Lim Foma

download Lim Foma

If you can't read please download the document

Transcript of Lim Foma

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain. Dalam garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian yaitu: Limfoma Hodgkin (LH), limfoma non Hodgkin (LNH), Histiositosis x, Mycosis fungoides. Dalam praktek, yang dimaksud dengan limfoma adalah LH dan LNH, sedangkan Histiositosis x dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.

1

Di negara maju limfoma maligna relatif jarang dijumpai yaitu kira-kira hanya 2 % dari kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit. Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan kehidupan 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh (kuratif) berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Berdasarkan uraian di atas maka dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut dan jelas tentang limfoma.

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui secara umum konsep penyakit limfoma dan diharapkan dapat meningkatkan kemandirian masyarakat dalam upaya pencegahan terhadap penyakit limfoma. 1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengertian penyakit limfoma 2. Mengetahui penyebab penyakit limfoma 2

3. Mengetahui tanda dan gejala dari penyakit limfoma 4. Mengetahui tentang pencegahan terhadap penyakit limfoma

1.3 MANFAAT 1.3.1 Bagi petugas Kesehatan Petugas kesehatan bisa menggunakan makalah ini untuk referensi penyuluhan tentang konsep dasar penyakit limfoma. 1.3.2 Bagi mahasiswa Menambah wawasan khususnya bagi mahasiswa keperawatan, dan juga dapat digunakan sebagai materi penyuluhan untuk mahasiswa keperawatan dalam memberikan penyuluhan tentang limfoma sehingga mahasiswa keperawatan ikut berperan aktif dalam tindakan promotif dan preventif.

BAB II KONSEP PENYAKIT 2.1 Definisi Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma maligna (maligna = ganas). Ironisnya, pada orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan komponen sistem

3

kekebalan tubuh. Ada dua jenis limfoma maligna yaitu Limfoma Hodgkin (HD) dan Limfoma non-Hodgkin (LNH). Secara umum, limfoma diklasifikasikan menjadi 2 kelompok besar, yaitu : Limfoma Hodgkin. Limfoma ini ditemukan oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832. Pada lymphoma Hodgkin sel-sel dari sistem limfatik bertumbuh secara abnormal dan dapat menyebar ke luar sistem limfatik. Jika penyakit ini semakin berkembang, maka akan mempengaruhi fungsi pertahanan tubuh penderitanya. Pada penyakit ini ditemukan perkembangan sel B abnormal atau dinamakan sel Reed-Sternberg (sel B adalah salah satu jenis sel limfe yang berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh yang memproduksi antibodi). Limfoma non-Hodgkin. Pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit (salah satu jenis sel darah putih). Pada keadaan normal limfosit akan mengalami suatu siklus. Limfosit yang tua akan mati dan tubuh membentuk limfosit yang baru. Pada limfoma non-Hodgkin tubuh membentuk limfosit yang abnormal yang akan terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak terkontrol. Limfosit yang bertambah banyak ini akan memenuhi kelenjar getah bening dan menyebabkan pembesaran. Keganasan ini dapat timbul pada berbagai lokasi di tubuh. Umumnya akan timbul sel kanker di kelenjar getah bening, dan dapat menyebar ke organ limfatik lainnya, termasuk pembuluh limfe, tonsil, adenoid, limpa, kelenjar timus, dan sumsum tulang. Kadang-kadang limfoma non-Hodgkin melibatkan organ lain di luar sistem limfatik. Insiden limfoma non-Hodgkin secara global 7 kali lebih sering dibandingkan limfoma Hodgkin. Stadium Limfoma Maligna Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut. Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening.

4

Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut. Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut. Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paruparu, atau otak

2.2 Etiologi Penyebab dari penyakit limfoma maligna masih belum diketahui dengan pasti. Empat kemungkinan penyebabnya adalah: faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell

5

leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV), Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia). Adapun faktor predisposisi dari penyakit adalah sebagai berikut: 1. Usia Penyakit limfoma maligna banyak ditemukan pada usia dewasa muda yaitu antara 18-35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun 2. Jenis kelamin Penyakit limfoma maligna lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita 3. Gaya hidup yang tidak sehat Risiko Limfoma Maligna meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan UV 4. Pekerjaan Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan resiko tinggi terkena limfoma maligna adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik. 2.3 Epidemologi Saat ini, sekitar 1,5 juta orang di dunia hidup dengan limfoma maligna terutama tipe LNH, dan dalam setahun sekitar 300 ribu orang meninggal karena penyakit ini. Dari tahun ke tahun, jumlah penderita penyakit ini juga terus meningkat. Sekadar gambaran, angka kejadian LNH telah meningkat 80 persen dibandingkan angka tahun 1970-an. Data juga menunjukkan, penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia antara 45 sampai 60 tahun. Sedangkan pada Limfoma Hodgkin (DH) relative jarang dijumpai, hanya merupaka 1 % dari seluruh kanker. Di negara barat insidennya dilaporkan 3,5/100.000/tahun pada laki-laki dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia, belum ada laporan angka kejadian Limfoma Hodgkin. Penyakit 6

limfoma Hodgkin banyak ditemukan pada orang dewasa muda antara usia 18-35 tahun dan pada orang di atas 50 tahun. 2.4 Patogenesis/patofisiologi Proliferasi abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau penyumbatan organ tubuh yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal). Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa. Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan lokasi pertumbuhan sel-sel limfoma. Sumber lain mengatakan bahwa asal-usul perjalanan penyakit dari penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed- Sternberg tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed- Sternberg. Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel dendrit pada daerah 7

parafolikel nodus limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan antigen oleh sel T. Berkurangnya kapasitas memberitahukan antigen berkaitan dengan transformasi neoplasi sel dendritik, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T, yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin. Meskipun demikian, tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini harus dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan. Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit Hodgkin. Selama bertahun-tahun etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diduga. Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak mendukung peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang menunjukkan kemungkinan adanya suatu pengelompokan penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah tertentu. Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal penyakit Hodgkin. Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang menentukan pola evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik.

2.5 Manifestasi Klinis (tanda dan gejala) Gejala klinis dari penyakit limfoma maligna adalah sebagai berikut : 8

1. Limfodenopati superficial. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri dan mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha) 2. Umumnya Anda merasa kelelahan dan kekurangan energi, ini berlaku dalam kedua kasus limfoma 3. Pembengkakan kelenjar getah bening; bagian atas tubuh Anda lebih sering terkena, tetapi setiap simpul yang berkaitan dengan organ getah bening bisa membengkak, hal ini tidak menyakitkan sama sekali, berlawanan dengan kelenjar getah bening yang terinfeksi; gejala ini sebagai juga dapat ditemukan di kedua jenis limfoma; 4. Kehilangan berat badan adalah gejala lain yang berlaku bagi penyakit limfoma, jika Anda menderita limfoma, anda kemungkinan besar kehilangan sekurang-kurangnya enam persen dari berat badan Anda dalam periode waktu yang sangat singkat; 5. Anda juga akan menderita kedinginan dan menderita demam bila salah satu dari penyakit limfoma; demam yang Anda miliki tidak akan terus-menerus; 6. Gatal adalah gejala limfoma lain, tapi itu berlaku lebih kepada limfoma Hodgkin, ketimbang jenis limfoma lain; yang gatal lebih jauh di dalam kulit Anda dan dapat mempengaruhi hampir semua bagian dari tubuh Anda; 7. Berkeringat pada malam hari, karena tampaknya tidak ada alasan adalah tanda limfoma lain, bahwa sebagai satu-satunya di atas, mengacu lebih ke jenis limfoma Hodgkin; 8. Selain gejala kanker kelenjar getah bening atau limfoma ini, yang merupakan yang paling umum, ada juga beberapa tanda-tanda lain, yang kurang umum: 9. Nyeri di punggung bawah adalah tanda untuk kedua jenis penyakit limfoma; hal ini terjadi karena kelenjar getah bening yang sebenarnya memperluas tekan saraf Anda; 10. Dalam limfoma Hodgkin, setelah mengkonsumsi alkohol, Anda mungkin menderita dari sakit pada kelenjar getah bening; 9

11. Lesi, kulit gatal dan permukaan kasar pada kulit juga gejala limfoma, tapi kali ini jenis limfoma non-Hodgkin;

2.6 Pencegahan primer, sekunder, dan tersier 2.6.1 Pencegahan primer Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi kasus penyakit limfoma dengan cara mengendalikan faktor resiko dan cara transmisinya. Pencegahan primer ini dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan, antara lain: berpola hidup sehat sperti tidak merokok, mengurangi konsumsi makanan berlemak, mengurangi paparan terhadap sinar ultraviolet. 2.6.2 Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder ditunjukkan kepada para penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari kasus yang terjadi, yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan. Pada tahap ini, individu yang beresiko tinggi dapat melakukan tes skrining untuk melihat adanya gejala yang mengarah ke tipe penyakit limfoma, seperti misalnya check up rutin tentang kesehatan organ dalamnya. 2.6.3 Pencegahan tersier Pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi kemajuan atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi dan adalah merupakan sebuah aspek terapeutik dan kedokteran rehabilitasi yang penting sekali. Upaya ini terdiri atas ukuran-ukuran yang dimaksudkan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi. Tindakan yang dapat dilakukan seperti mengikuti kemoterapi ataupun radioterapi, sehingga nantinya diharapkan dapat mengurangi kelemahan fisik penderita limfoma dan juga dapat memperpanjang kehidupan penderita limfoma.

2.7 Penatalaksanaan

10

Cara pengobatan bervariasi dengan jenis penyakit. Beberapa pasien dengan tumor keganasan tingkat rendah, khususnya golongan limfositik, tidak membutuhkan pengobatan awal jika mereka tidak mempunyai gejala dan ukuran lokasi limfadenopati yang bukan merupakan ancaman. Radioterapi Walaupun beberapa pasien dengan stadium I yang benar-benar terlokalisasi dapat disembuhkan dengan radioterapi, terdapat angka yang relapse dini yang tinggi pada pasien yang dklasifikasikan sebagai stadium II dan III. Radiasi local untuk tempat utama yang besar harus dipertimbangkan pada pasien yang menerima khemoterapi dan ini dapat bermanfaat khusus jika penyakit mengakibatkan sumbatan/ obstruksi anatomis. Pada pasien dengan limfoma keganasan tingkat rendah stadium III dan IV, penyinaran seluruh tubuh dosis rendah dapat membuat hasil yang sebanding dengan khemoterapi. Khemoterapi 1. Terapi obat tunggal Khlorambusil atau siklofosfamid kontinu atau intermiten yang dapat memberikan hasil baik pada pasien dengan limfoma maligna keganasan tingkat rendah yang membutuhkan terapi karena penyakit tingkat lanjut. 2. Terapi kombinasi. (misalnya COP (cyclophosphamide, oncovin, dan prednisolon)) juga dapat digunakan pada pasien dengan tingkat rendah atau sedang berdasakan stadiumnya. Terapi juga dapat dilihat dari beberapa aspek: a. Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati. b. Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)

11

c. Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi saja) atau sarana terapi kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan kemoterapikombinasi). Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu obat), kemoterapi kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini dikembangkan kemoterapi dosis tinggi plus pencangkokan Stem Cell Autologus untuk rescue (penyelamatan) aplasi system darah yang diakibatkan oleh kemoterapi dosis tinggi tadi. (KDT + rPSC autologus). I.Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi awal) I.1.Radioterapi saja. Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi (kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi dibawah diafragma (dibuktikan denganstaging-laparotomy) untuk stadium IA diberikan radioterapi extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodalirr adiation (TNI),dianggap cukup kuratif. I.2. Kombinasi radioterapi + kemoterapi. Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma radioterapi harus ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi dengan kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA tetapi pasien menolak laparotomi atau memang tidak akan dilakukan laparotomi karena ada kontraindikasi.

12

Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X pada stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis kuratif, sesudah kemoterapi. Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka yang menunjukkan tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu : 1. Massa mediastinum yang besar. 2.B-symtoms. 3. kelainan dihilus paru. 4. histologinya bukan Lymphocytic predominant dan 5. Stadium III. I.3. Kemoterapi Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant pada tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka kesembuhan nya cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi kemoterapi sebagai terapi utama sejak stadium II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada bulky mass, dengan demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit, bahkan tidak diperlukan lagi karena tindakan ini terlalu invasif, sedangkan Billy Anthony Tohar FK UKRIDA2007 hasilnya sama saja, namun masih ada silang pendapat terutama antara ahli radioterapi dengan ahli onkologi medis. Banyak regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang mengunakan alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai penyebab timbulnya kanker sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan kelainan jantung; Bleomisin kelainan paru; terutama bila dikombinasikan dengan radioterapi mediastinum. Regimen-regimen yang kuratif selalu menggunakan kombinasi obat. Regimen yang menggunakan alkylating agent, misalnya : MOPP : -M = Mustard nitrogen 6mg/sqm i.v. hari ke 1,8 - O = Onkovin = Vinkristin 1,2 mg/sqm i.v. hari ke 1,8 - P = Prokarbazin 100 mg/sqm p.o hari ke 1-14

13

- P = Prednison 40 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 diulang selang 28 hari bila memenuhi syarat. Modifikasi regimen MOPP ini juga ada yaitu COPP dan LOPP. Pada COPP M diganti dengan C + Cyclophosphamide 800 mg/sqm i.v. hari ke 1,8 atau 3x50 mg/sqm p.o. dd hari ke 1-14. sedangkan pada LOPP M diganti dengan L + Leukeren = Chlorambucil 8 mg/sm dd p.o. hari ke1-14. Regimen yang tanpa alkylating agent misalnya ABVD atau ABV saja. A = Adriamisin 25 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14 B = Bleomisin 10 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14 V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14 (D)= DTIC 150 mg/sqm i.v. hari ke 1-5 diulang selang 4 minggu Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu tidak cross resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat dipakai MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-ABVD-MOPPABVD dst atau regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik, namun masih ada silang pendapat Billy Anthony Tohar FK UKRIDA2007. II.Terapi kasus yang telah diobati sebelumnya Disini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak terapi awal, atau setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD masih dapat dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua regimen ini non-crossresistant, namun angka remisinya kecil dan cepat kambuh lagi. Kalau kedua regimen baku itu tidak dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang digolongkan dalam salvage-therapy (=terapi penyelamatan). Jadi salvage kemoterapi diberikan untuk mereka yang: mengalami relaps sesudah remisi lengkap, dan resistant terhadap terapi. Tabel beberapa regimen untuk salvage therapy (second line therapy pada Limfoma Hodgkin yang Relaps atau Resistant) V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu A = Adrianmisin 40 mg/sqm i.v. tiap 3 minggu B = Bleomisin 15 U 1-v- tiap minggu sekali 14

C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. tiap 6 minggu D = Dakarbasin 800 mg/sqm i-v- tiap 3 minggu C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. hari ke 1 E = Etoposid 100 mg/sqm p.o. hari ke 1 P = Prednimustin 60 mg/sqm i.v.hari ke 1, diberi selang 3-6minggu E = Etoposid 200 mg/sqm p.o. hari ke 1-5 V = Vinkristin 2 mg/sqm i.v. hari ke 1 A = Adriamisin 20 mg/sqm i.v. hari ke 1, diberi selang 3 minggu M = Metil-GAG 500 mg/sqm i.v. hari ke 1-14 I = Ifosfamid 1 gram/sqm i.v. hari ke 1-5 M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. hari ke 3 E = Etoposid 100 mg/sqm i.v. hari ke 1-4, diberi selang 3 minggu C = Lomustin 100 mg/sqm p.o. hari ke 1 E = Etoposid 100 mg/sqm h. ke 1-3 dan 21-23 M = Metotreksat 30 mg/sqm p.o. hari ke 1,8,21,28, diberi selang 6 minggu M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. tiap 6 jam selama 4 hari mulai hari ke1 dan 8 dengan rescue C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v.h. ke 15 H = Doksorubisin 50 mg/sqm i.v.h ke 15 O = Vinkristin 1 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 P = Prednison 100 mg/sqm p.o. hari ke 22-26, diberi selang 4 minggu

15

E = Etoposid 120 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15 V = Vinblastin 4 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15 A = Ara-C 30 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15 P = Platinum 40 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15, diulang selang 4 minggu M = Metotreksat 120 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 plus rescue O = Vinkristin 2 mg i.v.h. 15 dan 22 P = Prednison 60 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 L = Leukovorin rescue A = Ara-C 300 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v. hari ke 1 E = Etoposid 80 mg/sqm i.v. hari ke 1-3, diberi selang 4 minggu Regimen-regimen salvage therapy antara lain adalah : VABCD, ABDIC, CBVD, CEP, EVA, LVB, MIME, M-CHOP, CEM, EVAP, MOPLACE dll. (lihat table IV). Kemajuan dibidang pencangkokan sumsum tulang atau selbakal (stemcell)-autologous memberikan dampak pula pada terapi limfoma yang resisten. Pada kondisi ini diberikan kemoterapi yang dosisnya sangat tinggi hingga timbul aplasi sumsum tulang (myeloablative chemotherapy), kemudian dilakukan penyelamatan dengan pencangkokan sel bakal autologus yang diambil dari darah tepi setelah sebelumnya diberi Hemopoetic Growth Factors. Populasi yang memerlukan kemoterapi dosis sangat tinggi plus stem-cell rescue (KDTrPSC) adalah penyakit Hodgkin yang sudah lanjut dengan disertai factor-faktor prognosis buruk yaitu antara lain : 1. Mereka yang gagal mendapatkan complete remission (CR) atau partial (PR) yang baik (stabil) (yang didefinisikan sebagai hal yang sangat mungkin karena adanya fibrosis residu dengan terapi awal). 2. Mereka yang mengalami Progresive Disease (PD) saat terapi awal. 3. CR yang lamanya kurang dari 1 tahun

16

4. Relaps berulang ( 2x) tanpa melihat lamanya remisi 5. Adanya gejala-gejala B pada relaps yang pertama 6. Relaps sesudah sebelumnya mengalami stadium IV Faktor-faktor tersebut diatas juga merupakan peramal hasil buruk dengan pengobatan garis ke 2 (salvage therapy); mereka ini calon-calon yang baik untuk KDTrPSC tersebut diatas. Mereka yang tanpa fakto-faktor buruk tersebut bila relaps masih dapat dicoba dengan kemoterapi garis kedua untuk mendapatkan CR kedua, namun kemungkinannya hanya 35% saja, sisanya akhirnya juga memerlukan KDTrPSC; bahkan telah mulai diteliti penggunaan KDTrPSC sebagai terapi awal, namun kesimpulannya masih belum ada. 2.8 Prognosis Kebanyakan pasien dengan penyakit limfoma maligna tingkat rendah bertahan hidup lebih dari 5-10 tahun sejak saat didiagnosis. Banyak pasien dengan penyakit limfoma maligna tingkat tinggi yang terlokalisasi disembuhkan dengan radioterapi. Dengan khemoterapi intensif, pasien limfoma maligna tingkat tinggi yang tersebar luas mempunyai perpanjangan hidup lebih lama dan dapat disembuhkan.

17

BAB III PATHWAY Diagnosis Diagnosis pasien dengan penyakit limfoma

Kaematology MDT diagnosis is of skin lymphoma discussed at Haematology MDT (apart from an agreed subgroup which may have direct referral to SSMDT) to exclude any cancers requiring urgent chemotherapy. Referral to Specialist Skin Cancer MDT (SSMDT)made Skin cancer MDT diagnosis is of skin lymphoma discussed at a loval skin MDT and referral to a Specialist Skin Cancer MDT (SSMDT) made

Dataset A common dataset will be collected on all cases of skin lymphoma. Data to be collected either by the SSMDT or by the Supranetwork Skin Lymphoma MDT for those patients who are referred to the Supranetwork Skin Lymphoma MDT Audit The data on all cases of skin lymphoma will be included in an annual audit in order to share information and learning about these cas es

Skin Cancer SSMDT 18

All cases of skin lymphoma to be discussed at the SSMDT (Leeds, hull or sheffield) Referral to the Supranetwork Skin Lymphoma MDT is made for patients who have nodular mycosis fungoides (stage 2B or over) Patient with earlier stages of cutaneous T cell lymphoma can be managed locally by the SSMDT

Supranetwork skin lymphoma MDT (based at leeds) (MDT video conference between YNC. HYCCN and NTCN) Patient wit lymphoma who have been referred to this MDT are reviewed and a menegement plan agreed Core member: Clinical Oncologist responsible for TSEBT

19

HAemotological Oncologist HMDS Pathological, including access to molecular diagnostic techniques dermatologist who is a core member af an SSMDT Dermatologist with expertise in cutaneous lymphoma Leeds MDT coordinator Other staff: 1. Nurse 2. Radiologis

Patent with lymphoma who have been referred to the supranetwork lymphoma will be seen and a management plan discussed. Patent information offered 20

Treatment Topical treatment Phototerapy TSEBT and local radiotherapy Systemic therapy

Follow up If skin directed therapy is not working or if the patient is not being controlled by treatment that is being offered locally, they would be referred to leeds. Patient whohave had TSEBT and photopheresis is would be followed up to see if their skin has settled down and then would be referred back to the local unit

BAB IV IMPLIKASI KEPERAWATAN

4.1

Implikasi Patofisiologi Penyakit dalam bidang Keperawatan

21

Dengan mempelajari konsep penyakit limfoma dengan jelas, pada akhirnya perawat dapat memberikan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai evaluasi dengan tepat kepada penderita limfoma, misal: Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada daerah leher, ketiak dan pangkal paha Pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha) Inspeksi, tampak warna kencing campur darah, pembesaran suprapubic bila tumor sudah besar. Palpasi, teraba tumor masa suprapubik, pemeriksaan bimanual teraba tumor pada dasar buli-buli dengan bantuan general anestesi baik waktu VT atau RT. Pada pengkajian data yang dapat ditemukan pada pasien limfoma antara lain: 1. Data subjektif a.Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38oC b.Sering keringat malam. c.Cepat merasa lelah d.Badan Lemah e.Mengeluh nyeri pada benjolan f.Nafsu makan berkurang 2. Data Obyektif a.Timbul benjolan yang kenyal,mudah digerakkan pada leher,ketiak atau pangkal paha. b.Wajahpucat

22

3.Kebutuhan dasar

AKTIVITAS/ISTIRAHAT Gejala : Kelelahan, kelemahan atau malaise umum Kehilangan produktifitasdan penurunan toleransi latihan Kebutuhan tidur dan istirahat lebih banyak Tanda : Penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan SIRKULASI Gejala Palpitasi, angina/nyeri dada Tanda Takikardia, disritmia. Sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang) Ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obtruksi duktus empedu dan pembesaran nodus limfa(mungkin tanda lanjut) Pucat (anemia), diaforesis, keringat malam. INTEGRITAS EGO Gejala Faktor stress, misalnya sekolah, pekerjaan, keluarga Takut/ansietas sehubungan dengandiagnosis dan kemungkinan takut mati 23

Takut sehubungan dengan tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi) Masalah finansial : biaya rumah sakit, pengobatan mahal, takut kehilangan pekerjaan sehubungan dengan kehilangan waktu kerja. Status hubungan : takut dan ansietas sehubungan menjadi orang yang tergantung pada keluarga. Tanda Berbagai perilaku, misalnya marah, menarik diri, pasif

ELIMINASI Gejala Perubahan karakteristik urine dan atau feses. Riwayat Obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorbsi (infiltrasi dari nodus limfa retroperitoneal) Tanda Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada palpasi (hepatomegali) Nyeri tekan pada kudran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali) Penurunan haluaran urine urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretal/ gagal ginjal). Disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut) MAKANAN/CAIRAN Gejala Anoreksia/kehilangna nafsu makan Disfagia (tekanan pada easofagus) Adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.

24

Tanda Pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan (sekunder terhadap kompresi venakava superior oleh pembesaran nodus limfa) Ekstremitas : edema ekstremitas bawah sehubungan dengan obtruksi vena kava inferior dari pembesaran nodus limfa intraabdominal (non-Hodgkin) Asites (obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraabdominal) NEUROSENSORI Gejala Nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial, lumbar, dan pada pleksus sakral Kelemahan otot, parestesia. Tanda Status mental : letargi, menarik diri, kurang minatumum terhadap sekitar. Paraplegia (kompresi batang spinaldari tubuh vetrebal, keterlibatan diskus pada kompresiegenerasi, atau kompresi suplai darah terhadap batng spinal) NYERI/KENYAMANAN Gejala Nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena misalnya, pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebra), nyeri tulang umum (keterlibatan tulang limfomatus). Nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol. Tanda Fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati. PERNAPASAN Gejala 25

Dispnea pada kerja atau istirahat; nyeri dada. Tanda Dispnea, takikardia Batuk kering non-produktif Tanda distres pernapasan, contoh peningkatan frekwensi pernapasan dan kedaalaman penggunaan otot bantu, stridor, sianosis. Parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal). KEAMANAN Gejala Riwayat sering/adanya infeksi (abnormalitasimunitas seluler pwencetus untuk infeksi virus herpes sistemik, TB, toksoplasmosis atau infeksi bakterial) Riwayat monokleus (resiko tinggi penyakit Hodgkin pada pasien yang titer tinggi virus Epstein-Barr). Riwayat ulkus/perforasi perdarahan gaster. Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari terakhir sampai beberapa minggu (demam pel Ebstein) diikuti oleh periode demam, keringat malam tanpa menggigil. Kemerahan/pruritus umum

Tanda : Demam menetap tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 38oC tanpa gejala infeksi. Nodus limfe simetris, tak nyeri,membengkak/membesar (nodus servikal paling umum terkena, lebih pada sisi kiri daripada kanan, kemudian nodus aksila dan mediastinal) Nodus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan.

26

Pembesaran tosil Pruritus umum. Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo) SEKSUALITAS Gejala Masalah tentang fertilitas/ kehamilan (sementara penyakit tidak mempengaruhi, tetapi pengobatan mempengaruhi) Penurunan libido. PENYULUHAN/PEMBELAJARAN Gejala Faktor resiko keluargaa (lebih tinggi insiden diantara keluarga pasien Hodgkin dari pada populasi umum) Pekerjaan terpajan pada herbisida (pekerja kayu/kimia)

b. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri b.d agen cedera biologi 2. Hyperthermia b.d tidak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi 3. Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah 4. Kurang pengetahuan b.d kurang terpajan informasi 5. Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif b.d pembesaran nodus medinal / edema jalan nafas.

c. Intervensi 27

1. Nyeri b.d agen cedera biologi Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan nyeri klien berkurang/hilang dengan KH : 1. Skala nyeri 0-3 2. Wajah klien tidak meringis 3. Klien tidak memegang daerah nyeri Intervensi : 1. Kaji skala nyeri dengan PQRST R : untuk mengetahui skala nyeri klien dan untuk mempermudah dalam menentukan intervensi selanjutnya 2. Ajarkan klien teknik relaksasi dan distraksi R : teknik relaksasi dan distraksi yang diajarkan kepada klien, dapat membantu dalam mengurangi persepsi klien terhadap nyeri yang dideritanya 3. Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik R : obat analgetik dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri yang diderita oleh klien

2. Hyperthermia b.d tidak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan suhu tubuh klien turun / dalam keadaan normal dengan kriteria hasil : 1. suhu tubuh dalam batas normal (35,9-37,5 derajat celcius) Intervensi : 2. Observasi suhu tubuh klien R : dengan memantau suhu tubuh klien dapat mengetahui keadaan klien dan juga dapat mengambil tindakan dengan tepat

28

3. Berikan kompres hangat pada dahi, aksila, perut dan lipatan paha R : kompres dapat menurunkan suhu tubuh klien 4. Anjurkan dan berikan minum yang banyak kepada klien (sesuai dengan kebutuhan cairan tubuh klien) R : dengan banyak minum diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh klien 5. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik R : antipiretik dapat menurunkan suhu tubuh 3. Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selam 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan criteria hasil : 1. Menunjukkan peningkatan berat badan/berat badan stabil 2. Nafsu makan klien meningkat 3. Klien menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk mempertahankan berat badan yang sesuai Intervensi : 1. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai R : mengidentifikasi defisiensi nutrisi dan juga untuk intervensi selanjutnya 2. Observasi dan catat masukan makanan klien R : mengawasi masukan kalori 3. Timbang berat badan klien tiap hari R : mengawasi penurunan berat badan dan efektivitas intervensi nutrisi 4. Berikan makan sedikit namun frekuensinya sering R : meningkatkan pemasukan kalori secara total dan juga untuk mencegah distensi gaster

29

5. Kolaborasi dalam pemberian suplemen nutrisi R : meningkatkan masukan protein dan kalori 4. Kurang pengetahuan b.d kurang terpajan informasi Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan sela 1 x 24 jam diharapkan diharapkan klien dan keluarganya dapat mengetahui tentang penyakit yang diderita oleh klien dengan criteria hasil : 1. Klien dan keluarga klien dapat memahami proses penyakit klien 2. Klien dan keluarga klien mendapatkan informasi yang jelas tentang penyakit yang diderita oleh klien 3. Klien dan keluarga klien dapat mematuhi proses terapiutik yang akan dilaksanakan Intervensi : 1. Berikan komunikasi terapiutuk kepada klien dan keluarga klien R : memudahkan dalam melakukan prosedur terpiutuk kepada klien 2. Berikan KIE mengenai proses penyakitnya kepada klien dan keluarga klien R : klien dan keluarga klien dapat mengetahui proses penyakit yang diderita oleh klien 5. Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif b.d pembesaran nodus medinal / edema jalan nafas. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selam 3 x 24 jam diharapkan bersihan jalan nafas klien efektif/normal dengan criteria hasil : 1. Klien dapat bernafas dengan normal/efektif 2. Klien bebas dari dispnea, sianosis 3. Tidak terjadi tanda distress pernafasan

Intervensi : 30

1. Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, irama R : perubahan dapat mengindikasikan berlanjutnya keterlibatan/pengaruh pernafasn yang membutuhkan upaya intervensi 2. Tempatkan pasien pada posisi nyaman, biasanya dengan kepala tempat tidur tinggi/atau duduk tegak ke depan kaki digantung R : memaksimalkan ekspansi paru, menurunkan kerja pernafasan, dan menurunkan resiko aspirasi 3. Bantu dengan teknik nafas dalam dan atau pernafasan bibir /diafragma. Abdomen bila diindikasikan R : membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan nafas kecil, memberikan klien beberapa kontrol terhadap pernafasan, membantu menurunkan ansietas 4. Kaji respon pernafasan terhadap aktivitas R : penurunan oksigenasi selular menurunkan toleransi aktivitas d. Evaluasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan : 1. Nyeri klien berkurang/hilang 2. Suhu klien dalam batas normal suhu tubuh dalam batas normal (35,9-37,5 derajat celcius) 3. Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi 4. Klien dan keluarganya dapat mengetahui tentang penyakit yang diderita oleh klien 5. Bersihan jalan nafas klien efektif/normal

4.2

Peranan Keperawatan

31

Keperawatan adalah diagnosis dan penanganan respon manusia terhadap masalah Kesehatan aktual maupun potensial (ANA, 2000). Dalam dunia keperawatan modern, respon manusia didefinisikan sebagai sebagai pengalaman atau respon orang terhadap sehat dan sakit yang merupakan suatu fenomena perhatian Perawat. Perawat Profesional adalah Perawat yang bertanggung jawab dan berwewenang memberikan pelayanan keparawatan secara mandiri atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya. (Depkes RI,2002). Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai Nursing Services menyangkut bidang yang amat luas sekali, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari sejak lahir sampai meningal dunia dalam bentuk peningkatan Pengetahuan, kemauan dan kemampuan yang dimiliki, sedemikian rupa tersebut dapat tanpa memerlukan Henderson, 2000). Peran dan fungsi Perawat adalah melakukan perawatan pada Individu sehat maupun sakit dimana segala lakukan dengan Pengkajian, aktifitas yang di lakukan berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang di miliki, aktifitas ini di berbagai cara untuk mengembalikan status kesehatan klien masalah (Diagnosa Keperawatan), Perencanaan, secepat mungkin dalam bentuk Proses Keperawatan yang terdiri dari tahap Identifikasi Implementasi dan Evaluasi. Aktifitas Keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberi Asuhan Keparawatan, praktek Keperawatan, pengelola institusi Keperawatan, pendidikan klien serta kegiatan penilitian dibidang Keperawatan. (Sieglar, 2000). Beberapa peran dan fungsi perawat adalah perawat sebagai pelaksana, perawat sebagai pendidik, perawat sebagai pengelola, dan perawat sebagai peneliti. a. Peran Pelaksana sehingga orang secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri bantuan dan ataupun tergantung pada orang lain (Sieglar cit

32

Peran ini di kenal dengan Care Giver peran Perawat dalam memberikan Asuhan Keparawatan secara langsung atau tidak langsung kepada Klien sebagai Individu, Keluarga dan Masyarakat, dengan metoda pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan. Dalam melaksanakan peran ini perawat bertindak sebagai comforter, protector, advocate, communicator serta rehabilitator. Sebagai comforter perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman pada klien. Peran protector dan advocate lebih berfokus pada kemampuan perawat melindungi dan menjamin hak dan kewajiban klien agar terlaksana dengan seimbang dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Peran sebagai communicator, perawat bertindak sebagai penghubung antara klien dengan anggota kesehatan lainya. Peran ini erat kaitanya dengan keberadaan perawat dalam mendampingi klien dan sebagai pemberi Asuhan Keperawatan selama 24 jam, sedangkan rehabilitator, berhubungan erat dengan tujuan pemberian Asuhan Keperawatan yakni mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh agar sembuh dan dapat berfungsi normal. b. Peran sebagai pendidik Sebagai pendidik Perawat berperan dalam medidik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada dibawah tanggungjawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada klien, dalam bentuk desimilasi ilmu. c. Peran sebagai pengelola. Dalam hal ini Perawat mempunyai peran dan tanggungjawab dalam mengelola pelayanan keparawatan sesuai dengan Manajemen Keperawatan. Sebagai pengelola Perawat dalam memantau dan menjamin kualitas Asuhan atau pelayanan keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan, sehingga klien mendapatkan pelayanan yang maksimal dan sesuai dengan kebutuhannya. d. Peran sebagai peneliti

33

Perawat diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metoda penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu Asuhan dan pelayanan keperawatan. Diharapkan saat perawat menemukan kasus anemia nantinya, perawat dapat melaksanakan tugas dan peranan keperawatan secara maksimal dan dilaksanakan berdasarkan standartisasi asuhan keperawatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan. Bukan hanya pada klien penderita anemia, perawat juga harus dapat menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan baik kepada klien pada kondisi sehat maupun sakit.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dalam pembuatan makalah ini adalah : 1. Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit

34

2. Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH). 3. Penyebab dari penyakit limfoma maligna masih belum diketahui dengan pasti..Empat kemungkinan penyebabnya adalah: faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV), Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia). Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut. Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening. Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut. Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut. Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paruparu, atau otak

5.2 Saran Dari penjelasan diatas kita tahu bahwa kita sebagai perawat nantinya tidak dapat langsung menyimpulkan suatu penyakit tanpa adanya pengetahuan tentang patofisiologi dan patogenensis dari suatu penyakit. Suatu penyakit harus diteliti 35

kembali, diamati, dikenali, diidentifikasi dan dilakukan diagnosa. Dari diagnosa barulah kita dapat menyimpulkan serta mengambil keputusan akan peran dan tanggung jawab untuk penanganan penyakit tersebut.

36