made agus maharjana
Transcript of made agus maharjana
TESIS
HUBUNGAN KADAR GLUKOSA DENGAN KADAR
INTERLEUKIN-6 PADA PASIEN FRAKTUR TULANG
PANJANG DENGAN POLITRAUMA PADA HARI
PERTAMA, KETIGA, DAN KELIMA
MADE AGUS MAHARJANA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
TESIS
HUBUNGAN KADAR GLUKOSA DENGAN KADAR
INTERLEUKIN-6 PADA PASIEN FRAKTUR TULANG
PANJANG DENGAN POLITRAUMA PADA HARI
PERTAMA, KETIGA, DAN KELIMA
MADE AGUS MAHARJANA
NIM 1114118104
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iii
HUBUNGAN KADAR GLUKOSA DENGAN KADAR
INTERLEUKIN-6 PADA PASIEN FRAKTUR TULANG
PANJANG DENGAN POLITRAUMA PADA HARI
PERTAMA, KETIGA, DAN KELIMA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
MADE AGUS MAHARJANA
NIM 1114118104
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iv
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL, 25 April 2016
Mengetahui,
Pembimbing I,
Prof. Dr. dr. Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT (K)
NIP 19480909 197903 1 002
Pembimbing II,
dr. K.G Mulyadi Ridia, Sp.OT (K)
NIP 196002011986101001
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr. dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK
NIP 19580521198503 1 002
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S (K)
NIP 19590215 198510 2 001
v
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 7 April 2006
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
1409/UN14.4/HK/2016 tertanggal 5 April 2016
Ketua : Prof. Dr.dr. Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT (K), FICS
Anggota :
1. Prof. Dr. dr. Ketut Siki Kawiyana, Sp.B, Sp.OT (K)
2. dr. I Wayan Suryanto Dusak, Sp.OT (K)
3. dr. K.G. Mulyadi Ridia, Sp.OT (K)
4. dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K)
vi
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul Hubungan Kadar
Glukosa Darah dengan Kadar Interleukin-6 pada Pasien Fraktur Tulang
Panjang dengan Politrauma Hari Pertama, Ketiga, dan Kelima.
Adapun penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
mengikuti program Magister Combined Degree, Program Studi Biomedik
Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT (K) sebagai Ketua
Program Studi Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana – Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
dan atas bimbingannya dalam penyusunan penelitian ini.
2. Dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K) Spine sebagai Kepala Bagian
Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana- Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
3. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S (K) sebagai direktur program pasca
sarjana atas kesempatannya untuk mengikuti program pasca sarjana
Universitas Udayana.
4. Dr. dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK sebagai ketua
program studi ilmu biomedik program pasca sarjana Universitas
Udayana.
viii
5. Dr. K.G Mulyadi Ridia, Sp.OT (K) Spine atas bimbingannya dalam
penyusunan proposal penelitian ini.
6. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT, M.Kes atas bimbingannya dalam
penyusunan penelitian ini.
7. Dr. A.A Wiradewi Lestari, Sp.PK dan staf atas bimbingan dalam
bidang patologi klinik.
8. Seluruh staf pengajar Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana – Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar atas dukungannya terhadap penelitian ini.
9. Rekan-rekan residen Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana atas masukan dan dukungan dalam
penyusunan penelitian ini.
10. Keluarga atas dukungan dan pengertiannya selama penulis menjalani
proses pendidikan.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penelitian ini, oleh karena
itu penulis menerima saran dan kritik dari siapapun. Semoga Tuhan yang Maha
Esa senantiasa melimpahkan segenap dan seluruh rahmatNya.
Denpasar, Maret 2016
Penulis
ix
ABSTRAK
HUBUNGAN KADAR GLUKOSA DENGAN KADAR SITOKIN IL-6
PADA PASIEN FRAKTUR TULANG PANJANG DENGAN
POLITRAUMA PADA HARI PERTAMA, KETIGA DAN KELIMA
Pendahuluan:Politrauma tidak hanya menimbulkan kerusakan pada organ yang
terkena namun dapat menimbulkan efek sistemik pada organ jauh karena proses
inflamasi. Nyeri dan stress akibat politrauma menyebabkan terjadinya perubahan
pada neuroendokrin, neuroimunologi dan metabolik. Perubahan neuroendokrin
ditandai dengan pelepasan hormon kontraregulasi yang menimbulkan efek
peningkatan kadar glukosa darah. Sedangkan pada neuroimunologi ditandai
dengan pelepasan beberapa sitokin proinflamasi, salah satunya yang paling
reliabel dan spesifik adalah IL-6. Beberapa penelitian tentang glukosa dan Il-6
telah dilakukan pada politrauma namun belum pernah dilakukan penelitian untuk
menilai hubungan antara keduanya.
Metode:Penelitian ini merupakan suatu penelitian cross sectional longitudinal
untuk mencari korelasi antara kadar glukosa dengan kadar sitokin IL-6 pada hari
pertama, ketiga dan kelima pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma.
Glukosa diperiksa dengan metode spektrofotometri sedangkan IL-6 diperiksa
dengan metode ELISA.
Hasil:22 pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma, usia 14-55 (mean 34
th), tanpa riwayat diabetes dengan kadar HbA1C normal (mean 5,08 %) yang
masuk ke IRD Bedah RSUP Sanglah, diperiksa kadar glukosa darah dan IL-6
pada hari pertama, ketiga dan kelima. Didapatkan korelasi yang kuat dan
signifikan pada hari pertama dan hari kelima (5,07 dan 5,20, p:0,016, p:0,013 ; p:
0,05). Tidak didapatkan korelasi signifikan pada hari ketiga, meskipun didapatkan
rerata tertinggi pada hari ketiga pada kadar glukosa dan IL-6.
Diskusi:Dari hasil analisa statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar
glukosa darah dapat dijadikan surrogate marker sitokin IL-6 pada hari pertama
dan kelima pada pasien politrauma dengan fraktur tulang panjang.
Kata kunci: glukosa, IL-6, politrauma, fraktur tulang panjang.
x
ABSTRACT
THE CORRELATION BETWEEN GLUCOSE SERUM LEVEL
AND CITOKINE LEVEL IL-6 IN PATIENT WITH LONG
BONE FRACTURE AND POLITRAUMA AT FIRST, THIRD
AND FIFTH DAY
Introduction:Politrauma is not only damage the affected organ but also has
systemic effect to the distance organ because of the inflammatory process. Pain
and stress due to polytrauma result in neuroendocrine, neuroimmunology and
metabolic change. Neuroendocrine change marked by release of countraregulatory
hormones which increase glucose serum level. While neuroimmunology marked
by released of proinflammatory cytokines, one of the most reliable and spesific
cytokine is IL-6. Several study of glucose and Il-6 have been performed on
polytrauma but research to find the correlation between both of them never done.
Method:This is a longitudinal cross sectional study to find the correlation
between glucose level and IL-6 at the first, third, and fifth day in patients with
long bone fracture and polytrauma. Glucose level is cheked by spectrophotometry
and IL-6 level is measured by ELISA.
Result:22 patients with long bone fracture and politrauma, age range 14-55(mean
34 yr), no history of diabetes mellitus with normal HbA1C level (mean 5,08 %)
which admitted to emergency room RSUP Sanglah. Both glucose level and IL-6 is
measured at first, third, and fifth day. There was strong and significant correlation
between glucose and IL-6 at first and fifth day (5,07 dan 5,20, p:0,016, p:0,013 ;
p: 0,05). There is no significant correlation at third day although the highest mean
were found at third day.
Discussion:From the results of the statistic analysis it can be concluded that blood
glucose level can be a surrogate marker of the Il-6 at the first and fifth day in
patient polytrauma with long bone fracture.
Keywords: glucose, IL-6, polytrauma, long bone fracture.
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................... i
Lembar Pengesahan .......................................................................................... iii
Surat bebas plagiat……………………………………………………………… vi
Kata Pengantar ................................................................................................... vii
Abstrak ............................................................................................................... ix
Daftar Isi ............................................................................................................ xi
Daftar Gambar .................................................................................................... xv
DaftarTabel ........................................................................................................ xvi
Daftar Lampiran ................................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 5
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................................. 5
1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................................. 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 6
2.1 Politrauma .................................................................................................... 6
2.2 Injury Severity Score .................................................................................... 8
2.3 Penatalaksanaan Politrauma dengan Fraktur ............................................... 9
xii
2.4 Respon Inflamasi dalam Trauma ................................................................. 12
2.5 Peran IL-6 dalam Inflamasi .......................................................................... 15
2.6 Metabolisme Normal Glukosa ..................................................................... 17
2.7 Metabolisme Glukosa dalam Inflamasi dan Trauma ................................... 18
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .................... 23
3.1 Kerangka Berpikir ........................................................................................ 23
3.2 Kerangka Konsep ......................................................................................... 24
3.3 Hipotesis ....................................................................................................... 25
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 26
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................... 26
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 26
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................ 26
4.4 Populasi dan Sampel .................................................................................... 27
4.4.1 Populasi Penelitian ............................................................................. 27
4.4.2 Sampel Penelitian ............................................................................... 27
4.4.3 Kriteria Inklusi Sampel ...................................................................... 27
4.4.4 Kriteria Eksklusi Sampel ................................................................... 27
4.4.5 Kriteria Drop Out .............................................................................. 28
4.4.6 Cara Pengambilan Sampel ................................................................. 28
4.4.7 Besar Sampel ..................................................................................... 28
4.5 Variabel Penelitian ....................................................................................... 29
4.5.1 Definisi Operasional Variabel ............................................................ 29
4.6 Instrumen Penelitian..................................................................................... 30
xiii
4.7 Prosedur Penelitian....................................................................................... 30
4.8 Alur Penelitian ............................................................................................. 32
4.9 Analisis Data ................................................................................................ 33
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………………34
5.1 Analisis Sampel ............................................................................................ 34
5.2 Analisis Deskriptif ....................................................................................... 35
5.2.1 Data Karakteristik Sampel Penelitian ................................................ 35
5.2.2 Data Rerata Kadar Glukosa hari I, III, dan V .................................... 36
5.2.3 Data Rerata Kadar Sitokin IL-6 hari I, III, dan V .............................. 37
5.3 Analisis Inferensial....................................................................................... 38
5.3.1. Uji Normalitas ................................................................................... 38
5.3.2 Uji Korelasi dengan Spearman Test................................................... 39
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 40
6.1 Analisis Sampel ............................................................................................ 40
6.2 Karakteristik Sampel Penelitian…………………………….........................40
6.3 Kadar Glukosa hari I, III dan ke V ............................................................... 41
6.4 Kadar Sitokin IL-6 hari I, III dan V ............................................................. 42
6.5 Korelasi kadar Glukosa dengan IL-6 hari I, III dan V ................................. 44
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………. .................................. 46
7.1 Simpulan ...................................................................................................... 46
7.2 Saran ............................................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 47
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Contoh Penghitungan ISS ................................................................... 8
Gambar 2.2 Algoritma Penanganan Politrauma.................................................... 10
Gambar 2.3 Respon Host Pada Trauma ................................................................ 13
Gambar 2.4 Mekanisme Stress Mempengaruhi Hiperglikemia ............................ 21
Gambar 3.1 Kerangka Konsep .............................................................................. 24
Gambar 4.1 Alur Penelitian................................................................................... 32
xv
DAFTAR TABEL
2.1 Timing Pembedahan Dalam Politrauma ......................................................... 11
4.1 Nilai Korelasi Menurut de Vaus (2002)…………………………………….. 33
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian……………………………………………...35
5.2 Kadar Glukosa hari I, III, V………………………………………………… 36
5.3 Perbedaan Rerata Glukosa hari I, III dan V………………………………… 36
5.4 Kadar Sitokin IL-6 hari I, III, V……………………………………………. 37
5.5 Perbedaan Rerata IL-6 hari I, III, V……………………………………....... 37
5.6 Uji Normalitas Data Glukosa dan Sitokin IL-6…………………………… 38
5.7 Uji Korelasi Glukosa dengan Sitokin IL-6 dengan Spearman Test….………..39
xvi
DAFTAR GRAFIK
6.1 Perbandingan rerata glukosa dan IL-6 hari I, III dan V……………………...45
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran.1 Kuesioner Penelitian .......................................................................... 50
Lampiran.2 Informed Consent Penelitian ............................................................. 52
Lampiran 3 Ethical Clearance………………………………………………… 54
Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian……………………………………………… 55
Lampiran 5 Prosedur Penelitian……………………………………………… 56
Lampiran 6 Sampel Penelitian………………………………………………….. 58
Lampiran 7 Data Hasil Penelitian……………………………………................. 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Politrauma merupakan suatu istilah yang digunakan pada suatu trauma
yang mengenai banyak sistem organ. Merupakan suatu sindrom trauma multipel
dengan Injury Severity Score (ISS) > 17. Penatalaksanaan politrauma masih
merupakan masalah yang belum terpecahkan dalam bidang kesehatan.
Politrauma tidak hanya menimbulkan kerusakan pada sistem organ yang
terkena, namun juga menimbulkan reaksi inflamasi sistemik yang dapat
menimbulkan kegagalan multiorgan (Trentz, 2000). Politrauma merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada negara maju dan berkembang.
Penyebab utama kematian pada penduduk di bawah usia 45 tahun, angka insiden
politrauma semakin mengalami peningkatan (Payal dkk, 2013).
Politrauma sering merupakan hasil dari cedera energi tinggi. Salah satu
komponen utama dalam politrauma adalah fraktur (Nicola, 2013). Cedera pada
tulang dan jaringan lunak memberikan kontribusi stres, nyeri dan perdarahan.
Stress dan nyeri merupakan rangsangan yang poten menyebabkan perubahan
neuroendokrin, neuroimunologi dan metabolik (Trentz, 2000). Stres pada
politrauma menyebabkan pengaktifan mekanisme mediator inflamasi dan
hypothalamic-pituitary axis (HPA) (Xiu dkk, 2014). Perubahan neuroendokrin
muncul akibat pelepasan contraregulatory hormone seperti glukagon, growth
hormone, cathecolamine, glucorticoid, baik secara endogen maupun eksogen
2
(McCowen, 2001). Hal ini menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah.
Hiperglikemia ringan dan sedang, merupakan suatu mekanisme protektif untuk
menyediakan bahan bakar sistem imun dan otak pada kondisi stres (Marik dan
Belomo, 2013).
Perubahan neuroimunologi pada politrauma dimulai dengan pengaktifan
respon inflamasi tubuh. Berdasarkan two hit theory hal ini dapat disebabkan baik
oleh first hit maupun pada second hit (Keel and Trentz, 2005; Craig, 2005). Pada
politrauma terjadi ketidakseimbangan antara sitokin pro dan antiinflamasi. Sitokin
proinflamasi diantaranya adalah tumor necrosis factor- α(TNF-α), interleukin-1β
(IL-1β), interleukin 6 (IL-6), interleukin-8 (IL-8), macrofag migratory factor
(MMF), neutrofil activating peptide (NAF), interferon-ϒ (IFN-ϒ), interleukin
12,18(IL-12, IL-18) (Keel dan Trentz, 2005). Sitokin ini membawa tubuh ke arah
SIRS (systemic inflammatory response syndrome). Sitokin dapat digunakan
sebagai biomarker inflamasi dalam politrauma, diantaranya yang paling reliable
adalah IL-6 (Craig, 2005). IL-6 adalah sitokin subakut dalam trauma. Terdapat
peningkatan IL-6 pada pasien dengan politrauma dengan ISS > 25 (Craig, 2005).
Serum level IL-6 banyak diteliti, berkorelasi dengan skor ISS, insiden MODS,
sepsis dan luaran akhir (Keel dan Trentz, 2005).
Reaksi inflamasi, neuroendokrin dan metabolik terjadi secara simultan dan
segera setelah terjadinya trauma. Belum didapatkan penelitian yang menjelaskan
pengaruh satu dengan yang lain. Respon inflamasi segera terjadi akibat sitokin
proinflamasi hiperakut, dan kemudian akan dipertahankan oleh sitokin subakut
seperti IL-6 (Keel dan Trentz, 2005). Cedera kepala berat, perdarahan, keadaan
3
syok menyebabkan rangsangan aferen kepada hipotalamus. Kemoreseptor pada
sistem saraf pusat sensitif terhadap hipoksia, hipoglikemia, dan hiperkapnia
berperan dalam respon neuroendokrin. Baroreseptor yang sensitif akibat
terjadinya hipovolemia, memberikan rangsangan pada sistem simpatik-adrenal,
sistem renin angiotensin. Hal ini berakibat pada peningkatan kadar glukosa darah
segera setelah trauma, atau menimbulkan keadaan hiperglikemia (Keel dan
Trentz, 2005). Beberapa penelitian mendapatkan bahwa keadaan hiperglikemia ini
juga dipertahankan melalui sitokin proinflamasi IL-6 yang berperan terhadap
metabolisme glukosa melalui resistensi insulin (Xiu dkk, 2014). Namun penelitian
invitro menemukan sebaliknya bahwa kondisi hiperglikemia menghambat
beberapa sitokin, yang salah satunya adalah IL-6 (Xiu dkk, 2014). Keadaan
hiperglikemia ini mempengaruhi status fisiologis pasien dengan politrauma.
Status fisiologik dan metabolik pasien politrauma dari hari ke hari dibagi
menjadi tiga fase menurut Cuthberson 1942, yaitu fase ebb (shock) pada 24 jam
pertama, fase flow (catabolic stage) beberapa hari sampai 2 minggu, dan fase
reparatif, yaitu dimulainya fase anabolik diatas 2 minggu (Keel dan Trentz, 2005).
Berdasarkan hal ini, Trentz membuat suatu tabel untuk menentukan prioritas dan
waktu pembedahan pada pasiendengan politrauma. Hari pertama adalah waktu
untuk melakukan early total care atau damage control, hari kekedua dan ketiga
adalah fase hiperinflamasi, hari ke kelima sampai kesepuluh merupakan window
of opportunity dalam melakukan pembedahan, sedangkan diatas 2 minggu adalah
fase hipoinflamasi (Trentz, 2000). Pengaturan energi melalui proses katabolisme
akan sangat penting dalam mempengaruhi sistem imun. Berdasarkan hal tersebut,
4
peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara kadar glukosa dengan
kadar IL-6 sebagai biomarker inflamasi, dalam setiap fase politrauma.
Untuk menentukan kondisi inflamasi dengan menggunakan IL-6 kurang
praktis bila digunakan pada saat awal cedera. Biaya yang diperlukan untuk
pemeriksaan ini juga cukup mahal. Apabila kadar glukosa dan IL-6 memiliki
korelasi yang kuat pada setiap fase politrauma, maka pemeriksaan kadar glukosa
darah pada pasien dengan politrauma dapat menjadi pemeriksaan sederhana yang
dapat meramalkan inflamasi dan merencanakan tindakan pada pasien fraktur
tulang panjang dengan politrauma.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka disusun
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan antara kadar glukosa darah dengan kadar IL-6
pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma di hari pertama ?
2. Apakah terdapat hubungan antara kadar glukosa darah dengan kadar IL-6
pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma di hari ketiga ?
3. Apakah terdapat hubungan antara kadar glukosa darah dengan kadar IL-6
pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma di hari kelima ?
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kadar glukosa darah dengan kadar IL-6 pada pasien
fraktur tulang panjang dengan politrauma.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui hubungan kadar glukosa darah dengan IL-6 pasien fraktur tulang
panjang dengan politrauma pada hari ke pertama, ketiga dan kelima.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan kadar glukosa
darah dengan kadar IL-6 pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma.
1.4.2 Manfaat praktis
Kadar glukosa darah dapat digunakan sebagai surrogate marker kenaikan
IL-6 pasien dengan fraktur tulang panjang dengan politrauma.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Politrauma
Politrauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ yang
menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara lebih khusus, politrauma adalah
suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat keparahan yang cukup tinggi (ISS
>17) yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian akan
menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan
sistem organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma secara langsung
(Trentz, 2000).
Trauma merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan merupakan
salah satu penyebab utama dari kematian pada usia dibawah 40 tahun (Nicola, 2013).
Trauma menyebabkan kematian pada hampir 16.000 orang diseluruh dunia setiap
harinya atau sekitar 5,6 juta kematian pertahun (Barkin dkk, 1998; Tebby dkk 2014).
Di Amerika Serikat, diperkirakan 12.400 orang meninggal dunia setiap bulannya oleh
karena trauma. Pria lebih banyak yang mengalami trauma (60-80% dari kasus yang
terjadi) daripada wanita (Barkin dkk, 1998). Kematian akibat politrauma
menggunakan AIS/ISS menunjukkan insiden 25-50 per 100.000 penduduk tiap tahun
di benua eropa dan lebih dari 70 di Kanada (Tebby dkk, 2014)
7
Mekanisme cedera adalah hal yang penting untuk diketahui. Dengan
mengetahui hal ini, dokter dapat memprediksi apakah pasien yang datang dengan
risiko besar terjadinya trauma mayor. Selain itu dapat diramalkan kerusakan organ
yang diakibatkan. Hal ini diperlukan untuk memfokuskan penanganan, karena
penanganan awal politrauma ditentukan pada jam pertama pertolongan. Waktu yang
disebut dengan golden hour of trauma (Payal dkk, 2013).
Penyebab utama politrauma pada penduduk sipil adalah kecelakaan lalu lintas
(Payal dkk, 2013). Barkin dkk, 1998 membuat suatu tabel yang berisikan mekanisme
cedera dan cedera yang diantisipasi. Mekanisme cedera diklasifikasikan menjadi
kecelakaan mobil, pejalan kaki, jatuh, trauma tajam dan cedera lain-lain, dengan pola
cedera yang berbeda sesuai dengan mekanismenya.
Suatu dashboard injury akan menyebabkan cedera dislokasi panggul, fraktur
panggul, fraktur femur, dan fraktur acetabulum berbeda dengan pola akibat benturan
pada jendela mobil yang sering menyebabkan cedera kepala, fraktur tulang wajah,
fraktur tengkorak, fraktur tulang leher. Atau pasien yang terjatuh dalam posisi
supinasi akan berbeda pola dengan pasien yang jatuh dalam posisi pronasi, dengan
kepala terlebih dahulu dan posisi berdiri (Barkin dkk, 1998). Penelitian Boyle dkk
menunjukkan dari 10 kriteria yang digunakan sebagai mekanisme cedera trauma
mayor, hanya dua yang mendapatkan hasil yang signifikan dalam menyebabkan
trauma mayor. Mekanisme tersebut adalah jatuh dari ketinggian 5 meter, dan
terjebaknya pasien dalam sebuah kendaraan dalam kecelakaan lalu lintas > 30 menit
(Boyle dkk, 2008).
8
2.2 Injury Severity Score (ISS)
ISS merupakan suatu anatomical scoring system yang dapat memberikan penilaian
pasien dengan multiple trauma. Setiap cedera diberi Abbreviated Injury Scale (AIS)
score dan dialokasikan ke salah satu dari enam regio pada tubuh pasien (kepala,
wajah, thorak, abdomen, ekstremitas (termasuk pelvis), serta struktur eksternal).
Hanya AIS score yang tertinggi di masing-masing regio tubuh yang digunakan.
Kemudian dari AIS score tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah
dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS (Chawda dkk, 2014).
Gambar 2.1 Contoh perhitungan ISS Score
ISS mempunyai rentang antara 1-75. Seseorang dikatakan mengalami
politrauma bila ISS lebih dari atau sama dengan 17 (Trentz 2000; Chawda dkk,
2004). ISS mempunyai keterbatasan, yaitu jumlah dari cedera yang diperhitungkan
hanya berjumlah tiga, yang masing-masing berasal dari tiga regio tubuh yang
memiliki cedera terparah, sehingga akan terjadi underscoring bila pada pasien
tersebut terdapat lebih dari satu cedera yang signifikan pada satu regio tubuh dan atau
lebih dari tiga regio tubuh.
9
2.3 Penatalaksanaan Politrauma dengan Fraktur
Kematian akibat politrauma berdasarkan waktu memiliki distribusi trimodal.
Distribusi tersebut adalah immediate, early, dan late. Dengan angka tertinggi
kematian didapatkan pada fase immediate (dalam 1 jam pertama), maka tujuan utama
dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah untuk mempertahankan hidup
(life saving). Prioritas awal adalah resusitasi untuk memastikan perfusi dan
oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara
konservatif seperti intubasi, ventilasi, dan volume replacement sesuai dengan
protokol Advanced Trauma and Life Support (ATLS). Bila dengan cara konservatif
tidak bisa memberikan respon yang positif maka dapat dilakukan immediate life-
saving surgery (Rockwood, 2006).
Pasien politrauma dengan orthopedi dapat dibagi menjadi 4 grup : stable,
borderline, unstable dan in extremis (Craig dkk, 2005). Peningkatan pengetahuan
terhadap patofisiologi politrauma sangatlah membantu mengidentifikasi
permasalahan yang muncul. Tiga triad letal dalam trauma adalah hipotermi,
koagulopati dan asidosis harus mendapatkan perhatian (Keel dan Trentz, 2005).
Pasien stabil dapat dilakukan penanganan definitif orthopedi, sedangkan pasien
unstable harus dilakukan damage control orthopaedic (Craig dkk, 2005). Hal ini
bertujuan untuk memfasilitasi dilakukan stabilisasi fungsi fisiologis pasien di ICU,
untuk persiapan pembedahan definitif bila kondisi pasien memungkinkan(Trentz,
2000). Pasien borderline mendapatkan perhatian karena sulit didefinisikan. Dibawah
ini (gambar 2.2) adalah algoritma penanganan politrauma.
10
Gambar 2.2 Algoritma penanganan politrauma (Trentz, 2000)
Konsep pendekatan dan penanganan fraktur pada pasien politrauma
mengalami perubahan. Pendekatan yang ideal yaitu mengakses seluruh cedera dan
melakukan fiksasi definitif dalam satu kali operasi, suatu konsep yang dikenal dengan
Early Total Care. Konsep ini dikenal pada awal tahun 1980 dengan berbagai kritik
pada instabilitas pasien yang mengalami operasi, durasi operasi panjang, dan
hilangnya darah saat operasi. Hal ini membawa pada perubahan konsep menjadi
damage control orthopaedic pada awal 1990 (Nicola, 2013). Konsep ini terdiri dari 4
fase penting. Fase pertama adalah life saving procedure, fase kedua adalah kontrol
perdarahan, stabilisasi sementara untuk fraktur tulang panjang, penatalaksanaan
terhadap cedera jaringan lunak, dengan mencegah komplikasi sekunder dari
pembedahan. Fase ketiga berfokus pada pengawasan pasien ICU untuk mencapai
tindakan operasi definitif pada fase keempat (Nicola, 2013).
11
Tujuan dan cakupan manajemen fraktur dalam politrauma adalah untuk
kontrol perdarahan, menghilangkan jaringan nekrotik, mencegah cedera iskemia-
reperfusi, menghilangkan nyeri dan memfasilitasi terapi intensif (Trentz, 2000).
Terapi definitif dilakukan pada waktu yang ditentukan. Timing untuk melakukan
pembedahan harus mempertimbangkan kondisi pasien serta respon pasien terhadap
resusitasi awal (Trentz, 2000). Waktu untuk pembedahan dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Timing untuk Pembedahan (Trentz, 2000)
Status Fisiologis Intervensi Pembedahan Timing
Respon terhadap
resusitasi awal
(-) Life-saving surgery
Hari I (?) Damage control
(+) Delayed primary surgery
Hyper-inflammation “Second look”, only Hari II-III
“Window of opportunity” Scheduled definitive
surgery
Hari V-X
Immunosuppression No surgery
Recovery Secondary reconstructive
surgery
Minggu III
Operasi definitif fiksasi fraktur pada hari pertama politrauma hanya boleh
diijinkan apabila tercapainya endpoint resuscitation, yaitu : pasien dengan
hemodinamik stabil, tidak ada hipoksemia atau hiperkapnia, kadar laktat < 2
mmol/L, fungsi koagulasi normal, normotermia, produksi urin >1 mL/kg/jam dan
tidak memerlukan topangan vasoaktif (Trentz, 2000).
12
2.4 Respon Inflamasi dalam Politrauma
Kaskade kompleks dari politrauma yang melibatkan host defence distimulasi oleh
rangsangan primer dan sekunder (two hit theory). Trauma akan menyebabkan efek
langsung pada organ primer, seperti misalnya perdarahan, cedera jaringan lunak dan
fraktur. Hal ini mengaktifkan respon inflamasi sistemik. Faktor endogen dan eksogen
berperan dalam respon pasca trauma ini. Faktor endogen pada second hit diantaranya
disebabkan oleh respiratory distress, hipoksia, instabilitas kardiogenik, asidosis
metabolik, cedera iskemia dan reperfusi, jaringan mati dan infeksi. Intervensi
pembedahan, perawatan intensif pasca operasi yang inadekuat, cedera yang
terlewatkan, transfusi masif merupakan faktor eksogen yang dapat menjadi second hit
(Keel dan Trentz, 2005).
Pada politrauma terjadi ketidakseimbangan antara sitokin pro dan
antiinflamasi. Sitokin proinflamasi diantaranya adalah TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8,
MMF, NAF, IFNϒ, IL-12, IL-18 (Keel dan Trentz, 2005). Sitokin ini membawa
tubuh ke arah SIRS (systemic inflammatory response syndrome). Serum level IL-6
banyak diteliti, berkorelasi dengan skor ISS, insiden MODS, sepsis dan luaran akhir
(Keel dan Trentz, 2005). Selain membentuk sitokin pro inflamasi, tubuh juga
membentuk sitokin antiinflamasi. Diantaranya TH2-cell, IL-4 yang dilepaskan
makrofag/monosit, IL-10, IL-13, dan TGF-β. Perbandingan IL-6 dengan IL-10
berkorelasi terhadap keparahan cedera setelah trauma mayor (Craig dkk, 2005)
13
Gambar 2.3. Respon host pada trauma (Keel dan Trentz, 2005)
Melalui pengaruh antigen, T-helper lymphocyte (Th-CD4 cell) berdiferensiasi
menjadi TH1 dan TH2. Sel TH1 menyokong kaskade proinflamasi melalui sekresi IL-
2, interferon-ϒ dan TNF-β, dimana TH2 adalah pembentuk mediator inflamasi.
Monosit dan makrofag dipengaruhi dari diferensiasi sel TH1, melalui sekresi IL-12
(Keel dan Trentz, 2005). Sitokin proinflamasi mengaktivasi recruitment dan aktivasi
fagositosis polimorphonuclear leucocyte (PMNL) sel imun pada jam-jam pertama.
Stimulasi PMNL melepaskan protease, dan radikal oksigen bebas. PMNL
dipengaruhi colony stimulating factorgranulocyte dan granulocyte-macrofag,
mencegah apoptosis PMNL saat terjadinya SIRS (Keel dan Trentz, 2005).
Kerusakan sel mekanik dan hipoksia menyebabkan peningkatan kalsium
intraseluler dengan pengaktifan phospholipase A dan phospholipase C. enzim ini
14
menyebabkan pelepasan arachcidonic acid dari membran fosfolipid. Melalui
pengaktivasian siklooksigenase dan 5-lipooksigenase prostaglandine E2, leucotriene
B4 dan tromboxane A2. Semua metabolit ini berperan dalam aktivasi dan recruitment
sel inflamasi, pengaturan permeabilitas vaskular, dan agregasi trombosit (Keel dan
Trentz, 2005).
Sitokin proinflamasi juga menyebabkan pengaktifan sistem kaskade plasma,
yang terdiri dari kaskade komplemen, sistem kalikrein-kinin dan kaskade koagulasi.
Jalur klasik adalah melalui kompleks antigen-antibodi (immunoglobulin M dan G)
atau aktivasi faktor koagulasi VII, sedangkan toksin dari bakteri (liposakarida) dapat
mengaktifkan jalur alternatif (Keel dan Trentz, 2005).
Pelepasan sitokin proinflamasi lokal dan sistemik dapat merangsang reaksi
fase akut. Terjadi sintesis protein fase akut pada sel hepatosit salah satunya adalah C-
reactive protein (CRP), fibrinogen, dan protrombin disertai penurunan protein lain
yaitu albumin, high density lipoprotein (HDL), protein C dan S. Namun kadar CRP
relatif tidak spesifik dan tidak dapat memprediksi komplikasi posttrauma.
Procalcitonin, suatu protein lain yang dibentuk oleh sel C-thyroid dan juga hepatosit
lebih mampu memprediksi SIRS, MODS dan komplikasi septik (Keel dan Trentz,
2005).
Setelah dilakukan operasi mayor, sitokin yang dilepaskan antara lain adalah
IL-1, TNF-α dan IL-6 (Desborough, 2000). IL-1 dan TNF-α merupakan yang pertama
dihasilkan dari makrofag dan monosit yang dihasilkan jaringan yang mengalami
kerusakan. Setelah itu barulah dihasilkan sitokin lain yaitu IL-6, suatu sitokin utama
15
yang berpengaruh terhadap perubahan sistemik yang dikenal dengan respon fase akut
(Desborough, 2000). IL-6 akan meningkat dalam 24 jam operasi dan tetap tinggi
pada 24-72 jam pasca operasi (Desborough, 2000).
2.5 Peran IL-6 dalam Inflamasi
IL-6 merupakan suatu glycoprotein dengan berat molekul 22-29 kD dan
diproduksi oleh beberapa jenis sel, antara lain sel T, sel B dan sel endotel. Produksi
IL-6 diinduksi oleh virus, LPS, IL-1 dan TNF. IL 6 kemudian menginduksi
proliferasi limfosit B untuk meningkatkan sintesis immunoglobulin serta
menginduksi proliferasi limfosit T. IL-6 juga meningkatkan diferensiasi sel T dan
aktivitas sel NK (Natural Killer). IL-6 merupakan salah satu marker prognosis terbaik
untuk mengetahui outcome pasien dengan SIRS, sepsis, atau MODS (Giannouidis P V
dkk., 2004).
IL-6 adalah mediator proinflamasi poten meskipun beberapa studi sebelumnya
menunjukkan bahwa IL-6 juga memiliki properti antiinflamasi lemah. IL-6 disekresi
oleh makrofag dan limfosit T. TNF-α dan IL-1β adalah sitokin perangsang IL-6 yang
kuat, dengan mekanisme umpan balik IL-6 menurunkan produksi TNF-α dan IL-1β
dan mengaktifkan hipothalamic-pituitary axis. Merupakan mediator hepatik fase akut
pada cedera dan penyembuhan. Setelah cedera IL-6 terdeteksi dalam 60 menit dan
mencapai puncaknya 4-6 jam dan menetap dalam 10 hari. Level IL-6 pada sirkulasi
proporsional terhadap kerusakan jaringan selama pembedahan. IL-6 digunakan
sebagai index respon inflamasi.
16
Beberapa penelitian mengkonfirmasi peningkatan segera dari kadar IL-6
pasca trauma, dimana pasien dengan derajat trauma yang terberat mempunyai kadar
IL-6 tertinggi. Disebutkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan awal kadar
sitokin IL-6, nilai Injury Severity Score yang tinggi serta late adverse outcome. Pada
penelitian Gebhard F dkk tahun 2000 yang memaparkan perubahan kadar sitokin IL-6
pasca trauma. Pada penelitian tersebut didapatkan suatu korelasi antara kadar sitokin
Il-6 pada 6 jam pertama pasca trauma dengan derajat suatu trauma. Pasien dengan
cedera terparah memiliki kadar sitokin IL-6 tertinggi. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa kadar sitokin IL-6 dapat digunakan untuk mengevaluasi
dampak suatu trauma terhadap tubuh pasien (Gebhard F dkk., 2000).
Pada penelitian Giannoudis dkk tahun 2008 didapatkan bahwa kadar sitokin
IL-6 dapat memprediksi terjadinya komplikasi pada pasien multiple trauma, salah
satunya adalah terjadinya komplikasi MODS, pada cut off point 300 pg/mL dengan
akurasi 78%, sensitivitas 72% dan spesifisitas 78%. (Giannoudis dkk, 2008 ) Pada
penelitian Stensballe dkk tahun 2009 didapatkan bahwa pada hari pertama pasien
yang mempunyai kadar sitokin IL-6 lebih dari 300 pg/mL akan mengalami kematian
dalam 30 hari (Stensballe dkk, 2009).
Selain pada fase subakut IL-6 juga meningkat pada operasi mayor
(Desborough, 2000). Peningkatan IL-6 dimulai dengan peningkatan IL-1 dan TNF-α
akibat kerusakan jaringan.IL-6 akan meningkat dalam 24 jam operasi dan tetap tinggi
pada 24-72 jam pasca operasi (Desborough, 2000).
17
2.6 Metabolisme Glukosa
Homeostasis glukosa vital terhadap homeostasis tubuh. Glukosa hampir merupakan
bahan bakar dari seluruh sel tubuh. Eritrosit dan neuron seluruhnya memerlukan
glukosa untuk pembentukan energi (Saladin, 2007). Kadar glukosa darah diatur
sedemikian rupa dalam rentang yang sempit dengan berbagai mekanisme.
Glukosa diabsorbsi pada usus halus melalui transporter aktif tergantung Na.
setelah diabsorbsi pada usus halus , glukosa memasuki sirkulasi portal dan ditransport
ke hati. Glikolisis, glikogenesis, glukoneogenesis semua mengambil tempat pada hati.
Glikolisis adalah pemecahan molekul glukosa menjadi piruvat. Piruvat dioksidasi dan
memasuki siklus asam sitrat menghasilkan rantai transport elektron dengan produk
akhir ATP atau energi. Glikogenesis adalah sintesis glikogen, bentuk penyimpanan
jangka panjang dari glukosa. Glukoneogenesis adalah produksi glukosa dari molekul
precursor non karbohidrat. Semua proses ini dipengaruhi hormon terutama insulin
dan glukagon. Mekanisme ini disebut dengan mekanisme autoregulasi.
Hormon-hormon yang berperan dalam glukoregulasi :
1. Insulin, dikeluarkan oleh sel Beta pancreas yang berfungsi untuk menurunkan
kadar glukosa darah dengan meningkatkan ambilan glukosa jaringan
2. Glukagon, dikeluarkan oleh sel beta pankreas. Hormon ini meningkatkan
glikogenolisis dengan mengaktifkan enzim fosforilase. Hormon ini juga
meningkatkan glukoneogenesis dari asam amino dan laktat dengan
menghasilkan cAMP. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa
darah.
18
3. Glukokortikoid disekresikan oleh korteks adrenal. Hormon ini meningkatkan
glukoneogenesis. Hal ini terjadi karena peningkatan katabolisme di jaringan,
peningkatan ambilan asam amino oleh hati, dan peningkatan enzim
transaminase serta enzim lainnya yang berhubungan dengan glukoneogenesis.
4. Epinefrin, disekresikan oleh medulla adrenal. Hormon ini menyebabkan
glikogenolisis di hati serta otot karena stimulasi enzim fosforilasi dengan
menghasilkan syclic AMP (cAMP).
5. Growth Hormon, disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Hormon ini
menurunkan ambilan glukosa di jaringan tertentu. Sebagian efek ini tidak
langsung, karena hormone ini memobilisasi asam lemak bebas dari jaringan
adipose dan asam lemak itu menghambat penggunaan glukosa.
Terdapat mekanisme kontrol dalam mempertahankan kadar glukosa darah dari
berbagai stress baik fisik maupun psikis.
2.7 Metabolisme Glukosa pada Inflamasi dan Trauma
Hiperglikemia yang dipengaruhi trauma disebabkan karena adanya pelepasan
katekolamin yang segera setelah trauma. Ditandai dengan stres repon yang
menyebabkan status hipermetabolik, katabolisme protein dan lemak, keseimbangan
nitrogen negatif, hiperglikemia dan resistensi insulin (Vogelzang dkk, 2006).
Meskipun pengambilan glukosa pada jaringan perifer juga meningkat, peningkatan
glukoneogenesis dan resistensi insulin menyebabkan hiperglikemia.
Efek trauma yang berat, infeksi dan pembedahan menyebabkan terjadinya
stres metabolik pada tubuh manusia. Stres terkait dengan kondisi kritis ditandai
19
dengan aktivasi mediator sel inflamasi dan axis hipotalamus-pituitary. Pelepasan
kortisol, katekolamin, glukagon, dan growth hormon penting bagi adaptasi umum
terhadap penyakit dan stress. Respon akut terhadap penyakit kritis seperti perubahan
energi untuk organ-organ vital, modulasi sistem imun, dan penundaan proses
anabolisme merupakan hal penting yang terjadi di awal terjadinya trauma.
Stres hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar plasma glukosa darah > 200
mg/dl pada pasien dengan trauma berat atau kondisi kritis.Stres hiperglikemia ringan
sedang merupakan mekanisme protektif karena proses ini menyediakan bahan bakar
bagi sistem imun dan otak pada saat terjadinya stres. Namun banyak proses respon
endokrin kronik menyebabkan hiperglikemia persisten dan terjadinya resitensi
insulin. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan jangka waktu yang lama. Dengan
kombinasi dengan level insulin sistemik yang inadekuat dan resitensi insulin akibat
peningkatan hormon kontraregulasi, manifestasi klinis negatif dapat ditimbulkan
hiperglikemia menyebabkan kondisi mengancam jiwa.
Untuk membedakan hiperglikemia yang disebabkan stress atau kronik dapat
dilakukan pemeriksaan HbA1C. HbA1C atau (glycated hemoglobin) adalah
hemoglobin terikat glukosa, yang dapat merefleksikan kadar glukosa darah 3 bulan
terakhir. Selain digunakan untuk kontrol pengobatan, HbA1C dapat digunakan
sebagai skrining pasien yang sebelumnya belum terdiagnosa diabetes (Rohfhling dkk,
2000). HbA1C memiliki sensitifitas 63,2% dan spesifisitas 97,4% dalam skrining
diabetes pada rata-rata 2 SD diatas normal. Pada level standar deviasi ini HbA1C atau
20
6,1% mengindikasikan bahwa individu yang sebelumnya tidak terdiagnosis diabetes
mengalami risiko komplikasi diabetes (Rohlfing dkk, 2000).
Hiperglikemia sendiri merupakan faktor risiko infeksi pasca operasi.
Hiperglikemia terbukti merupakan prediktor independen mortalitas pasien politrauma
di rumah sakit (Kreutziger dkk, 2009). Keadaan ini juga dapat digunakan dalam
memprediksi luaran akhir pasien dengan politrauma (Kreutziger dkk, 2009).
Hiperglikemia stress dan fungsi imun adalah hal yang terkait satu sama lain.
Keadaan hiperglikemia dapat menghambat sekresi sitokin seperti IL-6, IL-8 dan
macrophage-inflammatory protein (MIP) dan reactive oxygen species (ROS) (Xiu
dkk, 2014). Sebaliknya IL-6 dapat mempengaruhi metabolisme glukosa dan
menyebabkan resistensi insulin, suatu mekanisme yang akan menyebabkan
hiperglikemia kronik. Proliferasi makrofag meningkat pada peningkatan kadar
glukosa.
21
Gambar 2.4 Mekanisme Stress mempengaruhi Hyperglikemia (Xiu dkk, 2014)
Peran glukosa terhadap respon inflamasi, dan keterkaitannya terhadap sitokin
proinflamasi masih diperdebatkan. Beberapa penelitian awal mendapatkan bahwa
hiperglikemia diperlukan untuk keadaan fase akut. Namun penelitian baru
menunjukkan bahwa kadar glukosa yang rendah menghasilkan luaran yang lebih
baik. Glukosa yang rendah dan insulin memiliki efek antiinflamasi pada pasien
dengan politrauma (Xiu dkk, 2014). Pada trauma, IL-6 berperan dalam metabolisme
22
glukosa dan aksi insulin. IL-6 meningkatkan resistensi insulin jaringan dalam kondisi
hiperglikemi (Xiu dkk, 2014). Namun bagaimanakah korelasi antara kadar glukosa
dengan IL-6 pada politrauma belum diketahui. Pada pasien diabetes mellitus (DM)
yang mengalami trauma ekstremitas bawah, menunjukkan peningkatan risiko infeksi
dan waktu tinggal di rumah sakit lebih lama (Tebby dkk, 2014). Mortalitas yang lebih
tinggi dan jumlah komplikasi operasi didapatkan pada pasien dengan politrauma
disertai dengan DM. Identifikasi yang cepat dan kontrol glukosa yang ketat
memberikan peningkatan luaran akhir pada pasien tersebut (Tebby dkk, 2014).
23
23
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Politrauma tidak hanya menimbulkan kerusakan pada organ yang terkena,
namun dapat menimbulkan efek sistemik pada organ jauh karena proses inflamasi.
Nyeri dan stress pada fraktur merupakan rangsangan yang kuat terhadap perubahan
neuroendokrin, neuroimunologi, dan metabolik. Peningkatan kadar glukosa
merupakan salah satu respon tubuh akibat stress pada trauma. Hal ini terjadi akibat
pelepasan contraregulatory hormone seperti glukagon, growth hormone,
cathecolamine, glucorticoid baik secara endogen maupun eksogen (McCowen, 2001).
Perubahan neuroimunologi pada politrauma dimulai dengan pengaktifan
respon inflamasi tubuh. Pada politrauma terjadi ketidakseimbangan antara sitokin pro
dan antiinflamasi. Sitokin proinflamasi diantaranya adalah TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8,
MMF, NAF, IFNϒ, IL-12, IL-18 (Keel dan Trentz, 2005). Sitokin ini membawa
tubuh ke arah SIRS (systemic inflammatory response syndrome). Sitokin dapat
digunakan sebagai biomarker inflamasi dalam politrauma, diantaranya yang paling
reliable adalah IL-6 (Craig, 2005). Serum level IL-6 banyak diteliti, berkorelasi
dengan skor ISS, insiden MODS, sepsis dan luaran akhir (Keel dan Trentz, 2005).
24
Apakah terdapat hubungan antara peningkatan kadar glukosa dan peningkatan kadar
IL-6 belumlah diketahui sehingga diperlukan penelitian terhadap hal tersebut.
25
3.2 Kerangka Konsep
Gambar 3.1
Kerangka Konsep
Variabel bebas
Variabel tergantung
Fraktur tulang
panjang dengan
politrauma
Hiperinflamasi
Peningkatan IL- 6
Hiperkatabolisme
Neuroimunologi
Peningkatan kadar
glukosa
Stres, Nyeri,
Kerusakan Jaringan
Lunak, Fraktur
Neuroendokrin
25
3.3 Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara kadar glukosa darah dengan kadar IL-6 pada pasien
fraktur tulang panjang dengan politrauma di hari pertama.
2. Terdapat hubungan antara kadar glukosa darah dengan kadar IL-6 pada pasien
fraktur tulang panjang dengan politrauma di hari ketiga
3. Terdapat hubungan antara kadar glukosa darah dengan kadar IL-6 pada pasien
fraktur tulang panjang dengan politrauma di hari kelima.
26
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional
longitudinal. Penelitian ini dilakukan padapasien fraktur tulang panjang dengan
politrauma (ISS Score >17) yang datang ke IGD Bedah RSUP Sanglah dan telah
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan glukosa dan IL-6 pada hari pertama, hari ketiga dan
hari kelima.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di IGD Bedah dan ruang perawatan pasien trauma.
RSUP Sanglah dari bulan Desember 2015 sampai dengan bulan Maret 2016.
Analisis data dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang ilmu kedokteran khususnya Ilmu
Orthopaedi dan Traumatologi.
27
4.4 Populasi dan Sampel
4.4.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang masuk ke IGD
Bedah RSUP Sanglah dengan politrauma dan fraktur tulang panjang.
4.4.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah pasien politrauma dengan fraktur tulang
panjang yang masuk ke IGD Bedah RSUP Sanglah yang memenuhi kriteri
inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi sampel.
4.4.3 Kriteria Inklusi Sampel
1. Pasien berusia 14-65 tahun yang mengalami fraktur tulang panjang
dengan politrauma (ISS score > 17).
2. Pasien yang mendapat perawatan dan bertahan sampai dengan hari
kelima (window of opportunity) atau lebih.
3. Pasien setuju untuk dijadikan sampel dalam penelitian.
4.4.4 Kriteria Eksklusi Sampel
1. Pasien politrauma yang death on arrival (DOA)
2. Pasien politrauma yang menolak pengobatan standar.
3. Pasien menolak untuk ikut serta dalam penelitian.
4. Pasien politrauma yang memiliki riwayat diabetes mellitus.
28
4.4.5 Kriteria Drop Out
1. Pasien yang mundur menjadi subjek penelitian sebelum hari kelima.
2. Pasien meninggal dalam perawatan sebelum hari kelima.
4.4.6 Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel adalah dengan consecutive sampling sesuai
dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Pasien yang telah memenuhi
kriteria inklusi diambil sampel darahnya untuk pemeriksaan glukosa dan IL-6
pada hari 1, 3 dan 5 setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian yang
akan dilakukan dan menandatangani lembar informed consent yang diberikan.
4.4.7. Besar Sampel
Adapun besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitungdengan
menggunakan rumus uji analitik korelatif (Dahlan S, 2013) :
Sehingga:
n = Zα+Zβ 2
0,5 ln [ (1+r/1-r)] + 3
dimana:
n = jumlah sampel
Zα = kesalahan tipe 1 ( 5 % : 1,64)
Zβ = kesalahan tipe 2 (10% : 1,28)
r = korelasi minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti (0,6)
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel sebanyak 20 subyek.
29
Ditambah dengan perkiraan drop out 10%, maka total jumlah sampel yang
diperlukan adalah 22 orang.
4.5 Variabel Penelitian
Variabel bebas : Politrauma + fraktur tulang panjang (ISS > 17).
Variabel tergantung : Kadar glukosa darah dan kadar IL 6 (hari ke I, III, V)
Variabel kendali : Umur 14-65 tahun
4.5.1. Definisi Operasional Variabel
1. Kadar glukosa adalah kadar glukosa darah darah sewaktu(random blood
sampling)diambil dengan dengan mengambil darah serum 5 ml, diperiksa
dengan spektrfotometri,dengan satuan mg/dl. Diambil pada hari I, III dan
V setelah cedera.
2. Pasien politrauma adalah pasien dengan cedera pada minimal dua sistem
organ (termasuk sistem muskuloskeletal) dengan ISS >17.
3. Pasien dengan fraktur tulang panjang adalah pasien dengan satu atau lebih
fraktur pada tulang mayor (humerus, radius, ulna, femur, tibia, dan fibula)
baik fraktur terbuka maupun tertutup.
4. Injury Severity Score (ISS) adalah sistem skor pada pasien
politraumadengan pemberian AIS score (1-6) yang dialokasikan ke salah
satu dari enam regio pada tubuh pasien (kepala, wajah, thorak, abdomen,
ekstremitas, serta struktur eksternal). Hanya AIS score yang tertinggi di
masing-masing regio tubuh yang digunakan. Kemudian dilakukan
30
penjumlahan kuadrat dari AIS score tertinggi pada tiga regio tubuh yang
mengalami cedera terparah. ISS mempunyai rentang antara 1-75.
5. Umur adalah usia sampel penelitian yang dihitung mulai lahir sampai
waktu dijadikan sampel yang dinyatakan dalam tahun, berdasarkan kartu
identitas pasien.
6. Kadar sitokin IL-6 adalah kadar sitokin IL-6 dalam sampel darah yang
diukur melalui metode ELISA, menggunakan reagan R/D system bitechne
brand, hasildalam satuan pg/mL. Diambil pada hari pertama, ketiga, dan
kelima.
4.6 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan kuesioner yang berisi variabel penelitian.
(Kuesioner terlampir).
4.7 Prosedur Penelitian
Pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma di IRD RS Sanglah yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi dijadikan sampel
penelitian. Untuk mengekslusi diabetes mellitus (DM), pasien politrauma yang
datang ke UGD RSUP Sanglah akan dilakukan heteroanamnesis tentang riwayat
penyakit DM dan pemeriksaan serum HbA1C untuk menilai apakah hiperglikemia
yang terjadi merupakan suatu proses kronik terkait penyakit DM. Nilai >6,1%
dianggap memiliki riwayat DM sebelumnya.
31
Pada sampel penelitian akan dilakukan pengambilan darah untuk
memeriksakan kadar glukosa darah dan kadar sitokin IL-6. Masing-masing
diambil 5 ml darah untuk glukosa dan IL-6. Sampel darah yang diambil adalah
nilai sewaktu (random blood sampling). Pengambilan sampel dilakukan di UGD
pada hari pertama dan di ruang perawatan pada hari ketiga dan kelima.
Nilai kadar glukosa didapatkan langsung setelah pemeriksaan sedangkan
sampel darah IL-6 diberikan kode nomor dan nomor rekam medis pasien dan
disimpan sementara dalam kontainer di laboratorium Patologi Klinik RSUP
Sanglah dalam suhu minus 40 derajat celcius. Sampel kemudian akan dianalisis
secara bersamaan.
32
4.8 Alur Penelitian
Hari I
IRD Bedah
Hari ke III
Ruang perawatan
Hari ke V
Ruang Perawatan
Gambar 4.1 Alur Penelitian
Fraktur tulang panjang
dengan politrauma
Kadar Glukosa
IL-6
ISS > 17
Usia 14-65 th
Riwayat DM (-)
HbA1C < 6,1%
Dirawat sampai hari
kelima
Kadar Glukosa
IL-6
Kadar Glukosa
IL-6
Analisis Data
33
4.9 Analisis Data
Analisis data menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS versi 22.0.
Analisis penelitian diawali dengan analisis deskriptif subjek penelitian untuk
mengetahui karakteristik subjek penelitian. Kemudian dilakukan analisis uji
normalitas data pada kadar glukosa dankadar IL-6. Analisis normalitas dilakukan
dengan Shaphiro-Wilk Test karena jumlah sampel <50. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui normalitas data dan sebagai syarat asumsi analisis parametrik.
Apabila data yang didapatkan berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji
korelasi Pearson, apabila r positif (0-1) maka kedua variabel dikatakan berkorelasi
positif. Apabila tidak berdistribusi normal maka uji korelasi dilakukan dengan uji
korelasi Spearman. Nilai koefisien korelasi diinterpretasikan berdasarkan tabel de
Vaus (2002), apakah korelasi tersebut lemah, moderat, kuat, sangat kuat dan
hampir sempurna.
Tabel 4.1 Nilai Korelasi Menurut de Vaus (2002).
No Nilai r Interpretasi
1 0 Tidak ada hubungan
2 0,01-0,09 Tidak berarti
3 0,1-0,29 Hubungan lemah
4 0,3-0,49 Hubungan moderate
5 0,5-0,69 Hubungan kuat
6 0,7-0,89 Hubungan sangat kuat
7 >0,9 Mendekati sempurna
34
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Sampel
Dari data penelitian didapatkan 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memenuhi kriteria ekslusi. Seluruh sampel penelitian yang datang di IRD
Bedah RSUP Sanglah dinilai ISS. Pasien dieksklusi apakah memiliki riwayat
diabetes atau tidak dengan cara heteroanamnesis dan dilakukan pemeriksaan
HbA1C. Dari seluruh sampel didapatkan kadar HbA1C yang normal (nilai mean
5,08%).
Dalam masa perawatan, 8 orang pasien mengalami drop out karena tidak
dirawat sampai dengan hari kelima. Hal ini disebabkan karena pasien pulang
paksa (3 orang), menolak pengobatan standar (3 orang) dan 2 diperbolehkan
pulang. Sehingga didapatkan total 22 sampel. Pemeriksaan kadar glukosa dan IL-
6 dilakukan pada 22 sampel di IRD pada hari I, di ruang perawatan pada hari ke
III dan ke V. Kadar glukosa dan IL-6 diberikan kode penomoran sehingga
memudahkan dalam analisis. Data kadar glukosa didapatkan langsung setelah
dilakukan pemeriksaan sedangkan data IL-6 sementara disimpan dalam kontainer
di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah dalam suhu -40 derajat celcius.
Kadar glukosa sampel darah ini kemudian diperiksakan dengan cara dengan alat
34
spectrofotometer, dan didapatkan hasil dalam mg/dl. Kadar IL-6 diperiksa dengan
metode ELISA (enzyme linked immunoassay). Penelitian ini menggunakan alat R
35
and D system a biotechne brand, sebuah quantitative sandwich enzyme
immunoassay. Reagen ini telah secara luas digunakan untuk penelitian tentang IL-
6. Hasil IL-6 dibaca oleh seorang ahli patologi klinik yang berpengalaman. Data
diolah dan dianalisis untuk mengevaluasi serta menjawab hipotesis dan tujuan
penelitian yang dibuat.
5.2 Analisis Deskriptif
Data sampel yang didapatkan dianalisis berdasarkan umur, jenis kelamin dan ISS.
5.2.1. Data Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Total (n=22)
Jenis kelamin
Laki – laki 86,40 % (19)
Perempuan 13,60 % (3)
Umur (tahun) 34,00 ± 12,11
ISS 18,57 ± 5,40
HbA1C 5,079± 0,237
Dari 22 sampel yang didapatkan, 86,40 % sampel berjenis kelamin laki-laki.
Rentang usia sampel dari 14-55 tahun dengan rerata usia sampel 34 tahun.
Rentang ISS sampel dari 18 s/d 25, dengan rerata ISS 19. Seluruh HbA1C sampel
tidak ada yang melebihi 6,1%, dengan rerata nilai HbA1C yang didapatkan
sebesar 5,08%.
36
5.2.2 Data Rerata Kadar Glukosa hari I, III, dan V
Tabel 5.2 Kadar Glukosa hari Pertama, Ketiga dan Kelima
Total
(n=22)
(Mean ± SD)
p*
(Asymp.
Sig.)
Kadar Glukosa Pertama (g/mL) 118,27 ± 13,63
Kadar Glukosa Ketiga (g/mL) 128,27 ± 15,84
Kadar Glukosa Kelima (g/mL) 119,63 ± 13,41
0,001
* FriedmanTest
Rerata glukosa pada hari I, III, V didapatkan dalam rentang 118-128 mg/dl.
Dengan kadar glukosa pada hari III memiliki rerata tertinggi yaitu 128 mg/dl, bila
dibandingkan dengan hari dan V. Hasil ini menunjukkan bahwa ketiga rerata
dalam hasil penelitian berbeda secara signifikan.
Tabel 5.3 Perbedaan Rerata Glukosa Hari Pertama, Ketiga dan Kelima
Glucose 3rd
-
Glucose 1st
Glucose 5th
-
Glucose 1st
Glucose 5th
-
Glucose 3rd
Z -3.004a -.504
a -3.054
b
Asymp. Sig. (2-
tailed) .003 .615 .002
Dari analisis post hoc dengan uji Wilcoxon, dicari perbedaan rerata antara hari
pertama, ketiga dan kelima. Pada penelitian ini didapatkan terdapat perbedaan
37
rerata glukosa yang signifikan pada hari pertama dan ketiga p=0,003, serta pada
hari ketiga dan kelima p=0,002, p<0,05.
5.2.3 Data Rerata Kadar Sitokin IL-6 Hari Pertama, Ketiga dan Kelima
Tabel 5.4 Kadar Sitokin IL-6 hari I, III, V
Total
(n=22)
(Mean ± SD)
p*
(Asymp.
Sig.)
Kadar Sitokin IL-6 Pertama 79,79 ± 109,33
Kadar Sitokin IL-6 Ketiga 97,31 ± 125,65
Kadar Sitokin IL-6 Kelima 91,56 ± 121,50
0,036
* FriedmanTest
Rerata kadar IL-6 pada penelitian ini didapatkan dalam rentang 79-97 pg/dl.
Rerata IL-6 yang lebih tinggi didapatkan pada hari ketiga dibandingkan hari I dan
V. Perbedaan rerata ini signifikan secara statistik p=0,036.
Tabel 5.5 Perbedaan Rerata IL-6 pada Hari Pertama, Ketiga dan Kelima
IL-6 3rd
- IL-6 1st IL-6 5
th - IL-6 1
st IL-6 5
th - IL-6 3
rd
Z -2.890a -1.542
a -1.445
b
Asymp. Sig. (2-
tailed) .004 .123 .149
Pada analisis post hoc dengan uji Wilcoxon, didapatkan perbedaan rerata yang
bermakna pada IL-6 hari pertama dan ketiga, dengan p=0,004, p<0,05.
38
5.3. Analisis Inferensial
5.3.1. Uji Normalitas
Tabel 5.6 Uji Normalitas Data Glukosa dan Sitokin IL-6
Shapiro-Wilk
Statistic Sig. Keterangan
Kadar Glukosa
Pertama 0.988 0,992 Normal
Kadar Glukosa
Ketiga 0,903 0,035 Tidak Normal
Kadar Glukosa
Kelima 0,968 0,657 Normal
Kadar Sitokin
IL-6 Pertama 0,679 0,000 Tidak Normal
Kadar Sitokin
IL-6 Ketiga 0,699 0,000 Tidak Normal
Kadar Sitokin
IL-6 Kelima 0,699 0,000 Tidak Normal
Berdasarkan uji normalitas didapatkan sebaran data glukosa dan IL-6 yang tidak
normal sehingga uji korelasi dilakukan dengan uji Spearman.
39
5.3.2. Uji Korelasi dengan Spearman Test antara Kadar Glukosa dengan
Kadar IL-6
Tabel 5.7 Uji Korelasi variabel Glukosa dengan Sitokin IL-6 dengan
Spearman Test
Spearman’s Rho
Koefisien Korelasi
P
(Sig. (2-tailed))
Glukosa Hari Pertama
dengan IL-6 Hari Pertama 0,507 0,016
Glukosa Hari Ketiga
dengan IL-6 Hari Ketiga 0,249 0,264
Glukosa Hari Kelima
dengan IL-6 Hari Kelima 0,520 0,013
Signifikan pada nilai p< 0,05
Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar glukosa dan IL-6 memiliki korelasi
positif dan kuat pada hari I dan ke V yang signifikan secara statistik dengan
p=0,016 dan 0,013 (p<0,05). Nilai koefisien yang didapatkan pada hari I dan
kelima sebesar 0,507 dan 0,520 yang berarti korelasi kuat menurut de Vaus
(2002).
40
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Analisis Sampel
Didapatkan 22 sampel yang dianalisis secara statistik. Analisis dilakukan secara
deskriptif dan inferensial. Pemeriksaan yang digunakan untuk melakukan analisis
merupakan alat yang sudah terstandardisasi. Pemeriksaan glukosa darah dilakukan
dengan metode spektrofotometri di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah.
Kadar sitokin IL-6 diperiksa menggunakan Human IL-6 quantine ELISA kit dari
R/D system biotechne brand, suatu reagen dengan menggunakan 4,5 hour solid
phase ELISA yang telah banyak digunakan dalam penelitian IL-6 di beberapa
trauma centre di dunia. Pemeriksaan dan analisis dilakukan di Laboratorium
Patologi Klinik RSUP Sanglah. Hasil yang didapatkan dianalisis oleh seorang ahli
patologi klinik yang telah berpengalaman.
6.2 Karakteristik Sampel Penelitian
Politrauma masih merupakan masalah yang belum terpecahkan dalam bidang
kesehatan. Politrauma merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
negara maju dan berkembang. Trauma merupakan penyebab kematian utama pada
kelompok usia produktif dengan angka insiden yang mengalami peningkatan
(Payal dkk, 2013). Pada penelitian didapatkan rerata usia adalah 34 tahun yang
merupakan kelompok usia produktif. Laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi
dibandingkan perempuan dengan rasio 6 : 1 (19 : 3 sampel). Hal ini sesuai dengan
41
penelitian Barkin dkk tahun 1998 yang menyebutkan bahwa pria lebih banyak
mengalami trauma dibandingkan dengan wanita dengan angka 60-80%.
Injury Severity Score (ISS) merupakan salah satu metodescoring dalam
politrauma. ISS diperlukan untuk dapat merencanakan tindakan pada pasien dan
meramalkan prognosis. Hal ini juga terkait dengan kapan dilakukan fiksasi pada
pasien dengan fraktur tulang panjang. Pada ISS < 25 dapat dilakukan tindakan
internal fiksasi pada fraktur femur misalnya dengan nail intrameduler, sedangkan
pada ISS> 40 tetap diperlukan fiksasi, namun dengan menggunakan eksternal
fiksasi (Trentz, 2000). Pada penelitian ini didapatkan rerata ISS 19, yang artinya
apabila diperlukan pada sampel dapat dilakukan tindakan early internal fixation
pada fraktur tulang panjang. Tidak ada sampel penelitian yang mengalami
MODS dan meninggal saat perawatan.
6.3 Kadar Glukosa hari I, III dan ke V
Kadar glukosa meningkat pada politrauma. Stres akut hiperglikemia dapat terjadi
dalam hari-hari awal politrauma (fase Ebb). Hal ini disebabkan karena
ketidakseimbangan antara kerja insulin dan hormon-hormon kontraregulasi, serta
pengaruh dari sitokin proinflamasi (Pishar chik, dkk 2012).
Glukosa dapat memprediksi luaran akhir pada pasien dengan politrauma.
Hiperglikemia (kadar glukosa darah > 200 mg/dl) yang terjadi awal, berkorelasi
dengan angka mortalitas dan morbiditas pasien dengan politrauma (Thoyaja,
2014). Dari hasil penelitian didapatkan rerata rentang glukosa antara 118-128
mg/dl. Tidak didapatkan hiperglikemia awal (kadar glukosa > 200 mg/dl) pada
42
seluruh sampel. Hal ini menunjukkan masih terjadi kesimbangan pada kontrol
glukosa, meskipun sedikit meningkat di atas normal (90-110 mg/dl). Rerata ISS
rendah (19) pada sampel memungkinkan terjadinya hal tersebut pada penelitian
ini.
Dari hasil penelitian didapatkan rerata kadar glukosa yang lebih tinggi
didapatkan pada hari ke 3. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perubahan
metabolik setelah terjadinya trauma. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa
proses ini sering dialami pada fase-fase awal trauma. Terjadi stimulasi
glukoneogenesis hepatik, glikogenolisis dan resistensi insulin untuk memberikan
fokus glukosa pada organ-organ vital. Hal ini dapat berlangsung pada hari
pertama sampai dengan hari ketiga setelah politrauma (Pisarchik dkk, 2012). Hal
ini berlangsung beberapa hari sampai dengan kira-kira dua minggu, tergantung
derajat trauma dimana seluruh simpanan energi glukosa, asam lemak dan protein
digunakan untuk host defense response(Keel dan Trentz, 2005).
6.4 Kadar Sitokin IL-6 hari I, III dan V
Sitokin dapat digunakan sebagai biomarker inflamasi dalam politrauma,
diantaranya yang paling reliable adalah IL-6 (Craig, 2005). IL-6 adalah protein
sitokin yang paling spesifik dalam menentukan risiko MODS dan mortalitas pada
pasien dengan politrauma (Frink dkk, 2009). Pada trauma IL-6 merupakan marker
yang paling baikuntuk menentukan derajat trauma karena stabil di plasma dengan
waktu paruh lebih dari 6 jam (Astawa, 2007). IL-6 dapat meramalkan outcome
43
dari politrauma dan sekarang telah diimplementasikan sebagai pemeriksaan
laboratorium di pusat trauma (Robert et al, 2005).
Rerata IL-6 tertinggi didapatkan pada hari ke III 97, 31 pg/dl, lebih tinggi
dibandingkan hari I dan V. Hal ini sesuai dengan fase yang dibuat oleh Trentz
dalam penanganan politrauma, bahwa hari 2-3 adalah fase hiperinflamasi dan ahli
bedah disarankan hanya melakukan second look only (Trentz, 2000). Hal ini juga
sesuai dengan penelitian Astawa 2007, yang menemukan bahwa kadar IL-6 lebih
rendah secara signifikan pada pasien fraktur tulang panjang yang dilakukan
internal fiksasi dini pada hari I dibandingkan internal fiksasi tertunda (3-5 hari).
Hal ini disebabkan oleh karena aktifitas makrofag yang tinggi pada hari ketiga,
serta edema jaringan yang maksimum pada hari III-V menyebabkan relatif
iskemia pada jaringan sehat disekitarnya.
IL-6 merupakan protein subakut, yang diproduksi pada > 2 jam setelah
trauma, berkorelasi dengan ISS, risiko MODS, ARDS, sepsis dan luaran akhir
(Keel dan Trentz, 2005). Tidak ada sampel yang mengalami kematian dalam
perawatan, seluruh sampel memiliki outcome yang baik serta layak dilakukan
tindakan definitif yang diperlukan. Hal ini sesuai dengan penelitian Giannoudis
2008 bahwa kadar sitokin IL-6 dapat memprediksi terjadinya komplikasi pada
pasien multiple trauma, salah satunya adalah terjadinya komplikasi MODS, pada
cut off point 300 pg/mL dengan akurasi 78%, sensitivitas 72% dan spesifisitas
78%. (Giannoudis dkk, 2008). Dengan rerata IL-6 dibawah 100 pg/dl, hampir
seluruh sampel tidak mengalami multiple organ dysfunction (MODS).
44
6.5 Korelasi kadar Glukosa dengan IL-6 hari I, III dan V
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai prognosis pasien baik dengan
menggunakan glukosa maupun IL-6, namun informasi mengenai hubungan antara
glukosa dan IL-6 pada setiap fase politrauma belum pernah diteliti. Pada
penelitian ini didapatkan korelasi yang kuat dan signifikan antara glukosa dan IL-
6 pasien politrauma yang dirawat pada hari ke I (nilai koefisien korelasi: 0,507).
Hal ini menggambarkan bahwa pada pasien yang mengalami politrauma,
didapatkan peningkatan sitokin proinflamasi segera setelah terjadinya trauma
(setelah 2 jam pasca trauma) dan hal ini juga diimbangi dengan reaksi
neuroendokrin yang mempersiapkan tubuh dalam menghadapi stress.
Pada hasil penelitian didapatkan rerata IL-6 dan glukosa tertinggi
didapatkan pada hari III seperti yang terlihat dalam grafik, namun kedua
peningkatan yang terjadi tidak memiliki korelasi yang signifikan secara statistik.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena distribusi data yang didapatkan tidak
normal. Hari ketiga pada politrauma merupakan suatu peralihan antara fase akut
dengan fase katabolik menurut Cuthberson. Pada fase akut akan terjadi penurunan
metabolisme sementara, yang kemudian diikuti oleh fase katabolisme untuk
menghasilkan asam amino. Bahan inilah yang akan digunakan untuk sintesis
protein fase akut hepar dan mediator proinflamasi. Sehingga hari ketiga menurut
Trentz, 2000 merupakan suatu fase hiperinflamasi dimana terjadi peningkatan
aktifitas pada mediator-mediator proinflamasi dan pada fase ini disarankan tidak
melakukan tindakan operasi.
45
Grafik 6.1 Perbandingan rerata glukosa dan IL-6 hari I, III dan V
Melihat grafik di atas kedua grafik memiliki kecenderungan peningkatan
pada hari ke III trauma. Namun glukosa dan IL-6 tidak berkorelasi secara statistik.
Sehingga hanya peningkatan glukosa pada hari I dan hari ke V yang dapat
memprediksi peningkatan kadar IL-6 pada pasien fraktur tulang panjang dengan
politrauma.
46
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan simpulan sebagai berikut:
1. Pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma, glukosa dan IL-6
memiliki korelasi yang kuat dan signifikan pada hari I.
2. Pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma, glukosa dan IL-6
tidak memiliki korelasi yang signifikan pada hari ke III.
3. Pada pasien dengan fraktur tulang panjang dengan politrauma, glukosa
danIL-6 memiliki korelasi yang kuat dan signifikan pada hari ke V.
Jadi simpulan umum yang didapatkan adalah glukosa dapat digunakan
sebagai surrogate marker untuk IL-6 pada hari I dan hari V pada pasien
fraktur tulang panjang dengan politrauma.
7.2 Saran
1. Pemeriksaan glukosa perlu dilakukan secara rutin untuk menentukan
respon inflamasi pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma,
sehingga dapat menentukan rencana tindakan yang akan dilakukan pada
pasien dengan politrauma.
2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai peran glukosa
dalam politrauma dengan jumlah sampel yang lebih banyak.
46
Daftar Pustaka
Astawa P. 2007. “Makrofag Pengekspresi IL-1β serta Respons Inflamasi Sistemik Pada
Fiksasi Interna Dini Fraktur Femur Tertutup Lebih Rendah Dibandingkan Dengan
Yang Tertunda” (Disertasi). Universitas Udayana: Denpasar.
Barkin RM, Rosen P, Daniel F. Danzl DF. 1998. Emergency Medicine Concept and Clinical
Practise. 4th
ed. Vol. 1. Mosby. St. Louis, Missiouri. Pp.352-3.
Boyle MJ, Smith EC, Archer F. 2008. Is mechanism of injury alone a useful predictorof
major trauma?Injury, Int. J. Care Injured.39 Ed,p: 986-992.
Chawda MN, Hildebrand F, Pape HC, Giannoudis PV. 2004. Predicting outcome after
multiple trauma: Which scoring system?Int J Care Injured. Vol 35:p: 347-58.
Dahlan MS, 2013. Penelitian Analisis Korelatif. Besar Sampel dan Cara Pengambilan
Sampel. Salemba Medika: Jakarta.Pp.75-77.
De Vaus DA. 2002. Survey in Social Research. 5th
edition. Allen and Unwin. New South
Wales: UK.
Desborough JP. 2000. The Stress Response to Trauma and Surgery. British Journal of
Anaesthesia. Vol.85 (1) p: 109-17.
Frink M, Grienven M, Kobbe P. 2009. IL-6 Predict Organ Disfunction and Mortality in
Patient with Multiple Injury. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation, and
Emergency Medicine. Vol 17: 49.
Gebhard F, Pfetsch H, Steinbach G, Strecker W, Kinzl L, Brickner UB. 2000. Is interleukin 6
an early marker of injury severity following major trauma in humans?.Arch Surg. Vol
135. p:291-5.
Giannoudis PV dkk. 2008. Correlation Between IL-6 Levels and the Systemic Inflammatory
Response Score: Can an IL-6 Cutoff Predict a SIRS State? The Journal of Trauma,
Injury, Infection, and Critical Care. Vol. 65.p: 646-52.
Giannouidis PV, F. Hildebrand, H.C Pape.Inflammatory serum markers in patients with
multiple trauma. 2004.J Bone Joint Surgery. Vol.86-B(3).p: 313-23.
Keel M, Trentz O, 2005. Pathophysiology of polytrauma. Injury, Int. J. Care Injured. 36 Ed,
p: 691-709.
Kreutziger J. Sclaepfer J, Wenzel V. Constantinescu MA. 2009. The Role of Admission
Glucose in Outcome Prediction of Surviving Patient with Multiple Injury. J Trauma.
Vol.67(4) p.704-708.
46
Marik PE, Bellomo R, Demla V. 2013. Lactate clearance as a target of therapy in sepsis: a
flawed paradigm. OA Critical CareVol.Mar 01;1(1). p:3-7.
McCowen K, Malhotra A Bistrian BC. 2001. Stress induced Hyperglicemia. Critical Care
Clinic. Vol 17 (1) p.107-124.
Nicola R. 2013. Early Total Care versus Damage Control: Current Concepts inthe Orthopedic
Care of Polytrauma Patients. ISRN Orthopaedic.Hindawi Publishing Corporation.p. 1-
9.
Payal P, Sonu G, Gupta A K, Prachi V. 2013. Management of polytrauma patients in
emergency department: An experience of a tertiary care healthinstitution of northern
India. World J Emerg Med, Vol 4, No 1.
Pisarchik AN, Pochepen O.N, Pisarchik L.A. 2012. Increasing Blood Glucose Variability is a
Precursor of Sepsis and Mortality in Burned Patient. P LoS one. Vol 7 (10).
Roberts CS, Pape H.C, Jones AL, Malkani AL, Rodriguez, Giannoudis PV. 2005. Damage
Control Orthopaedic. Evolving Concept in the Treatmentof Patient Who Have
Sustained Orthopaedic Trauma. JBJS am 87: 434-449.
Rockwood and Green’s. 2006. Fracture in Adult. Chapter 3. Management of the Multiply
Injured Patient. 6th
ed. Lippincott William and Wilkin.
Rohlfing CL, Little LL, Wiedmayer HM, England JD, Madsen R. 2000. Diabetes Care. 23
(2). Pp.187-191
Saladin KS. 2007. Anatomy and Physiologic: the unity form and function. New York:
McGraw and Hill.
Stensballe J et al. 2009. The Early IL-6 and IL-10 Response in Trauma is Correlated with
Injury Severity and Mortality. Acta Anaesthesiol Scand; 53:515-21.
Tebby J. Lecky F, Edwards A.Jenks T, Bouamra O, Dimitriou R,Giannoudis PV. 2014.
Outcomes of polytrauma patients with diabetes mellitus. BMC Medicine Vol 12:111
Thoyaja DV, Vijayalaksmi. 2014. Early Biochemical Change in Patient with Politrauma.
Indian Journal of Basic and Applied Medical Research. Vol 3: 4. Pp.134-141
Trentz O. 2000. AO Principle of Fracture Management, Polytrauma: Pathophysiology,
Priorities, and Management. New York.p: 661-74.
Vogelzang M, Nilboer JM, Horst VD, Ziljstra E, Nijsten M. 2006. Hyperglicemia has a
Stronger Relation with Outcome in Trauma Patient than in Other Critically Ill Patient.
J Trauma. Vol 60 (4) p. 873-7.
46
Xiu F, Stanojcic M, Diao L, Jeschke MG. 2014.Stress Hyperglycemia, Insulin Treatment,
andInnate Immune Cells. International Journal of Endocrinology. Hindawi
Publishing Corporation.
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
Identitas
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
No CM :
MOI :
Timing :
Vital Sign
BP :
46
PR :
RR :
Region
Injury description AIS Square top three
Head and Neck
Face
Chest
Abdomen
Extremity
External
ISS Total
HbA1C :
Timing
Glucose IL-6
Day 1
Day 3
Day 5
Perjalanan Penyakit
Damage Control :
(Day: )
46
Operasi Definitif :
(Day : )
Outcome :
Lampiran 2. Informed Consent Penelitian
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)
Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar glukosa dengan kadar IL-6 pada
pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma.
Kadar glukosa dan kadar Interleukin 6 akan diukur pada hari I, III dan V. Pengukuran
glukosa dan pengukuran IL-6 dilakukan dengan cara mengambil darah kapiler sebanyak 5 cc.
Manfaat penelitian bagi pasien adalah apabila kadar glukosa dan IL-6 memiliki korelasi
positif, maka glukosa dapat dijadikan surrogate marker dalam menentukan waktu dan
rencana tindakan pada pasien fraktur tulang panjang dengan politrauma.
Pasien tidak akan dibebankan biaya apapun terkait dengan penelitian ini
Semua hasil yang dikumpulkan pada penelitian ini bersifat rahasia
Penelitian bersifat sukarela dan pasien berhak menolak untuk ikut dalam penelitian bila
tidak setuju untuk mengikuti peneltian ini
46
Apabila Bapak/Ibu/Sdr/Sdri memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai riset ini, dapat
menghubungi :
Dr. Made Agus Maharjana
Residen Orthopaedi dan Traumatologi Bali
RSUP Sanglah
Telpon (0361) 227911
Telp/sms 081338325000
email [email protected]
46
Saya yang bertandatangan dibawah ini :
Nama :
Jenis Kelamin/ Umur :
Alamat :
Memberikan persetujuan kepada : saya sendiri/anak/orang tua/
untuk menjadi subyek penelitian yang berjudul “Hubungan Kadar Glukosa Darah dengan
Kadar IL-6 pada Pasien Fraktur tulang panjang dengan politrauma” dan untuk itu bersedia
diambil darah untuk pemeriksaan IL-6 dan glukosa darah pada hari I, III, dan V.
Sebelumnya saya telah diberikan penjelasan mengenai :
1. Diagnosis
2. Rencana Tindakan
3. Tujuan Penelitian
4. Manfaat Penelitian
Yang Bertandatangan, Peneliti Saksi
( ) (Made Agus Maharjana) ( )
Lampiran 3. Ethical Clearance
46
Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian
46
Lampiran 5. Prosedur Penelitian
Sampel IL-6 Reagen IL-6
46
46
Peneliti dan bahan IL-6 telah di buffer dan siap dianalisis.
Lampiran 6. Sampel Penelitian
46
Lampiran 7.Data Hasil Penelitian
No HbA1c IL61 IL63 IL65 glucose1 glucose3 glucose5 jk umur skor
1 5.12 44.057 37.254 26.107 133 152 123 1 40 17
2 5.1 9.667 17.33 11.376 104 111 106 1 37 18
3 5.49 218.916 379.884 351.117 119 123 132 1 39 22
4 5.16 42.418 40.779 46.005 110 118 117 1 19 18
5 4.89 175.544 203.307 180.429 129 102 96 1 41 18
6 5.3 64.399 96.459 82.106 123 152 148 1 31 18
7 4.9 6.25 11.376 7.869 93 124 103 1 21 18
8 4.7 20.119 27.664 18.434 118 125 122 2 29 18
9 5.3 24.263 48.238 31.844 113 127 119 1 54 18
10 4.8 10.746 23.42 33.566 110 123 133 1 23 20
11 4.8 46.762 44.385 38.811 122 120 115 1 20 20
12 5.4 71.016 91.799 112.392 117 124 126 1 52 20
13 5.1 7.599 23.63 7.329 97 118 104 1 34 18
14 4.7 369.884 393.119 359.637 134 139 137 2 30 20
15 5.1 33.556 63.374 71.016 109 139 125 1 39 18
16 4.8 20.119 46.27 39.139 124 122 121 1 20 18
17 5.2 19.487 14.361 7.239 115 112 104 1 45 18
18 5.3 9.667 13.167 3.297 132 162 118 1 46 18
19 5.4 169.586 193.774 156.2 148 159 137 1 55 18
20 5.18 16.889 10.083 23.56 136 126 122 1 37 20
21 4.9 357.492 357.968 388.591 115 128 124 2 22 25
22 5.1 17.1 3.279 18.434 101 116 100 1 14 18
46
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
46
HbA1c .172 22 .091 .945 22 .254
IL61 .305 22 .000 .679 22 .000
IL63 .288 22 .000 .699 22 .000
IL65 .283 22 .000 .699 22 .000
glucose1 .070 22 .200* .988 22 .992
glucose3 .234 22 .003 .903 22 .035
glucose5 .118 22 .200* .968 22 .657
umur .136 22 .200* .954 22 .372
skor .388 22 .000 .609 22 .000
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
NPar Tests
Glucose 1,3,5
Descriptive Statistics
N Mean Std. Minimu Maximu
Percentiles
46
Deviation m m
25th
50th
(Median) 75th
glucose1 22 118.2727 13.63183 93.00 148.00 109.7500 117.5000 129.7500
glucose3 22 128.2727 15.84202 102.00 162.00 118.0000 124.0000 139.0000
glucose5 22 119.6364 13.41479 96.00 148.00 105.5000 121.5000 127.5000
Friedman Test
Ranks
Mean Rank
glucose1 1.64
glucose3 2.64
glucose5 1.73
46
Test Statisticsa
N 22
Chi-Square 13.455
Df 2
Asymp. Sig. .001
Monte Carlo Sig. Sig. .001
95% Confidence
Interval
Lower Bound .000
Upper Bound .001
a. Friedman Test
Post Hoc-Wilcoxon Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
glucose3 -
glucose1
Negative
Ranks 5a 6.80 34.00
Positive
Ranks 17b 12.88 219.00
46
a. Based on
positive
ranks.
b. Wilcoxon
Signed
Ranks Test
Ties 0c
Total 22
glucose5 -
glucose1
Negative
Ranks 9d 12.33 111.00
Positive
Ranks 13e 10.92 142.00
Ties 0f
Total 22
glucose5 -
glucose3
Negative
Ranks 19g 11.61 220.50
Positive
Ranks 3h 10.83 32.50
Ties 0i
Total 22
Test Statisticsc
glucose3 -
glucose1
glucose5 -
glucose1
glucose5 -
glucose3
Z -3.004a -.504a -3.054b
Asymp. Sig. (2-tailed) .003 .615 .002
a. Based on negative ranks.
b. Based on positive ranks.
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
46
NPar Tests
IL-6 1,3,5
Descriptive Statistics
N Mean
Std.
Deviation Minimum Maximum
Percentiles
25th
50th
(Median) 75th
IL61 22 79.7971 109.33254 6.25 369.88 15.3533 28.9095 95.6585
IL63 22 97.3145 125.65356 3.28 393.12 16.5878 42.5820 120.7878
IL65 22 91.5681 121.50853 3.30 388.59 16.6695 36.1885 123.3440
Friedman Test
Ranks
Mean Rank
IL61 1.64
IL63 2.41
IL65 1.95
Test Statisticsa
46
N 22
Chi-Square 6.636
df 2
Asymp. Sig. .036
Monte Carlo Sig. Sig. .038
95% Confidence
Interval
Lower Bound .035
Upper Bound .042
a. Friedman Test
Post Hoc-Wilcoxon
Ranks
46
N Mean Rank Sum of Ranks
IL63 - IL61 Negative Ranks 6a 6.25 37.50
Positive Ranks 16b 13.47 215.50
Ties 0c
Total 22
IL65 - IL61 Negative Ranks 8d 9.88 79.00
Positive Ranks 14e 12.43 174.00
Ties 0f
Total 22
IL65 - IL63 Negative Ranks 15g 11.40 171.00
Positive Ranks 7h 11.71 82.00
Ties 0i
Total 22
Test Statisticsc
IL63 -
IL61
IL65 -
IL61
IL65 -
IL63
Z -2.890a -1.542a -1.445b
Asymp. Sig. (2-
tailed) .004 .123 .149
a. Based on negative ranks.
b. Based on positive ranks.
c. Wilcoxon Signed Ranks Test
46
Correlation
46
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
IL61 IL63 IL65 glucose1 glucose3 glucose5
Spearman's
rho
IL61 Correlation
Coefficient 1.000 .901
** .908
** .507
* .249 .520
*
Sig. (2-tailed) . .000 .000 .016 .264 .013
N 22 22 22 22 22 22
IL63 Correlation
Coefficient .901
** 1.000 .905
** .372 .263 .566
**
Sig. (2-tailed) .000 . .000 .088 .237 .006
N 22 22 22 22 22 22
IL65 Correlation
Coefficient .908
** .905
** 1.000 .365 .209 .590
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 . .095 .350 .004
N 22 22 22 22 22 22
glucose1 Correlation
Coefficient .507
* .372 .365 1.000 .489
* .449
*
Sig. (2-tailed) .016 .088 .095 . .021 .036
N 22 22 22 22 22 22
glucose3 Correlation
Coefficient .249 .263 .209 .489
* 1.000 .689
**
Sig. (2-tailed) .264 .237 .350 .021 . .000
N 22 22 22 22 22 22
glucose5 Correlation
Coefficient .520
* .566
** .590
** .449
* .689
** 1.000
Sig. (2-tailed) .013 .006 .004 .036 .000 .
N 22 22 22 22 22 22
46