LO WEEK 5

323
.LO 1. HUB. KAPTOPRIL DENGAN PBESARAN PROSTAT 2. EFEK AGING – HORMON REPRODUKSI – ORGAN 3. FUNGSI PSA Meski proses menua dianggap sebuah kewajaran, namun ada konsekuensi penurunan fungsi tubuh pada lansia. Orang tua, akan mengalami perubahan baik fisik, kognitif, sosial, dan psikologis akibat regenerasi sel yang menurun, atau tingkat hormon yang berkurang. Perubahan segala sisi itu akan menyebabkan ketergantungan lansia pada keluarga atau orang terdekat mereka. Pemeliharaan kesehatan, seperti yang dikatakan Ical, adalah salah satu upaya untuk meminimalkan ketergantungan lansia pada orang sekitarnya. Seperti kembali ke masa kanak-kanak, lansia kerap mengalami keluhan mengompol atau inkontenensia urin (IU). Prevalensinya, menurut data RSCM, terdapat pada hampir 60 persen pasien di panti rawat usia lanjut, 25-30 persen pasien yang baru

description

M

Transcript of LO WEEK 5

.LO1. HUB. KAPTOPRIL DENGAN PBESARAN PROSTAT2. EFEK AGING HORMON REPRODUKSI ORGAN3. FUNGSI PSA

Meski proses menua dianggap sebuah kewajaran, namun ada konsekuensi penurunan fungsi tubuh pada lansia. Orang tua, akan mengalami perubahan baik fisik, kognitif, sosial, dan psikologis akibat regenerasi sel yang menurun, atau tingkat hormon yang berkurang. Perubahan segala sisi itu akan menyebabkan ketergantungan lansia pada keluarga atau orang terdekat mereka. Pemeliharaan kesehatan, seperti yang dikatakan Ical, adalah salah satu upaya untuk meminimalkan ketergantungan lansia pada orang sekitarnya. Seperti kembali ke masa kanak-kanak, lansia kerap mengalami keluhan mengompol atau inkontenensia urin (IU). Prevalensinya, menurut data RSCM, terdapat pada hampir 60 persen pasien di panti rawat usia lanjut, 25-30 persen pasien yang baru pulang dari perawatan penyakit akut. Hasil survey Poliklinik Geriatri tahun 2006 menempatkan perempuan menduduki porsi lebih besar, yaitu 55,6 persen dam laki-laki 44,4 persen.IU yang kedengarannya sepele, dapat berdampak serius bagi lansia tersebut maupun orang sekitarnya. Lingkungan menjadi kotor, berbau, meningkatkan risiko jatuh, dan lain sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan masalah medis, psikologis, sosial, dan ekonomi, ujar Dr. Edy Rizal Wahyudi, SpPD. Karena itu, IU harus dapat dideteksi dan disembuhkan. Jika tidak, IU selalu dapat ditangani hingga tetap membuat pasien nyaman, memudahkan pramurawat, dan meminimalkan biaya, ujar Edy lagi.IU Akut Penanganan IU akut pada usia lanjut berbeda tergantung kondisi yang dialami pasien. Penyebab IU akut antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika, ujar Edy. Apabila vaginistis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Pembedahan harus dihindari sampai dipastikan kondisi tersebut tidak akan membaik. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. IU akut juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi nonfarmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Nah, obat-obatan ini bisa sebagai biang keladi mengompol pada orang-orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi, maka Hentikan atau ganti obat jika memungkinkan, turunkan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat, kata Edy. Ia lebih lanjut memaparkan golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol.IU Persisten Mengompol juga ada yang bersifat menetap dan tidak terkait dengan penyakit akut, disebut IU persisten. stress, urgensi, overflow, dan gangguan fungsional adalah faktor penyebabnya. Tipe stress didefinisikan sebagai keluarnya urin involunter tatkala terdapat peningkatan tekanan intraabdomen, seperti batuk, tertawa, olahraga, dan lain-lain. Sedangkan urgensi adalah keluarnya urin akibat ketidakmampuan menunda berkemih tatkala timbul sensasi keinginan untuk berkemih. Overflow adalah keluarnya urin akibat kekuatan mekanik pada kandung kemih yang overdidtensi atau factor lain yang berfek pada retensi urin dan fungsi sfingter. Edy memaparkan terapi inkontinensia urin untuk lini pertama hingga ketiga berdasarkan tipe inkontinensia yang disebutkan di atas lihat table 1.Beberapa pilihan terapi farmakologi untuk inkontinensia urin pada pasien usia lanjut meliputi obat-obatan antikolinergik dan antispamodik (bladder relaxant) atau agonis kolinergik.Deteksi dan Identifikasi Edy mengingatkan, harapan untuk mendapatkan keluhan masalah IU dari pasien atau keluarga akan kecil. Pasien usia lanjut sering datang dengan keluhan dan masalah lain yang berhubungan langsung mamupun tidak langsung dengan IU, ujar Edy. Keluhan tersebut seperti infeksi saluran kemih, jatuh dengan semua akibatnya, sindrom delirium akut atau bahkan sangat tidak berhubungan dengan IU, mengingat adanya karakteristik multi patologi pada pasien geriatri. Masalah IU masih kurang mendapat perhatian dari pasien dan keluarga. Hanya kurang dari 50 persen pasien dengan IU yang melaporkan masalahnya ke dokter, ujar Edy. Ada atau tidak ada keluhan yang dilaporkan oleh pasien dan keluarganya, deteksi atau identifikasi harus dilakukan melalui observasi langsung atau menanyakan pertanyaan-pertanyaan penapisan IU. Selanjutnya dilakukan evaluasi dasar dengan pengkajian paripurna, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap dan penunjang lainnya yang bertujuan mengidentifikasi penyebab inkontinensia yang bersifat sementara. Berdasarkan evaluasi dasar tersebut akan ditegakkan diagnosis presumtif dan diberikan terapi percobaan. Jika diagnosis presumtif tidak dapat dibuat atau terapi percobaan tidak efektif, pasien harus menjalani evaluasi lanjutan yang lebih kompleks, kata Edy.

ASKEP INKONTINENSIA PADA LANSIA A. PENDAHULUANSistem renal dan urinaria terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra . Ureter , kandung kemih, dan uretra terutama sebagai system penyimpanan dan transportasi untuk pengeluaran urine dari dalam tubuh ketika telah dibentuk oleh ginjal. Ginjal secara fisiologis lebih kompleks dan secara vital terlibat dalam penampilan fungsi homeostasis yang sangat penting.

B. PERUBAHAN STRUKTUR DAN FUNGSI PADA SISTEM RENAL DAN URINARIAPeubahan struktur Perubahan fungsiMembarn basalis glomerulus menebal GFR sering menurun.Total permukaan glomerular berkurang Kemampuan konsentrasi menurunPanjang dan volume tubulus proksimal menurun Nokturia sering terjadiPada tubulus distal berkembang divertikula Serum kreatinin tetap samaSirkulasi renal berubah atau berkurang Kecenderungan h\kehilangan garam tidak diketahui.Kapasitas kandung kemih menurun Metabolisme kalsium dan vitamin D mungkin terpengaruhiVolume residual meningkat Mekanism homeostasis berubah dan menjadi lebih sulit Terjadi kontraksi kandung kemih secara involunter. Frekuensi meningkat,interval antara keinginan dan berkemih menurun.

C. PERUBAHAN NORMAL PADA SISTEM RENAKL DAN URINARIA AKIBAT PENUAANPERUBAHAN NORMAL TERKAIT USIA IMPLIKASI KLINISPenebalan dasar membran Filtrasi darah kurang efisienPenurunan area permukaan glomerulus Penurunan panjang dan volume tubulus proksimal Penurunan aliran darah vaskular Penurunan massa otot yang tidak berlemak Penurunan total cairan tubuhPeningkatan total lemak tubuh Resiko dehidrasiPenurunan cairan intrasel Penurunan sensasi haus Penurunan kemampuan untuk memekatakan urine Penurunan hormon yang penting absorbsi kalsium dari saluran gastrointestinal Peningkatan resiko osteoporosisPenurunan kapasitas kandung kemih Peningkatan resiko inkontinensiaPeningkatan residu Peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak disadari Atropi otot kandung kemih secara umum

D. ASKEP PADA PASIEN DENGAN INKONTINENSIATemuan fisik pada pengkajian head to toe

Sistem Temuan pemeriksaan fisikIntegument Lemak subkutan menyusutKulit kering dan tipis, rentan terhadap trauma dan iritasi, serta lambat sembuhMata Arcus senilis, penurunan visusTelinga Pendengaran berkurang yang selanjutnya dapat berakibat gangguan bicaraKardiopulmonari Curah jantung berkurang serta elastisitas jantung dan pembuluh darah bekurang. Terdengar bunyi jantung IV (S4) dan bising sistolik. Kapasitas vital paru, volume ekspirasi, serta elastisitas paru-paru berkurang.Walaupun tak ada kelainan paru dapat terdengar ronki basalMusculoskeletal Massa tulang berkurang , lebih jelas pada wanita . jumlah dan ukuran otot berkurang.Massa tubuh banyak yang tergantikan oleh jaringan lemak yang disertai pula oleh kehilangan cairanGastrointestinal Mobilitas dan absorpsi saluran cerna berkurang , daya pengecap produksi saliva menurunNeurologi Rasa raba juga berkurang , arm-swing, langkah menyempit, dan pada pria agak melebar. Selain itu,terdapat potensi perubahan pada status mental.

Inkontinensia dapat berupa inkontinensia fekal dan inkontinensia urine.INKONTINENSIA FEKALInkontinensia fekal biasanya akibat daristatis fekal dan impaksi yang disretai penurunan aktivitas , diet yang tidak tepat , penyakit anal yang nyeri yang tidak diobati, atau konstipasi kronis. Inkontinensia fekal juga dapat disebabkan oleh penggunaan laksatif yang kronis, penurunan asupan cairan, defisit nuerologis, pembedahan pelvik, prostat, atau rektum serta obat-obatan seperti antihistamin, psikotropik, dan preparat besi.a. Tanda dan gejala Pembesaran feses yang terus menerus dari rektum Ketidakmampuan megenali kebutuhan defekasi Kram abdomen dan distensi Kemungkinan impaksi fekalb. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan rektum digital dapat meyingkirkan kemumgkinan impaksi fekal. Kolonoskopi mungkin diperlikan untuk mendeteksi gangguan usus lainnya.c. PenangananPasien yang menderita inkontinensia fekal harus dikaji penyebab masalah yang mendasari penyakitnya dengan cermat. Jika masalahnya adalah tonus sfingter anal yang buruk, latihan otot-otot panggul dapat membantu mengoreksinya. Lansia dapat diajarkan untuk mengontraksikan dan merilekskan sfingteranal dalam program latihan yang teratur untuk mengustksn otot-otot tersebut.Jika penyebabnya karena impaksi, sumbatan harus dihilangkan dengan enema atau secara manual. Enema dan supositoria dapat digunakan secara berulang untuk mendapatkan evakuasi feses yang tuntas. Jika penyebabnya karena proktitis, enema kortikosteroid yang diresepkan dapat bermanfaat.d. DIAGNOSIS KEPERAWATAN UTAMA DAN KRITERIA HASIL Inkotinensia fekal berhubuhan dengan kerusakan neuromuskuler, diare, impaksi felal, atau kerusalan kognitifKriteria hasil:Pasien akan dapat mengendalika defekasi setelahlatihan kembali defekasi. Ansietas berhubungan dengan inkontinensia fekalKriteria hasil :Pasien akan mengungkapkan perasaannya mengenai kecemasan dan mengetahui maekanisme koping. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inkontinensia fekalKriteria hasil :Pasien akan mempertahankan integritas kulit.e. Intervensi keperawatan Jadwalkan waktu tambahan untuk mendorong dan memberi dukungan pada pasien serta untuk mengurangi perasaan malu, memelukan , atu tidak berdaya akibat kehilangan pengendalian. Puji keberhasilan upaya pasien. Mulai program toileting terjadwal dengan mengkaji pasien agar mengetahui kapan waktu defekasi rutinnya ( seg\bagai contoh,setelah sarapan pagi atau setelah minum hangat lainnya). Ingatkan pasien dan bantu menggunakanya.Pastikan ia mengetahui letak toilet dan temani pasien untuk memastikan ia telah berdefekasi secara sempurna. Pertahankan perawatan higiene yag efektif untuk meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah kerusakan kulit dan infeksi. Dorong pasien untuk makan diet kaya serat dengan sayur-sayuran berdaun kasar(seperti wortel dan selada ), buah tidak dikupas ( apel ), dan gandum utuh ( seperti gandum atau roti gandum dan sereal ), kulit padi merupakan sumber serat terbaik. Anjurkan asupan cairan yang adekuat (8 sampai 10 gelas air per hari jika kondiri pasien memungkinkan ) Tingkatkan latihan yang teratur dengan menjelaskan cara latihan untuk menggunakan defekasi yang teratur, bahkan pasien yang melakukan ambulasi dapat melakukan latihan sambil duduk atau berbaring di tempat tidur.f. Penyuluhan Pasien Ajarkan pasien untuk secara bertahap menghilangkan penggunaan laksatif jika perlu. Tekankan bahwa penggunaan laksatif yang dijual bebas untuk meningkatkan defekasi teratur dapat meyebabkan efek berlawanan dan menyebabkan konstipasi atau inkkontinensia sepanjang waktu. Anjurkan penggunaan laksatif alami, seperti buah prem atau jus buah prem.

INKONTINENSIA URINEa. DEFINISI Inkontinensia urine adalahpengeluaran urine tanpa disadari dalam jumlah yang banyak dan frekwensi yang cukup yang menyebabkan gangguan kesehatan dan sosial.Inkontinensia urine bukan merupakan tanda-tanda normal penuaan. Jutaan lansia mengalami beberapa kehilangan kendali volunter. Masalah kontinensia urinarius dibagi menjadi akut atau persisten dan inkontinensia total. Inkontinensia akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya akibat dari penyakit akut. Inkontinensia akut juga dapat akibat dari obat, terapi, dan faktor lingkungan.Inkontinensia persisten diklasifikasikan menjadi inkontinensia urgensi, inkontinensia Stres, inkontinensia Overflow, dan inkontinensia fungsional. Inkontinensia urgensi adalah keinginan kuat yang tiba-tiba untuk berkemih disertai keluarnya urine. Inkontinensia stres adalah keluarnya urine dengan tiba tiba akibat aktivitas tertawa, bersin, batuk, mengangkat beban, melompat, atau membungkuk. Inkontinensia overflow adalah sering keluarnya urine atau kadang konstan akibat kandung kemih yang penuh. Inkontinensia fungsional terjadi akibat imobilitas atau kerusakan kognitif dengan saluran kemih bawah tetap utuh.b. ETIOLOGIPenyebab inkiontinensia akut mencakup konfusi, dehidrasi, obat yang diresepkan, ureteritis, dan vaginitis atrofik. Infeksi, khususnya infeksi saluran kemih (ISK) simtomatik, juga dapat meyebabkan inkontinensia. Inkontinensia urine juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan endokrin, seperti hiperkalsemia dan hiperglikemia. Keterbatasan mobilitas atau penyakit yang menyebabkan retensi urine dapat mencetuskan inkontinensia urine atau akibat dari depresi pada lansia.Inkontinensia urgensi akibat dari kontraksi kandung kemih volunter. Iritasi otot detrusor ( oto luar yang meyelubungi kandung kemih ) yang disebabkan oleh faktor menyebabkan iritasi likal sepertiinfeksi, batu, tumor, atau obstruksi dapat menyebabkan inkontinensia urgensi, seperti hiperaktivitas otot detrusor yang dapat akibat dari cedera serebrovaskuler, penyakit spina suprasakral, penyakit parkinson,demensia, dan penyakit demieliniasi. Inkontinensia stres disebabkan oleh kelemahan anatomik pada dasar panggul. Trauma perineal,kelemahan jaringan terkait dengan penuaan, kekurangan estrogen, kerusakan saraf pudendal, dan traumaginekologik akibat pembedahandapat mentebabkan klemahan dasar panggul. Inkontinensia overflow terjadi ketika kandung kemih menjadi terlalu tegang akibat pengosongan yang tidak sempurna.lansia sering tidak mampu merasakan kandung kemih yang penuh. Diabetes dan obat- obatan yang mentebabkan retensi urine seperti analgesik, psikotropik, agonis beta adrenergik, penyakit salurankalsium, dan agens antikolinergik seperti sklerosis multiple atau lesi suprasakral.Inkontinensia fungsional disebabkan oleh gangguan pada runititas kontinensia individu tersebut. Imobilitas dan kerusakan kognitif merupakan dua penyebab umum. Pemakaian restrei fisik atau kimia atau pembatasan lingkungan seperti sisi pengamanan dapat menyebabkan inkontinensia fungsional pada lansia. Masalah psikologis, seperti depresi, atau gangguan bipolar, merupakan penyebab lainnya.c. TANDA DAN GEJALA Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah mulai berkemih. Desakan, frekwensi, dan nokturia Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa, bersin, melompat, batuk, membungkuk Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine yang buruk atau lambat dan merasa menunda atau mengejan Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat Higiene buruk atau tanda tanda infeksi Kandung kemih terletak di atas simfisis pubisc. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, dan glukosa dalam urine. Uroflowmetri digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih denan mengukur laju aliran kitika pasien berkemih. Cysometri digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskuler kandung kemih denagn efisiensi reflek otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas. Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk untuk mengevaluasistruktur dan fungsi ginjal Kateterasi residu pascakemih digunakan untuk mementukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.d. PENANGANANTerapi obat dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik deresepkan jika inkontinensia akibat inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat antukolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih jika dicurigai ada ketidakstabilan pada otot detrusor. Obat antispasmodik diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor untuk menekan aktivitas otot polos kandung kemih. inkontinensia kadang diterapi dengan obat antidepresan. Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan wqaktu berkemih, penyegaran berkemih, dan latihan otot panggul. Latihan otot panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi kognitif yang utuh yang mengalami inkontinensia stres. Latihan kebiasaan , bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau kerusakan kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai 4 jam. Tujuannya adalah pasien berkemih sebelum secara tidak sengaja berkemih. Latihan kembali berkemih dapat bermanfaat bagi pasien dengan fungsi kognitif yang utuh. Latihan ini mengajarkan pasien menahan desakan berkemih.Spiral dapat diressepkan untuk pasien wanita yang mengalami kelainan anatomi, seperti prolaps uterus berat atau relaksasi pelvik.penngunaan kondom jangka pendek dapat diresepkan bagi pasien pria untuk membantunya mencegah berkemih secara tidak sengaja dengan efektif. Penggunaan kondom secara terus menerus harus dihindari, karena dapat menyebabkan ISK dan iritasi kulit.pada pria yang mengalami inkontinensia akibat hipertrofi prostat, penanganan dapat mencakup reseksi transurenal prostat atau prostatektomi terbuka. pembedahn dapat digunakan untuk menghilangkan lesi yang menyumbat yang menyebabkan inkontinensia atau overflow. Obat- obatan untuk klian dengan inkontinensia:a) Bila penyebab inkontinensia adalah stres, maka obat yang diberikan adalah phenylpropanolamine, estrogen/ progestin.b) Bila penyebab inkontinensianya akibat urgensi, maka beri obat propantheline, imipramie, dan dicyclomine.c) Bila penyebab akibat retensi, maka diberi obat bethanecol.d) Dan bila akibat retensi, maka diberi obat phenoxybenzamine.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN UTAMA DAN KRITERIA HASIL

Gangguan eliminasi urine yang berhubungan dengan penyebab yang mendasari inkontinensia urinekriteria hasil :pasien akan mencapai kontinensia

Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan inkontinensia urinekriteria hasil : Pasien akan mempertahankan integritas kulit.

Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan inkontinensiakriteria hasil : Pasien akan mengkomunikasikan perasaan positif mengenai perubahan citra tubuh.

INTERVENSI KEPERAWATAN

Jelaskan semua pemeriksaan dan prosedur kepada pasien anda. Fasilitasi pasien untuk mengajukan pertanyaan, dan jawaban dengan jujur. Berikan privasi untuk diskusi apapun. Berikan antibiotik dan obat lainnya,sesuai program. Orientasikan pada pasien ke lokasi kamar mandi dan alat panggil. Berikan pencahayaan yang adekuat di dalam kamar mandi untuk membantu pasien terhindar dari kecelakaan selama malam hari. Jika ia membutuhkan bantuan ke kamar mandi , tawarkan padanya setiap 2 jam atau ketika ia terjaga. Jelaskan rutinitas latihan berkemih dan pasang jadwal tersebut. Bantu pasien yang mendapat latihan berkemih untuk latihan napas guna menunda desakan berkemih.Berikan penguatan positif yang cukup untuk semua upaya ke arah inkontinensia. Berikan perawatan perineal yang sering, dan perhatikan lansia apakah ada kerusakan kulit. Cuci dengan sabun ringan dan air , dan keringkan kulit dengan menepuk nepuknya. Cudi dari arah depan kebelakang untuk menghindari penyebaran kontaminasi. Bantu pasien memasukkan spiral, sesuai program. Jika katerisasi intermiten diprogramkan, lakukan tepat waktu dan dokumentasikan jumlah urine yang kembali tertampung. Untuk pasien pasca operasi, catat pengukuran asupan dan haluaran yang akurat . Berikan perawatan kateter dan ambulansikan pasien sesegera mungkin. Penyesuian faktor lingkungan selaku tindakan pencegahan bagi klien inkontinensia:a. Perhatikan pencahayaan dan faktor serupa mengenai akses ke toilet.b. lengkapi toilet dengan pegangan dan semacamnya.

PEYULUHAN PASIEN

Ajarkan lansia mengenai cara kerja dan efek merugikan obat yang diresepkan. Jika pemberian antibiotik diprogramkan , tekankan pentingnya meminum semua pil yang diresepkan. Jelaskan semua prosedur dan alat yang digunakan untuk memperbaiki atau mengatasi inkontinensia urine. Jika latihan kebiasaan termasuk dalam rencana terapi, pastikan untuk melibatkan anggota keluarga pasien dan pemberi perawatan lainnya dalam rencana penyuluhan. Jika pasien mengikuti latihan berkemih, tunjukkan cara menekan desakan berkemih dengan bernapas lambat dan dalam. Anjurkan pada pasien mempraktikan prosedur ini. Ajarkan pada pasien pria cara memasang dan memeakai kateter kondom, dan tunjukkan cara menghindari komplikasi seperti dermatitis kontak dan maserasi penis, iskemia,serta obstruksi.

AKTIVITAS PEYULUHAN KESEHATAN

a) Minta bantuan kolaboratif dari pihak yang berkompeten.b) Minum air 8-10 gelas per hari , tapi kurang di malam hari.c) Jangan berpatokan pada rasa haus, tapi minumlah sesuai anjuran di atas.d) Hindari minuman yang mengandung alkohol dan kafein, apalagi di malam hari.e) Cegah hal- hal yang dapat berakibat konstipasif) Minumlah 1-2 gelas air sebelum atau selama melakukan kegiatan yang menguras keringat.

PANDUAN PENGAJARAN UNTUK LATIHAN KEGEL DAN BLADDER TRAINING

Latihan Pelvis Kegel:1. Anda harus melakukan latihan ini minimal selama 6 minngu sebelum Anda mengetahui apakah latihan tersebut dapat membantu. Otot otot akan mengalami kekuatan penuh setelah 3 bulan.2. Otot-otot ynag terlibat adalah otot-otot yang digunakan untuk menahan urine ketika Anda merasa harus ke kamar kecil. Cobalah untuk ke kamar kecil dan kemudian hentikan aliran urine tanpa mengencangkan oto perut Anda. Hal ini adalah cara untuk melakukan latihan.3. Kontraksi dan relaksasikan otot-otot ini 4 kali per hari dan lakukan pengulangan sebanyak 15 kali setiap kali latihan. Secara keseluruhan , berarti 60 kali setiap harinya.Suatu cara yang mudah untuk mengingatnya adalah dengan melakukan latihan tersebut sebelum makan dan pada saat akan tidur.

BLADDER TRAINING

1. Pertama buat catatan harian selama 5 hari untuk mencatat waktu berkemih Anda. masukkan semua, baik saat Anda melakukannya ke toilet atau tidak.2. Lihat catatan harian Anda dan temukan interval terpendek yang Anda miliki di antara waktu waktu tersebut.3. Tambahan 30 menit terhadap interval tersebut. Sebagai contoh, jika interval terpendek yang Anda miliki di antara berkemih dengan berkemih selanjutnya adalah 20 menit, kemudian anda menambahkan 30 menit sehingga menjadi 50 menit.4. Untuk berikutnya, pergilah ke kamar kecil setaap 50 menit, Apakah Anda merasa perlu atau tidak.Jika anda merasa harus pergi ke kamar kecil lebih cepat, coba tahan dan alihkan perhatian anda dengan cara menonton Tv,berbicara telepon atau apapun yang dapat anda pikirkan.5. Setelah minggu pertama, tambahkan 30 menit lagi(anda sekarang akan menahan urine selama 1 jam 20 menit misalnya )6. Tambahkan 30 menit setiap minggu sampai anda dapat berkemih dengan jarak waktu 3-4 jam.Hal ini adalah yang sebagaian besar orang lakukan , sehingga anda kembali normal.Pastikan untuk memeriksa interval Anda sejak sekarang dan kemudian pastikan bahwa anda tetap mengikuti jadwal seperti ini.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urinINKONTINENSIA URINInkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.Klasifikasi Inkontinensia UrinInkontinensia urin diklasifikasikan :1. Inkontinensia Urin Akut ReversibelPasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :D DeliriumR Restriksi mobilitas, retensi urinI Infeksi, inflamasi, ImpaksiP Poliuria, pharmasi2. Inkontinensia Urin PersistenInkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.Kategori klinis meliputi :Inkontinensia urin stress :Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.Inkontinensia urin urgensi :Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.Inkontinensia urin overflow :Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.Inkontinensia urin fungsional :Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.Evaluasi Inkontinensia UrinTujuan evaluasi awal adalah untuk memastikan adanya inkontinensia urin dan mengenali penyebab-penyebab yang bersifat sementara, pasien yang perlu dievaluasi lebih lanjut, dan pasien yang bisa memulai pengobatan tanpa memerlukan uji-uji yang canggih.Riwayat PenyakitRiwayat penyakit harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan tipe inkontinensia, patofisiologi dan faktor-faktor pemicu.Lama dan karakteristik inkontinensia urinWaktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen)Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya.Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri.Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan.Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih.Penggunaan Pad atau Modalitas lainnya.Pengobatan inkontinensia urin sebelumnya dan hasilnyaRiwayat medis harus memperhatikan masalah-masalah seperti diabetes, gagal jantung, insufisiensi vena, kanker, masalah neurologis, stroke dan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya riwayat sistem urogenital seperti pembedahan abdominal dan pelvis, melahirkan, atau infeksi saluran kemih. Evaluasi obat-obatan baik yang dibeli dengan resep maupun dibeli bebas juga penting dilakukan. Beragam obat dikaitkan dengan inkontinensia urin seperti hipnotik sedatif, diuretik, antikolinergik, adrenergik dan calcium channel blocker. Biasanya ada hubungan dengan waktu antara penggunaan obat-obatan dengan awitan inkontinensia urin atau memburuknya inkontinensia yang sudah kronik.Pemeriksaan FisikTujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia. Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum. Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel. Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson. Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.Pemeriksaan Pada Inkontinensia UrinTes diagnostik pada inkontinensia urinMenurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.UrinalisisDilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawahTes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.Imaging tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.2. Pemeriksaan penunjangUji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.3. LaboratoriumElektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.4. Catatan berkemih (voiding record)Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.PenatalaksanaanPenatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :1. Pemanfaatan kartu catatan berkemihYang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.2.Terapi non farmakologiDilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke belakang 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam 10 kali.Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan 10 kali.Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.3.Terapi farmakologiObat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.4.Terapi pembedahanTerapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).5. Modalitas lainSambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.PampersDapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin.Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.KateterKateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.Alat bantu toiletSeperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial (Kane dkk., 1989 dalam Pranarka, 2000).Inkontinensia UrinInkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).Fisiologi dan patofisiologi diuresisProses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007). Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007). Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu, prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007). Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).Proses menua dan inkontinensia urinUsia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000): Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera, kemunduran sistem lokomosi. Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.Etiologi inkontinensia urinPenyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):1. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.2. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain.3. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya.Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam Pranarka, 2000):1. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik). Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan.2. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama.Inkontinensia urin akutPenyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):D : DeliriumR : Retriksi, mobilitas, retensiI : Infeksi, inflamasi, impaksi fesesP : Pharmacy (obat-obatan), poliuriGolongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007).Inkontinensia urin persistenInkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): 1. Tipe stressKeluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan. 2. Tipe urgensiPengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. 3. Tipe luapan (overflow)Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:- Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin.- Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus. 4. Tipe fungsionalKeluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.TerapiPengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut: a. Program rehabilitasi antara lain- Melatih respons VU agar baik lagi- Melatih perilaku berkemih- Latihan otot-otot dasar panggul- Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo) b. Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indwelling) c. Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi VU, estrogen d. Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain e. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

Inkontinensia AlviPengaturan defekasi normalDefekasi merupakan proses fisiologis yang melibatkan (Pranarka, 2000): - Koordinasi SSP dan perifer serta sistem refleks - Kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan seran lintang yang terlibat - Kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besarHal penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang bertugas mempertahankan penutupan yang baik dari saluran anus, yaitu (Brocklehurst, 1987 dalam Pranarka, 2000): a. Sudut ano-rektal, yang dipertahankan pada posisi paling ideal, dibawah 100 oleh posisi otot-otot pubo-rektal. b. Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intra- abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya. c. Bentuk anus sendiri yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otot-otot serta lipatam-lipatan mukosa yang saling mendukung.Gambaran klinisKlinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000): 1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes. 2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau ditempat tidur.Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis.Jenis-jenis inkontinensia alvi dan pengelolaannyaBerdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Pranarka, 2000): 1. Inkontinensia alvi akibat konstipasiKonstipasi bila berlangsung lama menyebabkan sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Skibala akan menyumbat lubang bawah anus dan menyebabkan perubahan besar sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul, tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum, kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui sela-sela dari feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia alvi.Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi serat dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas. Saat yang teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi buang air besar pada waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga akan mendukung. 2. Inkontinensia alvi simtomatikDapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, diverticulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang kurang berhasil, dan prolapsis rekti. Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi. 3. Inkontinensia alvi neurogenikTerjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan diikuti relaksasi sfingter interna. Pada orang dewasa normal, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada hambatan/inhibisi dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan menyiapkan penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat, relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses keluar. 4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks analTerjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya.

Betapa sulitnya mengendalikan dan mengontrol keluarnya urin sehingga menimbulkan gangguan higiene dan sosial, memang banyak dikeluhkan para lansia. Tak heran, menurut Dr Siti Setiati SpPD dari Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM, inkontinensia urin atau biasa disebut mengompol agaknya akan menjadi masalah besar di masa datang, seiring dengan makin banyaknya jumlah orang lansia di Indonesia.

Data di luar negeri menunjukkan, 15 persen hingga 30 persen lansia yang tinggal di masyarakat dan 50 persen lansia yang dirawat, menderita inkontinensia urin. Sedangkan pada 1999, dari semua pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri penyakit dalam RSCM didapatkan angka kejadian inkontinensia urin sebesar 10 persen, tutur Dr Siti Setiati pada Simposium Diagnosis dan penatalaksanaan Mutakhir Inkontinensia Urin, Sabtu (19/8), di Jakarta.

Tragisnya, pasien inkontinensia urin seringkali mengalami masalah sosial, psikologis, fisik, dan seksual meliputi depresi, gangguan tidur, berkurangnya interaksi sosial, pekerjaan, dan aktivitas fisik. Selain itu, tambah Dr Siti, inkontinensia urin secara tidak langsung juga menyebabkan dekubitus, infeksi saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya perawatan yang tinggi.

Dapat Dikurangi dan Dikontrol

Inkontinensia urin dapat terjadi karena penyebab akut dan penyebab kronik. Penyebab akut biasanya dapat diatasi sehingga inkontinensia urin dapat dihilangkan, namun penyebab kronik tidak dapat dihilangkan seratus persen, tetapi dapat dikurangi dan dikontrol dengan beberapa modalitas nonfarmakologis dan terapi farmakologis.

Menurut Dr Siti, inkontinensia urin akut disebabkan oleh delirium (kesadaran turun atau terganggu), restricted mobility (gangguan bergerak akibat penyakit atau hendaya), infeksi pada saluran kemih, dan pharmaceutical (obat-obatan seperti diuretik, antidepresan). Sedangkan inkontinensia urin kronik antara lain disebabkan oleh kelemahan otot dasar panggul atau instabilitas otot kandung kemih yang juga sudah berat. Selain itu, adanya gangguan neurologis seperti stroke, penyakit Parkinson, dan demensia.

Sayangnya, banyak penderita inkontinensia urin tidak berobat atau mencari pertolongan. Dr Siti mengungkapkan, rasa malu atau pemahaman yang keliru mungkin sebagai penyebabnya. Sering pula, masalah ini dianggap sesuatu yang lumrah terjadi pada lansia sehingga tidak mendapat perhatian dan penanganan yang baik.

Padahal, inkontinensia urin tentu saja bukan bagian dari proses menua yang dapat dimaklumi. Selalu ada masalah bio-psiko-sosial yang mendasarinya dan ada jalan keluar yang dapat diupayakan untuk mengatasinya, tegas Dr Siti.

Lalu, bagaimana mengatasi masalah ini? Menurut Dr Siti, pengelolaan inkontinensia urin terdiri atas intervensi perilaku, terapi farmakologis, dan pembedahan. Aturan yang disepakati adalah menentukan pilihan yang paling tidak invasif dan tidak berbahaya untuk penderita. Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan canggih seperti urodynamic study.

Inkontinensia urine adalah keluarnya urine tanpa disadari, tidak bisa ditahan yang menimbulkan masalah kesehatan, sosial, higine dan ekonomi, biasanya orang Jawa menyebutnya dengan istilah Beser. Inkontinensia urine merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak, dewasa, maupun orang tua.( 17,22,28) Pada wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki, terutama pada wanita yang sudah tua, banyak anak, pernah mengalami operasi di daerah panggul, yang menderita penyakit kencing manis atau penyakit saraf. Inkontinensia urine jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakanpada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia Urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup. Dampak negatif dari Inkontinensia Urine adalah dijahui orang lain karena berbau pesing, minder, tidak percaya diri, timbul infeksi didaerah kemaluan, pemborosan uang untuk pemeliharaan kesehatan, tidak bisa beraktifitas dengan baik sehingga pendapatan menurun, tidak nyaman dalam hubungan seksual akhirnya dapat menurunkan kualitas hidupnya. Banyak pasien Inkontinensia Urine yang datang terlambat ke dokter sehingga pada umumnya sudah dalam kondisi yang memprihatinkan, perlu penanganan yang baik dari multidisiplin untuk meningkatkan kualitas hidup. Terdapat banyak penyebab dan jenis terjadinya Inkontinensia Urine. Oleh karena itu, dokter dari multidisiplin ilmu perlu mengetahui penyebab dan jenis Inkontinensia Urine tersebut supaya dapat melakukan penatalaksanaan dan tindakan yang benar. Prevalensi Inkontinensia urine pada wanita di dunia berkisar antara 10 - 58%, sedang di Eropa dan Amerika berkisar antara 29,4%. Menurut APCAB (Asia Pacific Continence Advisor Board) tahun 1998 menetapkan prevalensi Inkontinensia Urine 14,6% pada Wanita Asia, sedangkan Wanita Indonesia 5,8% (gambar 1). Prevalensi pada Pria Asia berdasar survei dari APCAB (Asia Pacific Continence Advisor Board) sekitar 6,8%, sedangkan untuk Pria Indonesia 5% (gambar 2). Secara umum, prevalensi Inkontinensia Urine pada pria hanya separuh dari wanita, prevalensi di Asia relative rendah karena pandangan orang Asia bahwa Inkontinensia Urine merupakan hal yang memalukan, dianggap tabu oleh beberapa orang, sehingga tidak dikeluhkan pada dokter. Prevalensi Inkontinensia Urine pada wanita manula 35-45%. Survei Inkontinensia Urine yang dilakukan oleh Departemen Urologi FK Unair-RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 penderita, prevalensi Inkontinensia Urine pada Pria 3,02% sedangkan pada Wanita 6,79%. Di sini menunjukkan bahwa prevalensi Inkontinensia Urine pada wanita lebih tinggi daripada pria.(7) Sedangkan prevalensi Inkontinensia Urine berdasarkan usia, menunjukkan bahwa usia 5-12 tahun = 0,13%, sedangkan pada usia 70-80 tahun = 1,64%, artinya bahwa prevalensi inkontinensia urine cenderung meningkat seiring meningkatnya usia, dapat dilihat pada gambar 3. Gambar 3. Prevalensi Inkontinensia Urine berdasar Interval UsiaSedang survei yang dilakukan Divisi Geriatri Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Ciptomangunkusumo pada 208 Manula di Lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta (2002), mendapatkan angka kejadian Inkontinensia Urine tipe stress sebesar 32,3%,(22,23,24) sedang survei yang dilakukan di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Ciptomangunkusumo (2003) terhadap 179 penderita didapatkan angka kejadian Inkontinensia Urine tipe stress pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada wanita sebesar 32,5%. Untuk di Departemen Urologi FK Unair-RSU Dr. Soetomo tahun 2008 didapatkan prevalensi Inkontinensia Urine tipe urge pada pria 11,93%, dan pada wanita 25,7%, di sini menunjukkan bahwa inkontinensia urine type stress dan urge, pada wanita juga lebih banyak daripada laki-laki. (5,7)Faktor resiko terjadinya Inkontinensia Urine antara lain: jenis kelamin wanita, usia tua, paritas tinggi, menopause, pernah dilakukan histerektomi, menggunakan toilet duduk, gangguan neurologis, trauma pada pelvis, pernah dilakukan radiasi, difisit nutrisi, obesitas, perokok, minum alkohol, intake cairan berlebihan atau kurangnya aktifitas. Pada wanita mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena Inkontinensia Urine, bila dibandingkan pada pria.(1,19) Pada penuaan berkaitan dengan banyak perubahan pada fisiologis seperti hilangnya kemampuan otot lurik pada daerah urethra serta berkurangnya kapasitas dalam kandung kemih yang mengarah terjadinya Inkontinensia Urine. Kehamilan, melahirkan banyak anak, dan mengejan sewaktu melahirkan bersama-sama dengan laserasi dan episiotomi pada waktu melahirkan menyebabkan hipermobilitas urethra, trauma pada persarafan dan disfungsi dasar panggul. Ini yang melatarbelakangi hubungan korelasi antara banyaknya melahirkan anak dengan resiko terjadinya Inkontinensia Urine pada wanita. (19) Juga perubahan hormonal pada menopause sangat mempengaruhi kedap air pada lapisan submukosa urethra, dengan demikian wanita menopause lebih rentan terhadap Inkontinensia Urine bila dibandingkan wanita sebelum menopause. Pada obesitas, juga merupakan salah satu faktor terjadinya Inkontinensia Urine karena beban kerja dasar panggul pada orang-orang kelebihan berat badan, lebih besar daripada orang yang kurus. Pada orang orang yang menggunakan toilet jongkok juga lebih rendah kemungkinan terjadinya Inkontinensia Urine daripada orang yang menggunakan toilet duduk. Hal ini mungkin bisa disebabkan karena adanya latihan pada dasar panggul, sehingga otot dasar panggul menjadi lebih kuat.(21)Berbagai komplikasi dapat menyertai Inkontinensia Urine seperti infeksi saluran kencing, infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur, masalah psiko sosial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi, secara tidak langsung masalah tersebut dapat menyebabkan dehidrasi, karena umumnya pasien mengurangi minum, karena kawatir terjadi Inkontinensia Urine, pada pasien yang kurang aktifitas hanya berbaring di tempat tidur dapat menyebabkan ulkus dikubitus dan dapat meningkatkan resiko infeksi lokal termasuk osteomyelitis dan sepsis. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah Inkontinensia Urine, berupa medikamentosa, fisioterapi, maupun pembedahan, jika dapat diketahui dengan tepat jenis dan penyebab Inkontinensia Urine.

Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial (Kane dkk., 1989 dalam Pranarka, 2000).Inkontinensia UrinInkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).Fisiologi dan patofisiologi diuresisProses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007). Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007). Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu, prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007). Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007). Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).Proses menua dan inkontinensia urinUsia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000): Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera, kemunduran sistem lokomosi. Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.Etiologi inkontinensia urinPenyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):1. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.2. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain.3. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya.Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam Pranarka, 2000):1. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik). Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan.2. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama.Inkontinensia urin akutPenyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):D : DeliriumR : Retriksi, mobilitas, retensiI : Infeksi, inflamasi, impaksi fesesP : Pharmacy (obat-obatan), poliuriGolongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007).Inkontinensia urin persistenInkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): 1. Tipe stressKeluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan. 2. Tipe urgensiPengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. 3. Tipe luapan (overflow)Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:- Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin.- Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus. 4. Tipe fungsionalKeluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.TerapiPengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut: a. Program rehabilitasi antara lain- Melatih respons VU agar baik lagi- Melatih perilaku berkemih- Latihan otot-otot dasar panggul- Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo) b. Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indwelling) c. Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi VU, estrogen d. Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain e. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

Inkontinensia AlviPengaturan defekasi normalDefekasi merupakan proses fisiologis yang melibatkan (Pranarka, 2000): - Koordinasi SSP dan perifer serta sistem refleks - Kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan seran lintang yang terlibat - Kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besarHal penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang bertugas mempertahankan penutupan yang baik dari saluran anus, yaitu (Brocklehurst, 1987 dalam Pranarka, 2000): a. Sudut ano-rektal, yang dipertahankan pada posisi paling ideal, dibawah 100 oleh posisi otot-otot pubo-rektal. b. Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intra- abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya. c. Bentuk anus sendiri yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otot-otot serta lipatam-lipatan mukosa yang saling mendukung.Gambaran klinisKlinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000): 1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes. 2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau ditempat tidur.Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis.Jenis-jenis inkontinensia alvi dan pengelolaannyaBerdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Pranarka, 2000): 1. Inkontinensia alvi akibat konstipasiKonstipasi bila berlangsung lama menyebabkan sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Skibala akan menyumbat lubang bawah anus dan menyebabkan perubahan besar sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul, tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum, kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui sela-sela dari feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia alvi.Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi serat dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas. Saat yang teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi buang air besar pada waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga akan mendukung. 2. Inkontinensia alvi simtomatikDapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, diverticulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang kurang berhasil, dan prolapsis rekti. Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi. 3. Inkontinensia alvi neurogenikTerjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan diikuti relaksasi sfingter interna. Pada orang dewasa normal, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada hambatan/inhibisi dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan menyiapkan penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat, relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses keluar. 4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks analTerjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya.

Deteksi Penyebab dan Tatalaksana Inkontinensia Urin Inkontinensia Urin kerap dianggap hal normal dalam penuaan dan tidak bisa diatasi. Padahal, ada penanganan yang tepat hingga pasien dapat hidup lebih nyaman dan meminimalkan biaya perawatan kesehatan Jumat, 25 Mei lalu, bukan tanpa sebab jika Aburizal Bakrie terlihat dalam keramaian acara Temu Ilmiah Geriatri 2007 di Hotel Borobudur. Bidang yang mengurusi orang-orang tua ini, sangat berkaitan dengan kapasitasnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Sebagai bagian dari masyarakat bangsa ini, lansia perlu mendapat perhatian. Kelompok usia yang tidak lagi produktif ini, jumlahnya akan semakin bertambah seiring meningkatnya usia harapan hidup. Padahal, Meningkatnya jumlah penduduk yang kurang atau tidak produktif, akan meningkat rasio ketergantungan, ujar menteri yang akrab dipanggil Ical ini dalam sambutannya. Kebutuhan pemeliharaan kesehatan bagi lansia menjadi tantangan tersendiri. Meski proses menua dianggap sebuah kewajaran, namun ada konsekuensi penurunan fungsi tubuh pada lansia. Orang tua, akan mengalami perubahan baik fisik, kognitif, sosial, dan psikologis akibat regenerasi sel yang menurun, atau tingkat hormon yang berkurang. Perubahan segala sisi itu akan menyebabkan ketergantungan lansia pada keluarga atau orang terdekat mereka. Pemeliharaan kesehatan, seperti yang dikatakan Ical, adalah salah satu upaya untuk meminimalkan ketergantungan lansia pada orang sekitarnya. Seperti kembali ke masa kanak-kanak, lansia kerap mengalami keluhan mengompol atau inkontenensia urin (IU). Prevalensinya, menurut data RSCM, terdapat pada hampir 60 persen pasien di panti rawat usia lanjut, 25-30 persen pasien yang baru pulang dari perawatan penyakit akut. Hasil survey Poliklinik Geriatri tahun 2006 menempatkan perempuan menduduki porsi lebih besar, yaitu 55,6 persen dam laki-laki 44,4 persen.IU yang kedengarannya sepele, dapat berdampak serius bagi lansia tersebut maupun orang sekitarnya. Lingkungan menjadi kotor, berbau, meningkatkan risiko jatuh, dan lain sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan masalah medis, psikologis, sosial, dan ekonomi, ujar Dr. Edy Rizal Wahyudi, SpPD. Karena itu, IU harus dapat dideteksi dan disembuhkan. Jika tidak, IU selalu dapat ditangani hingga tetap membuat pasien nyaman, memudahkan pramurawat, dan meminimalkan biaya, ujar Edy lagi.IU Akut Penanganan IU akut pada usia lanjut berbeda tergantung kondisi yang dialami pasien. Penyebab IU akut antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika, ujar Edy. Apabila vaginistis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Pembedahan harus dihindari sampai dipastikan kondisi tersebut tidak akan membaik. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. IU akut juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi nonfarmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Nah, obat-obatan ini bisa sebagai biang keladi mengompol pada orang-orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi, maka Hentikan atau ganti obat jika memungkinkan, turunkan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat, kata Edy. Ia lebih lanjut memaparkan golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol.IU Persisten Mengompol juga ada yang bersifat menetap dan tidak terkait dengan penyakit akut, disebut IU persisten. stress, urgensi, overflow, dan gangguan fungsional adalah faktor penyebabnya. Tipe stress didefinisikan sebagai keluarnya urin involunter tatkala terdapat peningkatan tekanan intraabdomen, seperti batuk, tertawa, olahraga, dan lain-lain. Sedangkan urgensi adalah keluarnya urin akibat ketidakmampuan menunda berkemih tatkala timbul sensasi keinginan untuk berkemih. Overflow adalah keluarnya urin akibat kekuatan mekanik pada kandung kemih yang overdidtensi atau factor lain yang berfek pada retensi urin dan fungsi sfingter. Edy memaparkan terapi inkontinensia urin untuk lini pertama hingga ketiga berdasarkan tipe inkontinensia yang disebutkan di atas lihat table 1.Beberapa pilihan terapi farmakologi untuk inkontinensia urin pada pasien usia lanjut meliputi obat-obatan antikolinergik dan antispamodik (bladder relaxant) atau agonis kolinergik.Deteksi dan Identifikasi Edy mengingatkan, harapan untuk mendapatkan keluhan masalah IU dari pasien atau keluarga akan kecil. Pasien usia lanjut sering datang dengan keluhan dan masalah lain yang berhubungan langsung mamupun tidak langsung dengan IU, ujar Edy. Keluhan tersebut seperti infeksi saluran kemih, jatuh dengan semua akibatnya, sindrom delirium akut atau bahkan sangat tidak berhubungan dengan IU, mengingat adanya karakteristik multi patologi pada pasien geriatri. Masalah IU masih kurang mendapat perhatian dari pasien dan keluarga. Hanya kurang dari 50 persen pasien dengan IU yang melaporkan masalahnya ke dokter, ujar Edy. Ada atau tidak ada keluhan yang dilaporkan oleh pasien dan keluarganya, deteksi atau identifikasi harus dilakukan melalui observasi langsung atau menanyakan pertanyaan-pertanyaan penapisan IU. Selanjutnya dilakukan evaluasi dasar dengan pengkajian paripurna, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap dan penunjang lainnya yang bertujuan mengidentifikasi penyebab inkontinensia yang bersifat sementara. Berdasarkan evaluasi dasar tersebut akan ditegakkan diagnosis presumtif dan diberikan terapi percobaan. Jika diagnosis presumtif tidak dapat dibuat atau terapi percobaan tidak efektif, pasien harus menjalani evaluasi lanjutan yang lebih kompleks, kata Edy.Posted by -GERIATRI- in 04:52:55 | Permalink | No Comments Mengatasi Konstipasi pada Usia LanjutBAPAK Alam ternyata tidak sendirian. Apa yang dialaminya ternyata banyak dirasakan orang lanjut usia. Menurut dr Kris Pranarka SpPD KGer dari Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP dr Kariadi Semarang dalam Temu Ilmiah Geriatri 2003 yang berlangsung pekan lalu, sembelit atau konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Sekitar 3040 persen orang di atas usia 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris, 30 persen penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia, sekitar 20 persen populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi. Suatu penelitian melibatkan 3.000 orang usia lanjut di atas 65 tahun menunjukkan, 34 persen wanita dan 26 persen pria mengeluhkan konstipasi.Menurut dr Siti Setiati SpPD KGer dari Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUP dr Cipto Mangunkusumo, survei yang dilakukan di poliklinik usia lanjut RSCM tahun 2003 pada 127 pasien geriatri mendapatkan angka kekerapan konstipasi sebesar 12,6 persen.Konstipasi dialami semua umur. Sekitar 80 persen manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi berlangsung singkat adalah normal. Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) berdasarkan National Health Interview Survey tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita, dan orang usia di atas 65 tahun. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2,5 juta kali per tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dollar AS untuk obat-obatan pencahar.Menurut situs National Institute on Aging, AS, konstipasi adalah suatu gejala, bukan penyakit. Konstipasi didefinisikan sebagai frekuensi buang air besar kurang dari normal dengan waktu yang lama serta kesulitan dan rasa sakit dalam mengeluarkan tinja.Konstipasi memang lebih banyak dialami usia lanjut dibanding usia muda. Di sisi lain orang usia lanjut sering terpancang dengan kebiasaan buang air besar sejak masa kanak-kanak dan masa muda. Padahal, seiring pertambahan usia, fungsi tubuh bisa menurun.Namun, orang usia lanjut tidak perlu terlalu khawatir, belum ada batasan mengenai periode normal dari buang air besar. Ada orang yang buang air besar duatiga kali sehari, ada yang dua kali seminggu.Pedoman untuk menentukan seseorang menderita konstipasi adalah buang air besar kurang dari dua kali seminggu, sulit mengeluarkan tinja, ada rasa nyeri serta masalah lain seperti tinja disertai darah. Jika tak ada gejala itu, bukan konstipasi.PenyebabAda sejumlah sebab yang mendasari konstipasi, dari kurang gerak, kurang minum, kurang serat, sering menunda buang air besar, kebiasaan menggunakan obat pencahar, efek samping obat-obatan tertentu sampai adanya gangguan seperti usus terbelit, usus tersumbat sampai kanker usus besar.Menurut Kris, defekasi atau buang air besar seperti halnya berkemih adalah suatu proses fisiologik yang melibatkan kerja otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisik untuk mencapai tempat buang air besar. Karena banyaknya mekanisme yang terlibat, konstipasi menjadi sulit didiagnosis dan dikelola/diobati.Proses buang air besar dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang mengantarkan tinja ke rektum (poros usus) untuk dikeluarkan. Tinja masuk dan meregangkan pipa poros usus diikuti relaksasi otot lingkar dubur dan kontraksi otot dasar panggul. Poros usus akan mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Pengukuran aktivitas motorik usus besar pada penderita konstipasi dengan elektrofisiologik menunjukkan pengurangan respons motorik usus besar akibat degenerasi jaringan saraf otonom di selaput lendir usus. Ditemukan pula pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Selain itu, ada kecenderungan menurunnya tegangan jaringan otot lingkar dubur dan kekuatan otot polos berkaitan dengan usia, terutama pada wanita.PemeriksaanPemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas.Namun demikian, papar Kris, pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar. Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi.Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus.Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissura (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi.Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70 persen), usus besar (20 persen), dan pangkal usus be