AL-‘Alim Wa al-Muta’allim dan Relevansinya
Transcript of AL-‘Alim Wa al-Muta’allim dan Relevansinya
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB A<DA>B AL-‘A<LIM WA AL-MUTA’ALLIM DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Promosi Tesis pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam Bidang Pengkajian Islam
Oleh:
SAIPULLAH 13.2.00.0.03.01.0076
Pembimbing / Promotor: Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A.
Konsentrasi:
Pendidikan Islam
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2018
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i KATA PENGANTAR... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v
PERSETUJUAN PEMBIMBING... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v ii ABSTRAK.... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix ABSTRACK.... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . x i
صلخالم . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xiii
TRANSLITRASI .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .xv
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .xix BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 A. Latar Belakang Masalah . ...............................................................1 B. Permasalahan ...............................................................................10
1. Identifikasi Masalah ...............................................................10
2. Perumusan Masalah ...............................................................13 3. Pembatasan Masalah . .............................................................14
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...............................................14 D. Tujuan Penelitian.........................................................................16 E. Manfaat / Signifikansi Penelitian .................................................17 F. Metodologi Penelitian ..................................................................18 G. Sistematika Penulisan ..................................................................22
BAB II PENDIDIKAN KARAKTER: KONSEP DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA.... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .24 A. Penjelasan dan Ruang Lingkup Pendidikan Karakter .....................24 B. Sejarah Pendidikan Karakter .......................................................29 C. Model-Model Pendidikan Karakter ...............................................33
1. Indonesia ................................................................................33 2. Islam .....................................................................................36 3. Barat .....................................................................................39
D. Urgensi dan Manfaat pendidikan Karakter ....................................41 E. Perbedaan Karakter, Akhlak dan Moral.........................................44 F. Strategi dan Pendekatan Pendidikan Karakter yang Efektif............48
BAB III KH. HASYIM ASY’ARI: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN..50 A. Biografi KH. Hasyim Asyari ........................................................50 B. Pemikiran KH. Hasyim Asyari .....................................................55 C. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim: Struktur Kontens dan
Pendidikan Karakter ....................................................................57
D. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim dari Kaca Mata Sejarah ..67
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB A<DA>B AL-‘A>LIM WA AL-MUTA’ALLIM DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 78 A. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-
Muta’allim ................................................................................ 87 B. Korelasi Antara Guru, Pelajar dan Kitab dalam Pembentukan
Karakter ................................................................................ 111 C. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam kitab A<da>b Al-
‘A>lim Wa Al-Muta’allim terhadap Pendidikan Karakter ............ 117 BAB V PENUTUP .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 125 A. Kesimpulan ............................................................................. 125
B. Saran-saran ............................................................................. 126 DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 127 GLOSARIUM .............................................................................. 137 DAFTAR INDEKS ...................................................................... 143
iii
Kata Pengantar
Puji dan shukur penulis haturkan kehadirat Allah-Nya yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Kitab A<da>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter di Indonesia‛. S}alawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulallah SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Dan semoga, kita mendapatkan shafaatnya di yaum al-akhir.
Dalam kesempatan ini, penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian tesis ini banyak pihak yang membantu dan berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak, baik berupa doa maupun materi, dan
baik berupa gagasan maupun perdebatan yang telah memberikan andil dalam penyelsaian study S2. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan banyak terimakasi terkhusu pada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, M.A selaku direktur SPS UIN Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada lembaga yang dipimpinnya.
2. Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A selaku Pembimbing dalam penulisan tesis ini yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan. Semoga Allah SWT senantia mencurahkan rahmat, menjemberkan rizki dan mempermudah segala katifitasnya.
3. Dr. JM. Muslim, M.A selaku ketua Program Magister yang tidak pernah bosan memberikan kritik, saran dan gagasan imajinatif lainnya. Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A selaku ketua Program Doktor yang selalu memberikan semangat agar dapat
menyelesaikan tesis dengan baik. dan seluruh civitas akademika, staf administrasi dan staf perpustakaan UIN Jakarta.
4. Prof. Dr. Iik Arifin Mansur Noor, M.A, Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A, Dr. Usep Abdul Matin, M.A, Dr. Abd. Razak, M.Si, Dr. Kusmana, M.A. dan dosen lainnya yang turut terlibat yang telah memberikan sumbangsinya dalam perbaikan tesis ini secara pribadi
iv
maupun dalam ujian-ujian mulai dari seminar proposal tesis, WIP I, WIP II, ujian komprehensif baik lisan maupun tulisan.
5. Kepada kedua orang tua ayahanda A. Shodri dan ibunda asyianah yang senantiasa memberikan motivasi, bantuan dan doa untuk senantiasa menjadi yang terbaik, kepada istri tercinta yang selalu
menemani dalam kondisi apapun, dan juga kepada putraku Syamsi Ali, serta saudara-saudaraku Munawarah, Zuhairiyah, Hafidhah, M. Abas, Hidayatullah, M. Iqbal, Edi Upoyo, Syukriadi Dan Iik Randal. Semoga karya sederhana ini menjadi bukti penulis kepada mereka semua.
6. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan baik mahasiswa SPS UIN Jakarta maupun temen mengajar sekolah ICM yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namanya tetapi kebersamaan selama ini
akan menjadi kenangan terindah yang tidak bisa dilupakan semoga kita semua menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat.
7. Tidak ada tulisan yang sempurna dan baik, oleh karena itu penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Peneliti siap menerima kritikan dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat labih baik dan menjadi manfaat baik bagi penulis maupun pembaca lainnya.
Jakarta, 30 April 2018
Saipullah
ix
ABSTRAK
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penguatan rasa lebih
efektif dibanding penguatan rasio dalam pengembangan diri. Hal tersebut dapat dibuktukan dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang tertuang dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Karya KH. Hasyim Asyari adalah; taqwa, cinta ilmu, zuhud, disiplin, al-qawamiyah, sabar,
wira’i, tawad}u, kerja keras/sungguh-sungguh, ikhlas, cinta kebersihan, demokrasi, kasih sayang atau silaturrahim, komunikasi/bersahabat, adil, peduli sosial, dan bersyukur. Tujuh belas Nilai-nilai tersebut sesuai dengan pendidikan karakter yang ada di Indonesia. Nilai pendidikan
tersebut terbukti dapat membentuk para santri yang baik dan mendukung kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Derek H. Davis (2016) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter dapat membantu menciptkan lingkungan belajar yang baik dan efektif, karena pendidikan karakter
mengajarkan moralitas agar membentuk pribadi yang bermoral. Thomas Lickona (1991) berpendapat bahwa tujuan pendidikan pada dasarnya membimbing peserta didik agar menjadi cerdas dan memiliki prilaku yang baik. Kata “cerdas” dan “baik” bukanlah satu kata yang sama tetapi dua
kata yang berbeda yang membutuhkan pengajaran terpisah. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Michael Davis
(2003) yang menolak pendidikan karakter dengan tiga alasan. Pertama secara empiris Pendidikan karakter tidak memiliki bukti bahwa karakter tertentu bisa diklem benar atau salah secara mutlak. Kedua, secara konsep, pendidikan karakter terdapat konflik antara karakter yang baik seperti apa yang disebut baik dan bagaimana proses untuk mengajarkan pendidikan karakter secara baik. Ketiga secara moral bahwa pendidikan karakter mengalami kegagalan dalam melakukan hal yang benar untuk alasan yang benar. Contoh: keberanian adalah suatu karkter yang baik. Tetapi
keberanian untuk membunuh adalah suatu kesalahan. Menurut William Kilpatrick (1992) bahwa setiap manusia sejatinya adalah baik. Sedangkan faktor lingkungan adalah pernghambat dalam meningkatkan kebaikan itu sendiri. Sejatinya kebaikan itu berasal dari hati nurani manusia bukan dari
wilayah rasionalitas manusia. Menurut Marvin W. Berkowitz Dan Melinda C. Bier, bahwa fokus sekolah seharusnya pada prestasi akademik bukan untuk mengentaskan masalah moral. Dengan adanya prestasi para generasi akan mudah melanjutkan apa yang mereka inginkan baik dalam dunia pekerjaan maupun jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sumber primer penelitian ini adalah kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Karya KH. Hasyim Asyari diterbitkan oleh maktabah al-
x
tura>th al-isla>mi Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur tahun 1415 H/1994 M sebanyak 101 halaman. Sedangkan data sekunder adalah referensi yang berkaitan dengan pendidikan karakter baik berupa buku, majalah, jurnal maupun referensi lain yang relevan dengan penelitian ini, referensi itu diantaranya: Mendidik Untuk Membentuk Karakter karya Thomas Lickona, Peranan Kh. Hasyim Asyari Dalam Kebangkitan Islam di Indonesia karya Dr. H. Ridjaluddin. FN, M.Ag, Guru sejati Hasyim
Asyari karya Masyamsul Huda, dan lain-lain. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan deskritif-analisis yaitu dengan mendeskripsikan kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim analisis sejarah sosial dalam pendidikan karakter, kemudian dianalisis dengan melakukan kajian secara mendalam tentang nilai-nilai pendidikan karakter dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia.
xiii
صخلمال
التعزيز هو أكثر فعالية من تعزيز الشعور نسبة نتائج ىذه الدراسة إلى أن توصمت
أدب العالم والمتعمم الواردة في كتاب الشخصيةالتربية قيم هذا يمكن القيام بهالتنمية الذاتية. ، والقومية، والزىد، واالنضباط، العممحب و ،التقوى تشمل ،األشعري ىاشملكياىي الحاج ، والرحمة ،، والديمقراطيةوالجيد، واإلخالص، وحب النظافة ،والتواضع، والصبر، والورع
التربية يذه القيم تتوافق مع ف .الشكرالرعاية االجتماعية، و و واالتصال الودي، والعدل، الطالب في وينتك عمى ليا دليلالشخصية المطبقة في إندونيسيا حتى نقول إن تمك القيم
نشاطاتيم التعممية والتعميمية الفعالة.
الذي يقول إن ( 2016ديفيس ) ه. ديريك السابق منيم الرأيوافق بعض العمماء األخالق من أجل ، ألنيا تعممالةخمق بيئة تعميمية جيدة وفع عمىساعد ت التربية الشخصية
ف التعميم يقود المتعممين أساسا ( إن ىد1991شخص أخالقي. يقول توماس ليكونا ) كوينتكممة نفس يستجيد" لال" و "اء"الذك كممة. و اجيد اوأن يكون لدييم سموك أذكياءإلى أن يكونوا
.ةمنفصم دراسةكممتين مختمفتين التي تتطمب ياولكن
( 2003مايكل ديفيس ) بعض العمماء من أمثاليم آراءعمى ىذه الدراسة وترفضن التربية الشخصية أ( 1الذي يقول إنو يرفض عمى التربية الشخصية بثالث حجج، فيي:
عمى حق أو خطأ الشخصية المعينة تثبتعمى أن من ناحيتو التجريبية لم تعطي دليال ما و وما يراد بالخير الخيرصراع بين ( وأن التربية الشخصية في مفيوميا أوجدت ال2 ،تماما
( وأن التربية الشخصية في ناحيتو 3 ،بشكل جيدالتربية الشخصية لتعميم المتبعة عمميةىي الالشجاعة إن فشل في القيام بالشيء الصحيح لألسباب الصحيحة مثل: األخالقية تعرضت لم
لويميام كيمباتريك بحسب ما يقولو. غير صحيحقتل مجيدة. ولكن الشجاعة ل شخصية. في حين أن العوامل البيئية ىي مثبطات بالخيريطبع إنسان في طبيعتون كل إ (1992)
في تحسين الخير نفسو. في الواقع يأتي الخير من الضمير البشري ليس من عالم العقالنية تركز في تجب أن المدرسةمارفين دبميو بيركويتز وميميندا سي بير، إن وقالالبشرية.
ألجيالا وبذلك التحصيل يواصلالقضايا األخالقية. التحصيل األكاديمي وليس في معالجة .التعميم العاليفي وأالعمل مجالسواء في ما يريدون بو بسيولة
xiv
ىاشم أدب العالم والمتعمم لكياىي الحاجكتاب ليذه الدراسة ىوالمصدر األول و الشرقية عام ا جاو األشعري الصادرة عن مكتبة التراث اإلسالمي بمعيد تيبو إيرينج اإلسالمي ب
رجع الباحث إلى ف، الثانوي المصدر . أماصفحة 101م ما يصل الى 1994/ ه 1415كتب والمجالت والدوريات والمراجع األخرى المراجع المتعمقة بالتربية األخالقية في شكل ال
كياىي دور و"، ليكونا توماسمن بينيا " التربية لتكوين الشخصية لذات الصمة ليذه الدراسة، و" ىاشم ، "رجال الدين الحاج مدكتورلاإلسالمية في إندونيسيا الحاج ىاشم األشعري لمنيضة
ية،مكتبالث و البحمن ىذا البحث يعد .كثير ، وغيرىاالحقيقي" لشمس اليدى المعمماألشعري: بطريقة وصف كتاب أدب المعمم تحميل البيانات باستخدام المنيج الوصفي التحميمي،وتم
دراسة الإجراء ثم في التربية الشخصية. التاريخ االجتماعي لمتعمم وتحميمو حسب منيجوا .إندونيسيالمتربية الشخصية في وأىميتيا بالنسبة لمتربية الشخصيةمعمقة حول القيم ال
xi
ABSTRACT
The results of this study concluded that the strengthening of the
feeling is more effective than the strengthening of the ratio in self-
development. It can be done with that the values of character education
contained inA<da>b al-‘A<lim wa al-Muta‘allim written by K.H. Hasyim
Asyari are taqwa, loving science, zuhd, discipline, al-qawa>miyah,
patience, wara’, tawa>d}‘u, hard work / sincerity, loving cleanliness,
democracy, affection, communication/ frienkedship, righteousness,
social care, and gratitude. These 17 values are in accordance with
character education in Indonesia. So that it can be interpreted that the
values are proven to form a good disciple (santri) and support effective
teaching and learning activities.
The above opinion supports Derek H. Davis’s theory (2016) that
character education can help to create a good and effective learning
environment. because character education teaches morality, in order to
form a moral person. Thomas Lickona (1991) argues that the goal of
education basically leads learners to be smart and have good behavior.
The words "smart" and "good" are not the same words but two different
words that require separate teaching.
This research is not in line with Michael Davis’ opinion (2003) that
rejects character education for three reasons. Firstly, empirically
character education does not have evidence that certain characters can
be claimed completely right or absolutely wrong. Secondly, in concept,
character education contains a conflict between good characters, like
what is good and how the process to teach character education well.
Thirdly, morally that character education has failed in doing the right
thing for the right reasons. For example: bravery is a good character.
But bravery to kill is a mistake. According to William Kilpatrick (1992)
every man basically is good. While environmental factors are obstacles
in improving the goodness itself. Indeed goodness comes from the
human conscience not from the realm of human rationality. According
to Marvin W. Berkowitz and Melinda C. Bier, thatthe focus of school
should be on academic achievement not to eradicate moral issues. By
the achievements of previous generations, it will be easy to continue
what they want both in work fileds and higher education level.
The primary source of this study is A<da>b al-‘A<lim wa al-Muta‘allim written by K.H. Hasyim Asyari and published by Maktabat
al-Tura>th al-Isla>mi> Pesantren Tebuireng Jombang, East Java, in 1415 H
/ 1994 M, as many as 101 pages. While secondary data are references
related to character education in the form of books, magazines, journals
xii
and other references relevant to this research. Such references are:
Educate To Shape Character by Thomas Lickona, Peranan K.H. Hasyim Asyari dalam Kebangkitan Islam di Indonesia by Dr. H. Ridjaluddin.
FN, M.Ag, Guru Sejati Hasyim Asyari by Masyamsul Huda, and others.
This research is library research. The data obtained were analyzed by
descriptive-analysis approach that is by describing the book A<da>b al-‘A<lim wa al-Muta‘allim withsocial history analysis in character
education, then analyzed by conducting in-depth study about character
education values and their relevance to character education in
Indonesia.
xv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian
ini adalah ALA-LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Alone Romanitazion Alone Romanitazion
}D ض A ا
}T ط B ب
}Z ظ T ت
(ayn)‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
W و S س
H ه Sh ش
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin
Fath{ah A ـــ
Kasroh I ـــ
Dammah U ـــ
xvi
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf
Fath{ah dan ya Ay ـــ
Fathah dan wau Au ـــو
Contoh :
raud{ah : روضة Abu> Jubayr : ابوجبر
3. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan Huruf
اــ Fath{ah dan alif a>
ــ Kasrah dan ya i>
وــ Dammah dan wau u>
C. Ta’ Marbutah
Transiterasi ta marbutah (ة) di akhir kata, bila dimatikan ditulis h.
Contoh :
Madrasah : مدرسة Muna>warah : مناورة
(ketentuan di atas tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang
sudah diserap kedalam Bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan
sebagainya, kecuali dikehendaki lafadz aslinya).
D. Shiddah
Shiddah/Tashdid ditranselasi ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
برت : Rattaba اوحىامكل : Kullama auha>
xvii
E. Kata Sandang Alif + Lam
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah atau shamsiyah tetap
ditulis ‚al‛.
Contoh :
الفاتحة : al-Fa>tih}ah الصبر : al-S{abr
F. Daftar Singkatan
H : Hijriyah
M : Masehi
Q.S : Quran Su>rat
SWT : Subhanahu wata ‘a>la
SAW : S{alallah ‘alaihi wasallam
Terj : Terjemahan
t.t : Tanpa tahun
RPP : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
KBM : Kegiatan Belajar Mengajar
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembahasan mengenai karakter
1 adalah sesuatu yang tidak
asing dalam sebuah karya tulis, terutama karya tulis dalam dunia
pendidikan. Banyak para ahli pendidikan meneliti mengenai
karakter, baik bersifat kepustakaan maupun lapangan dalam
sumbangsihnya terhadap dunia pendidikan dan umumnya
pembangunan bangsa yang bermartabat. Sebab karakter dianggap
hal yang paling utama dibandingkan dengan kecerdasan intelektual.2
Bahkan tujuan dan fungsi pendidikan yang terdapat dalam Undang-
Undang No 20 Tahun 2003 bertujuan membentuk karakter.3 Begitu
pula tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk akhla>k al-kari>mah
sebagaimana misi Rasulullah SAW diutus ke muka bumi untuk
menyempurnakan akhlak4. Sehingga agama dan negara memiliki
1 Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan. Lihat Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), 623. 2 Hasil temuan dari ahli bahasa hermaya bernama Coleman yang
mengatakan bahwa EQ (Emotional Quotient) menyumbang 80% terhadap
keberhasilan seseorang dalam kehidupan, dibandingkan dengan IQ (Intelligence
Quotient) yang hanya berperan 20%. Di kutip dari buku Zubaedi, Desain
Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan
(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), 31. 3fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lihat Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang pendidikan nasional
BAB II Dasar, Fungsi Dan Tujuan. 4 Bu’ithtu li-utamima maka>rima al-akhlak (HR. Ahmad, Hakim, dan
Baihaki) lihat Imam Al-Ghazali, Ihya>’ ‘Ulu>m al-Din, Jilid II (Al-Qa>hirah: Da>r
al-H{adi>th, 2004), 252. Abuddin Nata mendefinsikan akhlak sebagai perbuatan
dari sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang dilakukan tanpa pemikiran dan
paksaan dari luar yang dikerjakan secara ikhlas. Lihat Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 4-5.
Sedangkan akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai budi
pekerti atau prilaku seseorang. Lihat Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 27.
2
satu misi dan tujuan yang yang sama yaitu membentuk pribadi yang
bermartabat.
Dalam dunia Barat pada dasarnya pendidikan karakter telah
dimulai sejak 2500 tahun yang lalu walaupun belum ada konsep
yang jelas. Sebagaimana yang telah digaungkan oleh Socrates
bahwa tujuan pendidikan adalah menjadi cerdas dan baik. Artinya
kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan karakter yang mulia.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Clara Willoughby Davidson
(1939) bahwa keberhasilan dari suatu pendidikan adalah
terbentuknya karakter yang menjadi kekuatan dalam tindakan.5
Adanya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan dimaksudkan
untuk mencover generasi dari dekadensi moral.6
Pendidikan karakter sejatinya terdapat perdebatan di kalangan
ahli pendidikan akan eksistensinya dalam dunia pendidikan.
Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan karakter
sejak dahulu.
Menurut Derek H. Davis (2016) bahwa jika sekolah tanpa
pendidikan karakter yang dapat membantu menciptkan lingkungan
belajar yang baik, pendidikan itu sendiri mungkin tidak efektif.
Sebab pendidikan karakter mengajarkan moralitas. Orang yang
bermoral pasti ditandai dengan kejujuran, pengendalian diri,
keramahan, kesopanan, tidak mementingkan diri sendiri, keadilan,
rasa hormat, tanggung jawab, kasih sayang, kesetiaan, empati dan
semangat koperasi. Singkatnya, siswa yang bermoral pasti menjadi
orang baik.7 Hal ini diperkuat oleh John S. Cornett bahwa karakter
membuat kekuatan, dan sifat-sifat karakter bertujuan untuk
membawa seluruh materi dari daerah opini belaka dan sikap
tradisional lebih kedalam fakta dan kebenaran.8
5 Clara Willoughby Davidson. “A Course of Study in Character
Education”. Journal of Bible and Religion. Vol. 7 (1939, 127-131. 6 Perkembangan pendidikan karakter telah dimulai sejak berdirinya
sekolah-sekolah umum dengan tujuan untuk mengikis pelanggaran-pelanggaran
hukum, dan kejahatan. Sehingga pemerintah memaksa sekolah untuk membantu
siswa mencapai karakter yang mulia. Lihat Daniel P. Eginton. “Principles of
Character Education”. Junior-Senior High School Clearing House. Vol. 8
(1934). 298-305. 7 Derek H. Davis, “Character Education in America‟s Public Schools.”
Journal of Church and State (2016): 11-12. Diakses dari
http://jcs.oxfordjournals.org/ at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta University on
March 16, 2016. 8 John S. Cornett. “Character Education”. The Journal of Religion. Vol.
11 (1931). 378-399.
3
Sedangkan menurut Thomas Lickona bahwa pada dasarnya
tujuan pendidikan adalah membimbing peserta didik untuk menjadi
cerdas dan memiliki prilaku baik. Kata “cerdas” dan “baik”
bukanlah satu kata yang sama tetapi dua kata yang berbeda yang
membutuhkan pengajaran terpisah.9
Pendidikan karakter menurut Fuad Hasan bermuara pada
pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial. Sedangkan
menurut Mardiatmadja bahwa pendidikan karakter adalah ruh
pendidikan dalam menjadikan manusia seutuhnya. Begitu pula
dengan Marthin Luther King menyetujui bahwa kecerdasan plus
karakter adalah tujuan yang benar dari pendidikan.10
Teori di atas dipertegas oleh Noeng Muhajir yang menyatakan
bahwa masyarakat akan tetap bertahan hidup disebabkan adanya
komitmen pada nilai-nilai moral. Bila dalam kehidupan masyarakat
tidak ada kepedulian, tanggungjawab, ingkar janji, tidak saling
menghormati, maka akan dapat digambarkan betapa hancurnya
kehidupan masyarakat itu.11
Tetapi pendapat di atas dikritik oleh beberepa ahli yang
menentang pendidikan karakter, seperti; William Kilpatrick yang
menyatakan bahwa setiap manusia sejatinya adalah baik. Sedangkan
faktor lingkungan adalah penghambat dalam meningkatkan
kebaikan itu sendiri. Pada dasarnya kebaikan itu berasal dari hati
nurani manusia bukan dari wilayah rasionalitas manusia.12
Pandangan Kilpatrick senada dengan paham relativisme dan
personalisme yang berpandangan bahwa setiap indivudu bebas
untuk memilih nilai-nilainya sendiri dan tidak bisa dipaksakan oleh
siapapun karena semua nilai adalah relatif. Hal inilah yang
menenggelamkan pendidikan moral dari permukaan dunia
pendidikan.13
Penolakan di atas dipertegas oleh Marvin W. Berkowitz dan
Melinda C. Bier (2004) yang menyatakan bahwa sekolah seharusnya
fokus pada prestasi akademik bukan untuk mengentaskan masalah
9 Thomas Lickona, Educating for Character Mendidik Untuk Membentuk
Karakter. Terjemah. Juma Abdu Wamaungo (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 7. 10
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 30. 11
Noeng Muhajir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori
Pendidikan (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1993), 12. 12
William Kilpatrick, Why Jhony Can’t Tell Right From Wrong, And
What We Can Do About It (New York: A touch Stone Book, 1992), 43. 13
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam, 3.
4
moral. Dengan adanya prestasi para generasi akan mudah
melanjutkan apa yang mereka inginkan baik dalam dunia pekerjaan
maupun jenjang pendidikan yang lebih tinggi.14
Akan tetapi pandangan Berkowitz dan Bier dibantah oleh ilmu
sosiologi seperti W. Dodson bahwa sekolah di posisikan sebagai
media sosialisasi kedua setelah keluarga yang mempunyai peran
yang besar dalam mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma sosial dalam pembentukan kepribadian. Dodson
menambahkan bahwa sekolah adalah tempat pertemuan secara
totalitas dalam pembentukan tingkah laku. Di dalam proses interaksi
yang melibatkan guru, peserta didik dan remaja terjadilah proses
sosialisasi. Sosialisasi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan
agar pihak yang dididik mematuhi kaedah-kaedah dan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat.15
Penolakan di atas senada dengan pendapat Jean Jacques
Rousseau yang ditulis ulang oleh V.R. Taneja dalam bukunya
(2007) yang mengatakan bahwa pendidikan terbaik adalah ketika
anak-anak berkembang dan tumbuh dengan bebas menurut gerak
hati nuraninya. Taneja meyakini bahwa anak yang tumbuh secara
alamiah adalah baik, karena fungsi pendidikan adalah untuk
mempertahankan kebaikan dan kemurnian anak tanpa noda dari
dunia lain. Sebab makhluk di dunia ini sudah tertata dengan rapih
seperti gunung dan aliran sungai, terbit dan terbenamnya matahari
akan terlihat indah jika tetap alami.16
Berdasarkan teori-teori di atas baik pro maupun kontra yang
diungkapkan oleh para ahli di atas mengenai pendidikan karakter.
Penulis lebih cenderung pada pandangan yang mendukung
pendidikan karakter tetap eksisis dalam dunia pendidikan di abad
moderen saat ini. Dengan karakterlah manusia dapat beradaptasi dan
bisa berperadaban dengan baik. Karena peradaban tidak hanya
dibentuk oleh kecerdasan intelektual semata melainkan dengan
nilai-nilai yang bermartabat.
Dengan demikian Penulis berpandangan bahwa Kesuksesan
suatu bangsa bukan dilihat dari banyaknya hasil sumber daya alam
14
Marvin W. Berkowitz and Melinda C. Bier. “Based Character
Education” The Annals of the American Academy of Political and Social
Science. Vol. 591 (2004): 72-85 15
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam, 5. 16
V.R. Taneja, Educational Thought and Practice (New Delhi: Sterling
Publishers privated Limited, 2008), 106.
5
yang melimpah dan kemajuan teknologi yang begitu canggih. Akan
tetapi keberhasilan itu ditentukan oleh tingginya moral suatu bangsa
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Jika dalam suatu
bangsa telah kehilangan moral, walaupun kehidupan serba
berkecukupan dan kemudahan, lambat laun bangsa itu akan hancur
dengan sendirinya, disadari ataukah tidak disadari.
Menurut Garbarino dan Brofenbrenner sebagaimana dikutip
Zubaedi, Bahwa jika suatu bangsa ingin bertahan hidup maka
bangsa itu harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan
mengerti akan aturan-aturan hidup. Jika tidak, hidup ini akan
semerawut, karena setiap orang boleh berlaku sesuai keinginannya
masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain. Akibatnya
antara sesama saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling
membunuh, sehingga hancurlah bangsa itu.17
Menurut Mohd Johari Baharom bahwa faktor yang paling
utama untuk menjadi sebuah negara maju ialah kesungguhan dan
karakter masyarakat negari tersebut. Modal Insan berkualitas tidak
saja memiliki kesungguhan ilmu dan skill yang sifatnya semasa dan
canggih tetapi ia tidak menolak kepentingan nilai, etika sebagai asas
pedoman. Tanpa nilai dan etika masyarakat nantinya akan
kehilangan pedoman dan petunjuk tentang sesuatu yang baik atau
buruk, bermanfaat atau mudhorot, halal atau haram, supaya
kehidupan dewasanya nanti akan menjadi lebih sejahtera dan baik.
Kemakmuran dan kesejahteraan negara banyak bergantung kepada
masyarakatnya, maka, jika setiap orang di negari tersebut
mempunyai kualitas seperti beriman, bertakwa dan berakhlak mulia,
tentu ia akan memudahkan proses untuk mencapai kejayaan dalam
segala bidang kehidupan.18
Jika kita flash back pada kisah-kisah yang terdapat dalam Al-
Quran, penyebab kehancuran suatu negeri itu disebabkan oleh
dekadensi moral yang terjadi pada penduduk tersebut.19
Salah satu
17
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya
dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), 7. 18
Baharom Mohamad, artikel seminar Pembangunan Modal Insan tahun
2009 di Bharu Kelantan. Di akses dari
http://irep.iium.edu.my/11673/1/Proceding-Pelburan Negara dlm Pmbangunan
Modal Insan. Pdf. 19
Dalam Al-quran surat Ar-ruum: 41 Allah menjelaskan “ telah tampak
kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia
sehingga akibatnya Allah menciptakan kepada mereka sebagian dari perbuatan
mereka agar mereka kembali”. Kehancuran dan kerusakan yang terjadi dimuka
bumi disebabkan oleh tangan manusa. Tangan ditafsirkan sebagai dosa dan
6
contoh yang terdapat dalam Al-Quran, Seperti pada kisah kaum „a>d
yang terkenal dengan kaum yang kuat secara ekonomis, politik dan
fisik, sehingga kaum ‘a>d menjadi bangsa terbesar dari bangsa-
bangsa yang lain. Tetapi mereka dilanda krisis moral, dimana yang
kuat menindas yang lemah, yang besar memperkosa yang kecil dan
yang berkuasa memeras yang di bawahnya. Sebagai akibat dari
kelakuan mereka timbul kemungkaran, kerusuhan dan tindakan
sewenang-wenang di dalam masyarakat. Dengan demikian
terjadilah kerusakan, kekeringan dan kelaparan yang akhirnya
menimbulkan kebinasaan.20
Beranjak dari kisah di atas menunjukkan bahwa karakter suatu
bangsa sangat diperlukan dalam kehidupan untuk menjaga
kelestarian dan kelangsungan eksistensi bangsa tersebut. Karakter
adalah mustika hidup yang dapat membedakan manusia dengan
binatang. Manusia tanpa karakter bagaikan manusia yang
membinatang. Demikian pula karakter merupakan hal yang sangat
esensial dalam dunia pendidikan, hilangnya karakter akan
menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter berperan
sebagai “kemudi” dan kekuatan sehingga bangsa itu tidak
terombang-ambing. Karakter bangsa merupakan kumulasi dari
karakter-karakter warga masyarakat suatu bangsa, jika baik
basyarakat itu maka baik pula bangsa itu.21
Pendidikan karakter dalam konteks saat ini sangat urgen untuk
membentengi generasi-generasi kita sebagai aset bangsa dan
mengatasi krisis moral yang sedang terjadi pada negara kita.
Disadari atau tidak disadari bangsa kita saat ini terjadi krisis yang
nyata dan menghawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan
milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak. Hampir setiap
pelanggaran yang diperbuat manusia yang mengakibatkan gangguan
keseimbangan didarat dan dilaut. Dosa dan pelanggaran tersebut berupa krisis
moral, ketiadaan kasih sayang dan kekejaman. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah (Jakarta: lentera Hati, 2002), 236-239. Misalnya tawuran antar
pelajar yang mengakibatkan kerusakan, pencemaran nama baik, kebencian, dan
banyaknya jatuh korban bahkan sampai meninggal dunia seperti yang terjadi
pada seorang pelajar dari SMK PGRI Kabupaten Bekasi Jawa Barat, dengan
luka akibat sabetan senjata tajam. Korban dinyatakan meninggal dunia di rumah
sakit pada saat kejadian. Di akses pada senin 8 juni 2015 di situs
http://sp.beritasatu.com/home/tawuran-antarpelajar-satu-tewas-dibacok/89070. 20
Kementerian Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya Jilid 10 (Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2012), 655. 21
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya
dalam Lembaga Pendidikan, 11.
7
waktu diseluruh stasiun televisi dan media cetak memberitakan
tindakan kriminal, pergaulan seks bebas,22
penyalahgunaan
narkotika,23
pornografi, perusakan tempat, tawuran, korupsi24
dan
tindakan kejahatan lainnya. Kemerosotan moral yang terjadi
merupakan ekspresi dari keinginan dan desakan yang tidak puas.25
Permasalahan sosial yang hingga saat ini belum dapat terselesaikan
yang semakin hari semakin meningkat.
Melihat permasalahan sosial dan merosostnya moral
masyarakat yang terjadi di Era Moderen, maka pantas bangsa ini
mengalami kemunduran disegala bidang dimata dunia. Dalam
menjawab solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini, kita semua
bertanggang jawab khususnya pemerintah dalam memperbaiki
moral dengan membina bangsa ini menanamkan nilai-nilai positif
agar bangsa Indonesia memiliki karakter yang positif dan mampu
bersaing dengan negara lain di era modernisasi.
Dengan terbentuknya moral atau akhlak, bangsa ini akan
memiliki masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera, maka yang
menjadi peran utama dalam pembentukan karakter adalah orang tua
dan para pendidik dalam melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai
moral kepada anak-anak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Danil P.
Eginton (1934) bahwa rumah adalah tempat dilahirkan dan
dibesarkan seorang anak dalam membentuk suatu kepribadian dan
Sekolah memiliki tanggung jawab nyata untuk melanjutkan atau
memperbaiki kepribadian menjadi lebih baik.26
Nilai-nilai moral
yang ditanamkan akan membentuk karakter atau akhlak mulia yang
22
Menurut dr. Julianto Witjaksono AS, MGO, Sp.OG Deputi Bidang
Keluarga Berencana dan Kesehatan pada tahun 2012-2014 menunjukkan 46-58
persen kejahatan seksual dilakukan oleh kalangan remaja SMP dan SMA,
Penelitian ini dilakukan di 17 kota besar di Tanah Air. Di akses pada 5 februari
2016 http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita. 23
Menurut Budi Waseso (Komisaris Jenderal Polisi) bahwa pengguna
narkoba tahun 2015 mengalami peningkatan yang sangat signifikan hingga 5,9
juta jiwa. Diakses dari www.bnn.go.id/read/artikel/15156/sinergitas-bnn-tni-
dan-polri-dalam-mengatasi-permasalahan-narkotika. 24
Data yang dirilis dari Transparency International tentang Corruption
Perceptions Index tahun 2015 bahwa Indonesia berada di peringkat ke-19 yaitu
nomor 88 dari 168 negara di dunia yang terkorup. Di akses dari www.ti.or.id/
corruption-perceptions-index-2015. 25
Vernon Jones, “Character Education”. American Educational Research
Association, vol. 8 (1938). 11-14. 26
Daniel P. Eginton. “Principles of Character Education”. Junior-Senior
High School Clearing House. Vol. 8 (1934). 299.
8
merupakan pondasi penting bagi terbentukanya sebuah tatanan
masyarakat yang beradab dan sejahtera. Untuk membentuk karakter
tidaklah mudah bagi seseorang tetapi kita bisa mencontoh dari para
tokoh yang telah berjasa dalam pembentukan karakter bangsa ini.
Berdasarkan fenomena pendidikan karakter di atas, banyak
para tokoh muslim yang membahas mengenai pendidikan karakter,
diantaranya Burhanuddin al-Zarnuji dengan karyanya berjudul
Ta’lim Al-Muta’allim. Kemudian dari tokoh nasional yaitu Ki
Hadjar Dewantara yang menulis tentang Bagian Pertama
Pendidikan. Adalagi Umar Ahmad Baraja karyanya yang berjudul
akhla>k. selanjutnya adalah Ibnu Jama’ah yang menulis kitab
berjudul al-Bani>n Tsdhkirah al-Sa>mi’ Wa al-Mutakallim. Dan
terakhir adalah ulama sekaligus tokoh nasional yang telah
memberikan sumbangsih terhadap pendidikan karakter bangsa yang
karyanya masih tetap eksis dikaji yaitu KH>. Hasyim As’ari yang
menulis buku khusu untuk dunia pendidikan khususnya untuk
pendidikan karakter yaitu kitab dengan judul A<da<b al-‘A<lim Wa al-Muta’allim.
Dari karya-karya di atas, Penulis justru tertarik dengan karya
ulama Nusantara yang disebutkan terakhir, yaitu K.H. Hasyim
Asy„ari. Penulis berpendapat bahwa karya dan cara K.H. Hasyim
Asy„ari dalam pembentukan karakter sangat menarik untuk diteliti
karena beberapa alasan: pertama, dari sisi ketokohan pengarangnya,
beliau merupakan ulama yang begitu dikenal luas di kalangan
Nusantara hingga ke mancanegara. Kedua, kitab A>da>b al-‘a>lim wa al-muta’a>lim tidak hanya dikaji dikalangan psantren tapi juga di luar
pesantren, contoh di masjid Jendral Sudirman Yogyakarta
pendidikan yang diniatkan untuk mencari Rid{a Alla<h dalam rangka
mengantarkn manusia memperoleh kebahagian hidup di dunia dan
akhirat.27
Ketiga, karya-karya yang orisinil yang ditulis oleh KH.
Hasyim Ayari khususnya kitab A>da>b al-‘a>lim wa al-muta’a>lim
masih tetap eksis dikaji dikalangan pesantren salaf dalam menjaga
kajian kitab tu>rath atau kitab kuning. Kitab A>da>b al-‘a>lim wa al-muta’a>lim telah tersebar ke seluruh Nusantara karena isi dalam
kitab tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan pendidikan
27
انما ى في حق انعهماء انعامهين بعهميم اىهو ع ماذكس من فضم انعهميجم"
االبساز انمتقين انرين قصدا بو جو هللا انزنفى نديو بجنات اننعيم, ال من قصد بو
"اغساضا دنييو من جاه ا مال ا مكاثسة في االتباع انتالمير lihat KH. Hasyim
Asyari, A<da>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim (Jombang: Maktabah al-Tura>th al-
Isla>mi, 1415 H / 1994 M), 22.
9
dan pembentukan karakter. Keempat, nilai-nilai pendidikan karakter
dalam kitab A>da>b al-‘a>lim wa al-muta’a>lim banyak menghasilakan
para tokoh populer dimasa itu yang sangat berpengaruh terhadap
bangsa ini, seperti KH. Ahmad Wahid Hasyim putra dari KH.
Hasyim Asy‟ari sendiri pernah menjabat Menteri Agama selama
tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman) dan juga salah seorang
yang ikut dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945, kemudian
dilanjutkan dengan putranya KH. Abdurrahman Wahid yang pernah
memimpin bangsa Indonesia dari tahun 1999 sampai 2001, Kiai
Maksum, Kiai Alwi, Kiai Baidhowi dan Kiai Ilyas semuanya pernah
berjasa dalam kemerdekaan dan perkembangan bangsa Indonesia.28
Bahkan hampir semua pesantren yang berada di Jawa, Madura dan
beberapa provinsi di luar Jawa merupakan alumni Pesantren
Tebuireng yang pernah mengkaji kitab A>da>b al-‘a>lim wa al-muta’a>lim dengan KH. Hasyim Asy‟ari.
29
Isi kitab tersebut sangat sederhana tetapi dalam akan
kandungannya dan besar manfaatnya dalam kehidupan. Kitab
tersebut terdiri dari 3 bab. Bab pertama tentang keutamaan ilmu,
guru, belajar, dan mengajar. Bab kedua tentang adab-adab pengajar
atau guru. Dan bab ketiga tentang adab-adab seorang pelajaru
muridat. Dalam perspektif KH. Hasyim Asyari bahwa signifikansi
pendidikan adalah upaya membina manusia secara utuh, sehingga
manusia dapat bertakwa kepada Allah SWT, dapat beramal soleh,
bermanfaat, dan pantas menyandang makhluk yang paling mulia
dan lebih tinggi derajatnya dari segala jenis makhluk Allah yang
lain. Di era moderen saat ini, bangsa ini telah kehilangan moralitas
dalam kehidupan. Pembunuhan semakin merajalela, pemerkosaan,
korupsi, dan bentuk kejahatan lainnya semua itu disebabkan karena
tidak adanya nilai-nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan jiwa
bangsa indonesia. KH. Hasyim Asy‟ari muncul dengan mendidik
bangsa ini dengan karakter budaya bangsa, tanpa menghilangkan
budaya setempat, sebab Indonesia adalah negara yang serat dengan
28
Ridjaluddin, Peranan KH. Hasyim Asyari dalam Kebangkitan Islam di
Indonesia (Jakarta: Pusat Kajian Islam Fakultas Agama Islam Uhamka, 2008),
142. 29
Pondok pesantren yang berada dibawah bimbingan murid-murid KH.
Hasyim Asyari diantaranya; Pesantren Lasem Dirembang Jawa Tengah,
Pesantren Daarul Ulum Peterongan, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren
Asembagus Situbondo Jawa Timur. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Study Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1994), 95-96.
10
budaya dan moralitas sekaligus terkenal juga dengan keramahan dan
kesopanan.
Diketahui bahwa cerminan dari orang berilmu adalah akhlak
yang mulia sehingga manusia dikatakan berilmu apabila ia
berakhlak. Manusia berakhlak tentu akan melakukan aktifitas
dengan penuh perhitungan yang matang apa manfaat dan mud}arat dari apa yang dilakukannya baik baginya maupun untuk
sekelilingnya. Hal inilah yang sangat ditekankan oleh KH. Hasyim
Asy‟ari dalam dunia pedidikan, dengan mengutamakan Akhla>k al-kari>mah dengan membentuk karakter muslim sejati.
Dunia pendidikan sudah menjadi bagian paling penting dalam
hidupnya, konsep beliau yang telah ditanamkan dalam kitab A>da>b al-‘a>lim wa al-muta’a>lim menghasilkan para tokoh dengan tinggi
budi pekerti. walaupun tidak tertulis langsung konsep pendidikan
karakter yang digunakan oleh KH. Hasyim Asy‟ari. Namun konsep
itu dapat diketahui melalui nilai-nilai pendidikan karakter yang
terdapat dalam kitab A>da>b al-‘a>lim wa al-muta’a>lim.
Untuk itu, penulis merasa terpanggil untuk menelusuri nilai-
nilai yang terkandung dalam kitab A>da>b al-‘a>lim wa al-muta’a>lim
yang digunakan oleh K.H. Hasyim Asy„ari dan melihat relevansinya
dengan pendidikan karakter di Indonesia. Dengan argumen tersebut,
maka penelitian ini layak untuk diteliti.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Bayi yang terlahir di muka bumi bagaikan kertas putih yang
masih bersih,30
sebab lingkunganlah yang dapat mewarnai kertas
tersebut. Apakah kertas itu akan terlukis dengan gambar binatang
buas ataukah lingkungan yang ramah, nyaman dan sejuk dipandang.
Semua itu tergantung dengan lingkungan terdekatnya baik orang
tua, sekolah maupun teman. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Abu> a’la kutipan dari buku Abdul Madjid bahwa akan tumbuh dan
berkembang seorang anak sebagaimana perlakuan dan pembiasaan
orang tuanya terhadapnya. Anak tidak mungkin menjadi hina dan
tercela dengan tiba-tiba, tapi orang dekatnyalah yang akan
menjadikannya hina dan tercela.31
30
Muhammad Bin Ismā’il Abu> ‘Abdillāh Al-Ja’fi al-Bukhāri>, al-Jāmi’ al-Ṣaḥîḥ al Mukhtaṣar (Beirūt: Dār Ibnū Kathīr, 1407 H), 465.
31 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 7.
11
Ungkapan Abu> a’la senada dengan F. Ernest Jhonson (1940)
bahwa perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi oleh
interaksi dengan lingkungan sosial. Pengaruh tersebut akan
membentuk karakter pada seseorang dalam kehidupannya. Baik
pengaruh dari pemerintahan, kepercayaan, pendidikan maupun
teman dekat.32
Pengaruh lingkungan dalam perubahan masih dapat dirasakan
hingga masa remaja. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa masa remaja
pertama antara umur 13 tahun sampai 16 tahun. Sedangkan masa
remaja terakhir yaitu antara umur 17 tahun sampai 21 tahun.33
Masa
remaja ditandai dengan perubahan fisik pubertas, perubahan
emosional yang komplek dan dramatis tetapi yang lebih penting
adalah penyesuaian sosial untuk menjadi dewasa. Perubahan
tersebut membuat remaja belum memiliki kematangan mental sebab
masih mencari jati diri sehingga sangat rentan terpengaruh oleh
keadaan sekitar.
Keadaan saat ini baik di masyarakat, media, maupun pendidikan
lebih banyak terekspos kegiatan-kegiatan negatif dan menyimpang
dari ajaran agama, seperti; seks pranikah, pelecehan seksual,
tawuran antar pelajar atau warga, narkoba yang berujung pada
kematian dan tindakan kriminal lainnya. Perbuatan tersebut lebih
banyak dilakukan oleh kalangan remaja.34
Padahal remaja adalah
aset bangsa yang paling mahal untuk melakukan perubahan dimasa
yang akan datang.
Adanya Pendidikan karakter adalah berupaya untuk
membimbing sikap manusia Menuju perubahan yang lebih baik,
maka dalam pandangan KH. Hasyim Asy‟ari untuk melakukan
perubahan dalam pendidikan ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan, yaitu: mengetahui keutamaan-keutamaan ilmu, ulama,
belajar dan mengajar, sikap mental para pendidik dan peserta didik.
32
F. Ernest Johnson. “Character Education”. The American Journal of
Nursing,
Vol. 40 (Jul., 1940), 761-766. 33
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 2003),
132-135. 34
Hal ini terbukti dari tingginya jumlah kasus AIDS di indonesia akhir
tahun 2014. Usia 15-19 sebanyak 1.717 orang, usia 20-29 sebanyak 18.352
orang, usia 30-39 sebanyak 15.890 orang, dan usia 40-49 sebanyak 5.974 orang.
Artikel diakses diambil dari sumber Ditjen PP & PL Kemenkes RI oktober 2014
dari situs http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf
12
Oleh karena itu objek dari penelitian adalah terfokus pada kajian
kitab maka peneliti akan mengidentifikasi kitab tersebut sehingga
dapat di contoh oleh orang banyak.
Pemaparan di atas kiranya sudah cukup akan pentingnya
pendidikan karakter sejak usia dini. Agar kelak dewasa menjadi
penerus bangsa yang bermoral. Inilah yang merupakan tugas orang
tua dan pendidik melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai moral
kepada anak. Sebagai orang tua dan pendidik tidak menginginkan
kader bangsa ini kelak menjadi manusia yang tidak bermoral
sebagaimana yang sering kita saksikan dalam kehidupan saat ini,
seperti terjadinya pemerkosaan, perampokkan, korupsi, penculikan
dan lain-lain yang dilakukan tidak hanya oleh orang dewasa, tapi
juga oleh anak-anak usia belasan. Kemudian dalam dunia
pendidikan sekarang selalu berorientasi pada pengembangan
kecerdasan intelektual, berorientasi pada materi dan kurang
memperhatikan pengembangan sikap dan tingkah laku bahkan jenis
pembelajarannya-pun bersifat pasif dan selalu berpusat pada guru.
Hal itu harus ditinggalkan dan beralih ke kelas interaktif. Karena
signifikansi pendidikan menurut KH. Hasyim Asyari adalah upaya
membentuk manusia secara utuh, sehinga manusia dapat bertakwa
kepada Allah SWT, dapat beramal soleh, bermanfaat. Sehingga
layak menyandang makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi
derajatnya dari segala jenis makhluk Allah yang lain.35
Adapun masalah yang diidentifikasi dalam penelitian ini
diantaranya:
1. Masalah faktor moral atau akhlak anak merupakan hal pokok
yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun
sebuah masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera.
2. Belum digali secara maksimal nilai-nilai pendidikan karakter di
dalam kitab tersebut.
3. Belum diketahui secara pasti apakah nilai-nilai pendidikan
karakter dalam kitab tersebut sudah terimplementasikan dalam
pesantren.
4. Di dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim KH. Hasyim
Asyari banyak mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yang
belum banyak digali secara maksimal, maka menjadi pertanyaan
nilai-nilai apakah yang terdapat dilam kitab tersebut yang banyak
dikaji diberbagai pesantren besar di Indonesia?
35
Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asyari Memodernisasi NU &
Pendidikan Islam, 18.
13
5. Banyak korelasi antara kitab A<dab dan pendidikan karakter di
Indonesia, apakah ada kaitannya antara nilai yang terdapat pada
kitab a>da>b dengan pendidikan karakter di Indonesia.
6. Jika melihat sejarah bahwa kitab A<da>b lahir ketika gaung
kemerdekaan digelorakankan, bahkan KH. Hasyim Asyari
pernah meberikan slogan cintah tanah air yang kita kenal dengan
hubbul wat}an min al-i>man.36 Apakah ada kaitannya antara
cintah tanah air dengan pendidikan karakter yang beliau
tuangkan dalam kitab A<da>b Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim. 7. Apakah nilai-nilai dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-
Muta’allim relevan terhadap pendidikan karakter di Indonesia? Untuk menjawab dari sebuah permasalahan moral yang ada
peneliti merasa terpanggil untuk meneliti sebuah kitab berjudul
A<da>b Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim Karya KH. Hasyim Asyari
(1415 H) untuk diteliti terhadap sumbangsinya dalam dunia
pendidikan karakter di Indonesia. Karena penelitian ini ingin
menunjukkan bahwa konsep pendidikan karakter KH. Hasyim
Asyari memiliki relevansi dengan pendidikan karakter di Indonesi.
2. Perumusan Masalah
Dari identifikasi di atas yang dijadikan sebagai salah satu
patokan untuk diambil beberapa poin untuk dirumuskan menjadi
sebuah masalah yang lebih mengkrucut dan tidak melebar
pembahasnnya. Perumusan penelitian ini adalah nilai-nilai
pendidikan karakter apakah yang terdapat dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim dan bagaimanakah relevansinya terhadap
pendidikan karakter di Indonesia?.
Terkait menjawab problematika di atas, maka masalah penelitian
ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan.
1. Nilai-nilai pendidikan karakter apakah yang terdapat dalam
kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim?
2. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan karakter yang
terdapat dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang ada di
Indonesia?
36
Cinta tanah air adalah sebagian dari iman merupakan jargon dari KH.
Hasyim Asyari pendiri NU. Hal tersebut diungkapkan oleh Prof. KH. Said Agil
Siradj pada acara haul nasional pondok pesantren Tambak Beras Jombang. lihat
http://www.nu.or.id/post/read/68797/kiai-said-cinta-tanah-air-penjaga-bangsa-
dari-perpecahan.
14
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, kajian pendidikan
karakter dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim adalah
tentang nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim dan relevansinya terhadap
pendidikan karakter di Indonesia.
Penelitian ini difokuskan pada kajian kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim Karya KH. Hasyim Asyari (1415 H) tentang nilai-
nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim di tinjau dari teori-teori pendidikan karakter
yang dicanangkan KEMENDIKBUD, kajian materi dan metode
yang merupakan unsur terpenting dalam pendidikan karakter yang
menentukan keberhasilan dan pentingnya pendidikan karakter itu
sendiri. Walaupun demikian, penelitian ini tidak lepas dari unsur-
unsur pendidikan lainnya seperti: psikologi perkembangan peserta
didik di abad moderen dan tujuan pendidikan pendidikan karakter.
C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Mohammad Nu‟man, Konsep Etika Al-Mawardi, Desertasi,
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta,
2007. Mohammad Nu‟man menulis, mengenai perilaku individu
sebagai konsep kunci moral adalah kemuliaan akhlak yang
merupakan konsep dasar moralitas Arab sebelum Islam. Hal
tersebut hasil dari analisis terhadap pemikiran al-Mawardi yang
menjelaskan tentang etika atau tatakerama orang-orang arab
sebelum datangnya Islam. Nu‟man menjelaskan bahwa kemulian
yang akan diperoleh apabila orang-orang arab beretika dengan baik
walaupun Islam belum datang ditengah-tengah mereka.
Kemulian yang dimaksud adalah menjaga muru‟ah.
menurutnya Muru‟ah adalah sinonim dengan kebaikan yang
sempurna seperti keadilan. Dua kebaikan atau disposisi akhlak yang
memudahkan memperoleh muru‟ah adalah keluhuran budi dan
kehormatan diri.
Maka ruang lingkup disertasi di atas membahas mengenai
bagaimana pandangan Al-Mawardi mengenai kemuliaan sebagai
konsep dasar untuk mencapai kebahagian bagi orang-orang arab pra
Islam. Dan sekedar memperdalam dua nilai mengenai keluhuran
budi dan kehormatan diri untuk mencapai muruah.
Sedangkan pembahasan penelitian penulis membahas
mengenai nilai-nilan pendidikan karakter yang terdapat dalam kitab
a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim karya KH. Hasyim As’ari dan
menelaah kembali relevansinya terhadap pendidikan karakter di
15
Indonesia khususnya yang di canangkan oleh pemerintah pusat
yang dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari paparan di atas sangat jelas bahwa pembahasan Nu‟man
mengenai konsep Almawardi dan peneliti, sangat berbeda objeknya
tetapi sedikit kesamaan dengan penelitian Nu‟man yaitu sama-sama
membahas mengenai etika, moral, atau karakter.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Mukti Ali
tentang Pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dalam pendidikan pesantren
sebuah Tesis dari Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Jakarta tahun 2005. Mukti Ali menulis bahwa konsep pendidikan
menurut KH. Hasyim Asyari ada empat aspek yang menjadi
perhatian. Keempat aspek tersebut meliputi: aspek nilai-nilai
keagamaan, kelembagaan dan tradisi pendidikan, metode dan sistem
pendidikan serta kurikulum pesantren. Sedangkan titik sentral
pendidikan terletak pada hati manusia, titik sentral inilah pendidik
dan terdidik diharuskan untuk meluruskan niat hanya karena Allah.
Dengan niat yang ikhlas itulah pendidikan akan berlangsung dengan
baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Mukti Ali adalah seputar
konsep pendidikan sebagaiman yang telah disebutkan di atas dan
tidak menyinggung masalah karakter. Hanya persamaannya adalah
meneliti satu objek yang sama yaitu kitab yang dikarang oleh KH.
Hasyim Asyari pada kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim. Kemudian sebuah tesis dari Muhammad Rustar yang
membahas mengenai Pendidikan Karakter Menurut KI Hadjar
Dewantara dari Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Jakarta tahun 2010. Muhammad Rustar Menulis bahwa setiap
manusia pada dasarnya memiliki fitrah baik dan buruk. Sehingga
perlu adanya faktor lingkungan, budaya, pendidikan dan nilai-nilai
yang mesti disosialisasikan kepada anak agar kelak mereka menjadi
manusia yang berkepribadian dan bersusila.37
Metodologi yang digunakan hamper sama dengan peneliti
yaitu study pustaka (library research) kajian terhadap pendidikan
karakter tetapi objek yang diteliti oleh rustar adalah KI Hadjar
Dewantara. Hemat penulis penelitian tersebut seperti tafsiran
Muhammad Rustar terhadap KI Hadjar Dewantara menggunakan
teori pendidikan karakter.
Sedangkan Muhammad Nidzom membahas tentang
Pendidikan Akhlak menurut KH. Hasyim Asyari sebuah tesis dari
37
Muhammad Rustar, Pendidikan Karakter Menurut KI Hadjar Dewantara, tesis (Jakarta: Sekolah Pascaserjana, 2010), 32.
16
Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syeh Nurjati
Cirebon pada tahun 2012. Penelitian ini hamper sama dengan
Muhammad Rustar hanya berbeda objek penelitiannya. Muhammad
Nidzom menulis bahwa karir intelektual KH. Hasyim Asyari
cendrung lebih menekankan unsur hati sebagai titik tolak
pendidikannya yang mendasarkan pada nilai akhlak dan etika.
Nidzom mencoba untuk mencari profil manusia berakhlak
menurut KH. Hasyim Asyari yang terdapat dalam kitab tersebut,
maka didapatlah bahwa profil manusia berakhlak dapat
dikategorikan sebagai insan adabi. Walaupun kajian ini hampir
sama dengan peneliti yaitu sama-sama mengkaji kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim tetapi dengan cara pandang yang berbeda.
Nidzom menggunakan teori akhlak sedangkan penulis
menggunakan teori karakter Dari penelitian itulah penulis mengkaitkan dengan penelitian
ini bahwa pembentukan karakter atau budi pekerti dan watak adalah
pokok pangkal terpenting yang harus dibenahi terlebih dahulu.
Sebagaimana misi utama Rasulullah SAW datang ke muka bumi ini
untuk memperbaiki karakter atau akhlak yang ada pada manusia.
Sedangkan yang membedakan dari penelitian ini dengan
penelitian terdahulu bahwa penelitian ini lebih memfokuskan untuk
mencari nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam kitab
a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim karya KH. Hasyim As‟ari dan
menganalisis relevansinya terhadap pendidikan karakter di
Indonesia yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Budaya sebagai pedoman pendidikan karakter di Indonesia.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian relevansi nilai-nilai pendidikan karakter yang
terdapat dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim terhadap
pendidikan karate di Indonesia bertujuan, antara lain:
1. Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat
dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim.
2. Untuk memberikan kontribusi agar pendidikan karakter yang ada
dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim terkonfigurasi
kedalam pendidikan karakter nasional.
3. Agar dapat mempersiapkan diri baik para pendidik maupun
peserta didik dalam merespon segala dinamika kehidupan
dengan penuh tanggung jawab.
4. Untuk memfasilitasi pengetahuan dan pengembangan nilai-nilai
sehingga terwujud dalam prilaku anak.
17
5. Membantu perkembangan etika dan nilai-nilai yang luhur untuk
generasi moderen.
6. Untuk mencari relevansi yang ada dalam kitab A<dab Al-‘Alim Wa uta’allim dengan pendidikan karakter yang ada di Indonesia.
Sehingga kitab ini mendapat licency agar kitab tersebut dapat
dibumikan diseluruh pendidikan, baik sekolah negeri maupun
swasta, baik formal maupun informal. Dengan penelitian ini diharapkan dunia pendidikan di
Indonesia semakin memiliki pijakan teori yang lebih aplikatif dan
mengoptimalkan kompetensi afektif peserta didik di sekolah dan
masyarakat. Dengan demikian terciptalah masyarakat yang
bermartabat dan terpandang.
E. Manfaat / Signifikansi Penelitian
Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui Manfaat atau
kegunaan penelitian ini adalah sebagai inspirasi bagi penulis sendiri,
para pendidik, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Kegunaan
Penelitian ini yaitu di samping untuk melengkapi penelitian serupa
sebelumnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif
dalam mengembangkan pemikiran pendidikan karakter pada saat
sekarang.
Adapun kegunaan pembahasan pada penelitian ini terbagi menjadi
dua bagian yaitu:
(1) Kegunaan secara teoritis penelitian ini antara lain:
a. untuk mengembangkan khazanah dan wawasan keilmuan
penulis.
b. Untuk memotivasi diri agar hidup menjadi lebih baik
dengan mengutamakan karakter mulia.
c. Membentuk generasi penerus bangsa yang berintegritas
dan juga lebih baik.
d. Membentengi peserta didik agar tidak kehilangan identitas
diri sebagai seorang yang berilmu.
e. Membina mental dan juga moral dari peserta didik
(2) Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi :
a. Orang tua dalam pembentukan karakter yang baik bagi
anak, agar orang tua dan anak dapat mengerti antara
kewajiban dan hak dan keduanya bisa bertanggung jawab
dalam segala keputusan.
b. Lingkungan masyarakat untuk membudayakan karakter
yang mulia. Berharap dengan adanya nilai-nilai karakter
yang mulia segala kebaikan akan didapat. Karena karakter
18
yang membudaya menjadikan seseorang tidak
menggunakan kekerasan dalam penyelesayan masalah dan
lebih mengutamakan akal sehat dalam bertindak.
c. Pendidik ( guru ) dalam pembinaan karakter siswa.
Pendidik dapat menikmati kenyamanan dan ketenangan
dari tingkah laku yang mulia dari para peserta didik.
Sehingga kegiatan belajar dan mengajar berjalan dengan
khidmat.
d. pemerintah dan bangsa dalam mewujudkan generasai dan
aparat pemerintahan yang dapat bertanggung jawab dan
bermoral. Sehingga bangsa ini dapat dipandang sebagai
bangsa yang madani sebagaimana Rasulullah menciptakan
masayarakat madinah masyarakat yang bermartabat dimata
dunia karena akhlak yang mulia bukan materi yang
melimpah. Dengan demikian bangsa ini akan memperoleh
bal datun tayyiba>tun wa rabbun g}afur. Penelitian tentang isi kitab, sebagaimana lazimnya, tidak
dapat diharapkan hasilnya secara konkrit dan aplikatif, seperti pada
penelitian empirik, tetapi hasilnya masih berbentuk konsep-konsep
dan teori-teori. Dengan demikian, temuan-temuan semacam ini di
samping memperkaya khazanah pemikiran di Indonesia, juga pada
tingkat yang lebih praktis, akan dapat dijadikan pedoman
melakukan pembaruan pendidikan sebagai komponen pembangunan
di tanah air. Ide-ide KH. Hasyim Asy‟ari dapat dijadikan model
(alternatif) pemecahan persoalan bagi negara-negara berkembang
yang tersentuh oleh modernisasi. Tentu saja sikap kritis tetap
penting dalam transmisi pemikiran seperti itu.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam sebuah penelitian ada dua jenis cara yang
dilakukan untuk melakukan sebuah penelitian karya ilmiah,
diantaranya; field research dan library research.38
Apabila
ditinjau dari latar belakang penelitian tentang nilai-nilai
pendidikan karakter yang terdapat pada kitab A<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim karya KH. Hasyim Asyari dan relevansinya
terhadap pendidikan karakter di Indonesia, maka jenis
penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah
38
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998), 22.
19
naskah, dokumen, arsip, majalah, internet, jurnal, dan buku-
buku yang berkaitan dengan kajian yang dibahas.39
Definisi
tersebut lebih menitik beratkan pada jenis data yang
dikumpulkan dalam penelitian.40
Maksudnya mencari dan
mempelajari bahan-bahan tertulis yang berkenaan dengan nilai-
nilai pendidikan karakter yang ada dalam kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dan relevansinya dengan pendidikan karakter
di Indonesia, kemudian menganalisa dengan cara melakukan
observasi literatur yaitu dengan tekhnik pengumpulan data.
Sebab penelitian tentang nilai-nilai pendidikan karakter
merupakan kajian yang komplek dan sensitif. Berkaitan dengan
kajian penelitian ini yaitu nilai-nilai pendidikan karakter dan
relevansinya terhadap pendidikan karakter di Indonesia, maka
penulis menggunakan literatur utama buku yang dikarang
langsung oleh KH. Hasyim Asyari yaitu kitab A<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim serta literatur-literatur lain yang relevan
dengan kajian penelitian ini.
Literarur yang relevan tersebut diantaranya: pertama
Thomas lickona dan Ernes yang membahas pendidikan
karakter di barat. Teori yang dirumuskannya mengenai
pendidikan karakter yang sekarang telah tersebar hingga ke
Asia. Kedua teorinya imam al-Ghazali, al-Zarnuji, Ibnu
Miskawaih dan ulama-ulama besar yang membahas mengenai
akhlak dan budi pekerti. Ketiga teori yang digagas oleh
Indonesia seperti KEMENDIKBUD yang merumuskan
pendidikan karakter secara nasional. Keempat buku-buku
sosiologi dan psikologi yang ada hubungannya dengan
pendidikan karakter.
Oleh karena itu pembahasan di atas menunjukkan bahwa
fokus penelitian Kajian ini meliputi: nilai-nilai pendidikan
karakter yang terdapat dalam kitab A<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim karya KH. Hasyim Asyari, dan apakah terdapat
relevansinya dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang ada di
Indonesia.
39
P. Joko Subagyo, Metode Pembelajaran dan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 1991), 109. 40
M. Djamal, Paradigma Penelitian Kualitati (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), 9.
20
2. Pendekatan dan Analisis Data
Menurut Djamal pendekatan adalah cara pandang atau
paradigma dalam menyelesaikan masalah,41
sedangkan analisis
data menurut Lexy adalah pengorganisasian dan pengelolaan
data bertujuan menemukan tema dan hipotesis yang akhirnya
diangkat menjadi teori substantif.42
Dalam penyelesaian penelitian ini maka cara pandang
yang digunakan peneliti adalah menggunakan dua pendekatan
yaitu. Pertama deskritif-analisis maksudnya adalah
mengumpulkan dan menyusun data, setelah data tersusun lalu
menganalisi data tersebut.43
Kedua content-analisis, yaitu cara
penelitian yang digunakan dengan memanfaatkan seperangkat
prosedur sehingga dapat menarik kesimpulan yang benar dari
dokumen analisi content tersebut meliputi 3 hal yaitu objektif,
sistematis dan general.44
Maka dengan dua pendekatan tersebut
peneliti mencoba mendeskripsikan isi kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim untuk mencari nilai-nilai pendidikan karakter
dalam kitab tersebut, kemudian dianalisis dengan melakukan
kajian secara mendalam tentang relevansi nilai-nilai
pendidikan karakter terhadap pendidikan karakter di Indonesia
sebagaimana yang dicanangkan oleh KEMENDIKBUD priode
2010-2025.
3. Sumber Data
Ditinjau dari sumbernya, ada dua jenis sumber data yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data
primer adalah sumber data yang dapat memberikan data secara
langsung tanpa melalui perantara seperti karya tulis orisinil.
Sedangkan sumber data sekunder merupakan sumber yang
memberikan data secara tidak langsung yaitu melalui orang
lain.45
Sumber data primer yang dijadikan referensi dalam
penelitian ini adalah a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim buku yang
41
M. Djamal, Paradigma Penelitian Kualitatif , 102. 42
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), 103. 43
Winarno surachman, pengantar penelitian ilmiah: dasar, metode,
teknik (bandung: tarsita, 1990), 139. 44
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 163. Lihat juga
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kulaitatif (Yogyakarta: Rake Surasin,
1996), 69 45
M. Djamal, Paradigma Penelitian kualitatif, 64.
21
langsung ditulis oleh KH. Hasyim Asyari yang di terbitkan oleh
Maktabah al-Tura>th al-Isla>mi di Pesantren Tebuireng Jombang
Jawa Timur (1415 H / 1994 M). Sedangkan data sekunder
adalah referensi yang berkaitan dengan pendidikan karakter,
psikologi generasi moderen baik berupa buku, majalah, jurnal
maupun referensi lain yang relevan dengan penelitian ini,
referensi itu diantaranya: KH. Hasyim Asyari Memodernisasi
NU Dan Pendidikan Islam Karya Rohinah M. Noor, MA., The
American Journal of Nursing dengn judul Character Education
karya F. Ernest Johnson, Mendidik Untuk Membentuk Karakter
karya Thomas Lickona, Journal of Bible and Religion dengan
judul A Course of Study in Character Education karya Clara
Willoughby Davidson, Peranan KH. Hasyim Asyari Dalam
Kebangkitan Islam Di Indonesia karya Dr. H. Ridjaluddin. FN,
M.Ag, Guru sejati Hasyim Asyari karya Masyamsul Huda,
Journal Of Church And State karya Derek H. Davis, dengan
judul Character Education in America‟s Public Schools, dan
lain-lain.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Dilihat dari jenis penelitian ini yang berbentuk kualitatif,
maka salah satu tekhnik pengumpulan data dari penelitian ini
adalah dengan metode dokumentasi.46
Maksudnya
mengumpulkan dokumen pribadi berupa catatan, kitab,
makalah, majalah, jurnal, artikel, surat kabar, maupun karya
ilmiah lainnya yang didapat dari kepustakaan yang
berhubungan dengan data primer dan sekunder47
bertujuan
untuk dapat mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter yang
terdapat dalam kitab a>da>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim dan
relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia. Adapun tahapan-tahapan pengumpulan data tersebut
dengan cara sebagai berikut:
1. Peneliti membaca secara keseluruhan isi text dan
menterjemahkannya. lalu mengamatinya dengan cermat,
setelah mengamatinya dengan baik peneliti mengidentifikasi
46
Ada bermacam-macam tekhnik untuk mendapatkan data penelitian
kualitatif diantaranya; pengamatan, wawancaara, dokumen, focus group
discussion, dan triangulasi. Lihat M. Djamal, Paradigma Penelitian kualitatif,
65. 47
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), 206.
22
nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam kitab
a>da>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim. 2. Setelah teridentifikasi adanya nilai-nilai pendidikan
karakter, peneliti mengklasifikasi kontens kitab untuk
menentukan bentuk atau pola nilai-nilai pendidikan karakter
yang terdapat dari poin-poin karakter murid dan guru yang
ada dalam kitab tersebut. 3. Peneliti menganalisis relevansi nilai-nilai pendidikan
karakter yang terdapat dalam kitab a>da>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim terhadap pendidikan karakter bangsa yang
dicanangkan oleh KEMENDIKBUD priode 2010-2025,
kemudian ditafsirkan dan terakhir diambil kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini penulis tuangkan dalam lima bab, hal ini guna
mendapatkan bentuk penelitian tesis yang sistematis, gambaran
yang jelas, terarah, logis dan saling berkesinambungan antara satu
bab dengan bab yang lainnya yang terdiri dari satu bab
pendahuluan, tiga bab pembahasan dan satu bab kesimpulan.
Bab pertama merupakan landasan umum penelitian dari tesis
ini atau yang disebut dengan bab pendahuluan. bagian ini berisi
pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah; permasalahan
yang terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan
perumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat/signifikansi
penelitian; penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian
yang terdiri atas jenis penelitian, pendekatan dan analisa data, serta
sumber data; sistimatika penulisan.
Bab dua merupakan kerangka teori yang menjelaskan tentang
konsep dan sejarah perkembangan pendidikan karakter meliputi
pengertian dan ruang lingkup pendidikan karakter, sejarah
pendidikan karakter, model pendidikan karakter, urgensi dan
manfaat pendidikan karakter, dan perbedaan karakter, akhlaq dan
moral.
Bab ketiga menguraikan biografi dan pemikiran KH. Hasyim
Asyari meliputi biografi KH. Hasyim Asyari, pemikiran KH.
Hasyim Asyari, kontens Kitab a<da>b al-‘alim wa al-muta’allim
Karya dalam pendidikan karakter. Bab keempat penulis akan menguraikan nilai-nilai pendidikan
karakter dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dan
relevansinya terhadap pendidikan karakter di Indonesia meliputi
nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dan relevansi nilai-nilai pendidikan karakter dalam
23
kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dengan pendidikan karakter di
Indonesia.
Bab kelima berisikan penutup meliputi kesimpulan, saran dan
daftar pustaka.
24
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER: KONSEP DAN SEJARAH
PERKEMBANGAN
A. Penjelasan dan Ruang Lingkup Pendidikan Karakter
Berbicara tentang pendidikan karakter tentu tidak terlepas dari
aspek mana pendidikan karakter ditinjau. Dalam pandangan Islam
pendidikan karakter lebih menitik beratkan kepada upaya
pembentukan akhlak dan ibadah. Sebagaimana yang telah di
ungkapkan oleh Ulil Amri Syafri bahwa pendidikan karakter dalam
Islam adalah upaya untuk melatih mental dan fisik agar
menghasilakan manusia yang berbudaya tinggi untuk menjadi
kholifah dimuka bumi dengan akhlakul karimah yang berlandaskan
Al-Quran dan Sunnah. Objek dari pendidikan karakter sendiri adalah
bagaimana manusia bersikap kepada Allah, alam, dan manusia
dengan etika yang luhur.1
Sedangkan Menurut Abuddin Nata pendidikan karakter dalam
Islam adalah sebuah usaha bersama dalam menciptakan sebuah
lingkungan pendidikan tempat seseorang untuk membebaskan
dirinya dari kehidupan yang gelap gulita menuju kehidupan yang
terang benderang, dari kekeliruan menuju kebenaran, dari kebodohan
menuju kecerdasan, dan dari permusuhan menjadi persaudaraan
sehingga dapat menyelamatkan manusia dari kebinasaan baik di
dunia maupun akhirat hal ini sebagai prasyarat bagi kehidupan moral
yang dewasa.2
Usaha perubahan positif melalui bimbingan agama dalam
membentuk kepribadian yang has, maka akan menghasilkan pola
pikir, sikap dan tindak sesuai dengan tuntunan agama. Tuntunan
yang menjadi landasan agama adalah al-quran, hadis, perkataan
sahabat dan ijma’ ulama. Seperti yang dikatakan oleh Majid dan
Andayani bahwa pendidikan karakter dalam Islam adalah
mengajarkan benar dan salah yang bersumber dari kebenaran wahyu
Ilahi baik Al-quran maupun Hadits Nabi. Dalam Islam segala yang
dianggap benar dan salah, halal dan haram dipandang sebagai
keputusan Allah yang mesti di patuhi.3
1 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis al-Quran (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2012), 67-97. 2 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, 268.
3 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam, 58.
25
Merujuk pada pandangan para ahli terkait pendidikan karakter
di atas dapat kita simpulkan bahwa pendidikan karakter dalam dunia
Islam adalah suatu upaya untuk membentuk jiwa dan raga yang
berlandaskan wahyu Ilahi (Al-quran dan Sunah) agar berbudaya
tinggi dan bermartabat sehingga membebaskan diri dari
keterpurukan menuju kebahagian di dunia dan akhirat dan dari
belenggu materi duniawi menuju harapan Ilahi. Hal ini sesuai dengan
perintah Allah dalm surat Al-dha>riya>t: 56.
و ماخلقت الجه و االوس اال ليعبدون
Artinya: Bahwa diciptakannya manusia dan jin hanya untuk
mengabdi dan menghambakan diri kepada Allah semata.
Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa hakikat kehidupan
adalah untuk mengabdikan diri pada sang pencipta sehingga tidak
meletakkan dunia kedalam hati, melainkan Allah sejatinya yang ada
dalam hati. Sehingga konsep pendidikan karakter dalam Islam adalah
pembentukan akhlak yang disertai ibadah yang menyatu seperti mata
uang yang tidak bisa dipisahkan. Jika satu sisi dari mata uang itu
hilang maka hilang pula nilainya, begitupula halnya akhlak dan
ibadah dalam pembentukan karakter menyatu kuat agar memiliki
nilai dalam kehidupan baik dimata tuhan maupun manusia.
Oleh karena itu pendidikan karakter dalam Islam memiliki
nilai yang absolut atau mutlak. Seperti kejujuran, ketaqwaan, kasih
sayang, keadalin yang menurut hemat penulis adalah nilai ilahiah dan
insaniah yang mesti dimiliki, difahami, dijalankan, dibiasakan,
diamalkan, dan diajarkan.
Pendididikan karakter dalam Islam dimulai sejak manusia
belum terlahir kemuka bumi. Sebelum terbentuknya tanda-tanda
manusia di dalam Rahim sampai terlahirnya kemuka bumi hendaknya
orang tua membiasakan perkataan, perbuatan, mencari dan
mengkonsumsi rezeki dengan cara aturan agama yaitu yang halal
diambil dan yang haram ditinggalkan. Ketika panca indra sudah
mulai berfungsi dengan baik diperintahkan untuk mengajarkan nilai-
nilai cinta yaitu cinta kepada tuhannya, rasulnya, al-quran dan
kepada kedua orang tuanya, dan setelah itu diajarkan ilmu
pengetahuan agama dan umum.4
Adapun pendidikan karakter dalam dunia barat sebagaimana
yang telah dikembangkan oleh Thomas Lickona bahwa pendidikan
4 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), 121.
26
karakter adalah suatu pendidikan yang bukan hanya mengajarkan
nilai-nilai moral semata akan tetapi mampu membimbing mereka
untuk dapat memahami, menghayati, dan menerapkan nilai-nilai
dalam suatu kehidupan, yang hasilnya terimplikasikan dalam
tindakan nyata seseorang, yaitu bersikap hormat, bertanggung jawab,
jujur, adil, toleransi, bijaksana, disiplin, suka menolong, peduli,
kerjasama, berani dan demokratis.5
Ungkapan Lickona di atas dipertegas oleh Davis bahwa
seharusnya sekolah umum harus fokus dalam mengembangkan
pendidikan karakter pada kurikulum sekolah. Karena dengan
pendidikan karakter sekolah akan menciptakan lingkungan yang
bermoral seperti dengan ditandai oleh adanya kejujuran,
pengendalian diri, keramahan, kesopanan, tidak egois, dan
demokratis.6 Sekolah mempunyai fungsi yang sangat urgen dalam
membentuk manusia baru sesuai kebutuhan masyarakat yaitu
manusia yang bermoral. Karena manusia yang berlebihan dalam
pendidikan akan mengakibatkan kegagalan pribadi dan kekacawan
sosial. Pendidikan moral merupakan penangkal terhadap penyakit-
penyakit batin.7
Berbeda halnya dengan Michael Davis menolak pendidikan
karakter dengan tiga alasan, pertama secara empiris Pendidikan
karakter tidak memiliki bukti bahwa karakter tertentu bisa diklem
benar atau salah secara mutlak. Kedua, secara konsep, pendidikan
karakter terdapat konflik antara karakter apakah yang baik dan
bagaimana proses untuk mengajarkan pendidikan karakter. Ketiga
secara moral bahwa pendidikan karakter mengalami kegagalan
dalam melakukan hal yang benar untuk alasan yang benar. Contoh:
keberanian adalah suatu karkter yang baik, tetapi keberanian untuk
membunuh adalah suatu kesalahan. Michael mendefinisikan
karakter sebagai sebuah seperangkat sifat yang sangat banyak
disposisi hal yang sempit. Seperti; keberanian, kebajikan,
5 Thomas Lickona, Educating for charactermendidik untuk membentuk
karakter. Terjemah. Juma Abdu Wamaungo, 1-205. 6 Derek H. Davis, ‚Character Education in America’s Public Schools‛.
Journal Of Church and State (2016): 2. Di akses dari
http://jcs.oxfordjournals.org/ at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta University on
March 16, 2016 7 Emile Durkheim, Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi
Sosiologi Pendidikan. Terjemah. Lukas Ginting (Jakarta: Penerbit Erlangga,
1990), XIII.
27
kesederhanaan, tanggung jawab, peduli, dan lainnya.8Hal inilah
yang menjadi argumen penolakannya.
Penolakan di atas senada dengan Jean Jacques Rousseau yang
ditulis ulang oleh V.R. Taneja dalam bukunya yang mengatakan
bahwa pendidikan terbaik adalah ketika anak-anak berkembang dan
tumbuh dengan bebas menurut gerak hati nuraninya. Taneja
meyakini bahwa anak yang tumbuh secara alamiah adalah baik,
karena fungsi pendidikan adalah untuk mempertahankan kebaikan
dan kemurnian anak tanpa noda dari dunia lain.Sebab makhluk di
dunia ini sudah tertata dengan rapih seperti gunung dan aliran
sungai, terbit dan terbenamnya matahari akan terlihat indah jika
tetap alami.9
Menurut Ivor Pritchard bahwa pada dasarnya pendidikan
karakter lebih menekankan prilaku. Padahal manusia yang aktif
berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan akan memiliki karakter
tertentu yang akan menampilkan sikap dan prilaku yang dapat
diterima di masyarakat. Sehingga jika agama bisa disimpan terpisah,
masalah mendasar etika dalam masyarakat majemuk akan tetap, oleh
karena itu akan sia-sia jika pendidikan karakter masuk dalam
kurikulum sekolah.10
pandangan Pritchard sependapat dengan Marvin
W. Berkowitz and Melinda C. Bier mengatakan bahwa sekolah
seharusnya fokus pada prestasi akademik bukan untuk mengentaskan
masalah moral. Dengan adanya prestasi para generasi akan mudah
melanjutkan apa yang mereka inginkan baik dalam dunia pekerjaan
maupun jenjang pendidikan yang lebih tinggi.11
Dari penjelasan di atas bahwa pendidikan karakter dalam dunia
barat adalah suatu pembinaan atau pembentukan dalam mewujudkan
pengetahuan, perasaan, perbuatan, dan pembiasaan nilai-nilai moral
dalam kehidupan. Nilai-nilai moral tersebut berupa kebijaksanaan,
8 Michael Davis,‚What’s Wrong with Character Education?‛. American
Journal of Education, Vol. 110 (2003). 32-34 9 V.R. taneja, Educational Thought and Practice (New Delhi: Sterling
Publishers privated Limited (2008),106. 10
Ivor Pritchard,‚Character Education: Research Prospects and
Problems‛. American Journal of Education, Vol. 96 (Aug., 1988), 488-491. 11
Marvin W. Berkowitz and Melinda C. Bier.‚Based Character
Education‛ The Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 591(2004): 73-85.
28
keadilan, keberanian, pengendalian diri, cinta, sikap positif, bekerja
keras, integritas, syukur, dan kerendahan hati.12
Peneliti mengamati bahwa sumber pendidikan karakter di Barat
lebih menitik beratkan kepada rasionalitas atau akal fikiran hal ini
dapat kita lihat dari nilai-nilai yang diajarkan lebih berorientasi
kepada kemanusiaan sedangkan nilai-nilai ketuhanan atau pribadi
sebagai hamba tidak dicanangkan walaupun agama dijadikan sebagai
salah satu alat atau sarana dalam pembentukan karakter.
Sedangkan Indonesia memiliki corak tersendiri mengenai
pendidikan karakter. Misalnya menurut Muhammad Nuh menteri
Pendidikan dan Kebudayaan priode 2009-2014, Nuh mengatakan
bahwa pendidikan karakter adalah menanamkan kebiasan baik agar
peserta didik dapat memahami, merasakan dan mencintai hal-hal
yang baik, kemudian dapat mencerminkan prilaku baik tersebut
dalam kehidupan tanpa adanya doktrinisasi dan paksaan.13
Nuh
menambahkan bahwa manusia yang berkarakter adalah ia yang
memiliki prilaku sesuai dengan kaidah moral.
Adapun menurut Heri Gunawan bahwa Indonesia memiliki ciri
khas tersendiri tentang pendidikan karakter. Gunawan menjelaskan
bahwa pendidikan karakter adalah usaha-usaha yang disusun dan
dikerjakan secara sistimatis untuk meletakkan nilai-nilai prilaku
peserta didik yang bersinergi dengan yang maha pencipta, sesama
makhluk, dan diri sendiri yang teraplikasi dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan norma-
norma agama, negara, dan adat istiadat.14
Dari teori di atas dapat kita mengerti bahwa pendidikan
karakter adalah suatu usaha menanamkan, membiasakan, dan
membentuk secara sistematis untuk dapat memahami, merasakan,
mencintai dan mencerminkan nilai-nilai luhur yang ada. Nilai
tersebut diperoleh dari norma-norma agama, budaya, adat istiadat
dan negara.
Pendidikan karakter harus mencakup seluruh potensi individu
manusia yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik dan diterapkan
12
Thomas Lickona, Character Matters Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Nilai Yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya.
Terjemah. Juma Abdu Wamaungo (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 16-20. 13
Muhammad Nuh, Desain Induk Pendidikan Karakter 2010-2025 Kementrian Pendidikan Nasional, 10. Lihat https://muhsinpamungkas. files.
Wordpress. com/2011/05/ desain-induk-pendidikan-karakter-kemdiknas. Pdf. 14
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), 28.
29
pada seluruh sosiokultural baik dalam lingkungan keluarga,
pendidikan dan masyarakat luas pada umumnya.
Oleh karena itu pendidikan karakter tidak sekedar pengetahuan
mengenai baik dan buruk. Pembentukan nilai-nilai karakter tidak
cukup sekedar pemenuhan informasi dalam otak, melainkan adanya
pembiasaan dalam penerapan nilai-nilai karakter dalam kehidupan
sehari-hari, maka dari itu ruang lingkup pendidikan karakter adalah
knowing, feeling, doing, and habitually about moral, akhlak, etika,
baik dan buruk, dan benar dan salah dalam kehidupan. sehingga 3
aspek pendidikan dapat terpenuhi yaitu aspek kognitif, afektif , dan
psikomotorik. Sebagaimana table yang penulis buat dibawah ini
sebagai contoh dari ketiga aspek tersebut.
No. Pengetahuan moral Sikap moral Prilaku moral
1. Mengetahui sikap
hormat Kejujuran Peduli dengan
orang lain
2. Mengetahui tanggung
jawab Keberanian
Toleransi
3. Kedisiplinan Suka menolong
4. Bijaksana
5. Demokratis
B. Sejarah Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sebenarnya telah dimulai sejak 2600 tahun
yang lalu. Sebagaimana yang telah di gaungkan oleh Socrates (tokoh
besar yunani yang hidup tahun 469-399 SM) menyatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah menjadi cerdas dan baik, dia yang pertama
kali membentuk pola hubungan antar manusia dengan ilmu
pengetahuan. Dia berpendapat bahwa kebaikan tidak akan terbentuk
tanpa ilmu pengetahuan dan buah ilmu pengetahuan adalah karakter
yang mulia.15
15
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, 2.
30
Setelah meninggalnya socrates, pemikiran karakter dilanjutkan
oleh Plato seorang ahli filsafat Athena dan murid dari Socrates yang
hidup sekitar 427-347 SM. Plato mengatakan bahwa kebenaran yang
sejati berada pada ide dan gagasan yang bersumber dari alam rohani.
Dan menurutnya apa yang tampak dari perbuatan manusia adalah
perwujudan dari hal yang tidak tampak atau dari alam ruhnya. Dari
alam ruh itulah akan muncul keutamaan-keutamaan, seperti:
kebijaksanaan, keberanian, keperwiraan, dan keadilan.
Kemudian gagasan tentang karakter dilanjutkan oleh Aristoteles
yang merupakan murid Plato yang hidup sekitar 394-322 SM.
Aristoteles mengatakan bahwa ending dari kehidupan adalah
kebahagiaan, dan kebahagian hanya diperoleh melalui penggunaan
akal dengan sebaik-baiknya.
Akhirnya pada tahun 1990-an pendidikan karakter mulai di
kembangkan kembali oleh para ahli yang peduli terhadap perbaikan
karakter bangsa diantaranya oleh Thomas Lickona dari Amerika
Serikat. Lickona merasa hawatir terhadap dekadensi moral. Dari
Hasil penelitiannya ia melihat sejak tahun 1978 sampai 1988 dari
data statistik FBI bahwa telah terjadi pelonjakan kemerosotan moral,
seperti meningkatnya tindak pemerkosaan dikalangan remaja,
kriminalitas, pelecehan agama, dan penyalahgunaan obat-obatan.16
Dari kegundah gulanaan itulah ia memberikan sumbangsihnya untuk
melakukan sebuah perubahan positif untuk menyadarkan dunia barat
khususnya Amerika Serikat melalui karya-karyanya, diantaranya
Educating For Character, Character Metters: How To Help Our
Children Develop Good Judgment, Integrity And Other Essential
Virtues dan The Return Of Character Education.
Berbeda halnya dengan Indonesia. Di Indonesia sendiri
pendidikan karakter bukanlah hal asing dalam budaya pendidikan di
Indonesia. Pendidikan karakter telah ada sebelum kemerdekaan,
yang telah dimulai oleh para ulama dan tokoh masyarakat dalam
artian bahwa Pendidikan karakter telah berlangsung sejalan dengan
adanya pendidikan itu sendiri. Walaupun belum ada konsep yang
jelas, tetapi pendidikan karakter dapat terlihat dari sikap yang
diajarkan oleh para ulama dan tokoh masyarakat. Seperti KH.
Ahmad Dahlan, R.A. kartini, Ki Hadjar dewantara, Ir. Soekarno, Ir.
Moehammad Hatta, soeharto, Tan Malaka, Muhammad Natsir, KH.
Hasyim Asy’ari, dan lain-lain. Tergeraknya hati mereka dalam
16
Thomas Lickona, Educating for Charactermendidik untuk Membentuk Karakter. Terjemah. Juma Abdu Wamaungo, 2.
31
pembebasan bangsa dari penjajahan yang berabad abad membuat
mereka menjadi seorang pelopor pergerakan nasional sekaligus
gagasan dasar terlahirnya pendidikan karakter, sebab mereka
memiliki impian dan idealisme dalam membangun Indonesia baru.
Dasar idealisme itu adalah nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya,
nilai-nilai kebangsaan, dan nilai-nilai pemikiran.17
pendidikan karakter di Indonesia dapat dilihat dari
keterkaitannya dengan kewarganegaraan. Di Indonesia pada masa
pra-kemerdekaan pendidikan karakter dikenal dengan pendidikan
budi pekerti yang ditanamkan pada peserta didik yaitu asas-asas
moral, dan etika yang melandasi perbuatan dalam kehidupan sehari-
hari. Setelah Indonesia merdeka dibawah pimpinan presiden
Soekarno, konteks pendidikan karakter diterapkan pada salah satu
pelajaran Budi Pekerti, hal ini dapat dilihat pada kurikulum SD
1947. Sedangkan pada awal 1960-an, pendidikan karakter mulai
dikampanyekan dengan gencar yang kita kenal dengan national and charcter building. Hal tersebut dapat kita ketahui, bahwa pada
tahun 1964 pendidikan Budi Pekerti digabung dengan pendidikan
agama dengan nama Agama/Budi pekerti dan berubah lagi pada
tahun 1968 menjadi Pendidikan Kewargaan Negaraan (PKN).18 Pada masa pemerintahan Soeharto indoktrinasi itu berubah
menjadi penataran P4 (Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan
Pancasila), dan diadakannya sebuah mata pelajaran khusus, yaitu
Kewarganegaraan Indonesia dan Pendidikan Moral Pancasila yang
dipertahankan hingga kurikulum 1984. Pada tahun 1994,
pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Moral Pancasila
berubah menjadi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan
(PPKn). Pada akhir tahun 90-an seiring dengan menggemanya
reformasi, muncullah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) di
tahun 2004 yang menggantikan P4 sehingga melahirkan pelajaran
budi pekerti. Tetapi perubahan tersebut tidak menghilangkan nilai-
nilai yang terdapat pada Pancasila.19
Seiring pergantian rezim tersebut berganti pula kebijakan dan
ketentuan, terutama kebijakan dalam pendidikan karaker guna
mencetuskan genersai yang cakap dan bermartabat. Pendidikan
karakter terus dicanangkan pada setiap kurikulum. Digantikannya
17
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter (Jakarta: Grasindo, 2007), 51. 18
Dedi Supriadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan (Bandung:
Rosdakarya, 2004) 162-166. 19
Winarno Surakhmad, Pendidikan Nasional; Strategi dan Tragedi (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 70
32
KBK menjadi KTSP ditahun 2006 mengalami penurunan
pemahaman tentang budi pekerti dan pendidikan moral Pancasila
hingga tahun 2010 barulah muncul konsep Rembug Nasional
Pendidikan dan Kebudayaan dan puncak konsep pendidikan
karakter ditahun 2012 dengan format silabus dan RPP berbasis
pendidikan karakter, maka di tahun 2013 muncullah kurikulum
baru yang kita sebut dengan kurikulum 2013. Dan konsep RNPK
terus berlangsung hingga saat ini yang bertujuan melakukan
gerakan revolusi mental.20
Dari ringkasan sejarah di atas menjelaskan bahwa setiap
pergantian kepemimpinan pasti akan mengalami perubahan
kebijakan baru dalam pengembangan pendidikan karakter tetapi
memiliki tujuan yang sama dalam mencetak masyarakat yang
bermoral dan bermartabat dengan mengikuti kaedah dan norma-
norma berfalsafah Pancasila.
Sedangkan dalam dunia Islam, pendidikan karakter pada
dasarnya telah dimulai jauh sebelum kedatangan Nabi Mumammad
SAW. Seperti nabi Ibrahim yang mengajarkan keberanian dalam
menyebarkan agama tauhid, sikapnya yang sangat memuliakan
tamu, penyabar bahkan beliau dijuluki bapak para nabi, begitupula
para nabi lainya yang diutus Allah kemuka bumi ini untuk
memperbaiki Akhlak manusia. Kemudian 14 abad tahun yang lalu
Nabi Mumammad SAW menyempurnakan ajaran-ajaran para nabi
sebelumnya dengan misi menyempurnkan Akhlak manusia yang
disandangkan dengan pengabdian total kepada Tuhan yang Maha
Esa.21
Perbuatan, tingkah laku dan ajarannya adalah cermin dari
manusia berkarakter mulia. Pendidikan dan ajaran samawi yang
diembannya dapat tersebar keseluruh pelosok dunia hingga sampai
kepada kita semua saat ini adalah buah akhlak yang dimiliki
Rasulullah kemudian mengajarkan kepada para sahabat dan
pengikut-nya.
20
Pembangunan Pendidikan Nasional 2010 – 20114, Rembug Pendidikan Nasional 2010 ( Depok, 2-4 Maret 2010), 1.
21 Perkataan ini bersumber dari surat Al-Qolam ayat 4 ‚ وانك لعلى خلق
yang artinya (sesungguhnya engkau (ya Muhammad) mempunyai akhlak ‛عظيم
yang agung), Al-Quran surat Al-Ah}zab ayat 21 لقد كان لكم في رسول هللا اسوة حسنة
dengan arti bahwa dalam diri RosulullahSAW terdapat suri tauladan yang baik,
dan Hadis Riwayat Ahmad ‚innama> bu’ithtu liutammima maka>rima al-akhla>q‛. Lihat Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam,
9.
33
Pendidikan karakter yang dilanjutkan oleh para sahabat dan
pengikutnya yang setia dalam menyebarkan ajaran Agama Islam
dapat kita lihat melalui pemikiran dan karya-karyanya yang
diajarkan di dalam halaqoh-halaqoh dan pesantren, diantaranya;
kitab S}oh}ih{ Bukhori kumpulan hadis-hadis mutawatir karya
Muhammad Bin Isma’il Bin Al-Mug}iroh Al-Bukhori, bulug}ul marom karya Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin
Ali bin Mahmud bin Ahmad ibn Hajar Al-Kinani kitab ini
menjelaskan tentang fikih dan akhlak, Sharh H}ilyah Al-T}olibi Al-‘Ilmi>karya Muhammad Bin S}olih Al-Usaimin kitab ini
menerangkan manfaat menuntut ilmu dan etika dalam mencarinya,
tidak kalah pentingnya lagi karya ulama Nusantara yaitu kitab
A<dab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim Karya KH. Hasyim Asyari,
kitab ini menjelaskan tentang Akhlak pengajar dan pelajar, yang
merupakan cerminan dari buah pendidikan yang diperoleh. dan
masih banyak kitab lainnya yang berkaitan tentang pendidikan
karakter yang dikarang oleh ulama-ulama klasik maupun
kontemporer.
Corak pandang 3 sejarah yang berbeda di atas tetapi memiliki
satu tujuan yang sama. Tidak ada yang mengklem satu dengan yang
lainnya mengenai siapa pencetus awal pendidikan karakter. Yang
terpenting adalah bahwa pendidikan karakter telah ada sebelum
nama pendidikan karakter itu ada. Bahkan lebih tua usianya
dibandingkan dengan nama tersebut.
Sejarah menjelaskan bahwa setiap agama, budaya dan negara
mengajarkan nilai-nilai luhur dan mulia dalam membentuk suatu
peradaban yang tinggi dan mengajak seluruh komponen manusia
untuk berpegang teguh dengan nilai-nilai yang diyakininya. Apakah
keyakinan itu bersumber dari agama, budaya, negara atau akal
fikiran manusia, yang jelas adalah bahwa sejarah mencatat dalam
kehidupan ini ada baik dan buruk dan ada benar dan salah. Hal itu
semua perlu ada pertimbangan dan pemikiran yang matang agar
terciptanya suatu keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Sehingga di era modern ini dikenal dengan istilah
pendidikan karakter
C. Model-Model Pendidikan Karakter
Model secara bahasa adalah pola, corak atau bentuk dari suatu
hal yang menjadi acuan untuk mengenal karakteristik dari suatu hal
tersebut yang di dalamnya mengandung nilai-nilai dan barometer
34
tertentu.22
Dari pengertian tersebut maka penulis akan menguraikan
model pendidikan karakter dari 3 corak pandang, yaitu Indonesia,
Islam dan barat.
1. Indonesia
Kita ketahui bahwa bangsa Indonesia sejak diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 merupakan bangsa yang majemuk, beragam
dan berbeda. Yaitu perbedaan agama, budaya, suku, ras, etnis, dan
bahasa dari berbagai kepulauan yang ada di Indonesia yang menjadi
satu kesatuan dengan berlandaskan atau berideologi Pancasila.
Perbedaan yang ada jika dikelola dengan baik maka akan
menghasilakan keharmonisan dan keindahan dalam kehidupan, tatapi
jika sebaliknya maka akan terjadi kehancuran dan kemunduran
disebabkan oleh ego masing-masing dalam setiap individu dan
golongan. Kita ketahui pula bahwa bangsa ini direbut dari tangan
penjajah melalui perlawan dari semua pihak bukan hanya dari satu
golongan tertentu, tetapi dari semua warga Indonesia yang ingin
merdeka. Oleh karena itu para pendiri bangasa ini telah menjadikan
nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa untuk menjadi
bangsa yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur. Sehingga
Pancasila dijadikan sebagai ideologi negara.
Pendidikan karakter sejatinya adalah pendidikan budi pekerti,
moral, watak, dan nilai dengan maksud mengembangkan stekholder
pendidikan untuk memberikan keputusan baik dan buruk,
keteladanan, menjaga hal yang baik dan mengaplikasikan kebaikan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.23
Adapun nilai-nilai
pendidikan karakter yang telah digagas oleh pemerintah
teridentifikasi dengan 18 nilai yang bersumber dari agama, budaya
dan falsafah bangsa, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin,
kerjakeras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai presstasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, puduli
lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.24
Nilai-nilai tersebut
bersumber dari empat elemen penting yang melekat pada bangsa
Indonesia, yaitu agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
22
https://kbbi.web.id/model 23
Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian Dan
Pengembangan, Pusat Kurikulum Dan Perbukuan, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (TK, TP: 2011), 5-7.
24 Amirullah Syarbini, Buku Pintar Pendidikan Karakter (Jakarta: Prima
Pustaka, 2012), 25.
35
nasional.25
Pengembangan karakter dalam sistem pendidikan
merupakan keterkaitan antara komponen-komponen yang meliputi
nilai-nilai prilaku yang dapat dilakukan secara bertahap dan saling
berkaitan antara satu dengan lainnya.
Nilai tersebut dijadikan sebagai tolak ukur dalam pendidikan
karakter bangsa Indonesia. Tolak ukur pendidikan karakter di
Indonesia dapat kita lihat ketika menjadikan setiap tindakan dan
ucapan diukur berdasarkan hierarki nilai (nilai budaya, nilai sosial,
nilai agama, dan nilai Pancasila), apabila seorang tersebut telah
menyimpang dari nilai-nilai yang ada maka dipastikan seorang
tersebut tidak memiliki karakter kebangsaan.26
Sedangkan menurut
Muhammad Nuh tolak ukur pendidikan karakter dapat dinilai dari
beberapa hal, diantaranya adalah:27
a. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter,
meningkatnya kejujuran, rasa tanggung jawab, kecerdasan,
kreativitas, kepedulian, gotongroyong, kebersihan, kesehatan
kebugaran, prilaku santun yang mencerminkan etika hidup
bermasyarakat, ketertiban dan kedisiplinan dikalangan peserta
didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
b. Menurunnya tingkat kenakalan remaja secara kualitatif dan
kuantitatif.
c. Pendidikan karakter dapat terimplikasi pada jumlah satuan
pendidikan formal dan non formal.
d. Pendidikan karakter dapat terintegrasi pada semua mata
pelajaran.
e. Memasukkan komponen karakter dalam penerapan sistem
penilaian.
f. Pendidikan karakter dapat terimplikasi di perpustakaan, taman
baca atau sejenisnya.
Dari paparan di atas dapat kita mengerti bahwa model yang
digunakan dan dikembangkan oleh bangsa ini dalam pendidikan
karakter adalah yang berlandaskan dengan nilai-nilai Pancasila hal
tersebut dipertegas oleh Muhammad Nuh bahwa pendidikan
25
Kementrian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pusat Kurikulum, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing Dan Karakter Bangsa (Jakarta: TP, 2010), 9-10.
26 Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multi Dimensional (Jakarta: Bumi Aksara, 2015) 132. 27
Muhammad Nuh, Kerangka Acuan Pendidikan Karakter Tahun Anggaran 2010: Jakarta, 45.
36
karakter haruslah sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan yang Maha
Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan
indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia.28
Pancasila sebagai landasan dalam pendidikan karakter bangsa
ini sudah semestinya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di era
modern saat ini. Penulis melihat bahwa Pancasila masih memiliki
kaitan dalam pembangunan bangsa yang mandiri dan bermartabat.
Ideologi Pancasila tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai agama
karena unsur-unsur Pancasila berasal dari nilai-nilai agama, budaya
dan kebinekaan.
2. Islam
Model pendidikan karakter dalam kacamata Islam tersimpul
dalam karakter pribadi Rasulullah SAW. Pada diri Rasulullah
terdapat nilai-nilai akhlak yang terpuji. Bahkan Al-quran memuji
Rasulullah sebagai manusia tauladan yang mesti di ikuti, hal ini
terdapat dalam surat al-ahzab ayat 21 dan surat al-qolam ayat 4.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (QS.
Al-ahzab: 21).
Di dalam kitab tafsir ru>h al-baya>n menjelaskan bahwa uswah sama halnya dengan al-qudwah artinya keadaan yang ada pada
manusia yang dapat diikuti orang lain baik atau buruknya. Adapun
hasanah adalah contoh yang baik dan sunah yang shaleh.29
Dalam pandangan Ibnu Kathir bahwa Ayat di atas
menggambarkan pribadi Rasulallah SAW merupakan contoh yang
28
Muhammad Nuh, Kearangka Acuan Pendidikan Karakter Tahun Anggaran 2010: Jakarta, 50.
29و االسوة كالقدوة الحالة يكون النسان عليها في اتباع غيره حسنة حصلة حسنة و سنة
:Lihat Shaykh Isma>’i>l H{aqqi> al-Bursawi>, Tafsi>r Ru>h} al-Baya>n (Bairu>t .صالحة
Da>r al-Fikr, t.t), 156.
37
mulia baik dari segi perkataan, perbuatan, dan hal lainnya yang
perlu dijadikan panutan dalam kehidupan sehari-hari.30
Maka jelaslah bagi kita bahwa panutan atau rujukan pendidikan
karakter dalam Islam baik perbuatan, perkataan maupun tingkah
laku berporos kepada Rasulullah SAW sebagaimana yang
dijelaskan dalam quran surat al-qalam ayat 4.
Artinya: dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi
pekerti yang agung. (QS. al-Qalam: 4).
Dari paparan di atas menjelaskan bahwa ada nilai-nilai yang menjadi
panutan untuk dijadikan sebuah model pendidikan karakter yang
tercermin dalam diri Muhammad. Nilai-nilai tersebut dalam bentuk
‘ubudiyah sebagai ketaatan hamba kepada tuhannya dan mu’amalah
sebagai keharmonisan sesama makhluknya.
Model pendidikan karakter dapat dilihat dari nilai-nilai yang
ditanamkan oleh Muhammad kepada umatnya. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Abdul Majid bahwa nilai pendidikan karakter
terbagi dua yaitu nilai ila>hi>yah dan nilai insa>ni>yah. Nilai ini
mengarahkan akan pentingnya keseimbangan antara h}ablumin Alla>h wa h}ablu min al-na>s sehingga dapat tercipta keharmonisan
dan mendapatkan kebahagian didunia dan akhirat. Komponen nilai-
nilai itu antara lain:31
1. Nilai Ila>hi>yah
Iman adalah sikap batin yang penuh kepercayaan pada Allah.
Islam adalah sikap pasrah terhadap ketentuannya.
Ih}san adalah sikap kesadaran diri bahwa allah senantiasa
mengawasi kita.
Taqwa adalah sikap takut kepada Allah dengan menjala nkan
segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Ikhlas} adalah sikap murni dalam memberi sesuatu hanya
mengharapkan rid}o Allah.
Tawakkal adalah sikap yang hanya bersandar pada Allah
semata.
Syukur adalah sikap penuh rasa terima kasish pada Allah.
Sabar adalah sikap tabah dalam menghadapi ujian.
30
Abu al-Fida> Isma>il Ibnu Kasi>r, Tafsir Al-Quran al-Azim jilid IV, terj (semarang: toha putra,),
31 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam, 92-98.
38
2. Nilai Insa>ni>yah
S}ilat al-rahim adalah sikap rasa cinta kasih terhadap sesama
manusia.
Al-ukhuwah adalah sikap semangat persaudaraan.
Al-musawah adalah pandangan yang sama terhadap semua
manusia
Al-‘adalah adalah wawasan yang seimbang dalam menilai
seseorang
Husnu al-z}on adalah sikap berbaik sangka terhadap
manusia
Al-tawad}u’ adalah sikap rendah hati
Al-wafa adalah adalah sikap yang senantiasa menempati janji
Al-insyiroh adalah sikap lapang dada
Merujuk pada pandangan Madjid di atas, bahwa untuk menjadi
insan kamil mesti memperhatikan hablun min alla>h wa hablun min minanna>s, inilah model pendidikan karakter dalam Islam yang
menyatukan dua aspek dalam satu kehidupan.
Kedua aspek di atas tidak boleh dipisahkan dalam penerapan
pendidikan karakter. Jika terpisahkan maka akan terjadi
kepincangan yang mengakibatkan ketidak stabilan dalam menjalani
kehidupan. Hal inilah yang membedakan pendidikan karakter
dalam Islam dengan pendidikan karakter barat.32
Dari gambaran nilai-nilai di atas menunjukkan bahwa prinsip
pendidikan karakter dalam Islam adalah dengan menggabungkan
teologi, spiritualitas, eskatologi, etika sosial, dan tatanan politik.
Sebab karakter dalam Islam lebih menekankan pada akhirat,
sehingga sikap dan prilaku akan ada balasannya. Pahala dan
hukumun akan membentuk komponen yang kuat dari prilaku etis
dalam Islam.33
Maka dalam pandangan Abuddin Nata dalam pembentukan
karakter yang baik seharusnya manusia menggunakan sikap
pertengahan dalam menggunakan potensinya yaitu dari dari nilai-
nilai yang telah disebutkan di atas. Sehingga akan menghasilkan
32
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Education Philosophy and Practice of
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmi, dkk (Bandung: Mizan,
2003), 200. Lihat juga Jalaludin Rahmat, Dahulukan Akhlak Di atas Fiqih Cet.
II (Bandung: PT Mizan Utama, 2007), 91. 33
Ibrahim Kalin, ‚Akhla>k‛. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e1125. Di akses
pada tanggal 17 juni 2016.
39
sikap h{ikmah, shaja>’ah dan iffah, dari ketiga hal itulah akan muncul
akhlakul karimah.34
Maka sumber pendidikan karakter dalam Islam berlandaskan
al-quran dan hadis sebagai acuan dalam kehidupan. Setiap amal
perbuatan, baik yang di lakukan oleh para ulama, cendikiawan, dan
para tokoh yang menyebarkan ajaran Islam tentunya
mengutamakan karakter yang mulia yang bersumber dari dua
pedoman umat Islam yaitu Al-quran dan hadis. Dalam pedoman
tersebut diperintahkan untuk selalu bersandar pada Allah. Seperti
anjuran berbuat jujur, disiplin, tanggung jawab, saling menyayangi
dan semua karakter yang baik yang terdapat dalam pedoman harus
karena Allah. Hal inilah yang menjadi modal utama keberhasilan
seorang muslim dalam menjalani hidup di dunia hususnya
keberhasilan dalam pendidikan karakter pada dunia Islam.
kombinasi antara karakter mulia dengan ketakwaan kepada
Allah SWT akan melahirkan kasih sayang, baik terhadap Allah
maupun terhadap makhluknya begitupula sebaliknya. Ketakwaan
bagaikan mata uang yang tidak bisa dipisahkan, seperti kisah
Alqomah di masa nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan
ketaqwaannya tatapi mengalami kesulitan dalam mengucapkan
tahlil ketika sakara<t al-maut disebabkan oleh kedurhakaan terhadap
ibunya. Berbeda halnya dengan uwais al-qorni yang disebut sebagai
penghuni langit karena ketaqwaan dan kesolehannya.35
Maka penulis menilai bahwa model pendidikan karakter dalam
Islam menitik beratkan kepada dua elemen yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain yaitu ubudiyah dan muamalah atau nilai
ilahiah dan nilai insaniah. Dengan demikian penulis menyimpulkan
bahwa model pendidikan karakter dalam Islam adalah berbasis
ubudiyah dan muamalah.
3. Barat
Mengacu pada gagasan Thomas lickona tentang 10 nilai
terpenting dalam pendidikan karakter yaitu kebijaksanaan,
keadilan, keberanian, pengendalian diri, cinta, sikap positif, bekerja
34
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, 37. 35
M. Abdul Mujib, Syafi’ah, Ahmad Ismail M, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghozali (Jakarta: Hikmah, 2009), 554.
40
keras, integritas, syukur, dan kerendahan hati menjadi suatu
patokan model pendidikan karakter yang ada di Amerika.36
Hasil penelitian dari Universitas Negri Yogyakarta dalam
seminar nasional yang diselengarkan tahun 2011 mengungkapkan
bahwa ada 4 model pendidikan karakter terbesar dari 40 model
yang ada di Amerika diantaranya adalah: customized model,
national curriculum, minigrant, dan comprehensive model.
Keempat model tersebut tidak terlepas dari pengembangan 10 nilai
di atas.37
Menurut pendapat Kevin Ryan dan Thomas Lickona dalam
pengembangan karakter dapat dilakukan dengan memberikan model
yang menarik melibatkan tiga elemen dasar yaitu pengetahuan,
sikap dan tindakan.38
Dalam hal ini metode yang sangat tepat dalam
pengembangan karakter yaitu melalui pendidikan.
10 nilai-nilai di atas yang digunakan dalam model pendidikan
karakter menggambarkan bahwa pendidikan karakter hanya
berkembang melibatkan pengetahuan, perasaan dan tindakan nyata
sebagai manusia bukan sebagai hamba. Mereka hanya mengajarkan
kepada peserta didik agar memahami, mau berkomitmen dan
berbuat dengan saling berbagi nilai-nilai etik. Dengan kata lain
mereka paham mengenai hal-hal yang baik, mau berprilaku baik dan
melakukan kebaikan.
Sejatinya pendidikan karakter di Barat terlahir dari nilai-nilai
rasionalitas. Nilai dalam hubungannya dengan hasil pemikiran
bukanlah wahyu yaitu ide atau gagasan tentang apa yang baik,
buruk dan memadai. Nilai dan moralitas dalam dunia barat
senantiasa berubah-ubah dan beragam karena tidak bersifat
universal ditiap kultur sosial. Pernyataan tentang nilai muncul dan
berubah-ubah sesuai dengan perubahan dari tempat nilai tersebut
muncul. Contoh, jika masyrakat lebih berorientasi pada agama,
maka akan cendrung pada nilai-nilai spiritual. Dan jika lebih
cendrung pada ekonomi pasar maka nilai akan condong pada uang,
36
Thomas Lickona, Character Matters Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Nilai Yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya.
Terjemah. Juma Abdu Wamaungo (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 16-20. 37
Slamet Suyanto. ‚Hasil Implementasi Pendidikan Karakter Di
Amerika Serikat: Meta Analisis Study‛. Prosiding Seminar Nasional Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta (Mei 2011), 226.
38 James Arthur, Education (New york: The Taylor&Francis e-library,
2003), 115.
41
pendapatan dan kekayaan.39
Maka prinsip pendidikan karakter di
Barat tidaklah bersifat absolut melainkan relatif. Dari sinilah kita
dapat menilai bahwa model pendiidikan di Amerika tidaklah
holistic tetapi bersifat relative.
Dari prinsip yang telah disebutkan, bahwa Pendidikan karakter
di Barat berkembang dan bersumber dari nilai-nilai rasionalitas.
Pernyataan tentang nilaipun muncul dan berubah sesuai dengan
perubahan corak pemikiran dari lingkungan tempat nilai tersebut
muncul. Barat berpandangan bahwa nilai sebagai produk
rasionalitas individu-individu, tetapi jika nilai berada dalam
konteks sosial dan budaya, maka nilai diartikan sebagai konsensus
bersama sekelompok manusia.
Oleh karena itu, pandangan barat tentang karakter merupakan
kancah pertarungan pemikiran antara definisi dan ideologi yang tak
pernah henti sejak zaman yunani hingga hari ini. Hal tersebut di
karenakan hilangnya kepercayaan masyarakat barat terhadap
kepemimpinan gereja.40
Oleh karena itu tolak ukur pendidikan karakter dalam
pandangan barat hanya dilakukan melalui rasio dan pengalaman
indra manusia, hal ini di sebabkan sekularisasi dalam kehidupan.
Masyarakat Barat mengira bahwa nilai-nilai agama merupakan
kejadian subjektif yang dirasakan oleh masing-masing individu dan
tidak bersifat menyeluruh, maka konsep karakter dalam pandangan
barat terus berubah sesuai dengan tuntutan zaman dikarenakan
ketiadaan nilai yang tetap yang bersumber dari wahyu yang
mengatur kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan moralitas.
Perkembangan nilai-nilai karakter dalam peradaban barat sesuai
dengan pandangan masyarakat terhadap agama, ilmu, hakikat
manusia dan kehidupan itu sendiri. Perkembangan tersebut
menunjukkan bahwa barat tidak pernah berhenti merancang nilai-
nilai yang dianggap baik untuk kehidupan bermasyarakat.
Dari pemaparan di atas dapat kita mengerti bahwa model
pendidikan karakter di barat sebagaimana yang telah dikembangkan
oleh Thomas Lickona tidaklah holistik karena nilai yang diterapkan
bersifat relative dan sumber nilai tersebut tidaklah berasal dari hal
yang absolut tetapi berasal dari hasil pemikiran manusia.
39
Steven Hitlin Dan Stephen Vaisey, Hand Book Of The Sociologi Of Morality (New York: Springer, 2010), 126.
40 Syed Muhammad Naquib al- Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC),
1993), 16.
42
Maka penulis menyimpulakan bahawa model pendidikan
karakter di Barat sebagaimana yang dikembangkan oleh Thomas
Lickona bersifat relative yang cendrung kepada hasil pemikiran
manusia.
D. Urgensi dan Manfaat Pendidikan Karakter
Di dalam diri manusia terdapat dua potensi yang ditanamkan
oleh Allah Yang Maha Esa yaitu fujur dan taqwa, hal tersebut
sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Quran surat al-Shams ayat 8-
10.
(8) فالهمها فجىرها و تقىاها
Artinya: maka telah ditanamkan dalam diri manusia itu fujur
(sifat atau prilaku buruk) dan taqwa (kebaikan atau kebenaran).
Keterangan di atas menimbulkan sebuah pertanyaan tentang
mengapa pendidikan karakter mesti diadakan dan dikembangkan di
era modern saat ini padahal sang pencipta telah menganugrahi 2
potensi tersebut dalam diri manusia?. Pada dasarnya pendidikan
karakter di kembangkan karena salah satu bidang pembangunan
nasional yang sangat penting dan menjadi fondasi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu pentingnya
pendidikan karakter karena akan menjadi dasar dalam pembentukan
karekter yang berkualitas dan tidak mengabaikan nilai-nilai sosial
untuk melahirka pribadi yang unggul sehingga memiliki kemampuan
kognitif, afektif dan psikomotorik.
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu
proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan
seimbang pada setiap satuan pendidikan.41
Hal tersebut senada
dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 dan amanah Rasulullah
dalam menyempurnakan akhlak, maka berdasarkan pendapat tersebut
bahwa pendidikan karakter bertujuan membangun dan
mengembangkan karakter peserta didik pada setiap jenjang
pendidikan sehingga dapat mengamalkan nilai-nilai luhur menurut
agama dan berdasarkan amanah Pancasila.
Karakter didirikan melalui suatu tatanan atau prosedur yang
berlandaskan suatu norma yang berlaku di masyarakat agama dan
41
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara,
20012), 9.
43
negara.42
Kemudian karakter dikembangkan melalui tahap
pengetahuan (knowing), perasaan (feeling), pelaksanaan (acting), dan
kebiasaan (habit).43
Hal ini merujuk bahwa karakter tidak terbentuk
secara instan, tatapi harus dilatih secara serius dan berkelanjutan
untuk mendapatkan karakter yang ideal. Oleh karana itu
pengembangan karakter dapat dilaksanakan melalui pendidikan
formal di sekolah maupun pendidkan nonformal seperti keluarga dan
masyarakat.
Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-
nilai karekter kepada peserta didik yang meliputi komponen
kesadaran, pemahaman kepedulian, dan komitmen yang tinggi untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun masyarakat dan bangsa
secara keseluruhan, sehingga menjadi manusia yang sempurna sesuai
kodratnya.44
Hal ini menegaskan bahwa nilai-nilai yang diterapkan
dalam pendidikan karakter untuk membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong
royong, berkembang dinamis, memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi semuanya di jiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah
SWT.
Konsep pendidikan karakter melibatkan transmisi dari nilai-
nilai moral budaya dan inspirasi yang memiliki komitmen untuk
menjalani hidup yang berbudi luhur.45
Pendidikan karakter
mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma mengenai ketaatan kepada
sang pencipta dan perbuatan saling membantu dengan sesama agar
tercipta keharmonisan, kerukunan beragama, kerjasama sebagai
keluarga, teman dan masyarakat.
Pendidikan karakter adalah suatu payung yang menjelaskan
berbagai aspek untuk perkembangan individu, masyarakat dan
negara. Beberapa area dibawah payung meliputi penalaran moral
atau pengembangan kognitif, pembelajaran sosial dan emosional,
pendidikan atau kebajikan moral, pendidikan keterampilan hidup,
pendidikan kesehatan, pencegahan kekerasan, resolusi konflik, dan
42
Elfindri, Pendidikan Karakter Kerangka, Metode dan Aplikasi Untuk Pendidikan dan Profesional (Jakarta: Bandous Media, 2012), 89.
43Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi
(Bandung: Alfabeta, 2012), 38. 44
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, 7. 45
Merle I, Schwartz, Effective Character Education (New York: Mc
Graw-Hill, 2008), 1.
44
filsafat etik moral.46
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik
memahami nilai-nilai prilaku manusia yang tewujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Dikatakan baik suatu negri bukan karena canggihnya
teknologi, kuatnya pertahanan militer, megahnya bangunan, luasnya
kekuasaan dan sejahteranya perekonomian, melainkan pada negeri
tersebut terdapat karakter masyarakat yang mulia yang dimiliki oleh
penduduk negri tersebut.47
Semakin baik karakter yang dimiliki maka
semakin baik pula hasil yang akan diperoleh begitu pula sebaliknya.
Pendidikan karakter tak ubahnya bagaikan garam dalam
masakan, hambar rasanya jika tanpa garam, kurang dan lebihpun
akan terasa tidak enak bahkan akan menyebabkan kerusakan pada
cita rasa dan nilai pada suatu masakan apabila tanpa garam, maka
pemberian garam sangatlah penting dan harus benar dan tepat
sehingga menghasilkan cita rasa yang sempurna. Begitu pula
pendidikan karakter dalam suatu kehidupan adalah suatu yang sangat
diperlukan dalam menciptakan kesejahtraan, ketentraman dan
kemakmuran.
Dalam kehidupan manusia tentunya stabilitas jiwa seseorang
akan mengalami naik turun yang disebabkan oleh berbagai macam
faktor, maka dalam mengatasi hal tersebut tentunya harus memiliki
suatu kepribadain yang kuat, kepribadian yang kuat tidak mungkin
akan muncul dengan sendirinya tanpa pendidikan dan latihan.
Disinilah peran dan fungsi Pendidikan karakter dalam pembesaran
jiwa dan pengayaan kepribadian seseorang dalam menghadapi
kehidupan.48
KH. Hasyim Asyari mengatakan bahwa tidak dikatakan
seseorang itu menjalankan syariat dengan benar, beriman, dan
bertauhid kepada Allah apabila seseorang itu telah beradab atau
memiliki karakter yang mulia. KH. Hasyim menempatkan karakter di
atas segalanya, sebab karakter adalah cermin dari hamba yang
46
Yudi Latief, Menyemai Karakter Bangsa Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (Jakarta: Kompas Media, 2009), 82.
47Thomas Lickona, Character Matters Bagaimana Membantu Anak
Mengembangkan Nilai Yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya.
Terjemah. Juma Abdu Wamaungo, 344. 48
Character Education in Our Public, The Advocate of Peace, Vol. 79,
No. 10 (November, 1917), 290-291.
45
memahami agama dengan benar sehingga terwujudlah dalam prilaku
kehidupan. Karena semua ranah kehidupan membutuhkan akhlak
atau karakter yang mulia baik ranah ‘ubudiah ataupun mu’amalah.
E. Perbedaan Karakter, Akhlak, Moral, Etika, dan Budi Pekerti
Makna karakter dengan akhlak, moral, etika dan budi pekerti
secara sepintas mimiliki definisi yang sama yakni sama-sama
mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Tetapi, terdapat beberapa
perspektif yang mengungkapkan adanya perbedaan antara karakter,
akhlak, etika, budi pekerti dan moral. Sehingga pada sub bab ini
peneliti akan memfokuskan pada pembahasan diskursus dari kelima
objek tersebut.
Karakter menurut F. Ernest Johnson sama halnya dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai salah satu jenis untuk
mencirikan seseorang yang bersumber dari lingkungan dimana ia
tumbuh dan berkembang.49
Menurut Ki Hadjar Dewantara mengutip dari sebuat tesis
karya Muhammad Rustar mengatakan bahwa Karakter adalah budi
pekerti atau watak, pikiran dan tubuh anak. seseorang yang memiliki
kematangan karakter akan dapat mempertimbangkan sesuatu dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu seseorang dapat kita kenal dengan
jelas apabila karakter yang dimilikinya bersifat tetap dan pasti
sehingga dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.50
Karakter menurut Abuddin Nata diartikan sebagai suatu jenis
yang tampak dari sifat nurani manusia yang mempengaruhi seluruh
pikiran dan perbuatannya tanpa rencana atau rekayasa.51
Seperti
kedisiplinan yang dilakukan setiap hari tanpa ada paksaan ataupun
rekayasa dan perbuatan ini menjadi ciri has yang melekat dalam diri
seseorang
Sedangkan menurut Victor Battistich bahwa karakter
diartikan sebagai keterampilan, sikap, motivasi, dan prilaku. Hal ini
menitik beratkan pada pengalihan keterlibatan dari prilaku negatif
yang tidak diinginkan oleh masyarakat menuju prilaku positif,
49
F. Ernest Johnson,‚Character Education‛. The American Journal of Nursing,Vol. 40 (1940). 761
50Muhammd Rustar, Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara
(Jakarta: Universitas Negri Jakarta, 2010), 32. 51
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, 266.
46
seperti kemauan berbuat yang terbaik dan dapat mengontrol diri
dalam hal apapun.52
Seorang psikolog asal chicago E. Frank Francis mengatakan
bahwa Karakter adalah ungkapan sikap individu terhadap dirinya
sendiri dan terhadap orang lain dalam mendapatkan hak-hak mereka,
kepentingan mereka, dan kesejahteraan mereka. Sikappada dasarnya
adalah cerminan dari kebutuhan individu dalam memperoleh
kepuasan hidup dimanapun mereka berada.53
beberapa pendapat dari para ahli di atas, dapat disimpulakan
bahwa karakter adalah suatu kebiasaan yang mencirikan seseorang
yang teraplikasikan dalam pikiran dan perbuatannya tanpa
memerlukan suatu rencana atau rekayaasa dalam bertindak pada
kehidupan sehari-hari baik karakter terpuji maupun karakter buruk.
Setelah membahas pengertian karakter, juga perlu membahas
pengertian tentang moral. Menurut Franz Magnis Suseno
menerangkan bahwa arti moral selalu merujuk pada baik dan buruk.
Ranah moral adalah ranah kehidupan manusia. Yang menjadi tolak
ukur betul-salahnya sikap dan perbuatan manusia yang ditentukan
oleh norma-norma moral. sehingga yang menjadi borometer dalam
aspek moral adalah apakah manusia itu baik atau buruk.54
Hal ini
dikuatkan oleh Abuddin Nata bahwa istilah moral adalah suatu hal
yang digunakan untuk menjadi batasan-batasan dari suatu ucapan
dan perbautan yang secara layak dengan tolak ukur baik atau buruk
pada adat-istiadat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat.55
Bahkan Ratna Megawangi membedakan antara karakter dan moral
bagaikan pohon dan ranting. Ratna menyatakan bahwa moral adalah
sesuatu pengetahuan yang mengacu pada hal baik dan buruk,
sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung
dipengaruhi oleh otak.56
Setelah kita mengetahui istilah karakter dan moral, peneliti
perlu menguraikan istilah akhlak agar dapat membedakan dua istilah
sebelumnya. Sehingga penelitian ini dapat dipahami dengan tepat.
52
Victor Battistich, ‚Character Education, prevention and Positive
Youth Development,‛ www.character.org. Diakses pada tanggal 21 juli 2016. 53
E. Frank Francis, ‚Fundamentals of Character Education‛.Chicago Journals The School Review, Vol. 70 (2013), 345-357.
54 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 18-20. 55
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, 78 56
Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter: Isu-Isu Permasalahan Bangsa (Jakarta: Lembaga Penerbit Feui, 2007), 83.
47
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti karakter,
sifat, atau disposisi. Sedangkan kata akhlaq tidak ditemukan dalam
Qur'an yang ada hanyalah khuluq digunakan dua kali seperti yang
terdapat pada surat ke-26:137 dan 68:4.
Artinya: (agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang
dahulu. (QS. Ashuara: 137)
Artinya: dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung. (QS. Al-Qalam: 4)
dalam arti disposisi atau kebiasaan masa lalu dan karakter.
Kualitas etika yang dibahas di dalam Al-Qur'an untuk menekankan
pentingnya menjalani hidup yang saleh.57
Para tokoh pendidikan Islam masa lalu telah merumuskan
konsep akhlak secara komprehensif. Ibrahim Anis dan Ibnu
miskawaih yang dikutip oleh Abuddin Nata misalnya,
mendefinisikan akhlak sebagai suatu perbuatan yang dilakukan
dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang
didorong oleh sifat yang tertanam dari dalam jiwanya.58
Menurut Muhammad Bin S}alih al-Utsman bahwa akhlak
adalah prilaku alami yang dikaruniai Allah kepada hambanya, karena
akhlak yang bersifat alami akan menjadi perangai dan kebiasaan bagi
seseorang sehingga tidak berlebih-lebihan dalam membiasakannya
dan tidak membutukkan tenaga dalam menghadirkannya. Utsman
menambahkan akhlak dapat juga berupa sifat yang mesti diusahakan
baik melalui pembelajaran maupun dari lingkungan untuk
membentuk pribadi yang baik dengan Allah maupun dengan
makhluk.59
57
Ibrahim Kalin, ‚Akhla>k‛. The Oxford Engcyclopedia of the Islamic World, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e1125, di akses
pada tanggal 17 juni 2016. 58
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, 3. 59
Muhammad Bin S}alih al-Utsman, Budi Pekerti Yang Mulia. terjemah,
Abu Musa al-Atsari (Maktabah Abu Salma, 2008), 8.
48
Adapun etika adalah ilmu yang membahas tentang amal
perbuatan manusia yang dapat dinilai baik dan buruk melalui rasio
atau akal pikiran.60
Sedangkan budi pekerti yang juga sering disebut tata krama
adalah prilaku kehidupan baik kepada tuhan maupun kepada
makhluknya.61
Budi pekerti bersumber dari adat istiadat dimana
seseorang tinggal.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa akhlak,
moral, karakter, etika, dan budi pekerti memili kesamaan secara
etimologi yaitu menjadikan kebaikan atau keburukan sebagai
barometer prilaku atau perbuatan.
Sementara perbedaan dari kelima objek tersebu terletak pada
sumber yang menjadi barometer baik dan buruk. Pertama pada
akhlak yang menjadi sumber sebagai tolak ukur baik dan buruk
bersumber dari al-quraan dan hadis. Kedua sumber dari barometer
etika adalah rasionalitas atau akal pikiran. Ketiga moral dan budi
pekerti berkaca pada adat kebiasaan umum di masyarakat. Keempat sedangkan karakter adalah suatu watak atau sifat khas yang ada
dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang bersumber dari
agama, budaya dan akal pikiran.
F>. Strategi dan Pendekatan Pendidikan Karakter
Dalam suatu pendidikan yang baik senantiasa memperhatikan
bagaiman cara untuk mendidik yang baik dan efektif. Tentu hal ini
tidak terlepas dari srategi dan pendekatan yang tepat demi
terciptanya kegiatan belajar mengajar yang kondusif dan tercapainya
tujuan pendidikan tersebut. Demikian pula dengan pendidikan
karakter harus memiliki strategi dan pendekatan yang tepat agar
tercapai tujuan yang diinginkan.
Strategi dan pendekatan pendidikan karakter merupakan suatu
cara yang digunakan dalam menetapkan langkah-langkah utama
dalam pendidikan karakter agar dapat efektif diterapkan disuatu
lingkungan baik pendidikan maupun non-pendidikan dan untuk
mencapai suatu tujuan pendidikan karakter yang diharapkan.
Menurut Fitri bahwa strategi pendidikan karakter dapat
menggunakan empat bentuk integrasi, yaitu: integrasi dalam mata
60
Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih (Malang: Aditya Media, 2010), 58.
61 Hadi Wardoyo, Moral Dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1990),
35.
49
pelajaran, integrasi melalui pembelajaran tematis, integrasi melalui
pembiasaan, dan integrasi melalui kegiatan ekstra kurikuler.62
Pertama, integrasi dalam mata pelajaran. Hal tersebut dapat
dikembangkan melalui kurikulum, kurikulum yang dimaksud adalah
meliputi silabus dan RPP yang memuat nilai-nilai pendidikan
karakter. Adapun penerapan nilai-nilai pendidikan karakter bisa
melalui ceramah, diskusi, Tanya jawab ataupun penugasan.
Kedua, integrasi melalui pembelajaran tematis yaitu pendekatan
pembelajaran melalui kombinasi (penggabungan) antara kompetensi
dasar dan indikator dari beberapa mata pelajaran yang dibentuk
menjadi satu kesatuan. Misal, dalam penerapan rasa hormat,
tanggung jawab, komunikatif, dan percaya diri, seorang guru bisa
memberikan reward atau pujian terhadap usaha yang telah dilakukan
dan mendapat jawaban dari sebuah permasalahan yang ditugaskan.
Ketiga, integrasi melalui pembiasaan. Hal ini dapat dilakukan
dengan berbagai latihan-latihan (tugas) dan tauladan (contoh) dalam
pendidikan karakter. Missal, dalam penanaman nilai-nilai religiusitas
seorang guru dapa mengawali KBM dengan salam dan doa dan dalam
menumbuhkan nilai-nilai tanggung jawab, cinta ilmu, rasa ingin
tahu, kerja keras, disiplin, komunikatif, dan kreatif seorang guru bisa
memberikan pertanyaan-pertanyaan dari materi sebelumnya hal ini
bisa berlangsung baik sebelum maupun setelah KBM. Adapun
latihan-latihan bisa berupa tugas kelompok, hal ini dapat
membangun sikap kerja sama, tanggung jawab dan kasih saying.
Keempat, integrasi melalui ekstra kurikuler. Peserta didik
diberikan kesempatan untuk mengembangkan kognitif, afektif dan
psikomotorik lebih lanjut melalui sumber-sumber dan kegiatan di
luar KBM. Strategi ini dapat dilakukan melalui kegiatan
kepramukaan, karya ilmiah, palang merah, olah raga ataupun
outbond. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menumbuhkan nilai-nilai
pendidikan karakter selain pengetahuan mengenai karakter yang
baik, peserta didik pun telah diajak dalam melakukan pembiasaan
karena nilai-nilai yang dikembangkan dari kegiatan ekstra kurikuler
terimplikasikan dalam kehidupan nyata.
Jika mengacu pada pandangan fitri mengenai strategi
pendidikan karakter yang telah penulis jelaskan di atas, maka bisa
menjadi panduan dalam pendidikan karakter yang efektif dengan
menggunakan empat bentuk integrasi di atas.
62
Agus Zaenul Fitri, Reinventing Human Character: Pendidikan Karakter Berbsis Nilai Dan Etika Di Sekolah (Jogjakarta: Al-Ruzz Media, 2012), 86.
50
BAB III
KH. HASYIM ASY’ARI: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN Pada bab terdahulu peneliti telah menjelaskan tentang teori
pendidikan karakter sebagai alat untuk menganalisis pada bab III ini.
sedangkan pada bab ini peneliti akan menerangkan tentang objek
penelitian terkait dengan pendidikan karakter yang terdapat pada kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asyari. Tetapi sebelum
masuk pada pokok pembahasan peneliti mencoba menerangkan secara singkat
latar belakang penulis kitab tersebut agar nantinya dapat mempermudah
menganalisa kitab secara komprehensif.
A. Biografi KH. Hasyim Asyari
1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asyari
KH. Hasyim Asy’ari diberi nama oleh orang tuanya yaitu
Muhammad Hasyim dan lahir di pondok Nggedang, sebelah timur
Jombang pada hari selasa kliwon 24 Dhu al-qo’dah 1287 H atau
bertepatan dengan 10 April 1875 M. Sedangkan Asy’ari adalah nama
ayahnya yang berasal dari Demak dan juga pendiri pesantren di
Jombang. Sedangkan ibunya Halimah merupakan putri dari Kyai
Usman dan Layyinah (seorang putri kyai sikhah pendiri Pesantren
Tambak beras Jombang pendiri). Kyai Usman merupakan pengasuh
dari Pesantren Nggedang diakhir abad ke-19 M. KH di Jombang.1
Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sebelas bersaudara.
Diantaranya yaitu Nafi’ah, Ahmad Sholeh, Radi’ah, Hassan, Anis,
Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. KH. Hasyim
merupakan seorang ulama keturunan kerajaan Majapahit dan Demak
di jelaskan bahwa salah seorang putra Lembu Peteng (Brawijaya ke-
VI) yaitu Joko Tingkir atau Mas Karebet memiliki putra bernama
pangeran Benowo (Hadi Wijaya) dan Pangeran Benowo memiliki
Putra bernama Pangeran Sambo kemudian memiliki putra bernama
Ahmad dan Ahmad memiliki putra bernama Abdul Jabbar dan Jabbar
memiliki putra bernama Sikhah 2
Pada tahun 1892 M. Bertepatan dengan usia KH. Hasyim yang
ke-21 tahun, dilangsungkanlah pernikahkan antara KH. Hasyim
dengan putri Kyai Ya’kub Siwalan yaitu Khadijah. Setelah beberapa
bulan dari pernikahannya dengan Khadijah, beliau bersama istri dan
mertuanya berangkat menunaikan ibadah haji dan menetap di
1 Luthiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama (Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2008), 16. 2 Ridjaluddin, Peranan KH. Hasyim Asyari Dalam Kebangkitan Islam
Di Indonesia, 8.
51
Makkah. Belum sampai 7 bulan di kota Makkah al-Mukarramah
Khadijah melahirkan anak laki-laki dan diberi nama Abdullah.
Setelah melahirkan anak yang pertama khadijah menderita sakit
keras yang berujung pada kematian. Setelah beberapa hari dari
wafatnya khadijah kemudian disusul putranya yang baru berusia 40
hari meninggal dunia. Setelah itu, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke
tanah air. Pada tahun 1893 dan beliau kembali ke Hijaz bersama
Anis, adiknya yang tak lama kemudian juga meninggal di kota
Makkah al-Mukarramah.3
KH. Hasyim Asy’ari Semasa hidupnya telah menikah dengan
keturunan kyai, dengan demikian KH. Hasyim dapat terus
melestarikan hubungan atara berbagai lembaga pesantren. Di antara
mereka adalah pertama Khadijah, putri Kyai Ya’kub dari Pesantren
Siwalan, dan memiliki putra bernama Abdullah kemudian meninggal
di Mekkah sewaktu masih bayi. Kedua Nafisah, putri Kyai Romli
dari Pesantren Kemuring, Kediri. Ketiga Nafiqoh, yaitu putri Kyai
Ilyas dari Pesantren Sewulan Madiun, dari pernikahan ini KH.
Hasyim dikarunian 10 anak, yaitu: Hannah, Khairiah, Aisyah, Azzah,
Abdul Wahid Hasyim, Abdul Hakim (Abdul Khaliq), Abdul Karim,
Ubaidillah, Mashurah dan Muhammad Yusuf Hasyim. Keempat Masruroh, putri Kyai Hasan, pemimpin Pesantren Kapurejo, Kediri,
dan memiliki 4 anak bernama Khadijah, Fatimah Abdul Kadir dan
Ya’kub.4
KH. Hasyim adalah ulama yang sangat dihormati oleh ulama
Nusantara dan disegani oleh belanda dan jepang di abad ke-20 karena
kealimannya. Sebagai ilustrasi dari pengakuan gurunya yaitu Kyai
Khalil Bangkalan yang menunjukkan rasa hormat kepada KH.
Hasyim. Dimasa hidupnya Kyai Khalil sering mengikuti pengajian-
pengajian yang diadakan KH. Hasyim dan menganggapnya sebagai
guru dan menjulukinya ‚Hadrah al-Shykh‛ yang berarti ‚Maha Guru‛. Tidak hanya gelar yang didapat dari gurunya, bahkan KH.
Hasyim dianugrahi bintang jasa tahun 1973 oleh belanda.5
Kiprahnya tidak hanya di dunia pesantren, KH. Hasyim ikut
berjuang dalam membela negara. Pertama KH. Hasyim menyerukan
perlawanan dengan mengatakan bahwa perang melawan belanda
3 Ishomudin Hadziq , KH. Hasyim Asy’ari: figur Ulama dan Pejuang
Sejati (Jombang: Pustaka Warisan Islam Tebuireng, 2007), 24. 4 Lathiful Khuluk, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim
Asyari (Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2000), 21. 5 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta:
LP3ES, 1996), 249-250.
52
adalah jihad dan memberikan ultimatum kepada seluruh muslim
disegala penjuru nussantara yaitu hubbul wat}an min al-i>man,
sehingga atas seruan itulah belanda kerepotan dalam megatasi
perlawanan yang terjadi dimana-mana. Kedua mengeluarkan fatwa
tertulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh kementerian secara
luas bahwa haram hukumnya melakukan perjalanan haji dengan
menggunakan kapal. Bahkan menjelang akhir hidupnya, Bung Tomo
dan panglima besar Jendral Soedirman kerap berkunjung ke
Tebuireng meminta nasehat beliau perihal perjuangan mengusir
penjajah.6
Pada tangga l7 Ramadhan 1366 H / 25 juli 1947 M KH. Hasyim
Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya karena diserang
pendarahan otak dan dimakamkan di Pondok Tebuireng Jombang.
Dimasa hidupnya beliau mempunyai peran yang besar dalam dunia
pendidikan, khususnya di lingkungan pesantren, baik dari segi ilmu
maupun garis keturunan. Sedangkan dalam perjuangannya dalam
rangka merebut kemerdekaan melawan Belanda, Jepang dan Inggris.
KH. Hasyim sangat gigih dan mempunyai semangat pantang
menyerah dalam membela bangsa dan negara sehingga beliau diakui
sebagai seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan
dikeluarkannya SK Presiden: Kepres No. 294/TK/1964 tanggal 17
November 1964.7
2. Riwayat Pendidikan KH. Hasyim Asyari
Latar belakang pendidikan KH. Hasyim Asy’ari adalah dari
keluarga pesantren. Pendidikan KH. Hasyim bermula dari
pendidikan yang diberikan oleh ayah dan kakeknya yaitu kyai
Usman. Bakat dan kecerdasan beliau telah nampak sejak dalam
bimbingan dari keduanya, Karena kecerdasan dan ketekunannya
tersebut di usia 13 tahun dibawah bimbingan ayahnya, KH. Hasyim
dapat mempelajari ilmu tauhid, fiqh, hukum Islam, B. Arab, tafsir
dan hadith dengan baik. Bahkan di usia yang sangat muda KH.
Hasyim mampu mengajarkan ilmu yang diperolehnya kepada orang
lain. Dengan ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, KH.
6 Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdatul Ulama
(Sala: Jatayu Sala, 1985), 58-59. 7 Ridjaluddin, Peranan KH. Hasyim Asyari dalam Kebangkitan Islam
di Indonesia, 110-116.
53
Hasyim telah mampu membantu ayahnya mengajar para santri
yang jauh lebih tua dari padanya.8
Pada usia 15 tahun timbul keinginan untuk berkelana dalam
menuntut ilmu. KH. Hasyim mulai berkelana mencari pengetahuan
agama Islam ke beberapa pesantren, diantaranya Pesantren
Wonokoyo-Probolingga, Pesantren Langitan-Tuban, Pesantren
Trenggilis-Semarang, Pesantren Kademangan Bangkalan Madura
dan Pesantren Siwalan Panji-Sidoarjo Jawa Timur. Di Bangkalan
KH. Hasyim belajar tata bahasa, sastra Arab, fiqh dan sufisme dari
Kyai Khalil selama 3 bulan. Sedangkan di Siwalan pada tahun
1891, KH. Hasyim lebih memfokuskan pada bidang fiqh selama 2
tahun, dengan Kyai Ya’kub.9
Pada tahun 1892, KH. Hasyim melanjutkan pertualangannya
ke Hijaz guna meneruskankan pelajaran. Semula KH. Hasyim
belajar dibawah bimbingan Shykh Mahfuz{ dari Termas, Pacitan.
Shykh Mahfuz adalah ahli hadith, ulama Indonesia pertama yang
mengajar S{ah{ih{ Bukhari di Makkah. Sehingga KH. Hasyim Asy’ari
mendapat ijazah untuk mengajar S{ah{ih{ Bukhari dari Shykh Mahfuz
yang merupakan pewaris terakhir dari 23 generasi terakhir.
Dibawah bimbingannya, KH. Hasyim juga belajar Tarekat
Qadariyah dan Naqshabandiyah. Shykh Mahfuz{ memperoleh
Ajaran tersebut dari Shykh Nawawi dan Shykh Sambas. Maka,
Shykh Mahfudz adalah ulama yang menghubungkan Shykh
Nawawi dari Banten dan Shykh Ahmad Khatib Sambas dengan
KH. Hasyim. Kita dapat mengetahui Pengaruh tersebut dalam
pemikiran KH. Hasyim yang terdapat dalam karya-karyanya.10
Dari riwayat lain menjelaskan, bahwa selain dari guru yang
telah di sebutkan di atas, beliaupun pernah belajar dengan Shykh
Shata, Shykh Dagistani, Shykh Ahmad Amin Al-Atthar, Shykh
Ibrahim Arab, Shykh Sayid Yamani, Shykh Rahmaullah, Shykh
S>>}aleh Bafad{al, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-
Saqaf, dan Sayyid Husain Al-Habshi.11
Tetapi dari sekian banyak
8 Badiatul Razikin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (yogyakarta: e-
Nusantara, 2009), 246. 9 Ridjaluddin, Peranan KH. Hasyim Asyari dalam Kebangkitan Islam
di Indonesia, 18. 10
Imran Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang:Kalimasada Press, 1983), 71.
11 Lathiful Khuluk, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim
Asyari, 34.
54
guru yang telah ditempunya, hanya satu yang paling mempengaruhi
pola pikir KH. Hasyim Asyari yaitu Shykh Mahfuz{.
B. Pemikiran KH. Hasyim Asyari Menurut ‘Abd al-Mu’idh Khan bahwa pengungkapan ide-ide
madhhab akan dapat mempengaruhi pemikiran dalam pendidikan.12
Termasuk konstruksi pemikiran seorang ulama dalam menghasilkan
sebuah karya dalam berbagai bidang keilmuan. Jika kita telaah dari
latar belakang pendidikan KH. Hasyim Asyari Sebagai ulama kaliber
internasional yang hidup dimasa penjajahan dan kemerdekaan bahwa
proses pendidikan yang beliau tempuh dari berbagai pesantren di
Jawa hingga akhirnya di kota Suci Makkah menyimpulkan bahwa
pola pemikiran beliau sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam
Syafi’i, Imam Ghazali dan Imam Bukhari sebagaimana yang telah
penulis terangkan pada pembahasan tentang latar belakang
pendidikan karakter. Sehingga hal tersebut memberikan corak
tersendiri dalam mempengaruhi pemikiran dan pandangan yang
mewarnai kehidupan KH. Hasyim Asy’ari.
Selama perjalanan dalam mencari ilmu bertahun tahun ke
berbagai tempat dan guru membuat KH. Hasyim Asyari semakin
matang dalam keilmuan yang dibuktikan dengan berbagai macam
karya tulis. Sebagai seorang penulis yang produktif, KH. Hasyim
Asyari banyak mencurahkannya kedalam bahasa Arab, terutama
dalam bidang pendidikan, tasawuf, fiqih, aqidah, dan hadits.
Sebagian kitab-kitabnya masih dikaji di berbagai pesantren, terutama
pesantren klasik dan dikalangan kader NU.
Karya KH. Hasyim Asyari dapat kita jumpai di took buku
ataupun di perpustakaan kantor pusat PBNU yang telah
didokumentasikan menjadi satu buku yang berjudul Irsha>d al-sa>ri’ oleh KH. Muahammad Ishomudin Hadziq cucu dari KH. Hasyim
Asya’ri. Adapun karya tersebut adalah sebagai berikut:13
12
Abd al-Mudh Khan dalam Affandi Mochtar, Tesis, (Montreal:
McGill University,1993), 9-10. 13
Muahammad Ishomudin Hadziq adalah cucu KH. Hasyim Asyari
dari putri beliau, khadijah hasyim – Muhammad Hadzik Mahbub. Gus Ishom
lahir di kediri 18 Juli 1965 M. Lihat Muahammad Ishomudin Hadziq,
Kumpulan Kitab Karya KH. Hasyim Asyari (Tebuireng Jombang: Pustaka
Warisan Islam), 1.
55
a. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim kitab ini berisi tentang
karakter pelajar dan pengajar dalam memperoleh ilmu dan
menjaga keilmuannya. Kitab ini banyak dipengaruhi oleh tradisi
pendidikan Islam klasik.
b. Kitab Risa>lah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama>’ah Fi> Baya>ni al-Musammah Bi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama>’ah adalah kitab yang
menjadi rujukan dalam mengetahui ahl al-sunnah wa al-jama’ah,
sehingga kita dapat membedakan antara sunnah dan bid’ah.
Dalam kitab ini juga menerangkan tentang tanda-tanda akhir
zaman.
c. Kitab al-Tibya>n Fi> al-Nahyi ‘An Muqa>t}a’ah al-Arh}a>m Wa al-Ikhwa>n merupakan kumpulan beberapa pikiran KH. Hasyim
tentang pentingnya menjalin hubungan s}ilah al-rohim dengan
sesama dan bahayanya memutus s}ilah al-rohim.
d. Kitab Al-Nu>r al-Mubi>n Fi> Mah}abbah said al-Mursali>n merupakan
kitab yang menerangkan tentang rasa cinta kepada nabi
Muhammad SAW, dalam kitab tersebut juga terdapat biografi
dan akhlaq nabi Muhammad SAW. e. Kitab Ziya>dah al-Ta’li>qa>t ‘ala> Manz}u>mah al-Shaikh ‘Abd Allah
Ya>si>n al-Fashuruwan yaitu kitab yang berisi tentang perdebatan
KH. Hasyim dengan Abdullah Bin Yasin Pasuruan mengenai
beberapa hal yang berkembang pada masa itu. f. Kitab Tanbi>hat al-Wa>jiba>t Liman Yas}na’ al-Maulud bi Al-
Munkara>t merupakan kitab yang menerangkan tentang peringatan
maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan
buruk dan dosa.
g. Kitab D}au al-Mis}ba>h} Fi> Baya>n Ah}ka>m al-Nika>h adalah kitab yang
menerangkan tentang pernikahan mulai dari aspek hukum, syarat,
rukun, sampai kepada hak-hak dalam pernikahan.
h. Kitab Awd}ah} al-Baya>n Fi>ma> yata’alaq Bi Waz}a>if Ramad}a>n kitab
yang berisi kumpulan hadith tentang Romadhan, yang
menganjurkan para pembacanya agar bersungguh-sungguh dalam
menjalankan hukum-hukum dalam ramadhan dan mendapatkan
keutamaan-keutamaan di dalamnya. i. Kitab Irsha>d al-Mu’mini>n Ila> si>rah said al-Mursali>n adalah
ringkasan tentang perjalanan nabi Muhammad SAW, sahabat,
ta>biin dan s}alih}in. j. Kitab Al-Mana>sik al-S}agra Li Qa>s}id Um al-Qura adalah kitab
yang menerangkan tentang manasik haji dan umrah. k. Kitab Ja>mi’ah al-Maqa>s}id Fi Baya>n Maba>di al-Tauhi>d Wa al-Fiqh
Wa al-Tas}awuf Li al-Muri>d, kitab ini berisi tentang dasar-dasar
56
tauhid, fiqih dan tasawuf bagi Mukallaf untuk mencapai
ma’rifatullah. l. Kitab Risa>lah Tusamma Bi al-Ja>su>s Fi> Baya>ni ah}ka>m al-Na>qu>s
kitab yang berisi tentang hukum memukul kentongan pada waktu
masuk waktu s}alat.
m. Kitab Risa>lah Fi> Jawa>z al-Taqli>d kitab ini menerangkan tentang
bolehnya bertaqlid.
n. Kitab Tamyi>z al-Haqq Min al-Ba>t}il kitab ini menerangkan
tentang perbedaan antara haq dan bat}il.
C. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim: Struktur Konten dan Nilai
Pendidikan Karakter pengertian A<da>b yang diambil dari Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa
Al-Muta’allim memiliki makna khusu daripada penggunaan kata
akhlaq. Jika kita telusuri kata A<da>b dalam beberapa kamus bahwa
kata A<da>b jama’ dari adabun artinya pendidikan atau ilmu
pengetahuan. Sedangkan adabun berasal dari kata addaba-yuaddibu- ta’di>ban yang memiliki arti: membuatkan makanan, mendidik akhlak
yang baik, sopan santun dan tatacara pelaksanaan sesuatu yang
baik.14
seperti dalam hadith nabi
أدبني ربي فأحسن تأدبي
Artinya: tuhanku mendidikku dengan sebaik-baik pendidikan.15
Kata A<da>b bisa berarti doa, undangan, budi pekerti mulia dan segala
proses pembentukan nilai-nilai kebaikan dalam melahirkan manusia-
manusia bermoral baik ucapan maupun tindakan.
Konsep kata adab mulai mengalami perkembangan diabad 9M
yang dipergunakan dalam makna sastra, hal ini dapat kita lihat pada
putra Khalifah yang diberi gelar al-adib yang berarti sastrawan,
berilmu dan berkarakter mulia.16
14
Munarji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004), 5. 15
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa hadith tersebut maknanya benar
tetapi tidak diketahui sanad yang jelas. Sehingga Ibnu Taimiyah
menyimpulkan bahwa hadith tersebut d}a’i>f. lihat Taqi al-Di>n Abu> al-Qiba>s
Ahmad Ain ‘Abd al-H{ali>m Bin ‘Abd al-Sala>m Bin ‘Abd Allah Bin Abi> al-
Qa>sim Bin Muhammad Ibnu Taymiyyah al-H}ara>ni> al-H}anbali al-Damashqi>,
Ah{a>di>th al-Qis}a>s} (Bairu>t: al-Maktab al-Islami>, 1408H/1988M), 78. 16
Abu al-‘Abbas ‘Abdullah Bin al-Mu’taz merupakan salah satu
keturunan Harun al-Rashid dimasa daulah Abasyiah yang di beri gelar ‘al-adi>b’karena kecintaannya terhadap sastra. Diantra karyanya adalah t{abaqah al-
57
Dari penjelasan di atas dapat kita mengerti bahwa kata adab
mengandung arti yang sangat luas yaitu tatakrama, pendidikan,
sastra, budi pekerti, doa dan undangan.
Kemudian apa filosofi kata a>da>b yang merupakan jama’ dari
adabun yang terdapat dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim
karya KH. Hasyim Asyari dan mengapa Dalam kitab adab KH.
Hasyim menggunakan kata adab dari pada ahklaq padahal dalam al-
quran hanya menggunakan kata khuluq jama’ dari akhlaq dari pada
adab. Pertama kata adab diambil dari sebuah hadith yang
diriwayatkan oleh A’isyah tentang hak anak atas orang tuanya yaitu
mendapatkan nama yang baik, mendapatkan susuan yang baik dan
pendidikan tatakrama yang baik. Hal inilah yang menjadi landasan
dalam penggunaan kataa a>da>b yang mengambil dari hadits di atas
poin ketiga yaitu pendidikan tatakrama yang baik sehingga kata a>da>b
dalam kitab tersebut bertujuan mendidik dan proses dalam
pembentukan pribadi yang baik berbeda halnya dengan akhlaq yang
mengandung arti perangai atau gambaran batin manusia sebagaimana
yang telah peneliti jelaskan pada bab II.
Kedua Peneliti mengamati bahwa pembahasan dalam kitab ini
hanya seputar tatakrama yang mengandung perbuatan tidak wajib
tetapi anjuran yang mesti di lakukan dalam pembentukan karakter,
contoh dalam kitab ini menganjurkan hendaknya seseorang
mensucikan diri dengan berwudhu sebelum belajar atau mengajar, hal
ini tidaklah berdosa apabila ditinggalkan karena bukanlah suatu
kewajiban yang mesti dilakukan berbeda dengan kata karakter yang
merupakan suatu perbuatan yang harus dilakukan apabila tidak
dikerjakan maka akan mendapatkan sangsi dari Allah seperti
larangan membantah perintah orang tua, berbuat baik pada kedua
orang tua merupakan kewajiban yang mesti dilakukan karena ini
merupakan karakter mulia sedangkan cara untuk melakukan kebaikan
itulah disebut adab. Hal inilah yang menjadi dasar dalam penempatan
kata adab daripada akhlak. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim adalah salah satu karya monumental KH. Hasyim dalam bidang
pendidikan karakter. Kitab A<da>b selesai disusun pada hari minggu
tanggal 22 Jumad Al-Tsa>ni tahun 1343 H/1922 M.17
Kitab ini
menjelaskan tentang karakter pelajar dan pengajar yang baik secara
detail, belajar dan mengajar merupakan suatu cara dalam membentuk
shu’ara, al-badi’ dan fus{ul al-tama>thil. Lihat Nur Ahmad Fadhil Lubis,
Ensiklopedia Tematik Dunia Islam (Bandung: Mizan, 2004), 101. 17
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 101.
58
atau mengkader generasi agar menjadi manusia yang berkarakter
mulia. Pemikiran KH. Hasyim yang dituangkan dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim sudah banyak membentuk karakter para
peserta didiknya menjadi ulama yang bermoral tinggi.18
Kitab
tersebut berisi aturan-aturan praktis yang berpegang teguh pada
agama dan adat istiadat.
KH. Hasyim adalah putra bangsa Indonesia, tetapai dalam
penulisan karyanya menggunakan bahasa Arab fus}hah dengan baik.
Pembahasan kitab A<da>b diawali dengan mengutip ayat al-quran dan
hadith kemudian dijelaskan dengan singkat padat dan jelas. Sehingga
para pengkaji kitab tersebut tidak merasa jenuh dan bosan karena apa
yang dilakukannya dijadikan sebagai ibadah untuk mendapatkan rid}a
Allah SWT.
Secara keseluruhan kitab A<da>b berisi tiga komponen, yaitu:
pertama fad}ilah atau keutamaan pelajar, pengajar serta belajar atau
ta’lim baik dalam bentuk halaqah maupun di sekolah, kedua karakter
pelajar, dan ketiga karakter pengajar. Dari ketiga komponen tersebut
terpecah menjadi delapan bab, Dari delapan bab yang terdapat dalam
kitab tersebut mengandung nilai-nilai dalam pembentukan karakter
yang mulia yang menjadi bekal hidup. hal itulah yang bisa
mengantarkan para pengkajinya menjadi manusia yang bermoral. Isi
kitab tersebut diantaranya:
Pada bab 1 di jelaskan tentang keutamaan ulama, majlis ta’lim
dan orang yang menuntut ilmu, begitu pula ancaman-ancaman bagi
mereka yang menjual ilmunya untuk dunia, Seperti ancaman bagi
ulama dan penuntut ilmu yang mengharapkan dunia dari ilmunya
tersebut mereka akan ditempatkan di neraka, sebaliknya jika niatnya
karena Allah maka kedudukan mereka lebih tinggi dari pada
malaikat.19
Penjelasan dalam kitab A<da>b senantiasa diawali dan
diakhiri dengan dalil yang dikutib dari Al-quran maupun Hadits
bersanat mutawatir terutama dalam bab ini.
Sedangkan pada bab 2 sampai 4 menerangkan karakter pelajar.
Karakter pelajar dalam kitab tersebut menggunakan istilah a>da>b al muta’allim. Kata al-muta’allim berasal dari kata ta’allama yata’allamu muta’alimun yang berarti orang yang sedang belajar atau
menuntut ilmu. Maka kata pelajar disini bersifat umum baik pelajar
dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua. Diantara
karakter tersebut antara lain:
18
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2011), 88. 19
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 23.
59
1. Karakter pelajar terhadap diri sendiri.
Ada beberapa poin penting yang mesti dimiliki oleh seorang
pelajar dalam menuntut ilmu, poin tersebut adalah sebagai berikut
(a) Mensucikan hati, pikiran dan perbuatan dari segala dosa. (b)
Meluruskan niat dalam menuntut ilmu semata-mata hanya
mengharpkan rid}a Allah SWT. (c) Bersegera tanpa menunda-
nunda dalam menuntut ilmu. (d) Sabar dalam segala kondisi dan
cobaan. Sebagai pelajar hendaknya dapat menerima apa adanya
baik makan, pakaian, dan tempat yang dimiliki dengan berbekal
sifat sabar, sehingga pelajar dapat leluasa mencari ilmu
sebagaiman yng telah dikatakan oleh imam asyafi’i ‚barang siapa
yang tidak pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu, maka ia
tidak akan pernah merasakan manisnya kehidupan‛. (e) Dapat
mengatur waktu dengan baik. Pelajar sebaiknya dapat memeneg
waktu dengan sebaik mungkin. Kitab ini menyarankan bahwa
waktu yang baik untuk menghafal adalah diwaktu sahur, Di pagi
hari untuk berdiskusi dan disiang hari untuk menulis, sedangkan
di waktu malam untuk mengulang pelajaran. Adapun tempat yang
disarankan adalah tempat yang bersih dan tidak membuat kita
lalai. (f ) Tidak berlebihan dalam makan dan minum. (g) Bersikap
wara dalam kehidupan. (g) Menghindari makanan dan minuman
yang dapat menyebabkan kemalasan dan kelemahan, misalnya
sesuatu yang asam dan kecut yang dapat menimbulkan banyak
dahak. (h) Mengurangi waktu tidur. (i) Meninggalkan perbuatan
dan perkataan yang sia-sia.20
Poin di atas menerangkan bahwa para pelajar hendaknya
memperhatikan kualitas jasmani dan rohani agar dapat maksimal
dalam menuntut ilmu. Sehingga ilmu yang diperoleh
mendapatkan rid}a dari Allah SWT.
Dengan kebersihan jasmani dan perbuatan yang dapat
menghias diri, pintu hati akan terbuka untuk menerima ilmu.
Sebagaimana pepatah mengatakan akal yang sehat terdapat dalam
raga yang sehat.
2. Karakter pelajar terhadap guru.
KH. Hasyim mengajarkan Dalam menggapai barakah ilmu,
seorang pelajar mesti memperhatikan beberapa hal, antara lain;(a)
Mencari informasi tentang kepribadian dan keilmuan dan selektif
20
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 24-28.
60
dalam mencari guru. (b) Memastikan guru tersebut memiliki ilmu
shariah yang sempurna. (c) Mematuhi segala perintah guru. (d)
Memandang guru dengan tatapan yang baik. (e) Mengetahui hak
dan keutamaan guru serta mendoakan semasa hidup maupun
setelah wafatnya. (f) Bersabar terhadap sifat kasar guru. (g)
Tidak memasuki tempat tinggal guru tanpa seizinnya, baik dalam
keadaan sendiri maupun dengan orang lain. (h) Duduk dengan
sopan apabila berhadapan dengan guru. (i) Bertutur kata yang
baik dimanapun dan kapanpun. (j) Mendengarkan dengan serius
disetiap pengajian yang diadakannya. (k) Tidak memotong
penjelasan guru baik ketika guru sedang menerangkan maupun
menjawab pertanyaan. (l) Memberi dengan tangan kanan ketika
menyerahkan sesuatu kepada guru.21
Pada poin di atas mendidik para santri agar benar-benar
serius dalam mencari, bersyukur dan bertatakrama dengan baik
terhadap para pengajar baik tua maupun muda, baik sepi maupun
ramai dan baik guru masih hidup maupun telah wafat. Semakin
baik perangai santri atau siswa maka akan semakin terlihat
kedalaman ilmu para santri atau siswa tersebut.
3. karakter pelajar terhadap ilmu
Penghormatan terhadap ilmu baik dari kitab, majalah, guru
atau referensi lainnya merupakan pendidikan karakter yang baik
agar tertanam dalam hati suatu sifat dalam menjaga ilmu dari apa
yang telah diperoleh. Dengan pemeliharaan tersebut, ilmu akan
berkembang dan bermanfaat di dunia dan akhirat. Adapun
karakter yang terdapat dalamm kitab a>da>b al-‘alim wa al-muta’allim antara lain; (a) Mendahului pelajaran yang bersifat
fard}u ‘ain. (b) Takut dalam menghukumi suatu perkara yang
masih dalam perselisihan antara ulama dan masyarakat. (c)
Memperbaiki bacaan yang telah dipelajari sebelum dihafalkan. (d)
Besegera dalam mempelajari ilmu seolah-olah hanya memiliki
waktu yang sempit. (e) Meringkas penjelasan guru dan menandai
pelajaran yang masih sulit dan hal yang penting dari penjelannya.
(f) Mengucapkan salam sebelum memasuki majlis. (g)
Tidak malu
menanyakan pelajaran yang belum dimengerti. (h) Tidak berebut
dalam bertanya. (i) Mengulang pelajaran yang telah diajarkan
21
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 29-43.
61
secara terus-menerus. (j) Memotivasi diri agar senantiasa sukses
dalam belajar. 22
Demikianlah karakter yang mesti dimiliki pelajar.
Selanjutnya pada bab 5 sampai 8 menerangkan tentang karakter
guru atau pengajar. Istilah karakter pengajar dalam kitab tersebut
menggunakan kata a>da>b al mu’allim. Kata al mu’allim berasal
dari kata ’allama yu’allimu mualimun yang berarti orang yang
sedang mengajar atau kita sebut dengan kata guru, ustadh, dosen,
maupun syakh. Pengajar dalam kitab tersebut tidak ditentukan
dari faktor usia, keturunan, maupun asal daerah. Hal yang
terpenting bagi pengajar adalah mampu dan menguasai ilmu yang
digelutinya. Adapun karakter pengajar terdiri dari empat hal
diantaranya:
4. Karakter pengajar terhadap dirinya sendiri
Adapun karakter yang mesti dimiliki oleh seorang guru
yang terdapat dalam kitab a<da>b, antara lain; (a) Senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam segala hal. (b) Selalu
takut kepada Allah dalam segala keadaan. (c) Selalu tenang dalam
segala kondisi dan situasi. (d) Selalu berhati-hati dalam perbuatan
dan perkataan. (e) Selalu rendah hati kepada siapapun. (f)
Selalu
berpedoman dengan hukum Allah. (g) Tidak menjual keilmuan
yang dimiliki untuk mencari materi. (h) Tidak merasa rendah
dihadapan para pemuja dunia dan tidak mengagung-agungkannya.
(i) Zuhud dalam kehidupan duniawi. (j)
Menghindari pekerjaan
yang dianggap hina oleh Shariah Islamiyah. (k) Menjauhkan
tempat-tempat yang mendatangkan fitnah. (l)
Senantiasa
menjalankan sunnah Rasulullah. (m) Istiqomah dalam berdhikir
kepada Allah dan membaca Al-quran. (n) Senantiasa besikap
ramah, riang dan menebar salam. (o) Menghiasi jiwa dan raganya
dengan akhlak al-karimah. (p) Senantiasa meningkatkan ilmu dan
amal dengan kesungguhan hati, ijtihad, mut}alaah, mudhakarah, membuat catatan kecil, dan diskusi. (q) Tidak merasa segan
mengambil ilmu dari orang lain tanpa memandang status. (r)
Meluangkan waktu untuk menulis dan mengarang kitab.23
Seorang pengajar tentunya memiliki ilmu minimal materi
yang diajarkan. Sebagai orang yang berilmu memiliki kewajiban
untuk menjaga ilmu yang dimilikinya agar melekat erat. Orang
22
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 43-55. 23
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 55-71.
62
yang menjaga ilmunya akan mencerminkan kepribadian yang
mulia sebagaimana yang telah disebutkan pada 18 poin di atas.
18 poin di atas menyimpulkna bahwa seorang pengajar
senantiasa meningkatkan kompetensi kepribadian.
5. Karakter pengajar dalam mengajar
a. Sebagai panutan para pelajar hendanya seorang guru
senantiasa memperhatikan beberapa hal, dalam kitab a<da>b KH.
Menjelaskan hal apa saja yang mesti dilakukan oleh seorang guru,
antara lain; (a) Senantiasa dalam mengajar berniat untuk
mendapatkan rid}a Allah. (b) Senantiasa menyucikan diri dari
hadath sebelum berlangsungnya kegiatan belajar mengajar . (c)
Memakai pakayan yang rapih dan menggunakan wangi-wangian.
(d) Berdoa sebelum berangkat mengajar dan senantiasa
melantunkan dhikir sampai ketempat mengajar. (e) Menjaga diri
dari segala hal yang dapat mengurangi kewibawaan dan
menggunakan bahasa yang santun. (f) Tidak mengajar saat murid
haus, lapar, dingin, panas berlebihan. (g) Menciptakan suasana
yang kondusif. (h) Demokratis atas semua pertanyaan yang belum
diketahui. (i) Mengulangi pelajaran jika ada anak yang tertinggal.
(j) Senantiasa seorang guru setiap akan memulai pelajaran dengan
mendahului dan mengakhirinya dengan salam. 24
Karakter pengajar dalam mengajar yang diajarkan dalam
kitab ini bersifat peningkatan kompetensi sosial artinya seorang
pengajar mampu memahami kondisi peserta didik dan dapat
mendidik para siswa sampai bisa.
6. Karakter seorang guru terhadap murid-muridnya
Sedangkan pendidikan karakter pengajar terhadap pelajar
dalam kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim lebih bersifat
dedukatif-demokratif artinya pengajar sangata mengedepankan
perkembangan peserta didik mulai dari memberikan suritauladan
hingga pada praktek pembelajaran.
Sedangkan pengembangan kompetensi pada poin ini berupa
penggabungan antara kompetensi kepribadian dan kompetensi
sosial maksudnya adalah pengajar lebih mengedepankan perangai
yang baik dan cara bersosialisasi dengan peserta didik. Adapun
karakter tersebut antara lain; (a) Senantiasa seorang guru dalam
menjalankan profesi yang tugas utamanya adalah memberikan
24
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 71-80.
63
pengajaran dan pendidikan kepada anak didik mempunyai niat
dan tujuan yang luhur, yakni demi mencari ridho Allah SWT,
mengamalkan ilmu pengetahuan, menghidupkan (melestarikan)
syariat Islam, menjelaskan sesuatu yang hak dan yang batil,
menyejahterakan kehidupan (sumber daya) umat, serta demi
meraih pahala dan berkah ilmu pengetahuan. (b) Tidak
menghalangi hak seseorang murid untuk menuntut ilmu, karena
niat yang kurang tulus. Dalam hal ini sebaiknya guru bersikap
sabar dan tidak padam semangatnya dalam memberikan
pengajaran kepada mereka. Karena bagaimanapun juga suatu niat
memerlukan proses. Niat yang tulus dalam belajar sering kali
akan segera mereka dapatkan melalui unsur barakah ilmu
pengetahuan yang terus-menerus dipelajari dan diajarkan. (c)
Mencintai peserta didik sebagaiman mencintai dirinya sendiri. (d)
Mengajarkan pelajaran dengan penjelasan yang mudah dipahami
sesui dengan kemampuan peserta didik. (e) Bersungguh-sunggu
dalam mengajar. (f) Senantiasa mengingatkan peserta didik untuk
selalu mengulang-ulang pelajaran yang telah disampaikan di luar
jam pelajaran. (g) Memberikan rukhs}ah kepada peserta didik yang
sering terlambat karena tempat tinggal yang jauh. (h) Senantiasa
adil dalam memerlakukan peserta didik dalam segala hal. (i)
Senantiasa menyayangi dan memperhatikan perserta didik. (j)
Senantiasa memberikan suritauladan yang baik. (k) Senantiasa
membantu dan meringankan beban peserta didik jika mampu. (l)
Senantiasa tawad}u dihadapan peserta didik. (m) Memperlakukan
peserta didik dengan sebaik mungkin. (n) Pendidik
memperhatikan kehadiran atau apsensi siswa.25
7. Karakter seorang guru dalam menggunakan referensi dan alat-alat
yang digunakan dalam belajar dan mengajar
Sebagai seorang pengajar hendaknya memperhatikan empat
hal berikut ini. (a) Menganjurkan peserta didik untuk memiliki
buku pelajaran yang diajarkan. Apabila tidak mampu memberi,
hendaknya dapat meminjam kepada temannya. (b) Meletakkan
buku pada tempat yang terhormat, dengan memperhitungkan
keagungan kitab dan ketinggian keilmuan penyusunnya. (c)
Senantiasa teliti dalam membeli ataupun meminjam buku. (d)
Setiap menyalin buku hendaknya bersuci dari segala hadas,
25
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 81-95.
64
mengawalinya dengan basmalah dan mengakhiri dengan
hamdalah.26
Dari empat poin di atas bahwa kitab ini mengajarkan
kepada pengajar dalam bersikap terhadap kitab atau referensi
seharusnya pertama seorang pelajar senantia membawa alat dalam
belajar, karena pelajar bagaikan petani yang ingin menanam
bagaiman mungkin seorang petani dapat menanam tanpa adanya
alat kemungkinan kecil sekali untuk bisa melakukannya,
begitupula pelajar jika tanpa buku sulit untuk memperoleh ilmu.
Kedua seorang mengajar senantiasa memuliakan kitabnya bukan
berarti ia harus sujud atau memuja-mujanya tetapi senantiasa
menjaga dan meletakkannya pada tempat yang baik dan suci
dengan demikian pengajar telah memuliakan pengarang kitab
tersebut.
Dari keterangan di atas jika kita Tarik kesimpulan bahwa
karakter pengajar terhadap kitabnya menunjukkan pengajar
meningkatkan kompetensi pedagogi artinya sebelum proses
belajar mengajar ia sangat memperhatikan pra pembelajaran
dengan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
Deskripsi pendidikan karakter di atas merupakan suatu
kaderisasi dalam pembentukan karekter bagi para pengkaji kitab
tersebut. Pendidikan dan kaderisasi yang diajarkan dalam kitab
a<da>b diawali dengan pujian dan hadiah bagi para pengajar dan
pelajar, hal ini menstimulus seseorang agar dapat menjaga diri
dari perbuatan tercela sehingga yang muncul dalam kehidupan
hanyalah karakter mulia. Kemudian dilanjutkan dengan hal apa
yang mesti dilakukan oleh pelajar yang akan mewarisi ilmu dan
dunia, dijawab dengan KH. Hasyim yang terdapat pada bab 5,
yaitu dengan dicontohkan oleh guru sebagai penyampai ilmu.
Karena KH. Hasyim berpesan, hendaknya sebelum menuntut ilmu
dianjurkan agar mencari guru yang benar-benar pintar dalam ilmu
agama dan berkarakter mulia.
D. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Ditinjau dari Kaca Mata
Sejarah
Tidak dapat dipungkiri bahwa karakter merupakan nilai yang
sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya karakter,
manusia akan mempunyai kedudukan yang sama dengan hewan.
Tidak ada lagi moral dan perilaku yang akan membimbing manusia
26
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 95-101.
65
menjadi makhluk yang mulia. Kemulyaan manusia pada dasarnya
ditentukan oleh adanya karakter yang menjadi pembeda mereka
dengan yang lainnya. Terbentuknya karakter manusia pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang menjadi penentu yang
utama dalam mempengaruhi karakter.27
Lingkungan tersebut dapat
berasal dari keluarga, pergaulan serta lembaga pendidikan.
Kajian tentang karakter pada mulanya tidak menjadi
pembahasan yang menarik dalam dunia pendidikan. Kalangan
akademisi sejak masa klasik hingga modern secara umum
menganggap bahwa karakter tidak mempunyai kedudukan yang
penting dalam dunia pendidikan. Paradigma yang demikian
kemudian menyebabkan bahwa prestasi belajar adalah lebih penting
daripada menanggulangi karakter yang bukan tanggung jawab dari
lembaga pendidikan.28
Tentu tidak semua tokoh pendidikan
mempunyai pandangan yang demikian. Masih terdapat beberapa
tokoh pendidikan yang mempunyai kepedulian terhadap
perkembangan karakter dalam sistem dunia pendidikan. Mereka
umumnya berasal dari kalangan agamawan yang dikenal taat dalam
menjalankan perintah Tuhan. Diantaranya adalah KH. Hasyim
Asy’ari yang mempunyai kepedulian yang cukup besar dalam
perosalan karakter pada dunia pendidikan.
Sebagai ulama yang menaruh perhatian yang sangat besar dalam
dunia pendidikan karakter. KH. Hasyim Asy’ari berksimpulan bahwa
pendidikan tidak hanya membentuk manusia yang mempunyai
kompetensi akademik yang khusus dalam pengembangan aspek
intelektual semata. Pendidikan yang hanya mementingkan aspek
pengetahuan tidak akan membentuk masyarakat yang baik dalam
sebuah tatanan kehidupan di masyarakat. Penyimpangan terhadap
budaya dan agama akan dianggap sebagai hal yang biasa ketika
seseorang tidak lagi mementingkan aspek karakter.29
Banyaknya kemerosotan moral yang terjadi di masyarakat
menyebabkan KH. Hasyim Asy’ari tergugah untuk menyusun sebuah
kitab yang beliau harapkan dapat dijadikan pedoman dalam dunia
pendidikan. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim yang dalam
27
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai; Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan Yang Bercerai (Bandung: Alfabeta, 2008), 101.
28 Nurani Soyomukti, Teori-Teori Pendidikan dari Tradisional, Liberal,
Marxis-Sosial, hingga Postmodern (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), 137. 29
Rohinah M. Noor, KH Hasyim Asya’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, 26-27.
66
kacamata sejarah telah mewarnai kajian keilmuan Islam di
Nusantara. Beliau menyusun kitab ini karena memandang bahwa
karakter merupakan sesuatu yang sangat utama dalam kehidupan
manusia. Karena karakter adalah pondasi utama yang memberikan
distingsi antara manusia dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
Manusia yang dibekali kelebihan berupa akal dan pikiran serta hati
nurani hendaknya mempunyai karakter yang terpuji. Menanggapi hal
yang demikian KH. Hasyim Asy’ari memandang bahwa karakter
harus senantiasa menghiasi kehidupan manusia. Tanpa adanya
karakter yang baik, maka manusia akan mempunyai derajat yang
sama dengan binatang.
Ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan harus senantiasa
mengedepankan karakter. Dengan kata lain, tujuan pendidikan harus
mencapai kondisi yang serasi antara karakter dan juga pengetahuan.
Sehingga melahirkan generasi-generasi yang berilmu pengetahuan
dan juga bermoral seperti peneliti jelaskan pada bab sebelumnya.
Sebab menurut pandangan Islam, tujuan utama pendidikan adalah
menciptakan manusia yang berwawasan luas dan juga berkarakter
mulia. Orientasi yang demikian dilandasi oleh nilai-nilai yang
bersumber dari al-Qur’an dan hadis. Pendidikan Islam senantiasa
berupaya untuk menciptakan manusia yang mempunyai karakter
mulia kepada sang pencipta, sesama dan juga makhluk Allah yang
lainnya.30
Pendidikan harus mencakup seluruh instrumen secara holistik
bagi pembentukan karakter anak didik. Islam sebagai agama yang
rahmatan li al-‘a>lami>n senantiasa memberikan motivasi kepada anak
didiknya untuk mempunyai karakter yang baik. Tujuan akhir dari
pendidikan Islam terletak pada perilaku yang tunduk dengan
sempurna kepada Allah secara pribadi maupun kepada sesama
manusia secara sosial.31
Namun sangat disayangkan ketika banyak
dunia pendidikan yang mengesampingkan tentang pentingnya
karakter.
Kondisi tersebut terjadi di berbagai lingkungan, termasuk dalam
lingkungan dimana KH. Hasyim Asy’ari berdomisili. KH. Hasyim
Asy’ari melihat kondisi masyarakat pada waktu itu masih diwarnai
dengan berbagai macam tindakan yang tidak bermoral sehingga
daerah tersebut dijuluki tebuireng yang artinya bahwa daerah
30
Achmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), 28. 31
Haidar Putra daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2013 ), 153.
67
penghasil tebu dengan kondisi sosial yang buruk perangainya.32
Sebagai seorang ulama yang mempunyai keinginan besar dalam
memperbaiki dunia pendidikan. Beliau termotivasi untuk menyusun
sebuah risalah yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam dunia
pendidikan.
Komponen-komponen utama dalam dunia pendidikan adalah
sistem yang berjalan secara komprehensif antara pendidik peserta
didik, materi pelajaran, metode dalam mendidik dan juga evaluasi
yang memberikan penilaian dalam perkembangan setiap peserta
didik. Penilian ini berlaku dalam berbagai macam aspek, termasuk
dalam segi moral atau sopan santun kepada orang lain.33
Kesadaran KH. Hasyim Asy’ari kemudian melahirkan sebuah
karya yang monumental dengan nama kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim yang mempunyai esensi tentang korelasi antara dunia
pendidikan dan karakter. Karena pentingnya kitab ini, banyak
lembaga pesantren yang mengkaji tentang kitab tersebut. Secara
garis besar, aspek utama yang dikaji oleh kitab ini adalah tentang
corak praktis yang dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan
dengan bersumber pada al-Qur'an dan hadis. Kecenderungan beliau
yang lain adalah mengetengahkan nilai-nilai yang bermuatan sufistik
yang dapat diterapkan secara aplikatif.34
Seorang murid harus terbebas dari sesuatu yang bersifat
keduniawian semata. Motivasi yang salah dalam dunia pendidikan
agar melahirkan generasi-generasi yang hanya mengejar kepentingan
duniawi semata. Pendidikan Islam secara sederhana memuat tentang
panduan-panduan yang dapat dijadikan pelajaran bagi anak didik
dalam menuntut ilmu pengetahuan. Meskipun sulit untuk
menerapkan semuanya. Setidaknya anak didik harus mengamalkan
konsep-konsep yang bersumber dari al-Qur’an dan juga hadis.
Islam memandang bahwa ilmu pengetahuan akan sangat
menentukan tinggi rendahnya derajat seseorang.35
Manusia dapat
mencapai derajat yang sempurna ketika dihiasi dengan karakter yang
mulia. Oleh karena itulah, sebagai ulama Nusantara KH. Hasyim
Asy’ari memandang bahwa pendidikan yang diterapkan di Indonesia
harus berjalan seiringan antara agama Islam dan nilai-nilai lokal yang
32
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 4 No. 1, Maret 2003, 21.
33 Syaodih Nana Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Prakte (Bandung: Remaja Rosda Krya, 2001), 3. 34
Lihat bab IV hal. 101 35
QS. Al-Mujaddilah: 11.
68
terkandung di dalamnya. Pendidikan berfungsi sebagai fasilitator
yang akan memberikan support dalam mengembangkan kemampuan
belajar anak didik. Sehingga setiap potensi yang dimiliki oleh para
siswa akan mampu dikembangkan di kemudian hari.
Tanggung jawab moral dalam pendidikan merupakan aspek yang
terpenting dalam merancang dan merencanakan anak didik sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan. KH.
Hasyim Asy’ari memandang bahwa pendidikan mempunyai
tanggung jawab yang demikian. Tatanan kehidupan yang baik dapat
dibentuk melalui pendidikan yang komprehensif dan holistik dalam
membentuk moral manusia. Sebagaimana tujuan diutusnya Nabi
Muhmmad Saw adalah untuk menyempurnkan karakter manusia.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ‚sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak manusia‛.
Pendidikan karakter menurut KH. Hasyim Asy’ari sangat
penting sekali dalam membentuk manusia yang baik secara
pengetahuan dan moral. Keinginan membentuk karakter yang baik
bagi peserta didik inilah yang kemudian menggugah hati KH.
Hasyim Asy’ari untuk menulis sebuah kitab yang dapat dijadikan
sebagai rujukan bagi para pelajar. Mengingat pentingnya moral
dalam menjaga manusia dari kerusakan, karakter tercela dan berbagai
macam penyimpangan yang lainnya.
Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim merupakan karya KH.
Hasyim Asy’ari yang memuat tentang konsep dan etika pendidikan
dalam belajar. Kitab ini ditulis sendiri oleh KH. Hasyim Asy’ari
karena diawali oleh kesadaran tentang perlunya literatur yang
membahas tentang etika mencari ilmu pengetahuan. Menurut KH.
Hasyim Asy’ari, menuntut ilmu merupakan pengamalan dari nilai-
nilai agama yang sangat luhur.36
Agama Islam memberikan perhatian yang besar kepada
penganutnya untuk menuntut ilmu pengetahun sebanyak mungkin.
Dalam al-Qur’an maunpun hadis diterangkan tentang keutamaan
orang-orang yang menuntut ilmu pengetahuan. Kedudukan seseorang
dalam konsep agama Islam tidak diukur berdasarkan intensitas
kekyaan materiil. Konsep status seseorang baik dalam pandangan
manusia maupun pencipta ditentukan berdasarkan pengetahuan dan
ketaqwaannya.37
36
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim ,13. 37
QS. Al- Hujarat: 11.
69
Manusia dikatakan sebagai makhluk yang istimewa dan
menempati status yang tinggi ketika mereka mempunyai ketaqwaan
dan pengetahuan yang baik. Namun sebaliknya, mereka akan
menempati derajat yang sangat rendah ketika tidak mempunyai
pengetahuan, ketaqwaan serta perilaku yang baik. Derajat mereka
bahkan lebih rendah bila dibandingkan dengan hewan. Mengingat
manusia dibekali oleh akal pikiran yang dapat mereka gunakan dalam
menjalani kehidupan. Sementara hewan tidak mempunyai akal
pikiran sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Tidak
mengherankan ketika manusia mempunyai moralitas yang rusak,
maka posisi mereka jauh lebih rendah daripada hewan yang tidak
mempunyai akal pikiran.38
Menuntut ilmu adalah pekerjaan yang sangat mulia dalam ajaran
agama Islam. Orang yang menutut ilmu hendaknya mempunyai
tujuan yang baik karena beberapa hal yang tidak boleh bertentangan
dengan ajaran yang disampaikan oleh agama. Tujuannya adalah,
ketika seseorang sudah menguasai pengetahuan. Mereka dapat
menjadi khalifah yang dapat memakmurkan bumi yang diciptakan
oleh Allah SWT.39
Sebagaiman yang disebutkan dalam surat al-
Baqarah ayat 30 sebagai berikut:
Artinya: dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: ‚Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi‛. mereka berkata: ‚mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?‛ Tuhan berfirman:
‚sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.‛ (QS:
al- Baqarah : 30)
38
Sa’id Hawwa, Al-Islam, terj. Abu Ridha dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Cet, Kedua (Jakarta: al-I’tishom, 2002), 22.
39 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006), 138.
70
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia
merupakan makhluk yang diciptakan Allah sebagai pemimpin di
muka bumi. Mereka mempunyai tanggung jawab yang sangat besar
dalam mengelola ciptaan Allah. Tujuan tersebut dapat tercapai
dengan baik ketika antara pengetahuan dan karakter berjalan secara
beriringan dengan mengedepankan nilai-nilai agama Islam yang
memberikan panduan khusus dalam dunia pendidikan.
Nilai-nilai ajaran yang bersumber dari Islam tersebut kemudian
ditransformasikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim yang dikarangnya. Penulisan kitab ini
mempunyai latar belakang historis yang menjadi sebab KH. Hasyim
Asy’ari mengarang kitab tersebut. Kondisi moral masyarakat ketika
itu sangat memprihatinkan dalam perspektif beliau. Masyarakat
tidak lagi mempunyai karakter dan moral yang baik dan
menyebabkan terjadinya kekacauan dimana-mana. Lingkungan di
sekitar pesantren Tebuireng pada waktu itu sangat memprihatinkan
yang disebabkan banyak orang melakukan perbuatan yang
menyimpang. Masyarakat tidak lagi melaksanakan nilai-nilai dan
norma yang berasal dari ajaran agama Islam. Kondisi ini sangat
memprihatinkan sekali bagi KH. Hasyim Asy’ari yang melihat
masyarakat sekitarnya mengalami keterbelakangan moral.40
Fenomena tersebut tidak menjadi hambatan bagi KH. Hasyim
Asy’ari untuk tetap berjuang di jalan Allah dengan menyiarkan
agama Islam terhadap masyarakat sekitarnya. Upaya yang beliau
lakukan kemudian mendirikan pesantren Tebuireng di dekat rumah
beliau. Bagi KH. Hasyim, masyarakat yang melakukan
penyimpangan sosial tidak seharusnya dijauhi atau ditinggalkan.
Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan bimbingan dan
perhatian yang lebih untuk memperbaiki karakternya.41
Tugas seorang ulama seharusnya berdakwah dan menyampaikan
risalah agama kepada orang-orang yang mengalami kerusakan moral.
Konsep ajaran ini pada awalnya dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang
merupakan salah satu di antara Walisongo (sembilan wali) yang
mendakwahkan Islam di pulau Jawa. Dalam dakwahnya, Sunan
Kalijaga mengambil jalan konfrontasi dengan memusuhi orang-
orang yang melakukan perbuatan menyimpang di tengah-tengah
masyarakat. Upaya yang ia lakukan adalah dengan berdakwah di
40
M. Ali Haidar, Profil Pesantren Tebuireng, (Jombang: Pustaka
Tebuireng, 2011), 6-7. 41
M. Ali Haidar, Profil Pesantren Tebuireng, 12.
71
tengah-tengah mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh anggota
Walisongo yang lainnya. Sehingga Islam dapat tersebar dengan cepat
ke seluruh pulau Jawa.42
Ilmu dakwah mempunyai peran yang sangat penting dalam
merubah kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Baik buruknya
perilaku suatu masyarakat sangat ditentukan oleh peran ulama yang
mempunyai tugas dalam memperbaiki moral di tengah-tengah
kehidupan mereka. Oleh karena itulah KH. Hasyim Asy’ari
memandang bahwa ilmu pengetahuan harus berjalan bersamaan
dengan moral dan perilaku peserta didik.43
Sumber pendidikan yang baik dapat dihasilkan dari kitab-kitab
yang baik dan sesuai dengan tuntunan agama Islam. Orang yang
menuntut ilmu harus memperhatikan etika-etika yang mulia selama
mereka belajar. KH. Hasyim Asy’ari menginginkan agar orang-orang
yang menuntut ilmu mempunyai etika yang mulia yang diawali dari
upaya beliau dengan mendirikan pesantren Tebuireng dan mengarang
kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim yang ditujukan kepada
setiap orang yang belajar.
Kitab yang dikarang oleh beliau tersebut pada awalnya
diajarkan di lembaga pendidikan di pesantren Tebuireng yang dikaji
oleh beberapa orang santri. Mengingat pesantren yang beliau dirikan
pada waktu tersebut masih kecil dan hanya dihuni oleh beberapa
orang santri yang berasal dari masyarakat di sekitaran Jombang yang
belajar dari rumah mereka masing-masing.
Seiring dengan perkembangan pesantren Tebuireng yang beliau
asuh. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim kemudian dikaji oleh
beberapa santri yang mulai bertambah banyak dari hari ke hari.
Ketokohan dan figur KH. Hasyim Asy’ari sebagai ulama besar yang
menyebabkan pesantren Tebuireng berkembang dengan pesat dalam
kurun waktu hanya beberapa tahun. Figur KH. Hasyim Asy’ari yang
sangat sederhana, bersahaja dan mudah bergaul dengan berbagai
macam komunitas masyarakat menyebabkan beliau menjadi megnet
yang dapat menarik siapapun.
Ketokohan dan kharisma yang dimiliki oleh KH. Hasyim
Asy’ari tidak serta merta beliau manfaatkan untuk kepentingan
semata. Sebagai seorang yang menaruh perhatian yang sangat besar
dalam dunia pendidikan. Beliau menginginkan agar setiap orang
yang belajar kepada beliau atau kiai manampun dapat menjadi santri
42
Purwadi, Sejarah Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Persada, 2003), 107. 43
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 11.
72
atau peserta didik yang berkarakter Mulia yang membawa manfaat
yang sangat besar di tengah kehidupan.
Karakter dan perilaku adalah nilai yang sangat penting bagi KH.
Hasyim Asy’ari. Dalam pandangan beliau, seseorang yang belajar
harus mempunyai karakter yang baik dan menjadi sumber kebaikan
bagi dirinya dan orang lain. Seorang yang berilmu harus dapat
membimbing manusia lainnya dari perilaku yang dilarang oleh
agama. Oleh karena itulah, santri yang beliau bimbing senantiasa
menjaga moral dan perilaku yang baik.
Santri Tebuireng senantiasa mematuhi pesan dan perintah yang
diberikan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang pengasuh
pesantren, beliau mendidik para santrinya dengan memberikan
keteladah dalam bentuk perkataan yang disertai dengan perbuatan
yang baik. KH. Hasyim dalam pandangan beberapa sejarah Islam
seperti Zamakhsari Dhofier dikenal sebagai figur yang ramah,
disiplin, dan pekerja keras. Beliau menanam padi dan memanen
bersama santri-santrinya di sawah bersama.44
Kiranya kitab yang dikarang oleh beliau ini bersumber dari
pengalaman dan keteladanan yang beliau ajarkan kepada santri-
santrinya. Memberikan pendidikan moral harus disetai dengan moral
yang baik dan dibuktikan dengan perbuatan yang kita lakukan.
Seorang guru harus bisa menjadi panutan dan teladan bagi anak
didiknya. Sikap tersebut yang kemudian membuat KH. Hasyim
Asy’ari dapat menarik hati sebagian besar masyarakat Jombang dan
sekitarnya yang membuat pesantren tersebut berkembang dengan
cepat.45
Langkah tersebut kemudian menyebabkan sebagian besar
masyarakat Jawa Timur menjadi tertarik untuk belajar di pesantren
KH. Hasyim Asy’ari. Keuletan dan ketekunan beliau dalam mendidik
para santrinya menyebabkan ia mempunyai pengaruh yang cukup
besar dalam skala lokal maupun nasional. Sehingga banyak tokoh
politik seperti bung Tomo dan presiden Soekarno senantiasa
meminta nasehat dari beliau. Selain itu, banyak lembaga pesantren
44
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Study Tentang Pandangan Hidup Kiai,
45 Ahmad Baso, K NG H. Agus Sunyoto, Rijal Mumaziq, KH. Hayim
Asy’ari Pengabdian Seorang Kyai untuk Negeri (Jakarta: Musium Kebangkitan
Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017),
57.
73
baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa didirikan oleh santri-santri
dari Tebuireng Jombang.46
Penyebaran santri KH. Hasyim Asy’ari di berbagai daerah
kemudian memberikan dampak terhadap persebaran kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim yang beliau karang dengan tangan sendiri.
Beberapa lembaga pendidikan pesantren di luar Jawa Timur bahkan
banyak yang mengajarkan kitab yang beliau karang tersebut.
Sehingga mereka memadang perlunya kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim sebagai acuan utama bagi santri dalam menuntut ilmu
selama mereka balajar.
KH. Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai seorang ulama yang
memberikan penghormatan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan
dan menekankan pentingnya menuntut ilmu yang didasarkan pada
pertimbangan khusus. Hendaknya seorang yang mencari ilmu
pengetahuan tidak mempunyai niat yang tidak sesuai dengan konsep
ajaran agama Islam yang telah diwariksan oleh para sahabat atau
ulama terdahulu.47
Dalam konsep ajaran Islam ilmu pengetahuan mempunyai
kedudukan yang sangat penting bagi pemeluknya. Mereka
memandang bahwa kedudukan seseorang di tengah-tengah
masyarakat diukur atau ditentukan dengan kadar pengetahuan yang
mereka miliki. Oleh sebab itu, Islam menekankan bahwa ilmu harus
dicapai dengan jalan yang benar dan niat yang sesuai dengan konsep
ajaran yang dikemukakan oleh ajaran Islam.48
Ilmu yang didapat dengan cara yang baik akan memberikan
manfaat yang besar bagi manusia dan juga alam semesta. Sebagai
agama yang rahmatan lil alamin, kedudukan ilmu memaikan peranan
yang sangat penting dalam konsep ajaran agama Islam. Para ulama
terdahulu telah memberikan teladan yang sangat berharga bagi setiap
orang yang ingin mencari ilmu. Tujuan utama mereka menuntut ilmu
bukan karena keinginan untuk mengumpulkan harta benda
sebagaimana yang kita saksikan pada saat ini.49
46
Ahmad Baso, Pesantren Studies 2A (Jakarta: Pustaka Afid, 2012),
201. 47
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim , 24. 48
Ima>n al-Mund{iri>, al-Muntaqa> min Kita>b al-Targhib wa al-Tarhi>b, ter. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, dengan judul Seleksi Hadis-Hadis S.ahi>h Tentang Targhib wa al-Tarhi>b, cet I (Jakarta: Rabbani Press, 1993) 1929-149.
49 Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme, Edisi II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 67.
74
Para pelajar, baik yang berlatar belakang pendidikan umum
maupun agama sejak kecil dicekoki dengan urusan yang bersifat
keduniawian. Latar bekalang inilah yang kemudian membentuk
mindset para generasi dalam menuntut ilmu. Mereka mengangggap
bahwa pencapaian atau keberhasilan dalam menuntut ilmu diukur
dengan sejauh mana mereka mempunyai duniawi. Salah satu
indikator yang menjadi pertimbangan adalah dengan kedudukan yang
ditentukan oleh jenis pekerjaan yang mereka miliki serta jumlah
materi yang telah mereka hasilkan.
Dalam dunia modern, manusia tidak lagi memandang agama
sebagai sesuatu yang bersifat sakral atau penting. Bagi manusia
modern, pencapaian duniawi adalah ukuran terpenting dalam
mengukur pengetahuan. Seseorang dikatakan suksess ketika berhasil
dalam mengumpulkan duniawi. Orientasi yang demikian dalam Islam
tentu bukanlah niat yang sesuai dengan konsep ajaran yang
dikemukakan oleh agama.50
Menurut ajaran agama Islam, tujuan dari seseorang menuntut
ilmu hendaknya karena Allah. Sebab Allah akan memberikan ilmu
pengetahuan kepada orang-orang yang tujuan dalam menuntut
ilmunya sesuai dengan anjuran perintah agama. Sebagai seorang
ulama besar di Nusantara, KH. Hasyim Asyari memandangan
pentingnya niat seseorang dalam menuntut ilmu pengetahuan.51
Mereka tidak boleh salah dalam menuntut ilmu sebagaimana
yang diajarkan oleh agama Islam. Nabi Muhammad Saw bersabda
bahwa segala sesuatu tergantung oleh niatnya. Sebab niat
memainkan peran utama dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh
seseorang. Ketika niat yang baik, maka hasilnya akan baik
sebagaimana orientasi awal yang akan dibangun dalam melaksanakan
setiap kegiatan yang berkelanjutan. Selain itu, niat terpenting bagi
seseorang yang akan menuntu ilmu hendaknya karena ingin
memperjuangkan agama Islam dan menyebarkannya di seluruh
permukaan bumi.
Konsep nilai-nilai dan pesan Islam yang disampaikan kepada
setiap penuntut ilmu tersebut sesuai dengan penjelasan yang
dikemukana oleh KH. Hasyim Asyari dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim. kitab ini memuat panduan-panduan terpenting
bagi para setiap pelajar yang akan menuntut ilmu pengetahuan.
50
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 9.
51 KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim , 15.
75
Termasuk tata krama atau adab yang harus diperhatikan selama
belajar. Mereka hendakanya memperbaiki niat dan menjaga adab
selama belajar kepada para guru mereka.
Karakteristik utama kitab yang dikarang oleh KH Hasyim
Asyari ini pada dasarnya lebih menekankan pentingnya seseorang
yang sedang belajar dan mengajar dalam berkarakter mulia. Mereka
tidak boleh hanya mementingkan potensi akademik yang menjadi
salah satu pencapaian dalam menuntut ilmu. Namun juga memilikiki
karakter khusus terhadap kitab, guru, sesama teman belajar dan juga
yang lainnya.52
Pada dasarnya, konsep yang diajarkan dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim adalah memperbaiki karakter. Bagi seorang
yang berilmu, hendaknya mereka mempunyai karakter dan moral
yang baik ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Eksistensi para
pelajar atau orang yang berilmu harus menjadi pembimbing dalam
kehidupan beragama atau bermasyarakat yang sangat penting.
Keberadaan sekelompok orang yang terpelajar dapat menjaga
masyarakat dari dekadensi moral dan penyimpangan sosial. Mereka
harus mempunyai kecerdasan spiritual dan juga intelektual.
Pengetahuan yang tidak disertai dengan adanya moralitas yang baik
hanya akan menjadi sebab utama perubahan sosial yang menuju pada
arah kerusakan moral dan berbagai macam penyimpangan sosial yang
lainnya.53
Oleh karena itulah dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim ini mengajarkan tentang pentingnya kejujuran bagi setiap
pelajar maupun guru dalam menyampaikan pengetahuan. Ilmu yang
disampaikan secara baik akan detrima dengan baik sebagai sebuah
berkah bagi kehidupan di masa depan. Para penuntut ilmu hendaknya
dapat menampilkan karakter yang terpuji dalam bentuk pengendalian
diri, bersikap ramah dan selalu menjaga kesopanan.
Muatan utama yang terdapat dalam kita ini adalah mengajarkan
para santri atau pelajar agar tidak menjadi manusia yang hanya
mementingkan diri sendiri. Sikap egois yang dimiliki oleh seseorang
hanya akan merugikan orang lain. Mereka menjadikan pengetahuan
hanya sebagai alat untuk mencari keuntungan duniawi semata.
Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim yang berusia hampir
seabad lamanya telah selesai disusun pada hari minggu tanggal 22
52
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim , 105. 53
Wiwik Sumiyarsih, Endah Mujiasih dan Jati Arianti, Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2012), 23.
76
Jumad Al-Tsa>ni tahun 1343 H/1922 M. Karya monumental KH.
Hasyi Asy’ari ini telah memberikan khazanah penting dalam
mewarnai keilmuan ulama Nusantara. Kontribusi penting dari kitab
ini adalah memberikan panduan etika yang harus diamalakan oleh
pendidik maupun peserta didik dengan menanamkan sikap keadilan,
rasa hormat, tanggung jawab, kasih sayang, kesetiaan, empati dan
semangat koperasi. Beberapa komponen tersebut akan penulis bahas
dalam uraian selanjutnya secara komprehensif. Mengingat dalam bab
ini, penulis memberikan gambaran secara historis tentang kitab yang
ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari.54
Dari paparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa KH.
Hasyim asyari adalah ulama yang mempunya perhatian yang sangat
besar terhadap pendidikan karakter yang mulia bagi guru dan murid.
Karena guru adalah tauladan bagi muridnya dan murid adalah
tauladan bagi masyarakat. Sebuah tatanan negara yang baik adalah
masyarakat yang baik dan masyarakat yang baik ditentukan oleh
pendidikan yang baik. Dalam dunia pendidikan hanya ada dua yang
difokuskan yaitu subjek dan objek yang dimaksud disini adalah guru
dan murid.
54
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim 101.
78
BAB IV
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB A<DA>B AL-‘A>LIM WA AL-MUTA’ALLIM DAN RELEVANSINYA
TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
Pada pembahasan kali ini, penulis akan menyajikan tentang nilai-
nilai pendidikan karakter yang tertuang dalam kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim yang dikarang oleh KH. Hasyim Asy’ari yang telah penulis
analisis melalui kajian sebelumnya.
Tidak dapat dipungkiri, nilai merupakan tolok ukur yang dapat
menjadi acuan dalam mengukur perilaku seseorng dalam kehidupan.
Nilai memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Tanpa
adanya nilai, seseorang akan sulit untuk mengukur aspek baik buruk,
pintar tidaknya dan tinggi rendahnya perilaku.1
Seseorang dikatakan mempunyai nilai yang baik dalam dunia
akademik ketika ia mampu untuk mencapai target yang diinginkan oleh
lembaga pendidikan yang bersangkutan. Nilai tersebut diukur dari
kemampuan setiap siswa dalam mengerjakan lembar jawaban yang telah
diberikan oleh guru. Selanjutnya terjadi pemrosesan yang diukur
berdasarkan indikator-indikator tertentu. Penilaian ini biasanya terpusat
pada aspek kognitif berupa kecerdasan dalam memahami setiap mata
pelajaran yang disampaikan oleh guru.
Siswa yang mempunyai kemampuan memahami dengan baik
materi pelajaran yang disampaikan oleh guru akan mendapatkan
penilaian yang baik. Sebab mereka dapat menjawab setiap soal atau
pertanyaan yang diajukan oleh guru dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Kebiasaan yang demikian pada dasarnya berlaku pada lembaga
pendidikan yang hanya mengutamakan kemampuan akademik semata.
Mereka secara umum masih mengenyampingkan pendidikan karakter
yang dapat membentuk perilaku siswa.
Lembaga pendidikan modern seperti sekolah unggulan, mayoritas
lebih mengedepankan aspek yang bersifat kognitif akademis. Siswa
dikatakan mampu memenuhi keinginan sekolah ketika mereka dapat
mengerjakan tugas yang diberikan oleh sekolah tersebut. Lembaga
pendidikan yang demikian secara umum terdapat di berbagai kota-kota
1 Mulyana Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung:
Alfabeta, 2004), 9.
79
besar di Indonesia yang mengutamakan kualitas akademik yang banyak
dibutuhkan didunia kerja.2
Meskipun dengan biaya yang mahal serta dengan banyak kriteria
yang harus dipenuhi oleh siswa dan orang tua. Lembaga pendidikan
modern lebih diminati oleh orang-orang yang secara ekonomi tergolong
dalam masyarakat menengah ke atas. Kelebihan ekonomi yang mereka
mampu tidak menjadi hambatan bagi orang tua dalam menyekolahkan
anaknya kepada lembaga pendidikan modern tersebut. Biaya yang mahal
dalam paradigma mereka tidak menjadi hambatan yang berari.
Kalangan masyarakat modern yang berdomisili di kota-kota besar
di Indonesia memandang bahwa adanya lembaga pendidikan modern
dapat menjadi perantara yang begitu penting bagi keberhasilan anaknya
di masa depan. Dalam pandangan sebagian kalangan orang tua, lembaga
pendidikan modern dapat memenuhi kemampuan skill dan akademik
yang membuat anak-anak mereka dapat dengan mudah diterima di dunia
kerja.3
Adanya cara pandang yang demikian kemudian menyababkan
orang tua mempunyai kepercayaan bahwa keberhasilan seorang anak
hanya ditentukan oleh kemampuan akademik semata. Pola pikir seperti
itu membuat kalangan orang tua lebih mengutamakan aspek kognitif
daripada afekti dan perilaku bagi anak didik mereka.
Fenomena tersebut pada akhirnya menyebabkan generasi penerus
bangsa mengalami keterbelakangan moral dan perilaku lainnya.
Dekadensi merupakan hambatan yang dapat menghalangi
perkembangan suatu bangsa. Moral generasi penerus bangsa yang rusak
disertai dengan berbagai penyimpangan sosial yang lainnya dapat
menjadi penghambat pembangunan suatu bangsa. Kondisi ini terjadi
ketika dunia pendidikan mengenyampingkan nilai-niai pendidikan
karakter.4
Pendidikan karakter dalam dunia barat merupakan penilaian yang
dianggap tidak mempunyai pertimbangan yang sangat penting.
Lembaga pendidikan yang ada di barat pada umumnya hanya
2 Sebagian besar visi sekolah SMK berorientasi pada dunia pekerjaan.
lihat www. kemdikbud.go.id/konten/1/visi-misi-dan-tujuan dan lihat juga
http://www.smkpasundan2bdg.sch.id/visi-misi-sekolah. 3 Soewartoyo. ‚Harapan Orang Tua Terhadap Pendidikan Dan Pekerjaan
Anak‛ Jurnal Kependudukan Dan Kebijakan UGM volume 19 No 2. (Desember
2009), 90. 4 Mochamad Iskarim. ‚Dekadensi Moral di Kalangan Pelajar (Revitalisasi
Strategi PAI dalam Menumbuhkan Moralitas Generasi Bangsa)‛. Jurnal Islamika volume 1, (Desember 2016), 4.
80
mengedepankan kemampuan akademik semata. Aspek moral dan
karakter tidak memainkan peran utama dalam segi penilaian
kemampuan siswa dalam belajar. Murid dianggap mempunyai kualitas
yang baik ketika mereka mampu untuk memahami semua pelajaran yang
diberikan oleh guru. Sebagaimana yang telah dikutip oleh Imam
Barnadib bahwa aliran progresivisme yang diplopori oleh Jhon Dewey
mengatakan bahwa pusat pendidikan adalah pikiran dan kecerdasan
sebagai penentu kemajuan.5
Fenomena pendidikan tersebut sangat berbeda dengan metode
pendidikan yang diaplikasikan dalam sistem pendidikan Islam. Model
pendidikan yang diterapkan dalam sistem pendidikan Islam secara
umum sangat memperhatikan ditengah persoalan karakter atau karakter
anak didiknya. Metode pendidikan secara holistik yang demikian sangat
sesuai dengan pandangan beberapa tokoh seperti Ulil Amri Syafri yang
menekankan tentang pendidikan karakter bagi peserta didik dalam
memadukan nilai-nilai.6
Proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan khususnya
pesantren di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat unik. Peranan
pesantren telah memberikan implikasi yang sangat besar dalam
kontribusinya terhadap dunia pendidikan. Lembaga pendidikan ini pada
mulanya hanya berasal dari langgar atau mushola yang tersebar di
beberapa wilayah di pulau Jawa. Latar belakang serta difusi lembaga
pendidikan pesantren di seluruh Nusantara dapat menjadi acuan yang
sangat penting dalam mengkonstruksi sistem pendidikan yang sesuai
dengan tradisi lokal yang ada. Kearifan yang demikian seharusnya dapat
dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan kurikulum dalam dunia
pendidikan yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari termasuk tokoh yang mempunyai kontribusi
besar dalam mengintegrasikan antara pendidikan karakter dan juga
moral. Ulama yang berasal dari Jombang Jawa Timur tersebut telah
menorehkan sejarah emas dalam pengembangan dalam pengembangan
dan menjaga kearifan lokal yang ada. Konstruksi yang demikian pada
mulanya tercipta dari sikap beliau yang sangat konservatif. Beliau
senantiasa menentang bahkan menolak ide-ide serta gagasan-gagasan
yang berasal dari dunia barat yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia atau agama Islam.7
5 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan (Yogyakarta: Andi
Offset, 1986), 11. 6 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis al-Quran, 110.
7 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asyari Memodernisasi NU & Pendidikan
Islam, 20.
81
Model yang demikian merupakan hasil integrasi antara agama
dengan budaya lokal yang ada. Meskipun demikian, Pesantren telah
menjadi lembaga yang sangat intensif dalam memberikan kontribusi
besar dalam pembentukan karakter. Konteks yang beliau adopsi yang
merupakan bentuk dialektika antara nilai-nilai agama dan budaya.8
Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren-pesantren yang
tersebar di Indonesia kemudian bertransformasi dalam pengembangan
kurikulum. Fakta yang demikian terlihat dari sistem pendidikan yang
telah diberlakukan dengan menginternalisasikan pendidikan umum yang
dikaji dalam dunia pesantren. Transformasi pesantren yang demikian
tentu menuai pro dan kontra di antara para kiai dan juga santri. Evaluasi
selama beberapa waktu dalam dunia pesantren merupakan bentuk
konkrit sebagai opsi atau mekanisme yang diterapkan oleh pesantren
dalam menjawab tantangan zaman. Sebagai contoh masih banyak
pesantren-pesantren lokal yang masih konservatif dan menolak sistem
pendidikan dari barat yang mereka anggap tidak sesuai dengan nilai-
nilai yang berasal dari Islam.9
Menurut pesantren yang demikian pendidikan dari barat tidak
akan menciptakan generasi yang baik. Namun akan melahirkan
manusia-manusia yang tidak mempunyai moralitas dan pada akhirnya
akan menyebabkan kerusakan dalam kehidupan. Sistem pendidikan dari
barat merupakan sistem pendidikan hasil dari orang non muslim
menurut asumsi beberapa pesantren yang masih konservatif. Mereka
senantiasa berpedoman pada nilai-nilai lokal yang diwariskan secara
turun-temurun.10
Adanya kesenjangan yang sangat besar antara pendidikan yang
berlaku di pesantren dengan mengadopsi nilai-nilai lama akan menjadi
hamabatan yang sangat besar dalam sistem pendidikan tersebut. Pada
kasus tertentu, perkembangan sistem pendidikan yang berasal dari dunia
barat tidak akan dapat dihindari. Mengingat globaliasasi yang terjadi
pada saat ini. Kondisi ini tentu akan dihadapkan pada persoalan antara
pengembangan akademik dan dekadensi moral.
Dekadensi moral dalam dunia pendidikan harus menjadi tanggung
jawab semua pihak yang menginginkan terciptanya masyarakat yang
baik. Sebab moralitas generasi muda saat ini sangat memprihatinkan,
8 M. ishom hadzik, mengenal kh. Hasyim asy’ari dan pondok pesantren
tebuireng (jombang: tnp, 2009), 4. 9 Ahmad Muthohar, Idiologi Pendidikan Pesantren: Pesantren Ditengah
Arus Idiologi-Idiologi Pendidikan (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), 100. 10
William F. O’neil, Idiologi-Idiologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), 297.
82
karena banyak yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan niai-
nilai moral yang ada. Adanya penyimpangan yang dilakukan oleh
beberapa orang dapat menjadi sebab terciptanya situasi yang tidak
kondusif sebagaimana yang terjadi pada saat ini. Para pelajar melakukan
tawuran, minuman keras, sex bebas dan sering meresahkan lingkungan
sekitar mereka.
Generasi yang mengalami kerusakan moral tidak akan mampu
diharapkan untuk membangun sebuah negara. Mengingat mental yang
bobrok tidak akan mempunyai tanggung jawab yang baik dalam
melaksanakan amanat berupa jabatan yang telah diberikan oleh rakyat.
Kerusakan moral generasi muda pada awalnya disebabkan oleh tontotan
televisi kemudian dijadikan sebagai tuntunan. Acara yang berlangsung
lebih mengutamakan pada aspek keuntungan materi dari pihak yang
bersangkutan tanpa mempertimbangkan efek buruk yang dapat merusak
generasi bangsa.
Tayangan dalam acara televisi memainkan peranan yang sangat
besar dalam membentuk perilaku dari suatu masyarakat atau generasi
penerus bangsa.11
Para pelajar pada saat ini lebih mementingkan gaya
hidup mewah dan gengsi yang tinggi. Sekolah tidak lagi dipandang
sebagai sarana untuk menambah pengalaman dan pegetahuan. Namun
merupakan sebuah sarana untuk menunjukan eksistensi para pelajara
dengan memamerkan barang-barang mewah yang mereka miliki. Misal,
Orang tua yang mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup tentu
dapat memenuhi keinginan yang diharapkan oleh anak-anak mereka.
Sedangkan orang tua yang tidak mempunyai kelebihan ekonomi akan
mengalami hambatan yang sangat berat dalam memenuhi keinginan
anak-anak mereka. Terkadang diantara mereka menggadaikan barang-
barang yang berharga seperti sawah dan tanah yang menjadi mata
pencaharian mereka.
Gaya hidup mewah yang disertai dengan adanya persaingan
gengsi yang cukup tinggi merupakan dampak terbesar yang ditimbulkan
oleh televisi. Media ini tidak lagi menjadi sarana edukasi dalam
membentuk masyarakat yang baik dengan menyuguhkan tayangan-
tayangan yang mendidik. Acara yang ada dalam televisi pada saat ini
menyuguhkan acara-acara yang tidak mendidik dan dapat membentuk
perilaku yang tidak baik bagi generasi muda.12
11
M. Burhan Bungin. Konstruksi Sosial Media Massa (Jakarta: Kencana,
2008), 188. 12
Subhan Afifi. ‚Tayangan Bermasalah dalam Program AcaraTelevisi di
Indonesia‛. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, nomor 3 (September-Desember
2010), 247.
83
Pengaruh media memang sangat besar dalam merubah perilaku
suatu masyarakat. Sebab media mempunyai andil yang dominan dalam
mempengaruhi gaya hidup dan kepribadian generasi suatu bangsa.13
Oleh karena itu, pemerintah harus selektif dalam memberikan ijin
terhadap tontonan yang sesuai denga kepribadian bangsa Indonesia saat
ini.
Adanya tontonan yang tidak sesuai dengan kepribadian suatu
bangsa akan dapat merusak genarasi penerusnya. Termasuk dalam dunia
pendidikan yang dapat dirusak dengan keberadaan tayangan yang tidak
sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Fenomena yang demikian
bilamana tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Tidak menutup
kemungkinan generasi penerus bangsa tidak akan mampu
melangsungkan cita-cita pembangunan nasional sebagaimana yang
diharapkan oleh founding Suatu bangsa akan mengalami kemajuan yang cukup pesat ketika
warga negaranya mempunyai karakter yang baik. Karakter yang baik
tersebut tercermin dari rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas
dan kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Kondisi yang demikian
akan memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pembangunan
nasional suatu bangsa.
Namun lembaga pendidikan pada masa ini masih jauh dalam
memperhatikan nilai-nilai pendidikan karakter. Mereka tidak lagi
memandang bahwa pendidikan karakter merupakan aset yang berharga
dalam membentuk kualitas manusia yang berbudi luhur dan bertanggung
jawab penuh dalam mengemban tugas dan kewajibannya. Fenomena
yang demikian banyak terjadi pada lembaga pendidikan umum terutama
di sekolah-sekolah. Hanya sedikit sekali lembaga pendidikan yang
memperhatikan dan menaruh perhatian yang sangat besar dalam
pendidikan karakter. Salah satunya adalah pesantren yang memainkan
peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan di negara
kita.
Eksistensi lembaga pendidikan yang terdapat di pesantren
berlangsung dalam waktu yang cukup lama sekali, yakni sejak
penyebaran Islam ke Nusantara, khususnya ke pulau Jawa. Sebelum
adanya pendidikan formal yang digagas oleh pemerintah Hindia
Belanda, pesantren telah memberikan kontribusi yang sangat besar
dalam perkembangan pendidikan di negara kita ini. Konsep pendidikan
13
Madya, Saudah Wok, Narimahismail, Mohd Yususf, Teori-Teori Komunikasi (Kuala Lumpur: Percetakan Cergas, 2004), 104.
84
yang dikembangkan oleh kiai pada dasarnya adalah pembentukan moral
dan karakter seorang santri.
Dalam perpektif lembaga pesantren, aspek moral dan perilaku
menjadi pertimbangan yang sangat penting yang menjadi tolak ukur
bagi seorang santri. Kondisi yang demikian pada dasaranya telah
berlangsung sejak lama. Seorang kiai akan senantiasa memberikan
pendidikan moral dan perilaku untuk seorang santri. Mengaji dan
bekerja keras adalah dua komponen yang tidak terlepas dalam dunia
pesantren. Seorang santri sejak tinggal di pesantren akan diajari sistem
gotong-royong dan tanggung jawab yang penuh atas kewajiban yang
harus mereka laksanakan.
Diantara figur kiai yang sangat dikenal dalam dunia pesantren
adalah KH. Hasyim Asy’ari yang merupaan ulama besar di Nusantara.
Sejak kembali dari Mekkah, beliau kemudian mendirikan pesantren dan
mengajar beberapa orang santri. Dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari,
seorang santri tidak hanya dituntut untuk mengaji semata. Namun ia
mempunyai tanggung jawab sosial ketika terjun di masyarakat dengan
mengamalkan dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang ia dapatkan
selama belajar di pesantren. Termasuk dalam mendidik watak dan
perilaku dari suatu masyarakat.
Tanggung jawab seorang santri menurut KH. Hasyim Asyari
adalah menyebarkan agama Islam dengan menggunakan metode yang
diajarakan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni dengan konsep karakter
mulia.14
Seorang yang mempunyai nilai pendidikan karakter hendaknya
dapat memberikan teladan yang berharga di tengah-tengah masyarakat.
Eksistensi mereka harus menjadi lampu yang dapat menerangi
kegelapan di tengah gelapnya kehidipan.
Sebagimana dalam penjelasan sebelumnya, kitab A<da>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim yang dikarang oleh KH. Hasyim Asy’ari ini pada
dasarnya menjelaskan tentang pendidikan karakter dalam perspektif
beliau. Tentu pendidikan karakter yang dimaksud oleh beliau harus
sesuai dengan konsep yang diajarkan oleh Islam, yakni menciptakan
manusia yang mempunyai karakter mulia dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sumantri nilai yang terkandung
dalam diri manusia lebih memberi dasar pada prinsip karakter yang
menjadi standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati.
Sehingga nilai dapat menjadi rujukan untuk bertindak dan berperilaku.15
14
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim , 60. 15
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, 67.
85
Dalam pandangan Islam, nilai secara eksplisit tercermin dalam
perilaku yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang
mempunyai misi untuk memperbaiki karakter manusia. Dalam hadith
dijelaskan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan karakter.
Mengenai akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ini terdapat
dalam surat Al-ahzab ayat 21 sebagai berikut:
Artinya: sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
(al-Ahzab : 21)
Sebagimana penjelasan di atas nilai pendidikan karakter dalam
kitab yang dikarang oleh KH. Hasyim Asy’ari mempunyai misi untuk
memberikan panduan karakter yang terbagi menjadi dua macam, yakni
ilahiyah dan insaniyah. Konsep pendidikan karakter ini sesuai dengan
penjelasan yang dikemukakan oleh Abdul Majid yang membagi nilai
pendidikan karakter terbagi dua yaitu nilai ila>hi>yah dan nilai insa>ni>yah.
Keduai nilai tersebut mengarahkan akan pentingnya keseimbangan
antara hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan
sesama manusia.
Abdul Majid menambahkan bahwa Kedua hubungan yang
seimbang tersebut akan menciptakan pola yang harmonis antara dunia
dengan akhirat. Sebab dalam konsep Islam hubungan antara dunia dan
akhirat harus berjalan secara beriringan dan tidak boleh
mengesampingkan salah satu diantara kedua hubungan tersebut.
Pendidikan karakter yang demikian akan menciptakan manusia yang
mempunyai nilai-nilai yang luhur dalam kehidupan sehari-hari dalam
berbagai macam aspek. Termasuk dalam aspek pekerjaan yang harus
manusia jalani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.16
Adanya keseimbangan nilai yang diajarkan oleh KH. Hasyim
Asy’ari sangat sesuai dengan konsep yang diajarkan oleh Islam. Beliau
yang dikenal sebagai ulama yang konsisten terhadap agama tentu
memepelajari Islam secara kaffah. Oleh karena itulah beliau tidak segan-
segan menolak ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
bersumber dari agama Islam. Diantaranya adalah ketika pada masa
16
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam,
95.
86
penjajahan di zaman Jepang, Pemimpin Jepang menyuruh KH. Hasyim
Asy’ari untuk membungkukan badan menghadap ke kaisar. Namun
tindakan tersebut ditolak mentah-mentah oleh KH. Hasyim Asy’ari,
meskipun beliau kemudian mendapatkan hukuman yang cukup berat.17
Dimasa ini, sangat sulit sekali menemukan ulama yang
memegang teguh nilai-nilai agama sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau mengajarkan nilai-nilai agama dalam
kitabnya sesuai dengan perkataan dan perbuatan yang ia lakukan, maka
tidak heran ketika santri-santri beliau sangat menaati perintah yang
beliau berikan.
Konsep pendidikan nilai yang demikian seharusnya dapat
ditransmisikan kedalam dunia pendidikan modern yang mengalami
degradasi moral akibat globalisasi dan modernisasi. Menurut Nurcholis
Madjid, modernisasi bukanlah westernisasi dengan meniru gaya hidup
orang barat. Moderniasai adalah rasionalisasi yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Adanya
pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai akan dapat menciptakan
generasi yang religius dan bertanggung jawab serta berkontribusi besar
dalam pembangunan nasional di masa depan.18
Nilai pendidikan karakter dalam pandaangan KH. Hasyim Asy’ari
harus mampu untuk mendekatkan manusia kepada sang pencipta.
Seorang yang belajar harus senantiasa muraqabah kepada Allah untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Tindakan ini harus diikuti dengan etika
yang lainnya seperti khauf/takut kepada Allah, tenang selama belajar,
wira’i, tawadu’, dan khusyu’ kepada Allah.19
Seseorang yang mempelajari pengatahuan hendaknya bersikap
bersahaja dan sederhana. Sebab dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari,
ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan cara yang hedonis tanpa
disertai dengan perjuangan yang berat.20
Karena dalam belajar,
memerlukan upaya yang penuh dengan kesusahan. Proses yang demikian
pada akhirnya akan menumbuhkan karakter yang baik berupa karakter
yang mulia pada anak didik. Sedangkan menuntut ilmu yang tidak di
dasari dengan perjuangan dan proses yang sangat panjang akan
menghasilkan generasi yang tidak berkarakter mulia dan pada akhirnya
tidak memberikan manfaat yang berarti dalam kehidupan. Oleh karena
17
Saifudin Zuhri, Wejangan Hasyim Asya’ari (Jombang: Pustaka Warisan
Islam, 2010), 29. 18
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan Cet. Ke-IV
(Bandung: Mizan, 1997), 18. 19
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim , 60. 20
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim , 25.
87
itulah, dalam pembahasan ini, penulis akan menyampaikan 17 nilai-nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia
sebagaimana penjelasan berikut ini:
A. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim
Pada poin ini peneliti akan menyebutkan nilai-nilai karakter
dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim karya KH. Hasyim
Asyari. Nilai-nilai karakter dalam kitab tersebut merupakan buah
analisis peneliti melalui teori yang telah penulis jelaskan pada bab
sebelumnya. Peneliti menilai dalam kitab tersebut masih terdapat
kekurangan dalam pencantuman sumber-sumber yang dikutib
seperti tidak dituliskan perowi hadis, hal ini dapat melemahkan dan
membingungkan pembaca terhadap kebenaran hadis tersebut.
Begitu pula perkataan sahabat tidak dicantumkan sumbernya yang
dikhawatirkan akan merusak keautentikan kitab. Adapun nilai-nilai
karakter tersebut bisa dalam bentuk larangan, kewajiban maupun
anjuran. Diantara nilai-nilai itu adalah sebagai berikut:
1. Cinta Ilmu
Cinta ilmu dalam pandangan KH. Hasyim As’ari21
dapat
kita lihat dari beberapa dalil yang digunankan, diantaranya:
(11) انجذنح: شفغ هللا انز ايا يكى انز أذا انؼهى دساجاخ
Artinya: Allah akan mengangkat orang-orang beriman dan
berilmu diantara kalian beberapa derajat.
: ي غذا انى انسجذ ال شذ اال ا رؼهى خشا ا لال صهى هللا ػه سهى
ؼه كا ن كاجش حج ذاو
Artinya: barang siapa pergi ke masjid tidak menginginkan
sesuatu kecuali belajar kebaikan atau
mengajarkannya maka baginya mendapatkan pahala
seperti pahala haji yang sempurna.
لال ات انضتش ا اتا تكش كرة ان اا تاػشاق ا ت ػهك تانؼهى, فاك ارا
افرمشخ كا ياال ارا اسرغد كا جاال
21
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 12-22.
88
Artinya: ibnu zubair berkata bahwasanya abu bakar telah
menulis surat padaku sedangkan aku berada di Irak
‚wahai anakku pelajarilah ilmu, karena
sesungguhnya jika engkau menjadi miskin maka
ilmu itu akan menjadi harta benda dan jika kamu
kaya maka ilmu itu akan menjadi perhiasan.
ثه لال اكغ ال ك انشجم ػانا حرى سغ ي اس ي ي ي
ي د
Artinya: imam Waki’ berkata seseorang tidak dikatakan
berilmu sampai dia mau mendengarkan orang yang
lebih tua usianya, setara, atau yang lebih muda.
KH. Hasyim Asyari dalam menumbuhkan benih-benih cinta
kepada ilmu dengan mengutip sumber dari al-Quran, hadis,
perkataan sahabat, dan ulama yang merupakan sumber autentik
yang bisa dijadikan sebagai pedoman hidup dan telah teruji
kebenarannya.
Benih-benih cinta tersebut bisa berupa balasan di dunia
maupun akhirat, misal derajat yang tinggi, pahala haji, menjadi
harta benda dikala miskin, menjadi perhiasan dikala kaya. Dan
bisa juga larangan atau ancaman, seperti jangan bicara telah
berilmu sampai dia mau mendengarkan siapa saja, celaka bagi
orang yang menjual ilmu dalam artian belajar atau mengajar
untuk mencari dunia (harta benda, populeritas atau pengikut
yang banyak). Motivasi-motivasi seperti inilah bagian dari
pendidikan untuk menumbuhkan cinta ilmu.
Mencintai ilmu merupakan sifat karakter yang mulia karena
mereka senantiasa mendawamkan untuk memelihara nilai ilmu
yang ada dalam dirinya dan menjaga bumi ini dari kehancuran
dan kerusakan. Hal ini sebagaimana yang telah diunggkapkan
oleh Rasulullah:
ػ ػثذ انشح ت أت تكشج ػ أت: ػ انث صهى هللا ػه سهى لال: اغذ ػانا
)سا انطثشا( يسرؼا أ يحثا ال ذك انخايسا فرهك أ يرؼها أ
Artinya: dari Abdurrahman bin bakrah dari ayahnya: bahwa
nabi pernah berkata: jadilah orang yang berilmu atau penuntut
ilmu atau pendengar di majelis ta’lim atau pecinta ilmu dan
89
janganlah kamu termasuk golongan yang kelima (tidak sama
sekali dari ke empat tersebut) niscaya kamu akan binasa.22
KH. Hasyim Asyari juga menjelaskan bagaimana seharusnya
tindakan orang yang mencintai ilmu diantaranya selalu
semangat dalam mengembangkan ilmu, mengambil pelajaran
dari siapapun dan dimanapun, menulis dan mendiskusikannya.
Bahkan KH. Hasyim Asyari juga menjelaskan waktu belajar.
Bahwa waktu menghafal sebaiknya diwaktu sebelum subuh tiba
sektitar jam 2.00 hingga jam 4.30, waktu diskusi di waktu pagi,
menulis diwaktu siang dan mengulang hafalan diwaktu malam.
pembagian waktu tersebut sudah banyak diterapkan di
pesantren baik salafi maupun modern dalam rangka
pembentukan kebiasaan yang baik yaitu cinta ilmu.
Ilmu dalam kitab A<da>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim merupakan sumber kehidupan yang sangat penting bagi seorang
manusia. Tanpa adanya ilmu, manusia akan senantiasa hidup
dalam kegelapan dan sangat sulit sekali untuk menjalani
kehidupan. KH. Hasyim Asyari mendefinisikan ilmu sebagai
keamanan, benteng dan petunjuk hal tersebut dapat kita lihat
pada halaman 19.
ايا ي كذ انشطا حشص ي كذ انحسد دنم انؼمم انؼهى Artinya bahwa ilmu adalah penjaga yang memberikan
keamanan dari bujukan shaitan, benteng dari perbuatan dengaki
dan petunjuk untuk akal pikiran.
Peneliti menilai bahwa definisi ilmu yang diberikan
bertujuan untuk menjaga diri dan tidak ada harapan keduniaan.
Dan ilmu adalah hak bagi siapapun yang mau mencarinya. Dan
definisi tersebut senada dengan pandangan zarnuji dalam kitab
ta’lim muta’allim yang menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya
yang memberikan petunjuk atau arahan dalam kehidupan.
2. Taqwa
Taqwa adalah sikap takut dan tunduk kepada Allah dengan
menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala
larangannya. Kita ketahui bahwa pendidikan harus mencakup
seluruh instrumen secara holistik bagi pembentukan karakter
anak didik. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin
22
Muhammad Bin Isma>’i>l al-Ami>r al-S{an’a>ni>, al-Tanwi>r Sharh al-J{a>mi’ al-S{aghi>r Juz 2 (al-Riya>d: Da>r al-Sala>m, 1432 H / 2011 M), 526.
90
senantiasa memberikan motivasi kepada seluruh elemen
pendidikan untuk mempunyai karakter yang baik. Karena tujuan
akhir dari pendidikan Islam terletak pada perilaku yang tunduk
dengan sempurna kepada Allah semata.
Dalam kitab a>da>b, ketakwaan merupakan unsur utama
yang mesti diperhatikan bagi pelajar dan pengajar sebagaimana
yang telah KH>. Hasyim ungkapkan bahwa hendaknya seorang
pelajar dan pengajar di dalam kegiatan belajar dan mengajar
hanya untuk mengharap belas kasih dari Allah SWT.23
Niat
tersebut mengindikasikan bagi para elemen pendidikan
kapanpun dan dimanpun jika sudah tertanam dalam hatinya
bahwa tujuan pendidikan hanya mengharap rid}a Allah semata,
maka karakter negative akan terhindar karena ketakwaanlah
yang lebih dominan. Sebagaiman yang telah Allah jelaskan
dalam surat al-shams ayat 9. لذ افهح ي صكا
Artinya bahwa beruntunglah bagi orang yang mensucikan diri
sebagian ahli tafsir menerangkan kata zakka>ha berarti
meningkatnya ketakwaan dengan senantiasa memperhatikan
hal-hal spiritual.24
Menurut Salmiwati seorang dosen tarbiyah IAIN
padang mengatakan bahwa sifat taqwa merupakan benteng
untuk menjaga aturan-aturan Allah supaya posisi iman tidak
lagi berada dalam kelabilan. Karena amalan taqwa tidak sebatas
rukun Islam, membaca al-Quran dan berzikir, tetapi semua
amalan dan perbuatan yang didasarkan pada syariat yang
dilakukan dan ditinggalkan karena Allah semata.25
Kokohnya
keimanan yang dibentengi dengan ketakwaan berimplikasi pada
akhlak yang luhur dan budi pekerti yang tinggi karena merasa
diri selalu diawasi oleh ilahi.
Bentuk dari nilai ketaqwaan yang terdapat dari kitab
a>da>b berupa peningkatan keimanan dan pemurnian jiwa dengan
cara membersihkan hati dari segala keinginan dunia dan
penyakit hati (hasud, dengki, iri, dan riya) yang dapat merusak
nilai-nilai ketaqwaan kepada Allah SWT, noda noda tersebut
.lihat KH من تعلم علما لغيرهللا او اراد به غير وجه هللا تعالى فليتبوأ مقعده من النار 23
Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 23. 24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Juz ‘Amma (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), 301. 25
Salmiwati. ‚Pendidikan Keimanan dan Ketaqwaan Bagi Anak-Anak‛ Jurnal Tarbiyah al-Aulad, Volume IV, Edisi 1 (2015): 385
91
harus dibersihkan dengan cara pemurnian jiwa. Sehingga dari
pemurnian jiwa itulah sehingga terbentuklah ketaqwaan kepada
Allah.
Adapun rincian dari nilai-nilai ketaqwaan yang terdapat
dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Mensucikan hati, pikiran dan perbuatan dari segala
kepalsuan, dengki iri hati, aqidah yang menyimpang dan
karakter tercela.
b. Takut dalam menghukumi suatu perkara yang masih dalam
perselisihan antara ulama dan masyarakat.
c. Menjaga kesopanan dihadapan guru.
d. Takut kepada Allah baik ketika baik dalam gerak, diam,
perkataan ataupun perbuatan.
e. Beramal dengan memperhatikan syiar Islam seperti shalat
berjamaah, menyebarkan salam, dan amar ma’ruf nahi
munkar.
f. Bertindak dengan dasar kesunnahan dan kemaslahatan.
Berdoa dan senantiasa melantunkan zikir selama dalam
perjalanan.
3. Sabar
Bersabar terhadap segala macam pemberian dan cobaan
merupakan bentuk karakter yang harus ditanamkan oleh
lembaga pendidikan. Pendidikan pada dasarnya merupakan
penampakan moral dan alat seorang manusia untuk
menghasilkan ilmu pengetahuan. Selama menuntut ilmu,
seseorang harus senantiasa bersabar dan tabah dalam
menghadapi cobaan dan ujian.
Menempuh sebuah pendidikan tidaklah sesuatu yang
mudah. Diperlukan usaha dan kerja keras serta doa dan ikhtiar
yang harus senantiasa diamalkan dan dijadikan sebagai panduan
dan pedoman untuk menilai keberhasilan dalam mencari ilmu
pengetahuan. Sikap yang demikian perlu ditumbuh kembangkan
untuk menempa moral dan mental para pendidik dan pelajar.
Kesabaran yang dimaksudkan dalam kitab a>da>b bukanlah
sekedar menerima apa yang telah terjadi tanpa ada usaha untuk
memperbaiki dan menjadi yang terbaik, tetapi kesabaran yang
dimaksud adalah menerima apa yag telah terjadi dengan selalu
92
introfeksi diri untuk berubah dan memperbaiki diri agar menjadi
lebih baik.
Kesabaran merupakan kunci kesuksesan dalam hidup. Di
dalam kesabaran tersebut ada kaderisasi yang tak terungkap
tetapi nyata membuat seseorang memiliki daya tahan terhadap
segala gonjangan dan ujian hidup agar menjadi lebih kuat dan
mudah untuk mengatasinya dikala mendapatkan ujian
berikutnya. Bahkan Allah menjadikan kesabaran sebagai alat
penolong dalam menyelesaikan masalah.26
kesabaran dalam
ayat tersebut diidentikan dengan kegigihan, kerja keras dan ulet
untuk mencapai suatu tujuan.27
Indikator dari suatu keberhasilan adalah sejauh mana
seseorang dapat menginternalisasikan nilai-nilai kesabaran
dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula nilai-nilai kesabaran
yang ditanamkan dari kitaba>da>b bertujuan untuk mengantarkan
seluruh elemen pendidikan agar sukses di dunia dan akhirat.
Adapun rincian dari nilai-nilai kesabaran yang terdapat
dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Bersabar terhadap sifat dan prilaku kasar guru.
b. Menerima segala kondisi dan cobaan yang terjadi.
Dari sinilah dapat kita fahami bahwa kesabaran yang
dimaksud dalam kitab a>da>b adalah. Pertama, sabar terhadap
guru baik dari sifat, perkataan dan tindakannya, karena apa yang
diperbuat oleh guru terhadap muridnya adalah bentuk suatu
pendidikan dalam memperbaiki keadaan muridnya. Guru adalah
salah satu orang tua yang mesti kita taati dan diperlakukan
dengan baik selama mereka tidak menyimpang dari shariah
Islam.
Kedua, sabar dengan kondisi yang menimpanya, artinya
bahwa pelajaran dari kondisi yang pahit, manusia akan tumbuh
semangat yang tinggi dalam memperbaiki diri karena ia merasa
prihatin jika terus menerus dalam kondisi susah.
26
. (135بقرة: يأيها الذين ءامنوا استعينوا باصبر و الصالة, ان هللا مع الصابرين )ال Artinya:
wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan s}alat sebagai penolong,
sesungguhnya Allah SWT bersama orang-orang yang sabar. (Q.S al-Baqarah:
135). lihat Al-quran dan terjemahan (Jakarta:Pustaka al-Mubin, 2013), 23. 27
Subandi. ‚Sabar Sebuah Konsep Psikologi‛. Jurnal Psikologi Volume 38, No. 2, Desember 2012, 218.
93
Kedua hal tersebut tentang sabarnya terhadap sikap guru
dan kondisi susah dalam menuntut ilmu depertegas oleh Imam
Syafi’i dalam sya’irnya yang menerangkan bahwa:28
ذصثش ػهى يش انجفا ي يؼهى ## فا سسب انؼهى ف فشاذ
Bersabarlah atas pahitnya sikap kurang menyenangkan dari guru
Karena bersemayamnya ilmu diperoleh dari penjelasan guru.
##ذجشع رل انجم طل حاذف نى زق يش انرؼهى ساػح
Barangsiapa yang belum pernah merasakan pahitnya
menuntut ilmu walau sesat, maka ia akan menelan hinanya
kebodohan sepanjang hidupnya.
Maka jelaslahlah bahwa pendidikan karakter melalui sifat
sabar, mengantarkan manusia pada kejayaannya dan akan
merasakan kebahagian dan manisnya kehidupan dikemudian
hari. Karena kesabaran dapat membina jiwa, menambah
kekuatan untuk menahan penderitaan, meningkatkan
kemampuan untuk dapat menyelesaikan permasalahan hidup,
ujian, gonjangan serta mengantarkan manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
4. Disiplin
Sikap disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan
prilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Pentingnya penerapan disiplin dalam kehidupan bertujuan untuk
penyelarasan, agar dapat hidup serasi dengan lingkungan. Tanpa
disiplin talenta-talenta yang lain tidak akan optimal
berkembang karena disiplin dapat menaklukkan kelemahan dan
kekurangan yang ada.
Islam sangat memperhatikan kedisiplinan sebagaimana
Rasulullah katakan dalam suatu hadis bahwa perbuatan yang
paling utama disiisi Allah adalah s}alat diawal waktu. Hal ini
menunjukkan bahwa begitu pentingnya kedisiplinan dalam
Islam. Karena s}alat adalah tonggak awal dari semua aktifitas,
baiknya prilaku seseorang dilihat dari baiknya s}alat yang
28 ‘Abdu al-Rahman al-Must}a>wi, Di>wa>n al-Ima>m al-Sha>fi’i (Lebanon:
Da>r al-Ma’rifah, 2005 M/1426H), 37.
94
dikerjakan. S}alat diawal waktu adalah contoh kecil dari
kedisiplinan dalam Islam.
Kedisiplinan yang diajarkan di dalam kitab a>da>b dapat
kita lihat pada etika pelajar terhadap pelajaran seperti: pertama
Tertib ketika ujian lisan dengan maju satu persatu.29
Hal ini
mendidik untuk menumbuhkan kesadaran untuk turut
menciptakan lingkungan yang tertib dan teratur. Tumbuhnya
disiplin diri bukanlah suatu hal yang tumbuh dengan sendirinya
melainkan hasil pendidikan atau kebiasaan dengan
lingkungannya, sehingga proses pendidikan seperti ini harus di
optimalkan sebaik mungkin.
Kedua Tidak berpindah pada pelajaran lain sebelum
pelajaran pertama dapat dimengerti dengan baik.30
pendidikan
dalam pembiasaan diri terhadap pengusaan suatu bidang ilmu
ini agar para pelajar dapat hidup teratur dan dapat
menyelesaikan suatu hal dengan baik sebelum berpindah pada
hal lainnya. Sehingga optimal dalam menyelesaikannya dan
memperoleh hasil yang baik.
5. Al-qowamiyah
Al-qowamiyah adalah sikap tidak berlebihan terhadap
suatu apapun tetapi tidak pelit. Sifat Al-qowami>yah merupakan
sifat yang memperhatikan hak yang lainnya, karena sifat ini
tidak mengambil hak yang lainnya.
Di dalam kitab a>da>b sikap al-qowamiyah dapat kita
lihat a>da>b murid atau guru terhadap makan dan minum pada
halaman 26, contoh ketika seseorang tidak berlebihan dalam
makan dan minum, maka hal tersebut mendidik agar dapat
memperhatikan hak yang lainnya seperti memberi ruang
sepertiganya untuk udara dan sepertiganya untuk air dengan
demikian dapat menjadikan tubuh menjadi sehat. Konstruksi
pendidikan yang demikian akan melatih mental dan moral siswa
,Lihat KH. Hasyim Asyari ان يراعي نوبته فال يتقدم عليها بغير رضا من هي له 29
A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 51. 30
ان يثبت على كتاب حتى ال يتركه ابتر, وعلى فن حتى ال يشتغل بفن اخر قبل ان يتقن االول, و على بلد حتى ال ينتقل الى بلد اخر من غير ضرورة, فان ذالك يفرق االمور و يشغل القلب و يضيع .Lihat KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 53 األوقات.
95
dan pengajar untuk menjadi generasi yang tangguh dikemudian
hari.
Dampak buruk dari berlebihan terhadap makan dan
minum akan mengakibatkan seseorang menjadi malas dan
mengantuk sehingga dapat mengurangi kecerdasan. Dalam ilmu
kesehatan sikap berlebihan akan menambah berat badan, dan
berat badan lebih beresiko mengalami kolestrol meningkat
karena mengalami resistensi insulin yang menyebabkan
perubahan metabolisme lemak.31
Penjelasan di atas tidak hanya berlaku untuk makan dan
minum, tetapi berlaku untuk semua hal. Karena berlebihan akan
mengakibatkan keburukan. Misal terlalu pintar dan berani maka
akan menimbulkan kesombongan. Oleh karena itu sikap yang
baik adalah pertengahan. Dari sikap pertengahan inilah akan
muncul akhlak al-karimah atau karakter mulia.
6. Wira’i
Wira’i adalah Sikap berkaitan erat dengan pola hidup
yang menjauhkan diri dari segala macam hal yang haram
maupun syubhat. Seorang yang wira’i dikenal sangat hati-hati
dalam menjalani hidup dan tidak mau mendekati sesuatu yang
dianggap syubhat maupun haram dan menjaga diri dari hal yang
haram dan dilarang Allah SWT. Seorang pendidik hendaknya
mempunyai sikap yang demikian. Sebab dalam membentuk
karakter yang baik, seseorang diharuskan menjauhkan diri dari
setiap macam perbuatan yang bertentangan dengan ajaran
agama.
Sikap yang demikian pada akhirnya akan menjadikan
seseorang dapat menjadikan teladan dalam membentuk perilaku
anak didik yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber
yang baik akan senantiasa membuahkan sesuatu yang baik. Oleh
karena itulah KH. Hasyim Asy’ari memberikan perintah kepada
seorang guru dan murid agar mempunyai sikap wira’i dalam
menjalani kehidupan sehari-hari.
Adapun rincian dari nilai-nilai wira’i yang terdapat dalam
kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Berhati-hati dalam segala prilaku.
b. Menghindari dari segala makanan dan minuman yang dapat
menyebabkan kemalasan dan kelemahan akal.
31
Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan (Jakarta: Amzah, 2007), 221-222.
96
c. Meninggalkan perbuatan dan perkataan yang sia-sia.
d. Mencari informasi tentang kepribadian dan keilmuan dan
selektif dalam mencari guru.
e. Memastikan guru tersebut memiliki ilmu shariah yang
sempurna.
f. Menjauhkan diri dari prilaku rendah seperti turunnya
kewibawaan.
g. Menjaukan diri dari tempat maksiat.
Ketujuh poin di atas mendidik para santri dan pelajar agar
mawas diri terhadap prilaku, perkataan, tempat dan apa yang
dikonsumsi yang dapat mengakibatkan rusaknya hati dan
hilangnya akal sehingga dapat menjauhkan diri dari Allah dan
susah untuk memperoleh prestasi.
7. Tawad}u
Tawadhu merupakan sikap yang dimiliki oleh orang-orang
shaleh yang senantiasa bersikap rendah hati dan menjauhi
kesombongan dan sifat membanggakan diri lainnya.32
Sikap
yang demikian hendaknya dimiliki oleh guru dalam mendidik
para siswanya. Bersikap tawadhu merupakan wujud dari
perasaan dan perbuatan yang tidak merendahkan orang lain.
Dalam sebuah hadis yang dikutip oleh Imam Ghazali yang
dikeluarkan dari Imam Muslim menjelaskan tentang pentingnya
sikap tawadhu kepada setiap orang, beliau bersabda:
وما ما زاد هللا عبدا بعفو اال عزا قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم:تواضع احد هلل اال رفعه هللا
33
Tidaklah memberikan maaf melainkan Allah akan
menambah kemulian bagi seorang hamba, dan barangsiapa yang
bertawadhu maka Allah akan mengangkat derajatnya. (HR.
Muslim).
Tujuan dari pendidikan yang bersikap tawadhu’ adalah
agar para murid senantiasa tidak membanggakan diri mereka
ketika mampu menguasai pengetahuan yang telah diajarakan
oleh guru di sekolah. Sikap yang demikian hendaknya
32
Rusdi, Ajaibnya Tawadhu dan Istiqomah (Yogyakarta: Sabil, 2013),
15. 33
Al-Ima>m Abi> H}a>mid al-Gha>zali, Ih}ya> ‘Ulu>m al-Di>n Juz 3 (Qa>hirah: Da>r
al-H}adi>th, 2004), 432.
97
ditanamkan sejak dini kepada para anak didik. Sebab sikap
tawadhu’ merupakan warisan ulama salaf yang senantiasa
menghindari segala bentuk kesombongan. KH. Hasyim Asy’ari
memberikan perintah kepada guru dan murid agar senantiasa
bersikap tawadhu’ dalam segala hal. Tidak hanya terbatas ketika
ia belajar semata. Sikap tawadhu’ akan senantiasa menjadikan
orang mudah bergaul dengan orang lain. Sikap sombong hanya
dapat memisahkan seseorang dalam bergaul disebabkan oleh
kedudukan yang berbeda.
Adapun rincian dari nilai-nilai Tawad}u’ yang terdapat
dalam kitab a>da>b baik untuk guru maupun murid sebagai
berikut:
a. Memandang guru dengan tatapan yang baik.
b. Mematuhi segala perintah guru.
c. Duduk dengan sopan ketika berhadapan dengan guru.
d. Bertutur kata dengan baik dimanapun dan kapanpun.
e. Tidak memotong penjelasan guru baik ketika guru sedang
menerangkan maupun menjawab pertanyaan.
f. Memberi dengan tangan kanan ketika menyerahkan sesuatu
kepada guru.
Penulis menilai dari rincian di atas menunjukkan bahwa
kitab a>da>b mendidik para perlajar dan pengajar untuk
membentuk kepribadian yang baik dalam menjung kode etik,
saling menghormati dan menghargai. Hal ini merupakan
pendidikan karakter yang bagus untuk dikembangkan di era
modern yang saat ini banyak diabaikan oleh murid dan orang
tua. Walaupun ilmu pengetahuan tidak lagi bersumber dari guru
dan para pelajar bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya
melalui media yang saat ini informasi terbuka bebas tetapi
jangan di pungkiri bahwa awal dari perkembangan itu dari
penjelasan guru. Karena jika pendidik dan peserta didik tidak
membudayakan sikap tawad}u maka akan hilanglah nilai-nilai
kebaikan. Seperti tidak adanya rasa hormat seorang murid
kepada guru dan hal ini akan membahayakan ketentraman dan
merusak budaya bangsa.
Oleh karena itu sikap tawad}u yang diajarkan oleh KH.
Hasyim Asyari melalui kitab a>da>b sebagiamana yang telah
disebutkan di atas agar dapat tercipta saling menghormati,
menyayangi dan mencintai ilmu. Dengan demikian berkahnya
ilmu dapat diperoleh.
98
8. Kerja keras
kerja keras merupakan prilaku yang menunjukan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar,
tugas dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Salah
satu ciri pekerja keras adalah orang yang pandai membagi dan
memanfaatkan waktu dengan baik.34
Keberhasilan akan ditentukan oleh sajauh mana
kesungguhan seseorang dalam berbuat, begitu pula kegagalan
ditentukan oleh kemalasan. Tidak ada keberhasilan yang instan,
karena semua itu dilalui dengan penuh pengorbanan dan
sungguh-sungguh.
Di dalam kitab a>da>b prilaku kerja keras dapat kita
temukan pada kalimat berikut:
ا تمح انؼش ال لح نا غرى يا تم ي ػش, ف اس ا مسى الاخ نه
35
Kalimat tersebut mengajarkan pada peserta didik dan
pendidik agar senantiasa dapat membagi waku malam dan siang
dan memanfaatkan sisa umurnya dengan baik, jika tidak maka
kehidupannya tidak ada nilainya atau tidak bermanfaat, Bahkan
pepatah arab mengatakan ‘waktu bagaikan pedang’ jika kita
melalaikannya maka pedang itu akan memotong kita.
Dari penjelas di atas peneliti mendapatkan beberapa poin
dari nilai-nilai kerja keras sebagai salah satu dari nilai-nilai
pendidikan karakter. Adapun rincian dari nilai-nilai kerja keras yang terdapat dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Bersegera tanpa menunda-nunda dalam menuntut ilmu.
b. Dapat mengatur waktu dengan baik.
c. Mengurangi waktu tidur.
d. Mendengarkan dengan serius disetiap pengajian.
e. Memperbaiki bacaan yang telah dipelajari sebelum
dihafalkan.
f. Hendaknya berangkat lebih awal dalam menuntut ilmu.
g. Setelah menguasai materi-materi dasar barulah membahas
materimateri lanjutan.
h. Tekun dan istiqomah.
34
Tim Abdi Guru, Ayo Belajar Agama Islam Untuk SMP Kelas VII (Jakarta: Erlangga, 2004), 104.
35 KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 26.
99
i. Tidak malu bertanya saat tidak mengerti dengan pertanyaan
yang baik dengan menggunakan bahasa yang lembut dan
sopan.
j. Bersemangat dalam menggapai kesuksesan yang
direalisasikan dengan kegiatan positif dan bermanfaat serta
berpaling dari keresahan keresahan yang mengganggu.
k. Bersungguh-sungguh dalam mengajar.
Pendidikan kerja keras atau sungguh-sunggu yang telah
disebutkan di atas merupakan prinsip dasar dalam menuntut
ilmu. Peneliti melihat dari 11 poin yang ditulis dari kitab a>da>b, bahwa KH Hasyim asyari mendidik para pelajar dan pengajar
menumbuhkan sikap kerja keras dan pantang menyerah dalam
mencari kebaikan agar mereka dapat mencapai tujuan yang
diinginkan sehingga tidak menyia-nyiakan waktu dalam
menuntut ilmu.
9. Zuhud
Zuhud adalah menggunakan segala sesuatu yang tersedia
baik berupa benda maupun tenaga dan lain lain menurut
keperluan dan tidak berlebihan. Sikap yang demikian harus
senantiasa ditanamankan oleh seorang guru dan murid. Perilaku
zuhud erat kaitannya dengan gaya hidup yan sederhana dan
tidak berlebihan dalam menggunakan segala sesuatu yang tidak
penting, yakni memakai sesuatu yang dirasa cukup untuk
memenuhi kebeutuhan selama hidup di dunia.
Meskipun zuhud masih erat kaitannya dengan gaya hidup
sederhana. Pada prinsipnya, zuhud bukanlah konsep yang
mengajarkan manusia agar malas dan tidak mau bekerja keras.
Karakter zuhud erat kaitannya dengan pendidikan yang
menanamkan tentang gaya hidup yang sederhana dan tidak
berlebihan.36
KH. Hasyim Asy’ari memandang bahwa zuhud
adalah jiwa seseorang yang tidak dikendalikan oleh kepentingan
duniawi. Termasuk dalam orientasi bagi manusia selama ia
belajar dan menuntut ilmu pengetahuan yang akan menjadikan
mereka tidak dikendalikan oleh kepentingan duniawai semata.
Dalam al-Qur’an surat fa>t}ir ayat 8 disebutkan bahwa:
36
Amir Syukur, Zuhud di Abad Modern cet-3 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 87.
100
Artinya: Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan)
menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini
pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh
syaitan) ? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya;
Maka janganlah dirimu binasa karena Kesedihan terhadap
mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat.
Seorang guru dan murid harus senantiasa berperilaku
zuhud dalam bermacam-macam hal. Bagaimanapun dalam
pandangan Islam, seorang mukmin harus mempunyai sikap yang
yang demikian. Dengan gaya hidup yang sederhana dan tidak
berlebih-lebihan dalam menggunakan sesuatu sepanjang
kehidupan. Manusia, para nabi maupun para ulama telah
memberikan contoh yang demikian, mereka tidak pernah
berlebihan dalam menggunakan pakaian maupun sesuatu yang
berkaitan dengan dunia. Perilaku zuhud erat kaitanya dengan
kesederhanaan dan memberikan pola pendidikan yang sangat
penting bagi perkembangan hidup setiap sepanjang sejarah
Islam.
Adapun rincian dari nilai-nilai zuhud yang terdapat dalam
kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Menerima segala kondisi dan cobaan yang terjadi.
b. Tenang
c. Khusu’
d. Mensucikan diri dari dengki, marah, sombong, riya, ujub
dan dan karakter buruk lainnya.
e. Bersikap qana’ah bagi yang tidak tahu dirinya dan
keluarganya.
Sikap zuhud yang dikembangkan oleh KH. Hasyim Asyari
yang terdapat di dalam kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-mut’allim adalah lebih bersifat qolbiah daripada fisik maksudnya adalah
dengan tetap menjaga hati dari sifat-sifat tercela agar hati
menjadi tenang dan khusu’ dan juga bersifat menerima apa
adanya dengan senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang
101
diberikan. KH. Hasyim Asyari menilai sikap zuhud bukan
dilihat dari sisi pakaian atau tempat tinggal melainkan dari
ucapan dan tindakan yang bersumber dari hati yang suci yang
mencerminkan kesederhanaan.
10. Ikhlas
Ikhlas adalah sikap murni dalam memberi dan berbuat
sesuatu hanya mengharapkan rid}o Allah SWT bukan karena
ingin dilihat, dipuji, dihormati, dan dibayar orang lain baik
dalam bentuk materi maupun non materi.37
Dalam konsep Islam,
niat ikhlas mempunyai pertimbangan yang sangat penting dalam
melaksanakan segala seuatu. Oleh karena itulah, pengajar dan
pelajar hendaknya mempunyai niat yang ikhlas}. Sebab
keikhlasan akan menghasilkan kebaikan dan ketenangan dalam
jiwa.
Sebagai ulama yang konsisten terhadap agama. KH.
Hasyim Asy’ari memandang niat ikhlas} merupakan nilai yang
sangat penting bagi seseorang. Keikhlasan akan mengantarkan
pelakunya pada karakter yang mulia seperti meningkatnya etos
kerja yang tinggi, jujur dan disiplin.
Adapun rincian dari nilai-nilai ikhlas yang terdapat dalam
kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Meluruskan niat dalam menuntut ilmu dan mengajar
semata-mata hanya mengharpkan rid}a Allah SWT agar
senantiasa dekat pada Allah SWT.
b. Tidak mengejar keuntungan yang bersifat duniawi.
Peneliti menilai kedua nilai tersebut bersifat etis yang
mengetengahkan aspek sufistik. Asumsi ini terlihat bahwa
beliau memberikan bimbingan dalam menata niat dalam
mempelajari pengetahuan tidak boleh terkontaminasi oleh
kepentingan duniawi.
Adanya keinginan terhadap duniawi akan membentuk
karakter yang kurang baik yang dapat merusak moral seorang
pelajar. Keinginan dalam duniawi yang berlebihan bukanlah
karakter seorang mukmin ketika menuntut ilmu pengetahuan.
Demikianlah penjelasan yang disampaikan oleh KH. Hasyim
Asy’ari dalam kitabnya. Seseorang yang menuntut ilmu
hendaknya tidak boleh mempunyai ambisi terhadap kepentingan
duniawi.
37
Damahuri, Akhlak Tasawuf (Banda Aceh, Penerbit Pena, 2010), 170)
102
Keinginan yang berlebihan terhadap ambisi duniawi dapat
merusak mental dan perilaku seseorang pelajar. Niat suci yang
demikian harus ditamankan sejak dini oleh para pendidik agar
anak didik mereka tidak salah dalam menuntut ilmu. Orientasi
yang harus ditanamnkan oleh guru adalah dengan memberikan
bimbingan yang baik kepada para muridnya. Sehingga murid
akan memberikan respon yang sangat baik terhadap pendidikan
yang diberikan oleh seorang guru. Kondisi yang demikian dapat
terbangun dengan baik apabila ada saling pengertian antara guru
dengan muri dalam proses belajar mengajar.
11. Cinta kebersihan
Pada dasarnya setiap orang yang beriman mempunyai
kewajiban untuk membersihkan diri mereka dari segala sesuatu
yang tercela dan dilarang oleh agama baik yang bersifat lahir
maupun batin. Oleh karena itulah Allah senantiasa memberikan
perintah kepada seorang mukmin untuk mencintai kebersihan.
Karena orang yang kotor bisa termasuk kedalam golongan
orang-orang yang tercela.
Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa kebersihan adalah
sebagian dari pada iman, walaupun hadith ini d}a’if tetapi tidak
bertentangan dengan firman Allah yang menganjurkan
kebersihan baik lahir maupun batin. Kerena keindahan dan
kenyamanan akan dapat dirasakan hanya dengan menjaga
kebersihan. Dalam al-Qur’an, Allah Swt berfirman pada orang-
orang yang ingin bersuci atau membersihkan diri. Sebagaimana
dalam surat at-Taubah ayat 108 dan al-An'am ayat 91 sebagai
berikut:
Artinya: janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu
selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas
dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih
patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah : 108)
103
Artinya: Dan mereka tidak menghormati Allah dengan
penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah
tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah:
"Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh
Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan
kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu
perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian
besarnya, Padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan
bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah:
"Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu
menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka
bermain-main dalam kesesatannya. (QS. al-An'am : 91)
Dari kedua penjelasan di atas diterangkan bahwa perintah
bersuci, membersihkan diri dan menjauhi tempat yang dibenci
oleh Allah adalah perintah yang diberikan kepada setiap
mukmin. Perintah yang demikian tidak hanya terbatas pada
persoalan yang berhubungan dengan perilaku manusia. Seorang
guru dan murid harus senantiasa hidup bersih dan suci serta
menjauhi larangan yang diperintahkan oleh Allah termasuk
menjauhi tempat-tempat maksiat. Anjuran yang demikian
bersifat lahir dan batin, termasuk dalam berpakaian.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 222
sebagai berikut:
...
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS.
al-Baqarah : 222)
Oleh karena itulah anjuran atau perintah bersuci dan
memakai pakaian yang bersih senantiasa dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Beliau sangat melarang kepada umatnya
104
untuk memakai pakaian yang kotor. Perintah ini berlaku pada
semua orang pada dasarnya, termasuk kepada seorang guru yang
memberikan suri tauladan pada siswa-siswanya. Dalam
kitabnya, KH. Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya seorang
guru dan murid untuk senantiasa hidup bersih dan menjauhi
tempat-tempat yang dilarang oleh Allah. Termasuk tempat-
tempat maksiat yang menyebabkan kerusakan secara moral.
Seorang guru dan murid harus menerapkan pola hidup
bersih yang merupakan salah satu cara bagi seorang guru dan
murid untuk menjaga kesehatan. Dengan menerapkan pola hidup
yang bersih dan sehat. Seseorang akan dapat mampu menjaga
kesehatannya secara baik dan terhindar dari segala macam
penyakit jasmani rohani. Datangnya penyakit pada dasarnya
disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat. Menanggapi
pentingnya kebersihan dalam dunia pendidikan, KH. Hasyim
Asy’ari memberikan saran kepada seorang guru dan murid agar
senantiasa bersih dan menjauhi tempat yang dilarang oleh Allah.
Adapun rincian dari nilai-nilai cinta kebersihan yang
terdapat dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Senantiasa mensucikan diri dari hadath sebelum
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.
b. Memakai pakaian yang rapih dan wangi-wangian.
12. Demokratis
Sikap demokratis adalah pola pikir, pola sikap, dan tindak
yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Sedangkan kategori dari sifat demokratis adalah toleransi,
kebebasan memberi pendapat, menghormati perbedaan,
memahami keaneka ragaman, terbuka dan komunikatif,
menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan, percaya diri, saling
menghargai, kebersamaan, tidak bergantung pada orang lain,
keseimbangan, dan mampu mengendalikan diri. Sikap yang
demikian akan dapat menghasilkan suatu keputusan yang
efesien, efektif serta dapat mempermudah dalam mencapai suatu
tujuan.38
Sikap demokratis dalam kitab a>da>b adalah suatu
pembahasan yang bersifat normatif, sikap tersebut mesti
38
Munandar, Strategi Pembelajaran Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta:
CTSD, 1987), 98-99.
105
dimiliki oleh guru dan pelajar dalam rangka melatih diri agar
senantiasa berkembang dan memiliki integritas yang tinggi.
Adapun rincian dari nilai-nilai demokratis yang terdapat
dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Tidak mengajar saat kondisi murid tidak memungkinkan
seperti haus, lapar, dingin, dan lapar berlebihan.
b. Menciptakan suasana yang kondusif.
c. Mengulangi pelajaran jika ada anak yang tertinggal.
d. Tidak menghalangi hak seorang murid untuk menuntut
ilmu.
e. Memberikan keringanan kepada peserta didik yang sering
terlambat karena tempat tinggal yang jauh.
13. Belas kasih atau silaturrahim
Menurut Abdullah Nashih cinta kasih dapat diartikan
dengan kelembutan hati dan kepekaan perasaan cinta kepada
orang lain. Cinta kasih dapat berupa saling mebantu, memberi,
menolong, dan memperhatikan satu sama lain. Ketika sikap ini
tumbuh dan tercerminkan dalam bentuk prilaku maka hasil yang
diperoleh sangatlah indah dan menyenangkan baik bagi pelaku
maupun objeknya.39
Terjadinya bumi beserta isinya, adanya peradaban dan
persatuan karena terciptanya kasih sayang dari Allah SWT.40
Bahkan Allah sangat mengecam bagi siapa yang tidak memiliki
belas kasih kepada sesama manusia.41
39
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam: Pendidikan Soisial Anak, Cet. Ke-3 (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), 11.
40عن أبي هريرة قال: سمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول: جعل هللا الرحمة مئة جزء
فأمسك عنده تسعة و تسعين جزأ, وأنزل في األرض جزأ واحدا, فمن ذالك الجزء يتراحم الخلق حتى رس حافرها عن ولدها جشية أن نصيبة ترفع الف
‚dari abu hurairah berkata: saya mendengar Rasulullah berkata: Allah
menciptakan rasa kasih saying itu menjadi seratus bagian, Sembilan puluh
sembilan bagian lainnya disimpan disisinya, sedangkan satu bagiannya
diturunkan ke bumi, maka dari satu bagian itulah para makhluk saling berkasih
saying, bahkan kudapun mengangkat kakinya karena takut anaknya terinjak.
(H.R. muslim) lihat. Abu Muslim Ibnu Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II (Beirut:
Dar Kutub al-Ilmiyah), 1809. 41
جرير بن عبد هللا, قال: قال رسول هللا, من ال يرحم الناس ال يرحم هللا عز وجل ) عن أبي رواه مسلم(
Artinya: barang siapa tidak mengasihi manusia maka tidak akan dikasihi
oleh Allah. Lihat Abu Muslim Ibnu Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II, 1809.
106
Dari urayan yang singkat di atas, peneliti melihat bahwa
adanya indikasi pendidikan karakter berupa belas kasih atau
kasih sayang yang terdapat pada kitab a>da>b baik dari pelajar
maupun pengajar. karena sikap belas kasih tersebut harus
ditanamkan sejak dini dan adanya pelaku yang dapat
mencontohkannya. Sikap belas kasih tersebut dapat kita lihat
pada sikap guru terhadap murid:
سد ف انحذث كش ن يا كش نفس, ا حة نطانث يا حة نفس كا
ؼر تصانح انطانة, ؼايه تا ؼايم اػض أنذ ي انح انشفمح ػه
االحس ان انصثش ػهى جفا ػهى يا لغ ي ي مص ال كاد خها السا
ػ سء ادب ف تؼض االحا42
Artinya: hendaknya seorang guru mencintai siswanya
seperti ia mencintai dirinya, sendiri sebagaimana pula dikatakan
dalam sebuah hadith, bahwa hendaknya ia membenci muridnya
seperti membenci dirinya sendiri. Disamping itu dia harus
memperhatikan kepentingan muridnya, memperlakukankannya
seperti anaknya sendiri mulai dari memberikan kasih sayang,
berbuat baik padanya dan sabar terhadap prilakunya yang tidak
menyenangkan. Menerima kekurangannya sebagai manusia yang
tidak luput dari kekurangannya dan sabar terhadap prilakunya
yang kadang menunjukkan ketidak sopanan.
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa seseorang harus
dapat mengimplementasikan sikap belas kasih dalam bentuk
perbuatan bukan sekedar teoritis. Contoh tauladan tersebut
merupakan nilai-nilai pendidikan karakter berupa belas kasih
yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun rincian dari nilai-nilai kasih sayang dan
silaturrahim yang terdapat dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Mencintai peserta didik sebagaiman mencintai diri sendiri.
b. Menyayangi dan memperhatikan peserta didik.
c. Memberikan suritauladan yang baik.
14. Komunikatif/bersahabat
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain merupakan
42
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim , 83-84.
107
karakater manusia yang bersahabat atau komunikatif.
Komunikatif/bersahabat merupakan bagian dari niai-nilai
karekter, bahkan karekter tersebut adalah salah satu dari
rumusan 18 nilai-nilai pendidikan karakter yang dicanangkan
dinegara indonesia sebagaimana yang diungkapkan oleh
Muhammad Nuh.43
Salah satu contoh dari karakter komunikatif yang
terdapat dalam kitab a>da>b adalah:
44ان يسمح له سهولة االءلقاء في تعليمه و حسن التلفظ في تفهيمه
Maksudnya adalah seorang guru hendaknya
memperhatikan kemudahan dalam kegiatan belajar mengajar
dan cara yang baik dalam memahamkannya, sehingga tidak
menimbulkan keresahan dalam hati.
Dalam kitab a>da>b sikap tersebut hanya terdapat pada
pengajar tetapi tidak menafikan sikap tersebut untuk dimiliki
oleh pelajar, karena pelajar dikemudian hari akan menjadi
penagajar yang akan mewariskan ilmu.
Adapun rincian dari nilai-nilai komunikatif atau
bersahabat yang terdapat dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Menyampaikan salam ketika memulai dan mengakhiri
kegiatan.
b. Mengajarkan pelajaran dengan penjelasan yang mudah
dimengerti sesuai dengan kemampuan peserta didik.
c. Senantiasa mengingatkan peserta didik untuk selalu
mengulang-ulang pelajaran yang telah disampaikan di luar
jam pelajaran.
d. Memperlakukan peserta didik dengan sebaik mungkin.
15. Al-‘adalah
Sikap al-‘adalah merupakan wawasan yang seimbang
dalam menilai seseorang, yakni adil dalam segal hal.
Keseimbangan tidak berarti sama rata, tetapi keseimbangan
merupakan penempatan sesuatu sesuai porsinya. Sikap tersebut
harus dimiliki oleh seorang muslim sebagaimana Abdul Madjid
43
Muhammad Nuh, Desain Induk Pendidikan Karakter 2010-2025,10. Pdf. 44
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 84.
108
katakan bahwa al-‘adalah yaitu bagian dari salah satu nilai-nilai
pendidikan karakter seorang muslim.45
Dari penjelasan diatas, bahwa kitab a>da>b terindikasi
adanya pendidikan karakter yang bersifat adil sebagaimana yang
bisa kita lihat pada karakter guru terhadap murid diantaranya:
يغ ذساى ف ا ال ظش نهطهح ذفضم تؼضى ػهى تؼض ػذ ف يدج اػراء
انصفاخ ي س ا فضهح ا ذحصم ا داح, فا رانك يا حش انصذس فش
انمهة, ا كا تؼضى أكثش ذحصال اشذ اجرادا احس ادتا فأظش اكشاي
ذفضه ت ا صادج اكشاي نرهك االسثاب فال تأط تزانك46
Artinya bahwa seorang guru tidak menunjukkan kepada
siswa sikap melebihkan satu dengan yang lain di sisinya dalam
hal kasih dan perhatian terhadap sesama mereka baik dari sifat
umur, kelebihan materi dan hasil keduniaan. Karena yang
demikian akan menimbulkan keresahan, keecuali siswa tersebut
banyak ilmunya, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan
bagus perangainya, maka seorang guru boleh menunjukkan sikap
hormat dan melebihkannya disebabkan hal tersebut dalam
rangka memotivasi yang lainnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
memperlakukan siapapun haruslah sama tanpa pilih kasih,
kecuali dalam rangka menumbuhkan semangat kebaikan, hal ini
sama dengan maksud memperlakukan sesuatu sesuai dengan
porsinya atau disebut juga dengan proporsional.
Adapun rincian dari nilai-nilai keadilan yang terdapat
dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Tidak mengistimewakan murid walaupun anak penguasa,
terpandang maupun orang kaya.
b. Adil dalam memperlakukan semua peserta didik dalam
segala hal.
Peneliti menemukan ada dua poin nilai-nilai keadilan
yang terdapat dalam kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim. Peneliti melihat bahwa sifat adil disini lebih menitik beratkan
pada porsi yang sama dalam hal sikap bukan pemberian materi.
45
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam,
95. 46
KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 90.
109
16. Peduli sosial
Peduli sosial adalah Sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan baik bersifat materi maupun non materi
kapanpun dan dimanapun.47
Sikap peduli sosial tidaklah
memandang status agama, suku, jabatan, ras dan apapun
bentuknya, karena kepedulian tumbuh dari kepekaan seseorang
terhadap lingkungan sekitarnya baik jauh maupun dekat dalam
rangka cinta perdamaian, persatuan, dan kebaikan.
Uraian di atas dapat dijadikan untuk mengidentifikasi
adanya karakter kepedulian social yang diajarkan KH. Hasyim
Asyari melalui kitab a>da>b. salah satu contoh sikap kepedulian
tersebut adalah:
ان يسعى العالم في مصالح الطلبة و جمع قلوبهم و مساعدتهم بما تيسر عليه من
48جاه و مال عند قدرته على ذالك وعدم ضرورته.
Artinya bahwa seorang guru senantiasa berusaha untuk
memperhatikan kepentingan para siswa dan menyatukan hati
mereka serta membantu mereka menggunakan kedudukan dan
hartanya sesuai kemampuannya dan tidak ada paksaan akan hal
tersebut.
Karakter kepedulian sosial haruslah ditanamkan sejak dini
baik untuk pelajar maupun pengajar. KH. Hasyim Asyari
menambahkan bahwa Allah akan membalas semua perbuatan
yang kita perbuat kepada saudara kita. Membantu memenuhi
hajatnya dan menjadikan mudah segala kesulitannya karena
sejatinya semua itu akan kembali kepada diri kita.
Adapun rincian dari nilai-nilai peduli sosial yang terdapat
dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Senantiasa Memperhatikan kehadiran siswa.
b. Menganjurkan peserta didik untuk memiliki buku pelajaran
yang diajarkan baik membeli maupun meminjam.
c. Membantu dan meringankan beban peserta didik jika
mampu.
47
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban, Cet Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 44.
48 KH. Hasyim Asyari, A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, 92.
110
17. Bersyukur
Syukur adalah sikap penuh rasa terima kasih pada Allah
SWT. Bersyukur kepada manusia yang telah berjasa termasuk
pula telah bersyukur pada Allah sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam sebuah hadith yang telah diriwayatkan oleh
Abu Hurairah:
ىاناط نشكش ىػ أت ششج لال: لال سسل هللا صم هللا ػه سهى لال: ي ن
. )سا انرشيزي( شكش هللا49
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulallah bersabda:
‚barangsiapa yang tidak berterimakasih kepada orang lain,
maka ia tidak bersyukur kepada Allah‛.
Hadith di atas menerangkan bahwa Allah tidak akan
menerima syukur seseorang atas kebaikannya apabila ia tidak
berterimakasih kepada manusia atas kebaikan mereka padanya.
Salah satu bentuk rasa berterimakasih tersebut diantaranya
adalah mendoakan kebaikannya, memuji, berkata yang baik, dan
berprilaku yang baik kepada mereka. Menanamkan sifat syukur
kepada para pelajar dan pengajar merupakan bentuk agar ia
tidak lupa diri dan menjadi manusia yang pandai bersyukur
kepada Allah.
Kitab adab tidak hanya mendidik untuk bersifat ‘ubudiah semata tetapi mesti meperhatikan hal-hal yang bersifat
horizontal. Kita ketahui bahwa setiap manusia pasti
membutuhkan orang lain untuk bisa saling tolong menolong.
Oleh karena itu rasa syukur kepada sesama manusia bagian dari
rasa syukur kepada sang pencipta.
Adapun rincian dari nilai-nilai syukur yang terdapat
dalam kitab a>da>b sebagai berikut:
a. Mengetahui hak dan keutamaan guru serta mendoakan
semasa hidup maupun setelah wafatnya.
b. Tidak memasuki tempat tinggal guru tanpa seizinnya.
c. Memberikan penghormatan dan memuliakan guru saat
bertemu atau berpisah.
d. Meletakkan buku pada tempat yang terhormat seperti di
atas lemari ataupun meja.
49
Muhammad Murtaza Bin Aish, Kumpulan 70 Hadith Pilihan, Terjemahana Dady Hidayat (Pdf, 2013), 15.
111
Sifat syukur yang dimaksud oleh KH. Hasyim Asyari
dalam kitab a<dab al-‘alim wa al-muta’allim sebagaimana yang
telah peneliti cantumkan di atas bahwa syukur yang dimaksud
adalah memberikan apresiasi terbaik sebagai wujud dari rasa
terimakasih. Hal tersebut merupakan pendidikan terbaik dalam
menciptakan generasi yang pandai bersyukur, sehingga mereka
tidak lupa dengan jasa yang telah diberikan.
Demikianlah 17 nilai-nilai pendidikan karakter yang telah
penulis rumuskan melalui kajian dari kitab a<dab al-‘alim wa al-muta’allim. 17 nilai tersebut akan dikembangkan kembali untuk
membuktikan apakah terdapat relevansi terhadap pendidikan
karakter di Indonesia.
Tetapi sebelum masuk pada pembahasan relevansi, Peneliti
akan menerangkan terlebih dahulu tentang korelasi antara adab
atau akhlak guru, murid dan kitab sebagai bahan kajian untuk
mempermudah dalam menganalisi dan menemukan relevansinya,
karena di dalam kitab a<dab al-‘alim wa al-muta’allim ketiga hal
tersebut merupakan komponen yang saling melengkapi.
B. Korelasi antara guru, pelajar dan kitab atau referensi dalam
pembentukan karakter
Seorang guru merupakan mitra bagi muridnya. Oleh karena
itu hendaknya memperhatikan perkembangan setiap muridnya.
Dalam pendidikan, seorang guru diartikan pemberi cahaya dalam
kehidupan mereka.50
Hendaknya mereka memberikan ilmu
pengetahuan yang kira-kira memberikan manfaat bagi para murid-
muridnya. KH. Hasyim Asy'ari menekankan bahwa guru mempunyai
tanggung jawab dan peran yang sangat besar dalam dunia
pendidikan. Peran yang demikian tidak hanya terbatas dalam aspek
pengembangan keilmuan semata. Akan tetapi lebih dari itu
tanggung jawab dan tugas terbesar seorang guru adalah memberikan
suri tauladan kepada para murid-muridnya.
Tauladan yang demikian dapat dikonstruksi melalui pola
dan perilaku yang baik, yakni seorang guru memberikan contoh
dalam bentuk perkataan dan juga disertai dengan perbuatan yang
dalam bahasanya kita kenal dengan istilah seiya sekata. Tidak
diperkenalkan seorang guru tidak mematuhi apa yang dia sampaikan
kepada murid-muridnya. Tindakan yang demikian akan
50
Al-Ima>m Abi> H}a>mid al-Gha>zali, Ih}ya> ‘Ulu>m al-Di>n, Juz I, 70.
112
menyebabkan seorang murid enggan untuk meniru atau mencontoh
perilaku yang diberikan oleh guru.
Kharisma seorang guru terletak pada kemampuan mereka
dalam mendidik dan memberikan suri tauladan berupa contoh-
contoh kepada murid-muridnya. Oleh karena itu kemerosotan moral
dalam dunia pendidikan sekarang ini disebabkan karena guru-guru
tidak lagi dianggap sebagai seorang pendidik oleh murid-muridnya.
Fenomena yang demikian pada dasarnya disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya guru tidak bisa memberikan contoh yang baik
kepada murid-muridnya. Banyak murid-murid yang tidak mengikuti
atau mematuhi aturan-aturan serta tugas yang diberikan oleh guru.
Kemerosotan moral suatu bangsa pada dasarnya disebabkan oleh
kemorosotan yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, kita kenal dengan istilah
kemampuan akademik dan juga kemampuan non akademik juga
kemampuan afektif psikomotorik dan kemampuan intelektual.
Ketiga komponen yang demikian sangat erat kaitannya dalam dunia
pendidikan tidak dapat dipungkiri bahwa ketiga aspek tersebut
mempunyai korelasi satu sama yang lain. Oleh karena itu
pendidikan tidak hanya memberikan fokus atau porsi yang sangat
besar dalam pengembangan aspek intelektual semata. Namun lebih
dari itu, pendidikan diharapkan mampu untuk membentuk manusia
yang mempunyai moral dan karakter mulia sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. Selama kurang lebih 23
tahun berhasil memperbaiki moral dan mental bangsanya.51
Dalam berdakwah beliau memberikan pendidikan yang
secara langsung dengan memberikan contoh antara perkataan dan
perbuatan. Pendidikan yang demikian di negara-negara maju sendiri
sangat erat kaitanya dengan pembentukan karakter dan perilaku
anak didik. Sementara di Indonesia pendidikan lebih ditekankan
pada pengembangan aspek akademik semata. Kemerosotan suatu
bangsa pada awal mulanya disebabkan oleh kemerosotan generasi
penerusnya.
Kitab yang dikarang oleh KH. Hasyim Asy’ari ini
hendaknya dijadikan rujukan yang sangat penting dalam
pengembangan dan pembangunan dalam suatu dunia pendidikan.
Pola pendidikan karakter dalam perspektif KH. Hasyim Asy’ari
dalam pandangan merupakan keberhasilan dalam suatu dunia
51
Ahmad Bahjat, Nabi-Nabi Allah, Terj. Muhtadi Kadi dan Musthofa Sukawi (Jakarta: Qisthi Press, 2008), 546.
113
pendidikan. Seseorang dianggap berhasil menempuh pengetahuan
ketika mereka mempunyai karakter dan juga perilaku yang baik
yang mana perilaku tersebut sesuai dengan panduan yang
berdasarkan pada al-Qur'an dan hadist. Oleh karena itu konsep yang
diadopsi berasal dari beberapa referensi baik itu dari kitab-kitab
klasik maupun dari al-Qur’an dan hadis yang menekankan bahwa
seorang yang mempunyai ilmu pengetahuan hendaknya juga disertai
dengan perilaku yang baik.
Perilaku yang baik tersebut tercermin dari perkataan dan
juga perbuatan yang merupakan contoh aplikatif atau manifestasi
dari orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu, seorang berilmu
dalam pandangan KH Hasyim Asy'ari mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang sangat besar yakni memperbaiki dan merubah
kondisi suatu masyarakat agar menuju ke masyarakat yang lebih
baik. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Seorang yang berilmu tidak boleh mengesampingkan aspek
pembentukan karakter. Sebab pembentukan karakter adalah konsep
atau dasar motivasi utama yang akan membentuk moral dan
perilaku suatu seorang.
Pendidikan karakter dapat terkonstruksi melalui interaksi
antara guru dengan murid secara baik. Sebab interaksi guru dan
murid yang intensif akan menghasilkan pola hubungan yang sangat
intensif dalam dunia pendidikan. Dalam bidang pendidikan kita
tidak boleh mengesampingkan aspek yang berkaitan berkaitan
dengan hal tersebut kurikulum yang baik dan berkualitas. Dalam
pandangan KH. Hasyim Asy’ari guru tidak hanya bertanggung
jawab kepada para peserta didik namun juga kepada Allah.
Kesadaran akan hal ini dinilai sangat penting karena ia memegang
amanat suci yaitu menyampaikan ilmu.
Perilaku kehidupan masyarakat Indonesia saat ini semakin
jauh dari budaya budaya luhur yang menjadi cermin dari karakter
bangsa Indonesia. Terutama yang mencerminkan keagamaan dan
berpancasila. Moral para remaja saat ini memiliki nilai-nilai yang
sangat merosot, terjadi pergaulan bebas, pelacuran yang semakin
ramai, tawuran antar pelajar, dan maraknya peredaran narkoba di
kalangan siswa.52
Adanya siswa yang terlibat dalam tindakan
kriminal dan sebagainya tidak dapat dipungkiri lagi. Dunia
52
Badan Narkotika Nasional Bekerjasama Dengan Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia, Hasil Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di 18 Provinsi Tahun 2016 (Jakarta: PUSLITDATIN BNN, 2017), 69.
114
pendidikan di Indonesia pada saat ini telah mengalami dekadensi
moral. Dekadensi moral disebabkan oleh adanya nilai-nilai yang
menyimpang dari aspek kehidupan berbangsa.
Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di kalangan remaja
saja, namun dalam masyarakat yang banyak diwarnai tindakan tidak
terpuji yang merupakan bentuk keprihatinan kita bersama. Pada
tataran yang lebih tinggi, pemerintah tidak mengenal lagi sebuah
karakter. Sebagai makhluk Tuhan dan sebagai makhluk yang hidup
secara bersama. Secara umum bangsa Indonesia dihadapkan pada
berbagai macam persoalan yang sangat krusial. Problem bangsa
Indonesia sering berganti yang menyita perhatian kita semua jika
tidak segera ditangani dan carikan solusi. Problem bisnis yang
seperti itu akan mengarah pada berubahnya karakter masyarakat
Indonesia dari positif ke negatif.
Kalangan terpelajar tidak hanya menjadi aktor utama yang
dapat menyebabkan mengatasi problem tersebut. Untuk mengatasi
berbagai macam problem yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Diperlukan upaya-upaya untuk pembentukan karakter bagi anak
didik anak didik agar menjadi manusia yang berkarakter karimah
atau insan al-kamil guna menunjang proses pembangunan nasional
di Indonesia.
Pentingnya pendidikan karakter sesuai dengan undang-
undang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk siswa serta mencerdaskan bangsa. Pendidikan nasional
mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar yaitu
menciptakan anak didik yang berkarakter mulia dengan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan karakter yang diterapkan
secara sistematis dan berkelanjutan akan mampu melahirkan
seorang anak yang cerdas dan memiliki pengabdian yang sangat
besar dalam membangun berbagai macma kecerdasan baik
intelektual maupun emosional.
Kecerdasan emosional adalah peran penting dalam
menentukan keberhasilan memberikan suatu bangsa. Lebih dari itu
pendidikan karakter akan menumbuh kembangkan tentang sikap
baik. Sehingga siswa didik menjadi paham tentang sesuatu yang
baik dan sesuatu yang tidak baik. Tanpa peranan guru pendidikan
karakter tidak akan pernah menjadi berhasil dengan baik. Sebab
pendidikan karakter mempunyai tujuan yang lebih tinggi daripada
pendidikan moral.
115
Pendidikan karakter dapat mengajarkan mana yang baik
dan mana yang buruk atau mana yang benar dan mana yang salah.
Pendidikan karakter harus melibatkan peranan penting seorang guru
sebagai fasilitator yang akan mengantarkan siswanya menjadi
generasi yang berkarakterul karimah. Lebih dari itu, pendidikan
karakter akan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta
kepedulian yang tinggi diantara sesama warga negara Indonesia.
Sebagai seorang pendidik seorang guru mempunyai
tanggung jawab yang sangat besar. Khususnya di Indonesia yang
mayoritas muslim. Karena kita akan menggali kembali nilai-nilai
Islam. Sebagai pijakan dalam tugas profesi dan profesional seorang
guru yang utama, yakni menjadi panutan manusia. Sebab
pendidikan Islam mengjarkan tentang peran manusia sebagi khalifah
di muka bumi yang memakmurkan. Hal ini sesuai dengan penjelasan
dalam al-Qura’n surat al-Baqarah ayat 30-31 dan az-Zariyat ayat
56.53
Artinya: Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui." Dan Dia mengajarkan kepada Adam
Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah : 30-31)
53
Universitas Islam Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya, Jilid I dan IX (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), 86 dan 504.
116
Artinya : dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Ad-Dzariyat :
56).
Islam sangat menghargai peranan seorang guru karena
seorang guru adalah bagian daripada ulama. Seorang guru dalam
pandangan Islam adalah pewaris para nabi.54
Melalui kontribusi
ilmu pengetahuan yang ia berikan, seorang guru akan memberikan
nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Rasulullah dapat ditransmisikan
dari generasi ke generasi. KH. Hasyim mengutip sebuah hadis
bahwa Rasulullah sangat memuliakan seorang guru daripada
seorang ahli ibadah, dalam penjelasannya mengatakan bahwa
seorang yang berilmu lebih ditakuti setan daripada seorang yang
tidak berilmu. Keutamaan seorang guru dibandingkan dengan
seorang ahli ibadah itu seperti keutamaanku dibandingkan dengan
orang yang paling rendah kedudukannya di antara kalian.55
Mengingat pentingnya ilmu pengetahuan, para malaikat
penghuni langit mendoakan seorang guru yang mengajarkan
kebaikan kepada manusia. Guru sebagai teladan mempunyai tugas
yang sangat besar dalam mendidik dan mengantarkan anak siswanya
menjadi generasi yang kuat di masa yang akan datang. Karena
mereka merupakan pewaris nabi yang mempunyai tanggung jawab
yang sangat besar untuk menciptakan generasi yang berkarakter
mulia.
Etika selanjutnya yang harus dimiliki seorang guru
terhadap dirinya sendiri adalah tidak menjadikan ilmu sebagai
tangga untuk mencapai keuntungan yang bersifat duniawi.
Termasuk dalam hal ini adalah tidak mengagungkan murid yang
memiliki orang tua seorang pejabat atau yang memiliki pangkat
kedudukan terpandang di masyarakat. Etika ini secara tersirat
hendak mengingatkan kembali kepada tujuan dari mengamalkan
ilmu pengetahuan. Karena itu menurut KH. Hasyim Asy’ari,
seorang guru harus mampu hidup zuhud dan menjauhkan diri dari
usaha-usaha yang rendah dan hina.
54
KH. Hasyim Asyari menjelaskan bahwa tujuan ilmu adalah diamalkan,
sehingga ulama adalah orang yang mengamalkan ilmunya, maka gur adalah
bagian daripada ulama yang mendapatkan gelar pewaris para nabi.
Sebagaimana Rasulallah katakana dalam hadisnya .العلماء ورثت االنبياء Lihat KH.
Hasyim Asyari, A<da>b al-A<lim Wa al-Mutaallim, 13. 55
KH. Hasyim Asyari, A<da>b al-A<lim Wa al-Mutaallim, 16.
117
C. Relevansi Nilai-Nilai Karakter dalam Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Terhadap Pendidikan Karakter di Indonesia
Pada pembahasan kali ini peneliti akan menganalisis
relevansi nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim terhadap pendidikan karakter di Indonesia
sebagaimana yang telah dirumuskan oleh KEMENDIKBUD
meliputi dua hal, yaitu unsur kandungan yang terdapat pada nilai-
nilai yang terdapat dari dua objek tersebut dan pola pendidikan
karkater pada dua objek tersebut. Pembahasan itu diantaranya
adalah:
1. Unsur kandungan
Merujuk pada Desain Induk Pendidikan Karakter 2010-2025
dan naskah akademik Pengembangan Pendidikan budaya dan
Karakter Bangsa oleh Kementrian Pendidikan Nasional baik
dimasa Muhammad Nuh ataupun Anis Baswedan menghasilkan
18 nilai-nilai pendidiikan karakter yang telah dirumuskan untuk
bangsa Indonesia dan harus diterapkan dalam kehidupan sebagai
pedoman dalam pendidikan karakter. Nilai-nilai tersebut antara
lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerjakeras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai presstasi, bersahabat/komunikatif,
cinta damai, gemar membaca, puduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab.56
Dari 18 nilai tersebut terdapat 3 unsur
penting yang menjadi pembahasan untuk menganalisis
relevansinya terhadap kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim. 3
unsur tersebut antara lain:
a. Unsur agama
Agama yang diakui oleh bangsa Indonesia terdapat 6
agama. yaitu: Islam, Kristen, Buda, Hindu, Katolik, dan
Khong Cu.57
6 agama tersebut dijadikan sebagai landasan
bagi pemeluknya masing-masing untuk mengembangkan
56
Muhammad Nuh, Desain Induk Pendidikan Karakter 2010-2025
Kementrian Pendidikan Nasional, 5-10. Lihat juga Kementrian Pendidikan
Nasional, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing Dan Karakter Bangsa, 9-10
57 UU No, 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama (UU/PNPS/1965).
118
pendidikan karakter yakni nilai sikap spiritual atau
menjadikan warga yang religius. Pengembangan nilai
religiusitas inilah merupakan salah satu cara dalam
mengentaskan prilaku amoral anak bangsa.58
Karena semua
ajaran agama pada prinsipnya mengajak kepada kebaikan.
Religiusitas adalah Sikap dan prilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain, misalkan orang yang religius dapat
ditandai dengan mengucapkan salam, berdoa sebelum dan
sesudah beraktifitas, merayakan hari besar keagamaan, saling
menghormati, menghargai, dan menjalankan ibadah wajib
sehari-hari sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
Nilai-nilai religiusitas inilah di jadikan oleh bangsa
Indonesia sebagai pedoman pendidikan karakter, hal ini pula
bagian dari amanah pancasila dan undang-undang yakni
berketuhanan yang maha Esa.
Religiusitas juga terdapat dalam kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dalam bentuk nilai-nilai ketaqwaan, zuhud,
Ikhlas, tawad}u. Keempat nilai di atas mengarahkan peserta
didik dan pendidik agar senantiasa dekat dengan Allah.
Peneliti menilai bahwa nilai-nilai agama yang diajarkan oleh
KH. Hasyim As’ari yang terdapat dalam kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim berhaluan sufistik yang berusaha
menghadirkan diri dalam rulung jiwanya bersama realitas
absolut yakni merasakan kehadiran tuhan di dalam dirinya.
Hal ini dapat kita lihat pada pendidikan yang beliau ajarkan:
ف حك انؼهاء انؼايه تؼهى االتشاس انرم انز لصذا ت ج هللا59
Artinya: ulama yang sejati adalah yang bagus
ketakwaannya yaitu yang menjadikan segala aktifitasnya
bertujuan mengharap rid}a Allah.
Puncak tertinggi dari kecintaan seorang sufi kepada
Allah SWT adalah mengharapkan rid}a darinya setelah
melakukan proses ‘ubudiyah yang panjang. Seorang sufi
sejati sangat jauh dari berharap surga apa lagi mengharapkan
58
Syafari Soma dan Hajaruddin, Menanggulangi Remaja Kriminal: Islam Sebagai Alternatif. Cet I (Bogor: CV Bintang Tsurayya, 1995), 118.
59 KH. Hasyim Asyari, A<da>b al-‘A>lim Wa al-Muta’allim , 22.
119
keduniaan yang bersifat fana.60
Bahkan Rabi’ah al-Adawiah
mengatakan dalam syairnya ‚ya Allah jika aku
menyembahmu karena takut pada neraka, maka bakarlah aku
di dalam neraka, dan jika aku menyembahmu karena
mengharap surga, maka campakkanlah aku dari surga. Tetapi
jika aku menyembahmu demi engkau, janganlah engkau
enggan memperlihatkan keindahan wajahmu yang abadi
kepadaku‛.61
Artinya bahwa pengabdian diri sebagai seorang
hamba tidaklah mengharapkan balasan, yang ada adalah
kecintaan dan kerid}aan.
Maka dari penjelasan di atas menyimpulkan bahwa
nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim ada kaitannya (relevan) dengan
pendidikan karter di Indonesia di tinjau dari unsur agama.
Sebagaimana yang telah penulis buktikan dengan adanya
unsur religiusitas berhaluan sufistik.
b. Unsur budaya
Jika kita tinjau dari sabang sampai marauke terdapat
berbagai macam budaya yang mewarnai kehidupan bangsa
Indonesia. Budaya dapat diartikan sebagai kearifan lokal
yang dihasilkan dari cipta, karsa dan rasa. Kearifan lokal
terbagi menjadi dua yaitu kearifan lokal yang bersifat abstrak
dan wujud. Tetapi dalam penelitian ini kearifan lokal yang
dimaksud adalah bersifat abstrak, yaitu berupa gagasan, ide-
ide, konsep, nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang
menjadi arahan atau pedoman untuk manusia dalam
bermasyarakat.62
Nilai-nilai kearifan lokal tersebut, seperti cium tangan,
gotong royong, toleransi, rela berkorban, pemalu, kerja keras,
tolong menolong dan cinta tanah air telah menyatukan
seluruh komponen bangsa Indonesia sehingga dapat merdeka
dari para penjajah.
60
Abu N. As-Sarraj, Al-Luma’: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf (Surabaya: Risalah Gusti, 2009), 110.
الهي ان كنت عبدتك خوف النار فاحرقني بالنار, او طمعا في الجنة فحرمها علي, وان كنت 61
-Lihat Ma’mun Gharib, Rabi’ah al .ال أعبدك اال من اجلك, فال تحرمني من مشاهدة وجهكAdawiayah Fi Mihrab al-Hubbi Ilahi (Kairo: Da>r al-Gharib, 2000), 49.
62 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Analisis Kearifan Lokal Ditinjau Dari Keragaman Budaya (Jakarta: Pusat Data
dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan, 2016), 11.
120
Unsur budaya inilah yang dimasukkan kedalam
pendidikan karakter di Indonesia sebagai kearifan lokal yang
mesti dilestarikan sebagai bangsa yang berbudaya untuk
menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia.
KH. Hasyim As’ari adalah ulama yang sangat mengjaga
nilai-nilai budaya yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia
sehingga ada istilah Islam Nusantara yaitu Islam yang
bersinergi dengan nilai-nilai budaya.
Kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim yang dikarang
KH. Hasyim Asyari banyak terdapat nilai-nilai pendidikan
karakter yang mengandung unsur kebudayaan, misalnya
sopan santun. Kita dapat lihat pada bab 3 tentang etika
murid kepada guru dikatakatan bahwa
ىظا طش ان تؼ االجالل انرؼ
Maksudnya adalah memandang guru dengan penuh
hormat dan memuliakan. Pandangan penuh hormat disini
adalah tidak memandang langsung matanya layaknya teman
tetapi dengan menundukkan kepala, Ketika berjumpa dan
meninggalkannya pun hendaknya mencium tangannya.
Sopan santun ini adalah warisan bangsa yang mesti
dilestarikan. Hal ini tidak akan dapat ditemukan dalam
ajaran agama dan pendidikan karakter di Barat.
Selain sopan santun, KH. Hasyim As’ari juga
memasukkan nilai-nilai budaya dalam pendidikan karakter
yang terdapat di dalam kitab a>da>b, seperti kerja keras,
gotong royong, saling membantu dan saling mengasihi. Sikap
gotong royong dan saling membantu dapat kita lihat pada
sifat seorang guru yang membantu muridnya yang tidak
mampu dari segi finansial. Sikap tolong menolong tersebut
adalah warisan budaya yang dihasilkan dari agama dan
persatuan.
c. Unsur tujuan pendidikan nasional
Merujuk pada landasan filosofis yang digunakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia dalam merumuskan pendidikan karakter yang
diarahkan untuk pencapaian tujuan pendidikan nasional
121
yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200363
dengan
rincian sebagai berikut:
1. Pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 menjelaskan
bahwa ‚pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, dan Negara‛.
2. Pasl 3 UU No. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa ‚untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggung jawab‛.
Dari sini menunjukkan bahwa amanah undang-undang
terhadap tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan
anak bangsa dan menjadi baik yaitu baik dalam beragama,
bergaul atau bermasyarakat dengan mencerminkan akhlak
mulia. Hal tersebut senada dengan apa yang di tulis KH.
Hasyim Asyari yang terdapat dalam kitab a>da>b yaitu menjunjung nilai-nilai ketaqwaan, nilai pengendalian diri,
dan soisal.
Maka landasan filosofis inilah yang menjadi dasar
bahwa kitab relevan dengan pendidikan karakter yang ada di
Indonesia.
2. Pola pendidikan karakter
Jika kita lihat dari pola yang terdapat pada dua objek
tersebut memiliki pola yang sama yaitu olah pikir, olah hati,
olahraga, olah rasa dan karsa.64
Olah pikir adalah membangun
dan mengembangkan kecerdasan intelektual dengan
mengoptimalkan segala potensi yang ada dalam diri seseorang.
Olah hati adalah mengembangkan dan menjaga nilai-nilai
spiritualitas dan emosional. Olah raga adalah menjaga fisik agar
63
Muhammad Nuh, Desain Induk Pendidikan Karakter 2010-2025 Kementrian Pendidikan Nasional, 9 dan 48.
64 www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/membangun-pendidikan-
karakter-melalui-keteladanan-guru
122
tetap berstamina dan sehat. Dan olah rasa dan karsa adalah
menjaga dan mengembangkan sikap kepedulian dan kreatifitas.
Dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim di dalamnya
terdapat 17 nilai-nilai pendidikan karakter diantaranya adalah
cinta ilmu, taqwa, zuhud, disiplin, al-qowamiyah, sabar, wira’i, tawd}u, kerja keras, ikhlas, cinta kebersihan, demokratis, kasih
sayang, adil, peduli sosial, dan bersyukur.
Adapun nilai-nilai pendidikan karakter yang mempunya
relevansi dengan pendidikan karakter di Indonesia antara lain:
Tabel.1.1 relevansi nilai-nilai pendidikan karakter dalam
kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dengan pendidikan
karakter di Indonesia
No. Pola
Pendidikan
karakter di
Indonesia
Kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim
1 Olah hati
Religius, jujur,
bertanggung
jawab, disiplin,
Zuhud, taqwa, ikhlas,
adil, tawad}u, wira’i,
2 Olah pikir
Mencintai ilmu,
kreatif, gemar
membaca, rasa
ingin tahu,
Bersungguh-sungguh,
mencintai ilmu dan
bersyukur
3 Olah raga
Peduli
lingkungan, kerja
keras, disiplin,
Mencintai kebersihan,
menjaga pola makan,
dan al-qowamiyah
4 Olah rasa
dan karsa
Peduli sosial,
toleransi,
demokratis, kerja
keras, semangat
kebangsaan,
bersahabat,
bersahabat/komunikatif,
peduli sosial,
demokratis, kasih
sayang, dan al-‘adalah
Kesesuaian nilai pendidikan karakter yang terkandung pada
kitab a>da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dan pendidikan karakter di
Indonesia yang menjelaskan mengenai kesesuai pola yang sama
yakni olah hati, olah piki, olah raga, dan olah rasa dan karsa.
Nilai-nilai pendidikan karakter di Indonesia yang telah
penulis sebutkan di atas mengacu pada desain induk pendidikan
karakter kemendiknas dimasa Muhammad Nuh sebagai Mentri
123
Pendidikan dan Kebudayaan sosial priode 2009-2014 yang
digunakan sebagai indikator, acuan dan pedoman dalam
pembentukan karakter di Indonesia tahun 2010-2025. Implementasi
nilai-nilai karatkter tersebut dalam rangka pembentukan olah pikir,
olah hati, olah raga, olah rasa dan karsa.65
Dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim di dalamnya
banyak menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter melalui
kutipan al-quran, hadis, ungkapan para sahabat, tabi’in, dan para
ulama yang mengandung perintah, larangan dan anjuran. Dari
situlah pembaca mendapatkan nilai-nilai pendidikan karakter yang
terdapat dalam kitab tersebut. Dari sisi nilai pendidikan karakter
bangsa yang berbudaya dan beragama, nilai dalam kitab tersebut
bisa juga menjadi tambahan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa,
karena di dalam kitab tersebut terkandung pendidikan aqidah dan
akhlaq.
Implementasi pendidikan karakter di Indonesia dapat
terlihat dari muatan isinya yang mengandung akhlak, ketuhanan,
budaya dan kebinekaan, maka nilai-nilai dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim sangat relevan karena kitab tersebut
mengajarkan hal yang sama yaitu adanya nilai-nilai akhlak,
ketuhanan, budaya dan kebinekaan sedangkan sariat dibahas dalam
buku lain.
Berdasarkan uraian diatas, maka nilai-nilai pendidikan
karakter yang terdapat dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dengan pendidikan karakter di Indonesia memiliki relevansi.
Adapun relevansi pokok, antara lain:
1. kedua-duanya dijalankan berlandaskan prinsip budaya, agama,
dan kebinekaan.
2. Kedua-duanya berlatarbelakang NU, KH. Hasyim asyari
pengarang kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim adalah pendiri
NU sedangkan Muhammad Nuh perumus pendidikan karakter
di Indonesia adalah kader NU Surabaya yang tentunya
memiliki ajaran dan pikiran yang sama dalam hal agama.
3. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim dan pendidikan karakter di Indonesia
memiliki pola yang sama yaitu olah pikir, hati, raga, rasa, dan
karsa.
65
Muhammad Nuh, desain Induk pendidikan karakter di Indonesia diakses dari wordpress.com/2011/05/desain-induk-pendidikan-karakter-
kemdiknas.pdf
124
4. Nilai pendidikan karakter pada dua objek tersebut
mengutamakan nilai-nilai persatuan, ketuhanan dan
kecerdasan.
Pandangan peneliti terhadap nilai-nilai pendidikan karakter
yang terdapat dalam kitab a<da>b al-‘a>lim wa al-muta’allim baik
nilai akhlak, aqidah atau ketuhanan, dan kebudayaan bisa menjadi
kontribusi bagi pembaca untuk mewujudkan nilai-nilai pendidikan
karakter dalam pribadi muslim sejati dan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Dan bisa pula dijadikan standar pendidikan
karakter bangsa secara nasional, karena mayoritas masyarakat
indonesia adalah muslim dan beragama.
125
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis yang telah penulis lakukan tentang nilai-nilai
pendidikan karakter yang tertuang dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Karya KH Hasyim Asyari dan relevansinya dengan pendidikan
karakter di Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran sebagai
jawaban dari rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Dari analisis yang telah peneliti lakukan dari kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim tentang nilai-nilai pendidikan karakter, maka peneliti
menyimpulkan bahwa penguatan rasa lebih efektif dibanding penguatan
rasio dalam pengembangan diri. Hal ini dibuktikan dengan data sebagai
berikut :
1. Dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Karya KH Hasyim
Asyari terdapat 17 nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam
kitab tersebut melalui hasil kajian mendalam dari 101 halaman yang
terdiri dari bab inti yang membahas tentang pertama, fad{ilah- fad{ilah atau keutamaan ilmu, belajar, guru, dan penuntut ilmu. Kedua, akhlak
atau karakter yang harus dimiliki pelajar. Dan ketiga, akhlak atau
karakter yang harus dimiliki pengajar. Dari ketiga bab inti tersebut
penulis menyimpulkan dari 17 nilai tersebut diantaranya: taqwa, cinta
ilmu, zuhud, disiplin, al-qawamiyah, sabar, wira’i, tawad}u, kerja
keras/sungguh-sungguh, ikhlas, cinta kebersihan, demokrasi, kasih
sayang, komunikatif/bersahabat, adil, peduli sosial, dan bersyukur.
Dari 17 nilai yang telah disebutkan, peneliti gunakan untuk
membuktikan adanya relevansi dengan pendidikan karakter bangsa yang
telah dicanangkan oleh Kemendikbud.
2. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Karya KH Hasyim Asyari relevan dengan
pendidikan karakter di Indonesia. Relevansi tersebut dibuktikan dengan
adanya keterkaitan antara:
a. Dari 17 nilai yang telah penulis rumuskan melalui kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim mengandung unsur kebudayaan,
religiusitas dan kecerdasan, hal tersebut sesuai dengan apa yang
dicanangkan oleh Kemendikbud dari 18 nilai-nilai pendidikan
karakter yang menjadi pedoman bangsa Indonesia.
b. Adanya relevansi dari sisi pola yang dikembangkan dalam
pondidikan karakter baik yang terdapat dari kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim maupun karakter bangsa Indonesia. Pola tersebut
adalah olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa.
126
Dengan demikian pembuktian ini menjadi dasar akan pentingnya
pendidikan karakter sebagai alat untuk membentengi generasi penerus
bangsa dari dekadensi moral yang saat ini sulit untuk dibendung, karena
teknologi yang semakin canggih dan informasi yang terbuka bebas.
B. Saran-saran
Dari penelitian tentang nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab
A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Karya KH Hasyim Asyari dan
relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia, ada beberapa saran
yang ingin peneliti sampaikan, diantaranya adalah:
1. kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Karya KH Hasyim Asyari
adalah kitab yang sangat cocok untuk diterapkan di dalam dunia
pendidikan dalam pembentukan karakter bangsa. Hendaknya kitab ini
kita dukung dan disosialisasikan dalam dunia pendidikan dan
dicanangkan dalam sebuah kurikulum agar para pelajar sebagai aset
bangsa dapat memiliki benteng dari virus-virus yang dapat merusak akal,
hati, raga dan bangsa.
2. Seyogyanya semua stekholder pendidikan merancang dan
bermusyawarah dalam penggabungan kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim Karya KH Hasyim Asyari dalam setiap mata pelajaran.
3. Pendidikan karakter dalam kitab adab sangat baik untuk para guru
dijadikan sebagai pedoman agar menjadi guru yang berbudi pekerti
tinggi, yang saat ini telah banyak ditinggalkan oleh para guru. Padahal
seorang guru harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi
pedagogik, sosial, kepribadian dan professional. Dan kompetensi
kepribadian yang terdapat dalam kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim sangat baik dan cocok untuk dikembangkan di Indonesia.
4. Kitab A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim akan sangat baik sekali apabila
di tambahkan perowi dan sanad yang jelas dalam pengkutipan hadis agar
menambah keyakinan para pembaca bahwa kitab tersebut bersumber dari
hadis yang mutawatir.
127
DAFTAR PUSTAKA
A. Artikel Jurnal
Amitai Etzioni. ‚How Not to Discuss Character Education‛ The Phi Delta Kappan, Vol. 79, No. 6 (1998): 446-448.
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 4 No. 1,
Maret 2003.
Baharom Mohamad, artikel Seminar Pembangunan Modal Insan
tahun 2009 di Bharu Kelantan. Di akses dari
http://irep.iium.edu.my/11673/1/Proceding-
Pelburan_Negara_dlm_Pmbangunan_Modal_Insan.pdf
Bernice L. Caswell. ‚Character Education and the Short Story‛ The English Journal, Vol. 23, No. 5 (1934): 406-409.
Clara Willoughby Davidson. ‚A Course of Study in Character
Education‛ Journal of Bible and Religion, Vol. 7, No. 3
(1939): 127-131.
Daniel P. Eginton. ‚Principles of Character Education‛ Junior-Senior High School Clearing House, Vol. 8, No. 5, (1934): 298-305.
David Snedden. ‚The Improvement Of Character Education‛ The Journal Of Education, Vol. 88, No. 6 (1918): 144-145.
Derek H. Davis, ‚Character Education in America’s Public
Schools‛. Journal Of Church And State (2016): 2. Di akses
dari http://jcs.oxfordjournals.org/ at UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta University on March 16: 11-12.
Emile Durkheim, Pendidikan Moral Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Terjemah. Lukas Ginting (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1990), XIII.
E. H. Fishback. ‚Character Education in the United States‛ The Elementary School Journal, Vol. 29, No. 4 (1928): 277-279.
E. Frank Francis. ‚Fundamentals of Character Education‛ The School Review, Vol. 70, No. 3 (1962): 345-357.
128
E. K. Hillbrand. ‛Character Education from the Standpoint of the
Educator‛ The Phi Delta Kappan, Vol. 9, No. 5 (1927): 132-
135.
F. Ernest Johnson,‚Character Education‛. The American Journal of Nursing,Vol. 40 (1940). 761.
Frank L. Eversull. ‚Character Education‛ The Phi Delta Kappan,
Vol. 10, No. 1 (1927): 24-26.
http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf
Ian Davies, Stephen Gorard and Nick McGuinn. ‚Citizenship
Education and Character Education: Similarities and
Contrasts‛ British Journal of Educational Studies, Vol. 53,
No. 3 (2005):341-358.
Ibrahim Kalin, ‚Akhla>k‛. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World,http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236
/e1125, di akses pada tanggal 17 juni 2016.
Ivor Pritchard. ‚Character Education: Research Prospects and
Problems‛ American Journal of Education, Vol. 96, No. 4
(1988): 469-495.
James Arthur, Education (New york: The Taylor&Francis e-
library,2003), 115.
John S. Cornett. ‚Character Education‛ The Journal of Religion, Vol.
11, No. 3 (1931): 378-399.
Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian Dan
Pengembangan, Pusat Kurikulum Dan Perbukuan, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (TK, TP: 2011.
Kementrian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pusat Kurikulum, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing Dan Karakter Bangsa, Jakarta: TP, 2010.
Marvin W. Berkowitz and Melinda C. Bier.‚Based Character
Education‛ The Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 591(2004): 73-85.
Merle I, Schwartz, Effective Character Education (New York: Mc
Graw-Hill,2008), 1.
129
Michael Davis. ‚What’s Wrong with Character Education?‛
American Journal of Education, Vol. 110, No. 1 (2003): 32-
57.
Mochamad Iskarim. ‚Dekadensi Moral di Kalangan Pelajar
(Revitalisasi Strategi PAI dalam Menumbuhkan Moralitas
Generasi Bangsa)‛. Jurnal Islamika volume 1, (Desember
2016), 4.
Muhammad Murtaza bin Aish, Kumpulan 70 Hadth Pilihan Terjemahan Dady Hidayat. pdf, 2013.
M. E. Haggerty. ‚Character-Education and Scientific Method‛ The Journal of Educational Research, Vol. 13, No. 4 (1926): 233-
248.
Pembangunan Pendidikan Nasional 2010 – 20114, Rembug Pendidikan Nasional 2010 ( Depok, 2-4 Maret 2010.
Perry L. Glanzer. ‚Exit Interviews: Learning about Character
Education from Post-Soviet Educators‛ The Phi Delta Kappan, Vol. 82, No. 9 (2001): 691-693.
Salmiwati. ‚Pendidikan Keimanan dan Ketaqwaan Bagi Anak-Anak‛ Jurnal Tarbiyah al-Aulad, Volume IV, Edisi 1 (2015): 385
Slamet Suyanto. ‚Hasil Implementasi Pendidikan Karakter Di
Amerika Serikat: Meta Analisis Study‛. Prosiding Seminar Nasional Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta, Mei
2011.
Soewartoyo. ‚Harapan Orang Tua Terhadap Pendidikan Dan
Pekerjaan Anak‛ Jurnal Kependudukan Dan Kebijakan UGM volume 19 No 2. (Desember 2009), 90.
Subandi. ‚Sabar Sebuah Konsep Psikologi‛. Jurnal Psikologi Volume 38, No. 2, (Desember 2012): 218.
Subhan Afifi. ‚Tayangan Bermasalah dalam Program AcaraTelevisi
di Indonesia‛. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, nomor 3 (September-Desember 2010), 247.
Syaidatun Nazirah bt Abu Zahrin. ‚Membudayakan Cinta Ilmu
Sebagaik Kaidah Penolakan Serangan Pemikiran Liberal‛ e-Proceeding Of the 3rd Internasional Coverence on Arabic
130
Studies And Islamic Civilization ICASIC2016 (2016) 272-
274.
Syed Muhammad Naquib al- Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), 1993), 16.
Thomas Lickona. ‚Religion and Character Education‛ The Phi Delta Kappan, Vol. 81, No. 1 (1999): 21-24, 26-27.
Thomas M. Rivers. ‚Ten Essentials For Character Education‛ The Journal Of General Education, Vol. 53, No. 3/4 (2004): 247-
260.
Tony R. Sanchez and Victoria Stewart. ‚The Remarkable Abigail:
Story-Telling for Character Education‛ The High School Journal, Vol. 89, No. 4 (2006): 14-21.
UU No, 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama (UU/PNPS/1965).
Vernon Jones. ‚Character Education‛ Review of Educational Research, Vol. 5, No. 1, (1935): 31-36.
Vernon Jones. ‚Character Education‛ Review of Educational Research, Vol. 7, No. 5 (1937): 467-473.
Victor Battistich, ‚Character Education, prevention and Positive
Youth Development,‛ www.character.org diakses pada
tanggal 21 juli 2016.
William A. Koppe. ‚A Developmental Theory of Character
Education‛ Review of Religious Research, Vol. 6, No. 1
(1964): 23-28.
William T. Gruhn. ‚Character Education through an Effective
School Creed‛ The High School Journal, Vol. 17, No. 7
(1934): 243-245, 257-258.
ww.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/11/membangun-pendidikan-
karakter-melalui-keteladanan-guru.
www. kemdikbud.go.id/konten/1/visi-misi-dan-tujuan
http://www.smkpasundan2bdg.sch.id/visi-misi-sekolah.
B. Buku Akademik, Tesis, dan Disertasi
131
A, Doni Koesoema. Pendidikan Karakter, Jakarta: Grasindo,
2007.Ali, Mukti. Pemikiran KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam pendidikan pesantren, Tesis, Jakarta: Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005.
Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Achmadi. Idiologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2013.
Al-Bukhāri>, Muhammad Bin Ismā’il Abu> ‘Abdillāh al-Ja’fi. Al-Jāmi’ Al-Ṣaḥîḥ Al Mukhtaṣar, Beirūt: Dār Ibnū Kathīr, 1407 H.
Al-Bursawi>, Shaykh Isma>’i>l H{aqqi>. Tafsi>r Ru>h} al-Baya>n, Bairu>t: Da>r
al-Fikr, t.t.
Al-Gha>zali, Al-Ima>m Abi> H}a>mid. Ih}ya> ‘Ulu>m al-Di>n Juz 3, Qa>hirah:
Da>r al-H}adi>th, 2004.
Al-Hafidz, Ahsin W. Fikih Kesehatan, Jakarta: Amzah, 2007.
al-Mund{iri>, Ima>n. al-Muntaqa> min Kita>b al-Targhib wa al-Tarhi>b, ter. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, dengan judul Seleksi Hadis-Hadis S.ahi>h Tentang Targhib wa al-Tarhi>b, cet I, Jakarta:
Rabbani Press, 1993.
Al-Must}a>wi, ‘Abdu al-Rahman. Di>wa>n al-Ima>m al-Sha>fi’i, Lebanon:
Da>r al-Ma’rifah, 2005 M/1426H.
Al-Sarraj, Abu N. Al-Luma’: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, Surabaya: Risalah Gusti, 2009.al-Quran dan terjemahan.
Jakarta:Pustaka al-Mubin, 2013.
Al-Utsman, Muhammad Bin S}alih. Budi Pekerti Yang Mulia. terjemah, Abu Musa al-Atsari, Maktabah Abu Salma, 2008.
Andayani, Abdul Majid Dan Dian. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.
Anam, Chairul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdatul Ulama. Solo: Jatayu Solo, 2005.
Arifin, Imran. Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, Malang:Kalimasada Press, 1983.
132
Arianti, Wiwik Sumiyarsih, Endah Mujiasih dan Jati. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB), Semarang: CV. Aneka Ilmu,
2012.
Asyari, KH. Hasyim. A<da>b Al-‘A>lim Wa Al-Muta’allim, Jombang:
Maktabah al-Tura>th al-Isla>mi, 1415 H / 1994 M.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, Yogyakarta:
Andi Offset, 1986.
Baso, Ahmad. Pesantren Studies 2A, Jakarta: Pustaka Afid, 2012.
Bungin, M. Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta:
Kencana, 2008. Bustam, Betty Mauli Rosa. Sejarah sastra arab dari beragam
perspektif, Deepublish: Jakarta, 2015.
Damanhuri. Akhlak Tasawuf, Banda Aceh, Penerbit Pena, 2010. Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT.Bulan Bintang,
2003.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. The Education Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmi, dkk, Bandung: Mizan, 2003.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Study Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1994.
Djamal, M. Paradigma Penelitian kualitatif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
Dkk, Elfindri. Pendidikan Karakter Kerangka, Metode dan Aplikasi Untuk Pendidikan dan Profesional, Jakarta: Bandous Media,
2012.
Elmubarok, Zaim. Membumikan Pendidikan Nilai; Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan Yang Bercerai, Bandung: Alfabeta, 2008.
Fitri, Agus Zainul. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Dan Etika Di Sekolah, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter Konsep Dan Implementasi, Bandung: Alfabeta, 2012.
Hadziq, Muahammad Ishomudin. Kumpulan Kitab Karya KH. Hasyim Asyari, Tebuireng Jombang: Pustaka Warisan Islam.
133
Hadzik, M. Ishom. Mengenal KH. Hasyim Asy’ari Dan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang: TNP, 2009.
Haidar, M. Ali Profil Pesantren Tebuireng, Jombang: Pustaka
Tebuireng, 2011.
Hajaruddin, Syafari Soma dan. Menanggulangi Remaja Kriminal: Islam Sebagai Alternatif. Cet I, Bogor: CV Bintang
Tsurayya, 1995.
Hajjaj, Abu Muslim Ibnu. Shahih Muslim, Juz II, Beirut: Dar Kutub
al-Ilmiyah, t.t.
Hawwa, Sa’id. Al-Islam, terj. Abu Ridha dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Cet, Kedua, Jakarta: al-I’tishom, 2002.
Ismail M, M. Abdul Mujib, Syafi’ah, Ahmad. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghozali, Jakarta: Hikmah, 2009.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya Jilid 10, Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2012.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Analisis Kearifan Lokal Ditinjau Dari Keragaman Budaya
(Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan
Kebudayaan, 2016.
Khuluk, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asyari, Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2000.
Kilpatrick, William. Why jhony Can’t tell right from wrong, and what we can do about it, New york: Atouchstone book, 1992.
Lickona, Thomas. Educating for character, Jakarta: Bumi Aksara,
1991.
Lubis, Mawardi. Evaluasi Pendidikan Nilai – Perkembangan Moral Keagamaan Mahasiswa PTAIN, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan Cet. Ke-IV, Bandung: Mizan, 1997.
Megawangi, Ratna. Semua Berakar Pada Karakter: Isu-Isu Permasalahan Bangsa, Jakarta: Lembaga Penerbit Feui, 2007.
134
Mochtar, Abd al-Mudh Khan dalam Affandi. Tesis, Montreal:
McGill University, 1993.
Moleong, Lexy J. Metodologi penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000.
Muhajir, Noeng. Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, yogyakarta: rake sarasin, 1993.
Muhajir, Noeng. Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme dan
Post Modernisme, Edisi II, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
Mulyasa, E. Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi Aksara,
2012.
Mumaziq, Ahmad Baso, K NG H. Agus Sunyoto, Rijal. KH. Hayim Asy’ari Pengabdian Seorang Kyai untuk Negeri, Jakarta:
Musium Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2017.
Munandar. Strategi Pembelajaran Di Perguruan Tinggi, Yogyakarta:
CTSD, 1987. Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawir Kamus Arab-indonesia,
Yoogyakarta: Pustaka Progpresif, 1984.Rusdi. Ajaibnya Tawadhu dan Istiqomah, Yogyakarta: Sabil, 2013.
Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multi Dimensional, Jakarta: Bumi Aksara, 2015.
Muthohar, Ahmad. Idiologi Pendidikan Pesantren: Pesantren Ditengah Arus Idiologi-Idiologi Pendidikan, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2007.
Nata, Abuddin Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf Dan Karakter mulia, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2013.
Nidzom, Muhammad Pendidikan Akhlak menurut KH. Hasyim Asyari, cirebon: Program Pascasarjana Institut Agama Islam
Negeri Syeh Nurjati Cirebon, 2012.
135
Noor, Rohinah M. KH. Hasyim Asyari Memodernisasi NU&Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2010.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.
Nu’man, Mohammad. Konsep Etika Al-Mawardi, Desertasi, Jakarta:
Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta,
2007.
O’neil, William F. Idiologi-Idiologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Purwadi, Sejarah Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Persada, 2003.
Rahmat, Jalaludin. Dahulukan Akhlak Diatas Fiqih Cet. II, Bandung:
PT Mizan Utama, 2007.
Rahmaniyah, Istighfarotur. Pendidikan Etika Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih, Malang: Aditya Media, 2010.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012.
Razikin, Badiatul. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, yogyakarta: e-
Nusantara, 2009.
Ridjaluddin. Peranan KH. Hasyim Asyari Dalam Kebangkitan Islam Di Indonesia, Jakarta: Pusat Kajian Islam Fakultas Agama
Islam Uhamka, 2008.
Rohmat, Mulyana. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung:
Alfabeta, 2004.
Rustar, Muhammad. Pendidikan Karakter Menurut KI Hadjar Dewantara, Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2010.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: lentera Hati, 2002.
Soyomukti, Nurani Teori-Teori Pendidikan dari Tradisional, Liberal, Marxis-Sosial, hingga Postmodern, Jakarta: Ar-Ruzz Media,
2015.
Supriadi, Dedi. Membangun Bangsa Melalui Pendidikan, Bandung:
Rosdakarya, 2004.
Sukmadinata, Syaodih Nana. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Prakte, Bandung: Remaja Rosda Krya, 200.
136
Surakhmad, Winarno. Pendidikan Nasional; Strategi dan Tragedi, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009.
Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Syafri, Ulil Amri. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Syarbini, Amirullah. buku pintar pendidikan karakter, jakarta: prima
pustaka, 2012.
Syukur, Amir. Zuhud di Abad Modern cet-3, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Taneja, V.R. Educational Thought And Practice, New Delhi:
Sterling Publishers privated Limited 2008.
Thomas Lickona, Character Matters Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Nilai Yang Baik, Integritas, Dan Kebajikan Penting Lainnya. Terjemah. Juma Abdu Wamaungo, Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2012.
Tim Abdi Guru. Ayo Belajar Agama Islam Untuk SMP Kelas VII, Jakarta: Erlangga, 2004.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Dalam Islam: Pendidikan Soisial Anak, Cet. Ke-3, Bandung: Remaja Rosda Karya,
1996.
Vaisey, Steven Hitlin Dan Stephen. Hand Book Of The Sociologi Of Morality, New York: Springer, 2010.
Wardoyo, Hadi. Moral Dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius,
1990.
Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban, Cet Ke-1, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Yudi Latief, menyemai karakter bangsa budaya kebangkitan berbasis
kesastraan (jakarta: kompas media, 2009), 82.
Yususf, Madya, Saudah Wok, Narimahismail, Mohd. Teori-Teori Komunikasi, Kuala Lumpur: Percetakan Cergas, 2004.
Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan , Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2013.
137
Zuhri, Saifudin. Wejangan Hasyim Asya’ari, Jombang: Pustaka
Warisan Islam, 2010.
143
Daftar indeks
‘
‘ubudiyah, 37, 117
A
Abstrak, 118
Abuddin nata 38,39,45,46,47
Afektif, 18, 28, 29, 42, 49, 111
Akhlak al-kari>mah, 1, 2, 3, 4,
10,24,38,57,62,66,67,68,71
Aplikatif 17, 112
B
Biografi 22, 50, 51, 53,55
Brofenbrenner 5
Burhanuddin al-zarnuji 8
C
Cendikiawan 38
Clara willoughby davidson 2
D
Danil p. Eginton 7
Dekadensi moral 2, 5, 30, 75,
78, 80, 113, 125
Demokratis 1, 26, 29, 34, 62,
103, 104, 116, 120, 121
Derek h. Davis 2
Doktrinisasi 28
E
Efektif 2,48,102,122,123
Eksistensi 2, 6, 75, 81, 81, 82,
83
Evaluasi 67, 80
F
Fenomena 8, 70, 78, 79, 82, 111
Figur 16, 51, 71, 72, 83
Filosofi 57, 119, 120
Filsafat 29, 43, 46, 73, 79
Fuad hasan 3
G
Garbarino 5
H
Hierarki 35
Holistik 41, 66, 68, 79, 88
I
Ibnu jama’ah 8
Identifikasi 10, 12, 13, 21, 22,
34, 108
Ideologi 34, 36, 41
Implementasi 12, 28, 40,42,
83,105, 122
144
Implikasi 26, 35, 49, 79, 89
Indikator 48, 74, 77, 91
Instrument 2, 3, 467,87
Integrasi 35,78,79
Interaktif, 12
J
Jawa timur 21, 72, 78
Jean jacques rousseau 4, 27
John S. Cornett 2
Jombang jawa timur 21,78
K
Kecerdasan intelektual 4,
12, 118
Kemendikbud
22,117,125
Khalifah, 24,56,59,113
Khazanah,17,18,75,116,117,118
,119,120,121
Kh. Hasyim As’ari 8, 14, 16,
44, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 64, 65, 67, 68, 70,
71, 72, 78, 80, 84, 85, 86, 87,
88, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 104, 109, 111, 112,
113, 116, 118, 120, 121, 123,
125, 126
Ki Hadjar Dewantara 8, 15, 45
Kognitif 28, 29, 42, 43, 76, 77
Kompetensi 17, 62, 63, 64, 65,
66, 123 Komprehensif 49,67,68
Konkrit 18,79
Konsensus 40
Konstruksi 54,78,80,92,109,111
Kontens 22
Kontribusi 16,75,81,84,114,122
Kriminal 7,11,30,111,116
Kualitatif 20,21,35
Kurikulum,15,26,27,31,34,78,7
9,111,115,123
M
Marthin luther king 3
Marvin w. Berkowitz 3,4,27
Melinda c. Bier 3,27
Mohd johari baharom 5 Mu’amalah 37
Mudhorot 5
Muru’ah 14
N
Noeng muhajir 3
Nusantara,8,31,33,73,75,78,81,
82,118
O
Objek,12,15,16,20,24,44,47,49,
75,119,122
Observasi 19
Olah hati 119,120,121
Olah pikir 119,120,121,122
Olah raga 119,120,121
Olah rasa dan karsa 119,121
145
Orientasi,12,28,40,66,73,74,77,
97,98
P
Paradigma,19,20,21,65,77
Perspektif 3, 4, 9, 10, 44, 47, 70,
82, 85, 105, 110
Potensi 1, 28, 41, 42, 68, 74,119
Psikologi 14, 19, 21, 45, 90
Psikomotorik 28, 29, 42, 43,
110
R
Referensi 20, 21, 61, 64, 109,
110
Relevansi 10, 13, 14, 16, 17, 18,
20, 21, 22, 109, 115, 120, 121,
122, 123
Revolusi 32
S
Signifikansi 9, 12, 17, 22, 28
Silabus 31
Sinergi 28, 118
Skill 5, 77
Socrates 2, 29, 30
Sosiokultural 29
Sosiologi 14, 19, 21, 26
Spiritual 38, 40, 74, 116, 119
Stimulus 65
Substantif 20
Sufistik 67
T
Tebuireng
21,51,52,53,54,66,70,71,72
Thomas
lickona3,19,25,30,39,40,41,42
Transmisi 18,43,84,114
U
Umar ahmad baraja 8
Ultimatum 50
Urgen 6, 22, 26, 30, 41, 111,
116
V
V.r. taneja 4,27
W
William kilpatrick 3
W. Dodson 4
Y
Yogyakarta 8, 40
Z
Zubaedi 5, 6
TENTANG PENULIS
Saipullah, dilahirkan di Bandar Lampung
pada tanggal 09 November 1987. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah
Ibtidaiyah Al-jauratun Naqiyah (MIAN) Kotabaru
Bandar Lampung pada tahun 1999. Kemudian
melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah
Negeri (MTsN 1) Bandar Lampung dan lulus pada
tahun 2002. Pendidikan Menengah Atas ditempuh
di Madrasah Aliyah Negeri (MAN 1 Model) Bandar Lampung dan lulus
pada tahun 2005. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan tinggi ke
Universitas Attahiriyyah Jakarta dan lulus pada tahun 2010. Selanjutnya
pada tahun 2013 penulis meneruskan pendidikan di Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarir Hidayatullah Jakarta .
Dalam penyelesaian studi akhir ini penulis menulis tesis dengan
judul ‚Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Kitab A<da>b al-‘A<lim Wa
al-Muta’allim dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter di
Indonesia‛.