Lp Abses Hati
-
Upload
kelompok14rssa -
Category
Documents
-
view
632 -
download
124
description
Transcript of Lp Abses Hati
ABSES HEPAR
1. DEFINISI ABSES HEPARAbses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan
pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam
parenkim hati. Organisme mencapai hati melalui satu jalur berikut: 1) infeksi asendens
di saluran empedu (kolangitis asendens); 2) melalui pembuluh darah, baik porta atau
arteri; 3) infeksi langsung ke hati dari sumber disekitar; 4) luka tembus (Wenas, 2007).
Abses hati timbul pada keadaan defisiensi imun (lanjut usia, imunosupresi,
kemoterapi kanker disertai kegagalan sumsum tulang). Prevalensi yang tinggi sangat
erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi
yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses
hati di daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih
sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam
beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,
etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta
prognosisnya (Sofwanhadi, 2007).
2. KLASIFIKASI ABSES HEPARSecara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses
hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal
yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal
juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver,
bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama
ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada
tahun 1936 (Wenas, 2007).
3. ETIOLOGI ABSES HEPARa. Abses Hati Amebik
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-
patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba
histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi
berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati (Sofwanhadi, 2007).
Gambar 2. Amuba Bentuk Trofozoit dengan Pseupoda Ukuran Besar
b. Abses Hati PiogenikEtiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci,
anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium,
staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus,
actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella
melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah
E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan
spesies dari bakteri anaerob (contohnya Streptococcus Milleri). Staphylococcus
aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit
granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya
adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik
adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui :
1) Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan
fileplebitis porta
2) Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3) Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis, dan infeksi
post operasi
4) Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-
saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan kolangitis.
Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan choledocholithiasis, tumor
jinak dan ganas atau pascaoperasi striktur.
5) Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation
massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik.
6) Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut
usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker
metastatik (Wenas, 2007; Friedman et al., 2008; Nickloes, 2009).
4. PATOFISIOLOGI ABSES HEPAR(terlampir)
5. TANDA DAN GEJALA ABSES HEPARa. Abses Hepar Amebik
Gejala :
1) Demam internitten ( 38-40 oC)
2) Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga
bahu kanan dan daerah skapula
3) Anoreksia
4) Nausea
5) Vomitus
6) Keringat malam
7) Berat badan menurun
8) Batuk
9) Pembengkakan perut kanan atas
10) Ikterus
11) Buang air besar berdarah
12) Kadang ditemukan riwayat diare
13) Kadang terjadi cegukan (hiccup)
Kelainan fisis :
1) Ikterus
2) Temperatur naik
3) Malnutrisi
4) Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
5) Nyeri perut kanan atas
6) Fluktuasi (Brailita, 2008; Wenas, 2007; Friedman et al., 2008).
b. Abses hati piogenikGambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih
berat dari abses hati amuba.
Gejala :
1) Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai
menggigil
2) Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan
dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
3) Mual dan muntah
4) Berkeringat malam
5) Malaise dan kelelahan
6) Berat badan menurun
7) Berkurangnya nafsu makan
8) Anoreksia
Pemeriksaan fisis :
1) Hepatomegali
2) Nyeri tekan perut kanan
3) Ikterus, namun jarang terjadi
4) Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
5) Buang air besar berwarna seperti kapur
6) Buang air kecil berwarna gelap
7) Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik (Sofwanhadi, 2007; Brailita,
2008).
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ABSES HEPARI. DIAGNOSTIK
a. Abses hati amebik Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit
amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan
jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri
tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi
disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan
USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat
menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau
kriteria Lamont dan Pooler.
1) Kriteria Sherlock (1969)
a) Hepatomegali yang nyeri tekan
b) Respon baik terhadap obat amebisid
c) Leukositosis
d) Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
e) Aspirasi pus
f) Pada USG didapatkan rongga dalam hati
g) Tes hemaglutinasi positif
2) Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
a) Hepatomegali yang nyeri
b) Riwayat disentri
c) Leukositosis
d) Kelainan radiologis
e) Respons terhadap terapi amebisid
3) Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
a) Hepatomegali yang nyeri
b) Kelainan hematologis
c) Kelainan radiologis
d) Pus amebik
e) Tes serologi positif
f) Kelainan sidikan hati
g) Respons terhadap terapi amebisid (Wenas, 2007; Soedarto, 2007).
b. Abses hati piogenikMenegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang sulit
ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat
ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan
CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian
juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan
diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif
beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan
menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini
merupakan standar emas untuk diagnosis (Sofwanhadi, 2007).
II. PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan
hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%,
total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L
dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati
adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3.
Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan
uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap
parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan
antara lain hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA.
Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus
penderita abses hepar (Brailita, 2008; Wenas, 2007; Friedman et al., 2008).
Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis
dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan
fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim
transaminase, serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan
waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan
fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi
standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan
biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang
sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris, Aerobacter
aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman anaerib
Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp.
(Wenas, 2007; Sofwanhadi, 2007).
b. Pemeriksaan RadiologiPada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian
kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura
kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu
banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara
bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk
mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI.
Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada
gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal
bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan :
85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai
massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U.
Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat
pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta (Sofwanhadi,
2007).
Gambar 3. Gambaran CT Scan pada Abses Hati Amebic
Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang
didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi
pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA,
sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior
tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang
didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG,
radionuclide scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi.
CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk
drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses
berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur,
rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila
mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak
besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density
berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa
dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang
menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa
halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala.
Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar
dinding abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses.
Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai
abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella (Wenas, 2007; Sofwanhadi, 2007).
Gambar 4. Gambaran CT Scan dengan Multifokal Abses Hati Piogenik Pada Segmen IV. Abses lainnya Terdapat pada Segmen VII dan VIII
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan
kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak
penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat sukar
dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat
besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik )
dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas,
ireguler yang makin lama makin bertambah tebal (Iljas, 2008).
7. PENATALAKSANAAN ABSES HEPARI. Abses Hati Amebik
a. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang
besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan
adalah:
1) Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis
intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah
sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan
untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10
hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga
dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole
dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60
mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
2) Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif
lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung
lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan,
ginjal, dan anak-anak
3) Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah
2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari
selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama
2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
b. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila
terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan,
perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
c. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau
diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak
abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada
lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan
komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial.
d. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik
dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai
dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk
perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau
tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba
yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah,
khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur
abses amuba intraperitoneal (Sofwanhadi, 2007; Fauci, 2008; Junita, 2006).
II. Abses hati piogenika. Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik
yaitu dengan cara:
1) Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor
dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
2) Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
b. Terapi definitive
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan menghilangkan
penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna. Pemberian
antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian
oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
1) Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis
bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga
seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
2) Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama
B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
3) Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
4) Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin- metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
c. Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif.
Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus
abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi
komputer.
d. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,
drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi (Sofwanhadi, 2007; Fauci, 2008).
8. KOMPLIKASI ABSES HEPARa. Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur
dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-
kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi
pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi
termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam
rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen
sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk
produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural
mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses
pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya
abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm
arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi (Fauci, 2008; Junita,
2006).
b. Abses Hepar Piogenik Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis
generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati,
perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial,
ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering
terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan
terjadi rekurensi atau reaktifasi abses (Sofwanhadi, 2007).
9. PROGNOSIS ABSES HEPARPada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai
sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus
yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba,
mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum
yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau
sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta
infeksi peritonial dan perikardium (Sofwanhadi, 2007; Brailita, 2011).
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat
dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian
antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama
yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta
bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia.
Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau
subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati,
hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati
piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan
drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses
multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit
immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak
dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau
adanya penyakit lain (Sofwanhadi, 2007; Wenas, 2007).
10. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ABSES HEPARI. PENGKAJIAN
A. Identitas KlienNama :
Usia : tahun
Jenis kelamin :
Status pernikahan :
Alamat :
Suku :
Pekerjaan :
No. RM :
Tanggal MRS :
Tanggal pengkajian :
B. Pemeriksaan Fisik1) Aktivitas/istirahat
Menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu lemah,latergi, penurunan
massa otot/tonus.
2) Sirkulasi
Menunjukkan adanya gagal jantung kronis, distritmia, bunyi jantung ekstra,
distensi vena abdomen.
3) Eliminasi
Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus, distensi
abdomen, penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah liat, melena,
urine gelap pekat.
4) Makanan/cairan
Menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat
mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan dan peningkatan cairan,
edema, kulit kering, turgor buruk, ikterik.
5) Neurosensori
Menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma, bicara tidak jelas.
6) Nyeri/kenyamanan
Menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan atas, pruritas, sepsi
perilaku berhati-hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
7) Pernapasan
Menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas
tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia.
8) Keamanan
Menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, ekimosis, patekis, angioma
spider, eritema.
9) Seksualitas
Menunjukkan adanya gangguan menstruasi, impotent, atrofi testis.
II. DIAGNOSA KEPERAWATANDiagnosa keperawatan pasien dengan Abses hepar meliputi :
1) Pola napas, tidak efektif berhubungan dnegan Neuromuskular,
ketidakseimbangan perceptual/kognitif.
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual karena desakan pada saluran pencernaan.
3) Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap pembatasan pemasukan
cairan secara oral (proses/prosedur medis/adanya rasa mual).
4) Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas
otot.
5) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan post operasi drainase.
6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi dan prosedur invasif.
7) Gangguan kebutuhan tidur berhubungan dengan proses penyakit, efek
hospitalisasi, perubahan lingkungan
8) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi/situasi, prognosis,
kebutuhan pengobatan.
III. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No. Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Kerusakan integritas
jaringan berhubungan
dengan post operasi
drainase
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama ...x 24
jam kerusakan integritas
kulit teratasi dengan kriteria
hasil :
Wound care
1. Jaga kulit sekitar luka
tetap bersih dan kering
2. Lakukan perawatan luka
secara steril
3. Observasi keadaan luka
Wound healing
- Menunjukkan terjadi
proses penyembuhan
luka
- Perfusi jaringan sekitar
luka normal
meliputi lokasi,
kedalaman, ukuran,
karakteristik, warna
cairan, nekrotik,
epitelisasi, granulasi dan
tanda-tanda infeksi lokal
4. Berikan posisi yang
mengurang tekanan
pada area luka
5. Gunakan dressing
sesuai indikasi
2. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
mual karena desakan
pada saluran
pencernaan
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3 x 24
jam ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi
dengan kriteria hasil:
Nutritional status: food and
fluid intake
- Menunjukkan
peningkatan nafsu
makan
- Menghabiskan porsi
yang dianjurkan
- Keseimbangan antara
intake dan output
makanan
Nutritional status: adequacy
of nutrient
- Albumin serum dalam
rentang normal (3,5 - 5,5
g/dL)
- Hematokrit dalam
rentang normal (38 -
42%)
- Hb dalam rentang
normal (11,4 - 14,1
Nutritional Management
1. Kaji adanya alergi
makanan
2. Monitor mual dan
muntah
3. Monitor intake nutrisi
4. Informasikan pada klien
tentang manfaat nutrisi
5. Pertahankan terapi IV
line
6. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menetukan
jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan klien
7. Anjurkan makan sedikit
tetapi sering
8. Monitor hasil lab
(albumin, Ht, Hb).
gr/dL)
3. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 2 x
24 jam nyeri dapat teratasi
dengan kriteria hasil:
Pain Control
- Mampu mengontrol nyeri
(tahu penyebab nyeri,
mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri)
- Melaporkan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Pain level
- Melaporkan nyeri
berkurang
- Skala nyeri berkurang
- TTV dalam rentang
normal (TD: 100-120/80-
90 mmHg, N : 60-100
x/menit, RR : 16-20
x/menit, S: 36-37,5oC)
Pain Management
1. Lakukan pengkajian
nyeri secara
komprehensif
2. Observasi reaksi
nonverbal dari
ketidaknyamanan
3. Ajarkan teknik
nonfarmakologi seperti
distraksi, relaksasi nafas
dalam, dsb)
4. Berikan informasi
mengenai nyeri seperti
penyebab, berapa lama
nyeri akan berkurang
dan antipasi pada
ketidaknyamanan dari
prosedur
5. Monitor TTV
6. Kolaborasi pemberian
analgesik
4. Risiko infeksi
berhubungan dengan
luka operasi dan
prosedur invasif
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3 x 24
jam tidak terjadi infeksi
dengan kriteria hasil:
Risk Control
- Klien terbebas dari tanda
dan gejala infeksi
- Menunjukkan
kemampuan mencegah
infeksi
- Jumlah leukosit dalam
batas normal ( 4,4 –
Infection Control
1. Pertahankan teknik
aseptik
2. Batasi pengunjung, bila
perlu
3. Cuci tangan sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan
4. Tingkatkan intake nutrisi
5. Monitor tanda dan gejala
infeksi baik lokal
10,4.103/µL) maupun sistemik
6. Ajarkan klien dan
keluarga untuk
mencegah timbulnya
infeksi
7. Kolaborasi pemberian
antibiotik
9) DAFTAR PUSTAKA
Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st. 2011. (Online) http://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#showall. Tanggal 20 September 2015 Pukul 5.30 WIB.
Fauci. 2008. Infectious disease. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th
edition. USA: Ashford Colour Press.
Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. 2008. Liver, biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. (Online) http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview#showall . Tanggal 20 September 2015 Pukul 5.10 WIB.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2008. Hati sebagai Suatu Organ. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC.
Iljas, Mohammad. 2008. Ultrasonografi Hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Junita, Arini dan Widita, Haris. 2006. Kasus Abses Hati Amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1 November 2011. (Online)
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%20amuba%20(dr%20arini).pdf. Tanggal 20 September 2015 Pukul 5.40 WIB.
Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul. 2007. Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam : Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M. Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi.
Soedarto. 2007. Penyakit Protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya : Airlangga University Press.
Wenas, Nelly Tendean. 2007. Abses Hati. Dalam : Sudoyo,Aru W. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.