MAKALAH

download MAKALAH

of 17

Transcript of MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN Kehidupan modern di kota-kota besar negara kita menuntut tersedianya prasarana yang memadai. Salah satu di antaranya adalah gedung-gedung kantor yang megah yang dilengkapi dengan sistem AC sentral. Gedung-gedung seperti ini biasanya dibuat tertutup dan mempunyai sirkulasi udara sendiri. Gedung yang baik dengan sarana yang memadai tentu menjadi tempat yang amat nyaman untuk bekerja, dan karena itu dapat pula meningkatkan produktifitas kerja karyawan. Tetapi, di pihak lain, kita perlu mengenal kemungkinan adanya gangguan kesehatan pada gedung-gedung seperti itu yang pada akhirnya justru akan menurunkan produktifitas kerja karyawannya yang bekerja di dalam gedung-gedung itu. Para ahli di beberapa negara mulai banyak menulis tentang adanya gedung-gedung pencakar langit yang "sakit", dan menimbulkan sindrom gedung sakit. Istilah sindrom gedung sakit (sick building syndrome) pertama-tama diperkenalkan oleh para ahli dari negara Skandinavia di awal tahun 1980an yang lalu. Istilah ini kemudian digunakan secara luas dan kini telah tercatat berbagai laporan tentang sindrom ini dari berbagai Negara Eropa, Amerika dan bahkan dari negara tetangga kita Singapura. Sindrom gedung sakit adalah kumpulan gejala akibat adanya gedung yang "sakit", artinya terdapat gangguan pada sirkulasi udara di dalam gedung itu. Adanya gangguan itulah yang menyebabkan gedung tersebut dikatakan "sakit", sehingga timbul sindrom ini yang memang terjadi karena para penderitanya menggunakan suatu gedung yang sedang "sakit". Gejala-gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di dalam gedung. Keluhan yang ditemui pada sindrom ini antara lain dapat berupa batuk-batuk kering, sakit kepala, iritasi di mata, hidung dan tenggorok, kulit yang kering dan gatal, badan lemah dan lain-lain. Keluhan-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu. Keluhan-keluhan yang ada biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa mengganggu dan yang penting amat berpengaruh terhadap produktifitas kerja seseorang. Sindrom gedung sakit baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20%, atau bahkan sampai 50%,

1

pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Sick Building Syndrome Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. Keluhan-keluhan dapat timbul dari penghuni gedung pada ruang atau bagian tertentu dari gedung tersebut, meskipun ada kemungkinan menyebar pada seluruh bagian gedung. Istilah Sick Building Syndrome telah dipakai secara luas, yang mengacu pada definisi gedung sakit, meskipun tidak jelas bagaimana mendiagnosa gedung tersebut sehingga dikatakan sakit. Penggunaan istilah Sick Building Syndrome apabila terdapat petunjuk-petunjuk utama bahwa gedung sebagai penyebabnya, antara lain (a) adanya gejala-gejala ketika bekerja atau tinggal di dalam gedung, (b) kejelasan berkurangnya gejalagejala ketika meninggalkan gedung atau bekerja di tempat lain untuk sementara, (c) munculnya gejala-gejala ketika kembali ke gedung, serta (d) adanya gejala-gejala yang dialami oleh banyak orang. Istilah Sindroma Gedung Sakit pertama kali diperkenalkan oleh para ahli dari Negara Skandinavia pada awal tahun 1980-an. Istilah ini kemudian dipakai secara luas dan kini telah tercatat berbagai laporan tentang terjadinya Sindroma Gedung Sakit dari berbagai negara di Eropa, Amerika dan bahkan dari negara Singapura. B. Polusi Udara Dalam Ruang Penyebab terjadinya Sick Building Syndrome berkaitan erat dengan ventilasi udara ruangan yang kurang memadai karena kurangnya udara segar masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi udara yang kurang merata, serta kurang baiknya perawatan sarana ventilasi. Dilain pihak, pencemaran udara dari dalam gedung itu sendiri yang berasal dari misalnya asap rokok, pestisida, bahan pembersih ruangan dan sebagainya. Bahan

3

pencemar udara yang mungkin ada dalam ruangan dapat berupa gas CO, CO2, beberapa jenis bakteri, jamur, kotoran binatang, formaldehid dan berbagai bahan organik lainnya yang dapat menimbulkan efek iritasi pada selaput lendir dan kulit. Kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) sebenarnya ditentukan secara sengaja ataupun tidak sengaja oleh penghuni ruangan itu sendiri. Ada gedung yang secara khusus diatur, baik suhu maupun frekuensi pertukaran udaranya dengan memakai peralatan ventilasi khusus, ada pula yang dilakukan dengan mendayagunakan keadaan cuaca alamiah dengan mengatur bagian gedung yang dapat dibuka. Kualitas udara dalam ruangan juga dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan penghuninya. Dengan demikian kualitas udara tidak bebas dalam ruangan sangat bervariasi. Apabila terdapat udara yang tidak bebas dalam ruangan, maka bahan pencemar udara dalam konsentrasi yang cukup memiliki kesempatan untuk memasuki tubuh penghuninya. Berdasarkan hasil pemeriksaan NIOSH (The National lnstitutefor Occupational Safety and Health), suatu badan untuk kesehatan dan keselamatan di Amerika Serikat menunjukkan enam sumber utama pencamaran udara di dalam suatu gedung yaitu: a) Pencemaran dari alat-alat di dalam gedung (17%) Pencemaran akibat mesin foto kopi, asap rokok, pestisida, bahanbahan pembersih ruangan dan lain-lain. b) Pencemaran dari luar gedung (11 %) Masuknya gas buang kendaraan bermotor yang lalu lalang, gas dari cerobong asap atau dapur yang terletak di dekat gedung, yang kesemuanya dapat terjadi akibat penempatan pemasukan udara yang tidak tepat. c) Pencemaran akibat bahan bangunan (3%) Formaldehid, lem, asbes, fiber glass dan bahan-bahan lain yang merupakan komponen bangunan pembentuk gedung tersebut. d) Pencemaran mikroba (5%) Bakteri, jamur, protozoa dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin (AC) beserta seluruh lokasi lubang

sistemnya. e) Gangguan ventilasi (52%) Kurangnya udara segar yang masuk, buruknya distribusi udara dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara temyata punya peranan besar dalam menentukan sehat tidaknya lingkungan udara di dalam suatu gedung. f) Tak diketahui (12%)

Kualitas udara dalam ruangan yang baik didefinisikan sebagai udara yang bebas bahan pencemar penyebab iritasi, ketidaknyamanan atau terganggunya kesehatan penghuni. Temperatur dan kelembaban ruangan juga mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan penghuni. Baku mutu bahan pencemar tertinggi yang diperkenankan dari beberapa bahan pencemar udara ruangan telah dideskripsikan dalam American Society of Health, Refrigerating, and Air Conditioning Engineers (ASHRAE) tahun 1989. Sedangkan baku mutu tertinggi yang diperkenankan untuk kelompok bahan pencemar spesifik dan pedoman kenyamanan dalam ruangan untuk parameter fisik yang spesifik diuraikan dalam Guideline for Good Indoor Air Quality. Polusi udara dalam ruang adalah tingginya konsentrasi partikel polusi yang mengudara (airborne contaminants), bau, dan penyebab alergi yang ditimbulkan oleh penghuni/ pengguna gedung itu sendiri atau merupakan kontaminasi polusi udara luar yang masuk ke dalam gedung. Polusi dalam ruang digolongkan menjadi: 1. Polusi fisik Yang termasuk ke dalam polusi fisik adalah: a. Pendingin udara (kaitannya dengan suhu dan kelembaban ruang) Secara dilakukan umum, pengkondisian mengkondisikan udara udara (air-conditioning) dari luar bisa dengan

dipanaskan (untuk heating mode seperti di negeri-negeri dingin) atau didinginkan (untuk cooling mode seperti halnya di Indonesia) sehingga udara yang disemburkan ke dalam ruangan mencapai kondisi set-point (temperatur dan kelembaban) yang diinginkan.

5

Pendingin udara diklasifikasikan menjadi pendingin udara lokal dan sentral. Pendingin udara lokal yaitu pendingin udara yang umum dipakai di rumah-rumah, atau beberapa ruangan kantor (biasanya ruang pejabat struktural, namun sekarang hampir seluruh ruang baik ruang staf maupun umum sudah dipasang pendingin udara/AC), sedangkan pendingin udara sentral adalah pendingin udara yang dikendalikan dari satu tempat tersendiri oleh operator khusus, biasanya hotel-hotel, pusat perbelanjaan, dan gedung perkantoran berskala besar. Kedua pendingin udara ini berpotensi dalam menyebarkan berbagai virus dan bakteri. Idealnya, filter mesin AC dibersihkan dan dibubuhi disinfektan setidaknya 3-4 kali setahun. Jika tidak, AC menjadi lokasi ideal bagi perkembangbiakan rombongan bakteri. Kawanan Chlamydia sp, Escherichia sp, dan Legionella sp, akan bersarang dengan nyaman di sela filter AC yang berair dan lembab. Ketika udara AC menyembur ke seluruh sudut ruangan, saat itu pula koloni kuman menyusup ke saluran pernapasan, terhirup melalui mulut, hidung, atau masuk lewat lubang kuping. Bagi orang sehat dengan stamina prima, masuknya kuman tak mendatangkan masalah. Lain soal jika korban yang dijambangi kuman adalah mereka yang daya tahan tubuhnya sedang buruk. b. Debu di ruangan kerja Debu merupakan partikel-partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari bahan, baik organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu, bijih, logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya, yang memiliki ukuran antara 0,1 2,5 mikron. Sumber alamiah partikulat atmosfir adalah debu yang memasuki atmosfir karena terbawa oleh angin. Oleh karena itu, debu bisa terdapat di mana saja, misalnya untuk indoor, penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan debu. Karena ukurannya yang kecil, debu dapat terhirup dan tersangkut di dalam paru sehingga dapat mengganggu akivitas pernafasan manusia.

c. Karpet yang tidak dirawat Karpet merupakan salah satu bahan bangunan yang paling membahayakan bagi kesehatan, dan apabila memungkinkan, maka disarankan pencegahan penggunannya. Hal tersebut karena partikel debu yang dibawa oleh manusia dari luar ruangan, pestisida yang disemprotkan ke ruangan, akan menempel pada karpet. Selain itu ada juga kutu debu yang biasanya tinggal di antara sela-sela karpet, mengkonsumsi partikel-partikel kulit mati yang diproduksi oleh manusia setiap harinya. Sebagian iritasi pada Sick Building Syndrome disebabkan oleh alergen yang terdapat pada karpet, seperti tungau atau kapang. Juga alas karpet serta perekat yang digunakan untuk merekatkan karpet tersebut acap kali mengeluarkan senyawa-senyawa organik yang mudah menguap. Sebagian besar orang pernah merasakan bau kuat yang menyengat dari karpet yang baru dipasang. Bila karpet tidak terawat, jarang dibersihkan dan dijemur, maka pertikel debu, dan pencemar lain yang menempel di karpet akan ikut masuk ke dalam sistem pernafasan manusia sehingga dapat mengganggu kesehatan. 2. Polusi biologi Polusi biologi disebabkan oleh kutu debu, jamur, bakteri, serbuk sari tanaman, dan organisme lain. Terutama, perkantoran modern yang biasanya menggunakan pendingin tanpa ventilasi alami. Pekerja dapat berisiko mengidap penyakit, diantaranya: Humidifier fever yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh organisme yang menyebabkan sakit pada saluran pernafasan dan alergi. Organisme ini biasanya terdapat dan hidup pada air yang terdapat di sistem pendingin. Legionnaire disease penyakit ini juga berhubungan dengan sistem pendingin dalam ruang namun disebabkan oleh spesifik bakteri terutama bakteri legionella pneumophila. Penyakit ini terutama akan lebih berbahaya pada pekerja dengan usia lanjut. Reaksi legionella memang sering tidak sertai gejala mencolok bahkan

7

seperti flu biasa. Paling-paling hanya demam, menggigil, pusing, batuk berdahak, badan lemas, tulang ngilu dan selera makan lenyap. 3. Polusi kimia Penggunaan pewangi ruangan merupakan salah satu penyebab polusi dalam ruang karena pewangi ruangan tersebut akan memaparkan bermacam bahan yang serba kimiawi. Ada yang bisa menyebabkan alergi, pusing, hingga mual. Dilaporkan bahwa 95% bahan kimia dalam pewangi adalah senyawa sintesis yang berasal dari petrokimia, termasuk turunan benzene, aldehida dan banyak toksin serta agen pembuat peka lain. Pajanan yang berulang-ulang akan memicu peningkatan sensitivitas dan reaksi yang semakin kuat. Sensitivitas ke beragam bahan lain. Bahan-bahan ini dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, termasuk reaksi alergi, masalah pernapasan dan sensitivitas.pada pajanan berulang, bahanbahan tersebut dapat meyebabkan keadaan yang lebih serius, misalnya cacat lahir, gangguan saraf pusat, dan kanker. Selain itu, juga penyemprot nyamuk, rokok, mesin fotokopi yang mengeluarkan ozon, penggunaan berbagai desinfektan, hingga tanaman hidup yang tidak pernah dikeluarkan dari ruangan. Tanaman yang jarang dikeluarkan dari ruangan juga kurang baik karena pada malam hari tanaman mengeluarkan karbondioksida dan mengkonsumsi oksigen. Terlebih jika tanaman tersebut berada di dalam ruangan kantor yang jarang dibuka ventilasi udara segarnya. 4. Polusi gas Polusi gas, selain datang dari asap pembuangan kendaraan bermotor, juga terjadi di bangunan tempat tinggal kita seperti tungku api dan pemanas yan g tidak disertai dengan sistem ventilasi yang baik, dan juga dari kompor gas yang mengeluarkan karbonmonoksida, karbondioksida, dan nitrogen dioksida. Selain itu juga banyak materi bangunan modern, seperti cat rumah yang masih baru diaplikasikan, papan partikel (particle board), papan fiber (fiber board), dan berbagai macam perabotan plastik yang mengeluarkan

gas organik dalam jangka tahunan. 5. Polusi radiasi a. Radiasi alam Di antara sekian banyak sumber radiasi alam, radon merupakan sumber radiasi alam yang paling banyak mendapatkan perhatian sehubungan dengan efek merugikan yang ditimbulkannya. Efek merugikan tersebut berkaitan dengan kesehatan manusia. Radon merupakan gas radioaktif yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan secara kimia tidak reaktif. Zat ini terbentuk dari turunan radium-226 yang termasuk dalam rantai luruhan uranium-238 yang ada di dalam batu, tanah dan air. Zat ini dapat bermigrasi dari batuan dan tanah masuk ke atmosfir. Berbagai bahan bangunan seperti granit, italian tuff serta alum shale konkrete ringan, mengandung konsentrasi radium-226 yang dapat menjadi sumber migrasi radon di dalam ruangan. Ternyata udara luar berperan penting bagi masuknya radon ke udara ruangan melalui ventilasi udara maupun pintu dan jendela. Komponen terbesar dari paparan radon pada manusia melalui inhalasi radon dan turunannya yang berumur pendek. Radon dan sekitar sepertiga hasil luruhannnya akan terinhalasi dan masuk ke dalam organ paru sebagai organ target. Gas radon yang terinhalasi ini dapat masuk ke dalam darah serta berbagai organ maupun jaringan tubuh manusia. Penggunaan bahan-bahan tambang seperti asbes dan sisa-sisa hasil pengolahan bahan tambang sebagai bahan bangunan untuk perumahan atau gedung, dapat memperbesar kadar radon. C. Indikator Sick Building Syndrome Indikator Sick Building Syndrome yaitu: 1. Penghuni gedung mengeluh sakit kepala, iritasi mata, hidung atau tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan dalam berkonsentrasi, kelelahan dan peka terhadap bau.

9

2. Penyebab dari gejala tidak diketahui. 3. Sebagian besar pengadu melaporkan lega segera setelah meninggalkan gedung. Sedangkan indikator sakit yang disebabkan oleh kondisi bangunan yaitu: 1. Penghuni gedung mengeluhkan gejala seperti batuk, dada sesak, demam, menggigil dan nyeri otot. 2. Gejala-gejala dapat didefinisikan secara klinis dan telah diidentifikasi penyebabnya secara jelas. 3. Penghuni gedung mungkin memerlukan waktu pemulihan yang lama setelah meninggalkan gedung. D. Gejala Sick Building Syndrome Para penghuni gedung umunya mengalami gejala Sick Building Syndrome yang bervariasi. Gejala-gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di dalam gedung. Keluhan yang ditemui pada sindrom ini antara lain dapat berupa batuk-batuk kering, sakit kepala, iritasi di mata, hidung dan tenggorokan, kulit yang kering dan gatal, badan lemah, kelelahan, peka terhadap bau yang tidak sedap serta sulit untuk berkonsentrasi. dan lain-lain. Keluhan-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu. Keluhan-keluhan tersebut biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa mengganggu dan yang penting, amat berpengaruh terhadap produktifitas kerja seseorang. Sick Building Syndrome baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20% atau bahkan sampai 50%, pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa. Keluhan atau gejala dibagi Sick Building Syndrome dibagi dalam tujuh kategori sebagai berikut: 1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair. 2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk kering. 3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit kepala, lemah,

capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi. 4. Gangguan paru dan pernapasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat di dada. 5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal. 6. Gangguan saluran cerna, seperti diare. 7. Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dll. Seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome apabila memiliki keluhan sejumlah kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang, pegal-pegal, sakit leher atau penggung, dalam kurun waktu yang bersamaan. E. Pencegahan Sick Building Syndrome Keluhan yang timbul pada penderita biasanya dapat ditangani secara simtomatis asal diikuti dengan upaya agar suasana lingkungan udara di gedung tempat kerja menjadi Iebih sehat. Yang perlu mendapat perhatian utama tentu bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari suatu gedung menjadi penyebab sindrom gedung sakit ini. Ternyata upaya pencegahannya cukup luas, menyangkut bagaimana gedung itu dibangun, bagaimana desain ruangan, bahan-bahan yang digunakan di dalam gedung, perawatan alat-alat dan lain-lain. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi: 1. Umumnya penderita Sindrom Gedung Sakit akan sembuh apabila keluar dari dalam gedung tersebut, gejala-gejala penyakitnya dapat disembuhkan dengan obat-obat simtomatis (obat-obat penghilang gejala penyakit). 2. Upaya agar udara luar yang segar dapat masuk ke dalam gedung secara baik dan terdistribusi secara merata ke semua bagian di dalam suatu gedung. Dalam hal ini perlu diperhatikan agar lubang tempat masuknya udara luar tidak berdekatan dengan sumbersumber pencemar di luar gedung agar bahan pencemar tidak terhisap masuk ke dalam gedung. Ventilasi dan sirkulasinya udara

11

dalam gedung diatur sedemikian rupa agar semua orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah supply udara segar sesuai dengan kebutuhan jumlah orang didalam ruangan, demikian pula harus diperhatikan jumlah supply udara segar yang cukup apabila ada penambahan-penambahan karyawan baru dalam jumlah yang signifikan. 3. Perlu pula diperhatikan pemilihan bahan-bahan bangunan dan bahan pembersih ruangan yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung dan lebih ramah lingkungan (green washing, non toxic, natural, ecological friendly).. 4. Penambahan batas-batas ruangan dan penambahan jumlah orang yang bekerja dalam satu ruangan hendaknya dilakukan setelah memperhitungkan agar setiap bagian ruangan dan setiap individu mendapat ventilasi udara yang memadai. 5. Jangan asal membuat sekat ruangan saja, dan jangan terus menerus menambah jumlah orang untuk bekerja dalam satu ruangan sehingga menjadi penuh sesak. 6. Alat-alat kantor yang mengakibatkan pencemaran udara, seperti mesin fotocopy, diletakkan dalam ruangan terpisah. 7. Renovasi kantor dengan menggunakan bahan-bahan bangunan baru, cat baru, lem baru, agar dipasang exhaust fan yang memadai agar pencemaran dari volatile organic compounds (VOCs), terutama uap benzene dan formaldehyde yang berasal dari bahan-bahan bangunan baru dapat segera dibuang. F. PENELITIAN SICK BUILDING SYNDROME Penelitian telah dilakukan oleh Eva Nurita Agestina Panjaitan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Sick Building Syndrome pada karyawan BTPN Cabang Semarang pada tahun 2007. Gedung BTPN Cabang Semarang termasuk gedung yang tertutup karena menggunakan Air Conditioning (AC) untuk menjaga kestabilan suhu dalam ruang yang diinginkan. Ventilasi, yang dalam hal ini adalah jendela, merupakan ventilasi yang bisa ditutup atau dibuka (sesuai dengan kebutuhan), agar apabila ketika AC dalam keadaan mati, ada pergantian

udara yang alamiah, sehingga kebutuahn udara dalam ruang dapat terpenuhi. Kegiatan membersihkan ruang kerja perkantoran dilakukan pada pagi dan sore hari, dengan aktivitas menyapu, mengepel, pembersihan kaca pintu dan jendela. Untuk pembersihan karpet dilakukan seminggu sekali dengan menggunakan vacuum cleaner. Penelitian dilakukan terhadap 32 responden dimana 30 responden (93,7%) berada dalam gedung dan atau ruang kerja selama lebih dari 8 jam. Dan sisanya sebanyak 2 responden (6,3%) menghabiskan waktu di dalam gedung kurang dari 8 jam. Kondisi lantai di kantor BTPN Cabang Semarang pada saat dilakukan penelitian memiliki kadar debu total diatas Nilai Ambang Batas. Nilai Ambang Batas untuk kadar debu yaitu 0,15 mg/m3 dan hasil pengukuran didapatkan pada lantai I kadar debunya 0,164 mg/m3, lantai II kadar debunya 0,168 mg/m3, dan lantai III kadar debunya 0,262 mg/m3.

Dari penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi frekuensi Sick Building Syndrome pada karyawan BTPN Cabang Semarang Status Kejadian SBS Non kejadian SBS Total Frekuensi (orang) 7 25 32 Persentase (%) 21.9 78.1 100

Sebanyak 7 responden dari total responden yang dlakukan penelitian ternyata mengalami kejadian Sick Building Syndrome selama mereka bekerja di kantor tersebut, dan sisanya sebanyak 25 responden tidak mengalami kejadian Sick Building Syndrome. Gejala-gejala yang dialami oleh para karyawan selama bekerja dikantor adalah sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi frekuensi Sick Building Syndrome berdasarkan gejala yang dialami pada karyawan BTPN Cabang Semarang No. Gejala Mengalami Tidak Total

13

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

Tenggorokan sakit Kulit kering Kulit bersisik Iritasi mata Masalah dengan contack lens Hidung basah Hidung tersumbat Sulit bernafas Dada sesak Flu Sakit kepala Pening Merasa muak Mudah mengantuk Lesu Sakit/pegal pada lengan Dada terasa sakit Sakit punggung Sulit berkonsentrasi terasa

Jumlah 18 21 13 14 1 10 12 2 7 18 24 19 10 25 17 20 10 21 16

% 56,3 65,6 40,6 43,8 3,1 31,3 37,5 6,3 21,9 56,3 75 59,4 31,3 78,1 53,1 62,5 31,3 65,6 50

mengalami Jumlah % 14 43,8 11 19 18 31 22 20 30 25 14 8 13 22 7 15 12 22 11 16 34,4 59,4 96,9 68,8 62,5 93,8 68,8 43,8 25 40,6 78,1 56,3 21,9 46,9 37,5 68,8 34,4 50

Jumlah 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32

% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. 2. Penyebab terjadinya Sick Building Syndrome berkaitan erat dengan ventilasi udara ruangan yang kurang memadai karena kurangnya udara segar masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi udara yang kurang merata, serta kurang baiknya perawatan sarana ventilasi (indoor air quality). 3. Seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome apabila memiliki keluhan sejumlah kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang, pegalpegal, sakit leher atau penggung, dalam kurun waktu yang bersamaan. 4. Keluhan umumnya dapat ditangani secara simtomatis yang seyogyanya diikuti dengan upaya penyehatan lingkungan di dalam gedung. Faktor pencegahan mempunyai peran yang amat penting. Secara umum cara pencegahan pada dasarnya berupa turut sertanya perhitungan di bidang kesehatan dalam membangun, menata dan merawat suatu gedung. Gedung-gedung bertingkat dengan sistim AC sentral sudah mulai menjamur di kota-kota besar negara kita dan masalah sindrom gedung sakit ini cepat atau lambat akan kita hadapi dalam praktek sehari-hari. B. SARAN 1. Kantor atau perusahaan harus mengupayakan agar udara dalam gedung tempat karyawan bekerja ventilasi dan sirkulasinya diatur sedemikian

15

rupa agar semua orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah supply udara segar sesuai dengan kebutuhan jumlah orang didalam ruangan. 2. Meletakkan alat-alat kantor yang dapat mengakibatkan pencemaran udara dalam ruangan terpisah, misalnya mesin fotocopy. 3. Pemeliharaan lingkungan kerja dengan baik, terus menerus, sesekali AC dimatikan. jangan menyalakan AC

DAFTAR PUSTAKA Aditama, Tjandra Yoga. 1992. Sindrom Gedung Sakit. (Online).

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_SindromGedungSakit.pdf/09_Sin dromGedungSakit.html, diakses tanggal 20 Oktober 2009 Anies. 2005. Mewaspadai Penyakit Lingkungan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo --------. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Anonim. Waspada Terhadap Polusi Dalam Ruangan. (Online), diakses http://www.dinkesjatim.go.id/berita-detail.html?news_id=91, tanggal 17 Oktober 2009 Anonim. Indoor Air Facts No. 4 (revised) Sick Building Syndrome. (Online). http://www.epa.gov/iaq/pubs/sbs.html, diakses tanggal 22 Oktober 2009 Anonim. Sick Building Syndrome. (Online). 6.

http://www.hdindonesia.com/info-kesehatan/sick-building-syndrome, diakses tanggal 2 Nopember 2009 Keman, Soedjajadi. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. (Online). http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-04.pdf, diakses tanggal 20 Oktober 2009 Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sumamur. 1986. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV Haji Masagung Yoon, Bang 2009 Bu. Health and Housing Environment. (Online). www.sustainablehealthybuildings.org/PDF, diakses tanggal 21 Oktober

17