Tesis Made Martin Rusmaja
-
Upload
martinrusmaja -
Category
Education
-
view
216 -
download
11
Transcript of Tesis Made Martin Rusmaja
1
PENGARUH IMPLEMENTASI METODE ROLE PLAYING TERHADAPSIKAP SOSIAL DAN HASIL BELAJAR IPS DI KELAS IV
GUGUS I BUSUNGBIU
TESIS
Oleh :
MADE MARTIN RUSMAJANIM. 1329041146
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASARPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA2015
2
3
PENGARUH IMPLEMENTASI METODE ROLE PLAYING TERHADAPSIKAP SOSIAL DAN HASIL BELAJAR IPS DI KELAS IV
GUGUS I BUSUNGBIU
TESIS
Diajukan kepadaUniversitas Pendidikan Ganesha
untuk Memenuhi sebagian PersyaratanMemperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Dasar
OlehMADE MARTIN RUSMAJA
NIM. 1329041146
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASARPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA2015
4
Tesis oleh: Made Martin Rusmaja ini telah diperiksa dan disetujui untuk ujian Pra Tesis
Singaraja, Oktober 2015
Pembimbing I,
Prof. Dr. Wayan Lasmawan, M.PdNIP. 196702211993031002
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ni Ketut Suarni, M.SNIP. 195703031983032001
5
Tesis oleh Made Martin Rusmaja ini telah berhasil dipertahankan di depan
tim penguji dan dinyatakan diterima sebagai sebagian persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Pendidikan di Program Studi Pendidikan Dasar,
Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Ganesha.
Disetujui pada tanggal: Oktober 2015
Oleh
Tim Penguji
. . . . . . . . . . . . . . . . . . , Ketua. Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.PdNIP 196702211993031002
. . . . . . . . . . . . . . . . . . , Anggota. Prof. Dr. NIP
. . . . . . . . . . . . . . . . . . , Anggota. Prof. DrNIP
. . . . . . . . . . . . . . . . . . , Anggota. Prof. Dr. Ni Ketut Suarni, M.SNIP 195703031983032001
Mengetahui Direktur,Program Pascasarjana Undiksha
Prof. Dr. Nyoman DantesNIP. 194910101975031003
6
LEMBAR PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang saya susun
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan dari Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha seluruhnya merupakan hasil karya
saya sendiri. Adapun bagian-bagian tertentu dalam tesis yang saya kutip dari hasil
karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas dan sesuai dengan norma,
kaidah, serta etika akademis.
Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan
hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya
bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Singaraja, Oktober 2015
Yang memberi pernyataan
(Made Martin Rusmaja)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Berdasarkan pasal 20 UU tahun 2003, pendidikan nasional berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa dengan tujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik
agar menjadi manusia yang berkualitas dengan ciri-ciri beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Kini semakin disadari bahwa pendidikan memainkan peranan yang
sangat penting di dalam kehidupan dan kemajuan umat manusia. Pendidikan
merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang
mempengaruhi perkembangan fisiknya, daya, jiwa, sosial dan moralitasnya, atau
dengan perkataan lain, pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam
mempengaruhi kemampuan, kepribadian dan kehidupan individu dalam
pertemuan dan pergaulannya dengan sesama, serta hubungannya dengan Tuhan.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan-
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang.
Orang yang mampu menghadapi perubahan dengan kepala tegak, prinsip
hidup yang seimbang, hati yang dingin, dan kepala yang matang, serta
keterampilan dan pola kepribadian yang baik tentu saja orang tersebut akan
1
2
menuai kesuksesan meski hidup pada zaman perubahan yang sangat cepat. Namun
jika seseorang itu tidak mempunyai kesiapan mental dan fisik serta keterampilan
yang memadai, tentu saja kehidupannya akan menemui jalan terjal. Berbagai
kesusahan akan dia temui dan berbagai halangan akan dia hadapi, dan akibatnya
berbagai penderitaan fisik dan mental akan menghantui kehidupannya. Oleh
karena itu Lasmawan (2010:2) berpendapat bahwa:
Untuk menghadapi masa depan yang kian sulit, generasi muda perlu dipersiapkan dengan baik. Upaya penyiapannya dapat dilakukan melalui pembekalan pengetahuan ataupun berbagai macam keterampilan. Selain itu, generasi muda di tingkat sekolah sangat perlu dibekali pengetahuan sosial, nilai-nilai sosial, dan keterampilan sosial agar mereka dapat berjuang untuk hidup sekaligus mengembangkan potensi dirinya. Mereka juga sangat perlu dididik untuk peka terhadap masalah-masalah sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam proses pembelajaran IPS, guru juga harus menitik beratkan
kepada hasil belajar siswa, karena hasil belajar siswa akan menjadi tolak ukur atas
keberhasilan dari tujuan yang akan dicapai dari pembelajaran itu sendiri.
Djamarah (1994:19) menyatakan bahwa “hasil belajar adalah hasil dari suatu
kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun
kelompok”. Hasil belajar tidak dapat dipisahkan dari perbuatan belajar, karena
belajar merupakan suatu proses, sedangkan hasil belajar adalah hasil dari proses
pembelajaran tersebut. Slameto (2003:50) menyatakan bahwa ciri-ciri hasil belajar
antara lain: (1) adanya perubahan dalam proses belajar; (2) adanya perubahan
positif; (3) adanya perubahan efektif yang berarti membawa pengaruh dan
manfaat tertentu bagi siswa. Kegiatan belajar yang dilakukan secara sengaja dan
disadari, dapat menambah pengetahuan dan keterampilan serta merubah kebiasaan
3
yang berarti perubahan tersebut baik dan bermanfaat bagi siswa serta sesuai
dengan harapan karena memperoleh sesuatu yang baru, yang lebih baik dari
sebelumnya.
Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan kurikulum
IPS-SD, sebagai sebuah bentuk inovasi pendidikan nasional, masih dihadapkan
pada berbagai persoalan yang terkait dengan belum adanya keterpaduan metode
atau acuan dalam mengorganisasikan materi serta menilai hasil pembelajaran IPS
itu sendiri. Sejumlah aspek yang dipandang sebagai korelat-korelat kurang
efektifnya pembelajaran IPS-SD di dalam mendukung tercapainya tujuan ideal
pendidikan, tercermati dari berbagai hasil penelitian dan analisis-reflektif pakar
pembelajaran IPS (Lasmawan, 2010).
Masih rendahnya sikap sosial yang dimiliki anak dalam proses
pembelajaran dan masih rendahnya hasil belajar IPS disebabkan oleh masih
dominannya fungsi guru dalam pembelajaran dan masih dominannya kemampuan
menghafal daripada kemampuan memproses sendiri pemahaman suatu materi.
Marhaeni (2007:3) menyatakan bahwa peran guru adalah sebagai fasilitator dan
pemandu dalam proses pemecahan masalah peserta didik. Dari pernyataan
tersebut maka peserta didik merupakan pusat pembelajaran (students centers),
dimana peserta didik sebagai unsur aktif dalam proses inkuiri, yaitu proses
memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri dan meyakini bahwa pengalaman
langsung adalah inti dari belajar. Pembelajaran akan bermakna apabila melibatkan
siswa secara aktif, baik aktif secara fisik maupun secara mental (Dimyati &
Mudjiono, 1994:16). Karena pembelajaran merupakan proses terjadinya interaksi
4
antara guru dan siswa, siswa dan siswa serta siswa dan lingkungannya (Ahmadi
dan Uhbiyati, 2001:26).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran siswa,
baik secara eksternal maupun internal dapat diidentifikasi sebagai berikut. Faktor-
faktor eksternal mencakup guru, materi, pola interaksi, media dan teknologi,
situasi belajar, dan sistem. Masih ada guru yang kurang menguasai materi
pembelajaran, kurang memperhatikan karakter peserta didik, kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berpikir dan bertindak kreatif, produktif, berpikir
alternatif dan divergen, masih terpaku pada pengembangan keterampilan dasar
semata, sebaliknya kurang memberi ruang yang luas untuk bereksplorasi guna
mengembangkan kompetensi yang lebih tinggi (higher order competence) dan
sebagainya. Sementara itu materi pembelajaran cenderung terlalu kering, teoritis,
statis, kurang autentik, kontekstual, dan memberi peluang untuk pembentukan
kompetensi utuh yang dituntut oleh jaman yang serba kompleks ini. Metode,
strategi maupun metode pembelajaran yang diterapkan sering atau cenderung
bersifat monoton, kaku, semu, hanya dipermukaan, kurang memanfaatkan
berbagai media dan sumber pembelajaran yang bervariasi dan kaya yang mengacu
pada konsep multichannel learning (Sudiarta, 2010:4).
Selama ini, minat belajar siswa terhadap mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) masih tergolong sangat rendah. Hal ini dapat dilihat
pada sikap siswa selama mengikuti proses pembelajaran tidak fokus dan ramai
sendiri. Bahkan ada sebagian siswa yang menganggap mata pelajaran IPS tidak
begitu penting dikarenakan tidak masuk pada mata pelajaran yang diujikan pada
5
Ujian Nasional (UN). Faktor minat itu juga dipengaruhi oleh adanya metode
mengajar yang digunakan guru dalam menyampaikan materi. Metode yang
konvensional seperti menjelaskan materi secara abstrak, hafalan materi dan
ceramah dengan komunikasi satu arah, yang aktif masih didominasi oleh pengajar,
sedangkan siswa biasanya hanya memfokuskan penglihatan dan pendengaran.
Kondisi pembelajaran seperti inilah yang mengakibatkan siswa kurang aktif dan
pembelajaran yang dilakukan kurang efektif.
Disini guru dituntut untuk pandai menciptakan suasana pembelajaran
yang menyenangkan bagi siswa sehingga siswa kembali berminat mengikuti
kegiatan belajar. Salah satunya yaitu guru menciptakan pembelajaran yang
menitik beratkan pada interaksi dan kerjasama baik antara peserta didik dengan
guru, peserta didik dengan peserta didik lainnya, peserta didik dengan orang-
orang di lingkungannya dan dengan sumber-sumber belajar lainnya, karena dalam
proses pembelajaran bukanlah merupakan upaya sendiri, tetapi merupakan
kegiatan bersama, sebuah interaksi sosial dan sebuah hubungan kerjasama.
Melalui interaksi dan kerjasama ini peserta didik berusaha memecahkan
problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan
masyarakat yang lebih baik.
Setiap kegiatan proses pendidikan diarahkan kepada tercapainya
pribadi-pribadi yang berkembang secara optimal sesuai dengan potensi masing-
masing. Pendidikan diwujudkan melalui proses belajar mengajar di dalam kelas
maupun di luar kelas. Proses ini berlangsung melalui interaksi antara guru dengan
siswa dalam situasi instruksional edukatif. Melalui proses pembelajaran inilah
6
siswa akan mengalami proses perkembangan ke arah yang lebih baik dan
bermakna. Agar hal tersebut dapat terwujud maka diperlukan suasana proses
pembelajaran yang kodusif bagi siswa dalam melampaui tahap-tahap belajar
secara bermakna dan efektif sehingga menjadi pribadi yang percaya diri, inovatif
dan kreatif.
Setiap proses belajar dan mengajar ditandai dengan adanya beberapa
unsur antara lain tujuan, bahan, metode, metode, alat dan teknik, serta evaluasi.
Unsur metode dan teknik merupakan unsur yang tidak bisa dilepaskan dari unsur
lainnya yang berfungsi sebagai cara atau teknik untuk mengantarkan bahan
pelajaran agar sampai kepada tujuan. Dalam pencapaian tujuan tersebut, metode
sangat penting sebab dengan adanya metode, bahan dapat dengan mudah
dipahami oleh siswa.
Penggunaan metode bervariasi seperti ceramah dan tanya jawab dalam
pembelajaran cenderung menghasilkan kegiatan belajar mengajar yang tidak
maksimal dan membosankan. Disamping strategi pembelajaran yang berpusat
pada guru, pelajaran yang disampaikan cenderung teoritis dan jarang di kaitkan
dengan dunia nyata. Bahkan dalam pembelajaran jarang sekali terjadi interaksi
sosial antara peserta didik dengan lingkungannya. Pemilihan metode dan teknik
pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembelajaran
IPS, sebab disamping untuk pencapaian tujuan juga harus mempertimbangkan
karakteristik dan setting pembelajaran IPS tersebut.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan peningkatan dan
penyempurnaan pendidikan, yang berkaitan erat dengan peningkatan mutu proses
7
pembelajaran secara operasional. Dalam mengembangkan kemampuan siswa,
pendidik harus mampu mengelola proses pembelajaran dengan baik. Proses
pembelajaran yang baik dan berkualitas memiliki fungsi dan tujuan untuk
mengaktifkan siswa di dalam kelas serta meningkatkan pemahaman siswa
terhadap pelajaran. Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas, apabila siswa
terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran di kelas, serta meningkatnya
pemahaman siswa di dalam kelas. Untuk meningkatkan aktivitas dan pemahaman
siswa di dalam kelas, maka perlu dibuat suatu rencana pembelajaran yang baik.
Pembelajaran yang baik tentunya pembelajaran yang inovatif dalam proses
pembelajaran dan pembelajaran tersebut berpusat pada peserta didik sehingga
hasil belajar baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dapat tercapai dengan
baik. Secara praktis dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan
pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang memiliki perspektif berpusat
pada peserta didik (Marhaeni 2007:8).
Metode inovatif merupakan salah satu metode yang patut
dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Metode inovatif ini
berciri antisipasi dan partisipasi, menyeimbangkan antara kegiatan penyadaran
dengan kegiatan pemberdayaan, antara pembentukan otonomi dengan
pembentukan integrasi setiap anak.
Beberapa metode inovatif telah dikembangkan untuk memacu siswa
berperan aktif dalam setiap pembelajaran. Siswa diharapkan mampu dan mau
meberikan pendapatnya. Metode inovatif menuntut siswa untuk terlibat saling
tukar pikiran, berkolaborasi dan berkomunikasi untuk mencapai tujuan
8
pembelajaran yang diinginkan sehingga diharapkan siswa mampu mngembangkan
kemampuan komunikasi mereka. Metode inovatif juga menekankan pada
terjadinya interaksi sosial antara siswa dengan lingkungannya. Vygotsky (dalam
Dahar, 2006) menyarankan bahwa dalam pembelajaran interaksi sosial itu penting
saat siswa menginternalisasi pemahaman-pemahaman yang sulit, masalah-
masalah, dan proses yang dihadapinya.
Dengan metode role playing tersebut siswa akan memperolah pemahaman
yang lebih jelas tentang diri orang yang diperankannya, sehingga siswa dapat
mengekspresikan perannya itu kedalam nada bicaranya, suaranya, maupun
ekspresi wajahnya. Pemberian materi ini dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan
bahwa berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa diperlukan untuk berbagai
keperluan dan salah satu keterampilan sastra yang harus dicapai siswa karena
siswa akan memperoleh banyak manfaat dari kegiatan berbicara tersebut.
Beberapa manfaatnya adalah siswa dapat mengekspresikan perannya melalui
gerak, mimik, dan gesture sesuai dengan karakter tokoh yang diperankan, siswa
dapat menuangkan kreativitasnya dalam bermain peran, siswa dapat terlatih
berbicara di depan umum, dan tentunya siswa mendapatkan keterampilan yang
tidak dapat dimiliki oleh semua orang. Adanya keterampilan berbicara ini
diharapkan siswa dapat berbicara lancar di depan umum, yang tentunya
bermanfaat dalam kehidupannya.
Role playing is a derivative of a sociodrama, is a method for exploring the
issues involved in complex social situations. It may be used for the training of
professionals or in a classroom for the understanding of literature, history and
9
even sciece Patricia K. Tompkins (2009). Patricia K. Tompkins menyatakan
bahwa metode bermain peran adalah sebuah turunan dari sosiodrama, yang
merupakan sebuah metode untuk mengeksplorasi persoalan-persoalan yang
menyangkut di dalamnya situasi social yang kompleks. Penggunaannya adalah
untuk melatih para ahli di dalam kelas dari pemahaman literature, sejarah dan
beberapa ilmu lainnya.
Wahab, A. A (2007: 109) juga mengemukakan dalam bukunya bahwa
Metode Bermain Peran (role playing) adalah berakting sesuai dengan peran yang
telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu seperti
menghidupkan kembali suasana historis, misalnya mengungkapkan kembali
perjuangan para pahlawan kemerdekaan atau mengungkapkan kemungkinan
keadaan yang akan datang. Selain itu, R. Ibrahim dan Nana Syaodih (1996: 107),
mendefinisikan bahwa Metode bermain peran (role playing) merupakan metode
yang sering digunakan nilai-nilai dan memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi dalam hubungan social dengan orang-orang di lingkungan keluarga,
sekolah, maupun masyarakat. Dalam melaksanakannya siswa-siswa diberi
berbagai peran tertentu dalam melaksanakan peran tersebut serta mendiskusikan
di kelas.
Maka dapat disimpulkan bahwa Metode Bermain Peran merupakan salah
satu metode yang dapat menyajikan bahan pelajaran dengan cara memainkan
peranan dan mendramatisasikan suatu situasi social yang mengandung suatu
problem, dengan harapan agar peserta didik dapat memecahkan masalah yang
10
dihadapi dalam hubungan sosial dengan orang-orang di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat.
Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar
berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di
sini pada saat ini’’. Metode ini percaya bahwa sekelompok peserta didik
dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata.
Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik
dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.
Bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan
perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain.
Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan
utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada
penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain
peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam
konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan
pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran;
sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat
itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional
lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran
keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
Metode bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat
ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan
tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi
11
pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para
peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan
masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya
secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari
pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab
itu, metode mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu
mendominasi pembelajaran dalam metode tradisional. Metode bermain peran
mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil
menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah
yang sedang dihadapi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penyusunan proposal tesis ini
penulis termotivasi untuk melakukan penelitian eksperimen mengenai “Pengaruh
Implementasi Metode Role Playing Terhadap Sikap Sosial dan Hasil Balajar IPS
di Kelas IV Gugus I Busungbiu”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka
ditemukan berbagai masalah yang menghambat kualitas pendidik sebagai berikut.
1. Kurang terdapat interaksi atau hubungan antar siswa dalam proses
pembelajaran.
2. Masih rendahnya sikap sosial yang dimiliki siswa dalam proses
pembelajaran.
3. Masih rendahnya hasil belajar IPS siswa.
12
4. Masih dominannya fungsi guru dalam pembelajaran dan masih dominannya
kemampuan menghafal daripada kemampuan memproses sendiri
pemahaman suatu materi.
5. Minat belajar siswa terhadap mata pelajaran IPS masih tergolong sangat
rendah.
6. Strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran IPS masih
berpusat pada guru.
7. Metode yang digunakan masih konvensional seperti menjelaskan materi
secara abstrak, hafalan materi dan ceramah dengan komunikasi satu arah,
sehingga siswa biasanya hanya memfokuskan penglihatan dan pendengaran.
8. Pembelajaran yang disampaikan cenderung teoritis dan jarang dikaitkan
dengan dunia nyata.
1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang ditemukan dan untuk
memfokuskan penelitian ini agar lebih terarah, maka dibatasi pada masalah-
masalah sebagai berikut.
1. Metode pembelajaran
Metode yang diterapkan adalah metode role playing pada kelas eksperimen
dan penerapan metode konvensional pada kelas kontrol dijenjang kelas yang
sama yaitu kelas IV SD.
13
2. Sikap sosial dalam pembelajaran
Sikap sosial yang akan diukur dari proses pembelajaran yaitu keterbukaan,
berempati, komunikasi, dan kerjasama yang muncul setelah menerapkan
metode role playing dan metode konvensional dalam pembelajaran IPS.
3. Hasil belajar IPS
Hasil belajar IPS yang akan diukur untuk memantau pengaruh hasil belajar
siswa setelah penerapan metode role playing dan metode konvensional
dalam pembelajaran IPS.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan sikap sosial antara siswa yang mengikuti metode
role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional pada mata
pelajaran IPS kelas IV SD?
2. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti
metode role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional
pada siswa kelas IV SD?
3. Secara simultan apakah terdapat perbedaan sikap sosial dan hasil belajar IPS
antara siswa yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang
mengikuti metode konvensional pada siswa kelas IV SD?
14
1.5 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan sebaiknya harus ada tujuan yang ingin dicapai agar
kegiatan yang dilaksanakan menjadi terarah. Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk memperoleh jawaban atas masalah yang telah dirumuskan di atas.
Secara rinci tujuan tersebut adalah:
1. Untuk mengetahui perbedaan sikap sosial antara siswa yang mengikuti
metode role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional
pada mata pelajaran IPS kelas IV SD.
2. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti
metode role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional
pada siswa kelas IV SD.
3. Untuk mengetahui secara simultan perbedaan sikap sosial dan hasil belajar
IPS antara siswa yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang
mengikuti metode konvensional pada siswa kelas IV SD.
1.6 Signifikansi Penelitian
Penelitian dapat dikatakan baik, jika penelitian tersebut dapat
memberikan kontribusi manfaat, baik manfaat teoretis yaitu manfaat tidak
langsung dan manfaat praktis yaitu manfaat secara langsung. Manfaat-manfaat
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Manfaat penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat menambah dan
memberikan wawasan ilmu pengetahuan tentang pengaruh metode role
playing terhadap sikap sosial dan hasil belajar IPS SD dan sebagai bahan
15
kajian untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut terhadap penelitian
sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, yaitu dapat menambah wawasan dalam penguasaan metode
dan kreatifitas guru IPS untuk mengaplikasikan berbagai metode yang
inovatif yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran sesuai dengan
kompetensi yang ingin dicapai dan karakteristik pembelajaran yang
mereka laksanakan serta dapat memotivasi guru-guru untuk selalu
melakukan perbaikan dan inovasi pembelajaran, sehingga pencapaian
kualitas pendidikan dan hasil yang maksimal akan dapat terwujud.
b. Bagi siswa, yaitu dapat meningkatkan kepercayaan siswa bahwa dalam
memandang mata pelajaran IPS itu sangat penting bagi mereka untuk
dapat mengenal diri dan lingkungannya secara lebih baik dan dapat
menumbuhkan kesan dikalangan siswa bahwa mata pelajaran IPS
bukanlah mata pelajaran yang semata-mata hapalan atau bersifat
transferring belaka melainkan proses partisipasi dan interaksi dalam
proses pembelajaran sehingga mereka dapat berperan aktif dalam proses
pembelajaran.
c. Bagi sekolah, yaitu untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya
dan sebagai bahan masukan dan dasar pertimbangan bagi sekolah dan
komite sekolah untuk merumuskan kebijakan sekolah yang
memungkinkan guru-guru IPS untuk selalu berinovasi dan
16
mengaplikasikan berbagai metode inovatif bagi kepentingan belajar
siswa.
17
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Deskripsi Teori
2.1.1 Tinjauan Tentang Pembelajaran
1) Hakikat Pembelajaran IPS SD
IPS secara konseptual dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu yang
materinya mengambil dari cabang-cabang ilmu sosial dan humaniora, sehingga
batasan diantara disiplin tersebut semakin kabur, dan terintegrasi dalam format
IPS itu sendiri, NCSS (dalam Lasmawan, 2010:349). Sementara itu, ilmu-ilmu
sosial sebagai sumber rujukan IPS adalah studi tentang tingkah laku manusia atau
kelompok umat manusia, artinya disiplin ilmu yang mengkaji perilaku umat
manusia atau kelompok manusia dalam masyarakat dikategorikan sebagai ilmu
sosial. Jadi pendidikan IPS adalah pendidikan mengenai ilmu-ilmu sosial yang
diarahkan pada terjadinya pemahaman yang komprehensif pada peserta didik
terhadap diri dan lingkungan masyarakatnya (Lasmawan, 2010:349).
Di Indonesia, IPS merupakan kajian yang menunjuk pada wujud
keterpaduan dari pembelajaran ilmu-ilmu sosial (integrated social sciences). Oleh
karena itu, S. Hamid Hasan (2010:1) menegaskan bahwa IPS adalah studi
integratif tentang kehidupan manusia dalam berbagai dimensi ruang dan waktu
dengan segala aktivitasnya. Puskur (dalam Lasmawan, 2010), IPS adalah suatu
bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi,
dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-
17
18
keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan ekonomi. Sementara
itu kalau mengacu pada kajian Social Studies, National Council for Social Studies
(NCSS) dijelaskan bahwa:
"Social studies are the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and the natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world “ (NCSS, 1994:3).
Hakikat IPS dalam pengertian yang terpadu inilah yang diajarkan di
tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP). Dengan pengertian itu menunjukkan
bahwa IPS sebenarnya merupakan pelajaran yang cukup komprehensif yang
dapat menjadi salah satu instrument untuk ikut memecahkan masalah-masalah
sosio-kebangsaan di Indonesia.
Proses pembelajaran IPS, harus dibangun sebagai sebuah proses
transaksi kultural yang harus mengembangkan karakter sebagai bagian tak
terpisahkan dari pengembangan IPTEKS pada umumnya. Pelaksanaan
pendidikan IPS saat ini yang lebih didominasi oleh praktik pendidikan di tingkat
individual yang cenderung kognitif-intelektualistik, perlu diarahkan kembali
sebagai wahana pembelajaran masyarakat, wahana pengembangan pendidikan
karakter bangsa, sebagai proses pembangunan kecerdasan, akhlak dan kepribadian
warga belajar secara utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
19
Lasmawan (2010:126) berpendapat bahwa pola pembelajaran IPS di SD
hendaknya lebih menekankan pada unsur pendidikan dan pembekalan,
pemahaman, nilai moral, dan keterampilan-keterampilan sosial pada siswa. Untuk
itu penekanan pembelajarannya bukan sebatas pada upaya mencekoki atau
menjejali siswa dengan sejumlah konsep yang bersifat hapalan belaka, melainkan
terletak pada upaya menjadikan siswa memiliki seperangkat pengetahuan, sikap,
nilai, dan keterampilan agar mereka mampu menjadikan apa yang telah
dipelajarinya sebagai bekal dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni
kehidupan masyarakat lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjenjang yang lebih tinggi. Disinilah sebenarnya
penekanan misi dari pembelajaran IPS di SD.
Dalam mendesain kurikulum pendidikan IPS, termasuk dalam proses
pembelajarannya, harus juga berangkat dari hakikat dan karakter peserta didik,
bukan berorientasi pada materi semata (Lasmawan, 2010:2). Metode esensialisme
sudah saatnya untuk dimodifikasi dengan teori rekonstruksi sosial yang mengacu
pada teori pendidikan interaksional (Sukmadinata, 1996:6). Sesuai dengan
tuntutan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat, pembelajaran IPS
harus dikembalikan sesuai dengan khitah konseptualnya yang bersifat terpadu
yang menekankan pada interdisipliner dan trasdisipliner, dengan pembelajaran
yang kontekstual dan transformatif, aktif dan partisipatif dalam perpektif nilai-
nilai sosial kemasyarakatan. Sesuai dengan maksud dan tujuannya, pembelajaran
IPS harus memfokuskan perannya pada upaya mengembangkan pendidikan untuk
menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungannya secara bermartabat.
20
Dilihat dari aspek yang terkandung dalam materi yang dibelajarkan
dalam pendidikan IPS di sekolah dasar, nampak lebih ditekankan pada
pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta sikap sosial (Wahab,
2007). Ketiga aspek tersebut merupakan acuan dan orientasi dari pembelajaran
pendidikan IPS baik dalam pengembangan materi, pemilihan media, maupun
pemilihan strategi pembelajarannya. Dengan demikian pembelajaran IPS tidak
hanya terpaku pada materi yang terdapat dalam buku teks tetapi dapat
dikembangkan dengan memanfaatkan sumber belajar yang terdapat di lingkungan
sekitar siswa sehingga proses maupun hasil pembelajarannya benar-benar
bermakna bagi siswa sesuai dengan potensi diri dan harapan masyarakat.
Pandangan lain menyatakan bahwa pendidikan IPS dalam pembelajaran
di sekolah dasar lebih menitikberatkan pada bagaimana mendidik siswa untuk
mengenal, memahami. dan mampu mengaplikasikan pengetahuan, ketrampilan,
nilai dan moral dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa (Djahirin, 1996).
Sejalan dengan itu, tujuan IPS secara teoritik tidak hanya terdapat dalam
kurikulum secara ekplisit, namun tumbuh dan berkembang dalam berbagai
konsepsi pemikiran yang dikembangkan baik oleh pendidik maupun para pakar
pendidikan. Para ahli sering merumuskan tujuan pendidikan IPS dengan
mengaitkan pada misi mempersiapkan anak menjadi warga negara yang baik. Hal
ini merupakan pengaruh dari metode pendidikan IPS sebagai "citizenship
education" (pendidikan kewarganegaraan), konsekuensinya anak harus dilibatkan
dalam lingkungan kehidupan sekolah dan masyarakat.
21
2) Tujuan Pembelajaran IPS SD
Tujuan utama IPS ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap
mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil
mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya
sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai
manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik.
Pembelajaran IPS diarahkan untuk menjadikan warga negara yang baik,
melahirkan pelaku-pelaku sosial yang cerdas, arif dan bermoral. Dalam konteks
pendidikan karakter, para peserta didik dengan potensi yang dimilikinya,
difasilitasi untuk mengembangkan perilaku jujur, bertanggung jawab, santun,
kasih sayang dan saling menghormati, berlatih berpikir kritis dan kreatif, percaya
diri dan membangun kemandirian; memiliki semangat kebangsaan, dan bangga
terhadap hasil karya budaya bangsa sendiri. Lickona (2000:48) menyebutkan
beberapa nilai kebaikan yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan
peserta didik agar tercipta kehidupan yang harmonis di lingkungan sekolah,
keluarga dan masyarakat. Beberapa nilai itu antara lain: kejujuran, kasih sayang,
pengendalian diri, saling menghargai, kerjasama, tanggung jawab. Terkait dengan
ini, maka dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah, guru harus juga
bekerjasama dengan keluarga atau orang tua/wali peserta didik. Bahkan menurut
Bulach (2002:80), orang tua dan guru perlu membuat kesepakatan tentang nilai-
nilai utama apa yang perlu dibelajarkan misalnya: respect for self, others, and
property; honesty; self-control/discipline.
22
Program pendidikan IPS harus menempatkan UU Sisdiknas terutama
pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional sebagai rujukan utama dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional secara utuh. Penyelenggaraan
pendidikan selama ini telah kehilangan ruh dan aspek moralitas, sehingga tidak
jarang melahirkan kultur yang tidak sehat. Muncullah perilaku ketidakjujuran
dalam pendidikan, seperti yang terjadi kasus pada UN, ijazah palsu, perjokian,
plagiat, lemahnya internalisasi nilai kebaikan dan terfragmentasikannya ranah-
ranah pendidikan yang lebih didominasi ranah kognitif (ALPTKI, 2009:2).
Waterwroth (dalam Lasmawan, 2010) menyebutkan bahwa tujuan IPS
adalah untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam
kehidupannya di masyarakat, yang mana secara tegas ia mengatakan “to prepare
students to be well functioning citizens in a democratic society”. Tujuan lain dari
IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa menggunakan penalaran
dalam mengambil keputusan setiap persoalan yang dihadapinya “We also think
that the social studies should be more concerned with helping student make the
most rational decicisions that they can in their own personal lives.” (NCSS,
1994).
Hasan (dalam Lasmawan, 2010) mengatakan bahwa tujuan dari IPS
adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan nilai peserta didik,
baik sebagai individu maupun sosial dan budaya. Sementara itu, National Council
for the Social Studies (NCSS, 1994:3) menyatakan bahwa The primary purpose of
social studiesto help young people develop the ability to make informed and
reasoned decision for the public good as citizens of a culturally diverse,
23
democratic society in an interpendent world. Jackson (dalam Lasmawan, 2010)
mengatakan bahwa the pupose of social studies is to prepare youth for citizenship,
there’s also general agreement that the elements of a sound citizenship education
are knowledge, skills, values, and participation.
Sejalan dengan Jackson, Chapin dan Messick (dalam Lasmawan, 2010)
menyatakan bahwa tujuan IPS adalah (1) to povide knowledge about human
experiences in the past, present, and future, (2) to develop skill to process
information, (3) to develop oppropriate democratic values and attitudes, and (4)
to develop opportunities for social participation. Di sisi lain, pembelajaran IPS
diharapkan mampu mengembangkan aspek pengetahuan dan pengertian
(knowledge and understanding), aspek sikap dan nilai (attitude and value), dan
aspek keterampilan (skill) siswa.
Rumusan tujuan pembelajaran IPS SD dapat dijabarkan secara lebih
rinci, yaitu agar siswa:
a. Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau
lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan
kebudayaan masyarakat.
b. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan
metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat
digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
c. Mampu menggunakan metode-metode dan proses berpikir serta membuat
keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di
masyarakat.
24
d. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta
mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil
tindakan yang tepat.
e. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun
diri sendiri dan dapat bertanggung jawab membangun masyarakat.
f. Kurikulum pendidikan dasar diarahkan untuk pengembangan diri siswa
baik sebagai makhluk individu, sosial ataupun sebagai warga negara.
Dengan demikian pembelajaran siswa SD harus lebih ditekankan pada
pengenalan kehidupannya pada dirinya sebagai makhluk sosial.
g. Dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial anak didik harus tahu
tentang dirinya, lingkungan alam sekitarnya (sosial, budaya, dan juga
fisik).
h. Lingkungan fisik dan sosial budaya anak dapat menjadikan yang
bersangkutan menjadi aktif dan bisa mengembangkan diri.
i. Untuk mengembangkan kehidupan siswa SD sebagai pribadi, anggota
masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia (tujuan pendidikan
dasar).
j. Agar siswa SD menjadi warga negara yang baik (mengetahui dan
memahami hak dan kewajibannya, memiliki rasa bertanggung jawab atas
kemajuan bangsa, dan berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara).
25
3) Pembelajaran Metode Role Playing
Dalam pembelajaran, guru dan peserta didik sering dihadapkan pada
berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang
menyangkut hubungan social. Pemecahan masalah pembelajaran dapat dilakukan
melalui berbagai cara, melalui diskusi kelas, tanya jawab antara guru dan peserta
didik, penemuan, ceramah dan lain-lain.
Guru yang kreatif senantiasa mencari metode baru dalam memecahkan
masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton, melainkan memilih
variasi lain yang sesuai. Bermain peran merupakan salah satu alternative yang
dapat ditempuh. Hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh para ahli
menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu metode yang dapat
digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran
diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar manusia,
terutama yang menyangkut pada kehidupan siswa.
a) Pengertian Metode Role Playing
Role playing is a derivative of a sociodrama, is a method for exploring the
issues involved in complex social situations. It may be used for the training of
professionals or in a classroom for the understanding of literature, history and
even sciece Patricia K. Tompkins (2009). Patricia K. Tompkins menyatakan
bahwa metode bermain peran adalah sebuah turunan dari sosiodrama, yang
merupakan sebuah metode untuk mengeksplorasi persoalan-persoalan yang
menyangkut di dalamnya situasi social yang kompleks. Penggunaannya adalah
26
untuk melatih para ahli di dalam kelas dari pemahaman literature, sejarah dan
beberapa ilmu lainnya.
Wahab, A. A (2007: 109) juga mengemukakan dalam bukunya bahwa
Metode Bermain Peran (role playing) adalah berakting sesuai dengan peran yang
telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu seperti
menghidupkan kembali suasana historis, misalnya mengungkapkan kembali
perjuangan para pahlawan kemerdekaan atau mengungkapkan kemungkinan
keadaan yang akan datang. Selain itu, R. Ibrahim dan Nana Syaodih (1996: 107),
mendefinisikan bahwa Metode bermain peran (role playing) merupakan metode
yang sering digunakan nilai-nilai dan memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi dalam hubungan social dengan orang-orang di lingkungan keluarga,
sekolah, maupun masyarakat. Dalam melaksanakannya siswa-siswa diberi
berbagai peran tertentu dalam melaksanakan peran tersebut serta mendiskusikan
di kelas.
Banyak para ahli yang mengungkapkan tentang definisi dari Metode
Bermain Peran. Menurut Sudjana (1983:78-79), metode bermain peran adalah
suatu kegiatan belajar yang menekankan pada kemampuan penampilan warga
belajar untuk memerankan suatu status atau fungsi pihak-pihak lain yang terdapat
pada dunia kehidupan. Tujuan yang diharapkan dengan menggunakan metode
bermain peran ini, antara lain:
(1) Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain
(2) Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab
27
(3) Dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara
spontan
(4) Merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut mengenai Metode Bermain Peran
(role playing), maka dapat disimpulkan bahwa Metode Bermain Peran merupakan
salah satu metode yang dapat menyajikan bahan pelajaran dengan cara
memainkan peranan dan mendramatisasikan suatu situasi social yang
mengandung suatu problem, dengan harapan agar peserta didik dapat
memecahkan masalah yang dihadapi dalam hubungan social dengan orang-orang
di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) terdapat empat asumsi yang
mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-
nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan metode-metode mengajar lainnya.
Keempat asumsi tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Secara implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan
pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada
saat ini’’. Metode ini percaya bahwa sekelompok peserta didik
dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan
nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para
peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari
respons orang lain.
(2) Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk
mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada
28
orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional
merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih
menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan
penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan
psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa
diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan
utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama,
pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama.
Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan
daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya
memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
(3) Metode bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat
ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok.
Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul
dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn
demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain
tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan
untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para
peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara
memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, metode mengajar
ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran
dalam metode tradisional. Metode bermain peran mendorong peserta didik
29
untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara
seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang
dihadapi.
(4) Metode bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang
tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat
diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan.
Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang
sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu
dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit
untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan
masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis,
pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah siswa bertindak
sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus
mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, siswa berinteraksi
dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema
yang dipilih.
Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap
empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan
tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan
dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan
perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan.
Pada pembelajaran bermain peran, pemeranan tidak dilakukan secara tuntas
30
sampai masalah dapat dipecahkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengundang rasa
kepenasaran peserta didik yang menjadi pengamat agar turut aktif mendiskusikan
dan mencari jalan ke luar. Dengan demikian, diskusi setelah bermain peran akan
berlangsung hidup dan menggairahkan peserta didik.
Hakekat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan
emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata
dihadapi. Melalui bermain peran dalam pembelajaran, diharapkan para peserta
didik dapat (1) mengeksplorasi perasaannya; (2) memperoleh wawasan tentang
sikap, nilai, dan persepsinya; (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam
memecahkan masalah yang dihadapi; dan (4) mengeksplorasi inti permasalahan
yang diperankan melalui berbagai cara; serta (5) meningkatkan kemampuan
berbicara siswa.
b) Dimensi Metode Role Playing
Manusia merupakan makhluk sosial dan individual, yang dalam hidupnya
senantiasa berhadapan dengan manusia lain atau situasi di sekelilingnya. Mereka
berinteraksi, berinterdependensi dan saling mempengaruhi. Sebagai suatu metode
pembelajaran, bermain peran sangat efektif dalam membantu siswa untuk
mengeksplorasi dan mendiskusikan fenomena-fenomena yang sedang tumbuh
pada situasi social yang diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas dan
tentunya dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Metode bermain peran
ini, berakar pada dimensi pribadi dan social.
31
(1) Dimensi pribadi
Sebagai individu, manusia memiliki pola yang unik dalam berhubungan
dengan manusia lain. Manusia memiliki rasa senang, tidak senang, percaya,
curiga, dan ragu terhadap orang lain. Namun perasaan tersebut diarahkan juga
pada dirinya. Perasaan dan sikap terhadap orang lain dan dirinya itu
mempengaruhi pola respon individu terhadap individu lain atau situasi di luar
dirinya. Karena senang dan penasarannya, cenderung mendekat. Karena tidak
senang dan curiga maka cenderung menjauh. Manifestasi tersebut disebut dengan
peran.
Peran dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perasaan, ucapan dan
tindakan, sebagai suatu pola hubungan unik yang ditunjukkan oleh individu
terhadap individu lain. Peran yang dimainkan individu dalam hidupnya
dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Oleh
sebab itu, untuk dapat berperan dengan baik, diperlukan pemahaman terhadap
peran pribadi dan orang lain. Pemahaman tersebut tidak terbatas pada tindakan,
tetapi pada factor penentunya, yakni perasaan, persepsi dan sikap. Bermain peran
berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran yang
dimainkan orang lain sambil mengerti perasaan, sikap dan nilai yang
mendasarinya.
Metode ini juga berusaha membantu siswa menemukan makna dari
lingkungan social yang bermanfaat bagi dirinya dan melalui metode bermain
peran, siswa diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang
dihadapinya dengan bantuan kelompok sosial yang beranggotakan teman-
32
temannya sendiri. Dengan kata lain metode ini berupaya membantu individu
melalui proses kelompok sosial. Serta melalui bermain peran, para siswa mencoba
mengeksploitasi masalah-masalah hubungan antar manusia dengan cara
memperagakannya.
(2) Dimensi social
Metode pembelajaran role playing adalah suatu pembelajaran yang
dimaksudkan untuk menciptakan situasi dan suasana tertentu dengan melakukan
pemeranan. Metode ini sengaja dipilih mengingat keuntungannya antara lain:
membangun kerjasama antar siswa dan keterlibatan emosional yang tercipta
selama pemeranan dilaksanakan serta siswa dapat dengan mudah memahami suatu
permasalahan berikut cara pemecahannya. Selain itu, kenyataan bahwa kurangnya
kemampuan berbicara siswa dan kreativitas siswa dapat lebih ditingkatkan dengan
menggunakan pembelajaran role playing dalam pelaksanaan proses pembelajaran
Bahasa Indonesia. Metode ini juga memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi social, terutama masalah yang
menyangkut hubungan antar pribadi peserta didik. Pemecahan masalah dilakukan
secara demokratis.
Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, kemampuan berbicara siswa dapat
ditingkatkan melalui metode pembelajaran role playing, karena role playing
efektif dalam memberikan pemahaman konsep secara luas kepada siswa melalui
pengimitasian tokoh tertentu yang di setting dalam situasi tertentu. Hal tersebut
dapat meningkatkan rasa sosial siswa terhadap lingkungan dan orang di
sekitarnya.
33
Menurut Alhafidzh (2010:1), metode role playing memiliki peran penting
dalam proses pembelajaran, dan dapat digunakan apabila:
(1) Pelajaran dimaksudkan untuk melatih dan menanamkan pengertian dan
perasaan seseorang.
(2) Pelajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial dan
rasa tanggung jawab dalam memikul amanah yang telah dipercayakan.
(3) Jika mengharapkan partisipasi kolektif dalam mengambil suatu keputusan.
(4) Apabila dimaksudkan untuk mendapatkan ketrampilan tertentu sehingga
diharapkan siswa mendapatkan bekal pengalaman yang berharga, setelah
mereka terjun dalam masyarakat kelak.
(5) Dapat menghilangkan malu, dimana bagi siswa yang tadinya mempunyai sifat
malu dan takut dalam berhadapan dengan sesamanya dan masyarakat dapat
berangsur-angsur hilang, menjadi terbiasa dan terbuka untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya.
(6) Untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki oleh siswa sehingga
sangat berguna bagi kehidupannya dan masa depannya kelak, terutama yang
berbakat bermain drama, lakon film dan sebagainya.
Dengan demikian, melalui metode ini siswa juga dilatih untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis. Metode Bermain Peran akan mampu
menumbuhkembangkan potensi intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam
dirinya, sehingga kelak mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial
secara matang, arif, dan dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih untuk
mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan kreatif, mampu
34
berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, serta
mampu menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang
ada dalam dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam
kehidupan sehari-hari. Bermain peran juga dapat digunakan untuk merangsang
kreativitas siswa untuk berekspresi, percaya diri, dan belajar berkomunikasi di
depan umum, sehingga dapat mendorong proses belajar-mengajar. Dengan
bermain peran tersebut diharapkan dapat membangkitkan kreativitas siswa dan
diperoleh pengalaman belajar yang lebih berarti bagi siswa.
c) Ciri-ciri Metode Role Playing
Ada pula beberapa metode yang dilakukan dalam bermain peran yang
dapat membantu siswa untuk memiliki kemampuan, diantaranya: (Sudjana,
1983:78-79)
a) Mengembangkan kemampuan untuk melakukan hubungan interpersonal (antar
pribadi)
b) Mengapresiasi perspektif atau sudut pandang pendapat orang lain
c) Mengetahui perspektif atau pendapat orang lain atau siswa lain
d) Mengetahui dampak keputusan seseorang terhadap orang lain
e) Menguasai materi atau bahan pelajaran
d) Langkah-langkah Pembelajaran Role Playing
Menurut Wahab (2007:109) mengemukakan secara rinci tentang strategi
role playing dalam proses pembelajaran di kelas bagi guru dan siswa, yaitu:
35
(1) Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan melalui metode ini. Dan
tujuan tersebut diupayakan tidak terlalu sulit/berbelit-belit, akan tetapi jelas
dan mudah dilaksanakan.
(2) Melatarbelakangi cerita role playing dan bermain peranan tersebut. Misalnya
bagaimana guru dapat menjelaskan latar belakang kehidupan sahabat Abu
Bakar sebelum menceritakan kisah sahabat Abu Bakar masuk Islam. Hal ini
agar materi pelajaran dapat dipahami secara gamblang dan mendalam oleh
siswa/anak didik.
(3) Guru menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan role playing dan bermain
peranan melalui peranan yang harus siswa lakukan/mainkan.
(4) Menetapkan siapa-siapa diantara siswa yang pantas memainkan/melakonkan
jalannya suatu cerita. Dalam hal ini termasuk peranan penonton.
(5) Guru dapat menghentikan jalannya permainan apabila telah sampai titik
klimaks. Hal ini dimaksudkan agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan
masalah dapat didiskusikan secara seksama
(6) Sebaiknya diadakan latihan-latihan secara matang, kemudian diadakan uji
coba terlebih dahulu, sebelum role playing dipentaskan dalam bentuk yang
sebenarnya.
Lebih lanjut, Wahab (2007:114) menyatakan bahwa dalam bermain peran,
ada tiga tahap yang harus dilaksanakan guru, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan
dan tindak lanjut. Ketiga tahap tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Tahap persiapan
36
a) Persiapan untuk bermain peran: (1) Memilih permasalahan yang mengandung
pendangan-pandangan yang berbeda dan kemungkinan pemecahannya; (2)
Mengarahkan siswa pada situasi dan masalah yang akan dihadapi.
b) Memilih pemain: (1) Pilih secara sukarela, jangan dipaksa; (2) Sebisa mungkin
pilih pemain yang dapat mengenali peran yang akan dibawakannya; (3) Hindari
pemain yang ditunjuk sendiri oleh siswa; (4) Pilih beberapa pemain agar
seorang tidak memainkan dua peran sekaligus; (5) Setiap kelompok pemain
paling banyak 5 orang; (6) Hindari siswa membawakan peran yang dengan
kehidupan sebenarnya.
c) Mempersiapkan penonton: (1) Harus yakin bahwa pemirsa megetahui keadaan
dari tujuan bermain peran; (2) Arahkan mereka bagaimana seharusnya
berperilaku.
d) Persiapan para pemain: (1) Biarkan siswa agar mempersiapkannya dengan
sedikit mungkin campur tangan guru; (2) Sebelum bermain setiap pemain harus
memahami betul apa yang dilakukannya; (3) Permainan harus lancar, dan
sebaiknya ada kata pembukaan, tetapi hindari melatih kembali saat sudah siap
bermain; (4) Siapkan tempat dengan baik.
(2) Pelaksanaan
a) Upayakan agar singkat, bagi pemula lima menit sudah cukup dan bermain
sampai habis, jangan diinterupsi.
b) Biarkan agar spontanitas menjadi kunci utamanya.
c) Jangan menilai aktingnya, bahasanya dan lain-lain.
d) Biarkan siswa bermain bebas dari angka dan tingkatan.
37
e) Jika terjadi kemacetan hal yang dapat dilakukan misalnya: dibimbing dengan
pertanyaan, mencari orang lain untuk peran tersebut, menghentikan dan
melangkah ke tindak lanjut.
e) Jika pemain tersesat, hal yang dapat lakukan: rumuskan kembali keadaan dan
masalah, simpulkan apa yang sudah dilakukan, hentikan dan arahkan kembali,
mulai kembali dengan penjelasan singkat.
(3) Tindak lanjut
a) Diskusi: (1) Diskusi tindak lanjut dapat memberi pengaruh yang besar terhadap
sikap dan pengetahuan siswa; (2) Diskusi juga dapat menganalisis,
menafsirkan, memberi jalan keluar atau merekreasi; (3) Di dalam diskusi
sebaiknya dinilai apa yang telah dilaksanakan.
b) Melakukan bermain peran kembali: (1) Kadang-kadang memainkan kembali
dapat memberi pemahaman yang lebih baik.
Sedangkan Sudrajat (2010:1) mengemukakan penggunaan role playing
sebagai berikut:
(1) Bila role playing baru ditetapkan dalam pengajaran, maka hendaknya guru
menerangkannya terlebih dahulu teknik pelaksanaanya, dan menentukan
diantara siswa yang tepat untuk memerankan lakon tertentu, secara sederhana
dimainkan di depan kelas.
(2) Menerapkan situasi dan masalah yang akan dimainkan dan perlu juga
diceritakan jalannya peristiwa dan latar belakang cerita yang akan
dipentaskan tersebut.
(3) Pengaturan adegan dan kesiapan mental dapat dilakukan sedemikian rupa.
38
(4) Setelah role playing itu dalam puncak klimas, maka guru dapat menghentikan
jalannya drama. Hal ini dimaksudkan agar kemungkinan-kemungkinan
pemecahan masalah dapat diselesaikan secara umum, sehingga penonton ada
kesempatan untuk berpendapat dan menilai role playing yang dimainkan.
Role playing dapat pula dihentikan bila menemui jalan buntu.
(5) Guru dan siswa dapat memberikan komentar, kesimpulan atau berupa catatan
jalannya role playing untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya.
Demikian halnya dengan Shaftel (1967) (dalam Sudjana, 2001) yang
mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman
dalam pembelajaran:
(1) Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik
Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik
terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita
dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan.
Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan
masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui
bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan
peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta
memungkinkan berbagai alternative pemecahan. Tahap ini lebih banyak
dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah
karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling
39
menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik
menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.
(2) Memilih partisipan/peran
Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru
mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka,
bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian
para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran.
jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat
menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan
posisi tertentu.
(3) Menyusun tahap-tahap peran
Menyususn tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-
garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog
khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara
spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan
mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah
tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk
menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan
mereka siap untuk memainkannya.
(4) Menyiapkan pengamat
Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan
terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut
mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif
40
mendiskusikannya. Menurut Sharfel dan Shaftel (1967), agar pengamat turut
terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang
dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan
perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran
yang dimainkan?
(5) Pemeranan
Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara
spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan
setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain peran
tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus
dikatakan akan ditunjukkan. Shaftel dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa
pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan
kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang
dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat
berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang
seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta
didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah mamakan waktu
yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran
dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada saat terjadinya
pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.
(6) Diskusi dan evaluasi
Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran
dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional
41
maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para
peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai
dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya
mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat
untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
(7) Pemeranan ulang
Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai
alternative pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut.
Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya
pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran
lainnya.
(8) Diskusi dan evaluasi tahap dua
Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama
seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil
pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih
jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah,
meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya.
Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam
menghadapi masalah kehidupan.
(9) Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan
Membagi pengalaman dan pengambilan kesimpulan, tahap ini tidak harus
menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain peran
ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalaman berharga
42
dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan temannya. Mareka
bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini
mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain peran ialah
terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan
bermain peran, yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para
peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan
dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta
didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.
Adanya langkah-langkah yang harus kita pahami terlebih dahulu, menurut
(Dahlan ;1984) adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi masalah dengan cara
memotivasi para peserta didik, 2. Memilih tema, 3. Menyusun skenario
pembelajaran, 4. Pemeranan, 5. Tahapan diskusi dan evaluasi, 6. Melakukan
pemeranaan ulang, 7. Melakukan diskusi dan evaluasi tahap ke dua, dan
8. Membagi pengalaman dan menarik generalisasi.
Menurut ahli yang lain, yaitu Zaini, dkk, 2008: 104, Metode Bermain
Peran dibagi pada tiga fase yang berbeda:
1) Perencanaan dan persiapan
Perencanaan yang hati-hati adalah kunci untuk sukses dalam Bermain Peran.
Berikut ini adalah daftar beberapa hal yang harus dipertimbangkan guru/dosen
sebelum masuk kelas dan memulai Bermain Peran (COIC dalam Zaini, dkk,
2008: 105), yaitu: a) Mengenal peserta didik, b) Menentukan tujuan
pembelajaran, c) Waktu Penggunaan, d) Metode, e) Mengidentifikasi scenario,
f) Menempatkan peran, g) Pengajar berpertisipasi sebagai pemeran dan atau
43
mengamati saja, h) Mempertimbangkan hambatan yang bersifat fisik, i)
Merencanakan waktu yang baik dan j) Mengumpulkan sumber informasi yang
relevan.
2) Interaksi
Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan pada tahap interaksi ini adalah
a) Membangun aturan dasar, b) Mengeksplisitkan tujuan pembalajaran, c)
Membuat langkah-langkah yang jelas, d) Mengurangi ketakutan tampil di
depan public, e) Menggambarkan scenario atau situasi, f) Mengalokasikan
peran, g) Memberi informasi yang cukup, h) Menjelaskan peran pengajar
dalam Bermain Peran, i) Memulai Bermain Peran secara bertahap, j)
Menghentikan Bermain Peran dan memulai kembali jika perlu dan k)
Bertindak sebagai pengatur waktu.
3) Refleksi dan evaluasi
Tahap yang terakhir ini dalam proses Bermain Peran sering dinamakan
“debriefing” mengikuti istilah yang biasa digunakan dalam militer (Van Ment
dalam Zaini, dkk, 2008: 116). Tahap refleksi dan evaluasi ini merupakan aspek
yang fundamental. Menurut Colquhoun & Errington (dalam Zaini, 2008: 116)
menyatakan bahwa tahap refleksi ini lebih dari sekedar pertanyaan-pertanyaan
teknis, namun lebih berkenaan dengan identifikasi, klarifikasi dan analisis
terhadap isu-isu pokok. Adapun langkah-langkah sederhana yang dilakukan
setelah interaksi selesai, yaitu: a) Membawa peserta didik keluar dari peran yang
dimainkan, b) Meminta peserta didik secara individual mengekspresikan
pengalaman belajarnya, c) Mengkondisikan ide-ide, d) Memfasilitasi suatu
44
analisis kelompok, e) Memberi kesempatan untuk melakukan evaluasi dan f)
Menyusun agenda untuk masa depan
e) Keunggulan dan Kelemahan Metode Bermain Peran
Sebagaimana dengan metode-metode pembelajaran yang lain, metode
role playing memiliki kelebihan dan kelemahan, karena secara prinsip tidak ada
satupun metode pembelajaran yang sempurna. Semua metode pembelajaran saling
melengkapi satu sama lain. Penggunaannya di dalam proses pembelajaran dapat
dikolaborasikan, bergantung dari karakteristik materi pokok pelajaran yang
diajarkan kepada siswa. Kelebihan metode role playing sebagaimana dijelaskan
Makhrufi (2009:3) adalah:
(1) Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping
merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan.
(2) Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis
dan penuh antusias.
(3) Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta
menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.
(4) Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dand apat
memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan
penghayatan siswa sendiri.
(5) Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat
menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja.
Kelemahan
Menurut Wahab (2007:109) kelemahan metode role playing antara lain:
45
(1) Jika siswa tidak dipersiapkan secara baik ada kemungkinan tidak akan
melakukan secara sunguguh-sungguh.
(2) Bermain peran mungkin tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas
tidak mendukung.
(3) Bermain peran tidak selamanya menuju arah yang diharapkan seseorang yang
memainkannya. Bahkan juga mungkin akan berlawanan dengan apa yang
diharapkan.
(4) Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik,
khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik. Siswa
perlu mengenal dengan baik apa yang diperankannya.
(5) Bermain membutuhkan waktu yang banyak/lama.
(6) Untuk lancarnya bermain peran, diperlukan kelompok yang sensitif,
imajinatif, terbuka, saling mengenal hingga bekerjasama dengan baik.
Senada dengan Wahab, Mujiman (2007:86) mengemukakan kelemahan
metode role playing dan bermain peranan ini terletak pada:
(1) Role playing dan bermain peranan memerlukan waktu yang relatif
panjang/banyak.
(2) Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun
murid, dan ini tidak semua guru memilikinya.
(3) Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk
melakukan suatu adegan tertentu.
46
(4) Apabila pelaksanaan role playing dan bermain pemeran mengalami
kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus
berarti tujuan pengajaran tidak tercapai.
(5) Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.
(6) Pada pelajaran agama masalah keimanan, sulit disajikan melalui metode role
playing dan bermain peranan ini.
4) Pembelajaran Metode Konvensional
a) Pengertian Pembelajaran Metode Konvensional
Pembelajaran dengan metode konvensional merupakan pembelajaran
yang biasa dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Pada pola
pembelajaran metode konvensional, kegiatan proses belajar mengajar lebih sering
diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa. Dalam pembelajaran metode
konvensional, guru di sekolah umumnya memfokuskan diri pada upaya
penuangan pengetahuan kepada para siswa tanpa memperhatikan prakonsepsi atau
gagasan-gagasan yang telah ada dalam diri siswa (prior knowledge) sebelum
mereka belajar secara formal di sekolah.
Menurut Brooks & Brooks (dalam Juliantara, 2009), penyelenggaraan
pembelajaran dengan metode konvensional lebih menitik beratkan kepada tujuan
pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai
proses meniru dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar. Dalam
pembelajaran konvensional tidak menekankan pada peran aktif siswa dalam
membangun pemahaman mereka sendiri tentang pengetahuan yang dipelajarinya,
47
tetapi guru langsung memberikan segala informasi yang dianggap penting oleh
guru sehingga siswa akan berperan pasif dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran metode konvensional menurut Budiningsih (2005:62)
mengungkapkan, bahwa “Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-
konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya yang
mana pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai
kemampuan penguasaan pengetahuan”. Selain itu menurut Marhaeni (2007)
proses pembelajaran tradisional (konvensional) dalam proses pembelajarannya
siswa memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan
mendengarkan pendidik dan membaca materi yang ditugaskan, sesuai dengan itu
metode pengajaran lebih berpusat pada pendidik oleh karenanya banyak siswa
yang mengalami kesulitan dalam belajar.
Pengajaran konvensional merupakan sebuah produk dari metode
pembelajaran yang berorientasi pada guru (teacher centered approach), guru
sebagai pemegang kendali dan mendominasi kegiatan pembelajaran. Pada
dasarnya metode pengajaran konvensional bertumpu pada prinsip-prinsip
psikologi perilaku dan teori belajar sosial, khususnya tentang pemetodean
(metodeing) yaitu meniru perilaku dan pengalaman orang lain (Depdiknas, 2004).
Menurut Sulaeman (dalam Rasana, 2009:18), “pembelajaran
konvensional merupakan metode yang paling efisien dalam mengajar yang
bersifat hafalan (ingatan)”. Hal ini menunjukan bahwa ceramah mendominasi
kegiatan belajar mengajar yang menekankan kegiatan hafalan tersebut. Ceramah
merupakan salah satu cara penyampaian informasi dengan lisan dari seseorang
48
(guru) kepada sejumlah pendengar (siswa) di suatu ruangan. Karena dalam
penerapan pembelajaran konvensional menggunakan metode ceramah, maka
cenderung kegiatan pembelajaran yang dilakukan akan berpusat pada guru
(teacher centered) dan terjadi komunikasi searah, yaitu dari guru kepada siswa.
Guru mendominasi seluruh kegiatan dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya
memperhatikan dan membuat catatan seperlunya. Dalam pembelajaran
konvensional biasanya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan
hafalan daripada pengertian, menekankan kepada keterampilan berhitung,
mengutamakan hasil daripada proses, dan dalam proses pembelajaran siswa
cenderung pasif.
Ghazali (2002) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran konvensional
yaitu (1) pendidik yang banyak berbicara di dalam kelas, (2) pembelajaran banyak
ditekankan pada penggunaan buku teks, (3) pendidik jarang memberikan
kesempatan kepada murid untuk bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas yang
mestinya dapat diselesaikan bersama oleh siswa, (4) menyuruh peserta didik
mengerjakan tugas mandiri padahal tugasnya tergolong low level skill yang tidak
menuntut kemampuan berpikir rumit, dan (5) guru kurang menghargai
kemampuan berpikir peserta didik. Kebanyakan pendidik tidak membuat peserta
didik mampu berpikir dengan membiasakan mereka berhadapan dengan isu yang
menantang, dan acapkali meminta murid hanya memberikan satu jawaban yang
benar, (6) Pendidikan di sekolah dirumuskan sebagai dunia yang pasti. Peserta
didik datang ke sekolah untuk tahu hal yang pasti tersebut, dan ini pun
sepenuhnya disediakan oleh guru. Tidak ada kemungkinan bagi siswa untuk
49
memperoleh sesuatu yang lain yang ingin diketahuinya. Dengan demikian, siswa
akan menganggap guru sebagai sumber informasi dalam pembelajaran di kelas.
Berdasarkan definisi atau ciri-ciri tersebut, pembelajaran konvensional
merupakan sebuah praktik yang mekanistik dan sederhana menjadi pemberian
informasi. Dalam kondisi ini, guru memainkan peran yang sangat penting karena
mengajar dianggap memindahkan atau transfer pengetahuan dari kepala guru ke
kepala siswa (Warpala, 2009).
Berdasarkan uraian teori di atas, dapat dilihat bahwa konsep yang
diajukan Depdiknas tentang pembelajaran metode konvensional lebih
komprehensif. Pengajaran dengan metode konvensional merupakan sebuah
produk dari metode pembelajaran yang berorientasi pada guru (teacher centered
approach), guru sebagai pemegang kendali dan mendominasi kegiatan
pembelajaran. Pada dasarnya metode pengajaran konvensional bertumpu pada
prinsip-prinsip psikologi perilaku dan teori belajar sosial, khususnya tentang
pemetodean (metodeing) yaitu meniru perilaku dan pengalaman orang lain.
Kegiatan mengajar dalam pembelajaran metode konvensional
cenderung diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa, serta penggunaan
metode ceramah terlihat sangat dominan. Pola mengajar kelihatan baku, yakni
menjelaskan sambil menulis di papan tulis serta diselingi tanya jawab, sementara
itu peserta didik memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat di buku tulis.
Siswa dipandang sebagai individu pasif yang tugasnya hanya mendengarkan,
mencatat, dan menghafal. Pembelajaran yang terjadi pada metode konvensional
berpusat pada guru, dan tidak terjadi interaksi yang baik antara siswa dengan
50
siswa. Sehingga pembelajaran konvensional lebih cenderung pada pelajaran yang
bersifat hapalan yang mentolerir respon-respon yang bersifat konvergen,
menekankan informasi konsep, latihan soal, serta penilaiannya masih bersifat
tradisional dengan paper and pencil test yang hanya menuntut pada satu jawaban
yang benar. Hal tersebut berimplikasi langsung pada proses pembelajaran di kelas
yaitu pada situasi kelas akan menjadi pasif karena interaksi hanya berlangsung
satu arah serta guru kurang memperhatikan dan memanfaatkan dan potensi-
potensi siswa serta gagasan mereka sebagai daya nalar.
b) Sintak Pembelajaran Metode Konvensional
Proses pembelajaran dengan metode konvensional terdapat lima fase
yang sangat penting (Depdiknas, 2004). Kelima fase dari sintaks pembelajaran
dengan metode konvensional ini ditunjukkan dalam Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Sintaks Metode Konvensional
Fase Peranan GuruFase-1Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, pentingnya pelajaran, dan mempersiapkan siswa untuk belajar.
Fase-2Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar atau menyajikan informasi tahap demi tahap.
Fase-3Membimbing pelatihan
Guru merencanakan dan memberikan bimbingan pelatihan awal
Fase-4Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberikan umpan balik.
Fase-5Memberikan kesempatan untuk melakukan pelatihan lanjutan dan
Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan
51
penerapan kepada situasi lebih komplek dan kehidupan sehari-hari.
(Depdiknas, 2004)
2.1.2 Sikap Sosial
1) Pengertian Sikap Sosial
Definisi tentang sikap disampaikan dalam berbagai versi oleh para ahli
Psikologi. Definisi atau pengertian itu dapat dimasukkan ke dalam salah satu di
antara kerangka pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili
oleh para ahli Psikologi, seperti Louis Thurstone, Rensis Likert (dalam Sutardi
2012). Menurut kedua tokoh dalam bidang pengukuran sikap itu, sikap diartikan
sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap
suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada suatu objek.
Secara khusus, Thurstone (dalam Sutardi, 2012) memformulasikan sikap sebagai
derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologi.
Kerangka pemikiran kedua diwakili oleh para tokoh dalam bidang
Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian, seperti Gordon Allport dan tokoh
lainnya seperti Chave, Bogardus, LaPiere (dalam Sutardi 2012), dijelaskan, bahwa
sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara
tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya respon.
Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada
skema triadik (triadic scheme). Menurut pemikiran ini, suatu sikap merupakan
52
konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling
berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu reaksi
dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord &
Backman (dalam Sutardi, 2012) misalnya, mendefinisikan sikap sebagai
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afektif), pemikiran (kognisi), dan
predisposisi tindakan (konatif) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan
sekitar.
Selain pemikiran tersebut di atas, ada beberapa metode tentang sikap
yang dikemukakan oleh para ahli Psikologi Sosial. Metode yang pertama dengan
tokoh-tokoh seperti Breckler, Katz & Stotland, Rejecki (dalam Sutardi 2012),
memandang sikap sebagai kombinasi reaksi kognitif, afektif dan perilaku terhadap
sesuatu. Ketiga komponen itu secara bersama mengorganisasikan sikap individu.
Metode ini yang dikenal dengan triadic scheme, disebut juga metode
tricomponent. Metode kedua yang dikenal dengan metode singlecomponent
dengan tokoh seperti Fishbein & Ajen, Oskamp, Petty & Cacocippo, dan Brehm
& Kassin (dalam Sutardi, 2012), membatasi konsep sikap hanya pada aspek
afektif saja. Mereka menjelaskan, sikap adalah afek atau penilaian positif atau
negatif terhadap suatu objek.
Ahmadi (1999:165) menyebutkan bahwa sikap mempunyai 3 aspek
yaitu:
1) Aspek Kognitif yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal
pikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman, dan
53
keyakinan serta harapan-harapan individu tentang obyek atau
kelompok obyek tertentu.
2) Aspek Afektif yaitu berwujud sebuah proses yang menyangkut
perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati,
antipati dan sebagainya yang ditunjukan kepada obyek-obyek
tertentu.
3) Aspek Konatif yaitu berwujud proses tendensi/kecenderungan untuk
berbuat sesuatu obyek, misalnya kecenderungan memberi
pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.
Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi
apabila ia suka (like) atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya orang yang
dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap objek psikologi bila ia tidak suka
(dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologi.
John H. Harvey dan William P. Smith (dalam Sutardi 2012)
mendefinisikan sikap sebagai kesiapan merespon secara konsisten dalam bentuk
positif atau negatif terhadap objek atau situasi. Sedangkan Genmgan (dalam
Sutardi 2012) mendefinisikan bahwa pengertian attitude dapat diterjemahkan
dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap,
pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan
unmk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi itu. Jadi attitude itu lebih
diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal.
Di atas telah diutarakan bahwa sikap adalah kesadaran individu yang
menentukan perbuatan nyata dalam kegiatan-kegiatan sosial. Maka sikap sosial
54
adalah kesadaran individu yang menentukan perbuatan yang nyata, yang
berulang-ulang terhadap obyek sosial. Untuk membedakannya dari aspek-aspek
psikis yang lain (seperti motif, kebiasaan, pengetahuan dan lain-lain) perlu
dikemukakan ciri-ciri sikap sebagai berikut ini yaitu:
1) Dalam sikap selalu terdapat hubungan subjek-objek. Tidak ada sikap yang
tanpa objek. Objek ini bisa berupa benda, orang, kelompok orang, nilai-nilai
sosial, pandangan hidup, hukum, lembaga masyarakat dan sebagainya.
2) Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui
pengalaman-pengalaman.
3) Karena sikap dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan
lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan pada saat-saat yang berbeda-
beda.
4) Dalam sikap tersangkut juga faktor motivasi dan perasaan.
5) Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan sudah dipenuhi.
6) Sikap tidak hanya satu jam saja, melainkan sangat bermacam-macam sesuai
dengan banyaknya objek yang sangat menjadi perhatian orang yang
bersangkutan.
Sikap adalah kesadaran individu yang menentukan perbuatan yang
nyata dalam kegiatan-kegiatan sosial. Ellis (dalam Purwanto, 2010)
mengemukakan sikap itu sebagai berikut: Attitude involve some knowledge of
situation. However, the essential aspect of the attitude is found in the fact that
some characteristic feeling or omotion is experienced , and as we would
accordingly expect, some definite tendency to action is associanted.
55
Menurut Ellis, yang sangat memegang peranan penting di dalam sikap
ialah faktor perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon, atau
kecenderungan untuk bereaksi. Maka sikap sosial adalah kesadaran individu yang
menentukan perbuatan yang nyata, yang berulang-ulang terhadap objek sosial. Hal
ini terjadi bukan saja pada orang-orang lain dalam satu masyarakat.
Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian tentang sikap, namun ada
beberapa ciri yang dapat disetujui. Sebagian besar ahli dan peneliti sikap setuju
bahwa sikap adalah predisposisi yang dipelajari yang mempengaruhi tingkah laku,
berubah dalam hal intensitasnya, biasanya konsisten sepanjang waktu dalam
situasi yang sama, dan komposisinya hampir selalu kompleks. Menurut Wuryo
(1983:107) sikap sosial adalah masalah yang erat hubungannya dengan norma dan
sistem nilai yang terdapat dalam kelompok, dimana individu menjadi anggota atau
berhasrat mengadakan hubungan struktural organisatoris dan atau berhasrat
mengadakan hubungan psikologik. Ahmadi (1999:166) menambahkan bahwa
sikap sosial positif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan,
menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma sosial
dimana individu itu berada. Sebaliknya sikap sosial negatif yaitu sikap yang
menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui norma-norma
sosial yang berlaku dimana individu itu berada.
Sikap sosial adalah apresiasi nilai sosial individu dalam kelompok
sebagai hasil komunikasi antara anggota kelompok, (The appreciation of the
social value is an attitude. If it is general in the group, as a result of
communication, it is a social attitude). Nilai sosial banyak didefinisikan oleh para
56
ahli sosiologi dan antropologi, diantaranya Reven (dalam Sutardi, 2012)
memberikan makna nilai sosial sebagai seperangkat sikap masyarakat yang
dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar untuk bertingkah laku
guna memperoleh kehidupan masyarakat yang harmonis. Winecoff (1998)
menegaskan, bahwa nilai-nilai sosial terdiri atas sejumlah sikap terhadap sosial
yang dijadikan pertimbangan untuk melakukan tindakan. Adapun sosial
merupakan suatu pola jalinan individu atau kelompok yang membentuk kesatuan
berdasarkan aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma yang dianut bersama.
Nilai-nilai tersebut diperoleh dari pengalaman setelah berinteraksi dengan orang
lain. Reven (dalam Sutardi, 2012) menjelaskan unsur-unsur nilai-nilai sosial,
bahwa nilai-nilai sosial terdiri atas: (1) kasih sayang (pengabdian, tolong
menolong, kekeluargaan, kesetiaan, kepedulian); (2) tanggung jawab (rasa
memiliki, disiplin, dan empati); (3) keserasian hidup (keadilan, toleransi,
kerjasama, dan demokrasi). Devito (1997) mengemukakan nilai-nilai sosial yang
sering dijadikan dasar seseorang dalam berinteraksi adalah : (1) keterbukaan, (2)
empati, (3) komunikasi, (4) kerjasama.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami keterkaitan yang erat
antara sikap, sikap sosial dan nilai-nilai sosial. Sikap sosial merupakan apresiasi
nilai individu dalam kelompok sebagai hasil komunikasi. Apresiasi nilai itu
timbul karena ada komunikasi, sementara nilai-nilai sosial itu ada sebagai hasil
interaksi. Interaksi yang menjadi sebuah pengalaman, membentuk sebuah sikap.
Dalam kaitan ini maka Baron (dalam Sutardi, 2012) menjelaskan, bahwa pada
umumnya Psikolog Sosial menggunakan istilah sikap (attitude) untuk merujuk
57
pada evaluasi kita terhadap berbagai aspek dunia sosial termasuk nilai-nilai sosial,
serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka
terhadap isu, ide, orang, kelompok sosial. Hal ini dapat dipahami bahwa objek
sikap adalah selalu berorientasi pada sosial, Dengan demikian, makna sikap
identik dengan makna sikap sosial, yakni respon evaluatif (positif atau negatif)
seseorang terhadap nilai-nilai dalam masyarakat (kelompok), seperti keterbukaan,
empati, komunikasi, kerjasama, sebagai hasil interaksi.
Merujuk pada berbagai konsep sikap seperti telah dikemukakan di atas,
maka konsep yang diajukan oleh Wuryo lebih luas dibandingkan dengan konsep
yang diajukan oleh pakar yang lain, Wuryo mengemukakan bahwa sikap sosial
adalah masalah yang erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang
terdapat dalam kelompok, dimana individu menjadi anggota atau berhasrat
mengadakan hubungan struktural organisatoris atau berhasrat mengadakan
hubungan psikologik. Namun ada aspek penting dalam sikap sosial yang dijadikan
dasar mengidentifikasi sikap sosial tersebut, maka dari itu peneliti juga
menambahkan konsep yang diajukan oleh Devito tentang nilai-nilai sosial yang
dijadikan dimensi dan dasar dalam mengidentifikasi sikap sosial siswa. Devito
(1997) mengemukakan nilai-nilai sosial yang sering dijadikan dasar seseorang
dalam berinteraksi adalah : (1) keterbukaan, (2) empati, (3) komunikasi, (4)
kerjasama. Dari landasan teori tantang nilai-nilai sikap sosial tersebut, peneliti
melakukan pengembangan yang lebih komprehensif dan operasional terhadap
nilai-nilai sikap sosial tersebut, agar dapat diukur dan dijadikan indikator dalam
penilaian terhadap sikap sosial. Adapun pengembangan yang dilakukan peneliti
58
berdasarkan dimensi atau nilai-nilai yang dikemukakan oleh Devito adalah
sebagai berikut.
(1) Keterbukaan
(a) Berterus terang pada teman
(b) Bersedia untuk bersikap jujur
(c) Menerima dan menghargai perbedaan suku, agama, kepercayaan, ras,
etnis, antar individu
(d) Toleransi dan tenggang rasa terhadap orang lain
(2) Empati
(a) Menunjukkan sikap yang hangat pada teman
(b) Merasakan apa yang dirasakan orang lain
(c) Peduli terhadap sesama maupun lingkungan sekitarnya
(3) Komunikasi
(a) Senang berkomunikasi
(b) Menciptakan suasana mendukung komunikasi
(c) Mampu berbicara dalam forum
(d) Santun dalam berbicara
(4) Kerjasama
(a) Tolong menolong
(b) Bekerja secara berkelompok
(c) Bersahabat
(d) Tidak menyinggung orang lain
59
2) Pembentukan dan Perubahan Sikap
Sikap timbul karena adanya stimulus. Terbentuknya suatu sikap itu
banyak dipengaruhi perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan misalnya:
keluarga, sekolah, norma, golongan agama, dan adat istiadat. Sikap tumbuh dan
berkembang dalam basis sosial yang tertentu, misalnya: ekonomi, politik, agama
dan sebagainya. Di dalam perkembangannya sikap banyak dipengaruhi oleh
lingkungan, norma-norma atau group. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan
sikap antara individu yang satu dengan yang lain karena perbedaan pengaruh atau
lingkungan yang diterima. Sikap tidak akan terbentuk tanpa interaksi manusia,
terhadap objek tertentu atau suatu objek.
Sikap sosial terbentuk karena adanya interaksi sosial yang dialami oleh
individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih dari sekedar kontak sosial dan
hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial
terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang
lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku
masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih dari itu, interaksi
sosial meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun
lingkungan psikologis di sekelilingnya.
Proses interaksi sosial individu membentuk pola sikap tertentu terhadap
berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap diantaranya; pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain
yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan atau
lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
60
Menurut Baron (dalam Sutardi, 2012), sikap itu diadopsi dari orang lain
melalui pembelajaran sosial (social learning). Banyak pandangan individu
dibentuk saat berinteraksi dengan orang lain, atau hanya dengan mengobservasi
tingkah orang lain. Pembelajaran sosial itu melalui beberapa proses, diantaranya:
(1) pembelajaran berdasarkan assosiasi (classical conditioning), (2) belajar untuk
mempertahankan pandangan yang benar (instrumental conditioning), (3)
pembelajaran dari observasi (belajar dari contoh), (4) perbandingan sosial.
Belajar sosial (social learning), salah satu teori belajar yang
dikembangkan oleh Bandura. Teori belajar ini mengunakan penjelasan-penjelasan
reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk
memahami bagaimana belajar dengan orang lain, melalui observasi tentang dunia
sosial, melalui interprestasi dari dunia itu diperoleh banyak informasi dan
penampilan-penampilan keahlian yang kompleks dapat dipelajari. Dalam
pandangan belajar sosial, manusia tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari
dalam, dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan, tetapi fungsi
psikologi diterangkan sebagai interaksi yang continue dan timbal balik dari
keterampilan-keterampilan pribadi dan determinan-determinan lingkungan.
Proses pembelajaran berdasarkan assosiasi (classical conditioning).
Adalah merupakan prinsip dasar psikologi bahwa ketika sebuah stimulus
berulang-ulang diikuti oleh stimulus yang lain, stimulus pertama akan segera
dianggap sebagai tanda-tanda bagi munculnya stimulus yang mengikutinya.
Dengan kata lain, ketika stimulus pertama terjadi, seseorang akan menduga
stimulus kedua akan segera muncul. Hasilnya secara bertahap individu akan
61
memberikan reaksi yang sama pada stimulus pertama seperti reaksi yang mereka
tunjukkan pada stimulus kedua, terutama jika stimulus kedua adalah stimulus
yang menyebabkan reaksi yang cukup kuat dan otomatis.
Belajar dari contoh (pembelajaran dari observasi). Sikap dapat dibentuk
ketika orang tua tidak bermaksud untuk mewariskan pandangan tertentu pada
anak. Proses seperti itu disebut pembelajaran melalui observasi (observational
learning). Hal ini terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau
pemikiran baru hanya dengan mengobservasi tingkah laku orang lain.
Pembelajaran melalui observasi memainkan peran yang penting dalam
pembentukan sikap, dalam banyak kasus anak mendengarkan orang tua mereka
mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak pantas dia dengar, atau melihat orang
tua melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan orang tua. Orang tua yang
merokok, melarang anaknya untuk merokok saat menyalakan rokoknya, akan
membentuk sikap tertentu pada diri anak. Contoh lain, anak maupun orang
dewasa dapat dibentuk sikapnya oleh media masa, televisi, film, dan lain
sebagainya.
Mengadopsi sikap yang diekspresikan atau ditunjukkan orang lain
adalah sebuah mekanisme pembentukan sikap melalui perbandingan sosial (social
comparison). Kecenderungan seseorang untuk membandingkan dirinya dengan
orang lain untuk menentukan apakah pandangan dirinya terhadap kenyataan sosial
benar atau salah. Sejauh pandangannya diterima orang lain, maka dia akan
menganggap bahwa ide atau sikap itu benar. Sikap tidak acuh terhadap proses
62
pembelajaran dipandang sikap yang tepat selama orang lainpun memandang dan
cenderung berperilaku demikian.
Menurut Waller (dalam Sutardi 2012) sikap juga dipengaruhi oleh
genetika. Sikap dipengaruhi oleh pemikiran dan pemikiran terjadi di dalam otak,
struktur otak dipengaruhi oleh faktor genetika. Alasan yang lain bahwa genetika
mempengaruhi sikap adalah, bahwa Hasil penelitian membuktikan sikap kembar
identik berkorelasi lebih tinggi daripada sikap pada kembar non identik.
Proses pembentukan dan perubahan sikap dapat terbentuk atau berubah
melalui 4 macam cara yaitu:
(1) Adopsi: Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-
ulang dan terus-menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap ke dalam
diri individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.
(2) Diferensiasi: dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman,
sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap
sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya. Terhadap obyek
tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula.
(3) Integrasi: Pembentukan sikap di sini terjadi secara bertahap, dimulai dengan
berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal tertentu, sehingga
pada akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut.
(4) Trauma: Pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan, yang meninggalkan kesan
mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan.
63
3) Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sikap
a) Faktor intern: yaitu manusia itu sendiri.
b) Faktor ekstern: yaitu faktor manusia.
Sherif (dalam Sutardi 2012) mengemukakan bahwa sikap itu dapat
diubah atau dibentuk apabila:
a) Terdapat hubungan timbal balik yang langsung antara manusia.
b) Adanya komunikasi (yaitu hubungan langsung) dan satu pihak.
Faktor ini pun masih tergantung pula adanya:
(1) Sumber penerangan itu memperoleh kepercayaan orang banyak/tidak.
(2) Ragu-ragu atau tidaknya menghadapi fakta dan isi sikap baru itu.
Pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya.
Sikap terbentuk dalam hubungannya dengan suatu objek, orang, kelompok,
lembaga, nilai, melalui hubungan antar individu, hubungan di dalam kelompok,
komunikasi surat kabar, buku, poster, radio, televisi dan sebagainya, terdapat
banyak kemungkinan yang mempengaruhi timbulnya sikap. Lingkungan yang
terdekat dengan kehidupan sehari-hari banyak memiliki peranan. Keluarga yang
terdiri dari orang tua, saudara-saudara di rumah memiliki peranan yang penting.
Sementara orang berpendapat bahwa mengajarkan sikap adalah merupakan
tanggung jawab orang tua atau lembaga-lembaga keagamaan. Tetapi tidaklah
demikian halnya. Lembaga lembaga sekolah pun memiliki tugas pula dalam
membina sikap ini. Bukankah tujuan pendidikan baik di sekolah maupun di luar
sekolah adalah mempengaruhi, membawa, membimbing anak didik agar memiliki
sikap seperti yang diharapkan oleh masing-masing tujuan pendidikan. Dengan
64
demikian lembaga pendidikan formal dalam hal ini sekolah memiliki tugas untuk
membina dan mengembangkan sikap anak didik menuju kepada sikap yang kita
harapkan. Pada hakikatnya tujuan pendidikan adalah mengubah sikap anak didik
ke arah tujuan pendidikan.
Sutardi (2012) menyatakan bahwa sikap sosial pada anak-anak tergantung pada 4
faktor yaitu:
(1) Kesempatan yang penuh untuk sosialisasi adalah penting karena anak-
anak tidak dapat belajar hidup bermasyarakat dengan orang lain jika
sebagian besar waktu mereka dipergunakan seorang diri.
(2) Dalam keadaan bersama anak-anak tidak hanya harus mampu
berkomunikasi dalam kata-kata yang dapat dimengerti orang lain, tetapi
juga harus mampu berbicara tentang topik yang dapat dipahami dan
menarik bagi orang lain.
(3) Anak akan belajar sosialisasi apabila mereka mempunyai motivasi untuk
melakukannya. Motivasi sebagian besar bergantung pada tingkat
kepuasan yang dapat diberikan oleh aktivitas sosial kepada anak.
(4) Metode belajar yang efektif dengan bimbingan adalah penting. Anak-
anak akan belajar lebih cepat dengan hasil lebih baik jika mereka di ajar
oleh seseorang yang dapat membimbing dan mengarahkan.
4) Dimensi Teori Sikap Sosial
Merujuk pada berbagai konsep sikap seperti telah dikemukakan di atas,
makna sikap yang lebih operasional untuk dijadikan dasar dalam mengidentifikasi
sikap sosial siswa terkait dengan penelitian ini adalah nilai-nilai sikap sosial yang
65
dikemukakan oleh Devito (1997) yang mengemukakan nilai-nilai sosial yang
sering dijadikan dasar seseorang dalam berinteraksi adalah : (1) keterbukaan, (2)
empati, (3) komunikasi, (4) kerjasama. Dari landasan teori tantang nilai-nilai
sikap sosial tersebut, peneliti melakukan pengembangan yang lebih komprehensif
dan operasional terhadap nilai-nilai sikap sosial tersebut, agar dapat diukur dan
dijadikan indikator dalam penilaian terhadap sikap sosial. Adapun pengembangan
yang dilakukan peneliti berdasarkan dimensi atau nilai-nilai yang dikemukakan
oleh Devito adalah sebagai berikut.
(1) Keterbukaan
(a) Berterus terang pada teman
(b) Bersedia untuk bersikap jujur
(c) Menerima dan menghargai perbedaan suku, agama, kepercayaan, ras,
etnis, antar individu
(d) Toleransi dan tenggang rasa terhadap orang lain
(2) Empati
(a) Menunjukkan sikap yang hangat pada teman
(b) Merasakan apa yang dirasakan orang lain
(c) Peduli terhadap sesama maupun lingkungan sekitarnya
(3) Komunikasi
(a) Senang berkomunikasi
(b) Menciptakan suasana mendukung komunikasi
(c) Mampu berbicara dalam forum
(d) Santun dalam berbicara
66
(4) Kerjasama
(a) Tolong menolong
(b) Bekerja secara berkelompok
(c) Bersahabat
(d) Tidak menyinggung orang lain
Dengan demikian dimensi dan indikator nilai-nilai sosial yang akan
diukur untuk menunjukkan sikap sosial siswa dapat digambarkan pada Tabel 2.2
sebagai berikut:
Tabel 2.2. Dimensi dan Indikator untuk Mengukur Sikap Sosial Siswa
No Dimensi Indikator
1. Keterbukaan - Berterus terang pada teman- Bersedia untuk bersikap jujur- Menerima dan menghargai perbedaan suku,
agama, kepercayaan, ras, etnis, antar individu- Toleransi dan tenggang rasa terhadap orang
lain2. Berempati - Menunjukkan sikap yang hangat pada teman
- Merasakan apa yang dirasakan orang lain- Peduli terhadap sesama maupun lingkungan
sekitarnya3. Komunikasi - Senang berkomunikasi
- Menciptakan suasana mendukung komunikasi- Mampu berbicara dalam forum- Santun dalam berbicara
4. Kerjasama - Tolong menolong- Bekerja secara berkelompok- Bersahabat- Tidak menyinggung orang lain
67
2.1.3 Hasil Belajar
1) Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, yakni
"prestasi" dan "belajar", mempunyai arti yang berbeda. Untuk memahami lebih
jauh tentang pengertian hasil belajar, peneliti menjabarkan makna dari kedua kata
tersebut. Prestasi adalah suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik
secara individual atau kelompok. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “yang
dimaksud dengan prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan
dan sebagainya)”.
Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan baik secara individu maupun secara kelompok (Djamarah, 1994:19).
Sedangkan menurut Mas’ud Hasan Abdul Dahar (dalam Djamarah 1994:21)
bahwa prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang
menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Selanjutnya,
Harahap (dalam Djamarah, 1994), berpendapat bahwa prestasi adalah “penilaian
pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa berkenaan dengan
penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada siswa”. Pendapat tersebut
menjelaskan bahwa prestasi merupakan sebuah penilaian yang berisi unsur
perkembangan dan kemajuan siswa dalam pendidikan.
Dari pengertian yang dikemukakan tersebut di atas, jelas terlihat
perbedaan pada kata-kata tertentu sebagai penekanan, namun intinya sama yaitu
hasil yang dicapai dari suatu kegiatan. Untuk itu, dapat dipahami bahwa prestasi
adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, yang
68
menyenangkan hati, yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara
individual maupun secara kelompok dalam bidang kegiatan tertentu.
Menurut Gagne (dalam Dahar, 2006:2) belajar dapat didefinisikan
sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman. Slameto (1995:2) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya. Secara sederhana dari pengertian belajar
sebagaimana yang dikemukakan oleh pendapat di atas, dapat diambil suatu
pemahaman tentang hakekat dari aktivitas belajar adalah suatu perubahan yang
terjadi dalam diri individu.
Djamarah (1994:19) menyatakan bahwa “hasil belajar adalah hasil dari
suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun
kelompok”. Hasil belajar tidak dapat dipisahkan dari perbuatan belajar, karena
belajar merupakan suatu proses, sedangkan hasil belajar adalah hasil dari proses
pembelajaran tersebut. Winkel dalam Sunartombs (2009) mengemukakan bahwa
“hasil belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang.”
Maka hasil belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang
setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Sedangkan menurut Nurkencana
(1996:62) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai atau
diperoleh anak berupa nilai mata pelajaran. Ditambahkan bahwa hasil belajar
merupakan hasil yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil
dari aktivitas dalam belajar.
69
Setelah menelusuri uraian teori di atas, maka dapat dilihat bahwa
konsep hasil belajar yang dikemukakan oleh Nurkencana lebih lengkap dan luas,
hal tersebut dapat dilihat dari konsep yang dijabarkannya mengenai hasil belajar
yaitu hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai atau diperoleh anak berupa nilai
mata pelajaran. Ditambahkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang
mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam
belajar.
2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
a) Faktor dari dalam diri siswa (intern)
Sehubungan dengan faktor intern ini ada tingkat yang perlu dibahas
menurut Slameto (1995:54) yaitu faktor jasmani, faktor psikologi dan faktor
kelelahan.
(1) Faktor Jasmani
Dalam faktor jasmaniah ini dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor kesehatan
dan faktor cacat tubuh.
(a) Faktor kesehatan
Faktor kesehatan sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa, jika
kesehatan seseorang terganggu atau cepat lelah, kurang bersemangat,
mudah pusing, ngantuk, jika keadaan badannya lemah dan kurang darah
ataupun ada gangguan kelainan alat inderanya.
(b) Cacat tubuh
Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang
sempurnanya mengenai tubuh atau badan. Cacat ini berupa buta,
70
setengah buta, tulis, patah kaki, patah tangan, lumpuh, dan lain-lain
(Slameto, 2003:55).
(2) Faktor psikologis
Dapat berupa intelegensi, perhatian, bakat, minat, motivasi, kematangan,
kesiapan.
(a) Intelegensi
Slameto (2003:56) mengemukakan bahwa intelegensi atau kecakapan
terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan
menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dan cepat efektif
mengetahui/menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif,
mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.
(b) Perhatian
Menurut al-Ghazali (dalam Slameto, 2003:56) bahwa perhatian adalah
keaktifan jiwa yang dipertinggi jiwa itupun bertujuan semata-mata
kepada suatu benda atau hal atau sekumpulan obyek.
Untuk menjamin belajar yang lebih baik maka siswa harus mempunyai
perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya. Jika bahan pelajaran tidak
menjadi perhatian siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak
lagi suka belajar. Agar siswa belajar dengan baik, usahakan buku
pelajaran itu sesuai dengan hobi dan bakatnya.
(c) Bakat
Menurut Hilgard (dalam Slameto, 2003:57) bahwa bakat adalah the
capacity to learn. Dengan kata lain, bakat adalah kemampuan untuk
71
belajar. Kemampuan itu akan terealisasi pencapaian kecakapan yang
nyata sesudah belajar atau terlatih. Kemudian menurut Syah (2007)
bahwa bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki oleh seseorang
untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.
(d) Minat
Menurut Jersild dan Taisch dalam Nurkencana (1996:214) bahwa minat
adalah menyangkut aktivitas-aktivitas yang dipilih secara bebas oleh
individu. Minat besar pengaruhnya terhadap aktivitas belajar siswa,
siswa yang gemar membaca akan dapat memperoleh berbagai
pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, wawasan akan
bertambah luas sehingga akan sangat mempengaruhi peningkatan atau
pencapaian hasil belajar siswa yang seoptimal mungkin karena siswa
yang memiliki minat terhadap sesuatu pelajaran akan mempelajari
dengan sungguh-sungguh karena ada daya tarik baginya.
(e) Motivasi
Menurut Slameto (2003:58) bahwa motivasi erat sekali hubungannya
dengan tujuan yang akan dicapai dalam belajar, di dalam menentukan
tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi untuk mencapai tujuan
itu perlu berbuat, sedangkan yang menjadi penyebab berbuat adalah
motivasi itu sendiri sebagai daya penggerak atau pendorongnya.
(f) Kematangan
72
Menurut Slameto (2003:58) bahwa kematangan adalah sesuatu tingkah
atau fase dalam pertumbuhan seseorang di mana alat-alat tubuhnya
sudah siap melaksanakan kecakapan baru.
Berdasarkan pendapat di atas, maka kematangan adalah suatu organ
atau alat tubuhnya dikatakan sudah matang apabila dalam diri makhluk
telah mencapai kesanggupan untuk menjalankan fungsinya masing-
masing kematang itu datang atau tiba waktunya dengan sendirinya,
sehingga dalam belajarnya akan lebih berhasil jika anak itu sudah siap
atau matang untuk mengikuti proses belajar mengajar.
(g) Kesiapan
Kesiapan menurut James Drever (dalam Slameto, 2003:59) adalah
preparedes to respon or react, artinya kesediaan untuk memberikan
respon atau reaksi.
Jadi, dari pendapat di atas dapat diasumsikan bahwa kesiapan siswa
dalam proses belajar mengajar, sangat mempengaruhi hasil belajar
siswa, dengan demikian hasil belajar siswa dapat berdampak positif
bilamana siswa itu sendiri mempunyai kesiapan dalam menerima suatu
mata pelajaran dengan baik.
(3) Faktor kelelahan
Ada beberapa faktor kelelahan yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa
antara lain dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani dan
kelelahan rohani. Sebagaimana dikemukakan oleh Slameto (1995:59) sebagai
berikut:
73
“Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan
timbul kecendrungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan
jasmani terjadi karena ada substansi sisa pembakaran di dalam
tubuh, sehingga darah kurang lancar pada bagian tertentu.
Sedangkan kelelahan rohani dapat terus menerus karena
memikirkan masalah yang berarti tanpa istirahat, mengerjakan
sesuatu karena terpaksa, tidak sesuai dengan minat dan perhatian”.
Dari uraian di atas maka kelelahan jasmani dan rohani dapat
mempengaruhi hasil belajar dan agar siswa belajar dengan baik haruslah
menghindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam belajarnya seperti lemah
lunglainya tubuh. Sehingga perlu diusahakan kondisi yang bebas dari
kelelahan rohani seperti memikirkan masalah yang berarti tanpa istirahat,
mengerjakan sesuatu karena terpaksa tidak sesuai dengan minat dan
perhatian. Ini semua besar sekali pengaruhnya terhadap pencapaian hasil
belajar siswa. Agar siswa selaku pelajar dengan baik harus tidak terjadi
kelelahan fisik dan psikis.
b) Faktor yang berasal dari luar (faktor ekstern)
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap hasil belajar dapatlah
dikelompokkan menjadi tiga faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah dan
faktor masyarakat (Slameto, 1995:60).
(1) Faktor keluarga
74
Faktor keluarga sangat berperan aktif bagi siswa dan dapat mempengaruhi
dari keluarga antara lain: cara orang tua mendidik, relasi antara anggota
keluarga, keadaan keluarga, pengertian orang tua, keadaan ekonomi keluarga,
latar belakang kebudayaan dan suasana rumah.
(a) Cara orang tua mendidik
Cara orang tua mendidik besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar
anak, hal ini dipertegas oleh Wirowidjojo (dalam Slameto, 2003:60)
mengemukakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang
pertama dan utama. Keluarga yang sehat besar artinya untuk mendidik
dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan mutu pendidikan dalam
ukuran besar yaitu pendidikan bangsa dan negara.
Dari pendapat di atas dapat dipahami betapa pentingnya peranan keluarga
di dalam pendidikan anaknya. Cara orang mendidik anaknya akan
berpengaruh terhadap belajarnya.
(b) Relasi antar anggota keluarga
Menurut Slameto (2003:60) bahwa yang penting dalam keluarga adalah
relasi orang tua dan anaknya. Selain itu juga relasi anak dengan
saudaranya atau dengan keluarga yang lain turut mempengaruhi belajar
anak. Wujud dari relasi adalah apakah ada kasih sayang atau kebencian,
sikap terlalu keras atau sikap acuh tak acuh, dan sebagainya.
(c) Keadaan keluarga
Menurut Hamalik (2007:160) mengemukakan bahwa keadaan keluarga
sangat mempengaruhi hasil belajar anak karena dipengaruhi oleh
75
beberapa faktor dari keluarga yang dapat menimbulkan perbedaan
individu seperti kultur keluarga, pendidikan orang tua, tingkat ekonomi,
hubungan antara orang tua, sikap keluarga terhadap masalah sosial dan
realitas kehidupan.
Berdasarkan pendapat di atas bahwa keadaan keluarga dapa
mempengaruhi hasil belajar anak sehingga faktor inilah yang
memberikan pengalaman kepada anak untuk dapat menimbulkan
prestasi, minat, sikap dan pemahamannya sehingga proses belajar yang
dicapai oleh anak itu dapat dipengaruhi oleh orang tua yang tidak
berpendidikan atau kurang ilmu pengetahuannya.
(d) Pengertian orang tua
Menurut Slameto (2003:64) bahwa anak belajar perlu dorongan dan
pengertian orang tua. Bila anak sedang belajar jangan diganggu dengan
tugas-tugas rumah. Kadang-kadang anak mengalami lemah semangat,
orang tua wajib memberi pengertian dan mendorongnya sedapat mungkin
untuk mengatasi kesulitan yang dialaminya.
(e) Keadaan ekonomi keluarga
Menurut Slameto (2003:63) bahwa keadaan ekonomi keluarga erat
hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain
terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makanan, pakaian,
perlindungan kesehatan, dan lain-lain, juga membutuhkan fasilitas belajar
seperti ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis menulis, dan
sebagainya.
76
(f) Latar belakang kebudayaan
Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi
sikap anak dalam belajar (Roestiyah, 1986:156). Oleh karena itu perlu
kepada anak ditanamkan kebiasaan-kebiasaan baik, agar mendorong
tercapainya hasil belajar yang optimal.
(g) Suasana rumah
Suasana rumah sangat mempengaruhi hasil belajar, hal ini sesuai dengan
pendapat Slameto (2003:63) yang mengemukakan bahwa suasana rumah
merupakan situasi atau kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga di
mana anak-anak berada dan belajar. Suasana rumah yang gaduh, bising
dan semwarut tidak akan memberikan ketenangan terhadap diri anak
untuk belajar.
Suasana ini dapat terjadi pada keluarga yang besar terlalu banyak
penghuninya. Suasana yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok,
pertengkaran antara anggota keluarga yang lain yang menyebabkan anak
bosan tinggal di rumah, suka keluar rumah yang akibatnya belajarnya
kacau serta prestasinya rendah.
(2) Faktor sekolah
Faktor sekolah dapat berupa cara guru mengajar, ala-alat pelajaran,
kurikulum, waktu sekolah, interaksi guru dan murid, disiplin sekolah, dan
media pendidikan, yaitu :
(a) Guru dan cara mengajar
77
Menurut Purwanto (2010) faktor guru dan cara mengajarnya merupakan
faktor penting, bagaimana sikap dan kepribadian guru, tinggi rendahnya
pengetahuan yang dimiliki oleh guru, dan bagaimana cara guru itu
mengajarkan pengetahuan itu kepada anak-anak didiknya turut
menentukan hasil belajar yang akan dicapai oleh siswa. Sedangkan
menurut Nana Sudjana (dalam Djamarah, 1994) mengajar pada
hakikatnya adalah suatu proses , yaitu proses mengatur, mengorganisasi
lingkungan yang ada disekitar anak didik, sehingga dapat menumbuhkan
dan mendorong anak didik melakukan proses belajar.
Dalam kegiatan belajar, guru berperan sebagai pembimbing. Dalam
perannya sebagai pembimbing, guru harus berusaha menhidupkan dan
memberikan motivasi, agar terjadi proses interaksi yang kondusif.
Dengan demikian cara mengajar guru harus efektif dan dimengerti oleh
anak didiknya, baik dalam menggunakan metode, tehnik ataupun metode
dalam mengajar yang akan disampaikan kepada anak didiknya dalam
proses belajar mengajar dan disesuaikan dengan konsep yang diajarkan
berdasarkan kebutuhan siswa dalam proses belajar mengajar.
(b) Metode
Metode sangat penting dan berpengaruh sekali terhadap hasil belajar
siswa, terutama pada pelajaran IPS. Dalam hal ini metode yang
digunakan oleh guru tidak hanya terpaku pada satu metode saja, akan
tetapi harus bervariasi yang disesuaikan dengan konsep yang diajarkan
dan sesuai dengan kebutuhan siswa, terutama pada guru IPS. Dimana
78
guru IPS harus bisa menilih dan menentukan metode yang tepat untuk
digunakan dalam pembelajaran.
(c) Alat-alat pelajaran
Untuk dapat hasil yang sempurna dalam belajar, alat-alat belajar adalah
suatu hal yang tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan hasil belajar
siswa, misalnya perpustakaan, laboratorium, dan sebagaianya.
Menurut Purwanto (2010) menjelaskan bahwa sekolah yang cukup
memiliki alat-alat dan perlengkapan yang diperlukan untuk belajar
ditambah dengan cara mengajar yang baik dari guru-gurunya, kecakapan
guru dalam menggunakan alat-alat itu, akan mempermudah dan
mempercepat belajar anak.
(d) Kurikulum
Kurikulum diartikan sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa,
kegiatan itu sebagian besar menyajikan bahan pelajaran agar siswa
menerima, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu. Menurut
Slameto (2003:63) bahwa kurikulum yang tidak baik akan berpengaruh
tidak baik terhadap proses belajar maupun hasil belajar siswa.
(e) Waktu sekolah
Waktu sekolah adalah waktu terjadinya proses belajar mengajar di
sekolah, waktu sekolah dapat pagi hari, siang, sore bahkan malam hari.
Waktu sekolah juga mempengaruhi belajar siswa (Slameto, 2003:68).
79
(f) Interaksi guru dan murid
Menurut Roestiyah (1986:151) bahwa guru yang kurang berinteraksi
dengan murid secara intim, menyebabkan proses belajar mengajar itu
kurang lancar. Oleh karena itu, siswa merasa jenuh dari guru, maka segan
berpartisipasi secara aktif di dalam belajar.
(g) Disiplin sekolah
Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam
sekolah dan juga dalam belajar (Slameto, 2003:67). Kedisiplinan sekolah
ini misalnya mencakup kedisiplinan guru dalam mengajar dengan
pelaksanaan tata tertib, kedisiplinan pengawas atau karyawan dalam
pekerjaan administrasi dan keberhasilan atau keteraturan kelas, gedung
sekolah, halaman, dan lain-lain.
(h) Media pendidikan
Kenyataan saat ini dengan banyaknya jumlah anak yang masuk sekolah,
maka memerlukan alat-alat yang membantu lancarnya belaajr anak dalam
jumlah yang besar pula (Roestiyah, 1986:152). Media pendidikan ini
misalnya seperti buku-buku di perpustakaan, laboratorium atau media
lainnya yang dapat mendukung tercapainya hasil belajar dengan baik.
(3) Faktor Lingkungan Masyarakat
Faktor yang mempengaruhi terhadap hasil belajar siswa antara lain teman
bergaul, kegiatan lain di luar sekolah dan cara hidup di lingkungan
keluarganya.
(a) Kegiatan siswa dalam masyarakat
80
Menurut Slameto (2003:70) mengatakan bahwa kegiatan siswa dalam
masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya.
Tetapi jika siswa ambil bagian dalam kegiatan masyarakat yang telalu
banyak misalnya berorganisasi, kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain,
belajarnya akan terganggu, lebih-lebih jika tidak bijaksana dalam
mengatur waktunya.
(b) Teman Bergaul
Anak perlu bergaul dengan anak lain, untik mengembangkan
sosialisasinya. Tetapi perlu dijaga jangan sampai mendapatkan teman
bergaul yang buruk perangainya. Perbuatan tidak baik mudah
berpengaruh terhadap orang lain, maka perlu dikontrol dengan siapa
mereka bergaul.
Menurut Slameto (2003:73) agar siswa dapat belajar, teman bergaul yang
baik akan berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya,
teman bergaul yang jelek perangainya pasti mempengaruhi sifat
buruknya juga, maka perlu diusahakan agar siswa memiliki teman
bergaul yang baik-baik dan pembinaan pergaulan yang baik serta
pengawasan dari orang tua dan pendidik harus bijaksana.
(c) Cara Hidup Lingkungan
Cara hidup tetangga disekitar rumah di mana anak tinggal, besar
pengaruh terhadap pertumbuhan anak (Roestiyah, 1986:155). Hal ini
misalnya anak tinggal di lingkungan orang-orang rajib belajar, otomatis
anak tersebut akan berpengaruh rajin juga tanpa disuruh.
81
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini,
diantaranya adalah hasil penelitian oleh Syawal Simatupang (2007) yang berjudul
Pengaruh Penerapan Metode Pembelajaran Bermain Peran Terhadap Kompetensi
Sosial Kognitif Siswa dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (Studi kuasi
Eksperimen pada Sekolah Dasar Negeri SL Dan sekolah Dasar Negeri CG -
Bandung) menyatakan bahwa (1) Penerapan pembelajaran metode bermain peran
dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran;
(2) Pengaruh penerapan metode pembelajaran bermain peran terhadap kompetensi
sosial kognitif siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional
menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Penlitian oleh Diyah Retno Palupi (2010) yang berjudul Penerapan
Strategi Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Untuk Meningkatkan
Kemampuan Apresiasi Drama yang menunjukkan bahwa Penggunaan strategi
bermain peran (role playing) dalam pembelajaran apresiasi drama sangat cocok
digunakan. Karena dengan strategi ini siswa dapat memerankan masing-masing
tokoh dalam drama dengan sebaik-baiknya dan dapat meningkatkan keterampilan
berbicara siswa serta meningkatkan kreativitas siswa.
Penelitian yang lain, oleh Gulmah Sugiharti dengan judul Penerapan
Metode Bermain Peran pada Pembelajaran Struktur Atom di Kelas X SMA N 1
Medan Tahun Pelajaran 2008/2009 dengan hasil penelitian menyatakan bahwa
rata-rata keberhasilan belajar siswa yang diajar dengan Metode Bermain Peran
82
lebih tinggi dari pada rata-rata keberhasilan belajar siswa dengan metode
konvensional.
Penelitian terkait lainnya, oleh Chothibul Umam (2011) yang berjudul
Improving the Students’ Speaking Ability through Role-Playing Technique.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa keterampilan berbicara siswa
meningkat secara signifikan dari satu siklus ke siklus berikutnya. Ini bisa dilihat
dari hasil di tiap siklus. Kemampuan berbicara siswa meningkat hingga mampu
mencapai paling tidak tingkat baik (good) di siklus pertama dan keterampilan
berbicara siswa meningkat juga di siklus kedua. Rasa percaya diri siswa
meningkat di siklus pertama dan di siklus kedua.
Relevansi hasil penelitian di atas dengan penelitian yang akan
dilaksanakan adalah peneliti berasumsi bahwa dengan Metode Bermain Peran,
dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa dan secara tidak langsung akan
meningkatkan kreativitas yang dimiliki oleh masing-masing siswa dalam
menuangkan ide serta gagasan pada kegiatan pembelajaran di semua mata
pelajaran, khususnya pelajaran Bahasa Indonesia.
Berdasarkan temuan tersebut, maka penciptaan suasana psikologis kelas
pembelajaran IPS Sekolah Dasar yang konstruktivistik tidak hanya melakukan
penataan terhadap kualitas relasi interpersonal antara guru - siswa, melainkan pula
diperlukan penataan terhadap komponen-komponen siswa, kelas, maupun sistem
administrasi guru dalam suatu kaitan yang terpadu. Namun satu hal yang harus
tetap menjadi “concern” dilihat dari paradigma konstruktivisme adalah “sisi
siswa”, yaitu bagaimana minat, perhatian, kesiapan, dan konsentrasi belajar siswa
83
bisa ditingkatkan sehingga kelelahan atau kejenuhan belajar dapat diantisipasi,
dan mereka mampu secara mandiri membangun pengertian, nilai, sikap dan
tindakannya, dalam latar kehidupan kelas. Diskusi dan rekonstruksi akan
difokuskan pada persoalan tersebut.
Relevansi hasil penelitian di atas dengan penelitian yang akan
dilaksanakan adalah sama-sama akan melihat pengaruh penerapan metode role
playing dalam pembelajaran, khususnya pada mata pelajaran IPS di sekolah dasar.
Relevansi yang lain juga memiliki harapan yang sama tentang merekonstruksi
kembali iklim sosial di masyarakat dengan memulai perbaikan tersebut dari
lingkup kecil yaitu kelas dan sekolah menuju lingkup yang lebih luas yaitu
masyarakat umum.
2.3 Kerangka Berpikir
1. Perbedaan sikap sosial antara siswa yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional pada mata pelajaran IPS kelas IV SD.
Pada metode role playing, siswa berarti memerankan sebuah peran.
Setiap kali seseorang berbicara dalam situasi yang berbeda, berarti siswa
memerankan peran yang berbeda pula. Sebagai contonya, seorang guru ketika
sedang berbicara di depan kelas, maka dia berperan sebagai guru dan tentu saja
akan mengubah serta menggunakan bahasa yang berbeda ketika dia berbicara di
hadapan dosen sebagai mahasiswa. Melalui metode ini, siswa akan memerankan
berbagai tokoh sesuai dengan topic yang diberikan. Topik yang berbeda dan
seringnya mereka berbicara akan menuntut siswa untuk menggunakan bahasa
yang berbeda, sehingga secara tidak langsung kosakata, palafalan, intonasi,
84
pilihan kata, ungkapan dan penyusunan kalimat lisan akan meningkat dengan
cepat. Siswa akan lebih berani mengungkapkan pendapat melalui pengalaman
belajar yang didapat.
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa
dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Pada pola
pembelajaran konvensional, kegiatan proses belajar mengajar lebih sering
diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa atau dalam proses
pembelajarannya hanya sekedar transfer ilmu dari guru kepada siswa saja,
sehingga dalam pembelajaran metode konvensional, kurang memperhatikan aspek
sikap sosial atau interaksi sosial siswa, interaksi yang terjadi hanya satu arah saja,
yaitu interaksi guru dan siswa. Dalam pembelajaran konvensional, guru di sekolah
umumnya memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kepada para
siswa tanpa memperhatikan prakonsepsi siswa atau gagasan-gagasan yang telah
ada dalam diri siswa (prior knowledge) sebelum mereka belajar secara formal di
sekolah. Jadi pada dasarnya pembelajaran metode konvensional yang masih sering
digunakan guru dalam perencanaan dan proses pembelajaran, belum menunjukkan
adanya interaksi siswa, baik secara fisik dan mental.
Berdasarkan alur pikir tersebut, maka dengan menerapkan metode role
playing dalam pembelajaran khususnya pada mata pelajaran IPS, diharapkan
dapat meningkatkan sikap sosial siswa dalam melakukan hubungan di lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
85
2. Perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional pada mata pelajaran IPS kelas IV SD.
Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, baik aktif fisik dan
mental, akan membantu dan memudahkan siswa dalam memahami dan mengingat
apa yang sedang dan telah mereka pelajari di kelas, serta sekaligus dapat
digunakan sebagai pedoman atau dasar dalam kehidupan mereka sehari-hari di
masyarakat. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh pihak guru selama ini masih
menggunakan paradigma lama yaitu teacher center, guru masih mendominasi
kegiatan pembelajaran dan belum melibatkan siswa dalam interaksi belajar
sehingga aktivitas fisik dan mental sosial siswa belum optimal.
Melalui metode role playing, siswa cenderung terlibat aktif pada proses
belajar mengajar. Metode ini juga melibatkan unsur senang di dalamnya yang
diduga akan mampu membangkitkan motivasi siswa dan membangkitkan
keberanian siswa dalam berbicara sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
hasil belajar siswa. Selain itu, Metode role playing memberikan kebebasan dan
keleluasaan pada siswa untuk mengembangkan ide mereka tanpa takut disalahkan
pada saat mereka performance. Berkurangnya rasa takut otomatis akan
memberikan mereka rasa percaya diri untuk mengungkapkan ide mereka,
sehingga secara tidak langsung mereka akan meningkatkan hasil belajarnya.
Pada proses pembelajaran dengan metode konvensional, guru masih
cenderung menjejali siswa dengan penghafalan materi, dan kurang memberi
kesempatan siswa dalam menemukan dan mengembangkan pengetahuannya.
Disamping itu, kreatifitas guru dalam menciptakan kondisi yang mengarahkan
86
siswa agar mampu mengintegrasikan konstruksi pengalaman kehidupannya
sehari-hari di luar kelas dengan konstruksi pengetahuannya di kelas kurang
terlihat. Hal ini mengakibatkan siswa lebih banyak menghafalkan fakta dan
konsep, sehingga pembelajaran IPS di sekolah dasar menjadi kurang menarik,
membosankan, dan siswa terbiasa mengkonsumsi pengetahuan pada akhirnya
siswa sulit mengkonstruksi pengetahuannya untuk berpikir kreatif dan kritis.
Kesulitan tersebut juga berdampak pada tingkat hasil belajar siswa yang menurun.
Jadi pada dasarnya pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif,
baik aktif fisik dan mental, akan membantu dan memudahkan siswa dalam
memahami sebuah konsep selama proses dan setelah proses pembelajaran. Maka
dari itu dengan menerapkan pembelajaran metode role playing diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
3. Perbedaan sikap sosial dan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional pada siswa kelas IV SD.
Metode role playing adalah metode yang membawa suasana dan
keadaan pada kehidupan sehari-hari di masyarakat ke dalam pembelajaran di
kelas. Dalam penerapan metode ini, sudah tentu akan menimbulkan banyak
kejadian lucu dan menarik perhatian. Disamping itu, metode role playing
memberikan kelakuasaan pada siswa untuk mengembangkan ide mereka tanpa
takut disalahkan pada saat melakukan performance. Hal-hal ini diharapkan
mampu meningkatkan hasil belajar siswa namun juga dapat memberikan
kesempatan untuk mengembangkan sikap sosial siswa untuk bersosialisasi.
87
Pembelajaran dengan metode konvensional merupakan metode yang
paling sering dilakukan oleh guru-guru selama proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran dengan metode konvensional ini iklim sosial pada diri peserta didik
dalam proses pembelajaran masih sangat minim, sehingga sikap sosial yang
dimiliki anak masih sangat rendah dan kurang tampak dalam proses pembelajaran.
Anak kurang melakukan komunikasi serta hubungan kerjasama dengan sesama
siswa, sehingga di dalam proses pembelajaran yang dilakukan kurang
mengembangkan sikap sosial yang ada pada diri siswa. Hal ini disebabkan karena
guru masih cenderung mengajar dengan menggunakan metode ceramah, tanya
jawab dan dalam proses pembelajaran guru hanya sekedar mentransfer ilmu
kepada siswa saja. Hal ini mengakibatkan siswa lebih banyak menghafalkan fakta
dan konsep tanpa melihat dan merasakan aplikasi yang ada dalam memecahkan
masalah atau hal yang terjadi dilingkungannya, sehingga pembelajaran IPS di
sekolah dasar menjadi kurang menarik, membosankan, dan siswa terbiasa
mengkonsumsi pengetahuan pada akhirnya siswa sulit mengkonstruksi
pengetahuannya untuk berpikir kreatif dan kritis. Kesulitan tersebut akan
berdampak pada tingkat hasil belajar siswa yang menurun.
Peran aktif siswa dan kerjasama siswa selama proses pembelajaran
merupakan salah satu iklim ketercapaian pembelajaran IPS. Peran aktif siswa dan
kerjasama siswa dalam mengangkat masalah sosial nyata dalam pembelajaran IPS
sangat berpengaruh terhadap daya pikir siswa terhadap setiap permasalahan yang
muncul di masyarakat, serta dapat mengembangkan dan meningkatkan sikap
sosial yang dimiliki oleh siswa. Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif,
88
baik aktif fisik dan mental, juga akan membantu dan memudahkan siswa dalam
memahami sebuah konsep selama proses dan setelah proses pembelajaran
sehingga dapat berdampak pada meningkatnya hasil belajar siswa.
2.4 Perumusan Hipotesis
Berdasarkan kajian teori serta kerangka berpikir pada penelitian ini,
maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai berikut.
1. Terdapat perbedaan sikap sosial antara siswa yang mengikuti metode role
playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional pada mata
pelajaran IPS kelas IV SD.
2. Terdapat perbedaan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti metode
role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional pada siswa
kelas IV SD.
3. Secara simultan terdapat perbedaan sikap sosial dan hasil belajar IPS antara
siswa yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang mengikuti
metode konvensional pada siswa kelas IV SD.
89
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen, yang mana
menurut Tuckman (dalam Riduwan, 2010) penelitian eksperimen adalah suatu
penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel
yang lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat. Hal ini ditegaskan lagi oleh
pendapat Dantes (2012:85) yang menyatakan bahwa penelitian eksperimental
(experimental research) pada umumnya menuntut kontrol yang ketat pada
pengaruh variabel lain di luar variabel perlakuan (treatment).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap sosial dan hasil belajar
IPS siswa kelas IV melalui metode role playing. Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi eksperiment), yaitu suatu
penelitian yang masih memungkinkan variabel-variabel selain variabel bebas ikut
berpengaruh terhadap variabel terikat dan hal ini juga terlihat dari kelas
eksperimen yang dirandomisasi untuk menentukan sampel guna ditempatkan
dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Lebih lanjut Sugiyono (2008)
menyatakan bahwa Quasi Eksperiment Design mempunyai kelompok kontrol,
tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar
yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Desain penelitian yang digunakan
adalah desain penelitian eksperimental semu (quasi) dengan pola dasar “The
Posttest-Only Control Group Design”. Rancangan penelitian Post-test Only
89
90
Control Group Design merupakan rancangan yang hanya memperhitungkan skor
post-tes saja yang dilakukan pada akhir penelitian atau dengan kata lain tanpa
memperhitungkan skor pre tes. Desain bentuk Posttest Only Control Group
Design menggunakan pembanding. Pengelompokkan dilakukan secara random,
tanpa diadakan prates (Dantes, 2012:96). Rancangan penelitian tertera seperti
Tabel 3.1. dibawah.
Tabel 3.2. Rancangan eksperimen The Posttest-Only Control Group Design
Keterangan.
R1 : pembelajaran dengan menggunakan metode role playing.R2 : pembelajaran dengan menggunakan metode
konvensional x : perlakuan (treatment)O1 : posttest sikap sosialO2 : posttest hasil belajar
Pada penelitian ini metode role playing dilawankan dengan metode
konvensional terhadap sikap sosial dan hasil belajar IPS siswa pada pembelajaran
IPS SD. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut.
R1 X O1
R2 - O2
91
(Variabel Independen) (Variabel Dependen)
Gambar 3.1. Hubungan antara Variabel Independen dengan Dependen
Rancangan ini memberikan gambaran bahwa sampel penelitian
diperoleh dari hasil randomisasi serta perlakuan yang diberikan melalui dua
metode, yaitu metode role playing terhadap kelompok eksperimen dan metode
konvensional untuk kelompok kontrol.
Desain rancangan eksperimen pada penelitian ini menggunakan dua
kelompok, yaitu kelompok eksperimen (experiment group) dan kelompok kontrol
(control group). Pelaksanaan penelitian diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu:
materi pembelajaran, metode dan waktu pelaksanaan. Metode pada penelitian ini
adalah metode role playing, sebagai kelompok eksperimen dan metode
konvensional sebagai kelompok kontrol. Materi pembelajaran yang dipilih
terlebih dahulu dikaji karakteristiknya guna dipadukan pada pembelajaran metode
role playing, yang kemudian dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP).
Pelaksanaan pembelajaran dilakukan 10 kali pertemuan 1 kali posttest
masing-masing tentang sikap sosial dan hasil belajar IPS. Pemberian posttest
Pembelajaran dengan metode role playing
Sikap Sosial
Hasil belajar IPSPembelajaran dengan Metode Konvensional
92
untuk mengukur sikap sosial dan penilaian hasil belajar IPS siswa dilakukan
setiap akhir penelitian. Guru yang mengajar dalam pelaksanaan pembelajaran
adalah peneliti dan guru pengajar di kelas tersebut.
Rincian dan jadwal pelajaran disesuaikan dengan sekolah. Bobot
pelajaran adalah 2 jam pelajaran 2 kali setiap minggu. Setiap 1 jam pelajaran
terdiri dari 35 menit. Berikut tiga tahapan rancangan penelitian ini, yaitu:
a. Tahap persiapan, meliputi: analisis kurikulum, analisis materi, merancang
RPP, dan merancang evaluasi (prosedur, instrumen, kunci jawaban, pedoman
evaluasi).
b. Tahap pelaksanaan, meliputi: kegiatan pembelajaran di kelas dengan metode
role playing pada kelas eksperimen dan metode konvensional pada kelas
kontrol.
c. Tahap analisis, meliputi: melakukan kegiatan evaluasi, analisis sikap sosial
dan hasil belajar IPS pada kelas/kelompok siswa yang mengikuti metode role
playing dan metode konvensional dalam pembelajaran.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi dapat didefinisikan sebagai jumlah kasus yang memenuhi
seperangkat kriteria tertentu, yang ditentukan peneliti. Kasus-kasus bisa berbentuk
peristiwa-peristiwa, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya (Dantes,
2012:37). Sugiyono (2011:61) mendefinisikan populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas objek, subjek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
93
ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah di kelas IV Gugus I
Busungbiu. Adapun sebaran banyaknya siswa kelas IV SD Gugus I Kecamatan
Busungbiu adalah sebagai berikut.
Tabel 3.2 Sebaran Jumlah Siswa Kelas IV SD Gugus I Kecamatan Busungbiu
NO SEKOLAH KELASJUMLAH SISWA
L P JML
1. SDN 3 Busungbiu IV 14 11 25
2. SDN 4 Busungbiu IV 12 11 23
3. SDN 5 Busungbiu IV 9 12 21
4. SDN 6 Busungbiu IV 14 7 21
5. SDN 8 Busungbiu IV 7 5 12
6. SDN 9 Busungbiu IV 12 10 22
TOTAL 68 56 124
2. Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (Sugiono, 2011). Sampel pada penelitian ini dilakukan tanpa adanya
pengacakan individu, cara ini dipilih dengan mempertimbangkan sulitnya untuk
merubah kelas yang sudah terbentuk. Kelas dipilih sebagaimana yang telah
terbentuk tanpa adanya campur tangan dari peneliti. Pemilihan cara ini juga
berimplikasi pada subjek penelitian sehingga kemungkinan pengaruh-pengaruh
dari keadaan subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam eksperimen dapat
dikurangi sehingga penelitian ini benar-benar menggambarkan pengaruh dari
perlakuan yang diberikan.
94
Berdasarkan dari karakteristik populasi dan tidak bisa dilakukan
pengacakan individu, maka pengambilan sampel pada penelitian ini dengan teknik
group random sampling. Teknik group random sampling merupakan suatu cara
pengambilan sampel secara acak, dimana sampel diambil berdasarkan kelas bukan
individu (Arikunto, 2006: 142). Kemudian dipilih secara acak satu kelas sebagai
kelompok eksperimen dan satu kelas sebagai kelompok kontrol.
Berkenaan dengan teknik group random sampling yang telah
dikemukakan, sebelum pengambilan dua kelas secara acak, terlebih dahulu
dilakukan uji kesetaraan. Data rerata hasil tes kesetaraan kelas eksperimen dan
kelas kontrol tersebut dilakukan analisis dengan uji beda rerata antar kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Data dianalisis dengan uji beda (uji t) polled
varian, uji-t dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan skor rerata
hasil tes materi IPS antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol, disamping itu
untuk meyakinkan bahwa kelas yang dijadikan sampel penelitian merupakan kelas
yang setara.
Uji kesetaraan yang dilakukan menggunakan bantuan SPSS 17.0 for
windows dengan signifikansi 5%. Jika angka signifikansi hitung kurang dari 0,05
maka kelas tersebut tidak setara. Sedangkan jika angka signifikansi hitung lebih
besar dari 0,05 maka kelas tersebut setara.
Berdasarkan uji kesetaraan menggunakan analisis anava satu jalan
didapatkan F hitung 0,702. Pada taraf signifikansi 5% didapatkan F tabel sebesar
2,29.Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel
sehingga seluruh kelas dalam penelitian ini memiliki kemampuan yang setara.
95
Berdasarkan data hasil uji kesetaraan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa seluruh siswa kelas IV SD Gugus I Kecamatan Busungbiu
memiliki kemampuan yang setara. Dalam menunjuk kelas eksperimen dan kelas
kontrol, peneliti melakukan sistem undian. Berdasarkan sistem undian yang telah
dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa SDN 5 Busungbiu dan SDN 6
Busungbiu sebagai kelompok eksperimen dengan jumlah siswa 42 orang dan SDN
4 Busungbiu dan SDN 9 Busungbiu sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa
45 orang. Jadi jumlah keseluruhan sampel 87 orang siswa.
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Variabel
3.3.1 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi variabel
bebas (X) dan variabel terikat (Y). Variabel bebas pada penelitian ini adalah
metode role playing yang dilaksanakan pada kelompok eksperimen dan metode
konvensional yang dilaksanakan pada kelompok kontrol. Sedangkan variabel
terikat pada penelitian ini adalah sikap sosial (Y1) dan hasil belajar IPS (Y2).
3.3.2 Definisi Variabel
1) Metode Role Playing
a) Definisi Konsep
Metode Bermain Peran adalah metode pembelajaran yang didalamnya
terdapat tujuan serta aturan yang sekaligus melibatkan unsur senang di dalamnya.
Metode Bermain Peran ini, mengkondisikan siswa pada situasi tertentu di dalam
kelas yang diambil dari kehidupan social masyarakat dan kemudian dijadikan
96
sebagai topik pembelajaran di dalam kelas. Metode Bermain Peran, menurut
Sudjana (1983:78-79) adalah suatu kegiatan belajar yang menekankan pada
kemampuan penampilan warga belajar untuk memerankan suatu status atau fungsi
pihak-pihak lain yang terdapat pada dunia kehidupan. Tujuan yang diharapkan
dengan menggunakan metode bermain peran ini, antara lain: agar siswa dapat
menghayati dan menghargai perasaan orang lain, dapat belajar bagaimana
membagi tanggung jawab, dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam
situasi kelompok secara spontan dan merangsang kelas untuk berpikir dan
memecahkan masalah. Sehingga Metode Bermain Peran diartikan sebagai salah
satu metode yang dapat menyajikan bahan pelajaran dengan cara memainkan
peranan dan mendramatisasikan suatu situasi social yang mengandung suatu
problem, dengan harapan agar peserta didik dapat memecahkan masalah yang
dihadapi dalam hubungan social dengan orang-orang di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat.
Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) menyatakan bahwa terdapat empat
asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan
perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan metode-metode
mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut adalah (1) mendukung suatu situasi
belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi
‘’di sini pada saat ini’’. Metode ini percaya bahwa sekelompok peserta didik
dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. (2)
bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan
perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. (3) emosi
97
dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui
proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa
saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dan
(4) proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system
keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara
spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya
yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu
dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit
untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk
memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi
masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah
siswa bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang
pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran,
siswa berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran tertentu sesuai
dengan tema yang dipilih.
b) Definisi Operasional
Metode Bermain Peran dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas
dimana dalam pembelajarannya membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar
kelas dan memainkan peran orang lain.
Adapun sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman
dalam pembelajaran adalah sebagai berikut (shaftel dalam Munandar):
(1) Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik
98
Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik
terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita
dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan.
Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan
masalah itu hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui
bagaimana masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan
peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta
memungkinkan berbagai alternative pemecahan. Tahap ini lebih banyak
dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah
karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling
menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik
menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.
(2) Memilih partisipan/peran
Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru
mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka,
bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian
para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran.
jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat
menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan
posisi tertentu.
99
(3) Menyusun tahap-tahap peran
Menyususn tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-
garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog
khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara
spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan
mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah
tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk
menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan
mereka siap untuk memainkannya.
(4) Menyiapkan pengamat
Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan
terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut
mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif
mendiskusikannya. Menurut Sharfel dan Shaftel (1967), agar pengamat turut
terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang
dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan
perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran
yang dimainkan?
(5) Pemeranan
Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara
spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan
setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain peran
tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus
100
dikatakan akan ditunjukkan. Shaftel dan Shfatel (1967) mengemukakan bahwa
pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan
kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang
dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Pemeranan dapat
berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang
seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Adakalanya para peserta
didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah mamakan waktu
yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran
dihentikan. Sebaliknya pemeranan dihentikan pada saat terjadinya
pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.
(6) Diskusi dan evaluasi
Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran
dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional
maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para
peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai
dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya
mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat
untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
(7) Pemeranan ulang
Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai
alternative pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut.
Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya
101
pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran
lainnya.
(8) Diskusi dan evaluasi tahap dua
Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama
seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil
pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih
jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah,
meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya.
Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam
menghadapi masalah kehidupan.
(9) Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan
Membagi pengalaman dan pengambilan kesimpulan, tahap ini tidak harus
menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain peran
ialah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalaman berharga
dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan temannya. Mareka
bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini
mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain peran ialah
terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan
bermain peran, yang ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para
peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan
dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta
didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.
102
Jadi dalam penelitian ini mengukur seberapa besar pengaruh penerapan
Metode Pembelajaran Bermain Peran terhadap kemampuan berbicara siswa dan
kreativitas siswa terhadap materi pelajaran IPS kelas IV SD.
2) Metode Konvensional
a) Definisi Konsep
Pembelajaran dengan metode konvensional merupakan pembelajaran
yang biasa dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Pada pola
pembelajaran metode konvensional, kegiatan proses belajar mengajar lebih sering
diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa. Dalam pembelajaran metode
konvensional, guru di sekolah umumnya memfokuskan diri pada upaya
penuangan pengetahuan kepada para siswa tanpa memperhatikan prakonsepsi
(prior knowledge) siswa atau gagasan-gagasan yang telah ada dalam diri siswa
sebelum mereka belajar secara formal di sekolah.
Kegiatan mengajar dalam pembelajaran metode konvensional
cenderung diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa, serta penggunaan
metode ceramah terlihat sangat dominan. Pola mengajar kelihatan baku, yakni
menjelaskan sambil menulis di papan tulis serta diselingi tanya jawab, sementara
itu peserta didik memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat di buku tulis.
Siswa dipandang sebagai individu pasif yang tugasnya hanya mendengarkan,
mencatat, dan menghafal. Pembelajaran yang terjadi pada metode konvensional
berpusat pada guru, dan tidak terjadi interaksi yang baik antara siswa dengan
siswa. Sehingga pembelajaran konvensional lebih cenderung pada pelajaran yang
bersifat hapalan yang mentolerir respon-respon yang bersifat konvergen,
103
menekankan informasi konsep, latihan soal, serta penilaiannya masih bersifat
tradisional dengan paper and pencil test yang hanya menuntut pada satu jawaban
yang benar. Hal tersebut berimplikasi langsung pada proses pembelajaran di kelas
yaitu pada situasi kelas akan menjadi pasif karena interaksi hanya berlangsung
satu arah serta guru kurang memperhatikan dan memanfaatkan dan potensi-
potensi siswa serta gagasan mereka sebagai daya nalar.
b) Definisi Operasional
Pembelajaran dengan metode konvensional memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (1) pendidik yang banyak berbicara di dalam kelas, (2) pembelajaran
banyak ditekankan pada penggunaan buku teks, (3) pendidik jarang memberikan
kesempatan kepada murid untuk bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas yang
mestinya dapat diselesaikan bersama oleh siswa, (4) menyuruh peserta didik
mengerjakan tugas mandiri padahal tugasnya tergolong low level skill yang tidak
menuntut kemampuan berpikir rumit, dan (5) guru kurang menghargai
kemampuan berpikir peserta didik. Kebanyakan pendidik tidak membuat peserta
didik mampu berpikir dengan membiasakan mereka berhadapan dengan isu yang
menantang, dan acapkali meminta murid hanya memberikan satu jawaban yang
benar, (6) Pendidikan di sekolah dirumuskan sebagai dunia yang pasti. Peserta
didik datang ke sekolah untuk tahu hal yang pasti tersebut, dan ini pun
sepenuhnya disediakan oleh guru. Tidak ada kemungkinan bagi siswa untuk
memperoleh sesuatu yang lain yang ingin diketahuinya. Dengan demikian, siswa
akan menganggap guru sebagai sumber informasi dalam pembelajaran di kelas.
104
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, pembelajaran konvensional merupakan
sebuah praktik yang mekanistik dan sederhana menjadi pemberian informasi.
Adapun lima fase dari sintaks pembelajaran dengan metode konvensional adalah
sebagai berikut; fase-1 menyampaikan tujuan dan pembelajaran dan
mempersiapkan siswa, fase-2 mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan,
fase-3 membimbing pelatihan, fase-4 mengecek pemahaman dan memberikan
umpan balik, dan fase-5 memberikan kesempatan untuk melakukan pelatihan
lanjutan dan penerapan.
3) Sikap Sosial
a) Definisi Konsep
Sikap merupakan kesadaran individu yang menentukan perbuatan nyata
dalam kegiatan-kegiatan sosial. Maka sikap sosial adalah kesadaran individu yang
menentukan perbuatan yang nyata, yang berulang-ulang terhadap objek sosial.
Sikap sosial merupakan apresiasi nilai sosial individu dalam kelompok
sebagai hasil komunikasi antara anggota kelompok, (The appreciation of the
social value is an attitude. If it is general in the group, as a result of
communication, it is a social attitude). Sikap sosial adalah masalah yang erat
hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang terdapat dalam kelompok,
dimana individu menjadi anggota atau berhasrat mengadakan hubungan struktural
organisatoris dan atau berhasrat mengadakan hubungan psikologik. Nilai-nilai
sosial merupakan aspek penting dalam sikap sosial yang dijadikan dasar
mengidentifikasi sikap sosial tersebut. Nilai-nilai sosial yang sering dijadikan
105
dasar seseorang dalam berinteraksi adalah : (1) keterbukaan, (2) empati, (3)
komunikasi, (4) kerjasama.
b) Definisi Operasional
Agar dapat diukur dan dijadikan indikator dalam penilaian terhadap sikap
sosial, maka dilakukan pengembangan indikator yang lebih operasional terhadap
nilai-nilai sosial tersebut. Adapun pengembangan yang dilakukan berdasarkan
dimensi atau nilai-nilai yang ada adalah sebagai berikut.
1) Keterbukaan
a) Berterus terang pada teman
b) Bersedia untuk bersikap jujur
c) Menerima dan menghargai perbedaan suku, agama, kepercayaan, ras,
etnis, antar individu
d) Toleransi dan tenggang rasa terhadap orang lain
2) Empati
a) Menunjukkan sikap yang hangat pada teman
b) Merasakan apa yang dirasakan orang lain
c) Peduli terhadap sesama maupun lingkungan sekitarnya
3) Komunikasi
a) Senang berkomunikasi
b) Menciptakan suasana mendukung komunikasi
c) Mampu berbicara dalam forum
d) Santun dalam berbicara
4) Kerjasama
106
a) Tolong menolong
b) Bekerja secara berkelompok
c) Bersahabat
d) Tidak menyinggung orang lain
Nilai-nilai sikap sosial tersebut akan dinilai menggunakan lembar
kuesioner dengan skala likert. Dengan menggunakan skala likert, maka variabel
yang akan diukur dijabarkan menjadi dimensi, dan dijabarkan lagi menjadi
indikator-indikator yang dapat diukur. Akhirnya indikator-indikator yang dapat
diukur ini dapat dijadikan titik tolak untuk membuat item instrumen yang berupa
pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden. Setiap jawaban
dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap yang diungkapkan
dengan kata-kata sebagai berikut:
Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
Sangat Setuju (SS) = 5 Sangat Setuju (SS) = 1
Setuju (S) = 4 Setuju (S) = 2
Kurang Setuju (KS) = 3 Kurang Setuju (KS) = 3
Tidak Setuju (TS) = 2 Tidak Setuju (TS) = 4
Sangat Tidak Setuju (STS) = 1 Sangat Tidak Setuju (STS) = 5
4) Hasil Belajar
a) Definisi Konsep
Hasil belajar merupakan hasil yang telah dicapai atau diperoleh anak
berupa nilai mata pelajaran. Hasil belajar IPS merupakan hasil yang telah dicapai
atau diperoleh anak berupa nilai dalam mata pelajaran IPS.
107
b) Definisi Operasional
Tolak ukur prestasi dan kemajuan belajar siswa dapat dilihat pada
perolehan hasil belajarnya yang berupa nilai mata pelajaran. Hasil belajar yang
konkrit berdasarkan dokumentasi dari berkas dan bukti-bukti hasil pekerjaan
siswa secara utuh, baik menyangkut aspek pengetahuan, sikap maupun
keterampilan tentang sesuatu konsep yang diketahuinya. Diukur dengan
menggunakan skala interval.
3.4 Prosedur Eksperimen
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tahap Awal Eksperimen
a. Tahap persiapan ini dimulai dengan melakukan studi pendahuluan di Kelas
IV Gugus I Busungbiu. Studi pendahuluan yang dilakukan berupa
pengumpulan data hasil belajar siswa yang diperoleh dari guru IPS kelas IV
dan observasi kelas disaat guru melaksanakan proses pembelajaran.
b. Perumusan masalah penelitian yang didapat dari hasil studi pendahuluan.
c. Penemuan solusi dari permasalahan penelitian.
d. Mempersiapkan perangkat pembelajaran berupa soal pretest, posttest, dan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
e. Melakukan validasi instrument penelitian.
f. Merevisi instrumen penelitian.
g. Melakukan uji coba instrumen.
h. Menganalisis data hasil uji coba instrumen (uji coba instrumen sikap sosial,
uji coba instrumen hasil belajar IPS, dan uji reliabilitas instrumen).
108
i. Memberikan soal pretest pada kelas kontrol dan kelas eksperimen.
2. Tahap Pelaksanaan Eksperimen
a. Melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan metode role playing di
kelas eksperimen dan menerapkan metode konvensional di kelas kontrol.
Tahap Persiapan
Persiapan untuk bermain peran: (1) Guru permasalahan yang
mengandung pendangan-pandangan yang berbeda dan kemungkinan
pemecahannya; (2) Guru mengarahkan siswa pada situasi dan masalah
yang akan dihadapi.
Memilih pemain: (1) Guru memilih beberapa siswa untuk dijadikan
sebagai pemain; (2) Guru membagi kelompok pemain paling banyak 5
orang; (3) Guru membagikan peran ke siswa.
Persiapan para pemain: (1) siswa mempersiapkan kelengkapan yang
diperlukan; (2) Siswa sudah memahami apa yang akan dilakukan;
Pelaksanaan
Siswa bermain bebas dari angka dan tingkatan.
Guru mengawasi aktivitas siswa.
Guru memberikan arahan.
Tindak Lanjut
Diskusi: (1) Diskusi tindak lanjut tentang kegiatan yang telah
dilakukan; (2) Menganalisis, menafsirkan, memberi jalan keluar atau
109
merekreasi; (3) Guru melakukan penilaian tentang apa yang telah
dilaksanakan.
Melakukan bermain peran kembali
b. Memberikan soal posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3. Tahap Akhir Eksperimen
a. Memberikan skor dari hasil posttest (posstest tentang sikap sosial dan hasil
belajar IPS) siswa.
b. Menghitung rata-rata hasil posttest siswa.
c. Menghitung standar deviasi siswa.
d. Menguji normalitas data, uji homogenitas varians, dan uji korelasi variabel
terikat.
e. Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis menggunakan MANOVA.
f. Membuat kesimpulan.
3.5 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini akan dikumpulkan dengan menggunakan beberapa
metode pengumpulan data yang disesuaikan dengan tuntutan data dari masing-
masing rumusan permasalahan. Data yang diperoleh haruslah valid dan reliabel,
untuk menunjang penelitian agar berjalan dengan lancar. Berkaitan dengan
rumusan permasalahan pada penelitian ini maka ada dua jenis data yang
diperlukan, yakni sikap sosial siswa dan hasil belajar siswa.
110
Untuk mengumpulkan data sikap sosial dalam pembelajaran IPS
dikumpulkan menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan syarat-syarat
pembuatan instrumen dengan modifikasi dari skala Likert. Sedangkan data
mengenai hasil belajar dikumpulkan dengan memberikan tes pilihan ganda
(objektif) dengan empat pilihan (option). Kuesioner dan tes tersebut kemudian
divalidasi. Untuk lebih jelasnya, teknik pengumpulan data dapat dilihat pada
Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
No Data Teknik Pengumpulan
Data
Instrumen
1. Data sikap sosial Kuesioner Kuesioner sikap sosial siswa dalam pembelajaran berbentuk pertanyaan dengan memberikan tanda (√) pada kolom yang dipilih
2. Data hasil belajar Tes Tes hasil belajar IPS kelas IV berbentuk pilihan ganda
2. Instrumen Penelitian
Penelitian ini penggunaan instrumen sesuai dengan jenis dan sifat data
yang dicari. Kisi-kisi instrumen yang dibuat dengan mempertimbangkan
karakteristik tiap data, penyusunan kisi-kisi yang disusun untuk menjamin
kelengkapan dan validitas instrumen. Kisi-kisi hasil belajar dibuat dengan
berpedoman pada landasan kurikulum yang ada yakni kurikulum KTSP 2006
menyangkut standar kompetensi, kompetensi dasar, aspek materi dan
indikatornya. Kisi-kisi instrumen penelitian yaitu instrumen sikap sosial dibuat
sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada grand teory dari sikap sosial dan
111
mengacu pada materi IPS kelas IV SD. Sebelum instrumen digunakan, terlebih
dahulu dilakukan expert judgment oleh dua orang pakar guna mendapatkan
kualitas tes yang baik.
1) Konsepsi Instrumen
a) Konsepsi Sikap Sosial
Sikap sosial adalah apresiasi nilai sosial individu dalam kelompok
sebagai hasil komunikasi antara anggota kelompok, (The appreciation of the
social value is an attitude. If it is general in the group, as a result of
communication, it is a social attitude). Sikap sosial adalah masalah yang erat
hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang terdapat dalam kelompok,
dimana individu menjadi anggota atau berhasrat mengadakan hubungan struktural
organisatoris dan atau berhasrat mengadakan hubungan psikologik. Nilai-nilai
sosial merupakan aspek penting dalam sikap sosial yang dijadikan dasar
mengidentifikasi sikap sosial tersebut. Nilai-nilai sosial yang sering dijadikan
dasar seseorang dalam berinteraksi adalah : (1) keterbukaan, (2) empati, (3)
komunikasi, (4) kerjasama.
Agar dapat diukur dan dijadikan indikator dalam penilaian terhadap
sikap sosial, maka dilakukan pengembangan indikator yang lebih operasional
terhadap nilai-nilai sosial tersebut. Adapun pengembangan yang dilakukan
berdasarkan dimensi atau nilai-nilai yang ada adalah sebagai berikut.
(1) Keterbukaan
(a) Berterus terang pada teman
(b) Bersedia untuk bersikap jujur
112
(c) Menerima dan menghargai perbedaan suku, agama, kepercayaan, ras,
etnis, antar individu
(d) Toleransi dan tenggang rasa terhadap orang lain
(2) Empati
(a) Menunjukkan sikap yang hangat pada teman
(b) Merasakan apa yang dirasakan orang lain
(c) Peduli terhadap sesama maupun lingkungan sekitarnya
(3) Komunikasi
(a) Senang berkomunikasi
(b) Menciptakan suasana mendukung komunikasi
(c) Mampu berbicara dalam forum
(d) Santun dalam berbicara
(4) Kerjasama
(a) Tolong menolong
(b) Bekerja secara berkelompok
(c) Bersahabat
(d) Tidak menyinggung orang lain
Nilai-nilai sikap sosial tersebut akan dinilai menggunakan lembar
kuesioner dengan skala likert. Dengan menggunakan skala likert, maka variabel
yang akan diukur dijabarkan menjadi dimensi, dan dijabarkan lagi menjadi
indikator-indikator yang dapat diukur. Akhirnya indikator-indikator yang dapat
diukur ini dapat dijadikan titik tolak untuk membuat item instrumen yang berupa
pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden. Setiap jawaban
113
dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap yang diungkapkan
dengan kata-kata sebagai berikut:
Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
Sangat Setuju (SS) = 5 Sangat Setuju (SS) = 1
Setuju (S) = 4 Setuju (S) = 2
Kurang Setuju (KS) = 3 Kurang Setuju (KS) = 3
Tidak Setuju (TS) = 2 Tidak Setuju (TS) = 4
Sangat Tidak Setuju (STS) = 1 Sangat Tidak Setuju (STS) = 5
b) Konsepsi Hasil Belajar IPS
Hasil belajar adalah hasil atau taraf kemampuan yang telah dicapai
siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar dalam waktu tertentu baik berupa
perubahan tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dan kemudian akan diukur
dan dinilai yang kemudian diwujudkan dalam angka atau pernyataan.
Hasil belajar yang dimaksud dalam hal ini merupakan hasil kesimpulan
yang sudah mewakili kualitas penilaian baik dalam perkembangan kemajuan
bidang ilmu, pengalaman, respon, sikap dan penguasaan keterampilan yang
berguna bagi siswa. Tingkat hasil belajar siswa kelas IV setelah mengikuti metode
role playing dan metode konvensional dalam pembelajaran dapat ditunjukkan dari
skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti tes hasil belajar.
Tolak ukur prestasi dan kemajuan belajar siswa dapat dilihat pada
perolehan hasil belajarnya. Hasil belajar yang konkrit berdasarkan dokumentasi
dari berkas dan bukti-bukti hasil pekerjaan siswa secara utuh, baik menyangkut
aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan tentang sesuatu konsep yang
114
diketahuinya. Siswa tidak sekedar memahami suatu konsep secara teoritik-
keilmuan, lebih dari itu siswa dapat menghayati konsep itu melalui proses
keilmuan dan akhirnya diharapkan siswa dapat menyikapi konsep itu dalam wujud
pengambilan keputusan (decicion making) dengan segala konsekuensinya.
2) Kisi-Kisi Instrumen
a) Kisi-Kisi Sikap Sosial
Adapun kisi-kisi mengenai sikap sosial siswa dalam pembelajaran dapat
dilihat pada Tabel 3.4 di bawah ini.
Tabel 3.4. Kisi-Kisi Sikap Sosial
No Variabel Dimensi Indikator Jlh Butir
No. ButirSkala Sumber
DataPernyataan Positif
Pernyataan Negatif
1. Sikap Sosial
1. Keterbukaan 1. Berterus terang pada teman
2. Bersedia untuk bersikap jujur
3. Menerima dan menghargai perbedaan suku, agama, kepercayaan, ras, etnis, antar individu
4. Toleransi dan tenggang rasa terhadap orang lain
5
4
5
4
1, 11, 20, 29, 45
2, 23, 56
4, 19, 24, 47
5, 13, 30, 48
3
25
Inter-val
Siswa
2. Berempati 1. Menunjukkan sikap yang hangat pada teman
2. Merasakan apa yang dirasakan
4
5
6, 12, 49
7, 32, 50, 59
31
57
Inter-val
Siswa
115
orang
3. Peduli terhadap sesama maupun lingkungan sekitarnya
6 8, 15, 21, 33, 58
9
3. Komunikasi 1. Senang berkomunikasi
2. Menciptakan suasana mendukung komunikasi
3. Mampu berbicara dalam forum
4. Santun dalam berbicara
4
5
4
3
10, 34, 40
17, 22, 35, 53, 54
16, 43, 60
38, 55
14
36
41
Inter-val
Siswa
4. Kerjasama 1. Tolong menolong
2. Bekerja secara berkelompok
3. Bersahabat
4. Tidak menyinggung orang lain
2
3
4
2
18, 44
26, 39
28, 42, 52
27, 37
51
46
Inter-val
Siswa
b) Kisi-Kisi Hasil Belajar
Adapun kisi-kisi mengenai hasil belajar siswa dalam pembelajaran
dapat dilihat pada tabel 3.5 di bawah ini.
116
Tabel 3.5. Kisi-Kisi Hasil belajar
Kompetensi Dasar Indikator Jenjang Kognitif Jumlah
SoalC1 C2 C3
2.1 Mengenal aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya alam dan potensi lain di daerahnya
1. Menjelaskan pengertian kegiatan ekonomi
6,8 2
2. Menyebutkan bentuk-bentuk kegiatan ekonomi dilingkungan setempat
1,2,3,10, 12,14,16, 18
8
3. Membuat daftar kegiatan pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan ekonomi
4,5,7,9, 11,13, 17,19
8
2.2 Mengenal pentingnya koperasi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4. Menjelaskan pengertian koperasi
15,21, 28, 30,33, 36
6
5. Menyebutkan prinsip-prinsip koperasi
22,24,25, 31,34
5
6. Menjelaskan tujuan koperasi
39 1
7. Membedakan koperasi dengan jenis usaha lainnya
20,23, 37, 40
4
8. Menyebutkan manfaat koperasi
26,27,29 3
2.3 Mengenal perkembangan teknologi produksi,
9. Menyebutkan jenis-jenis
teknologi untuk
32,38,42, 43
4
117
konsumsi, dan transportasi serta pengalaman menggunakannya
berproduksi pada masa lalu dan masa kini
10. Memberi contoh bahan baku yang dapat diolah menjadi beberapa bahan produksi
41,44, 2
11.Menyebutkan alat-alat
teknologi komunikasi yang digunakan pada masa lalu dan masa kini
47,48 2
12.Menjelaskan cara-cara
penggunaan alat teknologi komunikasi pada masa lalu dan masa kini
45,50 2
13.Membedakan jenis-jenis teknologi transportasi pada masa lalu dan masa kini
35,46, 49
3
JUMLAH 22 18 10 50
118
3) Validitas/Uji Coba Instrumen
Instrumen-instrumen yang disusun sebelum digunakan untuk
mengambil data penelitian terlebih dahulu diuji coba, uji coba dilakukan terhadap
sikap sosial siswa dan tes hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS SD.
a) Uji Coba Instrumen Sikap Sosial
Instrumen sikap sosial dibuat berdasarkan kisi-kisi. Instrumen yang
dibuat kemudian dikonsultasikan dengan ahli. Selanjutnya instrumen tersebut
diuji validitasnya.
(1) Validitas Isi Sikap Sosial
Uji validitas isi ditentukan oleh Gregory (2000). Mekanisme
perhitungan validitas tersebut adalah sebagai berikut: 1) pakar menilai setiap
instrumen; (2) penilaian dikelompokkan menjadi kurang relevan dan sangat
relevan; (3) hasil penilaian pakar ditabulasi dalam bentuk matrik; (4) melakukan
tabulasi silang antara dua pakar; (5) menghitung validitas isi. Matrik validitas
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Matrik Tabulasi Penilaian Tes Dua Pakar
Penilai IKurang relevan Sangat relevan
Penilai II Kurang releven (A) (B)Sangat relevan (C) (D)
V = D
A+B+C+D
Keterangan:
V = validitas isiA = sel yang menunjukkan ketidaksetujuan antara kedua pakarB dan C = sel yang menunjukkan perbedaan pandangan antara pakarD = sel yang menunjukkan persetujuan yang valid antara kedua pakar
119
Hasil tabulasi penilaian pakar terhadap isi lembar kuesioner sikap sosial.
(1) Tabulasi Data Hasil Penilaian Pakar
Hasil tabulasi data hasil penilaian pakar dapat dilihat pada Tabel 3.7 di
bawah ini.
Tabel 3.7 Tabulasi Data Hasil Penilaian Pakar
Penilai I Penilai II
Kurang Relevan(skor 1 - 2)
Sangat Relevan(skor 3 - 4)
Kurang Relevan (skor 1 - 2)
Sangat Relevan (skor 3 - 4)
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60.
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60.
(2) Tabulasi Silang (2x2)
Hasil tabulasi silang (2x2) dari penilaian pakar dapat dilihat pada tabel 3.8
di bawah ini
Tabel 3.8 Tabulasi Silang (2x2)
Penilai IKurang Relevan
(skor 1 - 2)Sangat relevan
(skor 3 - 4)
Penilai II
Kurang Relevan(skor 1 - 2)
(A)0
(B)0
Sangat relevan(skor 3 - 4)
(C)0
(D)60
120
(3) Validitas Isi Lembar Kuesioner Sikap Sosial
Validasi Isi= DA+B+C+D
¿ 600+0+0+60
¿ 6060
¿1
Dengan demikian koefisien validitas isi lembar kuesioner sikap sosial
adalah 1.
(2) Validitas Butir Tes
Pengukuran validitas instrumen tiap butir dalam penelitian ini,
digunakan analisis item, yaitu dengan mengkorelasikan skor tiap butir dengan
skor total yang merupakan jumlah skor tiap butir soal. Penentuan validitas butir
soal digunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut.
rxy =
N ΣXY −ΣX ΣY
√( N Σ X2− (ΣX )2 )(N ΣY 2−(ΣY )2)
(Sugiyono, 2011)
Keterangan:
rxy = korelasi antara skor butir dengan skor totalX = skor butirY = skor totalN = banyaknya responden
Kriteria yang digunakan adalah dengan membandingkan harga rxy
dengan harga tabel kritik r product moment. Apabila rxy lebih besar dari pada rxy
121
tabel (pada taraf signifikansi 5 %), maka butir tes dikatakan valid begitu pula
sebaliknya. Untuk menghitung validitas butir digunakan program exel. Adapun
hasil perhitungan yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9 Validitas Butir Kuesioner Sikap Sosial
No Butir r hit r tab
Status Butir
No Butir r hit r tab
Status Butir
1 0,2933 0,3 Valid 31 0,4952 0,3 Valid2 0,3709 0,3 Valid 32 0,2008 0,3 Drop3 0,1539 0,3 Drop 33 0,4061 0,3 Valid4 0,4386 0,3 Valid 34 0,4098 0,3 Valid5 0,3984 0,3 Valid 35 0,4061 0,3 Valid6 0,3433 0,3 Valid 36 0,4216 0,3 Valid7 0,4974 0,3 Valid 37 0,4006 0,3 Valid8 0,4148 0,3 Valid 38 0,3643 0,3 Valid9 0,5052 0,3 Valid 39 0,2265 0,3 Drop10 0,2176 0,3 Drop 40 0,3409 0,3 Valid11 0,1166 0,3 Drop 41 0,4258 0,3 Valid12 0,5802 0,3 Valid 42 0,3678 0,3 Valid13 0,5249 0,3 Valid 43 0,359 0,3 Valid14 0,5357 0,3 Valid 44 0,3892 0,3 Valid15 0,3651 0,3 Valid 45 0,3221 0,3 Valid16 0,3492 0,3 Valid 46 0,4165 0,3 Valid17 0,1363 0,3 Drop 47 0,4584 0,3 Valid18 0,357 0,3 Valid 48 0,3547 0,3 Valid19 0,4359 0,3 Valid 49 0,5777 0,3 Valid20 -0,0436 0,3 Drop 50 0,5824 0,3 Valid21 0,3867 0,3 Valid 51 0,4742 0,3 Valid22 0,3783 0,3 Valid 52 0,3287 0,3 Valid23 0,3968 0,3 Valid 53 0,3026 0,3 Valid24 0,4049 0,3 Valid 54 0,1937 0,3 Drop25 0,3957 0,3 Valid 55 0,357 0,3 Valid26 0,4385 0,3 Valid 56 0,0172 0,3 Drop27 0,4996 0,3 Valid 57 0,3912 0,3 Valid28 0,4067 0,3 Valid 58 0,2169 0,3 Drop29 0,3843 0,3 Valid 59 0,4806 0,3 Valid30 0,3964 0,3 Valid 60 0,4606 0,3 Valid
122
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan butir soal yang valid
ada 50, sedangkan butir soal yang gugur ada 10 soal yaitu soal nomor 3, 10, 11,
17, 20, 32, 39, 54, 56, dan 58. Data lebih rinci dapat dilihat pada lampiran.
(3) Reliabilitas Instrumen
Uji reliabilitas instrumen dilakukan secara internal konsistensi yakni
mencoba instrumen sekali saja kemudian butir yang telah dinyatakan valid
berdasarkan uji validitas dengan Alpha Cronbach. Reliabilitas instrumen yang
berbentuk angket dan rating scale diuji dengan rumus Alpha Cronbach (Koyan,
2011: 135). Adapun rumusnya sebagai berikut.
r1.1=( kk−1 ) ( SDt ²−Σ SD t ²
SDtot ² )(Koyan, 2011)
Keterangan:
r1.1 = koefisien reliabilitask = banyak butir dalam instrumenSDt
2 = varians skor tiap butirSDtot
2 = varian skor total
Untuk menentukan derajat reliabilitas tes dapat digunakan kriteria yang
dikemukakan oleh Guilford dalam Koyan (2011: 136) sebagai berikut.
< 0,20 = sangat rendah
0,20 < 0,40 = rendah
0,40 < 0,60 = sedang
0,60 < 0,80 = tinggi
0,80 < 1,00 = sangat tinggi
123
Pada penelitian ini suatu tes dinyatakan reliabel jika memberikan nilai
Alpha Cronbach (α) > 0.60 sesuai dengan klasifikasi Guilford tersebut..
Berdasarkan hasil perhitungan didapat reliabilitas soal sebesar 0,89 berada pada
kategori “sangat tinggi”. Hasil perhitungan yang lebih rinci dapat dilihat pada
lampiran.
b) Uji Coba Instrumen Hasil Belajar
(1) Validitas Isi Tes Hasil Belajar IPS
Uji validitas isi ditentukan oleh Gregory (2000). Mekanisme perhitungan
validitas tersebut adalah sebagai berikut: 1) pakar menilai setiap instrumen; (2)
penilaian dikelompokkan menjadi kurang relevan dan sangat relevan; (3) hasil
penilaian pakar ditabulasi dalam bentuk matrik; (4) melakukan tabulasi silang
antara dua pakar; (5) menghitung validitas isi. Matrik validitas tersebut dapat
dilihat pada tabel 3.10.
Tabel 3.10 Matrik Tabulasi Penilaian Tes Dua Pakar
Penilai IKurang relevan Sangat relevan
Penilai II Kurang releven (A) (B)Sangat relevan (C) (D)
V = D
A+B+C+D
Keterangan:V = validitas isiA = sel yang menunjukkan ketidaksetujuan antara kedua pakarB dan C = sel yang menunjukkan perbedaan pandangan antara pakarD = sel yang menunjukkan persetujuan yang valid antara kedua pakar
124
Hasil Tabulasi Penilaian Pakar terhadap Isi Tes Hasil Belajar IPS
(1) Tabulasi Data Hasil Penilaian Pakar
Hasil tabulasi data hasil penilaian pakar dapat dilihat pada Tabel 3.11 di
bawah ini.
Tabel 3.11 Tabulasi Data Hasil Penilaian Pakar
Penilai I Penilai II
Kurang Relevan(skor 1 - 2)
Sangat Relevan(skor 3 - 4)
Kurang Relevan (skor 1 - 2)
Sangat Relevan (skor 3 - 4)
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50
(2) Tabulasi Silang (2x2)
Hasil tabulasi silang (2x2) dari penilaian pakar dapat dilihat pada tabel
3.12 di bawah ini.
Tabel 3.12 Tabulasi Silang (2x2)
Penilai IKurang Relevan
(skor 1 - 2)Sangat relevan
(skor 3 - 4)
Penilai II
Kurang Relevan(skor 1 - 2)
(A)0
(B)0
Sangat relevan(skor 3 - 4)
(C)0
(D)50
125
(3) Validitas Isi Tes Hasil belajar IPS
Validasi Isi= DA+B+C+D
¿ 500+0+0+50
¿ 5050
¿1
Dengan demikian koefisien validitas isi tes hasil belajar IPS adalah 1.
(2) Validitas Butir Tes
Validitas alat ukur adalah ketepatan alat ukur dengan hal yang diukur
(Koyan, 2011: 124). Data hasil belajar ini bersifat dikotomi karena skor tes hasil
belajar IPS adalah 0-1, maka menggunakan formula korelasi Point Biserial
dengan rumus sebagai berikut.
rpbi = M p−M t
S t √ pq
(Koyan, 2011)
Keterangan:
rpbi = koefisien korelasi point biserialMp = rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi butir yang dicari
validitasnyaMt = rerata skor totalSt = standar deviasi dari skor totalp = proporsi siswa yang menjawab betul (banyaknya siswa yang menjawab
betul dibagi dengan jumlah seluruh siswa)q = proporsi siswa yang menjawab salah (q = 1 – p)
126
Nilai rpbi ini kemudian dibandingkan dengan nilai rtabel (a ; n - 2). Jika
rpbi > rtabel maka butir tersebut valid dan jika sebaliknya berarti tidak valid.
Adapun hasil perhitungan yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 3.13.
Tabel 3.13 Validitas Butir Tes Hasil belajar IPS.
No Butir r hit r tab
Status Butir
No Butir r hit r tab
Status Butir
1 0,31 0,3 Valid 26 0,49 0,3 Valid2 0,32 0,3 Valid 27 0,41 0,3 Valid3 0,23 0,3 Drop 28 0,26 0,3 Drop4 0,43 0,3 Valid 29 0,32 0,3 Valid5 0,55 0,3 Valid 30 0,34 0,3 Valid6 0,23 0,3 Drop 31 0,39 0,3 Valid7 0,41 0,3 Valid 32 0,43 0,3 Valid8 0,39 0,3 Valid 33 0,26 0,3 Drop9 0,42 0,3 Valid 34 0,38 0,3 Valid10 0,34 0,3 Valid 35 0,37 0,3 Valid11 0,34 0,3 Valid 36 0,37 0,3 Valid12 0,41 0,3 Valid 37 0,32 0,3 Valid13 0,31 0,3 Valid 38 0,29 0,3 Drop14 0,56 0,3 Valid 39 0,26 0,3 Drop15 0,31 0,3 Valid 40 0,26 0,3 Drop16 0,41 0,3 Valid 41 0,39 0,3 Valid17 0,39 0,3 Valid 42 0,39 0,3 Valid18 0,23 0,3 Drop 43 0,28 0,3 Drop19 0,51 0,3 Valid 44 0,39 0,3 Valid20 0,32 0,3 Valid 45 0,32 0,3 Valid21 0,30 0,3 Valid 46 0,49 0,3 Valid22 0,58 0,3 Valid 47 0,41 0,3 Valid23 0,16 0,3 Drop 48 0,33 0,3 Valid24 0,43 0,3 Valid 49 0,22 0,3 Drop25 0,21 0,3 Drop 50 0,34 0,3 Valid
Berdasarkan hasil perhitungan dengan berbantuan program exel, soal
yang valid ada 38, sedangkan yang gugur ada 12 soal. Data lebih rinci dapat
dilihat pada lampiran.
127
(3) Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas alat ukur adalah keterandalan alat ukur atau keajegan alat
ukur, artinya kapanpun alat ukur itu digunakan akan menghasilkan hasil ukur
yang relatif tetap. Tes yang baik adalah tes yang dapat dengan tetap (ajeg)
memberikan data yang sebenarnya dengan kata lain dimanapun tes ini digunakan
maka akan memberikan hasil yang sama. Bentuk tes yang digunakan pada tes
hasil belajar ini adalah pilihan ganda dengan skor 0-1, maka untuk mencari
reliabilitasnya dapat digunakan rumus KR-20 (Koyan, 2011: 133) sebagai berikut.
r1.1=( kk−1 )( SDt
2−Σpq
SDt2 )
(Koyan, 2011)
Keterangan:r1.1 = koefisien reliabilitas tesp = proporsi testee yang menawab betulq = proporsi testee yang menjawab salahn = banyaknya testeeSDt
2 = varian total tespq = p x qk = banyaknya butir tes
Kriteria normatif menurut Guilford dalam Candiasa (2004) sebagai berikut.
0,00-0,19 = sangat rendah
0,02-0,39 = rendah
0,40-0,59 = sedang
0,60-0,79 = tinggi
0,80-1,00 = sangat tinggi
128
Berdasarkan hasil perhitungan, tingkat reliabilitas soal sebesar 0,86
dengan kategori “sangat tinggi”. Hasil lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran.
(4) Daya Beda
Daya beda tes adalah kemampuan tes untuk membedakan antara siswa
yang pandai dan kurang pandai, artinya jika tes tersebut diberikan kepada siswa
yang tergolong pandai akan lebih banyak dapat dijawab dengan benar, sedangkan
jika diberikan kepada siswa yang tergolong kurang pandai akan lebih banyak
dijawab salah (Koyan, 2011: 140).
Sebelum menentukan daya beda tes terlebih dahulu ditentukan
kelompok atas dan kelompok bawah. Cara penentuan kelompok pada penelitian
ini menggunakan 27% kelompok atas dan 27% kelompok bawah (Dantes, 2012:
109). Untuk mengetahui daya beda suatu tes dalam bentuk pilihan ganda dengan
skor 0-1 digunakan indeks Johnson. Perhitungan indeks Johnson didasarkan pada
pengambilan 27% golongan atas (yang mendapat skor tertinggi) dan 27%
golongan bawah (yang mendapat skor terendah). Salah satu cara untuk
mendapatkan indeks diskriminasi (daya beda) yaitu dengan menggunakan rumus
Chi-Kuadrat (Dantes, 2012:111). Bentuk rumus Chi-Kuadrat yang digunakan
adalah:
X2 = N ( pa−pb) ²
4 pq
Rumus Chi-Kuadrat Johnson (Dantes, 2012:111)
Keterangan:
X2 = indeks diskriminasi
129
pa = proporsi jawaban benar dari golongan ataspb = proporsi jawaban benar dari golongan bawahp = rata-rata jumlah proporsi golongan atas dan golongan bawahq = 1 – pN = jumlah kelompok atas dan bawah
Kriteria Daya Beda (D):
0,00-0,19 = kurang baik0,20-0,39 = cukup baik0,40-0,70 = baik0,71-1,00 = sangat baik
Jika “D” negatif, soal tersebut sangat buruk dan harus dibuang. Tes
yang baik apabila memiliki D antara 0,15-0,20 atau lebih (Koyan, 2011: 141).
Adapun hasil perhitungan daya beda dapat dilihat pada tabel 3.14.
Tabel 3.14 Indeks Daya Beda Hasil belajar IPS
Nomor Butir RU RL f IJ Status Nomo
r Butir RU RL f IJ Status
1 12 7 19 0,26316 Cukup baik 26 5 1 19 0,21053 Cukup baik2 13 13 19 0 Kurang baik 27 13 13 19 0 Kurang baik3 12 7 19 0,26316 Cukup baik 28 13 10 19 0,15789 Kurang baik4 13 10 19 0,15789 Kurang baik 29 13 7 19 0,31579 Cukup baik5 13 10 19 0,15789 Kurang baik 30 13 12 19 0,05263 Kurang baik6 13 12 19 0,05263 Kurang baik 31 13 9 19 0,21053 Cukup baik7 4 7 19 0,1579 Kurang baik 32 12 7 19 0,26316 Cukup baik8 12 12 19 0 Kurang baik 33 13 6 19 0,36842 Cukup baik9 13 3 19 0,52632 baik 34 10 8 19 0,10526 Kurang baik10 12 5 19 0,36842 Cukup baik 35 13 12 19 0,05263 Kurang baik11 13 13 19 0 Kurang baik 36 13 7 19 0,31579 Cukup baik12 13 12 19 0,05263 Kurang baik 37 13 9 19 0,21053 Cukup baik13 13 8 19 0,26316 Cukup baik 38 13 6 19 0,36842 Cukup baik14 8 9 19 0,0526 Kurang baik 39 11 2 19 0,47368 baik15 8 7 19 0,05263 Kurang baik 40 13 9 19 0,21053 Cukup baik16 13 6 19 0,36842 Cukup baik 41 13 10 19 0,15789 Kurang baik17 12 12 19 0 Kurang baik 42 13 7 19 0,31579 Cukup baik18 11 8 19 0,15789 Kurang baik 43 11 5 19 0,31579 Cukup baik
130
19 13 13 19 0 Kurang baik 44 12 3 19 0,47368 baik20 12 8 19 0,21053 Cukup baik 45 12 7 19 0,26316 Cukup baik21 13 5 19 0,42105 baik 46 13 6 19 0,36842 Cukup baik22 13 12 19 0,05263 Kurang baik 47 10 8 19 0,10526 Kurang baik23 13 12 19 0,05263 Kurang baik 48 13 12 19 0,05263 Kurang baik24 13 2 19 0,57895 baik 49 13 7 19 0,31579 Cukup baik25 11 4 19 0,36842 Cukup baik 50 13 9 19 0,21053 Cukup baik
Berdasarkan hasil perhitungan, indeks daya beda hasil belajar IPS
berada pada kategori “kurang baik, cukup baik, dan baik”. Data lebih lengkap
dapat dilihat pada lampiran.
(5) Taraf Kesukaran Tes
Berkualitas atau tidaknya butir tes hasil belajar dapat dilihat dari tingkat
kesukaran atau taraf kesulitan yang dimiliki oleh masing-masing butir tes tersebut.
Butir tes dikatakan baik apabila butir soal tidak terlalu sukar dan juga tidak terlalu
mudah sehingga tes benar-benar menggambarkan kemampuan siswa tersebut.
Karena rubrik penilaian digunakan berskala 0-1, maka tingkat kesukaran butir tes
hasil belajar IPS menggunakan rumus sebagai berikut.
Pp = ΣPn
Keterangan:
Pp = tingkat kesukaran perangkat tesP = tingkat kesukaran tiap butirn = banyaknya butir tes
Kriteria tingkat kesukaran:
0,00-0,29 = sukar
0,30-0,70 = sedang
0,71-1,00 = mudah
131
Tes yang baik adalah tes yang memiliki taraf kesukaran antara 0,25-
0,75 (Fernandes dalam Koyan, 2011: 140).
Adapun hasil perhitungan dari indeks kesukaran rata-rata dari butir tes
hasil belajar IPS dapat dilihat pada tabel 3.15.
Tabel 3.15 Indeks Kesukaran Rata-rata Butir Tes Hasil belajar IPS
No Butir SB N P (IKR) Status Butir No
Butir SB N P (IKR) Status Butir
1 50 73 0,684931 Sedang 26 24 73 0,328767 Sedang2 71 73 0,972602 Mudah 27 63 73 0,863014 Mudah3 45 73 0,616438 Sedang 28 66 73 0,90411 Mudah4 68 73 0,931506 Mudah 29 55 73 0,753425 Mudah5 65 73 0,890410 Mudah 30 69 73 0,945205 Mudah6 69 73 0,945205 Mudah 31 62 73 0,849315 Mudah7 32 73 0,438356 Sedang 32 54 73 0,739726 Mudah8 70 73 0,958904 Mudah 33 62 73 0,849315 Mudah9 55 73 0,753424 Mudah 34 54 73 0,739726 Mudah10 45 73 0,616438 Sedang 35 70 73 0,958904 Mudah11 68 73 0,931506 Mudah 36 63 73 0,863014 Mudah12 71 73 0,972602 Mudah 37 65 73 0,890411 Mudah13 61 73 0,835616 Mudah 38 54 73 0,739726 Mudah14 59 73 0,808219 Mudah 40 73 0,547945 Sedang15 44 73 0,602739 Sedang 40 57 73 0,780822 Mudah16 47 73 0,643835 Sedang 41 65 73 0,890411 Mudah17 64 73 0,876712 Mudah 42 55 73 0,753425 Mudah18 51 73 0,698630 Sedang 43 49 73 0,671233 Sedang19 71 73 0,972602 Mudah 44 43 73 0,589041 Sedang20 51 73 0,698630 Sedang 45 71 73 0,972602 Mudah21 54 73 0,739726 Mudah 46 61 73 0,835616 Mudah22 70 73 0,958904 Mudah 47 59 73 0,808219 Mudah23 66 73 0,904109 Mudah 48 44 73 0,602739 Sedang24 40 73 0,547945 Sedang 49 47 73 0,643835 Sedang25 46 73 0,630136 Sedang 50 64 73 0,876712 Mudah
Berdasarkan hasil perhitungan, butir soal yang diujicobakan berada pada
kriteria “mudah dan sedang”. Data yang lebih lengkap dapat dilihat pada
lampiran.
132
3.6 Metode Analisis Data
Data yang sudah dikumpulkan ditabulasi rerata dan simpangan baku
menyangkut data sikap sosial dan hasil belajar IPS siswa. Analisis statistik yang
digunakan untuk menguji hipotesis adalah dengan menggunakan MANOVA.
Penelitian ini menyelidiki pengaruh satu variabel bebas terhadap dua variabel
terikat. Lebih lanjut rancangan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.16di
bawah ini.
Tabel 3.16. Rancangan Analisis Data Hasil Penelitian
A1 A2
Y1 Y2 Y1 Y2
Keterangan:
A1 : metode role playing
A2 : metode konvensional
Y1 : sikap sosial
Y2 : hasil belajar IPS
Data hasil penelitian dianalisa secara bertahap. Tahapan-tahapan
tersebut adalah deskripsi data, uji prasyarat, dan uji hipotesis. Uji prasyarat yang
dilakukan adalah uji normalitas data, uji homogenitas varians, dan uji korelasi
antar variabel terikat.
a. Deskripsi Data
133
Pendeskripasian data sikap sosial dan hasil belajar IPS siswa
berdasarkan tendensi data, meliputi mean, median, modus, standar deviasi,
varians, rentangan skor maksimum, dan skor minimum. Sebaran data sikap sosial
dan hasil belajar IPS siswa disajikan dalam bentuk tabel dan gambar diagram
untuk masing-masing metode.
Kualifikasi pendeskripsian data sikap sosial dan hasil belajar IPS siswa,
juga menggunakan analisis univariant. Analisis ini didasarkan pada skor rerata
ideal (Mi) dan simpangan baku ideal (SDi). Kriteria kualifikasi sikap sosial dan
hasil belajar IPS siswa digolongkan menjadi lima dan disusun seperti pada Tabel
3.17 berikut ini.
Tabel 3.17. Kriteria Kualifikasi Sikap Sosial dan Hasil belajar pada Mata Pelajaran IPS
No Kriteria Kualifikasi1. > (Mi + 1,5 SDi) Sangat Tinggi2. (Mi + 0,5 SDi) s/d (Mi + 1,5 SDi) Tinggi3. (Mi - 0,5 SDi) s/d (Mi + 0,5 SDi) Sedang4. (Mi – 1,5 SDi) s/d (Mi – 0,5 SDi) Rendah5. < (Mi – 1,5 SDi) Sangat Rendah
Keterangan:
Mi : rata-rata ideal = 1/2 (skor maksimum ideal + skor minimum ideal)
SDi : simpangan baku ideal = 1/6 (skor maksimum ideal – skor minimum ideal)
b. Uji Prasyarat Analisis
Pengujian asumsi dilakukan untuk mengetahui bahwa data yang
tersedia dapat dianalisis dengan parametrik atau tidak. Berkaitan dengan statistik
134
yang digunakan untuk analisis data dalam penelitian ini, uji asumsi yang
dilakukan meliputi uji normalitas sebaran data, uji homogenitas varians dan uji
korelasi antar variabel terikat.
1) Uji Normalitas Sebaran Data
Pengujian normalitas dilakukan untuk meyakinkan bahwa sampel berasal
dari populasi yang berdistribusi normal, sehingga uji hipotesis dapat dilakukan.
Uji normalitas data dilakukan pada empat kelompok data.
Kelompok pertama adalah sikap sosial dalam pembelajaran pada mata
pelajaran IPS yang mengikuti metode role playing, kelompok kedua adalah sikap
sosial dalam pembelajaran pada mata pelajaran IPS yang mengikuti metode
konvensional, kelompok ketiga data hasil belajar siswa pada pelajaran IPS yang
mengikuti metode role playing, dan kelompok keempat data hasil belajar siswa
pada mata pelajaran IPS yang mengikuti metode konvensional.
Uji normalitas pada keempat kelompok data menggunakan SPSS-17.00
for windows uji statistik Kolmonogov-smirnov pada signifikansi 0,05. Uji ini
dilakukan terhadap data postes, perubahan skor postes terhadap kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
2) Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa dua atau
lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang
135
sama. Pengujian homogenitas dilakukan dengan uji kesamaan varian-kovarian
menggunakan SPSS-17.00 for windows melalui uji Box’s M untuk uji
homogenitas secara bersama-sama dan dengan uji levene’s untuk uji homogenitas
secara terpisah.
Kriteria pengujian data memiliki matriks varians-kovarian yang sama
(homogen) jika signifikansi yang dihasilkan dalam uji Box’s M dan uji Levene’s
lebih dari 0,05 dan data tidak berasal dari populasi yang homogen jika signifikansi
yang dihasilkan dalam uji Box’s M dan uji Levene’s kurang dari 0,05.
3) Pengujian Korelasi antar Variabel Terikat
Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui tingkat korelasi antara Y1
(sikap sosial) dengan Y2 (hasil belajar IPS). Pengujian dilakukan menggunakan uji
product moment dengan taraf signifikansi 5%. Bila hasil uji menunjukkan kedua
variabel terikat tidak berkorelasi, maka analisis bisa dilanjutkan ke uji hipotesis
dengan menggunakan analisis multivariant. Tetapi bila kedua variabel terikat Y1
dan Y2 berkorelasi, maka analisis untuk uji hipotesis dilanjutkan dengan
menggunakan analisis lain.
c. Uji Hipotesis
Hipotesis 1 menyatakan terdapat perbedaan sikap sosial antara siswa
yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang mengikuti pembelajaran
metode konvensional pada mata pelajaran IPS kelas IV Gugus I Busungbiu.
Secara statistik dapat dirumuskan:
H0 : µ A1 Y1 = µ A2 Y1
136
H1 : µ A1 Y1 ≠ µ A2 Y1
Keterangan:
µ A1 Y1 : skor sikap sosial siswa yang mengikuti metode role playing
µ A2 Y1 : skor sikap sosial siswa yang mengikuti metode konvensional
Pengujian hipotesis 1 menggunakan MANOVA melalui statistik varians.
Kriteria pengujiannya adalah apabila nilai F dengan signifikansi kurang dari 0,05
maka H0 ditolak, berarti terdapat perbedaan secara signifikan terhadap sikap sosial
siswa dalam pembelajaran IPS kelas IV Gugus I Busungbiu. yang mengikuti
metode role playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional.
Pengujian hipotesis 2 menyatakan terdapat perbedaan hasil belajar IPS
antara siswa yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran metode konvensional pada di kelas IV Gugus I Busungbiu. Secara
statistik dirumuskan:
H0 : µ A1 Y2 = µ A2 Y2
H1 : µ A1 Y2 ≠ µ A2 Y2
Keterangan:µ A1 Y2 : skor hasil belajar siswa yang mengikuti metode role playingµ A2 Y2 : skor hasil belajar siswa yang mengikuti metode konvensional
Pengujian hipotesis 2 menggunakan MANOVA melalui statistik F
varians. Kriteria pengujian adalah apabila nilai F dengan signifikansi kurang dari
0,05 maka H0 ditolak, berarti terdapat perbedaan secara signifikan terhadap hasil
belajar di kelas IV Gugus I Busungbiu, yang mengikuti pembelajaran metode role
137
playing dengan siswa yang mengikuti metode konvensional pada mata pelajaran
IPS.
Pengujian hipotesis 3 menyatakan terdapat perbedaan sikap sosial dan
hasil belajar antara siswa yang mengikuti metode role playing dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran metode konvensional pada di kelas IV Gugus I
Busungbiu pada mata pelajaran IPS. Secara statistik dirumuskan:
H0 : µ A1 Y1 ═ µ A2 Y1
µ A1 Y2 µ A2 Y2
H1 : µ A1 Y1 ≠ µ A2 Y1
µ A1 Y2 µ A2 Y2
Keterangan:
µ A1 Y1 : skor sikap sosial siswa yang mengikuti metode role playingµ A1 Y2 : skor hasil belajar IPS siswa yang mengikuti metode role
playingµ A2 Y1 : skor sikap sosial siswa yang mengikuti metode konvensionalµ A2 Y2 : skor hasil belajar IPS siswa yang mengikuti metode
konvensional
Pengujian hipotesis 3 dilakukan dengan uji F melalui MANOVA.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS 17.00 for windows
dengan kriteria pengujian taraf signifikansi F = 5 %. Keputusan diambil dengan
analisis pillae trace dan Roy’s Largest Root. Jika angka signifikansi F hitung
kurang dari 0,05 maka hipotesis nol ditolak, berarti terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap sikap sosial dan hasil belajar siswa yang mengikuti metode
role playing dengan metode konvensional dan sebaliknya jika angka sigfikansi F
138
hitung lebih besar atau sama dengan 0,05 maka hipotesis nol diterima, berarti
tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap sikap sosial dan hasil belajar
siswa yang mengikuti metode role playing dengan metode konvensional pada
mata pelajaran IPS kelas IV Gugus I Busungbiu.
139
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai deskripsi data, pengujian persyaratan
analisis, pengujian hipotesis, dan pembahasan.
4.1 Deskripsi Data
Data yang diperoleh dalam penelitian adalah data tentang sikap sosial dan
hasil belajar IPS dari kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran role
playing dan kelompok yang mengikuti metode pembelajaran konvensional. Dari
rincian data tentang metode pembelajaran role playing, data tentang metode
pembelajaran konvensional, data sikap sosial siswa, dan data hasil belajar IPS
siswa tersebut diperoleh deskripsi data secara umum sebagai berikut. Deskripsi
data penelitian ini dapat dilihat selengkapnya pada lampiran 1.
Tabel 4.1 Rekapitulasi Hasil Perhitungan tentang Sikap sosial dan Hasil Belajar IPS Kelompok Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Role Playing dan Kelompok yang Mengikuti Metode Pembelajaran Konvensional
DataStatistik A1Y1 A2Y1 A1Y2 A2Y2
Mean (X ) 177,48 101,42 32,76 19,53Median 179,00 101,00 33,00 20,00Standar Deviasi (SD) 9,70 7,86 2,97 2,56Varians (S2) 94,01 61,84 8,82 6,57Skor Minimum (X min) 160 85 26 14Skor Maksimum (X maks) 191 117 38 24Jangkauan/Rentangan 31,00 32,00 12,00 10,00
139
140
Keterangan
A1Y1 : Deskripsi data sikap sosial siswa yang mengikuti metode pembelajaran role playing
A2Y1 : Deskripsi data sikap sosial siswa yang mengikuti metode pembelajaran konvensional
A1Y2 : Deskripsi data hasil belajar IPS siswa yang mengikuti metode pembelajaran role playing
A2Y2 : Deskripsi data hasil belajar IPS siswa yang mengikuti metode pembelajaran konvensional
4.1.1 Deskripsi Data Sikap sosial Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Role Playing (A1Y1)
Data tentang sikap sosial yang mengikuti metode pembelajaran role
playing mempunyai rentangan = 31, n = 42, skor minimum = 160, skor
maksimum = 191, banyak kelas interval = 6, panjang kelas interval = 6, rata-rata =
177,48, median = 179, standar deviasi = 9,7, dan varians = 94,01. Distribusi
frekuensi data sikap sosial disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Data Sikap sosial Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Role Playing (A1Y1)
No. Kelas Interval Nilai Tengah
(Xi)Frekuensi
(fi)
Frekuensi Relatif
(fr) 1 158 - 163 160,50 4 9,52%2 164 - 169 166,50 7 16,67%3 170 - 175 172,50 6 14,29%4 176 - 181 178,50 6 14,29%5 182 - 187 184,50 10 23,81%6 188 - 193 190,50 9 21,43%
JUMLAH 42 100%
141
Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh tabel di atas, dapat dilihat bahwa
banyaknya siswa yang mendapat nilai di antara rentang skor 158 - 163 dengan
nilai tengah 160,50 berjumlah 4 orang dengan frekuensi relatif sebesar 9,52%.
Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 164 - 169 dengan nilai tengah 166,50
berjumlah 7 orang dengan frekuensi relatif sebesar 16,67%. Jumlah siswa yang
memiliki rentang nilai 170 - 175 dengan nilai tengah 172,50 berjumlah 6 orang
dengan frekuensi relatif sebesar 14,29%. Jumlah siswa yang memiliki rentang
nilai 176 - 181 dengan nilai tengah 178,50 berjumlah 6 orang dengan frekuensi
relatif sebesar 14,29%. Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 182 - 187
dengan nilai tengah 184,50 berjumlah 10 orang dengan frekuensi relatif sebesar
23,81%. Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 188 - 193 dengan nilai tengah
190,50 berjumlah 9 orang dengan frekuensi relatif sebesar 21,43%. Agar tampak
lebih jelas, maka data pada tabel di atas dapat diringkas seperti gambar berikut ini.
142
160.50 166.50 172.50 178.50 184.50 190.500
2
4
6
8
10
12
Nilai Tengah
Frek
uens
i
Gambar 4.1 Histogram Data Sikap Sosial Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Role Playing (A1Y1)
Untuk mengetahui kecendrungan klasifikasi data sikap sosial siswa yang
mengikuti metode pembelajaran role playing dilakukan dengan menghitung mean
ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi) dimana Mi = ½ x (skor maksimal + skor
minimal) dan Sdi = 1/6 (skor maksimal – skor minimal). Berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, selanjutnya dapat disusun tabel konversi kategori data sikap
sosial siswa yang mengikuti metode pembelajaran role playing sebagai berikut.
Tabel 4.3 Kelas Interval untuk Masing-masing Kategori
INTERVAL SKOR KATEGORI
183,25 - 191,00 Sangat Tinggi178,08 - 183,24 Tinggi172,92 - 178,07 Sedang167,75 - 172,91 Rendah160,00 - 167,74 Sangat Rendah
143
Jika dilihat dari rata-rata (mean) = 177,48 dan dikonversikan ke dalam
tabel di atas, dapat diketahui bahwa kencederungan data sikap sosial siswa yang
mengikuti metode pembelajaran role playing masuk dalam kategori sedang.
4.1.2 Deskripsi Data Sikap sosial Siswa yang Mengikuti Metode
Pembelajaran Konvensional (A2Y1)
Data tentang sikap sosial yang mengikuti metode pembelajaran
konvensional mempunyai rentangan = 32, n = 45, skor minimum = 85, skor
maksimum = 117, banyak kelas interval = 6, panjang kelas interval = 6, rata-rata =
101,42, median = 101, standar deviasi = 7,86, dan varians = 61,84. Distribusi
frekuensi data metode pembelajaran konvensional disajikan dalam tabel di bawah
ini.
Tabel 4.4 Distribusi Data Sikap sosial Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Konvensional (A2Y1)
No. Kelas Interval Nilai Tengah
(Xi)Frekuensi
(fi)
Frekuensi Relatif
(fr) 1 83 - 88 85,50 2 4,76%2 89 - 94 91,50 5 11,90%3 95 - 100 97,50 15 35,71%4 101 - 106 103,50 10 23,81%5 107 - 112 109,50 9 21,43%6 113 - 118 115,50 4 9,52%
JUMLAH 45 100%
Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh tabel di atas, dapat dilihat bahwa
banyaknya siswa yang mendapat nilai di antara rentang skor 83 - 88 dengan nilai
144
tengah 85,50 berjumlah 2 orang dengan frekuensi relatif sebesar 4,76%. Jumlah
siswa yang memiliki rentang nilai 89 - 94 dengan nilai tengah 91,50 berjumlah 5
orang dengan frekuensi relatif sebesar 11,90%. Jumlah siswa yang memiliki
rentang nilai 95 - 100 dengan nilai tengah 97,50 berjumlah 15 orang dengan
frekuensi relatif sebesar 35,71%. Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 101 -
106 dengan nilai tengah 103,50 berjumlah 10 orang dengan frekuensi relatif
sebesar 23,81%. Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 107 - 112 dengan nilai
tengah 109,50 berjumlah 9 orang dengan frekuensi relatif sebesar 21,43%. Jumlah
siswa yang memiliki rentang nilai 113 - 118 dengan nilai tengah 115,50 berjumlah
4 orang dengan frekuensi relatif sebesar 9,52%. Agar tampak lebih jelas, maka
data pada tabel di atas dapat diringkas seperti gambar berikut ini.
85.50 91.50 97.50 103.50 109.50 115.500
2
4
6
8
10
12
14
16
Nilai Tengah
Frek
uens
i
Gambar 4.2 Histogram Sikap sosial Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Konvensional (A2Y1)
145
Untuk mengetahui kecendrungan klasifikasi data sikap sosial siswa yang
mengikuti metode pembelajaran konvensional dilakukan dengan menghitung
mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi) dimana Mi = ½ x (skor maksimal
+ skor minimal) dan Sdi = 1/6 (skor maksimal – skor minimal). Berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, selanjutnya dapat disusun tabel konversi kategori data sikap
sosial siswa yang mengikuti metode pembelajaran konvensional sebagai berikut.
Tabel 4.5 Kelas Interval untuk Masing-masing Kategori
INTERVAL SKOR KATEGORI
109,00 - 117,00 Sangat Tinggi103,67 - 108,99 Tinggi98,33 - 103,66 Sedang93,00 - 98,32 Rendah85,00 - 92,99 Sangat Rendah
Jika dilihat dari rata-rata (mean) = 101,42 dan dikonversikan ke dalam
tabel di atas, dapat diketahui bahwa kencederungan data sikap sosial siswa yang
mengikuti metode pembelajaran konvensional masuk dalam kategori sedang.
4.1.3 Deskripsi Data Hasil Belajar IPS Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Role Playing (A1Y2)
Data tentang hasil belajar IPS yang mengikuti metode pembelajaran role
playing mempunyai rentangan = 12, n = 42, skor minimum = 26, skor maksimum
= 38, banyak kelas interval = 7, panjang kelas interval = 2, rata-rata = 32,76,
median = 33, standar deviasi = 2,97, dan varians = 8,82. Distribusi frekuensi data
hasil belajar IPS disajikan dalam tabel di bawah ini.
146
Tabel 4.6 Distribusi Data Hasil Belajar IPS Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Role Playing (A1Y2)
No. Kelas Interval Nilai Tengah
(Xi)Frekuensi
(fi)
Frekuensi Relatif
(fr) 1 26 - 27 26,50 1 2,38%2 28 - 29 28,50 5 11,90%3 30 - 31 30,50 8 19,05%4 32 - 33 32,50 11 26,19%5 34 - 35 34,50 8 19,05%6 36 - 37 36,50 7 16,67%7 38 - 39 38,50 2 4,76%
JUMLAH 42 100%
Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh tabel di atas, dapat dilihat bahwa
banyaknya siswa yang mendapat nilai di antara rentang skor 26 - 27 dengan nilai
tengah 26,50 berjumlah 1 orang dengan frekuensi relatif sebesar 2,38%. Jumlah
siswa yang memiliki rentang nilai 28 - 29 dengan nilai tengah 28,50 berjumlah 5
orang dengan frekuensi relatif sebesar 11,90%. Jumlah siswa yang memiliki
rentang nilai 30 - 31 dengan nilai tengah 30,50 berjumlah 8 orang dengan
frekuensi relatif sebesar 19,05%. Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 32 -
33 dengan nilai tengah 32,50 berjumlah 11 orang dengan frekuensi relatif sebesar
26,19%. Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 34 - 35 dengan nilai tengah
34,50 berjumlah 8 orang dengan frekuensi relatif sebesar 19,05%. Jumlah siswa
yang memiliki rentang nilai 36 - 37 dengan nilai tengah 36,50 berjumlah 7 orang
dengan frekuensi relatif sebesar 16,67%. Jumlah siswa yang memiliki rentang
nilai 38 - 39 dengan nilai tengah 38,50 berjumlah 2 orang dengan frekuensi relatif
sebesar 4,76%. Agar tampak lebih jelas, maka data pada tabel di atas dapat
diringkas seperti gambar berikut ini.
147
26.50 28.50 30.50 32.50 34.50 36.50 38.500
2
4
6
8
10
12
Nilai Tengah
Frek
uens
i
Gambar 4.3 Histogram Hasil Belajar IPS Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Role Playing (A1Y2)
Untuk mengetahui kecendrungan klasifikasi data hasil belajar IPS siswa
yang mengikuti metode pembelajaran role playing dilakukan dengan menghitung
mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi) dimana Mi = ½ x (skor maksimal
+ skor minimal) dan Sdi = 1/6 (skor maksimal – skor minimal). Berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, selanjutnya dapat disusun tabel konversi kategori data hasil
belajar IPS siswa yang mengikuti metode pembelajaran role playing sebagai
berikut.
148
Tabel 4.7 Kelas Interval untuk Masing-masing Kategori
INTERVAL SKOR KATEGORI
35,00 - 38,00 Sangat Tinggi 33,00 - 34,99 Tinggi 31,00 - 32,99 Sedang 29,00 - 30,99 Rendah 26,00 - 28,99 Sangat Rendah
Jika dilihat dari rata-rata (mean) = 32,76 dan dikonversikan ke dalam tabel
di atas, dapat diketahui bahwa kencederungan data data hasil belajar IPS siswa
yang mengikuti metode pembelajaran role playing masuk dalam kategori sedang.
4.1.4 Deskripsi Data Hasil Belajar IPS Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Konvensional (A2Y2)
Data tentang hasil belajar IPS yang mengikuti metode pembelajaran
konvensional mempunyai rentangan = 10, n = 45, skor minimum = 14, skor
maksimum = 24, banyak kelas interval = 6, panjang kelas interval = 2, rata-rata =
19,53, median = 20, standar deviasi = 2,56, dan varians = 6,57. Distribusi
frekuensi data metode pembelajaran konvensional disajikan dalam tabel di bawah
ini.
Tabel 4.8 Distribusi Data Hasil belajar IPS Siswa yang Mengikuti Metode pembelajaran konvensional (A2Y2)
No. Kelas Interval Nilai Tengah
(Xi)Frekuensi
(fi)
Frekuensi Relatif
(fr) 1 14 - 15 14,50 4 9,52%2 16 - 17 16,50 7 16,67%3 18 - 19 18,50 9 21,43%4 20 - 21 20,50 13 30,95%5 22 - 23 22,50 11 26,19%
149
6 24 - 25 24,50 1 2,38%JUMLAH 45 100%
Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh tabel di atas, dapat dilihat bahwa
banyaknya siswa yang mendapat nilai di antara rentang skor 14 - 15 dengan nilai
tengah 14,50 berjumlah 4 orang dengan frekuensi relatif sebesar 9,52%. Jumlah
siswa yang memiliki rentang nilai 16 - 17 dengan nilai tengah 16,50 berjumlah 7
orang dengan frekuensi relatif sebesar 16,67%. Jumlah siswa yang memiliki
rentang nilai 18 - 19 dengan nilai tengah 18,50 berjumlah 9 orang dengan
frekuensi relatif sebesar 21,43%. Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 20 -
21 dengan nilai tengah 20,50 berjumlah 13 orang dengan frekuensi relatif sebesar
30,95%. Jumlah siswa yang memiliki rentang nilai 22 - 23 dengan nilai tengah
22,50 berjumlah 11 orang dengan frekuensi relatif sebesar 26,19%. Jumlah siswa
yang memiliki rentang nilai 24 - 25 dengan nilai tengah 24,50 berjumlah 1 orang
dengan frekuensi relatif sebesar 2,38%. Agar tampak lebih jelas, maka data pada
tabel di atas dapat diringkas seperti gambar berikut ini.
150
14.50 16.50 18.50 20.50 22.50 24.500
2
4
6
8
10
12
14
Nilai Tengah
Frek
uens
i
Gambar 4.4 Histogram Hasil Belajar IPS Siswa yang Mengikuti Metode Pembelajaran Konvensional (A2Y2)
Untuk mengetahui kecendrungan klasifikasi data hasil belajar IPS siswa
yang mengikuti metode pembelajaran konvensional dilakukan dengan menghitung
mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi) dimana Mi = ½ x (skor maksimal
+ skor minimal) dan Sdi = 1/6 (skor maksimal – skor minimal). Berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, selanjutnya dapat disusun tabel konversi kategori data hasil
belajar IPS siswa yang mengikuti metode pembelajaran konvensional sebagai
berikut.
Tabel 4.9 Kelas Interval untuk Masing-masing Kategori
INTERVAL SKOR KATEGORI
21,50 - 24,00 Sangat Tinggi19,83 - 21,49 Tinggi
151
18,17 - 19,82 Sedang16,50 - 18,16 Rendah14,00 - 16,49 Sangat Rendah
Jika dilihat dari rata-rata (mean) = 19,53 dan dikonversikan ke dalam tabel
di atas, dapat diketahui bahwa kencederungan data hasil belajar IPS siswa yang
mengikuti metode pembelajaran konvensional masuk dalam kategori sedang.
4.2 Uji Prasyarat Pengujian Hipotesis
Sebelum melakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
sebaran data dan uji homogenitas varians, dan uji homogenitas matrik
varians/kovarians.
4.2.1 Uji Normalitas
Uji kenormalan dimaksud untuk memperlihatkan bahwa data sampel
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil analisis menunjukkan
bahwa keseluruhan nilai signifikansi dari perhitungan Kolmogorov-Smirnov lebih
tinggi dari 0,050. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sebaran data pada
setiap kelompok adalah normal. Berikut ini disajikan table ringkasan perhitungan
uji normalitas.
Tabel 4.10 Ringkasan Perhitungan Uji Normalitas
KelompokKolmogorov-
Smirnov (Sig.)
Keterangan
Y1A1 0,064 NormalA2 0,200 Normal
Y2A1 0,058 NormalA2 0,063 Normal
152
4.2.2 Uji Homogenitas Varians
Analisis varian multivariate (MANOVA) mempersyaratkan adanya
homogenitas varians antar-kelompok. Apabila varians antar-kelompok tidak
homogeni, maka perbedaan nilai antarkelompok dapat terjadi akibat perbedaan
nilai yang terdapat dalam kelompok. Pengujian homogenitas varians dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Levene dengan bantuan SPSS.
Hasil uji homogenitas varians dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.11 Uji Homogenitas VariansUji Levene untuk Homogenitas Varians
F df1 df2 Sig.
Sikap sosial 3,837 1 85 0,053Hasil belajar IPS 1,040 1 85 0,311
Perhitungan uji homogenitas dari table di atas menunjukkan bahwa
keseluruhan nilai signifikansi (sig.) pada sikap sosial dan hasil belajar IPS lebih
besar dari 0,050 (sig. sikap sosial = 0,053, sig. hasil belajar IPS = 0,311). Hal ini
berarti keseluruhan data sikap sosial dan hasil belajar IPS berasal dari populasi
yang homogen.
4.2.3 Uji Homogenitas Matriks Varians/Kovarian
Selain uji homogenitas varians, MANOVA juga mempersyaratkan matriks
varian/kovarian dari variabel-variabel dependen sama. Homogenitas matriks
varians/kovarians diuji dengan menggunakan uji Box. Pengujian homogenitas
matriks varians/kovarians dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji
153
Box dengan bantuan SPSS (Lihat lampiran 4). Hasil analisisnya dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.12 Uji Homogenitas Matriks Varians/Kovarians
Uji Box’s Homogenitas Matriks Varians/Kovarians
Box's M 7,471
F 2,427
df1 3
df2 1541697,435
Sig. 0,063
Hasil analisis menunjukan bahwa harga Box’s M = 7,471, dengan nilai
signifikansi 0,063. Karena nilai signifikansi analisis di atas menunjukan nilai lebih
dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa matriks varians/kovarians dari variabel-
variabel dependen homogen dan analisis MANOVA dapat dilanjutkan.
4.2.4 Uji Korelasi antar-Variabel Terikat
Uji korelasi dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada
hubungan atau korelasi antar dua variabel terikat. Apabila terdapat korelasi yang
signifikan, ini menunjukan bahwa ada aspek sama yang diukur pada variabel-
variable terikat tersebut. Apabila diketahui ada aspek yang sama yang diukur,
maka uji hipotesis dengan MANOVA tidak layak untuk dilakukan. Uji korelasi
antar variable terikat dilakukan dengan formula statistik Produk Momen oleh
Pearson (Pearson’s Product Moment) di mana analisisnya dilakukan dengan
bantuan SPSS 16. Apabila nilai signifikansi (sig.) pada hasil analisis menunjukan
154
nilai diatas 0,05 (sig.>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi
antar variable terikat atau uji MANOVA layak untuk dilakukan. Hasil analisis uji
korelasi dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 4.13. Uji Korelasi antar Variabel Terikat
Nilai rhitung
(Pearson’s Correlation)Nilai signifikansi
(sig.) Keputusan
0,121 0,135 Tidak signifkan
Tabel di atas menunjukan bahwa rhitung yang bernilai 0,121 memiliki nilai
signifikansi sebesar 0,135 atau lebih besar dari 0,05 (sig.>0,05). Ini menunjukan
hubungan atau korelasi antar variable terikat tidak signifikan atau bahwa tidak ada
korelasi antar variable terikat. Maka dari itu, uji MANOVA layak untuk
dilakukan.
4.3 Pengujian Hipotesis
Karena ketiga uji prasyarat telah terpenuhi, maka uji hipotesis MANOVA
dapat dilakukan. Uji MANOVA digunakan untuk menguji apakah terdapat
perbedaan beberapa variabel terikat antara beberapa kelompok yang berbeda.
untuk menguji hipotesis kedua dan ketiga, perhatikan tabel Test of Between-
subjects Effect dari hasil perhitungan dengan bantuan aplikasi SPSS. Rangkuman
hasil analisis ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.14 Rangkuman Uji Hipotesis Kedua
Variabel Terikat Nilai F Nilai Signifikansi (sig.) KesimpulanSikap sosial 1624,350 0,000 Signifikan
155
Tabel di atas menunjukan variabel terikat sikap sosial memiliki nilai F
sebesar 1624,350 dengan nilai signifikansi 0,000 atau lebih kecil dari 0,05. Ini
menunjukan bahwa nilai F pada variabel terikat sikap sosial signifikan. Maka dari
itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan sikap sosial yang signifikan
antara kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran role playing dengan
kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran konvensional.
Tabel 4.15 Rangkuman Uji Hipotesis Ketiga
Variabel Terikat Nilai F Nilai Signifikansi (sig.) KesimpulanHasil Belajar IPS 496,509 0,000 Signifikan
Dari tabel di atas terlihat variabel terikat hasil belajar IPS memiliki nilai F
sebesar 496,509 dengan nilai signifikansi 0,000 atau lebih kecil dari 0,05. Ini
menunjukan bahwa nilai F pada variabel terikat hasil belajar IPS signifikan.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPS
yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran role
playing dengan kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran
konvensional.
Dalam penelitian ini dibedakan sikap sosial dan hasil belajar IPS untuk
siswa yang mengikuti metode pembelajaran role playing dengan kelompok siswa
yang mengikuti metode pembelajaran konvensional. Keputusan diambil dengan
analisis Pillai’s Trace, Wilks’ Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root
yang analisisnya dilakukan dengan bantuan SPSS. Hasil analisis hipotesis untuk
penelitian ini dapat dilihat sebagai beriku.
156
Tabel 4.16 Ringkasan Uji Multivariat
Statistik Nilai F Nilai Signifikansi (sig.) KesimpulanPillai’s Trace 1037,952 0,000 SignifikanWilks’ Lambda 1037,952 0,000 SignifikanHotelling’s Trace 1037,952 0,000 SignifikanRoy’s Largest Root 1037,952 0,000 Signifikan
Hasil analisis menunjukan bahwa harga F untuk Pillai’s Trace, Wilks’
Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root memiliki nilai signifikansi
lebih kecil daridapa 0,05. Maka dari itu, harga F untuk Pillai’s Trace, Wilks’
Lambda, Hotelling’s Trace, dan Roy’s Largest Root signifikan. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan sikap sosial dan hasil belajar IPS yang
signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran role
playing dengan kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode statistik
MANOVA dengan bantuan aplikasi SPSS diatas, hasil pengujian hipotesis dalam
penelitian ini dapat diringkas sebagai berikut:
a. Pengujian hipotesis pertama, hipotesis nul ditolak dan hipotesis
alternatif diterima. Ini bermakna terdapat perbedaan sikap sosial yang
signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran
role playing dengan kelompok siswa yang mengikuti metode pembelajaran
konvensional.
b. Pengujian hipotesis kedua, hipotesis nul ditolak dan hipotesis
alternatif diterima. Ini bermakna terdapat perbedaan hasil belajar IPS
157
yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti metode
pembelajaran role playing dengan kelompok siswa yang mengikuti metode
pembelajaran konvensional
c. Pengujian hipotesis ketiga, hipotesis nul ditolak dan hipotesis
alternatif diterima. Ini bermakna terdapat perbedaan sikap sosial dan
hasil belajar IPS yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti
metode pembelajaran role playing dengan kelompok siswa yang mengikuti
metode pembelajaran konvensional.
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian
4.4.1 Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Pertama
Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan terdapat perbedaan sikap sosial
antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sikap sosial siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
metode role playing lebih baik dibandingkan dengan sikap sosial siswa yang
belajar dengan metode konvensional pada siswa kelas IV Gugus I Busungbiu. Hal
ini ditunjukkan dengan rata-rata sikap sosial siswa yang mengikuti metode role
playing lebih tinggi daripada sikap sosial siswa yang mengikuti metode
konvensional.
Berdasarkan data hasil analisis multivariat dengan bantuan SPSS-17.00 for
windows diperoleh nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat ditarik
simpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara sikap sosial siswa yang
belajar dengan metode role playing dengan sikap sosial siswa yang belajar dengan
158
metode konvensional. Jadi dalam perbandingan antara metode role playing
dengan metode konvensional, terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap
sikap sosial siswa. Dengan kata lain, ada perbedaan antara metode role playing
dengan metode konvensional.
Berdasarkan data hasil analisis tersebut, secara teoritis dapat dikatakan
bahwa penggunaan metode role playing lebih baik dan efektif untuk
meningkatkan sikap sosial siswa dalam proses pembelajaran. Metode ini
memberikan ruang yang cukup untuk siswa mengkonstruksi pengetahuan,
mengembangkan kemampuan yang dimiliki, bekerjasama dengan kelompoknya
untuk berdiskusi, bebas memberikan pendapat, saling menghargai dan mengakui
kelebihan teman-temannya, membangun suasana yang saling menjaga dan
mendukung proses pembelajaran, serta menumbuhkan rasa sosial dan
kebersamaan yang tinggi.
Pada metode role playing, siswa berarti memerankan sebuah peran.
Setiap kali seseorang berbicara dalam situasi yang berbeda, berarti siswa
memerankan peran yang berbeda pula. Sebagai contonya, seorang guru ketika
sedang berbicara di depan kelas, maka dia berperan sebagai guru dan tentu saja
akan mengubah serta menggunakan bahasa yang berbeda ketika dia berbicara di
hadapan dosen sebagai mahasiswa. Melalui metode ini, siswa akan memerankan
berbagai tokoh sesuai dengan topic yang diberikan. Topik yang berbeda dan
seringnya mereka berbicara akan menuntut siswa untuk menggunakan bahasa
yang berbeda, sehingga secara tidak langsung kosakata, palafalan, intonasi,
pilihan kata, ungkapan dan penyusunan kalimat lisan akan meningkat dengan
159
cepat. Siswa akan lebih berani mengungkapkan pendapat melalui pengalaman
belajar yang didapat.
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan
oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Pada pola pembelajaran
konvensional, kegiatan proses belajar mengajar lebih sering diarahkan pada aliran
informasi dari guru ke siswa atau dalam proses pembelajarannya hanya sekedar
transfer ilmu dari guru kepada siswa saja, sehingga dalam pembelajaran metode
konvensional, kurang memperhatikan aspek sikap sosial atau interaksi sosial
siswa, interaksi yang terjadi hanya satu arah saja, yaitu interaksi guru dan siswa.
Dalam pembelajaran konvensional, guru di sekolah umumnya memfokuskan diri
pada upaya penuangan pengetahuan kepada para siswa tanpa memperhatikan
prakonsepsi siswa atau gagasan-gagasan yang telah ada dalam diri siswa (prior
knowledge) sebelum mereka belajar secara formal di sekolah. Jadi pada dasarnya
pembelajaran metode konvensional yang masih sering digunakan guru dalam
perencanaan dan proses pembelajaran, belum menunjukkan adanya interaksi
siswa, baik secara fisik dan mental.
Temuan dalam penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Syawal Simatupang (2012) yang berjudul Pengaruh Penerapan
Metode Pembelajaran Bermain Peran Terhadap Kompetensi Sosial Kognitif Siswa
dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (Studi kuasi Eksperimen pada Sekolah
Dasar Negeri SL Dan sekolah Dasar Negeri CG - Bandung) menyatakan bahwa
(1) Penerapan pembelajaran metode bermain peran dapat meningkatkan aktivitas
dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran; (2) Pengaruh penerapan metode
160
pembelajaran bermain peran terhadap kompetensi sosial kognitif siswa
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional menunjukkan perbedaan yang
signifikan.
Berdasarkan hasil analisis dan temuan dalam penelitian lain yang sesuai
dengan penelitian ini, jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan sikap
sosial antara siswa yang mengikuti pembelajaran metode role playing dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran metode konvensional pada siswa kelas IV
Gugus I Busungbiu.
4.4.2 Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Kedua
Hasil uji hipotesis kedua menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar
IPS antara siswa yang mengikuti pembelajaran metode role playing dengan siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hasil belajar IPS siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
metode role playing lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar IPS siswa yang
belajar dengan metode konvensional pada siswa kelas IV Gugus I Busungbiu. Hal
ini ditunjukkan dengan rata-rata hasil belajar IPS siswa yang mengikuti metode
role playing lebih tinggi daripada hasil belajar IPS siswa yang mengikuti metode
konvensional.
Berdasarkan data hasil penelitian analisis multivariat dengan berbantuan
SPSS-17.00 for windows diperoleh nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara hasil belajar IPS siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role
playing dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode
161
konvensional. Jadi dalam perbandingan antara metode role playing dengan
metode konvensional, terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap hasil
belajar IPS siswa.
Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, baik aktif fisik dan
mental, akan membantu dan memudahkan siswa dalam memahami dan mengingat
apa yang sedang dan telah mereka pelajari di kelas, serta sekaligus dapat
digunakan sebagai pedoman atau dasar dalam kehidupan mereka sehari-hari di
masyarakat. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh pihak guru selama ini masih
menggunakan paradigma lama yaitu teacher center, guru masih mendominasi
kegiatan pembelajaran dan belum melibatkan siswa dalam interaksi belajar
sehingga aktivitas fisik dan mental sosial siswa belum optimal.
Melalui metode role playing, siswa cenderung terlibat aktif pada proses
belajar mengajar. Metode ini juga melibatkan unsur senang di dalamnya yang
diduga akan mampu membangkitkan motivasi siswa dan membangkitkan
keberanian siswa dalam berbicara sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
hasil belajar siswa. Selain itu, Metode role playing memberikan kebebasan dan
keleluasaan pada siswa untuk mengembangkan ide mereka tanpa takut disalahkan
pada saat mereka performance. Berkurangnya rasa takut otomatis akan
memberikan mereka rasa percaya diri untuk mengungkapkan ide mereka,
sehingga secara tidak langsung mereka akan meningkatkan hasil belajarnya.
Pada proses pembelajaran dengan metode konvensional, guru masih
cenderung menjejali siswa dengan penghafalan materi, dan kurang memberi
kesempatan siswa dalam menemukan dan mengembangkan pengetahuannya.
162
Disamping itu, kreatifitas guru dalam menciptakan kondisi yang mengarahkan
siswa agar mampu mengintegrasikan konstruksi pengalaman kehidupannya
sehari-hari di luar kelas dengan konstruksi pengetahuannya di kelas kurang
terlihat. Hal ini mengakibatkan siswa lebih banyak menghafalkan fakta dan
konsep, sehingga pembelajaran IPS di sekolah dasar menjadi kurang menarik,
membosankan, dan siswa terbiasa mengkonsumsi pengetahuan pada akhirnya
siswa sulit mengkonstruksi pengetahuannya untuk berpikir kreatif dan kritis.
Kesulitan tersebut juga berdampak pada tingkat hasil belajar siswa yang menurun.
Jadi pada dasarnya pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, baik
aktif fisik dan mental, akan membantu dan memudahkan siswa dalam memahami
sebuah konsep selama proses dan setelah proses pembelajaran. Maka dari itu
dengan menerapkan pembelajaran metode role playing dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
Temuan dalam penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Gulmah Sugiharti dengan judul Penerapan Metode Bermain Peran
pada Pembelajaran Struktur Atom di Kelas X SMA N 1 Medan Tahun Pelajaran
2011/2012 dengan hasil penelitian menyatakan bahwa rata-rata keberhasilan
belajar siswa yang diajar dengan Metode Bermain Peran lebih tinggi dari pada
rata-rata keberhasilan belajar siswa dengan metode konvensional.
Berdasarkan hasil analisis dan temuan dalam penelitian lain yang sesuai
dengan penelitian ini, jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil
belajar IPS antara siswa yang mengikuti pembelajaran metode role playing
163
dengan siswa yang mengikuti pembelajaran metode konvensional pada siswa
kelas IV Gugus I Busungbiu.
4.4.3 Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Ketiga
Hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan terdapat perbedaan sikap sosial dan
hasil belajar IPS secara simultan antara siswa yang mengikuti pembelajaran
metode role playing dengan siswa yang mengikuti pembelajaran metode
konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap sosial dan hasil belajar
IPS siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing lebih baik
dibandingkan dengan sikap sosial dan hasil belajar IPS siswa yang belajar dengan
metode konvensional pada siswa kelas IV Gugus I Busungbiu. Hal ini didasarkan
pada hasil analisis MANOVA yang menunjukkan bahwa harga F hitung untuk
Pillae Trace, Wilk Lambda, Hotelling’s Trace, Roy’s Largest Root dari
implementasi metode role playing lebih kecil dari 0,05. Artinya semua nilai Pillae
Trace, Wilk Lambda, Hotelling’s Trace, Roy’s Largest Root signifikan. Dengan
demikian, terdapat pengaruh penerapan metode role playing terhadap sikap sosial
dan hasil belajar IPS secara simultan pada siswa kelas IV Gugus I Busungbiu.
Berdasarkan data hasil analisis tersebut, secara teoritis dapat dikatakan
bahwa penggunaan metode role playing lebih baik dan efektif untuk
meningkatkan sikap sosial dan hasil belajar IPS siswa dalam proses pembelajaran.
Hal ini dapat terwujud karena metode role playing menekankan pentingnya
interaksi antara aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan
aspek lingkungan sosial pembelajaran.
164
Proses memperoleh pengetahuan diawali dengan terjadinya konflik
kognitif, yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri. Pada akhir proses
belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak didik melalui
pengalamannya dari hasil interaktif dengan lingkungannya. Dalam teorinya ini
berusaha mengajak siswa untuk belajar pada posisinya yang tepat sesuai dengan
tingkat perkembangan anak, dan menuntun siswa pada awal tahap
pembelajarannya yang kemudian mengurangi tuntunannya ketika siswa sudah
mulai mampu mengambil tanggung jawab belajarnya.
Temuan dalam penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh oleh Diyah Retno Palupi (2012) yang berjudul Penerapan Strategi
Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Untuk Meningkatkan Kemampuan
Apresiasi Drama yang menunjukkan bahwa Penggunaan strategi bermain peran
(role playing) dalam pembelajaran apresiasi drama sangat cocok digunakan.
Karena dengan strategi ini siswa dapat memerankan masing-masing tokoh dalam
drama dengan sebaik-baiknya dan dapat meningkatkan keterampilan berbicara
siswa serta meningkatkan kreativitas siswa.
Berdasarkan hasil analisis dan temuan dalam penelitian lain yang sesuai
dengan penelitian ini, jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan sikap
sosial dan hasil belajar IPS secara simultan antara siswa yang mengikuti
pembelajaran metode role playing dengan siswa yang mengikuti pembelajaran
metode konvensional pada siswa kelas IV Gugus I Busungbiu.
Telah terbukti secara empiris dalam penelitian ini, pertama, terdapat
perbedaan sikap sosial antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode
165
role playing dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode
konvensional. Kedua, sikap sosial siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
metode role playing lebih tinggi daripada siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan metode konvensional. Ketiga, terdapat perbedaan hasil belajar IPS antara
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing dan siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Keempat, hasil belajar IPS
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing lebih tinggi
daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional.
Dengan pengujian hipotesis yang ketiga terbukti bahwa terdapat
perbedaan sikap sosial dan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti
pembelajaran metode role playing dengan siswa yang mengikuti pembelajaran
metode konvensional. Metode role playing adalah metode yang membawa
suasana dan keadaan pada kehidupan sehari-hari di masyarakat ke dalam
pembelajaran di kelas. Dalam penerapan metode ini, sudah tentu akan
menimbulkan banyak kejadian lucu dan menarik perhatian. Disamping itu,
metode role playing memberikan kelakuasaan pada siswa untuk mengembangkan
ide mereka tanpa takut disalahkan pada saat melakukan performance. Hal-hal ini
diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa namun juga dapat
memberikan kesempatan untuk mengembangkan sikap sosial siswa untuk
bersosialisasi.
Pembelajaran dengan metode konvensional merupakan metode yang
paling sering dilakukan oleh guru-guru selama proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran dengan metode konvensional ini iklim sosial pada diri peserta didik
166
dalam proses pembelajaran masih sangat minim, sehingga sikap sosial yang
dimiliki anak masih sangat rendah dan kurang tampak dalam proses pembelajaran.
Anak kurang melakukan komunikasi serta hubungan kerjasama dengan sesama
siswa, sehingga di dalam proses pembelajaran yang dilakukan kurang
mengembangkan sikap sosial yang ada pada diri siswa. Hal ini disebabkan karena
guru masih cenderung mengajar dengan menggunakan metode ceramah, tanya
jawab dan dalam proses pembelajaran guru hanya sekedar mentransfer ilmu
kepada siswa saja. Hal ini mengakibatkan siswa lebih banyak menghafalkan fakta
dan konsep tanpa melihat dan merasakan aplikasi yang ada dalam memecahkan
masalah atau hal yang terjadi dilingkungannya, sehingga pembelajaran IPS di
sekolah dasar menjadi kurang menarik, membosankan, dan siswa terbiasa
mengkonsumsi pengetahuan pada akhirnya siswa sulit mengkonstruksi
pengetahuannya untuk berpikir kreatif dan kritis. Kesulitan tersebut akan
berdampak pada tingkat hasil belajar siswa yang menurun.
Peran aktif siswa dan kerjasama siswa selama proses pembelajaran
merupakan salah satu iklim ketercapaian pembelajaran IPS. Peran aktif siswa dan
kerjasama siswa dalam mengangkat masalah sosial nyata dalam pembelajaran IPS
sangat berpengaruh terhadap daya pikir siswa terhadap setiap permasalahan yang
muncul di masyarakat, serta dapat mengembangkan dan meningkatkan sikap
sosial yang dimiliki oleh siswa. Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif,
baik aktif fisik dan mental, juga akan membantu dan memudahkan siswa dalam
memahami sebuah konsep selama proses dan setelah proses pembelajaran
sehingga dapat berdampak pada meningkatnya hasil belajar siswa.
167
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode role playing yang
diimplementasikan guru akan sangat mempengaruhi sikap sosial dan hasil belajar
IPS siswa, dan metode role playing dapat meningkatkan sikap sosial dan hasil
belajar IPS siswa.
4.5 Implikasi
Hasil penelitian ini telah memberikan temuan bahwa sikap sosial dan hasil
belajar IPS siswa yang mengikuti metode role playing lebih tinggi daripada siswa
yang mengikuti metode pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan metode
role playing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap sosial dan hasil
belajar IPS siswa kelas IV Gugus I Busungbiu. Berdasarkan temuan-temuan yang
sudah dideskripsikan sebelumnya, hasil penelitian memiliki implikasi sebagai
berikut.
1) Penerapan metode role playing dapat memperbaiki proses pembelajaran.
Guru dalam pembelajaran metode ini adalah sebagai pemandu selama proses
pembelajaran yang mendorong siswa untuk belajar secara kritis, dalam aspek
budaya dan kehidupan sosial siswa sehingga dapat meningkatkan sikap sosial
dan hasil belajar siswa.
2) Metode role playing memberikan strategi dan teknik mengajar yang efektif.
Metode ini menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa
pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara bersama, sehingga dapat
menimbulkan sikap sosial positif yang ada pada diri siswa, seperti sikap
terbuka, empati, komunikasi yang baik, dan kerjasama.
168
3) Implementasi metode role playing dapat memberikan bantuan kepada siswa
berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah-masalah
kedalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan lain
yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Pemberian bantuan ini
bertujuan agar siswa mampu menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan
secara mandiri.
169
BAB V
PENUTUP
5.1 Rangkuman
Upaya yang dilakukan untuk membenahi nilai-nilai sosial dan
meningkatkan kualitas pendidikan yaitu dengan cara menumbuhkan sikap sosial
dan hasil belajar siswa dengan rancangan pembelajaran yang memungkinkan
siswa untuk saling berinteraksi antar sesama siswa dan lingkungannya, serta
menitik beratkan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang mana siswa
mengalami secara langsung apa yang dipelajarinya untuk memperoleh
pengalaman yang bermakna. Untuk dapat mendukung rancangan pembelajaran
tersebut, maka diperlukan metode pembelajaran yang dapat mendukung hal
tersebut.
Metode role playing adalah metode yang membawa suasana dan keadaan
pada kehidupan sehari-hari di masyarakat ke dalam pembelajaran di kelas. Dalam
penerapan metode ini, sudah tentu akan menimbulkan banyak kejadian lucu dan
menarik perhatian. Disamping itu, metode role playing memberikan kelakuasaan
pada siswa untuk mengembangkan ide mereka tanpa takut disalahkan pada saat
melakukan performance. Hal-hal ini diharapkan mampu meningkatkan hasil
belajar siswa namun juga dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan
sikap sosial siswa untuk bersosialisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan sikap sosial
dan hasil belajar IPS antara siswa yang mengikuti metode role playing dengan
169
170
siswa yang mengikuti metode konvensional. Tujuan pokok tersebut dapat dirinci
lagi menjadi beberapa tujuan khusus penelitian, yaitu: 1) untuk mengetahui
perbedaan sikap sosial antara siswa yang mengikuti pembelajaran metode role
playing dengan siswa yang mengikuti pembelajaran metode konvensional pada
mata pelajaran IPS kelas IV SD; 2) untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPS
antara siswa yang mengikuti pembelajaran metode role playing dengan siswa
yang mengikuti pembelajaran metode konvensional pada siswa kelas IV SD; 3)
untuk mengetahui secara simultan perbedaan sikap sosial dan hasil belajar IPS
antara siswa yang mengikuti pembelajaran metode role playing dengan siswa
yang mengikuti pembelajaran metode konvensional pada siswa kelas IV SD.
Rancangan eksperimen yang digunakan adalah eksperimen semu, dengan
pola dasar “The Post Test Only Control Group”. Analisis penelitiannya yang
digunakan adalah analisis Multivariat Analysis of Varians (MANOVA).
Penelitian ini dilaksanakan di Gugus I Busungbiu tahun ajaran 2014-2015.
Sampel penelitian yang dipilih berjumlah 87 orang siswa kelas IV yang terdiri
dari 42 siswa kelompok eksperimen dan 45 siswa sebagai kelas kontrol.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini tidak dilakukan pengacakan secara
individu, hal ini dilakukan karena kelas-kelas yang tersedia dan tidak
memungkinkan untuk dirubah. Dengan demikian pemilihan sampel dilakukan
dengan random sampling.
Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu metode role
playing dan variabel terikat yaitu sikap sosial dan hasil belajar IPS. Instrumen
penelitian yang digunakan terdiri dari kuesioner untuk sikap sosial dan tes hasil
171
belajar untuk hasil belajar IPS. Setelah melalui uji judges dan uji empiris jumlah
kuesioner yang digunakan 40 butir dan tes hasil belajar IPS dalam bentuk tes
obyektif juga berjumlah 38 butir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, terdapat perbedaan sikap
sosial antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing
dengan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Uji
lanjut terhadap hipotesis 1 menunjukkan sikap sosial yang mengikuti metode role
playing secara signifikan lebih tinggi daripada siswa yang mengikuti metode
pembelajaran konvensional.
Kedua, terdapat perbedaan hasil belajar IPS siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan metode role playing dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan metode konvensional. Uji hipotesis 2 menunjukkan hasil
belajar IPS siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing
secara signifikan lebih tinggi daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
metode konvensional.
Ketiga, secara simultan terdapat perbedaan sikap sosial dan hasil belajar
IPS siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Uji terhadap
hipotesis 3 menunjukkan secara simultan sikap sosial dan hasil belajar IPS siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing secara signifikan lebih
tinggi daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional.
Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa metode role playing lebih
baik dari metode konvensional terhadap sikap sosial dan hasil belajar IPS.
172
5.2 Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan hasil penelitian,
maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
1. Terdapat perbedaan sikap sosial yang signifikan antara siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan metode role playing dengan siswa yang mengikuti
metode pembelajaran konvensional. Rata-rata sikap sosial siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan metode role playing lebih tinggi dari sikap
sosial siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional.
2. Terdapat perbedaan hasil belajar IPS yang signifikan antara siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan metode role playing dengan siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Rata-rata hasil belajar
IPS siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing lebih
tinggi dari hasil belajar IPS siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
metode konvensional.
3. Terdapat perbedaan sikap sosial dan hasil belajar IPS secara simultan antara
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode role playing dengan
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional. Sikap
sosial dan hasil belajar IPS pada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
metode role playing lebih tinggi dari siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan metode konvensional.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh implementasi metode role playing terhadap sikap sosial dan hasil belajar
IPS siswa kelas IV Gugus I Busungbiu.
173
5.3 Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi penelitian yang telah dipaparkan,
maka dapat diajukan beberapa saran guna peningkatkan kualitas pembelajaran IPS
sebagai berikut.
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan metode role playing secara signifikan memiliki sikap sosial yang tinggi
daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode konvensional.
Untuk itu, metode ini hendaknya diperkenalkan dan dikembangkan kepada
pendidik guna meningkatkan sikap sosial siswa.
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan metode role playing secara signifikan memiliki hasil belajar IPS yang
tinggi daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode
konvensional. Oleh karena itu, para pendidik disarankan menggunakan metode
role playing dalam pembelajaran di sekolah untuk meningkatkan hasil belajar
IPS.
3. Pendidik hendaknya mempelajari setiap detail metode role playing baik dari
segi isi maupun konteks, agar guru memahami konsep dari metode role
playing, karena guru dalam metode ini sebagai pemandu atau pendukung
selama proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk belajar secara kritis,
dalam aspek budaya dan kehidupan sosial siswa, sehingga siswa dapat
membangun sendiri pengetahuannya melalui pengalamannya dari hasil
interaktif dengan lingkungannya.
174
4. Mengingat keterbatasan waktu dan pokok bahasan yang digunakan dalam
penelitian ini, maka disarankan kepada peneliti lain, agar melaksanakan
penelitian sejenis dengan pemilihan materi yang berbeda dan waktu yang lebih
lama untuk mendapatkan gambaran yang lebih meyakinkan mengenai metode
role playing terhadap sikap sosial dan hasil belajar IPS.
5. Untuk penyempurnaan penelitian ini, disarankan kepada peneliti lain untuk
mengadakan penelitian lanjut dengan melibatkan variabel-variabel lain,
misalnya kemampuan berpikir kritis, kecerdasan interpersonal dan lain
sebagainya.
175
6. DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Metode Praktik (Edisi Revisi VI). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Aryana. 2009. Meningkatkan Keterampilan Berfikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Beth Cole, dkk. 2009. Guiding Principles for Stabilization and Reconstruction. Washington: United State Institute of Peace Press.
BSNP. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk SD/MI. Jakarta: Depdiknas.
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Bulach, Cletus R. 2002. Implementing a Character Education CurricuAssessing Its Impact on Student Behavior, ProQuest Education Journal.
Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Dantes, Nyoman. 2008. Pendidikan Teknohumanistik (Suatu Rangkian Persspektif dan Kebijakan Pendidikan Mengahadapi Tantangan Global). Makalah Disampaikan Pada Seminar Pendidikan Diselenggarakan oleh S2 Pendas PPs Undiksha 22 Juli 2008.
_______. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: Andi
Depdiknas. 2004. Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian di Sekolah Dasar. Jakarta: Dikdasmen.
Devito, Joseph A. 1997. Human Communication. Alih bahasa Agus Maulana dkk, Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Profesional Book.
Dimyati & Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Djahirin, A. Kosasih. 1996. Pengajaran Studi Sosial (IPS). Bandung: FKIS IKIP Bandung.
176
Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Hasil belajar dan kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional.
Gunawan, Rudi. 2011. Pendidikan IPS Filosofi, Konsep, dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta.
Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Jarolimek, J. 1986. Social Studies in Elementary Education Seventh Edition. New York: Macmillan Publishing Company.
Juliantara, Ketut. 2009. Metode Pembelajaran Konvensional. Terdapat pada http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/20/metode- pembelajaran-konvensional/. Diakses pada tanggal 06 Januari 2015.
Koyan, I Wayan. 2011. Asesmen dalam Pendidikan. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha Press.
Lasmawan. Wayan. 2010. Menelisik Pendidikan IPS dalam Perspektif Kontekstual-Empiris. Bali: Mediakom Indonesia Press Bali.
_______. 2010. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang Inovatif. Singaraja: Undiksha.
_______. 2010. Pendidikan IPS. Tersedia pada http://lasmawan.blogspot.com/ 2010/10/pendidikan-ips_11.html. Diunduh pada tanggal 15 Januari 2015.
Lickona, Thomas. 2000. “Talks About Character Education”, wawancara oleh Early Chilhood Today”, ProQuest Education Journal. http://webcache. google usercontent.com.
Marhaeni. 2007. Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif (Makalah). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Mulyadi, Seto. 2004. Bermain dan kreativitas. Jakarta: Papas Sinar Siniarti.
NCSS. 1994. Curriculum Standars for the Social Studies. Washington D.C.: National Council for the Social Studies.
Nurkencana. 1996. Evaluasi Hasil Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional.
Purwanto, M Ngalim. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
177
Rasana, I Dw Putu Raka. 2009. Laporan Sabbatical Leave Metode-metode. Singaraja: Undiksha.
Riduwan. 2010. Metode dan Teknik Menyusun Tesis.Bandung: Alfabeta.
Roestiyah, N K. 1986. Masalah-masalah Ilmu Keguruan. Jakarta: Bumi Aksara.
Rohman, Arif. 2009. Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang Mediatama.
Sa’ud, Udin Syaefudin. 2011. Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Slameto. 1995. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana S., D. 2001. Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Sudiarta, I Gst Putu. 2010. Pengembangan Metode Inovatif, (Makalah). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Metode Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
_______. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1996. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi dalam Era Globalisasi: Suatu Kajian”, Makalah, disajikan dalam Seminar tentang Sistem Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Menyongsong Era Global oleh Pusbangkurandik-Balitbangdikbud. Jakarta: Balitbangdikbud.
Sunartombs. 2009. Pengertian Hasil belajar. Terdapat pada Http://Sunartombs.Wordpress.Com/2009/01/05/Pengertian-Hasil belajar/ diakses pada tanggal 02 Januari 2015.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Sutardi, Dodo. 2012. Pengukuran Sikap Sosial. Tersedia pada http://pengukuranpendidikan.blogspot.com/2012/09/pengukuran-sikap-soaial.html . Diunduh pada tanggal 3 Januari 2015.
Syah, Muhibbin. 2007. Psikologi Belajar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
178
S, Hamid Hassan. 2010, “Pendidikan IPS (Definisi,Tujuan, SKL, Konten, Proses dan Asesmen)” Panduan, Yogyakarta: HISPISI.
Trianto. 2007. Metode-metode Inovatif Berorientasi Kontruktivistik (Konsep, landasan teoritis praktis dan Implentasinya). Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Wahab, Abdul Aziz. dkk. 2007. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka.
Warpala, I Wayan. 2009. “Metode Konvensional”. Tersedia pada http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/20/metode-pembelajaran-konvensional/. Diunduh pada tanggal 10 Desember 2014.
Winarno. 2011. Dinamika Peradaban Global & Pengaruhnya Bagi Negara Bangsa. Solo: FKIP UNS.
179
Lampiran 1. Kuesioner Sikap SosialKuesioner Sikap Sosial
A. Petunjuk Pengisian
1. Berikut ini adalah sejumlah pernyataan mengenai situasi yang diandaikan
benar-benar dihadapkan pada diri kalian. Kalian diminta untuk membaca
semua pernyataan itu dengan baik dan teliti. Jawaban terhadap pernyataan
tersebut tidak ada hubungannya dengan nilai raport.
2. Berikan pilihan kalian dengan memberi tanda ceklist ( √ ) pada kolom
sebelah kanan, dengan keterangan sangat setuju, setuju, kurang setuju, tidak
setuju, dan sangat tidak setuju.
3. Kalian diminta untuk menjawab sejujur-jujurnya, karena tidak ada jawaban
benar atau salah. Jawaban yang paling baik adalah jawaban yang paling
sesuai atau yang paling tepat dengan pendapat atau sikap mengenai diri
kalian sendiri.
B. Pernyataan Sikap Sosial
NO. PERNYATAAN
Pendapat Responden (siswa)
Sangat Setuju Setuju Kurang
SetujuTidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
1 Saya akan berterus terang kepada teman jika saya kurang setuju dengan pendapatnya
2 Jika saya berbuat salah, saya akan mengakui kesalahan yang saya lakukan
3 Dalam mengerjakan tugas, saya sering melihat pekerjaan teman yang lain
4 Saya akan menolong teman saya walaupun mereka berbeda suku atau agama
5 Teman yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas harus dibantu
6 Saya selalu bersikap baik dalam
180
bergaulan dengan teman
7 Saya akan merasa senang jika melihat teman saya senang
8 Memberikan saran yang baik atas masalah yang sedang dihadapi oleh teman
9 Saya tidak peduli terhadap teman yang menyampaikan kesulitan belajar kepada saya
10 Selalu berdiskusi dengan teman tentang pelajaran yang dipelajari
11 Saya akan meminta bantuan kepada teman jika saya mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas
12 Saya akan menciptakan hubungan yang harmonis dengan teman dikelas
13 Saling menyayangi dan menghormati sesama teman
14 Saya tidak peduli dan tidak tertarik untuk berbicara dengan orang lain
15 Menjaga kebersihan lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya
16 Selalu mengungkapkan pendapat pada saat diskusi
17 Tidak ribut pada saat guru menjelaskan di depan kelas
18 Kerjasama sangat diperlukan dalam melakukan diskusi atau kerja kelompok
19 Dalam bergaul sebaiknya kita membeda-bedakan teman berdasarkan jenis kelaminnya
20 Memberi tahu kepada teman bila dia melakukan kesalahan dalam mengerjakan tugas
181
21 Mengajari teman yang kurang paham terhadap materi yang disampaikan oleh guru
22 Ikut berpartisipasi dalam kegiatan diskusi
23 Saya akan berkata jujur dengan apa yang telah saya lakukan
24 Saya akan menerima teman yang berbeda suku dan agama dalam kelompok saya
25 Selalu membanggakan suku dan agama sendiri di depan teman yang memiliki suku dan agama yang berbeda
26 Belajar berkelompok bermanfaat untuk tukar menukar pikiran, pengalaman, dan pengetahuan
27 Mengungkapkan pendapat tanpa menyinggung orang lain
28 Saya senang memiliki banyak teman
29 Menyatakan hal yang sebenarnya dengan tulus tanpa ditambahi atau dikurangi dengan hal yang lain
30 Mempersilahkan teman untuk melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaannya
31 Saya senang mengganggu teman-teman yang lain
32 Saya akan turut berduka cita jika ada keluarga teman yang mengalami kecelakaan
33 Saya akan berbagi buku materi yang saya miliki kepada teman yang tidak memiliki buku
34 Bertanya kepada teman tentang pelajaran yang sulit dipahami oleh diri
182
sendiri
35 Menanggapi dengan baik apa yang dibicarakan oleh orang lain
36 Selalu berdiam diri pada saat terlibat dalam sebuah diskusi
37 Tidak mengejek pendapat orang lain
38 Saya selalu ramah dan santun dalam berbicara
39 Selalu bekerja secara bersama-bersama dalam mengerjakan tugas sekolah
40 Saya akan bertanya kepada guru tentang permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran
41 Saat berbicara dengan orang lain, saya menggunakan nada yang keras
42 Saya akan berusaha menjadi yang terbaik bagi teman-teman saya
43 Memberikan saran terhadap permasalahan yang timbul dalam diskusi
44 Membantu teman yang memerlukan bantuan
45 Apabila saya merasa tidak mampu untuk mengerjakan sesuatu, saya akan meminta bantuan kepada teman
46 Melakukan segala cara agar teman menjadi celaka
47 Menghargai pendapat teman lain walaupun dia berbeda suku atau agama
48 Saya sering menjenguk teman yang sedang sakit
49 Menerima teman ke dalam kelompok belajar dengan perasaan senang walaupun dia kurang pandai
183
50 Turut berbahagia atas keberhasilan yang dicapai oleh teman
51 Lebih baik belajar sendiri, karena dengan belajar berkelompok dapat menimbulkan perselisihan
52 Selalu berbuat baik terhadap teman
53 Menghargai pendapat yang dikemukakan oleh orang lain
54 Tidak mencela atau memotong pembicaraan orang lain
55 Menggunakan bahasa yang baik dalam berbicara
56 Tidak menambah kenyataan yang ada dengan cerita sendiri
57 Saya akan merasa senang jika melihat teman saya sedang bersedih
58 Meminjamkan pensil kepada teman yang tidak membawa pensil
59 Merasa senasib dan sepenanggungan dengan keadaan teman yang lain
60 Ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah dalam forum diskusi
184
Lampiran 2. Tes Hasil belajar IPS
Tes Hasil belajar IPS
Pilihlah jawaban yang kamu anggap benar dengan memberi tanda silang (X)
pada salah satu huruf a, b, c, atau d !
Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat dengan cara menyilang ( X ) huruf : a,b, c atau d, pada lembar jawaban yang telah tersedia!
1. Salah satu upaya untuk mengembangkan potensi daerah perairan adalah ….
a. Melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom
b. Mempromosikan keindahan taman laut
c. Merusak habitat terutama karang
d. Membuang limbah ke muara sungai
2. Kegiatan ekonomi suatu daerah dipengaruhi oleh ….
a. Masyarakat
b. Potensi daerahnya
c. Cuaca
d. Suku bangsanya
3. Kegiatan ekonomi di bidang perikanan diantaranya adalah di bawah ini,
kecuali ….
a. Budi daya kerang mutiara
b. Pengeboran minyak lepas pantai
c. Pembuatan kolam jala apung di waduk Jatiluhur
d. Penangkpan paus di Lama lera
4. Jenis sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui adalah ….
a. Rotan
b. Hasil laut
c. Minyak bumi
d. Hasil pertanian
185
5. Ibu memasak menu ikan pati saus tiram untuk dijual, ibu telah melakukan ….
a. Pelestarian budaya
b. Budidaya perikanan air tawar
c. Kegiatan ekonomi
d. Pengembangan kesejahteraan rakyat
6. Kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia disebut ….
a. Sumber daya alam
b. Energi
c. Lingkungan
d. Budaya
7. Tanah yang subur merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan
sebagai ….
a. Tambak
b. Pertanian
c. Peternakan
d. Irigasi
8. Pada umumnya manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk ….
a. Kesenangan pribadi
b. Memperoleh penghasilan
c. Menyenangkan orang lain
d. Menunjukkan gengsi
9. Contoh sumber daya alam yang dapat diperbarui adalah ….
a. Minyak bumi
b. Batu bara
c. Emas dan perak
d. Peternakan dan perkebunan
10. Kegiatan ekonomi masyarakat di daerah kota adalah ….
a. Bertani
b. Nelayan
c. Pegawai negeri
d. Peternak
186
11. Salah satu sumber daya alam yang diambil dari dalam bumi adalah ….
a. Pohon
b. Gas bumi
c. Hewan
d. Pasir
12. Kegiatan ekonomi dibidang pertanian biasanya menghasilkan tanaman
dibawah ini, kecuali ….
a. Padi
b. Jagung
c. Sayur-mayur
d. Karet
13. Pak danu adalah seorang pembuat ukiran jepara, Pak Danu telah
meningkatkan potensi daerah ….
a. Pertambangan
b. Perkebunan
c. Wilayah alam
d. Sosial dan budaya
14. Usaha untuk mengelola lahan yang luas dan dimanfaatkan untuk ditanami
tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi disebut ….
a. Peternakan
b. Industri
c. Tambak
d. Perkebunan
15. Koperasi merupakan bentuk usaha bersama yang disusun atas asas ….
a. Kekeluargaan
b. Persatuan
c. Perseorangan
d. Kekerabatan
187
16. Kegiatan mengolah bahan mentah menjadi barang yang siap dipakai disebut
kegiatan ….
a. Industri
b. Perdagangan
c. Ekstratif
d. Pertanian
17. Kopi, teh, tembakau, tebu, kelapa merupakan potensi ekonomi dibidang ….
a. Pertanian
b. Perkebunan
c. Peternakan
d. Kehutanan
18. Seorang yang dibayar untuk mengerjakan lahan pertanian milik orang lain
disebut ….
a. Petani
b. Buruh tani
c. Tukang kebun
d. Tungkulak
19. Berikut yang bukan merupakan hasil pengolahan minyak bumi adalah ….
a. Bensin
b. Avtur
c. Solar
d. Keramik
20. Koperasi yang beranggotakan sekurang-kurangnya 20 orang disebut ….
a. Koperasi konsumsi
b. Koperasi produksi
c. Koperasi sekolah
d. Koperasi primer
188
21. Yang mendapat julukan sebagai bapak koperasi Indonesia adalah ….
a. Ir. Soekarno
b. Drs. Moh. Hatta
c. Mr. Moh. Yamin
d. M. Supomo
22. Simpanan yang dibayarkan oleh anggota pada setiap bulan dengan jumlah
yang telah ditentukan disebut ….
a. Simpanan pokok
b. Simpanan wajib
c. Simpanan sukarela
d. Simpanan biasa
23. Salah satu jenis koperasi fungsional adalah ….
a. Koperasi guru
b. Koperasi simpan pinjam
c. Koperasi sekolah
d. Koperasi produksi
24. Modal utama koperasi diperoleh dari ….
a. Simpanan anggota
b. Pinjaman bank
c. Pemerintah
d. Dana cadangan
25. Ciri koperasi yang berbadan hukum adalah ….
a. Memiliki anggota yang banyak
b. Memiliki akta pendirian
c. Memiliki surat berharga
d. Memiliki kantor tetap
26. Pada setiap akhir tahun, anggota koperasi mendapat ….
a. Sisa hasil usaha
b. Sisa penjualan
c. Sisa pembelian
d. Keuntungan besar
189
27. Koperasi yang menyediakan barng kebutuhan sehari-hari dinamakan
koperasi….
a. Jasa
b. Konsumsi
c. Produksi
d. kredit
28. Koperasi memiliki arti ….
a. Berusaha bersama untuk kepentingan pengurus
b. Berusaha bersama untuk kepentingan Negara
c. Berusaha untuk kepentingan bersama
d. Berusaha bersama untuk mengeruk keuntungan besar
29. Salah satu manfaat menjadi anggota koperasi adalah ….
a. Mencari keuntungan
b. Melatih kemandirian
c. Mensejahterakan anggota
d. Melatih kepekaan sosial
30. Simbol koperasi padi dan kapas melambangkan ….
a. Keadilan sosial
b. Sifat nasional koperasi
c. Kemakmuran
d. Pancasila
31. Dana pemberian dari orang lain atau lembaga kepada koperasi disebut ….
a. Dana hibah
b. Simpanan pokok
c. Simpanan wajib
d. Dana sukarela
32. Teknologi pertanian masa kini dalam mengolah tanah menggunakan ….
a. Kerbau
b. Bajak
c. Traktor
d. Motor
190
33. Lambang koperasi berupa gigi roda mempunyai arti ….
a. Persahabatan yang kokoh
b. Keadilan sosial
c. Kemakmuran
d. Usaha karya yang terus menerus
34. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi adalah ….
a. Pengurus
b. Pengawas
c. Rapat anggota
d. Dewan komisaris
35. Segala sesuatu yang digunakan sebagai alat angkutan disebut ….
a. Transportasi
b. Komunikasi
c. Konsumsi
d. Produksi
36. Pasal yang mengatur tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial dalam
UUD 1945 adalah ….
a. Pasal 28
b. Pasal 30
c. Pasal 27
d. Pasal 33
37. Koperasi yang beranggotakan masyarakat pedesaan disebut ….
a. KUD
b. KOPPAS
c. KPN
d. Koperasi pertanian
191
38. Kegiatan untuk menambah nilai guna suatu benda disebut ….
a. Produksi
b. Teknologi
c. Industri
d. Mekanisme
39. Berikut ini yang bukan prinsip dari koperasi adalah ….
a. Bersifat kekeluargaan
b. Dikelola dengan asas demokrasi
c. Pembagian SHU secara adil
d. Dipimpin oleh komisaris utama
40. Berdasarkan keanggotaannya koperasi dapat dibedakan menjadi, kecuali ….
a. Koperasi sekolah
b. Koperasi pasar
c. Koperasi serba usaha
d. Koperasi unit desa
41. Zaman saat semua peralatan terbuat dari batu disebut ….
a. Zaman purba
b. Zaman peralihan
c. Zaman batu
d. Zaman modern
42. Teknologi yang paling cepat berkembang dewasa ini adalah ….
a. Perindustrian
b. Informasi
c. Transportasi
d. Pertanian
43. Kelebihan alat produksi masa lalu diantaranya adalah ….
a. Bebas polusi
b. Sulit membuatnya
c. Kurang menyerap tenaga kerja
d. Boros energi listrik
192
44. Serangkaian kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa disebut ….
a. Produksi
b. Konsumsi
c. Teknologi
d. Penjualan
45. Penemu telepon merupakan seorang ilmuan skotlandia yang bernama ….
a. Alexander Graham Bell
b. John Logie Baird
c. Johannes Gutenberg
d. Gailermo Marconi
46. Dibawah ini merupakan alat trasnportasi modern adalah ….
a. Rakit
b. Perahu dagang
c. Kapal laut
d. Perahu layar
47. Teknologi komunikasi di masa lalu adalah ….
a. Telepon
b. Hp
c. Kentongan
d. Televisi
48. Radio, televisi, telepon dan internet adalah contoh teknologi ….
a. Transportasi
b. Komunikasi
c. Produksi
d. Peralatan
49. Perusahan penerbangan milik pemerintah indonesia adalah ….
a. Lion Air
b. Garuda Indonesia Airlines
c. Mandala Air
d. Merpati Air
193
50. Mengirim surat melalui internet dikenla dengan sebutan ….
a. Game
b. Download
c. Email
d. Chat
194
KUNCI JAWABAN
1. B
2. B
3. A
4. C
5. C
6. A
7. B
8. B
9. D
10. C
11. B
12. D
13. D
14. D
15. A
16. A
17. B
18. B
19. D
20. D
21. B
22. B
23. A
24. A
25. B
26. A
27. B
195
28. C
29. C
30. C
31. A
32. C
33. D
34. C
35. A
36. D
37. A
38. A
39. C
40. C
41. C
42. A
43. A
44. A
45. A
46. C
47. C
48. B
49. B
50. C
196
Lampiran 3. Deskripsi Data
A1 A2Y1 Y2 Y1 Y2
177,00160,00160,00180,00170,00189,00190,00188,00187,00167,00191,00182,00166,00170,00175,00182,00183,00188,00187,00167,00191,00182,00166,00170,00175,00182,00183,00168,00182,00162,00180,00190,00191,00176,00162,00178,00175,00189,00183,00167,00178,00165,00
33,0029,0034,0032,0030,0029,0033,0034,0038,0036,0028,0030,0030,0034,0026,0029,0032,0033,0038,0032,0033,0035,0029,0030,0030,0030,0037,0033,0036,0037,0037,0036,0034,0031,0030,0033,0032,0036,0035,0035,0035,0032,00
97,00102,0096,00
102,00103,0090,00
105,00109,0098,0085,00
101,0090,00
112,0098,00
112,0088,0097,0094,00
109,0090,00
100,00115,0095,00
107,00114,0096,0099,00
110,0099,00
103,0089,0097,00
102,0096,00
107,00103,0099,00
105,00102,00112,0098,00
115,0099,00
23,0022,0017,0018,0020,0023,0019,0020,0022,0023,0022,0021,0020,0017,0016,0023,0021,0021,0024,0020,0018,0017,0015,0021,0019,0020,0018,0016,0022,0019,0017,0020,0022,0017,0021,0019,0019,0022,0023,0020,0015,0014,0018,00
197
117,00107,00
20,0015,00
Descriptives
Model Pembelajaran Statistic Std. Error
Sikap Ilmiah
Role Playing
Mean 177,4762 1,49612
95% Confidence
Interval for Mean
Lower Bound 174,4547
Upper Bound 180,4977
5% Trimmed Mean 177,6905
Median 179,0000
Variance 94,012
Std. Deviation 9,69596
Minimum 160,00
Maximum 191,00
Range 31,00
Interquartile Range 19,25
Skewness -,258 ,365
Kurtosis -1,173 ,717
Konvensional
Mean 101,4222 1,17228
95% Confidence
Interval for Mean
Lower Bound 99,0597
Upper Bound 103,7848
5% Trimmed Mean 101,4321
Median 101,0000
Variance 61,840
Std. Deviation 7,86387
Minimum 85,00
Maximum 117,00
Range 32,00
Interquartile Range 10,50
Skewness ,080 ,354
Kurtosis -,533 ,695
Hasil Belajar
IPS
Role Playing Mean 32,7619 ,45826
95% Confidence
Interval for Mean
Lower Bound 31,8364
Upper Bound 33,6874
198
5% Trimmed Mean 32,7884
Median 33,0000
Variance 8,820
Std. Deviation 2,96984
Minimum 26,00
Maximum 38,00
Range 12,00
Interquartile Range 5,00
Skewness -,079 ,365
Kurtosis -,747 ,717
Konvensional
Mean 19,5333 ,38218
95% Confidence
Interval for Mean
Lower Bound 18,7631
Upper Bound 20,3036
5% Trimmed Mean 19,5926
Median 20,0000
Variance 6,573
Std. Deviation 2,56373
Minimum 14,00
Maximum 24,00
Range 10,00
Interquartile Range 4,50
Skewness -,324 ,354
Kurtosis -,737 ,695
199
Lampiran 4. Uji Normalitas Sebarasn Data
Tests of Normality
Model
Pembelajaran
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Sikap IlmiahRole Playing ,132 42 ,064 ,933 42 ,016
Konvensional ,088 45 ,200* ,977 45 ,515
Hasil Belajar
IPS
Role Playing ,133 42 ,058 ,968 42 ,272
Konvensional ,128 45 ,063 ,959 45 ,117
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
200
201
202
203
Lampiran 5. Uji Homogenitas Varians
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
F df1 df2 Sig.
Sikap Ilmiah 3,837 1 85 ,053
Hasil Belajar IPS 1,040 1 85 ,311
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent
variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + A
204
Lampiran 6. Uji Homogenitas Matriks Varians/Kovarian
Box's Test of Equality of
Covariance Matricesa
Box's M 7,471
F 2,427
df1 3
df2 1541697,435
Sig. ,063
Tests the null hypothesis
that the observed
covariance matrices of the
dependent variables are
equal across groups.
a. Design: Intercept + A
205
Lampiran 7. Uji Korelasi Antar Variable Terikat
Correlations
Sikap Ilmiah Hasil Belajar IPS
Sikap Ilmiah
Pearson Correlation 1 ,121
Sig. (2-tailed) ,135
N 87 87
Hasil Belajar IPS
Pearson Correlation ,121 1
Sig. (2-tailed) ,135
N 87 87
206
Lampiran 8. Uji Hipotesis Multivariat
Descriptive Statistics
Model Pembelajaran Mean Std. Deviation N
Sikap Ilmiah
Role Playing 177,4762 9,69596 42
Konvensional 101,4222 7,86387 45
Total 138,1379 39,21206 87
Hasil Belajar IPS
Role Playing 32,7619 2,96984 42
Konvensional 19,5333 2,56373 45
Total 25,9195 7,19531 87
Multivariate Testsa
Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.
Intercept
Pillai's Trace ,997 14482,366b 2,000 84,000 ,000
Wilks' Lambda ,003 14482,366b 2,000 84,000 ,000
Hotelling's Trace 344,818 14482,366b 2,000 84,000 ,000
Roy's Largest Root 344,818 14482,366b 2,000 84,000 ,000
A
Pillai's Trace ,961 1037,952b 2,000 84,000 ,000
Wilks' Lambda ,039 1037,952b 2,000 84,000 ,000
Hotelling's Trace 24,713 1037,952b 2,000 84,000 ,000
Roy's Largest Root 24,713 1037,952b 2,000 84,000 ,000
a. Design: Intercept + A
b. Exact statistic
Tests of Between-Subjects Effects
Source Dependent Variable Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected ModelSikap Ilmiah 125656,891a 1 125656,891 1624,350 ,000
Hasil Belajar IPS 3801,618b 1 3801,618 496,509 ,000
InterceptSikap Ilmiah 1689797,397 1 1689797,397 21843,781 ,000
Hasil Belajar IPS 59410,997 1 59410,997 7759,353 ,000
ASikap Ilmiah 125656,891 1 125656,891 1624,350 ,000
Hasil Belajar IPS 3801,618 1 3801,618 496,509 ,000
Error Sikap Ilmiah 6575,454 85 77,358
207
Hasil Belajar IPS 650,819 85 7,657
TotalSikap Ilmiah 1792374,000 87
Hasil Belajar IPS 62901,000 87
Corrected TotalSikap Ilmiah 132232,345 86
Hasil Belajar IPS 4452,437 86
a. R Squared = ,950 (Adjusted R Squared = ,950)
b. R Squared = ,854 (Adjusted R Squared = ,852)
208
209
RIWAYAT HIDUP
Made Martin Rusmaja, lahir di Sulanyah, Kecamatan Seririt, Kabupaten
Buleleng, pada tanggal 12 Maret 1984. Putra kedua dari pasangan Putu
Sukredana dan Ni Nyoman Mahalni. Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah
Dasar di SDN 2 Sulanyah pada tahun 1996 lalu melanjutkan ke SMPN 1 Seririt,
lulus tahun 1999, dan melanjutkan lagi ke SMAN 1 Seririt lulus tahun 2002.
Selanjutnya Penulis melanjutkan pendidikan Diploma 2 di Universitas
Ganesha lulus tahun 2004, kemudian penulis mengabdikan diri menjadi guru SD
di SDN 3 Busungbiu, sambil melanjutkan pendidikan di Universitas terbuka
Denpasar dan berhasil menyelesaikan pendidikan pada tahun 2012 dan
memproleh gelar Sarjana Pendidikan Guru SD.
Kemudian Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke
Program Pascasarjana (S2) di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja pada
Program Studi Pendidikan Dasar.
Selama menjadi Guru penulis sering mengikuti seminar, pelatihan, menjadi
anggota Kelompok Kerja Guru (KKG) di tingkat Kecamatan Busungbiu.