalisme adalah hubungan ekonomi dan sosial yang memungkinkan pengrusakan

lingkungan terjadi secara massal dan cepat. Namun, perkembangan pengetahuan dan

teknologi dalam kapitalisme tersebut, sekaligus, memberikan kemungkinan manusia

mengembangkan segala kreativitasnya untuk memperbaiki kerusakan alam.

B.  BATASAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka makalah ini khusus membahas

masalah bagaimana sebuah kebijakan atau perundang-undangan mempengaruhi keadaan

alam di Indonesia.

C.  RUMUSAN MASALAH 

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, hal-hal yang dibahas

dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. 

Apa kebijakan ekonomi dan politik yang berdampak langsung terhadap alam?2.  Mengapa kebijakan tersebut bisa mempengaruhi kondisi alam dan bagaimana

cara kerjanya?

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 3/15

BAB II : ISI

KEBIJAKAN EKONOMI DAN POLITIK YANG BERDAMPAK LANGSUNG

TERHADAP ALAM

Menurut penelitian, kerusakan dan pencemaran lingkungan 30 tahun terakhir

 jauh melampaui kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas manusia selama

ribuan tahun lalu. Apalagi dengan berkembang pesatnya pasar akibat kebijakan

neoliberal yang digalakkan oleh seluruh perangkat ekonomi kapitalisme, khususnya

WTO, IMF, ADB dan Bank Dunia, serta berbagai perjanjian perdagangan bebas selama

lebih dari satu dekade ini, yang dilegitimasi oleh rezim pendukung investasi tanpa

berpikir panjang.

Logika akumulasi keuntungan dan modal, dengan memperdalam eksploitasi

manusia dan alam (anarkisme produksi atau produksi tanpa kontrol sosial),

menyebabkan overproduksi kapitalisme. Pertumbuhan ekonomi bermakna peningkatan

konsumsi dan produksi komoditas industri tanpa pertimbangan masa depan. Akibat

logika semacam inilah alam tak lagi mampu menopang kehidupan manusia di masayang akan datang. Bahkan para aktivis lingkungan menyatakan, bahwa, demi

mengembalikan kondisi alam seperti semula, mereka menghendaki pertumbuhan

ekonomi nol persen, atau dikenal sebagai zero growth.

Krisis ditandai oleh fakta bahwa sekitar 29% lahan bumi telah mengalami

penggurunan, 6% lainnya dikategorikan mengalami penggurunan yang parah. Hutan

tropis yang mencakup 6% luas permukaan bumi (sebagian besar terletak di Brazil dan

Indonesia), namun memiliki keanekaragaman hayati hingga sekitar 50% dari seluruh

 jumlah spesies yang ada, kini 7,6 sampai 10 juta hektar pertahunnya menjadi musnah

(Todaro, 1995: 275-277). Kehancuran hutan (deforestasi) semakin hari semakin besar

 jumlahnya, dan dilegalisasi oleh kebijakan negara. Kebijakan tersebut antara lain dalam

bentuk penjualan hutan yang melegitimasi jutaan hektar hutan dibabat habis oleh para

pemilik modal. Di Indonesia tercermin dalam peraturan Hak Pengelolaan Hutan (Hak 

Penggusuran Hutan).

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 4/15

Akibat selanjutnya dari perubahan iklim hingga tahun 2050, diperkirakan,

ketersediaan pangan tak mencukupi sehingga penderita kelaparan dapat mencapai 600

 juta orang; perluasan areal banjir mengorbankan 100-250 juta orang; kekeringan

berkepanjangan membuat kekurangan air diderita 3,5 milyar orang lebih; dan

meningkatnya penderita malaria hingga mencapai 300 jiwa. Krisis pangan yang

sekarang melanda dunia disebabkan diantaranya oleh perubahan iklim yang drastis

sehingga mengakibatkan gagal panen. Demikian halnya dengan perluasan areal banjir

dan kekeringan. Indonesia adalah salah satu diantara negara-negara yang mengalami

dampak terparah dari rangkaian krisis lingkungan ini. Penggundulan hutan yang terus

meningkat demi perluasan industri pertambangan dan kelapa sawit, pencemaran udara

di kota-kota besar akibat membludaknya pemakaian kendaraan bermotor, gedung-

gedung raksasa yang membabat areal hijau, dan seterusnya, menambah deretan

kejahatan terhadap lingkungan yang dampaknya kembali kepada manusia.

Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun

1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun

2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru

dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut

menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluas-

luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat

untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara

sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan

prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik 

Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu

pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian

yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya

dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali

dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang

menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga

dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber

daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 5/15

yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan

keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh

program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan

meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi

masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah

ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan

perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan

dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan

efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

Pada tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah mengundang suara pro dan

kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang

sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi

daerah-daerah miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut.

Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk 

peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi

daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan.

Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun

2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa hal

baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan, prasarana maupun sarana dan

sumber daya lainnya belum siap.

Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal,

bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis

ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan

dinamika penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan

masyarakat.

Pengelolaan Sumber Daya Alam di era Otda banyak menimbulkan dampak 

negatif keinginan Pemda untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), telah

menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak 

negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Era Otda tidak disikapi baik oleh aparat Pemda, DPRD maupun warga

masyarakat dengan kematangan berfikir, bersikap dan bertindak. Masing-masing

elemen masyarakat lebih menonjolkan hak dari pada kewajiban dalam mengatur dan

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 6/15

mengurus sesuatu yang menjadi kepentingan umum. Dengan kata lain, masing-masing

lebih mengedepankan egonya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemahaman

terhadap Otda yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat

menyebabkan pelaksanaan Otda menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang

aman, damai dan sejahtera. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan

kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar,

memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan

atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya alam yang tersedia,

dll. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi

dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi

kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing

semaunya sendiri. Di pihak lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang

seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otda

tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut

terhanyut dan berlomba mengambil untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang

salah . Semua itu terjadi karena Otda lebih banyak menampilakn nuansa kepentingan

pembangunan fisik dan ekonomi. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan

lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh

wilayah tanah air, bahkan untuk Pulau Jawa dan Bali sejak tahun 1995 telah mengalami

defisit air karena kebutuhan air jauh di atas ketersediaan air (Sumber: Direktorat

Geologi dan Tata Lingkungan, 2001).Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali

 juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak 

terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme

yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.

Sementara pembangunan sumber daya manusia / SDM (moral, spiritualintelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan, (karena SDM berkualitas

ini merupakan prasyarat), sangat kurang mendapat perhatian sebagaimana dikemukakan

oleh Riwu Kaho (1988:60), bahwa penerapan otonomi daerah yang efektif memiliki

beberapa syarat, sekaligus sebagai faktor yang sangat berpengaruh, yaitu :

  Manusia selaku pelaksana harus berkualitas

  Keuangan sebagai biaya harus cukup dan baik 

 Prasarana, sarana dan peralatan harus cukup dan baik 

  Organisasi dan manajemen harus baik 

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 7/15

Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah faktor 

yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain

bergantung pada faktor manusia ini. SDM yang tidak/belum berkualitas inilah yang

menyebabkan penyelenggaraan Otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya,

penuh dengan intrik, konflik dan carut-marut serta diwarnai oleh menonjolnya

kepentingan pribadi dan kelompok. Kerusakan SDA dan lingkungan paling parah juga

terjadi di daerah miskin sumber daya SDA dimana lahan dan sumber daya yang ada di

atasnya merupakan pilihan utama mata pencaharian penduduk. Sementara itu,

kebodohan penduduk menyebabkan mereka umumnya menggantungkan sumber mata

pencahariannya pada sektor pertanian dan hasil hutan. Kondisi seperti ini dialami oleh

sebagian besar daerah kabupaten di Jawa dan Madura, sehingga dari hari ke hari luas

hutan di Jawa dan Madura semakin menyempit. Diperkirakan luasnya kurang dari 15 %

dari seluruh luas tanah. Padahal sebenarnya luas hutan dan areal di Jawa paling sedikit

30 % dari seluruh luas tanah. Sebagian besar penduduk yang berpengetahuan rendah,

menyikapi pemberlakuan otonomi daerah yang bersamaan dengan krisis ekonomi dalam

hal eksplolitasi SDA dengan cara-cara yang tidak/kurang bertanggungjawab, pertama;

tidak taat hukum/peraturan, beberapa contoh dalam hal ini; penjarahan hutan (termasuk 

hutan reboisasi), penjarahan areal pertambangan yang sudah dikonsesikan kepada

perusahaan (BUMN, BUMD & Swasta) dan mengolah tanah dengan serampangan

(tidak sesuai dengan kaidah/metoda pertanian). Dampak negatif dari penjarahan hutan

dan cara bertani yang salah dan ilegal telah menyebabkan kerugian ganda, yakni

kehilangan lapisan tanah subur karena erosi, banjir setiap hujan besar, sumber air

semakin menyusut dan kepunahan dari sebagian flora serta fauna langka. Kedua;

rendahnya tingkat kepedulian dan rasa tanggung jawab, baik kepedulian/tanggung

 jawab sosial maupun lingkungan alam; bahkan terhadap masa depan diri dan anak 

cucunya. Ketiga; malas bekerja, gejala ini tampak dari banyaknya tenaga muda

potensial yang putus sekolah atau tamat sekolah malas bekerja, mereka banyak yang

meninggalkan kampung/desa tempat tinggalnya berbondong-bondong pergi ke kota. Di

kota mereka lebih banyak menjadi “beban” karena sebagian hanya bekerja secara

sambilan di sektor informal (seperti pedagang kaki lima, pengamen, buruh bangunan,

pengemis, dll). Gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi), baik yang

permanen maupun yang musiman, merupakan penyebab utama terjadinya

kesemrawutan wajah kota, kriminalitas dan kepadatan penduduk kota yang sulit

diperhitungkan serta dikendalikan. Sementara itu, aktivitas pertanian dan nelayan di

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 8/15

desa-desa telah mengalami stagnasi,bahkan penurunan yang signifikan karena

kekurangan tenaga kerja muda. Dua gejala yang kontradiktif (pertumbuhan kota yang

sangat cepat, tak teratur di satu pihak dan pedesaan yang stagnan serta banyaknya

kerusakan lingkungan di pihak lain), tampaknya di era otonomi daerah ini tidak 

dipandang sebagai suatu masalah yang patut mendapat perhatian dan upaya solusi yang

sungguh-sungguh. Bilamana hal ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan masalah

besar dan kompleks sehingga makin sulit diatasi. Di samping itu perusakan atau

pelanggaran terhadap lingkungan yang dibiarkan berkepanjangan dapat menyebabkan

para pelakunya menjadi bebal (tidak merasa apa yang diperbuatnya sebagai suatu

kejahatan). Padahal penjahat lingkungan itu merupakan “teroris laten” karena akibat

perbuatannya dapat menyengsarakan banyak orang di masa yang akan datang yang

tidak dapat diperkirakan berapa lama.

Kebijakan otonomi daerah muncul karena dirasakannya kebutuhan mencegah

terjadinya disintegrasi nasional setelah lengsernya presiden Soeharto, serta memberikan

kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk menguasai dan memperoleh pendapatan

dari sumberdaya mereka. Papua Barat dan Aceh, yang paling berkeinginan untuk 

merdeka, ditawarkan paket otonomi khusus yang disetujui menjadi undang-undang pada

akhir 2001.

Selama ini, hutan sebagai salah satu sumber daya alam terpenting di Indonesia,

telah menjadi sumber pertikaian kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah.

Pemerintah daerah telah mengambil alih kewenangan atas sumber-sumber tersebut,

sementara pemerintah pusat tetap berusaha untuk mempertahankan penguasaan atas

sumber daya yang ada.

Salah satu kementerian yang sangat menentang digerogotinya kekuasaannya

oleh adanya otonomi daerah adalah Kementerian Kehutanan. Perebutan kekuasaaan

antara pusat dan daerah terfokus pada hal-hal dibawah ini :

Pendapatan dari penebangan 

Dengan undang-undang tahun 1999 tentang desentralisasi keuangan, pendapatan

dari kehutanan harus dibagi 80% untuk daerah dan 15% untuk pemerintahan pusat. Pada

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 9/15

tahun 2000 menteri kehutanan Nur Mahmudi mengusulkan pembagian 70% dan 30%

yang memicu kemarahan para kepala daerah.

Pendapatan dana reboisasi 

Pemerintah pusat pada awalnya mengusulkan pembagian dana reboisasi sebesar

40% untuk daerah dan 60% bagi pemerintah pusat. Pembagian ini kemudian dirubah

menjadi 90:10 dimana daerah mendapatkan porsi terbesar.

Pengambilan keputusan mengenai HPH

SK 05.1 tahun 2000 yang diterbitkan bulan November 2000, memperbolehkan

pemerintah daerah menetapkan izin HPH. Menteri kehutanan mencoba untuk merevisi

keputusan tersebut pada tahun berikutnya, karena beberapa bupati mengeluarkan

ratusan izin penebangan di daerah mereka, namun tidak dihiraukan.

Kemudian ada sebuah ancaman baru bagi hutan Indonesia dan masyarakat hutan

yaitu sesuatu yang disebut “HPH kecil” yang diberikan oleh pejabat lokal. Yang

dimaksud disini adalah HPH seluas 100 hektar (HPHH), yang didasarkan pada

keputusan menteri (KepMen HutBun 310/1999) untuk mengurangi penebangan ilegal

dan konflik atas sumberdaya alam. Dasar pemikirannya adalah untuk meningkatkan

pendapatan daerah dengan memberi masyarakat kesempatan mengeksploitasi hutan.

Desa dapat membentuk koperasi atau perusahaan kemudian melakukan penebangan di

areal hutan konversi selama 1 tahun. Izin untuk kegiatan ini adalah wewenang

pemerintah daerah.

Di beberapa propinsi, ratusan HPH 100 hektar telah dikeluarkan dan masih ada

ratusan lainnya yang telah mengajukan permohonan. Wilayah propinsi KalimantanTimur dan Barat yang paling banyak tercatat mengeluarkan izin tersebut. Di Kutai

Barat, bupati Rama Asia hingga pertengahan 2001 telah mengeluarkan lebih dari 600

HPH kecil. Bupati Bulungan dan Kutai Tengah juga mengeluarkan ratusan izin, tetapi

pejabat kehutanan propinsi Kalimantan Timur tidak mengetahui secara pasti berapa

banyak yang telah dikeluarkan. Dinas Kehutanan Kalimantan Barat mengeluh terlalu

banyaknya HPH kecil yang diterbitkan di daerah-daerah seperti Sintang.

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 10/15

Banyak bukti menunjukkan bahwa efek dari banyaknya penebangan berskala

kecil sama merusak dengan HPH besar. Tidak ada pemantauan di mana penebangan itu

dilakukan hanya, sehingga mungkin melebihi 100 hektar. Terlebih lagi banyak izin ini

diberikan juga untuk daerah hutan produksi dimana masih terdapat banyak kayu

komersial. Setidak-tidaknya ada satu kabupaten dimana sebuah kontraktor perusahaan-

perusahaan dari Malaysia mengambil alih izin tahunan semacam ini dan berpindah-

pindah dari satu tempat ke tempat lain apabila izinnya sudah selesai.

Masih ada banyak masalah lain. HPH kecil bukannya meredam konflik, bahkan

sebaliknya menimbulkan persengketaan antar masyarakat desa dan antar desa dengan

perusahaan penebangan. Di Kutai Barat, 250 kasus konflik di 15 kecamatan disebabkan

persengketaan karena daerah HPH kecil tumpang tindih dengan HPH yang telah ada

sebelummnya, konflik dengan keluarga setempat atau desa karena batas HPH-100

hektar tidak jelas dan konflik mengenai siapa yang berwenang memberi izin. Yang

membingungkan adalah karena istilah HPH kecil juga dipakai untuk merujuk konsesi

yang lebih besar. Surat keputusan menteri no 5.1 tahun 2000 mengizinkan kabupaten

untuk memberikan izin penebangan hingga 50.000 hektar dan propinsi hingga 100.000

hektar kepada perusahaan lokal. Sebenarnya izin penebangan ini dimaksudkan untuk 

daerah hutan produksi yang telah habis masa berlakunya atau yang dicabut izinnya oleh

pemerintah pusat. Sejak adanya otonomi daerah, beberapa pejabat lokal memanfaatkan

peluang ini untuk mengeluarkan peraturan atau keputusan daerah yang memungkinkan

mereka memberi izin untuk HPH di daerahnya. Izin semacam ini diberi nama berbeda-

beda di masing-masing daerah seperti IPH (di kabupaten Batanghari); IUPHHK (Kutai

Barat) dan IPKHPA (Merangin). HPH yang diterbitkan oleh daerah setempat

mengandung banyak hal negatif, diantaranya :

  Semua izin hanya dapat diperoleh oleh usaha berbadan hukum: yaitu koperasi

atau perusahaan. Dengan demikian masyarakat tidak dapat mengajukan

permohonan melalui lembaga adat;

  Perusahaan dan koperasi sering dikuasai oleh pengusaha dari kota, pejabat

pemerintah dan anggota asosiasi setempat dan bukan masyarakat hutan;

  Korupsi. Izin diberikan oleh bupati sebagai hadiah kepada pendukungnya dan

kemungkinan dijual kembali kepada perusahaan-perusahaan lain;

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 11/15

  Perencanaan hutan pada tataran propinsi dan nasional hampir-hampir tidak 

mungkin;

  Meningkatnya penggundulan hutan yang diakibatkan oleh penebangan illegal

karena tidak adanya pengawasan.

Pada bulan Februari tahun 2001 para bupati mendesak presiden Megawati untuk 

menyerahkan wewenang penuh atas hutan kepada mereka. Kemudian pada bulan yang

sama menteri kehutanan yang baru, Muhammad Prakosa me-resentralisasi manajemen

hutan dengan membatalkan SK Mahmudi pada tahun 2000. Dengan demikian para

bupati dan gubernur tidak diperbolehkan lagi mengeluarkan izin penebangan. Prakosa

menyatakan dalam sebuah wawancara pada bulan April 2002 bahwa desentralisasi akan

dilakukan secara selektif dan perlahan-lahan. Maka semakin tidak jelas wewenang

bupati dalam membuat keputusan tentang hutan. Hal ini diperparah karena peraturan

pelaksanaan undang-undang kehutanan tahun 1999  –  khususnya yang menekankan

tentang pembagian otoritas administratif  – hingga saat ini belum juga selesai.

Hierarki Kewenangan

Para bupati menganggap bahwa mereka dapat mengabaikan arahan dari

pemerintah pusat karena tidak adanya hirarki kewenangan antara pusat, propinsi dan

kabupaten. Mereka berpendapat bahwa peraturan daerah (perda) memiliki bobot yang

sama dengan peraturan pemerintah pusat sehingga mereka dapat tetap memakai perda

meskipun hal itu bertentangan dari peraturan pemerintah pusat.

Salah satu kelemahan otonomi daerah ialah kecenderungan penguatan posisi elit

politik dan bisnis setempat. Wirausahawan, pejabat pemerintah dan aparat militer

bersama-sama menggali sebanyak mungkin keuntungan dari hutan dalam waktu yang

sesingkat mungkin, melalui perizinan HPH setempat. Di Kalimantan Tengah contohnya,

sebuah investigasi yang dilakukan oleh ORNOP Telapak dibantu oleh EIA dari Inggris

menemukan adanya penebangan ilegal dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting.

Perusahaan kayu tersebut dikendalikan oleh Abdul Rasyid, seorang anggota MPR.

Perusahaannya Tanjung Lingga diidentifikasikan sebagai sarana transit semua hasil

kayu curian di Kalimantan Tengah serta diketahui memiliki jaringan untuk mengekspor

kayu ilegal ke Cina. Meskipun Rasyid sudah disidik oleh kantor kejaksaan agung

namun hingga saat ini dia tidak ditahan.

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 12/15

Di beberapa daerah, Perhutani dan Inhutani dituduh berkolusi dengan pejabat

setempat dan pengusaha perkayuan dalam melakukan penebangan secara ilegal.

Kelompok masyarakat sipil telah mendesak pemerintah daerah untuk mencegah

perusahaan-perusahaan yang korup ini beroperasi.

Sangat disayangkan, Undang-Undang No.22 dan No.25 tahun 1999 mengenai

Otonomi Daerah yang semula dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat justu pada

akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan polemik antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 13/15

BAB III : PENUTUP

A. 

KESIMPULAN

Pemberlakuan Otonomi Daerah membawa dampak buruk terhadap pengelolaan

SDA di semua daerah. Penduduk dan atau warga masyarakat mengeksploitasi SDA

dengan semena-mena tanpa dilandasi pertimbangan kearifan dan kemaslahatan demi

kepentingan jangka panjang dan keseimbangan lingkungan.

Pendayagunaan SDA yang semena-mena memberikan dampak negatif ganda

(multiple impact) terhadap semua aspek kehidupan dan sumber penghidupan

masyarakat yang pada gilirannya merugikan generasi yang akan datang.

B.  SARAN

Menanggapi persoalan yang dibahas dalam makalah ini, penulis memliki

beberapa saran yang mungkin bisa diterapkan, yaitu :

 Pemerintah atau pihak yang berwajib harus menerapkan kebijakan yang ketatterhadap pengelolaan kawasan konservasi SDA seperti: hutan lindung, hulu

sungai, sumber mata air, DAS dan hutan pantai tirai gelombang.

  Pemerintah atau pihak yang berwajib harus konsisten menerapkan kebijakan dan

peraturan perundang-undangan serta memberikan sanksi hukum yang berat

kepada perusak lingkungan.

  Pemerintah atau pihak yang berwajib harus membuka akses kepada masyarakat

tentang informasi kebijakan pendayagunaan SDA.

  Pemerintah atau pihak yang berwajib harus membuka ruang partisipasi

masyarakat dalam memperoleh dan menyalurkan informasi, serta mencari solusi

kerusakan SDA sebagai akibat pengelolaan yang salah/illegal.

  Pemerintah atau pihak yang berwajib harus menyelenggarakan pengawasan

dan pengendalian pengelolaan SDA yang intensif dan ekstensif.

  Masyarakat harus memberikan masukan kepada pemerintah tentang pendaya-

gunaan dan penyelamatan SDA yang benar.

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 14/15

  Masyarakat harus memberikan informasi secara dini tentang kejadian/peristiwa

bencana alam, kerusakan lingkungan dan pelaku kejahatan lingkungan/SDA.

  Masyarakat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan

tindakan aparat pemerintah yang merugikan lingkungan dan SDA.

5/12/2018 Makalah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/makalah-55a35b9034c19 15/15

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Firman. “Menggali Potensi, Mengubah Paradigma”. http://green-pnpm.com/pnpmlmp/baru/BeritaNew/DetailBerita.php?kodeberita=B0037. (Diakses

tanggal 21 Desember 2011).

Majid, Abdul. “Dampak Positif d an Negatif Otonomi Daerah Terhadap Kemajuan

 Bangsa Indonesia”. http://majidbsz.wordpress.com/2008/06/30/dampak-positif-dan-

negatif-otonomi-daerah-terhadap-kemajuan-bangsa-indonesia-dilihat/ . (Diakses tanggal

21 Desember 2011).

Nababan, Abdon.  “ Konflik Penguasaan & Pengelolaan Sumberdaya Alam :

 Implikasinya Terhadap Masyarakat Adat”.

http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/makalah_ttg_konflik_sda.html. (Diakses tanggal

21 Desember 2011).

Purbawati , Christina Yulita. “Kapitalisme Merusak Alam!”.

http://koranpembebasan.wordpress.com/2011/10/13/kapitalisme-merusak-alam/ . 

(Diakses tanggal 21 Desember 2011).

Tarmansyah, Umar S. “ Dampak Negatif Otonomi Daerah dan Peran Dephan Dalam

Pendayagunaan Sumber Daya Nasional untuk Kepentingan Pertahanan Negara”.

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=4&vnomor=14. (Diakses tanggal

21 Desember 2011)

-. “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999”.

http://www.djmbp.esdm.go.id/sijh/uu-25-1999.pdf . (Diakses tanggal 21 Desember

2011).

-. “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999”.

http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-22-1999.pdf . (Diakses tanggal 21 Desember

2011).