Majalah Jejak Islam

download Majalah Jejak Islam

of 47

Transcript of Majalah Jejak Islam

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    1/47

    Kiprah Muslimahdi Panggung

    Sejarah

    unuk Bangsa

    Menelusuri Torehan Sejarah Islam di Indonesia NO. 2 - DESEMBER 2015

     Mukaddimah Syajarah Rekam KisahKarini dan Pinu Masuk

    Feinise di IndonesiaPejalanan Panjang

    Jilbab di Indonesia

    Tenang Peepuan:

    Rahah El- YunusiyahCina Paje dan Maje

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    2/47

     Dari

     Ke Hati

     Hati

    Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press

    “Selalu ada wanita hebat di balik pria hebat,” begitulah

    kata pepatah kuno. Sejarah selalu mengajarkan bahwa

    “There always the tough woman behind a great man.”

    Sejarah telah mencatatnya. Tak cukup waktu jika kita

    urai satu per satu di sini, namun mungkin pepatah ituhadir di tengah-tengah kita, bahkan kita r asakan sendiri.

    Pembaca, jika para Bapak-bapak Bangsa (The Founding

    Fathers) menghiasi sampul muka edisi perdana Majalah

     Jejak Islam  ‘Di Balik Layar Kemerdekaan’, kini giliran

    kami tampilkan ‘Ibu-ibu hebat’ di balik ‘bapak-bapak

    bangsa’, dan tentunya di balik berdirinya bangsa ini. Para

    perempuan di balik lelaki hebat. Para muslimah yang

    berkiprah di panggung sejarah negeri ini. “The Founding

    Mothers”.

    Bertepatan dengan momen Hari Ibu, kami berusaha

    tampilkan kembali sosok-sosok Ibu Bangsa (The Founding

    Mothers). Kedengaran aneh mungkin, tapi tak berlebihan

    memang, jika kita sematkan istilahThe Founding Mothers

    kepada mereka. Silakan nikmati lembar demi lembar

    untuk mengetahui kiprah mereka.

    Siapa tak mengenal Haji Agus Salim? Semua orang

    mengakui Agus Salim sebagai salah satu The Founding

    Father   bangsa ini. Namun, mungkin kita tak akan

    menyangka bahwa di balik nama besar Haji Agus Salim,

    muncul sosok Zainatun Nahar, istrinya yang selalu setiamendukung setiap keputusan dan menemani Agus Salim

    ke mana pun ia pergi.

    Dari mulai tinggal di sudut gang becek, bilik mungil,

    rumah reyot, mengontrak dari satu gang ke gang lain,

    dari satu kota ke kota lain, dari London hingga Boston,

    dari Cornell hingga Buckingham, sang istri dengan setia

    mendampingi suami kebanggaanya. Silakan nikmati

    lembar demi lembar dalam tulisan Paatje dan Maatje 

    dalam rubrik ‘Kisah’, sajian redaksi ciri khas tulisan Rizki

    Lesus dengan gaya penulisan sejarah sastrawinya.

    Pembaca pun sudah tak asing dengan nama besar Buya

    Hamka. Namun, siapakah wanita hebat di baliknya?

    Simak tulisan Sarah Mantovani dalam Siti Raham, Antara

    THEFOUNDING

     MothersPeran Politik dan Penjaga Kehormatan Buya Hamka .

    Jika G. S. Wood dalam The Public Intellectual bilang the

    founding fathers  adalah “men of ideas and thought &

    leading intellectual”, maka mungkin kita dapat sematkan

    istilah the founding mothers  pada dua tokoh muslimahintelek yang bergerak di dunia pendidikan: Nyai Khoiriyah

    dan Rahmah El Yunusiyah.

    Simak tulisan Beggy Rizkiansyah dalam Nyai Khoiriyah,

    Ulama yang Terlupakan, tentang puteri ulama besar

    Nusantara ini KH Hasyim Asyari. yang mendirikan sekolah

    perempuan pertama di Tanah Suci. Adapaun Rahmah

    El Yunisiyah ialah muslimah pertama yang mendirikan

    sekolah perempuan pertama di Tanah Air, tentunya selain

    membidani laskar muslimah juga aktif berpolitik di Partai

    Masyumi.

    Selain dua tokoh intelektual tersebut, tak ketinggalan

    kiprah seorang jurnalis muslimah pertama di Negeri

    ini yang membidani surat kabar Soenting   Melajoe 

    (Perempuan Melayu) yang berjuang lewat dunia pers.

    Simak tulisan Tristia Riskawati dalam Jalan  Jihad Uni

    Roehana.

    Simak pula tulisan Andi Ryansyah tentang perjuangan

    panjang jilbab di negeri ini hingga perjuangan muslimat

    NU mempertahankan negeri ini dari penjajah dan

    komunisme.

    Pembaca, jika sebelum Islam datang peradaban dunia

    memandang sebelah mata makhluk wanita, maka Islam

     justru sebaliknya. Wanita dalam pandangan Islam adalah

    makhluk nan mulia. Darinya lahir generasi pelanjut cita-

    cita. Dari rahimnya, para founding father  itu melanjutkan

    perjuangan. Karenanyalah, sejarah mencatat kiprah

    mereka.

    Terakhir, syukur Alhamdulillah, di penghujung 2015, edisi

    ke-2 ini dapat kami rampungkan. Atas segala kekurangan,

    kami mohon kritik, saran, dan juga dukungan selalu agar

    kami dapat menghadirkan kembali torehan jejak Islam

    untuk bangsa ini dengan data dan fakta yang kokoh.

    Selamat menikmati.

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    3/47

    R E D A K S I

    PENERBIT

    Jejak Islam untuk Bangsa

    Jl. Taman Malaka E No.13

    Jakarta Timur

    [email protected]

    www.jejakislam.net 

    D A F T A R 0 6 M uk ad di a h Kartini & Pintu Masuk Feminisme di IndonesiaTiar Anwar Bachtiar 

    4 8 B u k u Kedudukan Perempuan dalam Islam

    Buya Hamka

    6 9 K i s a h Siti Raham, Antara Peran Politik& Penjaga Kehormatan Buya Hamka

    KH Hasyim Asy’ari 

    7 8 S ya ja a h Jalan Jihad Uni Roehana

    Tristia Riskawati 

    1 4 S yaj a ah Nyai Khoiriyah: Ulama Perempuan yang terlupakan

    Beggy Rizkiyansyah

    2 0 S ya ja ah Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu

    Sarah Mantovani 

    6 2 S ya ja a h Muslimat NU: Dedikasi untuk Negeri

     Andi Ryansyah

    7 2 R e k a Tentang Perempuan:

    Jejak Rahmah

    El-Yunisiyah

    dalam Gambar

    7 8 C a a anP u n g g u n g

    Cut Nyak Dien dan

    Gambar

    3 6 S y a j a a h Rahmah El-Yunusyah: Pejuang Perempuan,Perempuan Pejuang 

    Susiyanto

    24Syajaah

    Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

     Andi Ryansyah

    isi

    PEMIMPIN REDAKSI

    TIM REDAKSI

    ARTISTIK

    LUSTRASI SAMPUL

    REDAKTUR AHLI

    KONTRIBUTOR

    Beggy Rizkiyansyah

    No. 2 Desember 2015/

    Rabiul Awwal 1437 H

    M. Rizki Utama

    NZI

    TBS

    Qbenk

    Septian Anto W.Andi Ryansyah

    Tiar Anwar Bachtiar

    Susiyanto

    Alwi Alatas

    Sarah Mantovani

    Tristia Riskawati

    REDAKTUR Rizki Lesus

    1 0 Syaj aah Kartini Menurut M. Natsir

    Sarah Mantovani 

    7 5 DaiPebendahaaanlaa

    Menjaga Martabat Islam

    50K i s a h

    Cinta Patje dan Matje

    Rizki Lesus

     JIB Jejak Islam

    Untuk Bangsa

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    4/47

    6 Mukaddimah Mukaddimah

    Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk lewat

    berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan

    sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini

    bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara.

    Alhasil, gender mainstreaming  menjadi salah satu

    program penting dalam semua lini program yang

    dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga

    meratikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang

    salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan

    gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan

    peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akanmembicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus

    adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di

    negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?

    Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak

    ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-

    menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny.

    Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door

    Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer

    ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka,

    menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap

    Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi

    Oleh : Tia Anwa Bachta 

    Doko Sejaah Univesias Indonesia

    Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar

     Kartini  PINTU MASUK

      FEMINISME DI INDONESIA&

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    5/47

    8 Mukaddimah MukaddimahKartini & Pintu Masuk Feminisme di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar

    bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan

    harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki.

    Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang

    sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat

    sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga

    bangsa ini.

    Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran

    dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita

    seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan

    sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya.

    Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki.

    Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya

    sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus

    menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati

    Rembang.

    Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai

    pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus

    bergerak dan bangkit melawan penindasan ini.

    Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal

    pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama

    budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi

    luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah

     sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak

    mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini , Djambatan,

    1985: xvii).

    Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis

    Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia

    memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya

    ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa

    apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak,

    dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang

    ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami

    yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya

    sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani.

    Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-

    teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas

    perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang

    penganut feminisme yang sudah mendarah-daging,

    Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan

    Kartini.

    Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa

    tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan

    beberapa saat setelah pernikahannya Kartini

    menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya

    yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun

    pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-

    baik saja.

    “Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-

    betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya

     yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah,

    di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan

    menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena

     yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini , hal. 348).

    ***

    Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti i tu, patut

    dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis

    pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini

    adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati

    kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam

    harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia

    hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak

    pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti

    yang diajarkan para feminis.

    Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita

    tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan

    dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di

    sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang

    bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak

    Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah

    adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi

    kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus

    wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).

    Selain karena arus wacana politik etis, karena

    bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan

    menyerap berbagai paham yang tengah berkembang

    di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah

    liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki

    dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak

    terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang

    diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah

    Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan

    surat kabar yang berhaluan liberal.

    Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam

    surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya

    sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang

    paling feminis dibanding teman-temannya yang lain.

    Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang

    tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat

    kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai

    bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella

    pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile,

    majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-

    temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal

    seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari

    Belanda pada abad ke-19 dan 20.

    Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini

    hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di

    atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya.

    Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-

    benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki.

    Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang

    bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan

    itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah

    berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya

    itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam

    usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak

    pertamanya.

    Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran

    feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri

    Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda.

    Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini,

    menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun

    setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis,

    adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda.

    Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide

    liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini.

    Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan

    feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun

    meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri,

    Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-

    liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya

    tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-

    laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu

     A’lam.

    di rumah itu dalam segala hal keadaan

    saya baik dan menyenangkan; di situ

    yang seorang dengan dan karena yang

    lain bahagia…

    lhamdulillah,

    Kartini bersama Raden Adipati

    Djojoadiningrat.

    Sumber foto: KITLV DIgital Media Library

    http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/

    detail/form/advanced/start/10?q_

    searcheld=kartini)

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    6/47

    10 Syajarah SyajarahKartini Menurt Natsir Sarah Mantovani

    KARTININATSIRmenurut 

    “Vote for Women!”, begitu isi seruan dari kelompok Suffragettes yang tertulis di gedung-gedung pemerintahan Inggris.

    Mereka tidak hanya puas dengan menulis seruan tersebut, namun juga berdemonstrasi ke jalan untuk menarik opini

    publik, bahkan sampai melempari rumah Menteri Dalam Negeri dengan batu sehingga banyak kaca yang pecah.Cara ini dilakukan agar pihak pemerintah saat itu takut kepada mereka sehingga mereka akan diberikan kiesrecht

    (hak memilih dan dipilih), karena tuntutan inilah maka mereka dinamakan kelompok Suffragettes atau kelompok

    feminis yang menuntut hak pilih untuk perempuan.

    Kelompok Suffragettes merupakan kelompok feminis beraliran Marxis yang dipimpin oleh feminis bernama Sylvia

    Pankhurst. [1] Oleh salah satu pengurus Istri Sedar, S. Pringgodigdo dalam koran Sedar  edisi Juni-Juli 1931, Sylvia

    Pankhurst dinilai sebagai perempuan yang sangat dicintai oleh ratusan ribu perempuan dan dibenci oleh pihak kuno.2] Gerakan yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-19 tersebut pada akhirnya menjalar ke negara-negara lain,

    kemudian masuk hingga mempengaruhi pemikiran maupun sikap perempuan Indonesia pada tahun 1930-an.

    Mohammad Natsir, salah satu tokoh yang juga vokal terhadap bahaya komunisme di Indonesia, menceritakan

    hasil pengamatannya terkait feminisme yang telah mempengaruhi pemikiran dan sikap perempuan Indonesia.

    Salah seorang debater dari kalangan kaum i stri yang terkemuka di Semarang saat Kongres Jong Islamieten Bond

    (JIB), mengungkapkan pemikirannya tentang mahar dalam Islam yang disebutnya bukan memuliakan perempuan,

    melainkan salah satu penghinaan karena dengan mahar tersebut, perempuan telah dibeli laki-laki. Tokoh JIB saat itu

    Mohammad Natsir menulis:“Diwaktu penulis beberapa tahun jang silam mengemukakan sedikit perbandingan antara hak-hak perempuan

    menurut Qur’an dan menurut undang-undang Burgerlijk Wetboek jang berlaku dalam masjarakat bangsa Eropah

    dalam salah satu Kongres “Jong Islamieten Bond” dikota Semarang, salah seorang debater dari kalangan kaum isteri

     jang terkemuka dikota itu, melahirkan perasaannja bahwa “mahr” itu bukanlah suatu kemuliaan bagi perempuan,

    melainkan salah satu penghinaan, sebab dengan itu kaum perempuan itu dibeli oleh laki-laki……..!”.[3]

    Tidak hanya menceritakan hasil pengamatannya, mantan Presiden Liga Muslim se-dunia ini juga memberikan

    pandangannya terkait emansipasi yang pernah digaungkan Kartini di awal kehidupannya dalam surat-suratnya untuk

    teman-teman Belandanya. Emansipasi yang digaungkan Kartini disebabkan kerasnya adat Jawa saat itu yang tidak

    mengizinkan perempuan untuk menempuh pendidikan.’

    “Diwaktu R.A Kartini memulai perdjuangannja memperbaiki nasib kaum perempuan pada permulaan abad ini, dia

    Oleh : Saah Manovani

    Aluni Pascasajana Univesias Muhamadiyah Suakara

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    7/47

    12 Syajarah SyajarahKartini Menurut Natsir Sarah Mantovani

    berhadapan dengan tradisi-Djawa jang amat keras

    mengukung langkah-langkah kaum perempuan. Mereka

    terpaksa tinggal dalam dunia jang sempit, tinggal bodoh

    dan sontok pemandangan, tidak diberi kesempatan

    untuk menuntut ilmu-pengetahuan walaupun sekedar

    jang tak dapat tidak harus ada, untuk pentjukupkan peri

    kemanusiaan mereka”.

    Natsir menilai, perjuangan yang dilakukan Kartini

    terhadap kaum perempuan tidak lain agar mereka

    menjadi perempuan yang terdidik, karena jika kaum

    perempuan terdidik, maka mereka bisa melakukan

    kewajibannya sebagai istri dan ibu.

    “Supaja mendjadi perempuan jang terdidik untuk

    melakukan kewadjiban mereka sebagai isteri dan ibu

    dalam arti jang “sepenuh-penuhnja”, inilah tudjuan

    hidup jang dibajangkan srikandi ini untuk bangsanja

    kaum perempuan”.

    Cita-cita emansipasi, papar alumni Meer Uitgebreid

    Lager Onderwijs (MULO) ini, yang disebut Kartini dalam

    bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang  merupakan

    cita-cita yang sesuai dengan trah dan watak kaum

    perempuan.

    “Para pembatja jang memperhatikan surat-suratnja

    jang terkumpul dalam buku “Habis Gelap Terbitlah

    Terang” tidak dapat tidak akan merasa sendiri bahwa

    tjita-tjita emansipasi jang dikemukakannja itu, tidak lain

    dari pada satu tjita-tjita jang schot (tepat sasaran) dan

    berdasar kepada ftrah dan watak kaum perempuan

    semata-mata”.[4]

    Tentu, hal ini diperkuat dengan suratnya yang tidak

    diterbitkan pada bulan Januari 1903, cita-cita yang ia

    perjuangkan agar perempuan mendapatkan pendidikan

    semata-mata bukan karena keseteraan gender,

    melainkan karena agar perempuan dapat menjadi ibu

    dan ibu merupakan pendidik per tama umat manusia.

    “Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia.

    Di pangkuannya anak pertama-tama belajar merasa,

    berpikir, berbicara. Dan dalam kebanyakan hal

    pendidikan yang pertama-tama ini bukan tanpa arti

    untuk seluruh hidupnya. Tangan ibu lah yang pertama-

    tama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam

    hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang

    hidupnya. Tidak tanpa alasan orang mengatakan, bahwa

    kebaikan dan kejatan diminum bersama air susu ibu dan

    bagaimana sekarang ibu-ibu Jawa dapat mendidik anak-

    anaknya, kalau mereka sendiri tidak dididik? Peradaban

    dan kecerdasan bangsa Jawa dalam hal itu terbelakang,

    tidak mempunyai tugas”.[5]

    Setelah semangat politik etis berhasil dipertahankan

    oleh Belanda, antara lain oleh Van Deventer,

    mendapatkan kemenangan, maka pengajaran dan

    pendidikan Barat yang diberikan pada penduduk

    Indonesia, semakin bertambah banyak. Hal ini

    mengakibatkan kaum perempuan saat itu mengubah

    keadaan dirinya dari yang awalnya dianggap tidak

    mempunyai hak dan kekuasaan hingga menjadi

    seseorang yang oleh Natsir disebut orang yang

    mempunyai “kemerdekaan atas diri dan mata

    penghidupannya”, dalam waktu yang singkat.

    Mereka, lanjut Natsir, tidak hanya merasa “merdeka

    dari perlindungan laki-laki” dan perlindungan tersebut

    dianggap merendahkan derajat perempuan, namun

     juga sampai pada kesimpulan bahwa dalam hal

    apapun, perempuan itu sebenarnya sama dengan

    laki-laki. Perasaan seperti ini diperkuat juga dengan

    berbagai pengajar dari pergerakan feminisme Barat

    yang menyampaikan cita-cita emansipasi, agar kaum

    perempuan bisa berjuang pada ranah laki-laki.

    “Perasaan jang sematjam ini diperkuat oleh berbagai

    lektur dari pergerakan feministen Barat jang djuga

     sampai ke negeri kita ini. Jakni pergerakan feministen

     jang mengemukakan tjita-tjita emansipasi, supaja kaum

    perempuan bisa berdjuang di medan pekerdjaan laki-

    laki, bukan dalam dunia keperempuanannja sendiri di

     samping laki-laki itu”.[ 6]

    Kemudian Natsir menceritakan kembali pengamatannya

    bahwa ia pernah menemukan tulisan seorang

    perempuan dalam Fikiran Rakyat yang memaparkan

    satu teori tentang keharusan perempuan untuk

    menuntut persamaan hak dan kesempatan yang sama di

    antara laki-laki dan perempuan.

    “Salah seorang dari penulis perempuan dalam madjalah

    Fikiran Rakjat, pernah membentangkan satu teori jang

    menerangkan, apakah sebabnja maka kaum p erempuan

     sekarang tampaknja kurang dari laki-laki, baik tentang

    kemadjuan djasmani maupun ruhani. “tubuh perempuan lebih lemah dari laki-laki, katanja, hanja lantaran

    perempuan tidak mempunjai kesempatan untuk sport seperti laki-laki. Dalam ilmu pengetahuan perempuan

    tidak banjak jang sepandai kaum laki-laki, katanja, lantaran kaum perempuan selama ini tidak dapat kesempatan

    untuk menuntut ilmu seperti laki-laki. Sekarang perempuan harus bergerak menuntut hak dan kesempatan jang

     sama dengan hak-hak jang ada pada laki-laki. Nanti kaum perempuan akan membuktikan bahwa dalam semua

    hal perempuan sama dengan laki-laki………”. Demikianlah kesimpulan dan keputusan jang diambil oleh penulis

    tersebut”.

    Teori yang dipaparkan merupakan salah satu hasil dari berbagai pengajaran feminisme di Barat yang diterima dan

    dicontoh oleh kaum perempuan Indonesia tanpa lter sedikit pun.

    “Walhasil teori jang sematjam itu ialah salah satu dari hasilnja pelbagai lektur feminisme di Barat jang sampai

    kenegeri kita ini, dan – sebagaimana djuga dengan hal jang lain – diterima dan ditjontoh dengan tidak memakai

     saringan sedikit djuga. Tumbuhnja pun amat subur, apalagi sebagai reaksi terhadap “minderwaardigheldcomplex”

    (rasa rendah diri), perasaan kurang-harga, jang telah dialami oleh kaum perempuan selama ini”. [7]

    [1] Anonim, Women’s Liberation Movement, https://marxist.org/glossary/events/w/o.htm. Diakses pada

    03 Maret 2015.

    [2] S. Pringgodigdo. Kewadjiban dan Pekerdjaan Kaoem Istri Menoeroet Kemaoean Zaman. Sedar Juni-Juli 1931.

    [3] Mohammad Natsir, Capita Selecta Jilid I, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973), hlm. 51.

    [4] Ibid, hlm. 53.

    [5] J.H Abendanon, Surat-Surat Kartini: Renungan

      Tentang dan Untuk Bangsanya (terj: Sulastin Sutrisno), (Bandung: Penerbit Djambatan, 1981), hlm. 368.

    [6] Mohammad Natsir, Capita…, hlm. 53-54.

    [7] Ibid, hlm. 54 dan 56.

    Tumbuhnja pun amat subur, apalagi sebagai reaksi

    terhadap “minderwaardigheldcomplex” (rasa

    rendah diri), perasaan kurang-harga, jang telah

    dialami oleh kaum perempuan selama ini”

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    8/47

    14 Syajarah SyajarahBeggy Rizkiyansyah

     YAIHOIRIYAHULAMA PEREMPUAN

    YANG TERLUPAKAN

    Penulisan sejarah perempuan di Indonesia, khususnya

    muslimah semakin marak. Berbagai tokoh, diulas

    dalam berbagai bentuk tulisan. Namun sayangnya,

    penulisan sejarah muslimah di Indonesia seringkali

    disajikan dalam bingkai feminsme.[1] Persoalan ini jelas

    meninggalkan masalah, karena seakan, perjuangan

    muslimah di masa lampau dinaungi oleh semangat

    feminisme. Pembahasan feminisme yang satu tarikan

    nafas dengan kesetaraan gender memang mengundang

    kontroversi dan penolakan, termasuk dari kalangan umat

    Islam itu sendiri.[2]

     

    Titik tolak yang bermasalah inilah yang seringkali

    menimbulkan kesimpulan yang bermasalah pula.

    Perjuangan muslimah di masa lampu hendaknya

    tidak perlu kita kenakan kepada bingkai feminisme.

    Peninjauan yang adil, akan melihat bahwa perjuangan

    muslimah di Indonesia pada masa lampau tidak

    berlandaskan pada semangat dan tujuan yang sama

    dengan gerakan atau pemikiran feminism.

    Pendidikan untuk perempuan (muslimah) di Indonesia

    sendiri tak bias dibatasi oleh pendidikan formal belaka.

    Islam mengajarkan bahwa baik laki-laki dan perempuan

    diwajibkan menuntut ilmu. Ada pun cara menuntut ilmu

    pada masa lampau bagi muslimah di nusantara, tak

    harus di bawah naungan institusi pendidikan. Pendidikan

    bagi muslimah di masa lalu, seringkali dianggap tidak

    ada karena dibatasi hanya pada pendidikan di institusi

    pendidikan belaka. Kita dapat menilai bahwa para

    pendidikan bagi muslimah sejatinya dimulai dari lingkup

    keluarga, dan diberikan oleh orang tua atau kerabat

    keluarga mereka.

    Contoh ini dapat terlihat misalnya seorang muslimah

    pada abad ke 18-19, yaitu Raden Ayu Danukusuma.

    Putri dari Sultan Hemengkubwana I ini disebut memiliki

    kitab terjemahan berbahasa jawa al Tuhfa al-mursala ila

    ruh al-nabi karya Muhammad Fadlallah al-Burhanpuri.[3] Meski kala itu belum dikenal pesantren khusus

    perempuan, tetapi sosok Raden Ayu Danukusuma telah

    membaca sebuah kitab tasawuf yang cukup berbobot

    tersebut. Kitab yang sempat menimbulkan polemik di

    nusantara ini bukan bacaan satu-satunya milik Raden

    Ayu Danukusuma.[4] Ia pun dicatat memiliki kitab Bustan

    us-Salatin. Raden Ayu Danukusuma yang hidup di

    kalangan bangsawan sekaligus dekat dengan kalangan

    Oleh : Beggy Rizkiyansyah

    Penggia Jejak Isla unuk Bangsa

    Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    9/47

    16 Syajarah SyajarahBeggy Rizkiyansyah

    santri membuatnya lebih mudah untuk menimba ilmu

    tentang Islam. Kenyataan bahwa perempuan di masa

    tutelah dapat mengakses kitab-kitab yang beragam,

    membuktikan bahwa pendidikan telah di tuai oleh

    muslimah sejak masa lampau.

    Contoh lain adalah hadirnya kitab qih yang dikarang

    oleh seorang ulama perempuan di dunia melayu pada

    abad ke 19(?). Kitab itu ditulis oleh Fatimah, cucu dari

    ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad

    Al Banjary. Fatimah yang lahir dari putri Syekh Arsyad

    Al Banjary, yaitu Syarifah, yang menikah dengan

    ulama bernama Abdul Wahab Bugis. Kitab yang ditulis

    Fatimah adalah Perukunan Jamaluddin. Kitab ini berisi

    tentang persoalan qih seperti Sholat, puasa dan

    penyelenggaraan jenazah.[5]

    Kisah perjumpaan Kartini dengan Kiyai Shaleh Darat,

    uga dapat memberikan petunjuk pada kita bahwa

    kehidupan Kartini, sebelum berjumpa dengan Kiyai

    Shaleh Darat, awalnya adalah kehidupan yang justru

    terhalang dari cahaya Islam.[6] Kehidupan perempuan

    bangsawan Jawa yang terkurung oleh beragam aturan

    dan pemahaman, seperti ‘sowarga nunut, neraka

    katut’ (ke surga ikut, ke neraka terbawa) yang justru

    menghalanginya dari menerima cahaya Islam sejati.

    7] Kiyai Saleh Darat membukakan mata hati dan

    pikiran Kartini akan kebenaran agama Islam yang

    tidak menghalangi perempuan untuk memperoleh

    pendidikan. Maka ketika memasuki abad ke 20, gerakan

    slam di tanah air memperoleh momentumnya dengan

    membentuk perkumpulan-perkumpulan, termasuk

    perkumpulan bagi muslimah pertama yaitu Aisyiyah dari

    Muhammadiyah.

    Ketika arus utama penulisan sejarah gerakan

    perempuan (muslimah) di Indonesia selalu diteropong

    dari kacamata feminisme, maka kita akan menemukan

    kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi tersebut disebabkan

    lahirnya gerakan muslimah di Indonesia, bukan berdiri

    diatas tujuan-tujuan ala feminisme semisal kesetaraan

    gender. Tetapi gerakan muslimah tersebut lahir untuk

    memajukan perempuan dari keterbelakangan yang

    diakibatkan rintangan adat, kolonialisme ataupun

    kesalahpahaman terhadap ajaran Islam. Malah gerakan-

    gerakan muslimah tersebut tetap setia membela ajaran

    Islam yang kerap dipandang secara timpang oleh

    feminis, yaitu poligami.[8] Contoh pembelaan kepada

    poligami oleh gerakan muslimah, semisal Aisyiyah

    adalah sebuah contoh betapa gerakan muslimah

    tidak berpijak kepada ide-ide feminisme, melainkan

    berpegang teguh kepada Islam. Pada 1920-an ketika

    poligami dicemooh oleh kalangan nasionalis sekuler,

    maka Aisyiyah melakukan pembelaan. Mereka

    tidak menganjurkan poligami, tetapi juga menolak

    penghapusan pembolehan soal poligami dalam Islam.[9] 

    Gerakan muslimah di Indonesia sejatinya tetap jalan

    dalam koridor agama Islam. Mereka bertujuan untuk

    membentuk perempuan sebagai ibu yang siap mendidik

    generasi penerus. Menjadikan ibu sebagai posisi yang

    mulia. Bukan hendak menjungkirbalikkan institusi

    rumah tangga dengan jargon kesetaraan gender

    dan sebagainya. Jargon-jargon ini justru ditolak oleh

    organisasi perempuan semacam Aisyiyah dan JIBDA

    dalam koran Isteri di tahun 1929.[10]

    Pendidikan Islam maupun umum, ketrampilan,

    berwirausaha menjadi nafas gerakan perempuan yang

    senantiasa mengiringi langkah gerakan muslimah

    pada saat itu. Maka selain Aisyiyah, kita juga mengenal

    Perempuan Sarekat Islam, Rahmah el-Yunisyiah dengan

    Madrasah Diniyah Puteri pada tahun 1923, Rohana

    Koeddoes dengan Sekolah Kerajinan Amal Setia dan

    surat kabar Soenting Melajoe pada 1912.

    Dunia pesantren sesungguhnya bukan dunia yang

    timpang kepada perempuan. Pendidikan kepada

    perempuan, bukan berarti tak hadir ketika pesantren

    khusus perempuan belum ada hingga akhir abad ke 19.

    Pendidikan kepada perempuan tetap diberikan oleh para

    Kiyai-kiyai kepada keluarga mereka. Ketika pendidikan

    bersifat massal kepada perempuan muncul dalam

    lingkungan pesantren pun, hal itu lahir juga dari tangan

    para Kiyai. Bukan karena campur tangan dari luar. Selain

    lahirnya pendidikan pesantren khusus perempuan, kita

    pun akan melihat lahirnya sosok ulama perempuan

    di dunia pesantren di Jawa. Ia adalah Nyai Khoiriyah

    Hasyim.

    Lahir tahun 1906, sebagai putri kedua dari ulama besar,

    Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Khoiriyah Hasyim

    hidup dalam naungan tuntunan Islam. Ia didik langsung

    oleh KH Hasyim Asy’ari tanpa membaur dengan santri-

    santri KH Hasyim Asy’ari. Terkadang dari balik tabir Nyai

    Khoiriyah mendengar penjelasan dari KH Hasyim Asy’ari

    mengenai agama Islam.[11] 

    Pada usia 13 tahun ia menikah dengan santri KH

    Hasyim Asy’ari, yaitu Maksum Ali dari keluarga pesantren

    Maskunambang, Gresik. Tahun 1921, Seperti lazimnya

    dalam dunia pesantren, maka KH Maksum Ali kemudian

    membuka Pesantren Seblak, sekitar 200 m dari

    Tebuireng, di atas tanah yang pernah dibeli oleh KH

    Haysim Asy’ari. KH Maksum Ali kemudian memimpin

    sendiri pesantren tersebut.[12] 

    Ketika tahun 1933, KH Maksum Ali wafat. Maka

    diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah

    Hasyim mengambil alih kepemimpinan pesantren

    tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren

    Seblak (1933-1938). Di tahun 1938, ia menikahdengan Kiyai Muhaimin. Mengikuti sang suami, ia pun

    pindah ke Mekkah. Selain untuk menunaikan ibadah

    haji, kepergian sang suami ke Mekkah adalah untuk

    menuntut ilmu dari para ulama di Tanah Suci.[13]

     

    Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa lepas dari dunia

    pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah

    Darul Ulum di Mekkah, menggantikan ulama besar

    nusantara, Syekh Yasin Al-Fadany, tercetuslah ide untuk

    membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci.

    Pada tahun 1942 rencana tersebut akhirnya terwujud.

    Sebuah madrasah khusus perempuan pertama di Tanah

    Masjid Tebu Ireng tahun 1950-an

    Sumber foto: AM Yasin &

    Fathurrahman Karyadi, Profl

    Pesantren Tebu Ireng, Pustaka Tebu

    Ireng:2011

    Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan

    Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa

    lepas dari dunia pendidikan. Saat sang

     suami menjadi kepala Madrasah Darul

    Ulum di Mekkah, menggantikan ulama

    besar nusantara, Syekh Yasin Al-Fadany,

    tercetuslah ide untuk membentuk madrasah

    putri pertama di Tanah Suci.

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    10/47

    18 Syajarah SyajarahBeggy Rizkiyansyah

    Suci akhirnya dibuka. Madrasah tersebut bernama

    Madrasah Banat, yang menjadi bagian dari Madrasah

    Darul Ulum. Hal ini tentu menjadi prestasi tersendiri

    bagi umat Islam asal Indonesia yang mampu membuka

    madrasah perempuan pertama di Mekkah. [14]

    Kiprah Nyai Khoiriyah tak selamanya di Mekkah.

    Tahun 1956, suaminya, Kiyai Muhamin wafat. Ia pun

    akhirnya kembali ke tanah air setelah hampir 20 tahun

    di Mekkah. Kepulangannya ke Indonesia juga untuk

    memenuhi ajakan Presiden Soekarno saat itu, untuk

    mengembangkan pesantren di Indonesia. Ia memang

    bukan perempuan biasa. Kedalaman ilmunya diakui

    banyak pihak. Mantan pemimpin Pesantren Tebuireng,

    KH Yusuf Hasyim, menyebutnya Kiyai Putri. Dan karena

    keluasan dan kedalaman ilmu beliau pula, Nyai Khoiriyahmenjadi satu-satunya perempuan yang mampu duduk di

    ajaran Bahtsul Masail Nadhlatul Ulama. Bersama-sama

    dengan kiyai sepuh lain di NU, Bashul Mashail menjadi

    otoritas di NU yang bertugas membahas masalah-

    masalah maudlu’iyah (tematik) dan waqi’iyah (aktual)

    yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul

    Ulama.[15] Di katakan oleh KH. Yusuf Hasyim, Nyai

    Khoiriyah mampu untuk berargumen dengan kiyai-kiyai

    ain di Bahtsul Masail NU.[16]

    Kapasitas ilmunya memang tak diragukan lagi. Di

    Pesantren Salayah Seblak, Nyai Khoiriyah-lah yang

    menguji kemampuan para calon Imam sholat Jumat

    di sana. Ia menguji bacaan surat Al-Fatihah para calon

    imam tersebut. Dan tidak semuanya bisa lolos dari

    ujian tersebut. Ia pun aktif menulis mengenai Islam ke

    media massa. Salah satunya adalah tulisannya yang

    berjudul “Pokok Tjeramah dan Pengertian Antar Mazahib

    dan Toleransinya” yang dimuat di majalah Gema Islam

    tahun 1962. Dari tahun 1957 hingga tahun 1968,

    gurnya tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Di

    pesantren Seblak sendiri berdiri Pesantren khusus

    putri. Lahirnya Pesantren Seblak khusus putri ini tak

    lepas dari dukungan KH Haysim Asy’ari. Adalah putri

    Nyai Khoiriyah Hasyim, Nyai Abidah dan suaminya Kiyai

    Machfudz Anwar, yang memelopori berdirinya pesantren

    putri tersebut, saat Nyai Khoiriyah berada di Mekkah.

    Tak heran jika jiwa pendidik menurun kepada putrinya,Nyai Abidah. Dengan tangan dingin Nyai Khoiriyah, Nyai

    Abidah digembleng dengan pendidikan agama.[17]

     

    Kiprahnya di Nadhlatul Ulama pun amat berpengaruh,

    terutama di Muslimat NU. Muslimat NU didirikan

    bertujuan untuk melaksanakan tujuan NU dikalangan

    wanita, untuk melaksanakan syariat Islam menurut

    haluan Ahlussunnah wal Jamaah. Di Nadhlatul Ulama

    ia menjadi salah satu anggota Badan Syuriah PBNU.

    Sebuah posisi yang hanya diiisi oleh kiyai-kiyai senior.[18]

     

    Hingga akhir hayatnya, hidupnya selalu dipenuhi

    panggilan berdakwah. Ia mengisi berbagai majelis taklim. Di pesantren, ia menekankan pada santriwati untuk

    menuntut aurat. Ia sendiri yang menjadi contoh para santriwati dalam menutup aurat, dengan mengenalkan

    Kerudung Rubu.’ Sebuah model kerudung yang menutup aurat, dan menyerupai jilbab. Namun sayang, Kiprah dan

    perjuangan Nyai Khoiriyah sebagai ulama perempuan kini seperti terlupakan.

    Kiprahnya sebagai ulama perempuan membuktikan bahwa kehadiran perempuan tetap bermakna besar bagi

    pesantren dan pendidikan di Indonesia. Benih ilmu yang ditaburnya merentang dari Jombang hingga Mekkah. Nyai

    Khoiriyah hanyalah salah satu dari banyak muslimah pembawa perubahan di Indonesia. Berbagai partisipasi dan

    prestasi muslimah di Indonesia bertitik tolak bukan dari argumen kesetaraan gender yang berhawa feminisme.

    Kiprah mereka, justru bertolak dari kecintaan pada Islam dan tetap berjalan di jalan Islam.

    [1] Lihat misalnya Muttaqien, Farid. 2015. Early Feminist Consciousness and Idea Among Muslim Women in 1920s

    Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun Vol. 3 No. 1.dan Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan

    Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS

     [2] Ayub. 2015. Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminisme. HYPERLINK “http://thisisgender.com/

    misrepresentasi-muslimah-dalam-wacana-feminis-1/” http://thisisgender.com/misrepresentasi-muslimah-

    dalam-wacana-feminis-1/ diunduh pada 24 April 2015.

    [3] Carey, Peter. 1975. A Further Note on Professor Johns Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Leiden:

    Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 131 No: 2/3

     [4] Fathurrahman, Oman.Sejarah Pengkafran dan Marjinalisasi Paham Keagamaan di Melayu dan Jawa. Analisis,

    Vol. 11, No. 2, Desember 2011

     [5] Van Bruissen, Martin. Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning (Makalah Pembanding

    dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar . Jakarta:

    INIS

    [6] Umam, Saiful. 2013. God’s Mercy is Not Limited To Arabic Speakers: Reading Intellectual Biography of

    Muhammad Saleh Darat and His Pegon Islamic Texts. Studia Islamika Vol. 20 No. 2

    [7] Kuntowijoyo. Arah Pengembangan Organisasi Wanita Islam Indonesia: Kemungkinan-kemungkinannya

    (makalah utama) dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS

    [8] Ro’fah. 2000. A Study of ‘Aisyiyah: An Indonesian Women Organization (1917-1998). Canada: Insititute of

    Islamic Studies, McGill University. Tesis tidak diterbitkan.

    [9] Ibid.

    [10] Mantovani , Sarah. Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu. Jejak Islam untuk Bangsa. HYPERLINK “http://

     jejakislam.net/?p=544” http://jejakislam.net/?p=544 diunduh pada 24 April 2015.

    [11] Srimulyani, Eka. 2012. Women from Islamic Education Institutions in Indonesia: Negotiating Public Spaces.

    Amsterdam: Amsterdam University Press.

    [12] Ibid.

    [13] Ibid.

    [14] Ibid.

    [15] http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,14-t,lembaga-.phpx

    [16] Ibid.

    [17] Ibid.

    [18] Baidlowi, Asiyah Hamid. Profl Organisasi Wanita Islam: Studi Kasus Muslimat NU (Makalah Utama)  dalam

    Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar . Jakarta: INIS

    Pondok Salayah Syaiiyah Seblak,

    Jombang di masa kini.

    Sumber foto : www.seblak.net

    Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    11/47

    20 Syajarah SyajarahSarah Mantovani

    Adanya Hari Ibu, fungsi dan peran perempuan, oleh

    organisasi-organisai perempuan Indonesia, dikembalikan

    pada tempatnya semula karena pada tahun-tahun

    tersebut telah lahir gerakan-gerakan feminisme yang

    menuntut persamaan hak antara laki-laki dengan

    perempuan, seperti Poetri Merdika[2] yang didirikan pada

    tahun 1912 di Jakarta dengan bantuan Budi Utomo dan

    mempropagandakan gagasan-gagasannya mengenai

    emansipasi melalui koran mereka Poetri Merdika,

    kemudian Istri Sedar , didirikan di Bandung pada tahun

    1930, yang akhirnya berganti nama menjadi Gerakan

    Wanita Indonesia (Gerwani) setelah sembilan tahun

    Indonesia merdeka.[3]

    Corak feminis yang melekat pada Istri Sedar terlihat

    dari berbagai tulisan para anggotanya yang dimuat

    dalam koran mereka bernama Sedar, salah satunya

    dalam tulisan berjudul “Persamaan Hak dan Persamaan

    Kewadjiban”, bulan September-Oktober 1931, “Apakah

    kewadjiban dari perempoean Indonesia sekarang?

    Ialah bekerdja soepaja sebagai manoesia sepenoeh-

    penoehnja sebagai manoesia, jaitu soepaya diakui

    bahwa haknja haroes sama dengan lelaki” .

    Kemudian seiring dengan pergantian rezim dan semakin

    berkembangnya pergerakan perempuan Indonesia

    yang ditandai dengan munculnya organisasi, lembaga-

    lembaga maupun pusat studi wanita yang beraliran

    feminisme, Hari Ibu seakan-akan telah tergantikan

    dengan Hari Perempuan Sedunia yang diperingati

    setiap tanggal 08 Maret. Hari perempuan lebih patut

    diperingati daripada Hari Ibu, karena kata “ibu” sendiri

    mencerminkan penindasan bagi perempuan dan

    dianggap mempersempit ruang gerak perempuan.

    Penolakan feminis terhadap domestikasi perempuan

    atau peran perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga

    menuai dukungan dari seorang feminis Indonesia

    dengan melahirkan istilah “Ibuisme negara”. Istilah ini

     juga disebut-sebut sebagai respon atasPancadharma

    yang dibuat pada era pemerintahan Soeharto.

    Pemerintahaan pada era Soeharto saat itu,

    sebagaimana yang ditulis Dewi Candraningrum, dalam

    makalahnya Negara, Seksualitas dan Pembajakan

    HARI IBUMENOLAK FEMINISME

    SEJAK DAHULUNarasi Ibu, merumuskan peran kaum wanita ke dalam

    lima kewajiban (Pancadharma, pen), yaitu: Pertama,

    wanita sebagai istri pendamping suami. Kedua, wanita

    sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda.

    Ketiga, wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga.

    Keempat, wanita sebagai pencari nafkah tambahan.

    Kelima, wanita sebagai anggota masyarakat, terutama

    organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya

    yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat.[4]

    Ibuisme negara dalam perspektif feminis merupakan

    Weltanschauung  (pandangan dunia, pen) yang

    memangkas identitas eksistensial perempuan sebagai

    manusia seutuhnya. Darinya perempuan dibonsai,

    dipangkas, dikerdilkan, direduksi, pada arena domestik

    – sebagai istri, sebagai ibu, sebagai pendidik dan

    penanggung jawab terhadap anak, dan penyokong

    negara. Memenjara Ibu hanya pada fungsi-fungsi di

    atas juga dianggap feminis bersifat sangat Freudian,

    ekslusif, tidak egaliter, subordinatif dan represif terhadap

    perempuan. [5]

    76 tahun yang lalu atau pada tahun 1938,

    organisasi-organisasi perempuan Indonesia

    mengadakan Kongres Perempuan di Bandung.

    Kongres tersebut memutuskan agar setiap tanggal

    22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu dengan

    semboyan “ Merdeka Melaksanakan Dharma”.

    Maka, tulis Sujatin Kartowijono dalam bukunya

    Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia,

    kaum wanita mulai menghayati cita-cita Ibu

    Keluarga, Ibu Masyarakat, dan Ibu Bangsa.[1]

    Oleh : Saah Manovani

    Aluni Pascasajana Univesias Muhamadiyah Suakara

    enolakan feminis

    terhadap domestikasi

    perempuan atau peran

    perempuan sebagai Ibu

    Rumah Tangga menuai

    dukungan dari seorang

    feminis Indonesia

    dengan melahirkan

    istilah “Ibuisme negara”

    P

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    12/47

    22 Syajarah SyajarahSarah Mantovani

    badannja, lemboet pikirannja, lemah perasaannja,

    tidak sama dengan laki-laki, adalah kasar, koewat,

    keras, teristimewa perempoean itoe mengoeroes

    kewadjibannja sendiri seperti: mengandoeng anak,

    melahirkan, memberi air soesoe anak, mengasoeh,

    mendidik, dsb, maka tentoelah tidak dapat sempoerna

    akan mendjalankannja kewadjibannja sendiri. apakah

    baik kesehatan iboe jang sedang sedang dirinja

    mengandoeng anak, dengan beres bolehnja bekerdja di

     goedang-goedang? Apa kiranja bisa menggali goenoeng

    dengan berhenti melahirkan anak?? Apakah dapat

    berbaris dengan memberi air soesoe anaknja??? Apakah

     sempoerna bolehnja mengasoeh anaknja djika ia

    mendjadi poelitie (Polisi, red) atau resisir???. Soedahlah

     soedah!! Soenggoeh moestahil sekali dan tidak dapat,

    karena bertentangan dengan natuur.”

    Selain itu, Pengurus Ibu Sibolga, Medan, melalui

    korannya Soeara Iboe edisi Juni 1932 juga menekankan

    agar pergerakan perempuan Indonesia jangan sampai

    seperti perempuan Barat.“Djadi semestinja bagi kita

    kaoem perempoean tentangan jang hendak madjoe

    dalam pergerakan itoe, hendaklah djangan sampai

     sebagai mereka (perempoean Barat)”.

    Lalu salah satu Panitia Peringatan Hari Lahir R.A

    Kartini, Soekarsih, menuturkan dalam artikelnya di

    koran Merdeka edisi 20 April 1946, bahwa perempuan

    Indonesia tidak perlu mengejar emansipasi. “Kini

    kita tidak begitoe perloe mengedjar “emansipasi”

    Padahal, faktanya, gerakan-gerakan perempuan

    Indonesia dulu menolak persamaan hak berbungkus

    emansipasi, di sisi lain mereka tidak merasa

    disubordinasi, di eksklusifkan, diperlakukan represif,

    direndahkan maupun ditindas karena peran mereka

    sebagai Ibu Rumah Tangga maupun sebagai Ibu

    Pendidik.

    Penolakan ini tercermin dalam koran-koran yang mereka

    tulis, seperti Soenting Melajoe pada edisi 31 Desember

    1914, koran yang didirikan oleh Ruhana Kudus – Jurnalis

    Muslimah pertama di Indonesia asal Sumatra Barat.

    Intinya tertulis bahwa memuliakan perempuan tidak

    boleh melebihi martabat laki-laki,

    “Maka dari sebab itoe haroeslah pada pikiran saja

     yang hina lagi bodoh ini soepaja kita bersama-sama

    memoeliakan perempoean kita itoe (tetapi) tidak b oleh

    melebihi martabat laki-laki, soepaja perboeatan maasiat

    itoe tiada dilakoekan dengan begitoe gampang sekali

    dan dengan demikian ini terselamat bangsa kita dari

    pada kehinaan doenia dan nista bangsa-bangsa lain

     serta terpelihara mereka itoe daripada hoekoeman

    achirat jang siksa dan sengsara itoe” .

    Kemudian koran Isteri  edisi Desember 1929 milik

    Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), dimana Jong

    Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIB perempuan) dan

     Aisiyah tergabung di dalamnya, ikut menolak feminisme,

    “Dari sebab orang perempoean itoe di titahkan halus

    atau “persamaan hak” karena sebagian besar dari

    masjarakat kita telah menghargai kedoedoekan wanita”.

    Penolakan-penolakan tersebut memperlihatkan bahwa

    organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang

    pada tahun 1938 mengadakan kongres di Bandung

    membawa semangat anti-feminisme, selain menyerukan

    semangat anti imperalisme dan kolonialisme. Kalaulah

    para organisasi perempuan saat itu tidak membawa

    semangat anti-feminisme, pastilah mereka tidak

    menamakan hari perempuan dengan hari ibu.

    Sumber Pustaka:

    [1] Sujatin Kartowijono, Perkembangan Pergerakan

    Wanita Indonesia, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1977),

    hlm. 7.

    [2] Mr. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat

    Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1960), hlm.

    34. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, et. al., Sejarah

    Nasional Indonesia, (Solo: Departemen Pendidikan

    dan Kebudayaan, 1975), hlm. 248.

    [3] Ibid., hlm. 184. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, et. al.,

    Sejarah…, hlm. 250.

    [4] Dewi Candraningrum. Negara, Seksualitas dan

      Pembajakan Narasi Ibu, hlm. 9. Makalah

      disampaikan dalam seminar Great Thinkers:

    Mengkaji Kembali Gagasan Julia Suryakusuma: State

    Ibuism di Era Pasca Orde Baru, Ruang Seminar lantai

    lima, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

     Yogyakarta, Rabu 24 April 2013.

    [5] Ibid, hlm. 4.

    Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu

    “DJADI SEMESTINJA BAGI KITA KAOEM PEREMPOEAN

    TENTANGAN JANG HENDAK MADJOE DALAM PERGERAKAN

    ITOE, HENDAKLAH DJANGAN SAMPAI SEBAGAI MEREKA

    (PEREMPOEAN BARAT)”

    1932

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    13/47

    24 Syajarah Syajarah

    PERJALANAN PANJANG

    DI INDONESIA

    JILBAB

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    14/47

    26 Syajarah SyajarahAndi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

    Berbicara mengenai jilbab di Indonesia, terutamamengenai sejarahnya bukan perkara mudah. Tak banyak

    tulisan yang memuat khusus mengenai itu. Sumber-

    sumber sejarah yang menyingkap perjalanan jilbab di

    tanah air pun tidak melimpah, setidaknya jika berkaitan

    dengan sumber sejarah sebelum abad ke 20. Namun

    mengingat pentingnya jilbab sebagai bagian dari syariat

    Islam dalam kehidupan umat Islam saat ini, tulisan ini

    akan menelusuri perjalanan jilbab di tanah air.

    Kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslim

    amat mungkin sudah diketahui sejak lama. Sebab

    telah banyak ulama-ulama Nusantara yang menuntut

    ilmu di Tanah Suci. Ilmu yang ditimba di tanah suci,

    disebarkan kembali ke tanah air oleh para ulama

    tersebut. Kesadaran untuk menutup aurat sendiri,

    pastinya dilakukan setidaknya ketika perempuan sedang

    sholat . G.F Pijper mencatat, istilah ‘Mukena’, setidaknya

    telah dikenal sejak tahun 1870-an di masyarakat sunda.

    Meskipun begitu, pemakaian jilbab dalam kehidupan

    sehari-hari tidak serta merta terjadi di masyarakat. [1]

    Satu hal yang pasti, sejak abad ke 19, pemakaian

     jilbab telah diperjuangkan di masyarakat. Hal itu terlihat

    dari sejarah gerakan Paderi di Minangkabau. Gerakan

    revolusioner ini, turut memperjuangkan pemakaian jilbab

    di masyarakat.[2]

    Kala itu, mayoritas masyarakat Minangkabau tidak

    begitu menghiraukan syariat Islam, sehingga banyak

    sekali terjadi kemaksiatan. Menyaksikan itu, para ulama

    paderi tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk

    menerapkan syariat Islam di Minangkabau, termasuk

    aturan pemakaian jilbab. Bukan hanya jilbab, aturan ini

    bahkan mewajibkan wanita untuk memakai cadar. [3] 

    Akibat dakwah Islam yang begitu intens di Minangkabau,

    Islamisasi di Minangkabau telah meresap sehingga

    syariat Islam meresap ke dalam tradisi dan adat

    masyarakat Minang. Hal ini dapat kita lihat dari bentuk

    pakaian adat Minangkabau yang cenderung tertutup.

    Di Aceh, seperti juga di Minangkabau, di mana dakwah

    Islam begitu kuat, pengaruh Islam juga meresap

    hingga ke aturan berpakaian dalam adat masyarakat

    Aceh. Adat Aceh menetapkan, “orang harus berpakaian

     sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampa kaki

    harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka

    telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung.

    Ketjantikan dan masuk angin sudah terdjaga dengan

     sendirinya. Kepalanja harus ditutup dengan selendang

    atau dengan kain tersendiri.” [4]

    Di Sulawesi Selatan, Arung Matoa (penguasa) Wajo, yangdi panggil La Memmang To Appamadeng, yang berkuasa

    dari 1821-1825 memberlakukan syariat Islam. Selain

    pemberlakuan hukum pidana Islam, ia juga mewajibkan

    kerudung bagi masyarakat Wajo.[5]

    Menjelang abad ke 20, teknologi cetak yang telah lazim

    di tanah air turut membantu penyadaran kewajiban

    perempuan untuk berjilbab di masyarakat. Sayyid

    Uthman, seorang ulama dari Batavia menulis persoalan

     jilbab ini dalam bukunya Lima Su’al Didalam Perihal

    Memakai Kerudung  yang terbit pada Oktober 1899. [6] 

    Tidak hanya perkembangan teknologi cetak, gerakan

    reformasi Islam dari timur tengah, khususnya dari

    Mesir turut mempengaruhi dakwah di Indonesia. Salah

    satunya yang terdapat di Sumatera Barat.

    Gerakan yang dipelopori oleh ‘Kaoem Moeda’ ini

    menggemakan kembali kewajiban jilbab di masyarakat

    Minangkabau. Syaikh Abdul Karim Amrullah yang

    biasa dikenal dengan nama Haji Rasul ini, amat vokal

    menyuarakan kewajiban wanita muslim menutup aurat.

    Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.[7]  Ayah

    Buya Hamka ini mengkritik keras kebaya pendek khas

    Minangkabau. Kritik beliau dapat kita lihat dalam

    bukunya,Cermin Terus. Kritik keras terhadap pakaian

    wanita ini kemudian menjadi polemik di masyarakat. [8]

    Diceritakan oleh Buya Hamka dalam bukunya yang

    berjudul Ayahku; Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim

     Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera 

    bahwa ayahnya menentang kebaya pendek itu karenatidak sesuai dengan hadits Nabi dan pendapat ulama-

    ulama. Memang, lanjut Buya, ada kebaya pendek yang

    sengaja digunting untuk menunjukkan (maaf ) pangkal

    salah satu bagian tubuh wanita. [9]

    Di pulau Jawa, banyaknya wanita muslim yang tidak

    menutupi kepala, mendorong gerakan reformis muslim

    menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah

    KH. Ahmad Dahlan aktif menyiarkan dan menyatakan

    bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim

    sejak 1910-an. Ia melakukan dakwah jilbab ini secara

    bertahap.

    Oleh : Andi Ryansyah

    Penggia Jejak Isla unuk Bangsa

    “Orang harus berpakaian sedemikian rupa sehingga seluruh badan

    sampa kaki harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka

    telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung. Ketjantikan dan

    masuk angin sudah terdjaga dengan sendirinya. Kepalanja harus

    ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri.”

    Ilustrasi perempuan pada masa Paderi

    Sumber foto: Dobbin, Christiine.

    1983. Islamic Revivalism in Changing

    Peasant Economy; Central Sumatera

    1784-1847. Curzon Press: London and

    Malmo

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    15/47

    28 Syajarah Syajarah

    Awalnya ia meminta untuk memakai kerudung meskipun

    rambut terlihat sebagian. Kemudian ia menyarankan

    mereka untuk memakai Kudung Sarung dari Bombay.

    Pemakaian kudung ini dicemooh oleh sebagian orang.

    Mereka mencemoohnya dengan mengatakan,“Lunga

    nang lor plengkung [10] , bisa jadi kaji” (pergi ke utara

    plengkung, kamu akan jadi haji). Namun KH. Ahmad

    Dahlan tak bergeming. Ia berpesan kepada murid-

    muridnya,“Demit ora dulit, setan ora Doyan, sing

    ora betah bosok ilate,” (Hantu tidak menjilat, setan

    tidak suka yang tidak tahan busuk lidahnya). Upaya

    menggemakan kewajiban jilbab ini terus berjalan.

    Tak hanya itu, ia mendorong wanita untuk belajar dan

    bekerja sesuai potensinya, semisal menjadi dokter, ia

    tetap menekankan wanita untuk menutup aurat dan

    melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan.

    11] Organisasi Muhammadiyah sendiri pernah

    mengungkapkan aurat wanita adalah seluruh badan,

    kecuali muka dan ujung tangan sampai pergelangan

    tangan.[12]

    Organisasi Al Irsyad juga turut menyuarakan kewajiban

    ilbab bagi para wanita. Di Pekalongan, Jawa Tengah,

    kongres Al Irsyad telah membahas isu-isu wanita yang

    berjudul Wanita dalam Islam Menurut Pandangan

    Golongan al-Irsyad. Salah satu hasil kongresnya

    menyarankan anggota wanitanya untuk menutupi kepala

    dan tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan. [13]

    Selain Muhammadiyah dan Al Irsyad, Persis menjadi

    organisasi yang amat gigih dan aktif menyuarakan

    kewajiban jilbab bagi wanita. Melalui majalah Al-

    Lisaan tahun 1935, Persis secara tegas menyatakan

    tubuh wanita yang boleh kelihatan hanya muka dan

    pergelangan tangan. Itu artinya rambut dan kepala

    wanita harus ditutup. [14]Tokoh Persis, Ahmad Hassan

    menulis syiar pertamanya tentang kewajiban jilbab

    bagi wanita Muslim pada tahun 1932. Anggota wanita

    dari Persis pun mengenakan gaya jilbab yang berbeda.

    Mereka benar-benar menutupi kepala mereka dan

    hanya menunjukkan wajah. Rambut, leher, telinga dan

    bagian dada tertutup oleh jilbab. Mereka memakainya

    tidak hanya ketika melakukan perayaan atau kegiatan

    keagamaan, tapi juga sebagai pakaian sehari-hari. Ini

    sebuah kebiasaan baru dan disertai keyakinan bahwa

    bila wanita yang tidak menutupi kepalanya, maka akan

    masuk neraka. Hal ini mengundang reaksi sebagian

    masyarakat. Bahkan akibat memakai jilbab sesuai

    arahan Persis ini, di Pamengpeuk, seorang muslimah

    dilempari batu.[15]

    Kegigihan memperjuangkan jilbab, tak hanya dilakukan

    oleh organisasi muslim reformis. Nahdlatul Ulama

    (NU) menyuarakan hal yang sama. Saat Kongres

    Nahdlatoel Oelama ke-XIII yang digelar pada Juni tahun

    1938, di Banten, NU Cabang Surabaya mengusulkan

    agar kaum ibu dan murid-mur id Madrasah Banaat

    NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said.

    Alasannya agar kaum ibu menutup auratnya sesuai

    syariat Islam.”Berhubung dengan jang dibilang aurat

    dari perempoean itu adalah seloeroeh badannja,

    teroetama ramboet, tangan, dsb. Itoe telah diketahoei

    oleh oemoem, maka itoelah sebabnja, Soerabaja tetap

    mempertahankan pendiriannja, karena jang dimaksoed

    oleh oesoel itu, hanjalah penoetoepan rambut sadja

    (dan dengan sendirinja leher tertoetoep djoega oleh

    keadaan jang sangat memaksanja). Soerabaja tak akan

    merobah pendiriannja itoe.”[16]

    Lebih dari itu, KH. Tohir Bakri mengungkapkan alasan

    cabang tersebut karena sesuai dengan hukum-hukum

    Islam dan terdorong untuk mencegah timbulnya korban

    dari kaum ibu pada zaman modern. Mendengar hal ini,

    HBNO (PBNU) mendukung usul itu, sebab kaum ibu

    akan menjadi contoh bagi orang awam, kemudian turut

    menjaganya dari kemaksiatan, dan menghargai kaum

    ibu di tengah kemaksiatan yang merajalela.[17]

    Akhirnya, Voorzitter   memutuskan ustadzah-ustadzah

    dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai

    kudung model Rangkajo Rasuna Said. Keputusan

    ini diambil berdasarkan pertimbangan keadaan dan

    kebiasaan suatu tempat yang berbeda-beda serta belum

    ada organisasi khusus bagi kaum ibu NU. [18]  Dalam

    keputusan Muktamar NU ke-8 di Jakarta, tanggal 2

    Muharram 1352 H/ 7 Mei 1933, diungkap bahwa

    menurut pendapat yang paling shahih dan terpilih,

    seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali

    wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian

    dalam ataupun luarnya.[19]

    Tahun 1940 di Solo, dua orang tokoh keturunan

    Bani Alawi, Idrus Al-Mansyhur dan Ali Bin yahya mulai

    menggerakkan dakwah pemakaian ‘berguk’ bagi wanita.

    ‘Berguk’ berasal dari kata Burqa. Di sebuah pertemuan

    yang dihadiri 60 orang, terdapat keprihatinan di

    kalangan mereka akan degradasi moral kaum wanita.

    Ketika itu dibicarakan, sudah banyak wanita yang keluar

    tanpa kerudung. Sebagai keturunan Rasulullah SAW,

    mereka merasa telah mengkhianati beliau. Ahmad bin

    Abdullah Assegaf, Segaf Al Habsyi dan Abdul Kadir Al

    Jufri sependapat untuk mewajibkan Berguk kepada

    wanita dikalangan Alawiyyin. Dakwah ini tidak hanya

    di Solo, namun mulai merebak ke Surabaya dan

    menimbulkan pertentangan. Namun akhirnya kampanye

    pemakaian‘Berguk’ surut dengan sendirinya.

    Upaya memperjuangkan jilbab tak sedikit mendapat

    pertentangan. Perang kata-kata melalui media massa

    mewarnai era 1930-40an. Majalah Aliran Baroe yang

    beraliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tidak

    mendukung kewajiban jilbab. Majalah ini berseteru

    dengan beberapa pihak. Sikap PAI yang tidak mengurusi

    soal jilbab ini mendapat kritikan dari Siti Zoebaidah

    melalui majalah Al Fatch. Lewat majalah milik Aisyiyah

    –organisasi perempuan yang menginduk pada

    Muhammadiyah- ini[20], Siti Zoebaidah menegaskan

    bahwa wajib bagi kaum muslimat memakai jilbab.[21] Kaum Aisyiyah memang dikenal selalu memakai

     jilbab. Hal ini diungkap dalam Majalah Berita Tahunan

    Muhammadiyah Hindia Timur 1927 bahwa, “Rambut

    kaum Aisyiyah selalu ditutup dan tidak akan ditunjukkan,

    sebab termasuk aurat.”[22]

    Perjuangan Berat di Masa Orde Baru

    Jika pada masa sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab

    diwarnai polemik di media massa, namun di orde baru

    perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat Islam

    khususnya muslimah mendapat tentangan keras dari

    pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan

    pihak militer.

    Militer, dalam hal ini Angkatan Darat, muncul sebagai

    kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik

    Andi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

    ATAS : Rasuna Said

    TENGAH : Salah satu iklan kerudung di Majalah Mingguan Muhammadiyah, Adil.

    BAWAH: Ilustrasi ‘Berguk’ (burqa) di Majalah Aliran Baroe, “Mana Dia?

    Bergoeknya Toean Bin Yahya Masyhoer,” No. 21 (1940), p. 19

     ATAS: Sumber Foto: Majalah Pedoman Masjarakat 1 September 1937/

    Dokumentasi Sarah Mantovani 

    TENGAH: Sumber Foto: Tantowi, Ali , The Quest of Indonesian Muslim Identity

    Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian

    Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04,

    Number 01, June 2010

    BAWAH: Sumber: Tantowi, Ali , The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates

    on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The

    Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01,

     June 2010

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    16/47

    30 Syajarah Syajarah

    orde baru. Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi

    strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi.

    Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas

    perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan

    camat serta 40% dari kepala desa.[23]

    Selama dua dekade pemerintahan orde baru, terhitung

    71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat

    yang tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan

    dan Kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari

    44 % militer. Sejarawan Alwi Alatas menilai salah satu

    tujan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal

    tercapainya tujuan orde baru. Pemerintah orde baru

    mencita-citakan suksesnya program pembangunan yang

    mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan

    politik dan ekonomi yang ditopang kuat oleh kestabilan

    pertahanan dan keamanan.[24]

    Hal senada juga diungkapkan oleh sejarawan Tiar Anwar

    Bachtiar. Menurutnya, dalam membangun stabilitas

    politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi

    negara, Soeharto dikelilingi tentara dan teknokrat.

    Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan

    keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan

    untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah orde

    baru. [25]

    Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para ulama.

    Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama

    sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang

    kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer

    yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui

    kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar

    diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah

     jilbab di kalangan pelajar putri.

    Salah satu hal yang menggelitik untuk dikaji lebih jauh

    adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakan-

    kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam

    sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 

    tampaknya mengindikasikan hal itu.

    Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan

     jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah di SMA-SMA Negeri,

    hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah,

    maka harus secara keseluruhan pelajar puteri di

    sekolah memakai jilbab.

    Dengan kata lain hanya ada satu paket seragam saja

    di sekolah. Dan pilihan untuk pelajar-pelajar muslimah:

    pakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu

    tidak aneh bila hal ini menimbulkan tanda tanya,

    terutama di kalangan yang mendukung jilbab. Apakah

    ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolah-

    sekolah menengah negeri atau hanya sekadar keinginan

    mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi kebanyakan

    pelajar muslimah? [26]

    Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah

    dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga

    memperlihatkan pendekatan militer di dalamnya.

    Contohnya, ketika Ratu, salah seorang pelajar putri

    yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi

    bermasalah dengan pihak sekolah. Muttaqien, salah

    seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa

    pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya

     jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security approach 

    (pendekatan keamanan). Ketika datang ke SMAN 68

    untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui

    Kepala Sekolah, Subandio. Namun pada saat itu

    Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass. Intel

    Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau

    “macam-macam.” SMAN 68 sendiri pada saat ia datang,

    dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien mengakui juga

    bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII-di

    luar pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan

    dengan ancaman “Bapak besok akan mati!”

    Selain itu, rumah para siswi berjilbab, atau orang-orang

    yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab,

    didatangi oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan

    diberi peringatan untuk berhati-hati terhadap mereka.

    Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.[27]

    Terlihat juga ketidakpahaman guru maupun pejabat

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud/

    P dan K) terhadap masalah hukum Islam dalam hal

    pakaian muslimah. Sebagai contoh, tidak lama setelah

    kemunculanSK 052, terjadi kasus pelarangan jilbab

    di SMAN 3 Bandung pada tahun 1982. Wargono, guru

    olah raga di sekolah itu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan

    menyatakan masalah pakaian dikembalikan kepada ciri-

    ciri (tradisi setiap bangsa). Menurutnya, penutup aurat

    yang dituntut oleh ayat-ayat tersebut perlu disesuaikan

    dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dan bukan

    menurut kebiasaan di tempat Islam berasal. Guru olah

    raga ini mewajibkan murid-muridnya mengenakan hot

    pants (celana pendek diatas lutut) pada saat pelajaran

    olah raga. Siswi-siswi berjilbab yang bertahan ingin

    mengenakan training  pack  diancam mendapat nilai 2 di

    rapor untuk mata pelajaran olah raga.[28]

    Awal tahun 1980-an memang merupakan periode

    konik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling

    berlawanan atau konik antara Islam dan pemerintah.

    Kedua pihak kerap bersitegang. Politik Pemerintah

    Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut

    memperkeruh persoalan ini. [29]

    Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya tidak bisa

    menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab.

    Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak

    Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena

    dicurigai sebagai anggota ‘Jamaah Imron’. Jilbab pada

    saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik

    yang mengancam pihak pemerintah.

    Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan

    tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan

    intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas

    menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap

    bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta

    protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052.

    Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan

    Andi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

    Guru olah raga ini mewajibkan murid-muridnya

    mengenakan hot pants (celana pendek diatas lutut)

    pada saat pelajaran olah raga. Siswi-siswi berjilbab

    yang bertahan ingin mengenakan training pack diancam

    mendapat nilai 2 di rapor untuk mata pelajaran olah raga.

    Ilustrasi perempuan di Majalah Aliran

    Baroe

    Sumber Foto: Tantowi, Ali , The Quest

    of Indonesian Muslim Identity

    Debates on Veiling from the 1920s to

    1940s, Journal of Indonesian Islam,

    The Circle of Islamic and Cultural

    Studies: Jakarta, Volume 04,

    Number 01, June 2010

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    17/47

    32 Syajarah Syajarah

    oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah,

    antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah

    pada beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis

    pakaian yang menyimpang/tidak sesuai dengan

    ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali

    perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak

    menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa “aksi

    ilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan

    suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan

    politik.

    Cara pandang seperti ini tampaknya menurun pada

    sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau

    bahkan membenci siswi-siswi yang memakai jilbab.

    Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah menuding siswi

    berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka

    “ mewakili gerakan tertentu.” Namun ketika ditanya

    gerakan apa yang dimaksud, sang guru diam, tidak bisa

    menjawab.

    Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68 Jakarta, di dalam

    catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang

    guru agamanya, “Kalau kalian berjilbab karena Allah,

    maka Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau

    kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik dan

    sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak

    sekolah.”

    Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, maka tidak

    mengherankan bila SK ini segera memakan korban.

    Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan

    dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti

    gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar

    kepala “robot” sekolah yang selalu berlindung di balik

    kalimat, “Saya hanya melaksanakan perintah atasan”,

    kemudian dimaki-maki oleh orang tua sendiri, dan lain

    sebagainya.

    Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pihak

    Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya.

    Di dalam SK 052, tertulis adanya masa peralihan dua

    tahun untuk menerapkan aturan seragam sekolah

    nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran

    1984/1985 pakaian seragam ini baru digunakan secara

    penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan

    Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan,

    Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaan seragam

    sekolah secara nasional ini adalah suatu “Pedoman”,

    bukan instruksi atau surat perintah, sehingga tidak

    memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi sanksi

    hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan

    terjadi adalah sanksi sosial yang datang dari sekolah

    lain yang telah menerapkan atau dari tim penilai sekolah

    teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat

    memenuhi kriteria.

    Pada kenyataannya, bukan seperti itu yang terjadi.

    Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan

    guru-guru dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan,

    larangan belajar, hingga pengembalian pada orang

    tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas

    melarang jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi

    landasan bagi pihak sekolah untuk mengharamkan 

    pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.[30]

    Tanggapan beberapa ormas Islam serta masyarakat

    mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

    (DDII) mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada

    tanggal 8 Desember1982. Dalam surat setebal empat

    halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya

    atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. DDII

     juga mengusulkan diadakannya “Musyawarah Ukhuwah

    Islamiyah” yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di

    bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah

    tersebut. DDII terus berkorespondensi dengan MUI.

    Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi

    tambahan pada MUI tentang masalah yang sama, dan

    sebulan berikutnya kembali mengirimkan informasi

    tambahan yang mereka kumpulkan.

    Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan surat

    pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada

    semua pihak yang berwenang dan terlibat, antara lain

    ditujukan kepada Ketua MPR-DPR, Menteri-menteri,

    dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab.

    Pada tanggal 17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan

    Pembela Masjidil Aqsho (BPMA) menyampaikan,

    “Teriakan hati kepada semua pihak yang menangani

    pendidikan.” Mereka menyatakan bahwa memakai

     jilbab merupakan kewajiban bagi kaum mukminah,

    pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya

    akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

    Pengurus Pusat Wanita Muslim juga memberi perhatian

    terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada

    tanggal 21 Januari 1983 yang ditujukankepada

    Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud diminta

    untuk “mengambil kebijaksanaan dengan memberi

    kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana

    sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya dan untuk

    tetap dapat mengikuti pelajaran.”

    Media massa Serial Media Dakwah dan Harian Pelita

    turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak

    meliput pihak yang merasa dirugikan oleh permasalahan

     jilbab ini. Pemberitaan Tempo pada tanggal 11

    Desember 1982, yang berjudul “Larangan Buat Si

    Kudung” walaupun hanya sekali memberi dukungan

    tersendiri bagi pelajar-pelajar berjilbab.

    Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab

    dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan

    Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta

    menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan

    tetap mengenakan pakaian muslimah.[31]

    Pada masa-masa berikutnya, terjadi komunikasi yang

    semakin intensif antara umat Islam yang diwakili MUI

    dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak

    kunjung hasil dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi

    tidak membuat MUI menyerah memperjuangkan jilbab.

    Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru

    semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen

    Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau

    tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan

    seragam yang ada.

    Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah

    merubah haluan Pemerintah menjadi l ebih akomodatif

    terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat

    enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi

    karena sikap pemerintah Orde Baru yang selama ini

    cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser,

    dan Depdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti

    bandul itu.

    Akhir 1989 atau awal 1990, MUI mengadakan Munas

    Andi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

    Sekolah Guru Putri. Foto diperkirakan dari tahun 1950-an.

    Muh. Natsir dan Nasroen A.S, Hidup Bahagia. Penerbitan Vorkink-Van Hoeve: Bandung 

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    18/47

    34 Syajarah Syajarah

    dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah. Menindaklanjuti hasil

    Munas tersebut, MUI beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen.

    Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas, bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat

    untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal

    16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan

    banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN.

    Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah

    stilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan ”Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan

    pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam

    khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.”  Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas

    yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab atau jilbabnya. [32]

    Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat

    akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu

    mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di Indonesia.

    Perjuangan syariat jilbab memang bukan perkara mudah. Semenjak masuknya Islam ke nusantara, terjadi proses

    bertahap dalam menjadikan jilbab sebagai bagian dari masyarakat di nusantara. Proses ber tahap ini berbeda-beda

    di setiap wilayahnya. Di daerah dikenal Islam berpengaruh amat kuat seperti Aceh dan Minangkabau, Islam telah

    meresap jauh ke adat masyarakat hingga ke soal berpakaian sehingga membuat masyarakatnya lebih mudah untuk

    berpakaian lebih tertutup.

    Kebijakan-kebijakan kolonial yang kerap mencoba memisahkan Islam dari masyarakat memperberat perjuangan

    ni. Jilbab dalam kehidupan sehari-hari pun sempat menjadi sesuatu yang asing dari hati umat Islam. Namun Jilbab

    tak pernah benar-benar lepas dari hati wanita di nusantara. Ibadah sholat lima waktu yang mewajibkan menutup

    aurat wanita, membuat jilbab tetap hadir meski tidak setiap saat. Terus ber tambahnya arus umat dan ulama yang

    pergi ke tanah suci, menggelorakan dakwah di tanah air. Perjuangan ulama yang memanfaatkan media massa turut

    menghidupkan dakwah jilbab di Indonesia. Peran-peran ormas Islam semacam NU, Muhammadiyah, Al irsyad, dan

    Persis yang dengan gigih menanamkan kesadaran berjilbab di masyarakat, perlahan tapi pasti, mampu mengubah

    rupa wanita Indonesia dalam teduhnya kemuliaan jilbab. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan

    ilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab.

    Bagaimana pun, bagi muslimah, pemakaian jilbab adalah proses yang melibatkan dua aspek yang saling bertalian,

    yaitu kesadaran pribadi sekaligus contoh di masyarakat. Semakin banyak yang berjilbab, bagaimanapun akan

    semakin mudah bagi muslimah lain untuk ikut memakainya. Maka para muslimah pelopor Jilbab di masyarakat di

    masa lalu adalah para pelopor yang akhirnya menyemarakkan pemakaian Jilbab di masyarakat kita saat ini.

    Melihat situasi saat ini - saat tulisan ini dibuat -, perjuangan jilbab di beberapa lingkungan termasuk Tentara

    Nasional Indonesia (TNI) membutuhkan perhatian dan dukungan kita. Pemakaian Jilbab bagi muslimah dalam

    TNI sepatutnya tidak perlu menjadi kekhawatiran pihak mana pun. Terlebih, Kepolisian Republik Indonesia telah

    memulainya.

    Tentu kita tidak bisa hanya menunggu. Perjuangan kita untuk merebut kemerdekaan berjilbab di negeri mayoritas

    muslim ini masih panjang. Dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan dari TNI dan dukungan besar ormas-ormas

    slam, MUI, dan media massa, dan segenap umat Islam demi terwujudnya kemerdekaan itu.

    [1] Ali Tantowi, The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of

    Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010,

    hlm.69

    [2] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 63

    [3] Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Balai Pustaka:Jakarta, 1964, hlm.23

    [4] Moehammad Hoesin,  Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh:Aceh,

    1970, hlm 152-153

    [5] Pelras, Christian. Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi, Archipel, Volume 29,

    1985, hlm107-135.

    [6] Ali Tantowi, Ibid, hlm.71

    [7] Hamka. Muhammadiyah di Minangkabau, Nurul Islam: Jakarta, 1974, hlm. 49

    [8] Ali Tantowi, Ibid,

    [9] Hamka. Ayahku Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera,

    Umminda:Jakarta, 1982, hlm. 192

    [10] Lokasi rumah KH. Ahmad Dahlan berada di selatan dari perempatan Jalan Kauman. Di setiap sudut jalan

    terdapat gerbang yang dihiasi plengkung.

    [11] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 71

    [12] PP Muhammadijah Madjlis ‘aisjijah, Tuntunan Mencapai Isteri Islam Jang Berarti Hasil dari Putusan Kongres

    Muhammadijah Bahagian ‘Aisjijah ke-26 di Jogjakarta

    [13] Majalah Aliran Baroe No.36 Tahun Juli 1491 hlm.10

    [14] Majalah Al-Lisaan No.2 Madjallah Boelanan Orgaan Persatoean Islam, Toedoeng Kepala, 1935, hlm. 11-16

    [15] Ali Tantowi, Ibid, hlm.74

    [16] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-X III 11/12 t/m 16/17 Juni tahun 1938 di Banten, hlm. 55-56

    [17] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII, Ibid, hlm. 45-46

    [18] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII , Ibid, hlm. 56

    [19] Pengantar Dr. KH. MA Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar , Munas,

    Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Khalista:Surabaya, 2011, hlm.131

    [20] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 79

    [21] Majalah Aliran Baroe No. 17 Desember 1939 hlm.11 dan 15

    [22] Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 diterbitkan Pengurus Besar Muhammadiyah.

    Nafakah dari Hoofd Comite Congres Mohammadijah Djokjakarta, hlm. 13-14

    [23] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek ,

    1982-1991, Al-I’TISHOM:Jakarta, 2001, hlm. 17

    [24] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18

    [25] Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-lajur Pemikiran Islam Kilasan Pergulatan Intelektual Islam Indonesia, Komunitas

    NuuN:Depok, 2011, hlm. 54

    [26] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18-19

    [27] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Ibid, hlm. 18-20

    [28] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.15

    [29] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm. 31

    [30] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.31-32

    [31] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.34-36

    [32] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.73-75

    Andi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    19/47

    36 Syajarah Syajarah

    Situasi sosial Sumatra Barat sedang berubah di awal abad XX. Penduduk Minangkabau berkembang menjadimasyarakat yang secara intensif mengalami proses modernisasi. Dalam kerangka pembaharuan Islam masyarakat

    Minang tidak saja menyaksikan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan modern menggantikan lembaga pendidikan

    tradisional sistem surau, namun juga tampilnya sejumlah ulama yang mengetengahkan pemikiran baru yang

    disemangati oleh perubahan dan modernisasi.1

    Arus pembaharuan ini selain dimotori oleh Sekolah Adabiyah di Padang pada tahun 1909 dan Sumatra Thawalib

    di Padang Panjang – dan selanjutnya di beberapa kota lain di Sumatra Barat, juga diperkuat dengan kedatangan

    sejumlah ulama dari Timur Tengah. Penyebaran ide pembaharuan ini secara massif juga disuarakan melalui jurnal

    al-Munir (terbit tahun 1911-1916), menggantikan al-Imam yang sebelumnya terbit di Singapura.2

    Rahmah adalah seorang berjiwa pejuang yang memiliki idealisme kokoh, cita-cita tinggi, dan pandangannya

    yang jauh ke depan. Ia berharap kedudukan kaum wanita dalam masyarakat tidak hanya sebagai istri yang akan

    melahirkan anak-anak dan keturunan semata, akan tetapi lebih dari itu dia menginginkan terangkatnya derajat kaum

    wanita ke tempat yang lebih wajar dan pantas. Wanita juga mampu memberikan peran dan kontribusi terhadap

    peradaban. Kaumnya harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan sebagai

    anggota masyarakat. Kaum wanita harus dapat menjalankan peranannya sebagaimana yang telah digariskan oleh

    agama Islam.

    Semua yang harus diketahui oleh kaum wanita itu tidak bisa terjadi secara serta-merta. Semuanya harus melalui

    pendidikan dan pengajaran, Wanita harus dituntut untuk terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan

    yang ada di sekitar mereka. Selama mereka masih berada dalam kebodohan, maka nasib kaum wanita itu tidak

    akan berubah. Oleh karena itu Rahmah berpendapat bahwa wanita itu harus mendapatkan akses pendidikan,

    sebagaimana kaum pria mendapatkan kesempatan yang sama. Hak untuk mempunyai ilmu pengetahuan dan

    pendidikan antara pria dan wanita adalah sama.

    KIPRAHNYA UNTUK PENDIDIKAN, TERUTAMA BAGI KAUM

    PEREMPUAN BEGITU LUAR BIASA. DAN TAK HANYA PENDIDIKAN.

    IA TURUT MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.

    AGAMA TETAP ERAT DIGENGGAMNYA.

    NAMUN NAMANYA TAK BANYAK DIKENAL. KALAH POPULER

    DIBANDINGKAN KARTINI.

    RAHMAH EL YUNUSIYAH

    Susiyanto

    PEREMPUANPEJUANG,

    PEJUANGPEREMPUAN

    Oleh : Susiyano, M.Ag

    Dosen IAIN Seaang

  • 8/18/2019 Majalah Jejak Islam

    20/47

    38 Syajarah Syajarah

    Sistem pendidikan yang sebelumnya bercorak tradisional

    kurang memberikan akses bagi perempuan. Selain

    itu kurang penekanannya terhadap akses untuk

    masuk dunia kerja dan kesempatan lain. Dalam

    situasi masyarakat yang sedang bertumbuh inilah

    Rahmah El-Yunusiah tergugah untuk berkiprah. Ia

    menaruh perhatian khusus terhadap pendidikan kaum

    perempuan. Ia menyadari bahwa pendidikan menjadi

    sarana utama bagi peningkatan posisi kaumnya.

    Tidak diragukan lagi, Rahmah El-Yunusiah merupakan

    salah satu tokoh yang menggagas pendidikan

    untuk kaum perempuan. Ia sendiri berjuang untuk

    mewujudkan gagasan tersebut melalui berbagai upaya

    yang ditempuh. Makalah ini disajikan untuk menjawab

    pertanyaan: Bagaim