LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR No. 1, 2013 ...
Transcript of LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR No. 1, 2013 ...
1
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai hasil pembangunan daerah yang optimal serta untuk menjamin konsistensi dan keberlanjutan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi secara efisien dan efektif, diperlukan adanya sistem perencanaan pembangunan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4844);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4817);
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa;
3
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 517).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores Timur.
3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Flores Timur.
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada Pemerintah Daerah.
6. Instansi Perencana adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan Perencanaan Pembangunan di Daerah.
4
7. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
8. Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, maupun peningkatan indeks pembangunan manusia.
9. Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan
berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.
10. Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di daerah.
11. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun yang memuat Visi, Misi dan Arah Pembangunan Daerah.
12. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi yang selanjutnya disingkat RPJPD Provinsi adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun yang memuat Visi, Misi dan Arah Pembangunan Daerah Provinsi.
13. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Kabupaten Flores Timur yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahun sebagai penjabaran visi, misi dan program Bupati, arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum dan program
5
SKPD, lintas SKPD dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif yang berpedoman pada RPJPD serta memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
14. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disingkat RPJM-Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang memuat arah kebijakan pembangunan Desa, arah kebijakan keuangan Desa, kebijakan umum, dan program, dan program Satuan Kerja Peragkat Daerah, lintas Satuan Kerja Peragkat Daerah dan program prioritas kewilayahan, disertai dengan rencana kerja;
15. Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun atau disebut dengan rencana pembangunan tahunan daerah yang merupakan penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, program prioritas pembangunan daerah dan rencana kerja, pendanaan dan prakiraan maju.
16. Rencana Kerja Pembangunan Desa yang selanjutnya disingkat RKP-Desa adalah dokumen perencanaan untuk periode 1 (satu) tahun merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang memuat rancangan kerangka ekonomi Desa, dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan yang dimutahirkan, program prioritas pembangunan Desa, rencana kerja dan pendanaan serta prakiraan maju, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah Desa maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa.
17. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
6
18. Rencana Strategis Kelurahan yang selanjutnya disebut Renstra-Kelurahan adalah dokumen perencanaan Kelurahan untuk periode 5 (lima) tahun.
19. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat Renja-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
20. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang selanjutnya disingkat RPJPN adalah dokumen perencanaan pembangunan Nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
21. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya disingkat RPJMN adalah dokumen perencanaan pembangunan Nasional untuk periode 5 (lima) tahunan.
22. Rencana Kerja Pemerintah yang selanjutnya disingkat RKP adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.
23. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-Undang.
24. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
25. Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
26. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya
disingkat PPAS adalah rancangan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah.
7
27. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat RKA-SKPD adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah serta rencana pembiayaan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
28. Rencana kerja adalah dokumen rencana yang memuat program dan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai sasaran pembangunan, dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka anggaran.
29. Kerangka anggaran adalah rencana kegiatan pengadaan barang maupun jasa untuk mencapai tujuan pembangunan daerah yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
30. Isu-isu strategis adalah kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan pembangunan daerah karena dampaknya yang signifikan bagi daerah dengan karakteristik bersifat penting, mendasar, mendesak, berjangka panjang, dan menentukan tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah di masa yang akan datang.
31. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan.
32. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.
33. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.
34. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah untuk mencapai tujuan.
35. Program adalah bentuk instrumen kebijakan yang berisi
satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah atau masyarakat, yang dikoordinasikan oleh pemerintah daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan pembangunan daerah.
8
36. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program, dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut, sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.
37. Kegiatan prioritas adalah kegiatan yang ditetapkan untuk mencapai secara langsung sasaran program prioritas.
38. Prakiraan maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun-tahun berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan, guna memastikan kesinambungan kebijakan yang telah disetujui untuk setiap program dan kegiatan.
39. Bersifat indikatif adalah data dan informasi, baik tentang sumber daya yang diperlukan maupun keluaran dan dampak yang tercantum di dalam dokumen rencana, hanya merupakan indikasi yang hendak dicapai dan tidak kaku.
40. Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur.
41. Indikator kinerja adalah alat ukur spesifik secara kuantitatif dan/atau kualitatif untuk masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu program atau kegiatan.
42. Sasaran adalah target atau hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan.
43. Musyawarah perencanaan pembangunan yang selanjutnya disebut Musrenbang adalah forum antarpemangku kepentingan dalam rangka menyusun rencana pembangunan daerah.
44. Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah merupakan wahana antar pihak-pihak yang langsung atau tidak langsung
9
mendapatkan manfaat atau dampak dari program dan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah.
45. Narasumber adalah pihak pemberi informasi yang perlu diketahui peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan untuk proses pengambilan keputusan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan.
46. Pagu Wilayah Kecamatan yang selanjutnya disingkat PWK adalah sejumlah plafon anggaran yang dialokasikan untuk mendanai program kegiatan prioritas dan mendesak yang ditetapkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah di Kecamatan yang wajib diakomodir dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah guna mendukung percepatan pembangunan dan kesejangan antarwilayah.
47. Pengendalian adalah serangkaian kegiatan manajemen yang dimaksudkan untuk menjamin agar suatu program/kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan.
48. Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input) dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar.
49. Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan/mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.
50. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat RTRW Provinsi adalah hasil perencanaan tata ruang yang merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Provinsi ke dalam struktur dan pola ruang wilayah.
51. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disingkat RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang yang merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Daerah ke dalam struktur dan pola ruang wilayah.
10
BAB II TUJUAN, RUANG LINGKUP, PRINSIP DAN PENDEKATAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Bagian Kesatu Tujuan
Pasal 2 Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah bertujuan untuk: a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya konsistensi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antarruang, antarwaktu, antarfungsi Pemerintah Daerah baik di tingkat Desa/Kelurahan,
Kecamatan maupun Kabupaten serta antara Daerah, Provinsi dan Pusat;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Bagian Kedua Ruang Lingkup
Pasal 3
(1) Perencanaan Pembangunan Daerah mencakup penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu yang meliputi tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaannnya.
(2) Perencanaan Pembangunan Daerah terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh SKPD dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Desa/Kelurahan sesuai dengan kewenangannya.
(3) Perencanaan Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menghasilkan:
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang;
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah; dan c. Rencana Pembangunan Tahunan.
11
Bagian Ketiga Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 4 Prinsip-prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah:
a. merupakan satu kesatuan dalam sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
b. dilakukan Pemerintah Daerah bersama para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing;
c. mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan Daerah; dan
d. dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi Daerah, sesuai dinamika perkembangan Daerah dan Nasional.
Pasal 5 Perencanaan Pembangunan Daerah dirumuskan secara:
a. transparan;
b. responsif;
c. efisien;
d. efektif;
e. akuntabel;
f. partisipatif;
g. terukur;
h. berkeadilan; dan
i. berwawasan lingkungan.
Bagian Keempat Pendekatan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 6 Perencanaan pembangunan daerah menggunakan pendekatan:
a. teknokratik; b. partisipatif; c. politik; dan
d. top-down dan bottom-up.
12
Pasal 7
(1) Pendekatan teknokratik dalam Perencanaan Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah.
(2) Metoda dan kerangka berpikir ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis terkait perencanaan pembangunan berdasarkan bukti fisis, data dan informasi yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 8 Pendekatan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki, dengan mempertimbangkan:
a. relevansi pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di setiap tahapan penyusunan dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah; dan
b. kesetaraan antara para pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan dan non pemerintahan dalam pengambilan keputusan.
Pasal 9 Pendekatan politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, bahwa program-program pembangunan yang ditawarkan Bupati dan Wakil Bupati terpilih pada saat kampanye, disusun ke dalam rancangan RPJMD.
Pasal 10 Pendekatan perencanaan pembangunan daerah top-down (atas-bawah) dan bottom-up (bawah-atas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, hasilnya diselaraskan melalui
13
musyawarah yang dilaksanakan mulai dari Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, dan Nasional, sehingga tercipta sinkronisasi dan sinergi pencapaian sasaran rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah.
BAB III
PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL, PELAKSANAAN MUSRENBANG, PERUMUSAN RANCANGAN AKHIR DAN
PENETAPAN RPJPD
Bagian Kesatu Penyusunan Rancangan Awal
Pasal 11 Instansi Perencana menyusun rancangan awal RPJPD berdasarkan kondisi, karakteristik dan potensi daerah dengan:
a. mengacu pada RPJPN dan RPJPD Provinsi;
b. berpedoman pada RTRW; dan
c. memperhatikan RPJPD dan RTRW Kabupaten lainnya.
Pasal 12 Penyusunan rancangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. penelaahan RTRW dan RTRW Kabupaten lainnya;
c. analisis gambaran umum kondisi Daerah;
d. perumusan permasalahan pembangunan Daerah;
e. penelaahan RPJPN, RPJPD Provinsi dan RPJPD Kabupaten lainnya;
f. analisis isu-isu strategis pembangunan jangka panjang Daerah;
g. perumusan visi dan misi Daerah;
h. perumusan arah kebijakan;
i. pelaksanaan forum konsultasi publik; dan
j. penyelarasan visi, misi, dan arah kebijakan RPJPD.
14
Pasal 13 Sistematika RPJPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. gambaran umum kondisi daerah;
c. analisis isu-isu strategis;
d. visi dan misi daerah;
e. arah kebijakan daerah; dan
f. kaidah pelaksanaan.
Pasal 14
(1) Rancangan awal RPJPD yang telah disusun dikoordinasikan oleh Kepala Instansi Perencana kepada para Kepala SKPD dan dikonsultasikan kepada publik.
(2) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memperoleh masukan penyempurnaan rancangan awal.
(3) Instansi Perencana mengajukan rancangan awal RPJPD yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Bupati dalam rangka memperoleh persetujuan untuk dibahas dalam Musrenbang RPJPD.
Bagian Kedua Pelaksanaan Musrenbang RPJPD
Pasal 15
(1) Musrenbang RPJPD dilaksanakan untuk penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap rancangan awal RPJPD.
(2) Penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penajaman visi dan misi daerah;
b. penyelarasan sasaran pokok dan arah kebijakan pembangunan jangka panjang daerah untuk mencapai visi dan misi daerah;
c. penajaman sasaran pokok pembangunan jangka panjang daerah;
15
d. klarifikasi dan penajaman tahapan dan prioritas pembangunan jangka panjang daerah; dan
e. membangun komitmen bersama antara pemangku kepentingan untuk mempedomani RPJPD dalam melaksanakan pembangunan daerah.
(3) Musrenbang RPJPD dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Instansi Perencana.
(4) Pimpinan DPRD atau anggota DPRD, pejabat dari kementerian/lembaga tingkat pusat, tingkat Provinsi atau dari unsur lain terkait, dapat diundang menjadi narasumber dalam Musrenbang RPJPD.
Pasal 16
(1) Hasil Musrenbang RPJPD dirumuskan dalam berita acara kesepakatan dan ditandatangani oleh wakil dari setiap unsur pemangku kepentingan yang menghadiri Musrenbang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Musrenbang RPJPD diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Ketiga Perumusan Rancangan Akhir RPJPD
Pasal 17
(1) Hasil Musrenbang RPJPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), menjadi bahan masukan untuk merumuskan rancangan akhir RPJPD.
(2) Rancangan akhir RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dirumuskan paling lama 1 (satu) tahun sebelum RPJPD yang berlaku berakhir.
Pasal 18
(1) Bupati mengkonsultasikan rancangan akhir RPJPD kepada Gubernur.
(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi landasan hukum penyusunan, sistematika dan teknis penyusunan, konsistensi menindaklanjuti hasil
16
Musrenbang RPJPD, sinkronisasi dan sinergi dengan RPJPN, RTRW Provinsi, RPJPD Provinsi dan RTRW Kabupaten lainnya.
Bagian Keempat Penetapan RPJPD
Pasal 19
(1) RPJPD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Bupati menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD kepada DPRD untuk dibahas dan memperoleh persetujuan bersama, paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya RPJPD.
(3) Peraturan Daerah tentang RPJPD ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah penetapan RPJPN, kecuali ditetapkan lain dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 20 RPJPD yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), menjadi Pedoman Penyusunan Visi, Misi dan Program calon Bupati dan Wakil Bupati.
BAB IV
PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL, PENYUSUNAN RANCANGAN, PELAKSANAAN MUSRENBANG, PERUMUSAN
RANCANGAN AKHIR DAN PENETAPAN RPJMD
Bagian Kesatu Penyusunan Rancangan Awal
Pasal 21 Instansi Perencana menyusun rancangan awal RPJMD dengan:
a. memuat visi, misi dan program Bupati dan Wakil Bupati terpilih;
b. berpedoman pada RPJPD dan RTRW; dan
c. memperhatikan RPJMN, RPJMD Provinsi, RPJMD dan RTRW Kabupaten lainnya.
17
Pasal 22 Penyusunan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. penelaahan RTRW dan RTRW Kabupaten lainnya;
c. analisis gambaran umum kondisi daerah;
d. analisis pengelolaan keuangan daerah serta kerangka pendanaan;
e. perumusan permasalahan pembangunan daerah;
f. penelaahan RPJMN, RPJMD Provinsi dan RPJMD Kabupaten lainnya;
g. analisis isu-isu strategis;
h. penelaahan RPJPD;
i. perumusan penjelasan visi dan misi;
j. perumusan tujuan dan sasaran;
k. perumusan strategi dan arah kebijakan;
l. perumusan kebijakan umum dan program pembangunan daerah;
m. perumusan indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan;
n. penetapan indikator kinerja daerah;
o. pembahasan dengan SKPD;
p. pelaksanaan forum konsultasi publik;
q. pembahasan dengan DPRD untuk memperoleh masukan dan saran; dan
r. penyelarasan indikasi rencana program prioritas dan kebutuhan pendanaan.
Pasal 23 Sistematika RPJMD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. gambaran umum kondisi daerah;
c. gambaran pengelolaan keuangan daerah serta kerangka pendanaan;
d. analisis isu-isu srategis; e. visi, misi, tujuan dan sasaran;
18
f. strategi dan arah kebijakan;
g. kebijakan umum dan program pembangunan daerah;
h. indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan; dan
i. penetapan indikator kinerja daerah.
Pasal 24
(1) Rancangan awal RPJMD yang telah disusun dikoordinasikan oleh Kepala Instansi Perencana kepada para Kepala SKPD dan dikonsultasikan kepada publik.
(2) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memperoleh masukan penyempurnaan rancangan awal.
Pasal 25 Bupati mengajukan kebijakan umum dan program pembangunan jangka menengah daerah dan indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan yang tercantum dalam rancangan awal RPJMD yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) kepada DPRD untuk dibahas dan memperoleh kesepakatan.
Pasal 26
(1) Rancangan awal RPJMD menjadi pedoman SKPD dalam menyusun rancangan Renstra-SKPD.
(2) Rancangan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi bahan penyusunan rancangan RPJMD.
Bagian Kedua Penyusunan Rancangan RPJMD
Pasal 27
(1) Instansi Perencana menyampaikan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, kepada para Kepala SKPD dengan Surat Edaran Bupati.
(2) Kebijakan umum dan program pembangunan jangka menengah daerah serta indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan yang telah disepakati
19
Bupati dan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, menjadi acuan Kepala SKPD merumuskan kegiatan dalam rancangan Renstra-SKPD.
(3) Rancangan Renstra-SKPD yang telah disusun disampaikan kepada Kepala Instansi Perencana paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Surat Edaran Bupati diterima.
(4) Instansi Perencana melakukan verifikasi terhadap rancangan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk mengintegrasikan dan menjamin kesesuaian dengan rancangan awal RPJMD.
(5) Rancangan Renstra-SKPD yang telah diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijadikan bahan masukan untuk penyempurnaan rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD.
Pasal 28 Instansi Perencana mengajukan rancangan RPJMD kepada Bupati untuk memperoleh persetujuan dibahas dalam Musrenbang RPJMD.
Bagian Ketiga Pelaksanaan Musrenbang RPJMD
Pasal 29
(1) Musrenbang RPJMD dilaksanakan untuk penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap rancangan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) Penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. sasaran pembangunan jangka menengah daerah;
b. strategi dan sinkronisasi arah kebijakan pembangunan jangka menengah daerah dengan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas, sesuai dengan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah;
c. kebijakan umum dan program pembangunan jangka menengah daerah dengan Visi, Misi dan Program Bupati dan Wakil Bupati;
20
d. indikasi rencana program prioritas pembangunan jangka menengah daerah yang disesuaikan dengan kemampuan pendanaan;
e. capaian indikator kinerja daerah pada kondisi saat ini dan pada akhir periode RPJMD;
f. komitmen bersama antara pemangku kepentingan untuk mempedomani RPJMD dalam melaksanakan pembangunan daerah; dan
g. sinergi dengan RPJMN, RPJMD Provinsi dan RPJMD Kabupaten lainnya.
(3) Musrenbang RPJMD dilaksanakan dan dikoordinasikan
oleh Instansi Perencana.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Musrenbang RPJMD diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 30 Hasil Musrenbang RPJMD dirumuskan dalam berita acara kesepakatan dan ditandatangani oleh wakil dari setiap unsur pemangku kepentingan yang menghadiri Musrenbang.
Bagian Keempat Perumusan Rancangan Akhir RPJMD
Pasal 31 (1) Perumusan rancangan akhir RPJMD berdasarkan berita
acara kesepakatan hasil Musrenbang RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
(2) Bupati mengkonsultasikan rancangan akhir RPJMD kepada Gubernur.
(3) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi landasan hukum penyusunan, sistematika dan teknis penyusunan, konsistensi menindaklanjuti hasil
Musrenbang RPJMD, sinkronisasi dan sinergi dengan RPJMN, RTRW Provinsi, RPJMD Provinsi dan RTRW Kabupaten lainnya.
21
Bagian Kelima Penetapan RPJMD
Pasal 32 (1) RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Bupati menyampaikan rancangan Peraturan Daerah tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas dan memperoleh persetujuan bersama paling lama 5 (lima) bulan setelah dilantik.
(3) Peraturan Daerah tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah Bupati terpilih dilantik, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 33
RPJMD yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah menjadi pedoman penetapan Renstra-SKPD, RPJM-Desa dan penyusunan RKPD, serta digunakan sebagai instrumen evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
BAB V
RPJM-DESA
Pasal 34
(1) RPJM-Desa memuat visi, misi, program dan kegiatan pembangunan desa dengan berpedoman pada RPJMD.
(2) RPJM-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat arah kebijakan keuangan desa, strategi pembangunan desa dan program kerja desa.
Pasal 35
(1) RPJM-Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa.
(2) Kepala Desa mengkonsultasikan rancangan akhir RPJM-
Desa kepada Instansi Perencana. (3) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
menjamin adanya konsistensi dan sinkronisasi pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan daerah.
22
(4) Peraturan Desa tentang RPJM-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah RPJMD ditetapkan.
Pasal 36
(1) Kepala Desa melaksanakan pengendalian dan evaluasi terhadap RPJM-Desa.
(2) Hasil pengendalian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan kepada Bupati melalui Camat.
BAB VI
PENYUSUNAN RANCANGAN, PERUMUSAN RANCANGAN AKHIR DAN PENETAPAN RENSTRA-SKPD
Bagian Kesatu Penyusunan Rancangan Renstra-SKPD
Pasal 37
Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD serta berpedoman pada RPJMD dan bersifat indikatif.
Pasal 38 Visi, misi, tujuan, strategi dan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dirumuskan dalam rangka mewujudkan pencapaian sasaran program yang ditetapkan dalam RPJMD.
Pasal 39 (1) Pencapaian sasaran program sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38, mempertimbangkan pencapaian standar pelayanan minimum yang telah ditetapkan sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Dalam hal standar pelayanan minimum belum tersedia, perumusan sasaran program disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan dan kemampuan SKPD.
23
Pasal 40
(1) SKPD menyusun rancangan Renstra-SKPD, berpedoman pada rancangan awal RPJMD.
(2) Penyusunan rancangan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. analisis gambaran pelayanan SKPD;
c. review renstra kementerian/lembaga dan Renstra-SKPD Provinsi;
d. penelaahan RTRW;
e. analisis terhadap dokumen hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD;
f. perumusan isu-isu strategis;
g. perumusan visi dan misi SKPD;
h. perumusan tujuan pelayanan jangka menengah SKPD;
i. perumusan sasaran pelayanan jangka menengah SKPD;
j. mempelajari Surat Edaran Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1);
k. perumusan strategi dan kebijakan jangka menengah SKPD, guna mencapai target kinerja program prioritas RPJMD yang menjadi tugas dan fungsi SKPD;
l. perumusan rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif selama 5 (lima) tahun, termasuk lokasi kegiatan;
m. perumusan indikator kinerja SKPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran RPJMD; dan
n. pelaksanaan forum SKPD.
(3) Perumusan rancangan Renstra-SKPD merupakan proses
yang tidak terpisahkan dan dilakukan bersamaan dengan tahap perumusan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5).
24
Pasal 41 Sistematika Renstra-SKPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. gambaran pelayanan SKPD;
c. isu-isu strategis berdasarkan tugas pokok dan fungsi;
d. visi, misi, tujuan dan sasaran, strategi dan kebijakan;
e. rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif; dan
f. indikator kinerja SKPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran RPJMD.
Pasal 42
(1) Rancangan Renstra-SKPD yang telah disusun, dibahas bersama dengan pemangku kepentingan sesuai dengan kebutuhan SKPD.
(2) Pembahasan dengan pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk memperoleh masukan dalam rangka penajaman pencapaian sasaran program dan kegiatan pelayanan SKPD.
Pasal 43
(1) Kepala SKPD menyampaikan rancangan Renstra-SKPD yang telah dibahas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) kepada Kepala Instansi Perencana untuk diverifikasi.
(2) Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai bahan penyempurnaan rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD.
Bagian Kedua
Penyusunan Rancangan Akhir Renstra-SKPD
Pasal 44
(1) Penyusunan rancangan akhir Renstra-SKPD merupakan penyempurnaan rancangan Renstra-SKPD, yang berpedoman pada RPJMD yang telah ditetapkan dengan
25
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1).
(2) Penyempurnaan rancangan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk mempertajam visi dan misi serta menyelaraskan tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan daerah sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD yang ditetapkan dalam RPJMD.
Bagian Ketiga
Penetapan Renstra-SKPD
Pasal 45 (1) Renstra-SKPD ditetapkan dengan Keputusan Kepala SKPD
setelah disahkan oleh Bupati.
(2) Pengesahan rancangan akhir Renstra-SKPD oleh Bupati, dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah Peraturan Daerah tentang RPJMD ditetapkan.
(3) Penetapan Renstra-SKPD oleh Kepala SKPD paling lama 7 (tujuh) hari setelah Renstra-SKPD disahkan oleh Bupati.
Pasal 46
Renstra-SKPD yang telah ditetapkan menjadi pedoman penyusunan Renja-SKPD, serta digunakan sebagai instrumen evaluasi pelaksanaan pembangunan sesuai tugas pokok dan fungsi SKPD.
BAB VII
PENYUSUNAN RANCANGAN RENSTRA KECAMATAN DAN RENSTRA KELURAHAN
Pasal 47
Ketentuan mengenai Restra SKPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 46 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Renstra Kecamatan dan Renstra Kelurahan.
26
BAB VIII PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL, PENYUSUNAN
RANCANGAN, PELAKSANAAN MUSRENBANG, PERUMUSAN RANCANGAN AKHIR DAN PENETAPAN RKPD
Bagian Kesatu
Penyusunan Rancangan Awal RKPD
Pasal 48 Instansi Perencana menyusun RKPD, dengan:
a. berpedoman pada RPJMD;
b. mengacu pada RPJMD Provinsi; dan
c. mengacu pada RPJMN.
Pasal 49 Penyusunan rancangan awal RKPD, meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. analisis gambaran umum kondisi daerah;
c. analisis ekonomi dan keuangan daerah;
d. evaluasi kinerja tahun lalu;
e. penelaahan terhadap kebijakan pemerintah;
f. penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD;
g. perumusan permasalahan pembangunan daerah Kabupaten;
h. perumusan rancangan kerangka ekonomi daerah dan kebijakan keuangan daerah;
i. perumusan prioritas dan sasaran pembangunan daerah beserta pagu indikatif;
j. perumusan program prioritas beserta pagu indikatif;
k. pelaksanaan forum konsultasi publik; dan
l. penyelarasan rencana program prioritas daerah beserta
pagu indikatif.
27
Pasal 50 Sistematika RKPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu;
c. rancangan kerangka ekonomi daerah beserta kerangka pendanaan;
d. prioritas dan sasaran pembangunan; dan
e. rencana program prioritas daerah.
Pasal 51 (1) Rancangan awal RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49, dikoordinasikan oleh Kepala Instansi Perencana kepada para Kepala SKPD serta dikonsultasikan kepada publik dan Pemerintah Provinsi.
(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memperoleh masukan dalam rangka penyempurnaan rancangan awal.
Pasal 52 (1) Bupati mengeluarkan Surat Edaran kepada Kepala SKPD
perihal penyampaian rancangan awal RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), sebagai bahan penyusunan rancangan Renja-SKPD.
(2) Surat Edaran Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat agenda penyusunan RKPD, pelaksanaan forum SKPD dan Musrenbang RKPD, sekaligus batas waktu penyampaian rancangan Renja-SKPD kepada Kepala Instansi Perencana untuk diverifikasi.
Bagian Kedua
Penyusunan Rancangan RKPD
Pasal 53 Penyusunan rancangan RKPD merupakan proses penyempurnaan rancangan awal RKPD.
28
Pasal 54
(1) Rancangan awal RKPD disempurnakan menjadi rancangan RKPD berdasarkan hasil verifikasi seluruh rancangan Renja-SKPD.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan berpedoman pada Surat Edaran Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengintegrasikan program, kegiatan, indikator kinerja dan dana indikatif pada setiap rancangan Renja-SKPD sesuai dengan rencana program prioritas pada rancangan awal RKPD.
(4) Apabila dalam verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditemukan hal-hal yang perlu disempurnakan, hasil penyempurnaan rancangan Renja-SKPD disampaikan kembali kepada Kepala Instansi Perencana paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak SKPD menerima hasil verifikasi.
Pasal 55
(1) Instansi Perencana mengajukan rancangan RKPD kepada Bupati untuk memperoleh persetujuan dibahas dalam Musrenbang RKPD.
(2) Batas waktu penyusunan rancangan RKPD diselesaikan paling lambat minggu kedua bulan Maret sebelum tahun berkenaan.
Bagian Ketiga Pelaksanaan Musrenbang
Pasal 56
Pelaksanaan Musrenbang RKPD, terdiri dari:
a. Musrenbang RKPD; dan
b. Musrenbang RKPD di Kecamatan.
Pasal 57 (1) Musrenbang RKPD dilaksanakan untuk penajaman,
penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan terhadap
29
rancangan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1).
(2) Penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. prioritas dan sasaran pembangunan Daerah dengan arah kebijakan, prioritas dan sasaran pembangunan daerah Provinsi;
b. usulan program dan kegiatan yang telah disampaikan masyarakat kepada Pemerintah Daerah pada Musrenbang RKPD di Kecamatan dan/atau sebelum Musrenbang RKPD dilaksanakan;
c. indikator kinerja program dan kegiatan prioritas Daerah;
d. prioritas pembangunan daerah serta program dan kegiatan prioritas daerah; dan
e. sinergi dengan RKP dan RKPD Provinsi.
Pasal 58 (1) Musrenbang RKPD dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh
Instansi Perencana.
(2) Pimpinan atau anggota DPRD, pejabat dari kementerian/lembaga di tingkat pusat, pejabat SKPD Provinsi dan pejabat SKPD atau dari unsur lain terkait, dapat diundang menjadi narasumber Musrenbang RKPD.
(3) Hasil Musrenbang RKPD dijadikan sebagai bahan penyusunan rancangan akhir RKPD dan bahan masukan untuk membahas rancangan RKPD Provinsi dalam Musrenbang RKPD Provinsi.
(4) Pelaksanaan Musrenbang RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dilaksanakan paling lambat pada akhir bulan Maret sebelum tahun berkenaan.
Pasal 59 (1) Musrenbang RKPD di Kecamatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 huruf b, dilaksanakan untuk penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan usulan rencana kegiatan pembangunan Desa/Kelurahan, yang
30
diintegrasikan dengan prioritas pembangunan daerah di wilayah Kecamatan.
(2) Penajaman, penyelarasan, klarifikasi dan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. usulan rencana kegiatan pembangunan Desa/Kelurahan yang tertuang dalam berita acara Musrenbang Desa/Kelurahan yang akan menjadi kegiatan prioritas pembangunan di wilayah Kecamatan yang bersangkutan;
b. kegiatan prioritas pembangunan di wilayah Kecamatan yang belum tercakup dalam prioritas kegiatan pembangunan Desa; dan
c. pengelompokan kegiatan prioritas pembangunan di wilayah Kecamatan berdasarkan tugas dan fungsi SKPD.
(3) Kegiatan prioritas pembangunan daerah di wilayah Kecamatan mengacu pada program dalam rancangan awal RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
Pasal 60
(1) Pelaksanaan Musrenbang RKPD di Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b, dilaksanakan paling lambat minggu kedua bulan Februari sebelum tahun berkenaan.
(2) Penyelenggaraan Musrenbang RKPD di Kecamatan dilaksanakan oleh Camat, setelah berkoordinasi dengan Kepala Instansi Perencana.
Pasal 61
(1) Hasil Musrenbang RKPD di Kecamatan dijadikan sebagai bahan masukan dalam penyusunan rancangan Renja-SKPD.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Musrenbang RKPD diatur dengan Peraturan Bupati.
31
Bagian Keempat Perumusan Rancangan Akhir RKPD
Pasal 62
(1) Perumusan rancangan akhir RKPD berdasarkan kesepakatan hasil Musrenbang RKPD, Musrenbang RKPD Provinsi dan Musrenbang Nasional RKP.
(2) Rancangan akhir RKPD yang telah dirumuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibahas oleh seluruh Kepala SKPD.
(3) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memastikan prioritas program dan kegiatan pembangunan daerah terkait dengan tugas dan fungsi masing-masing SKPD telah tertampung dalam rancangan akhir RKPD serta merasionalkan pagu anggaran perkegiatan pada masing-masing SKPD.
(4) Penyelesaian rumusan rancangan akhir RKPD, paling lambat pada akhir bulan Mei sebelum tahun berkenaan.
Bagian Kelima
Penetapan RKPD
Pasal 63
(1) RKPD ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
(2) Penetapan RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat minggu kedua bulan Juni sebelum tahun berkenaan dan/atau setelah RKPD Provinsi ditetapkan.
(3) RKPD yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dijadikan pedoman penyempurnaan rancangan Renja-SKPD.
Pasal 64
Bupati menyampaikan Peraturan Bupati tentang RKPD kepada Gubernur untuk dievaluasi.
32
Pasal 65 (1) RKPD yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati
digunakan sebagai landasan penyusunan KUA dan PPAS dalam rangka penyusunan Rancangan APBD dan bahan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memastikan APBD telah disusun sesuai dengan RKPD.
BAB IX RKP-DESA
Pasal 66
Tahapan dan tata cara penyusunan RKP-Desa sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 67 (1) Kepala Desa melaksanakan pengendalian dan evaluasi
terhadap RKP-Desa.
(2) Hasil pengendalian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan kepada Bupati melalui Camat.
BAB X PENYUSUNAN RANCANGAN, PELAKSANAAN FORUM SKPD
DAN PENETAPAN RENJA-SKPD
Bagian Kesatu Penyusunan Rancangan Renja-SKPD
Pasal 68 (1) Renja-SKPD disusun dengan berpedoman pada RKPD dan
Renstra-SKPD serta mengacu kepada Renstra-SKPD tingkat Provinsi dan Renstra Kementerian/Lembaga.
(2) Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
a. kebijakan, program dan kegiatan;
b. lokasi kegiatan;
c. indikator kinerja;
d. kelompok sasaran; dan
e. pagu indikatif dan prakiraan maju.
33
Pasal 69
(1) Setiap SKPD menyusun Rancangan Renja-SKPD.
(2) Rancangan Renja-SKPD disusun:
a. mengacu pada rancangan awal RKPD;
b. mengacu pada Renstra-SKPD;
c. mengacu pada hasil evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan periode sebelumnya;
d. untuk memecahkan masalah yang dihadapi; dan
e. berdasarkan usulan program serta kegiatan yang berasal dari masyarakat.
Pasal 70 Penyusunan rancangan Renja-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2), meliputi:
a. pengolahan data dan informasi;
b. analisis gambaran pelayanan SKPD;
c. mereview hasil evaluasi Renja-SKPD tahun lalu berdasarkan Renstra-SKPD;
d. penentuan isu-isu penting penyelenggaraan tugas dan fungsi SKPD;
e. penelaahan rancangan awal RKPD;
f. perumusan tujuan dan sasaran;
g. penelaahan usulan masyarakat; dan
h. perumusan kegiatan prioritas.
Pasal 71 Sistematika Renja-SKPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan; b. evaluasi pelaksanaan Renja-SKPD tahun lalu;
c. tujuan, sasaran, program dan kegiatan; d. indikator kinerja dan kelompok sasaran yang
menggambarkan pencapaian Renstra-SKPD; e. dana indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju
berdasarkan pagu indikatif;
34
f. sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan; dan
g. penutup.
Pasal 72 Rancangan Renja-SKPD dibahas dalam forum SKPD.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Forum SKPD
Pasal 73
(1) Instansi Perencana mengkoordinasikan pembahasan rancangan Renja-SKPD dalam forum SKPD.
(2) Pembahasan rancangan Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penyelarasan program dan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD berdasarkan usulan program dan kegiatan hasil Musrenbang RKPD di Kecamatan;
b. penajaman indikator dan target kinerja program dan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD;
c. penyelarasan program dan kegiatan antarSKPD dalam rangka sinergi pelaksanaan dan optimalisasi pencapaian sasaran RPJMD sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing SKPD; dan
d. penyesuaian pendanaan program dan kegiatan prioritas berdasarkan pagu indikatif untuk masing-masing SKPD, sesuai dengan Surat Edaran Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
(3) Penyelenggaraan forum SKPD dilaksanakan paling lambat minggu terakhir bulan Februari sebelum tahun berkenaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan forum SKPD diatur dengan Peraturan Bupati.
35
Bagian Ketiga Penetapan Renja-SKPD
Pasal 74
(1) Kepala SKPD menyempurnakan rancangan Renja-SKPD dengan berpedoman pada RKPD yang telah ditetapkan.
(2) Rancangan Renja-SKPD yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Kepala Instansi Perencana untuk diverifikasi.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memastikan rancangan Renja-SKPD telah sesuai dengan
RKPD.
(4) Kepala Instansi Perencana menyampaikan rancangan Renja-SKPD yang telah sesuai dengan RKPD kepada Bupati untuk memperoleh pengesahan.
Pasal 75
(1) Renja-SKPD ditetapkan dengan keputusan Kepala SKPD setelah disahkan oleh Bupati.
(2) Penetapan Keputusan Kepala SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Renja-SKPD disahkan oleh Bupati.
(3) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah RKPD tahun berkenaan ditetapkan.
BAB XI
RENJA-KECAMATAN DAN KELURAHAN
Pasal 76 Ketentuan mengenai Renja-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Renja Kecamatan dan Renja Kelurahan.
36
BAB XII PENDANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH
Pasal 77
(1) Pendanaan rencana pembangunan daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja.
(2) Pendanaan rencana pembangunan disusun untuk tahun yang direncanakan disertai prakiraan maju.
Pasal 78
(1) Pendanaan rencana pembangunan daerah bersumber dari
APBD, APBD Provinsi, APBN, Dana Hibah dan sumber lain yang sah.
(2) Pendanaan rencana pembangunan daerah didasarkan pada plafon indikatif meliputi:
a. plafon indikatif untuk program prioritas RPJMD pada tahun perencanaan;
b. plafon indikatif per SKPD; dan
c. PWK.
(3) Plafon indikatif disusun dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, prioritas pembangunan untuk mencapai visi dan misi yang dihitung dengan beberapa indikator dan target capaian kinerja utama pembangunan daerah.
Pasal 79
(1) Plafon indikatif program prioritas RPJMD adalah alokasi dana APBD untuk melaksanakan program prioritas sesuai tahapan RPJMD.
(2) Plafon indikatif program prioritas RPJMD mengacu pada Indikator Kinerja Daerah (IKD) RPJMD.
Pasal 80
Plafon Indikatif SKPD merupakan alokasi dana APBD untuk SKPD yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan beban kerja, tugas pokok, dan fungsi serta target kinerja dalam RPJMD.
37
Pasal 81 (1) Alokasi PWK ditetapkan berdasarkan variabel utama yaitu
luas wilayah, jumlah Desa/Kelurahan, dan jumlah penduduk, serta variabel lain.
(2) Penentuan variabel lain, penghitungan alokasi, dan tatacara penggunaan PWK diatur dengan Peraturan Bupati setelah dikonsultasikan dengan DPRD.
(3) Konsultasi pengaturan PWK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan paling lambat akhir Januari tahun n-1 dan/atau sebelum pelaksanaan Musrenbang RKPD di Kecamatan.
BAB XIII
PENGENDALIAN DAN EVALUASI KEBIJAKAN, PELAKSANAAN DAN HASIL PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Bagian Kesatu
Pengendalian dan Evaluasi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 82
Pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah bertujuan untuk mewujudkan:
a. konsistensi antara kebijakan dengan pelaksanaan dan hasil rencana pembangunan daerah;
b. konsistensi antara RPJPD dengan RPJPN dan RTRW Nasional;
c. konsistensi antara RPJMD dengan RPJPD dan RTRW daerah;
d. konsistensi antara RKPD dengan RPJMD; dan
e. kesesuaian antara capaian pembangunan daerah dengan indikator-indikator kinerja yang telah ditetapkan.
Pasal 83
Bupati melakukan pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah.
38
Pasal 84 Pengendalian dan evaluasi kebijakan perencanaan pembangunan daerah meliputi kebijakan perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan daerah.
Pasal 85 (1) Pengendalian kebijakan perencanaan pembangunan jangka
panjang daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, mencakup perumusan visi dan misi serta sasaran pokok dan arah kebijakan pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Pengendalian kebijakan perencanaan pembangunan jangka menengah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, mencakup kebijakan perencanaan strategis SKPD dan RPJMD.
(3) Pengendalian kebijakan perencanaan pembangunan tahunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, mencakup perumusan kebijakan Renja-SKPD dan kebijakan RKPD.
Pasal 86
(1) Kepala Instansi Perencana melaksanakan pengendalian dan evaluasi kebijakan perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan daerah.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemantauan dan supervisi mulai dari tahap penyusunan rancangan awal sampai dengan penetapan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan daerah.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memastikan konsistensi dan sinkronisasi antardokumen perencanaan.
39
Bagian Kedua Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah
Pasal 87 Kepala Instansi Perencana melaksanakan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah.
Pasal 88
Pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah meliputi pelaksanaan RPJPD, RPJMD dan RKPD.
Pasal 89
(1) Pengendalian terhadap pelaksanaan RPJPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, meliputi pelaksanaan sasaran pokok dan arah kebijakan untuk mencapai misi dan mewujudkan visi pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemantauan dan supervisi pelaksanaan RPJPD.
(3) Hasil pemantauan dan supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk mengevaluasi dan memastikan bahwa visi, misi, sasaran pokok arah kebijakan pembangunan jangka panjang daerah, telah dilaksanakan melalui RPJMD.
Pasal 90
Pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, meliputi pelaksanaan Renstra-SKPD, dan RPJMD.
Pasal 91
(1) Pengendalian pelaksanaan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, mencakup indikator kinerja SKPD serta rencana program, kegiatan, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif serta visi, misi, tujuan dan sasaran Renstra-SKPD.
40
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemantauan dan supervisi terhadap pelaksanaan Renstra-SKPD.
(3) Hasil pemantauan dan supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk mengevaluasi dan memastikan bahwa indikator kinerja SKPD, rencana program, kegiatan, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam upaya mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran Renstra-SKPD, telah dilaksanakan melalui Renja-SKPD.
Pasal 92
(1) Kepala SKPD melakukan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan Renstra-SKPD.
(2) Kepala SKPD melaporkan hasil pengendalian dan evaluasi Renstra-SKPD kepada Bupati melalui Kepala Instansi Perencana.
Pasal 93
(1) Pengendalian pelaksanaan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, mencakup prioritas dan sasaran pembangunan tahunan daerah, rencana program dan kegiatan prioritas daerah, serta pagu indikatif.
(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui pemantauan dan supervisi pelaksanaan RKPD.
(3) Hasil pemantauan dan supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk mengevaluasi dan memastikan bahwa prioritas dan sasaran pembangunan tahunan daerah, rencana program dan kegiatan prioritas daerah, serta pagu indikatif telah disusun kedalam rancangan KUA, PPAS dan APBD.
Pasal 94 Kepala Instansi Perencana melaksanakan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RKPD.
41
Bagian Ketiga Evaluasi Hasil Rencana Pembangunan Daerah
Pasal 95 Evaluasi hasil rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85, meliputi RPJPD, RPJMD, RKPD
Pasal 96 (1) Evaluasi hasil RPJPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95, mencakup sasaran pokok arah kebijakan dan pentahapan untuk mencapai misi dan mewujudkan visi pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui penilaian hasil pelaksanaan RPJPD.
(3) Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dengan menggunakan hasil evaluasi hasil RPJMD.
Pasal 97
(1) Kepala Instansi Perencana melaksanakan evaluasi hasil RPJPD.
(2) Hasil evaluasi RPJPD digunakan sebagai bahan bagi penyusunan RPJPD untuk periode berikutnya.
Pasal 98
(1) Evaluasi hasil RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 mencakup indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan untuk mencapai misi, tujuan dan sasaran, dalam upaya mewujudkan visi pembangunan jangka menengah daerah.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memastikan bahwa visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan jangka menengah daerah dapat dicapai
untuk mewujudkan visi pembangunan jangka panjang daerah.
(3) Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dengan menggunakan hasil evaluasi hasil RKPD.
42
Pasal 99 (1) Kepala Instansi Perencana melaksanakan evaluasi hasil
RPJMD.
(2) Hasil evaluasi RPJMD digunakan sebagai bahan bagi penyusunan RPJMD untuk periode berikutnya.
Pasal 100
(1) Evaluasi hasil rencana pembangunan tahunan daerah mencakup hasil RKPD dengan menggunakan evaluasi hasil Renja-SKPD.
(2) Evaluasi hasil Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi program dan kegiatan, indikator kinerja dan kelompok sasaran, lokasi, serta dana indikatif.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan untuk memastikan bahwa indikator kinerja program dan kegiatan Renja-SKPD dapat dicapai dalam rangka mewujudkan visi, misi Renstra-SKPD serta prioritas dan sasaran pembangunan tahunan daerah.
(4) Evaluasi pelaksanaan Renja-SKPD dilakukan setiap triwulan dalam tahun berkenaan.
Pasal 101 (1) Kepala SKPD melaksanakan evaluasi hasil Renja-SKPD.
(2) Kepala Instansi Perencana melakukan evaluasi hasil evaluasi Renja-SKPD.
Pasal 102 Kepala SKPD menyampaikan laporan hasil evaluasi Renja-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) kepada Bupati melalui Kepala Instansi Perencana setiap triwulan dalam tahun berkenaan.
Pasal 103
(1) Evaluasi hasil RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, meliputi prioritas dan sasaran pembangunan daerah serta rencana program dan kegiatan prioritas daerah.
43
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memastikan bahwa target rencana program dan kegiatan prioritas daerah dalam RKPD dapat dicapai dalam rangka mewujudkan visi pembangunan jangka menengah daerah dan mencapai sasaran pembangunan tahunan.
(3) Evaluasi dilaksanakan setiap akhir tahun dengan menggunakan hasil evaluasi Renja-SKPD.
Pasal 104 (1) Kepala Instansi Perencana melaksanakan evaluasi hasil
RKPD.
(2) Hasil evaluasi RKPD digunakan sebagai bahan bagi
penyusunan RKPD untuk tahun berikutnya.
BAB XIV PERUBAHAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH
Pasal 105 Perubahan RPJPD dan RPJMD hanya dapat dilakukan apabila:
a. hasil pengendalian dan evaluasi menunjukkan bahwa proses perumusan, tidak sesuai dengan tahapan dan tatacara penyusunan rencana pembangunan daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;
b. hasil pengendalian dan evaluasi menunjukkan bahwa substansi yang dirumuskan, tidak sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
c. terjadi perubahan yang mendasar antara lain terjadinya bencana alam, goncangan politik, krisis ekonomi, konflik sosial budaya, gangguan keamanan, pemekaran Daerah, atau perubahan kebijakan Nasional; dan/atau
d. merugikan kepentingan Nasional apabila bertentangan dengan kebijakan Nasional.
Pasal 106 Perubahan RPJPD dan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
44
Pasal 107 Dalam hal pelaksanaan RPJPD dan RPJMD terjadi perubahan capaian sasaran tahunan tetapi tidak mengubah target pencapaian sasaran akhir pembangunan jangka panjang dan menengah, penetapan perubahan RPJPD dan RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 108 (1) RKPD dapat diubah dalam hal tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan dalam tahun berkenaan.
(2) Perkembangan keadaan dalam tahun berjalan sebagaiman dimaksud pada ayat (1), seperti:
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kerangka ekonomi daerah dan kerangka pendanaan, prioritas dan sasaran pembangunan, rencana program dan kegiatan prioritas daerah;
b. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun anggaran sebelumnya harus digunakan untuk tahun berjalan; dan/atau
c. keadaan darurat dan keadaan luar biasa sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 109 Sistematika perubahan RKPD paling sedikit memuat:
a. pendahuluan;
b. evaluasi hasil RKPD sampai dengan triwulan II; dan
c. rencana program dan kegiatan prioritas daerah dalam perubahan RKPD.
Pasal 110 Perubahan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 111
(1) Perubahan RKPD yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati menjadi landasan penyusunan perubahan KUA dan perubahan PPAS untuk menyusun perubahan APBD tahun berkenaan.
45
(2) Bupati menyampaikan Peraturan Bupati tentang Perubahan RKPD kepada Gubernur bersamaan dengan penyampaian rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun berkenaan untuk dievaluasi dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri.
Pasal 112
(1) Perubahan Renstra-SKPD dan Perubahan RPJM-Desa berdasarkan perubahan RPJMD.
(2) Perubahan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Kepala SKPD berdasarkan pengesahan oleh Bupati terhadap perubahan
Renstra-SKPD.
(3) Perubahan RPJM-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Pasal 113
(1) Perubahan Renja-SKPD dan Perubahan RKP-Desa berdasarkan perubahan RKPD.
(2) Perubahan Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Kepala SKPD berdasarkan pengesahan oleh Bupati terhadap perubahan Renja-SKPD.
(3) Perubahan RKP-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Desa.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 114 Rencana pembangunan daerah yang telah ditetapkan, tetap digunakan sampai dengan ditetapkannya rencana
pembangunan daerah sesuai dengan Peraturan Daerah ini.
46
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 115 Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini, ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini ditetapkan.
Pasal 116
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka pada tanggal 22 April 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 1
47
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013
TENTANG
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
I. UMUM
Bahwa dalam rangka mencapai hasil pembangunan daerah yang optimal dan untuk menjamin konsistensi serta keberlanjutan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi secara efisien dan efektif, diperlukan adanya sistem perencanaan pembangunan daerah.
Untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, transparan, responsive, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan diperlukan adanya Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah yang disusun dengan menggunakan pendekatan teknokratis, partisipatif, dan politis, sehingga sistem perencanaan pembangunan daerah merupakan bentuk integrasi perencanaan bagi semua pemangku kepentingan dan tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan Nasional.
Sistem perencanaan pembangunan daerah juga harus dapat menjamin konsistensi usulan program dan kegiatan pada semua tingkatan perencanaan. Dengan kata lain sistem perencanaan pembangunan daerah disusun untuk memberikan peran yang lebih besar kepada berbagai elemen masyarakat dalam rangka ikut berpartisipasi menentukan program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
48
Penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan daerah bertujuan untuk:
1. mewujudkan alur dan tata cara perencanaan pembangunan daerah yang berkeadilan dan terstruktur;
2. menjamin konsistensi penyusunan rencana, penganggaran, pelaksanaan, dan pengendalian serta pengawasan pembangunan daerah;
3. meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi perencanaan pembangunan daerah;
4. meningkatkan peran serta masyarakat dalam
perencanaan pembangunan; dan
5. meningkatkan akses dan penyerapan aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan.
Penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan daerah mencakup proses atau tahapan perencanaan dimulai dari:
1. penyusunan rancangan awal;
2. pelaksanaan Musrenbang;
3. penyusunan rancangan akhir; dan
4. penetapan rencana.
Tahapan tersebut meliputi perencanaan jangka panjang, perencanaan jangka menengah, perencanaan tahunan. Penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan daerah juga menjamin dapat dilaksanakannya rencana program dan kegiatan pembangunan melalui rencana pendanaan serta monitoring dan evaluasi rencana pembangunan.
Pelaksanaan Musrenbang merupakan satu tahapan penting untuk mengintegrasikan seluruh pandangan,
aspirasi, dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan dalam rangka memperoleh rumusan rencana pembangunan yang aspiratif.
Musrenbang dilaksanakan mulai dari tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten dengan
49
melibatkan lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang ada, maka berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud diatas, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah bertujuan untuk mencapai pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sesuai dengan urusan dan kewenangan pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan transparan adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
50
Huruf b
Yang dimaksud dengan responsif adalah dapat mengantisipasi berbagai potensi, masalah dan perubahan yang terjadi di daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Efisien adalah pencapaian keluaran tertentu dengan masukan terendah atau masukan terendah dengan keluaran maksimal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan efektif adalah kemampuan mencapai target dengan sumber daya yang
dimiliki, dengan cara atau proses yang paling optimal.
Huruf e
Yang dimaksud dengan akuntabel adalah setiap kegiatan dan hasil akhir dari perencanaan pembangunan daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Huruf f Yang dimaksud dengan partisipatif adalah hak masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses tahapan perencanaan pembangunan daerah dan bersifat inklusif terhadap kelompok masyarakat rentan termarginalkan, melalui jalur khusus komunikasi untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan terukur adalah penetapan target kinerja yang akan dicapai dan cara-cara untuk mencapainya.
51
Huruf h
Yang dimaksud dengan berkeadilan adalah prinsip keseimbangan antarwilayah, sektor, pendapatan, gender dan usia.
Huruf i
Yang dimaksud dengan berwawasan lingkungan adalah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia, dengan cara menserasikan
aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam yang menopangnya.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
52
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas. Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
53
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas. Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
54
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD adalah penelaahan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan hasil rapat dengan DPRD, seperti rapat dengar pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses. Pokok-pokok pikiran DPRD memuat pandangan dan pertimbangan DPRD mengenai arah prioritas pembangunan serta rumusan usulan kebutuhan program/kegiatan yang bersumber dari hasil penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD tahun sebelumnya yang belum terbahas dalam Musrenbang dan agenda kerja DPRD untuk tahun rencana. Penelaahan dimaksudkan untuk mengkaji kemungkinan dijadikan sebagai masukan dalam perumusan
55
kebutuhan program dan kegiatan pada tahun rencana berdasarkan prioritas pembangunan daerah.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
56
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas. Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
57
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud usulan program serta kegiatan yang berasal dari masyarakat adalah usulan program kegiatan yang diajukan pada Musrenbang RKPD Kabupaten di Kecamatan. SKPD wajib mengakomodir usulan masyarakat yang selaras dengan program prioritas yang tercantum dalam rancangan awal RKPD untuk menjadi acuan perumusan kegiatan dalam rancangan Renja-SKPD.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
58
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas. Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
59
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas. Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
60
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0085
61
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 2, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0086
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013
TENTANG
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
TAHUN 2013-2023
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang
:
a. bahwa Sektor Kepariwisataan merupakan salah satu sektor unggulan yang harus dikembangkan dan dibangun secara terarah, terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan semua komponen masyarakat untuk meningkatkan penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan;
62
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Tahun 2013-2023;
Mengingat
: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
63
DDeennggaann PPeerrsseettuujjuuaann BBeerrssaammaa
DDEEWWAANN PPEERRWWAAKKIILLAANN RRAAKKYYAATT DDAAEERRAAHH
KKAABBUUPPAATTEENN FFLLOORREESS TTIIMMUURR
ddaann
BBUUPPAATTII FFLLOORREESS TTIIMMUURR
MMEEMMUUTTUUSSKKAANN::
MMeenneettaappkkaann :: PPEERRAATTUURRAANN DDAAEERRAAHH TTEENNTTAANNGG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN TAHUN 2013-2023..
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores Timur.
3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Flores Timur.
5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Flores Timur yang melaksanakan urusan di bidang kepariwisataan.
6. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Flores Timur yang selanjutnya disingkat RIPKKA adalah petunjuk dan/atau pedoman umum dalam melaksanakan Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan di Kabupaten Flores Timur.
64
7. Kebudayaan adalah keseluruhan perilaku manusia yang diatur oleh tata laku dan harus diperoleh melalui belajar dan tersusun dalam kehidupan bermasyarakat.
8. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
9. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pengusaha.
10. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
11. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
12. Kesenian adalah karya artistik hasil perwujudan kreatifitas daya cipta, rasa karya, karya yang hidup dan berakar di daerah atau wisata tradisional atau kontemporer.
13. Kepurbakalaan adalah semua peninggalan kebudayaan masyarakat masa lalu yang bercorak Pra Sejarah, Kerajaan Hindu, Kerajaan Budha, Kerajaan Islam maupun Kolonial.
14. Kesejarahan adalah dinamika peristiwa yang terjadi di masa lalu dalam berbagai aspek kehidupan dari aspek rekontruksi dari peristiwa-peristiwa tersebut serta peninggalan-peninggalan masa lalu dalam bentuk pemikiran tertulis maupun tidak tertulis yang merupakan tradisi lisan.
15. Nilai Tradisi adalah konsep abstrak mengenai masalah yang tercermin dalam sikap dan perilaku yang selalu berpegang pada adat istiadat.
16. Tinggalan Budaya adalah temuan benda bergerak dan tidak bergerak yang menjadi objek wisata budaya.
65
17. Bahasa Daerah adalah Bahasa Daerah Flores Timur.
18. Sastra Daerah adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa daerah baik lisan maupun tulisan.
19. Aksara Daerah adalah sistem otografi hasil masyarakat di daerah yang meliputi aksara dan sistem pengaksaraan untuk menuliskan bahasa daerah.
20. Folklore adalah bentuk kesenian yang lama dan merupakan kekayaan rakyat banyak dan diwarisi secara turun-temurun yang diakui sebagai milik aslinya yang ditampilkan secara lisan (oral) atau dengan contoh perbuatan.
21. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.
22. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran/tujuan kunjungan wisatawan.
23. Kawasan Strategis Pariwisata yang selanjutnya disingkat KSP adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
24. Satuan Kawasan Wisata yang selanjutnya disingkat SKW adalah satu daerah wisata yang memiliki kelengkapan produk wisata yang dapat dikembangkan secara terpadu.
25. Kawasan Budaya adalah kawasan bercirikan dan bertumpu pada lingkungan dan kehidupan masyarakat yang dapat dipertahankan dari pola hidup, budaya, adat istiadat, kebiasaan dan pengaruh bawaan yang masih
dapat ditolerir sebagai pelengkap atau penunjang yang tidak dapat dihindari.
26. Sumber Daya Manusia yang selanjutnya disingkat SDM adalah orang yang mengabdikan dirinya dalam pekerjaan di bidang pariwisata, Instansi atau Lembaga yang bergerak
66
di bidang pariwisata yang sesuai dengan potensi dan cagar budaya pendidikan.
27. Museum adalah institusi permanen nirlaba melayani kebutuhan publik dengan sifat terbuka dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengkomunikasikan dan memamerkan benda yang nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan pendidikan dan kesenangan.
28. Rumah Adat adalah bangunan rumah yang mencirikan/kas bangunan suatu daerah yang melambangkan kebudayaan dan ciri kas masyarakat setempat.
29. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-Undang.
30. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
31. Badan Promosi Pariwisata Daerah yang selanjutnya disingkat BPPD adalah Lembaga Swadaya yang bersifat mandiri yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai mitra Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan promosi dan pemasaran kepariwisataan daerah.
BAB II
MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT
Pasal 2
Maksud ditetapkan RIPKKA, adalah:
a. menjabarkan visi dan misi Daerah;
b. menyatukan pandangan antara sektor pembangunan lainnya di Daerah akan pentingnya kebudayaan dan kepariwisataan dalam konteks pembangunan daerah;
67
c. memudahkan dan membudayakan masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan kebudayaan dan periwisata di Daerah; dan
d. memudahkan pelaku kebudayaan dan pariwisata dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi Pembangunan Kepariwisataan.
Pasal 3
Tujuan ditetapkan RIPKKA, yaitu:
a. memberikan gambaran secara komprehensif mengenai pengembangan potensi kebudayaan dan pariwisata Daerah
yang meliputi objek dan daya tarik wisata, usaha sarana wisata dan usaha jasa pariwisata;
b. memberikan pedoman tentang perencanaan yang dibutuhkan dalam pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan di Daerah;
c. menyikapi peluang pembangunan kebudayaan dan pemasaran kepariwisataan di Daerah yang sejalan dengan perkembangan pariwisata; dan
d. memberikan arah kebijakan dalam membangun kebudayaan dan kepariwisataan yang didasari pada kebijakan perencanaan pembangunan Daerah.
Pasal 4
Manfaat ditetapkan RIPKKA, yaitu:
a. untuk memberikan kemudahan bagi para penanam modal atau investor dalam upaya pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan di Daerah;
b. alat monitoring dan evaluasi bagi langkah-langkah pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan di Daerah;
c. alat pembinaan dan koordinasi lintas sektoral yang
berdasarkan kepada perencanaan partisipatif; dan
d. data kepustakaan dalam penyusunan karya ilmiah penelitian oleh perguruan tinggi dan masyarakat pada umumnya.
68
BAB III ASAS, KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 5
RIPKKA disusun berasaskan:
a. asas manfaat;
b. asas keterbukaan;
c. asas keterpaduan;
d. asas berkelanjutan; dan
e. asas keterkaitan.
Pasal 6 RIPKKA berkedudukan sebagai:
a. penjabaran dari visi dan misi pembangunan Daerah serta kebijakan pembangunan lainnya;
b. dasar pertimbangan dalam penyusunan program satuan kerja perangkat daerah; dan
c. dasar pelaksanaan pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan Daerah.
Pasal 7
(1) Ruang lingkup RIPKKA meliputi Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan dengan tetap memperhatikan perkembangan kepariwisataan Internasional, Nasional, Regional dan lokal.
(2) RIPKKA meliputi Buku RIPKKA sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB IV
SASARAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN
Pasal 8
Sasaran ditetapkan RIPKKA adalah:
a. tersusunnya RIPKKA yang partisipatif dan memiliki wawasan pembangunan sekarang dan di masa yang akan
69
datang yang berdasarkan kepada pemanfaatan Sumber Daya Alam, SDM, Kebudayaan, Letak Geografis, Pertumbuhan Usaha Pariwisata dan Koordinasi Lintas Sektoral;
b. tersusunnya penyebaran produk wisata yang didukung oleh terbentuknya infrastruktur di Daerah;
c. tersusunnya kawasan-kawasan pariwisata yang dapat menunjukan jumlah kunjungan dan lama tinggal, belanja wisata serta pendapatan daerah;
d. tersusunnya pembinaan kebudayaan dan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan;
e. tersusunnya Investasi Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan di Daerah;
f. terkoordinasinya RIPKKA dengan tata ruang wilayah; dan
g. tersusunnya Pedoman Pemasaran Kebudayaan dan Pariwisata Daerah.
Pasal 9
RIPKKA ditetapkan berdasarkan Strategi Pelaksanaan:
a. pengembangan Kebudayaan dan Kepariwisataan yang berdasarkan pendekatan struktur atau perencanaan partisipatif yang mengikutsertakan seluruh stakeholder baik di bidang Kebudayaan maupun Kepariwisataan;
b. memahami karakteristik, sikap, perilaku dan kebutuhan wisatawan yang berguna untuk menyusun kebijakan dalam manyediakan produk wisata;
c. penyebaran produk wisata yang dapat menopang aspek-aspek kehidupan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pendapatan daerah;
d. pemanfaatan seni budaya untuk pariwisata merupakan alternatif utama untuk memperkaya atraksi wisata,
terselenggaranya program seni budaya selektif yang mampu mengembangkan nilai tambah bagi para pelaksana seni dalam mengembangkan pemuliaan, bisnis dan pemasaran;
e. pemberdayaan masyarakat merupakan tolok ukur perkembangan dan keberhasilan kebudayaaan pariwisata di
70
daerah yang akan memberikan dampak untuk terselenggaranya Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan untuk kebutuhan dan kepentingan masyarakat;
f. pengembangan kepariwisataan berwawasan lingkungan (eco tourism) merupakan kegiatan pembangungan kebudayaan dan kepariwisataan untuk kepentingan pengendalian dan manfaat lingkungan guna kelanjutan Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan di masa mendatang;
g. pengembangan kawasan wisata merupakan strategi terintegrasi dalam penyediaan prasarana dan sarana upaya
memudahkan pembinaan, pelayanan dan mendorong peningkatan lama tinggal, belanja wisatawan dan kunjungan wisatawan;
h. penanaman modal (investasi) strategi ini mendorong terwujudnya kemudahan investasi melalui penyederhanaan regulasi, penataan dan kepemilikan lahan untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan;
i. pengembangan SDM merupakan strategi untuk mewujudkan SDM kebudayaan dan kepariwisataan yang memiliki kompetensi suatu potensi yang dimilikinya; dan
j. Pemasaran kebudayaan dan kepariwisataan untuk membentuk keseimbangan permintaan dan pemenuhan kebutuhan (supply and demand) serta citra pariwisata Daerah.
BAB V KAWASAN STRATEGIS PARIWISATA
Pasal 10
KSP Daerah meliputi:
a. KSP Larantuka;
b. KSP Waiklibang; c. KSP Ritaebang;
d. KSP Menanga; dan
e. KSP Sagu.
71
Pasal 11 (1) KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, merupakan
pusat pelayanan dan pengembangan pariwisata.
(2) Pusat pelayanan dan pengembangan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut:
a. KSP Larantuka meliputi wilayah Kecamatan Larantuka, Ile Mandiri dan Demon Pagong;
b. KSP Waiklibang meliputi wilayah Kecamatan Tanjung Bunga, Lewolema dan Titehena;
c. KSP Ritaebang meliputi wilayah Kecamatan Solor Barat, Solor Selatan, Wulanggitang dan Ile Bura;
d. KSP Menanga meliputi wilayah Kecamatan Solor Timur, Adonara Timur, Ile Boleng dan Wotan Ulumado; dan
e. KSP Sagu meliputi wilayah Kecamatan Adonara, Adonara Tengah, Adonara Barat, Klubagolit dan Witihama.
BAB VI
UNSUR-UNSUR DAN WUJUD KEBUDAYAAN
Pasal 12 Penggolongan unsur-unsur kebudayaan, meliputi:
a. bahasa;
b. sistem teknologi;
c. sistem mata pencaharian hidup;
d. organisasi sosial;
e. sistem pengetahuan;
f. religi; dan
g. kesenian.
Pasal 13 Unsur-unsur Kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dikembangkan dalam wujud:
a. kepurbakalaan; b. kesenian;
72
c. nilai-nilai tradisi kesejarahan;
d. bahasa daerah, aksara daerah dan sastra daerah;
e. museum; dan
f. rumah adat.
Pasal 14 Pengembangan Kepurbakalaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, dilakukan melalui:
a. pendataan, pencatatan, pendokumentasian terhadap peninggalan budaya;
b. penyelamatan terhadap penemuan situs benda cagar
budaya dan benda kepurbakalaan lainnya yang masih berada di dalam tanah dan yang sudah berada di permukaan tanah;
c. pengkajian ulang terhadap penemuan peninggalan budaya;
d. pengaturan pemanfaatan untuk kepentingan sosial, budaya, pendidikan dan pariwisata; dan
e. pensosialisasian peninggalan budaya secara berkala kepada masyarakat.
Pasal 15 Pengembangan Kesenian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, dilakukan melalui:
a. pendataan, pencatatan, pendokumentasian keanekaragaman kesenian daerah baik yang telah punah, hampir punah dan yang saat ini keberadaanya masih hidup dan dipertahankan di tengah masyarakat;
b. pemeliharaan, perlindungan dan pengembangan kesenian yang hidup di tengah masyarakat untuk pengembangan kepariwisataan;
c. pengembangan berbagai unsur folklore untuk mendorong
apresiasi masyarakat terhadap kesenian; dan
d. penyusunan jadwal festival pagelaran kesenian.
73
Pasal 16 Pengembangan Nilai-nilai Tradisi Kesejarahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c, dilakukan melalui: a. pendataan, pencatatan dan pendokumentasian sumber-
sumber sejarah;
b. penulisan kesejarahan dalam berbagai bidang kajian;
c. pemilihan dan pemeliharaan hasil-hasil penulisan sejarah;
d. pemeliharaan nilai-nilai sejarah dan nilai-nilai tradisi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman;
e. pemanfaatan hasil penulisan sejarah melalui jalur pendidikan, media masa dan pariwisata;
f. perlindungan terhadap masyarakat yang memelihara dan mengembangkan nilai-nilai tradisi dalam kehidupan; dan
g. pengkajian dan pembangunan nilai-nilai tradisional yang dipedomani oleh berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik masa lalu dan saat ini.
Pasal 17 Pengembangan Bahasa Daerah, Aksara Daerah dan Sastra Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d, dilakukan melalui:
a. pengembangan kurikulum pendidikan bahasa, sastra dan aksara di sekolah dan ditengah-tengah masyarakat;
b. pengembangan kehidupan berbahasa daerah yang lebih baik dan bermutu;
c. pengembangan apresiasi masyarakat terhadap bahasa, sastra dan aksara daerah; dan
d. pengembangan peran serta masyarakat dalam upaya pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah.
Pasal 18
Pengembangan Museum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf e, dilakukan melalui:
a. penyediaan sarana bangunan museum;
b. pengelolaan museum berlandaskan kepada kerjasama antara Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat;
74
c. pengamanan benda-benda museum baik yang berada dan dimiliki oleh perorangan, kelompok dan Pemerintah Daerah;
d. pengumpulan benda yang menjadi koleksi museum; dan
e. sosialisasi fungsi dan manfaat museum kepada lapisan masyarakat.
Pasal 19
Pengembangan Rumah Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf f, dilakukan melalui pemugaran bangunan rumah adat, rumah jaga dan pelataran rumah adat.
BAB VII
ARAH PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN
Bagian Kesatu Pengembangan Kawasan Budaya
Pasal 20
Pengembangan Kawasan Budaya bertumpu pada lingkungan dan kehidupan masyarakat yang dapat dipertahankan dari sisi pola hidup, budaya, adat istiadat, kebiasaan dan pengaruh bawaan yang masih dapat ditolerir sebagai pelengkap atau penunjang yang tidak dapat dihindari.
Pasal 21 Pengembangan dan Penataan Kawasan Budaya, melalui:
a. penataan fisis meliputi tanah, air dan areal;
b. pengembangan biotis meliputi pola hidup masyarakat, penciptaan suasana pedesaan/pesisir, kelestarian flora dan fauna lingkungan pedesaan/pesisir;
c. pengembangan sosial meliputi penduduk, pola usaha, kehidupan budaya masyarakat dan suasana gotong-royong;
d. pengembangan tipologis meliputi penataan, struktur lanskap sebagai aksentuasi bentangan alam;
e. penataan ruang meliputi letak, luas, batas, lingkungan dan jalan;
75
f. konsep dasar rumah adat meliputi tipe rumah adat memiliki arsitektur rumah adat setempat dan elemen penunjang lingkungan adat;
g. penataan lingkungan penunjang tanah rakyat, persawahan rakyat dan kebun rakyat;
h. pengembangan budaya meliputi kesenian, upacara adat dan ornamen upacara adat; dan
i. lokasi pengembangan kawasan budaya adalah rumah adat dan lokasi yang memenuhi kriteria.
Bagian Kedua
Pengembangan Sarana Pertunjukan Kesenian dan Hiburan
Pasal 22 Pengembangan Sarana Pertunjukan Kesenian dan Hiburan, meliputi:
a. sanggar seni dan tempat kesenian yang dibangun dan/atau diorganisir oleh masyarakat; dan
b. gedung kesenian yang dibangun oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 23 Pengembangan sanggar seni dan tempat kesenian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, dilakukan di setiap KSP.
Pasal 24 Pengembangan gedung kesenian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b, dilakukan di ibukota Daerah.
Bagian Ketiga
Pengembangan Kawasan Seni Budaya
Pasal 25 Konsep dasar pengembangan kawasan seni budaya memiliki filosofi dan strategi yaitu keseimbangan pemanfaatan alam dan budaya serta pelestarian alam dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat.
76
Pasal 26 Kriteria perwujudan Kawasan Seni Budaya, antara lain:
a. penataan fisis meliputi bentangan alam menunjang, persediaan air cukup berlimpah, konservasi lahan terkendali;
b. pengembangan sosial-budaya meliputi penduduk, potensi seni, pola usaha dan kehidupan adat-budaya yang masih terpelihara baik;
c. pengembangan tipologis meliputi penataan struktur lanskap sebagai aksentuasi suasana pedesaan;
d. pemanfaatan ruang meliputi letak, luas, batas, lingkungan,
jalan utama, jalan penghubung;
e. konsep dasar bangunan-bangunan berlandaskan kepada tipe rumah adat setempat sebagai ruang pertunjukan dan pameran masing-masing kecamatan;
f. pengembangan biotis meliputi kekayaan fauna dan flora yang menunjang kawasan seni budaya; dan
g. tipologi meliputi daya dukung rekreasi alam, memiliki jarak jangkau strategis dan efesien, terletak pada jalur wisata kabupaten yang jauh dari kegiatan industri.
Bagian Keempat Pengembangan Pariwisata
Pasal 27 Pengembangan Kepariwisataan partisipatif membutuhkan peran serta:
a. pemerintah daerah;
b. dunia Usaha; dan c. masyarakat.
Pasal 28
(1) Peran Pemerintah Daerah dalam pengembangan kepariwisataan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, meliputi: a. pengendalian, pengaturan dan pembinaan
pembangunan kepariwisataan untuk mewujudkan iklim
77
yang kondusif untuk kelancaran dunia usaha pariwisata dan masyarakat;
b. penyedia prasarana daerah yang dibutuhkan oleh investor;
c. mengolah sistem informasi data yang up to date untuk kepentingan berbagai usaha;
d. mengembangkan citra pariwisata di dalam maupun luar negeri; dan
e. menjembatani usaha kemitraan baik di dalam maupun luar negeri dalam pembangunan wisata.
(2) Peran Dunia Usaha dalam pengembangan kepariwisataan
partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, meliputi:
a. mengembangkan sarana usaha ke arah pengelolaan secara profesional dan berdasarkan prinsip kewirausahaan sejati;
b. mendorong dan mendukung falsafah kebudayaan dan kepariwisataan;
c. mengembangkan usaha pariwisata untuk mewujudkan peningkatan ekonomi daerah, kehidupan sosial dan menghindari kerusakan lingkungan;
d. mendukung dan berperan aktif dalam melaksanakan kebijakan dan program kepariwisataan; dan
e. menciptakan lapangan kerja dan pemasaran.
(3) Peran Masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, meliputi:
a. mewujudkan suasana sapta pesona dalam lingkungan kehidupan sehari-hari di obyek dan daya tarik wisata dan di tempat yang menarik untuk pengunjung;
b. menciptakan suasana lingkungan standar wisata;
c. berperan aktif dalam menciptakan dan menumbuhkan kehidupan ekonomi, sosial, seni budaya di lingkungan masyarakat untuk menunjang perkembangan kebudayaan dan kepariwisataan; dan
78
d. memberikan masukan, saran pendapat dalam perencanaan, pengembangan dan pengawasan kebudayaan dan kepariwisataan.
Bagian Kelima
Pengembangan Kawasan Wisata
Pasal 29 (1) Perwujudan Kawasan Wisata didukung oleh beberapa
kriteria yang dapat dijadikan dasar bagi pengembangan satu kawasan terpadu dalam satu kesatuan pengembangan seperti wisata budaya, Agro wisata, wisata alam, wisata tirta dan geo wisata.
(2) Lokasi-lokasi yang ditetapkan sebagai daerah wisata dalam mencakup lokasi wisata yang kerena potensi dan lingkungannya menunjang terhadap kebutuhan fasilitas bagi wisatawan.
Pasal 30
Penetapan jenis Kawasan Wisata, meliputi:
a. wisata alam, pantai dan tirta;
b. wisata budaya;
c. wisata religius; dan
d. wisata agro.
Pasal 31 Wisata Alam, Pantai dan Tirta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, merupakan wisata yang mendayagunakan keindahan panorama pantai, pasir putih, pulau-pulau terpencil dan terluar, keindahan biota laut, taman laut, aneka hayati yang hidup di laut, keindahan gelombang dan arus pantai, panorama matahari terbenam dan matahari terbit yang dapat digunakan untuk menyelam, berenang, mendayung, selancar, memancing, spa dan wisata minat khusus untuk peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat di sekitar objek wisata.
79
Pasal 32
Tujuan Pengembangan Wisata Alam, Pantai dan Tirta, meliputi:
a. menjaga, memelihara dan melestarikan kehidupan biota laut yakni jenis ikan dan terumbuh karang serta biota laut lainnya;
b. memanfaatkan kehidupan biota laut, terumbuh karang dan potensi laut lainnya untuk pengembangan pariwisata sesuai kebutuhan wisatawan dalam peningkatan pendapatan masyarakat nelayan/pesisir pantai di kawasan wisata;
c. mencegah usaha-usaha ke arah pengrusakan biota laut melalui konservasi keanekaragaman hayati, perikanan
berkelanjutan dan pariwisata berkelanjutan; dan
d. pendidikan ekowisata, pendidikan agro wisata, pendidikan geo wisata, penyediaan pasar wisata sayur-mayur dan buah-buahan dan pengelolaan lingkungan yang berdasarkan kepada pemanfaatan alam sebagai konversi, rekreasi dan edukasi.
Pasal 33 (1) Lokasi Wisata Alam, Pantai dan Tirta di daerah yang
ditetapkan sebagai kawasan kepariwisataan yang dapat dilanjutkan pengembangannya pada lokasi lainnya meliputi:
a. KSP Waiklibang yaitu Danau Waibelen, Sumber Air Panas Waiplatin dan Wai Dan, Goa Ular dan Goa Kelelawar, Danau Rana dan Budidaya Mutiara, Pantai Painghaka, Batu Payung, Labawaing, Nipa (Sunset), Teluk Hading, Pulau Sarabete, Leworahang, Kawaliwu, Lato, Teluk Kelambu, Pulau Konga dan Taman Laut;
b. KSP Larantuka yaitu Pantai Wai Watololong, Pulau Waibalun, Weri, Pantai Baun Boting dan Pantai Ikan Koten, Gunung Ile Mandiri, Sumber Air Panas Wai Plating Oka dan Sumber Air Panas di Demon Pagong.
c. KSP Sagu yaitu Danau Kota Kaya, Taman Laut Pulau Meko, Pulau Bani, Pulau Watan Peni, Pulau Knawe, Pulau Kroko dan Pulau Ipet;
80
d. KSP Menanga yaitu Pantai Semara, Watotena, Ene Burak, Werah Meang, Werah Botok, Taman Laut Deri, Pantai Longot dan Taman Laut Watohari; dan
e. KSP Ritaebang yaitu Pantai Rako, Pantai Oa, Taman Laut Pantai Oa, Air Terjun Waipoar, Air Terjun Nileknohing dan Gunung Berapi Lewotobi.
(2) Pengembangan sarana dan prasarana Wisata Alam, Pantai dan Tirta diarahkan untuk:
a. penyediaan sarana untuk berbagai kegiatan olahraga, pendakian, lari, lintas alam dan ketangkasan alam;
b. penyediaan sarana out bound;
c. penyediaan sarana transportasi untuk resort tour;
d. prasarana di masing-masing obyek wisata; dan
e. penyediaan sarana wisata tirta yaitu menyelam, berenang, memancing, selancar, dayung dan spa.
Pasal 34
Wisata Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b, merupakan wisata yang mengoptimalkan potensi budaya masyarakat lokal, kehidupan sosial budaya dan tradisi, mata pencarian, aktifitas dan siklus hidup masyarakat, pranata sosial, upacara adat, ritual dan ungkapan tradisi, kesenian dan musik etnis, ornamen ritual dan upacara serta semua tinggalan sejarah budaya yang hidup dan berkembang dalam aktifitas dan budaya masyarakat.
Pasal 35
Tujuan Pengembangan Wisata Budaya, meliputi:
a. menggali, menemukan, mengembangkan dan melestarikan potensi budaya masyarakat melalui pengalaman, penelitian, pengetahuan dan teknologi dalam seluruh pola hidup
masyarakat;
b. membina dan menjaga tatanan budaya masyarakat dan memelihara aktifitas budaya masyarakat;
c. mempromosikan semua hasil aktifitas budi dan daya masyarakat serta tradisi kehidupan budaya sebagai sebuah
81
tinggalan sejarah yang dapat mengungkapkan kehidupan masa lalu masyarakat melalui penilitian dan pengkajian, penggalian dan dokumentasi penulisan sejarah;
d. meningkatkan kunjungan wisata pada kawasan wisata budaya melalui usaha menjaga keaslian budaya, pola hidup, struktur mata pencarian, lingkungan alam, ritual dan upacara, tatakrama dan adat istiadat dan atraksi budaya yang berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat; dan
e. menjaga dan memelihara kelestarian aset budaya masyarakat meliputi rumah adat, tempat upacara ritual adat dan budaya serta asesoris lainnya yang memberi kesan
asli, tradisi, seni, antik dan atraktif.
Pasal 36 Lokasi Wisata Budaya di Daerah yang ditetapkan sebagai awal pengembangan kepariwisataan yang dapat dilanjutkan pengembangannya pada lokasi lain, yaitu:
a. KSP Waiklibang meliputi Batu bertulis Nopin Jaga, atraksi Pau Horobubu, Pesta Kebun Polo Ma’ang;
b. KSP Larantuka meliputi Istana Raja, Budaya Adat, Upacara Adat, Tarian Adat dan Rumah Adat tradisonal;
c. KSP Sagu meliputi Benteng Adonara, Istana Raja Sagu, Meriam Kuno, Tugu Belanda Van der Bergh, Situs Peninggalan Portugis, Kapela Senyor, Desa Nusatadon serta Upacara Adat dan Pakaian Adat.
d. KSP Menanga meliputi Tarian Beku, Rumah Adat/Koke Bale, Perkampungan Nelayan Terong, Pembuatan Ikat Tenun, Taman Budaya Tadon Boleng, Pesta Adat Toben Lewo, Upacara Adat Brauk/Pesta Panen, Benteng Portugis Fort Henriques, Upacara Wu’un Lolon dan Atraksi Budaya Lekot Tenoda; dan
e. KSP Ritaebang meliputi Musik Suling Tradisonal, Atraksi Budaya Ritus Tikus, Rumah Adat dan Tarian Adat Tanah Lein.
82
Pasal 37 Wisata Religius sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c, merupakan wisata ritual keagamaan sebagai sebuah warisan tradisi masa lalu, ekspresi nilai-nilai iman, situs sejarah, ornamen, ritual, pelaku, ikatan kultur budaya dalam ritual keagamaan.
Pasal 38 Tujuan Pengembangan Wisata Religius, meliputi: a. memelihara, menjaga, melindungi dan melestarikan wisata
religius keagamaan, pengembangan dan pelestarian iman umat, meningkatkan kerjasama semua pemangku kepentingan, keamanan, kenyamanan dan keramahan kawasan wisata religius, meningkatkan keaslian dan peran serta semua komponen SDM dalam kawasan wisata religius;
b. mempromosikan Kawasan Budaya Religius Semana Santa sebagai icon destinasi unggulan daerah, memelihara ornamen upacara, dokumentasi dan publikasi sejarah, tradisi religius umat untuk meningkatkan kunjungan wisata dan peningkatan ekonomi masyarakat di kawasan wisata religius;
c. menjaga dan melestarikan upacara religius dan aset tinggalan sejarah masa lampau di kawasan wisata religius; dan
d. membina dan melestarikan ikatan sejarah tradisi keagamaan umat di kawasan wisata religius di daerah dengan wisata regional, nasional dan mancanegara.
Pasal 39
Lokasi wisata religius di daerah yang ditetapkan sebagai awal pembangunan kepariwisataan yang dapat dilanjutkan pengembangannya pada lokasi lainnya meliputi:
a. ritual Semana Santa di KSP Larantuka;
b. ritual Semana Santa di KSP Sagu; dan
c. ritual Semana Santa di KSP Ritaebang
83
Pasal 40
Wisata Agro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf d, merupakan wisata yang memanfaatkan potensi pertanian, pemandangan alam, kawasan pertanian, keanekaragaman, aktifitas produksi dan teknologi pertanian serta budaya masyarakat petaninya.
Pasal 41
Tujuan pengembangan Wisata Agro, meliputi:
a. memperluas kawasan pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha dibidang pertanian yang meliputi tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perikanan dan peternakan;
b. mempromosikan pariwisata sejalan dengan fungsi budi daya pertanian dan pemukiman pedesaan; dan
c. meningkatkan lama tinggal wisatawan dan belanja wisatawan yang berdampak pada pendapatan masyarakat melalui pengembangan ekonomi rakyat.
Pasal 42
Lokasi Wisata Agro di Daerah sebagai kawasan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Bagian Keenam Peran Pelaku Wisata
Pasal 43
Setiap Pelaku Usaha Wisata berkewajiban: a. menyediakan restourant dengan struktur dan arsitektur
bangunan khas Rumah Adat Daerah; b. menyediakan sarana akomodasi pada zona pelayanan
pengunjung dalam bentuk cottage atau drive in motel
dengan bentuk bangunan khas Rumah Adat Daerah; c. menyediakan sarana bangunan informasi dengan ruang
presentasi, pemutaran video atau film yang berhubungan dengan alam dan lingkungan alam Daerah;
84
d. menyediakan taman rekreasi untuk anak-anak dengan perlengkapannya; dan
e. menyediakan rest area yang dibangun dengan arsitektur setempat dan menggunakan bahan bangunan yang ramah lingkungan.
BAB VIII
PENGEMBANGAN JALUR WISATA DAN PERSINGGAHAN WISATA
Pasal 44 Pengembangan jalur wisata, meliputi:
a. penyediaan terminal;
b. penataan jalur-jalur wisata;
c. penyediaan angkutan wisata; dan
d. penyediaan tenaga pramuwisata.
Pasal 45
(1) Penyediaan Persinggahan Wisata diarahkan pada semua KSP di Daerah.
(2) Persinggahan Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perlu mempertimbangkan syarat-syarat antara lain:
a. bangunan persinggahan untuk memberikan pelayanan, rumah makan atau ruang cafe, ruang pramuwisata, pelayanan toilet umum, mushola dan ruang customer information center pariwisata;
b. lahan parkir yang dipergunakan untuk parkir angkutan wisata dan kendaraan pribadi.
c. pelayanan dan penyediaan jasa perjalanan wisata melalui jalur-jalur wisata;
d. pelayanan dan penyediaan jasa perjalanann wisata untuk pelayanan kepada wisatawan; dan
e. menyediakan sarana kesehatan, sarana penukaran uang, keamanan, kenyamanan dan keselamatan perjalanan wisata.
85
Pasal 46
Pengelolaan Persinggahan Wisata merupakan:
a. pengembangan dan pengelolaan persinggahan wisata dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Swasta; dan
b. kerjasama pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan persinggahan wisata antara Pemerintah Daerah dan Swasta berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
BAB IX PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 47
Pengembangan masyarakat melalui:
a. pendidikan dan pelatihan masyarakat dalam bidang pariwisata;
b. pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat melalui Pembangunan Kepariwisataan;
c. optimalisasi pengarusutamaan gender melalui Pembangunan Kepariwisataan;
d. peningkatan potensi dan kapasitas sumber daya lokal melalui pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata;
e. penyusunan regulasi dan pemberian insentif untuk mendorong perkembangan industri kecil dan menengah dan Usaha Pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
f. penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha di bidang Kepariwisataan;
g. perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan menengah dan Usaha Pariwisata skala usaha mikro, kecil
dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal;
h. peningkatan akses dan dukungan permodalan dalam upaya mengembangkan produk industri kecil dan menengah dan
86
Usaha Pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal;
i. peningkatan kesadaran dan peran masyarakat serta pemangku kepentingan terkait dalam mewujudkan sapta pesona untuk menciptakan iklim kondusif Kepariwisataan setempat; dan
j. peningkatan motivasi dan kemampuan masyarakat dalam mengenali dan mencintai bangsa dan tanah air melalui perjalanan wisata nusantara.
Pasal 48
Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pola kemitraan, meliputi:
a. pola kemitraan inti plasma;
b. pola kemitraan bersama; dan
c. pola tenaga kerja terdidik.
BAB X PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN
Pasal 49 (1) Pengelompokan SDM Pariwisata, meliputi:
a. kelompok yang berada di garis depan berhubungan langsung dengan wisatawan;
b. kelompok spesialis yang tidak berhubungan langsung dengan wisatawan; dan
c. kelompok birokrat yang bekerja pada Dinas.
(2) Kelompok-kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 50 Program pengembangan SDM dapat dilaksanakan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan untuk para karyawan serta pimpinan yang bekerja pada usaha jasa pariwisata dan
87
karyawan, pimpinan dan staf yang bekerja di Instansi Pemerintah.
Pasal 51 Pelatihan berdasarkan kompetensi spesifikasi teknis bidang kebudayaan dan pariwisata dapat dilakukan oleh Dinas bekerjasama dengan asosiasi pariwisata, lembaga pendidikan pariwisata untuk mendapatkan tingkat keberhasilan.
Pasal 52 (1) Kelompok Penggerak Pariwisata merupakan kelompok
penggerak pariwisata yang bertindak sebagai motivator dan komunikator kepariwisataan tehadap masyarakat sekitar obyek dan daya tarik wisata atau obyek dan tempat menarik lainnya yang menjadi perhatian wisatawan/pengunjung.
(2) Kegiatan Kelompok Penggerak Pariwisata antara lain:
a. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bidang kerajinan dan makanan khas daerah;
b. menyelenggarakan bakti wisata di obyek dan daya tarik wisata;
c. menyeberluaskan informasi tentang kepariwisataan;
d. membentuk/mendirikan koperasi;
e. menyelenggarakan kegiatan hiburan melalui kerjasama dengan usaha kepariwisataan;
f. memelihara dan mengembangkan sapta pesona di lingkungan obyek dan daya tarik wisata; dan
g. memelihara keamanan dan ketertiban lingkungan sekitar obyek wisata.
(3) Pembentukan Kelompok Penggerak Pariwisata dilakukan oleh masyarakat dan bersifat partisipatif oleh kelompok
masyarakat yang berada di sekitar obyek dan daya tarik wisata atau tempat/obyek wisata lain yang menjadi perhatian pengunjung atau wisatawan.
(4) Tata cara pembentukan Kelompok Penggerak Pariwisata ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
88
Pasal 53 Kelompok Swadaya Masyarakat di bidang seni budaya, meliputi:
a. penyelenggara pagelaran kesenian;
b. pengelola makanan khas daerah; dan
c. pemelihara seni budaya.
BAB XI USAHA PARIWISATA DAN PENGEMBANGAN PEMASARAN
Bagian Kesatu
Usaha Pariwisata
Pasal 54 Usaha Pariwisata, meliputi:
a. usaha daya tarik wisata. b. usaha kawasan wisata. c. usaha jasa transportasi pariwisata. d. usaha jasa perjalanan wisata. e. usaha jasa makanan dan minuman. f. usaha jasa penyediaan akomodasi. g. usaha jasa penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi. h. usaha jasa penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif,
konferensi dan pameran; i. usaha jasa informasi pariwisata; j. usaha jasa konsultan pariwisata; k. usaha jasa pramuwisata; l. usaha jasa wisata tirta; dan
m. spa.
Pasal 55 (1) Pengelolaan usaha daya tarik wisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf a, meliputi:
a. membangun dan mengelola obyek dan daya tarik wisata;
89
b. membangun prasarana dan sarana yang diperlukan; dan
c. mengelola obyek dan daya tarik wisata yang telah ada.
(2) Usaha daya tarik wisata meliputi :
a. pengelolaan daya tarik wisata alam;
b. pengelolaan daya tarik wisata budaya;
c. pengelolaan daya tarik wisata religi; dan
d. pengelolaan rekreasi dan hiburan umum.
Pasal 56 (1) Pengelolaan usaha kawasan wisata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 huruf b, meliputi membangun dan mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
(2) Unsur-unsur usaha kawasan wisata, meliputi:
a. penataan, pembangunan, pengembangan dan pelestarian kawasan;
b. penyediaan sarana akomodasi dan tempat wisata;
c. penyediaan makanan dan minuman;
d. penyediaan sarana angkutan wisata;
e. penyediaan sarana kawasan wisata; dan
f. memulihkan keberlangsungan hidup fauna dan flora serta kehidupan biota dan ekosistem kawasan wisata.
Pasal 57
(1) Pengelolaan usaha jasa transportasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf c, meliputi sarana transportasi pariwisata sesuai karakteristik kawasan dan tema pengembangan kawasan wisata.
(2) Unsur-unsur usaha jasa transportasi wisata, meliputi:
a. usaha jasa transportasi darat, jalan raya dan rel kereta api;
b. usaha jasa transportasi laut, sungai dan penyeberangan; dan
c. usaha jasa transportasi udara.
90
Pasal 58 (1) Pengelolaan usaha jasa perjalanan wisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf d, meliputi usaha biro perjalanan dan usaha agen perjalanan wisata.
(2) Unsur-unsur usaha jasa perjalanan wisata, meliputi:
a. penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan jasa pelayanan;
b. penyelenggaraan perjalanan wisata termasuk perjalanan ibadah; dan
c. agen perjalanan wisata, pemesanan tiket, akomodasi dan urusan dokumen perjalanan.
Pasal 59 (1) Pengelolaan usaha makanan dan minuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf e, meliputi penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan.
(2) Unsur-unsur usaha jasa makanan dan minuman meliputi restoran, cafe, jasa boga, bar/kedai minum dan depot.
Pasal 60 (1) Pengelolaan usaha penyediaan akomodasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf f, meliputi usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya.
(2) Unsur-unsur usaha penyediaan akomodasi meliputi hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan dan akomodasi lainnya.
Pasal 61 (1) Pengelolaan usaha penyelenggara kegiatan hiburan dan
rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf g, merupakan usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa hiburan dan rekreasi untuk pariwisata.
(2) Unsur-unsur usaha penyelenggara kegiatan hiburan dan rekreasi, meliputi: a. seni pertunjukan;
91
b. arena permainan dan ketangkasan;
c. karaoke; dan d. bioskop.
Pasal 62
Pengelolaan usaha penyelenggara pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf h, merupakan usaha untuk memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sehingga imbalan atas prestasinya serta penyelenggaraan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan
promosi suatu barang dan jasa yang berskala regional, nasional dan internasional.
Pasal 63 (1) Pengelolaan usaha jasa informasi pariwisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 huruf i, merupakan usaha jasa informasi kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.
(2) Jenis-jenis usaha jasa informasi pariwisata meliputi data, berita, feature, video dan hasil-hasil penelitian.
Pasal 64
Pengelolaan usaha jasa Konsultan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf j, merupakan usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian dan pemasaran dibidang kepariwisataan.
Pasal 65
Pengelolaan usaha jasa pramu wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf k, merupakan usaha yang menyediakan
dan/atau mengkoordinasikan tenaga pemandu wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata.
92
Pasal 66 Pengelolaan usaha jasa wisata tirta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf l, merupakan usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai sungai danau dan waduk.
Pasal 67
Pengelolaan spa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf m, merupakan bagian dari fasilitas hotel.
Pasal 68 (1) Setiap Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54, wajib memperoleh izin.
(2) Syarat-syarat perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Setiap pengusaha pariwisata yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berupa:
a. teguran;
b. peringatan; dan
c. pencabutan izin usaha.
Bagian Kedua Pengembangan Pemasaran
Pasal 69
Pemasaran Pariwisata merupakan kegiatan pokok yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk mempertahankan dan mengembangkan produk pariwisata daerah serta kelangsungan hidup usaha pariwisata.
93
Pasal 70
(1) Pengembangan pemasaran dilakukan dengan cara merencanakan, mengusahakan, melaksanakan, mengelola dan membuat bahan-bahan pemasaran dan promosi.
(2) Pengembangan pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. menentukan kebijaksanaan produk wisata, penentuan harga, saluran distribusi dan promosi;
b. menentukan pasar wisata yang sesuai dengan segmen pasar baik di dalam maupun di luar negeri;
c. menentukan dan memperkenalkan produk wisata yang
baru kepada pasar wisata potensial;
d. menentukan kegiatan dan biaya promosi dalam upaya menciptakan permintaan terhadap produk wisata; dan
e. menentukan perkiraan kebutuhan, pasar potensial, segmen pasar dan pembiayaan.
Pasal 71
Tujuan Pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yaitu menarik wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisata dan daya tarik wisata pada satu daerah tujuan wisata untuk menggunakan seluruh pelayanan yang diberikan oleh para pengusaha yang bergerak dalam bidang usaha obyek dan daya tarik wisata, usaha sarana wisata dan usaha jasa pariwisata.
Pasal 72 Penyelenggaraan Pemasaran dilakukan dengan cara pengiklanan usaha dan obyek daya tarik wisata, usaha sarana wisata, usaha jasa pariwisata dan daerah tujuan wisata.
Pasal 73
(1) Peran Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, meliputi: a. menyediakan biaya pemasaran sesuai dengan
kewenangannya dalam mendorong pemasaran daerah tujuan wisata;
94
b. menciptakan citra daerah tujuan wisata yang memiliki nilai-nalai dan unsur-unsur sapta pesona;
c. mendorong pengusaha di bidang pariwisata untuk mengembangkan dan melaksanakan pemasaran; dan
d. melakukan hubungan masyarakat dan membangun komunikasi.
(2) Peran Dunia Usaha dalam penyelenggaraan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, meliputi:
a. menyediakan biaya untuk kepentingan berbagai kegiatan pemasaran baik di dalam maupun di luar negeri;
b. membuat berbagai bentuk bahan pemasaran perusahaan sesuai dengan bidang usahanya;
c. membantu kegiatan pemasaran produk wisata lainnya yang berada di luar kegiatan usaha; dan
d. mengikuti berbagai kegiatan pemasaran baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri.
(3) Peran Masyarakat dalam penyelenggaraan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, meliputi:
a. menjaga citra daerah tujuan wisata melalui pengembangan sapta pesona;
b. menyediakan dan mengikutsertakan kegiatan pemasaran yang dilaksanakan sesuai bidang kegiatannya; dan
c. mendukung berbagai kegiatan pemasaran yang dilaksanakan pemerintah, dunia usaha pariwisata.
(4) Peran Lembaga dan Instansi terkait dalam penyelenggaraan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, meliputi:
a. membantu pemasaran pariwisata sesuai dengan bidang
kegiatannya; b. menyediakan biaya pemasaran untuk menunjang
berbagai kegiatan yang ada dikaitannya dengan bidang tugasnya; dan
95
c. meneliti berbagai kegiatan pemasaran pariwisata sesuai dengan bidang kegiatannya.
BAB XII
KOORDINASI
Pasal 74 (1) Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan
kepariwisataan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi strategis lintas sektor pada tataran kebijakan, program dan kegiatan kepariwisataan.
(2) Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian dan karantina;
b. bidang keamanan dan ketertiban;
c. bidang prasarana umum yang mencakupi jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi dan kesehatan lingkungan;
d. bidang transportasi darat, laut dan udara; dan e. bidang promosi pariwisata dan kerja sama luar negeri.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, mekanisme dan hubungan koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB XIII
BPPD
Pasal 76 (1) Pemerintah Daerah wajib membentuk BPPD yang
berkedudukan di Ibukota Daerah. (2) BPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
lembaga swasta dan bersifat mandiri.
(3) Pembentukan BPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
96
Pasal 77
(1) BPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 berjumlah 11 (sebelas) orang, terdiri atas:
a. wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang;
b. wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang;
c. pakar/akademisi di bidang pariwisata 2 (dua) orang; dan
d. wakil unsur Pemerintah Daerah 3 (tiga) orang.
(2) Keanggotaan BPPD ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk masa tugas paling lama 4 (empat) tahun.
(3) BPPD dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua
yang dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian BPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 78 (1) BPPD mempunyai tugas:
a. meningkatkan citra kepariwisataan Daerah;
b. meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa;
c. meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan;
d. menggalang pendanaan dari sumber selain APBN dan APBD sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
e. melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan industri pariwisata.
(2) BPPD mempunyai fungsi:
a. koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah; dan
b. mitra kerja Pemerintah Daerah.
97
Pasal 79 (1) Sumber pembiayaan BPPD berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Bantuan dana yang bersumber dari APBN dan APBD bersifat hibah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
BAB XIV
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 80 Pemerintah Daerah mengatur dan mengelola kepariwisataan di Daerah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 81
(1) Setiap orang berhak:
a. memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;
b. melakukan usaha pariwisata;
c. menjadi pekerja/buruh pariwisata; dan
d. berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.
(2) Setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas:
a. menjadi pekerja/buruh;
b. konsinyasi; dan
c. pengelolaan.
Pasal 82 Setiap wisatawan berhak memperoleh:
a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;
b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standard;
98
c. perlindungan hukum dan keamanan;
d. pelayanan kesehatan;
e. perlindungan hak pribadi; dan
f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.
Pasal 83 Wisatawan yang berkebutuhan khusus, anak-anak dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Pasal 84
Setiap pengusaha pariwisata berhak:
a. mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan;
b. membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;
c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d. mendapatkan fasilitas sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Kedua Kewajiban
Pasal 85
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban:
a. menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan;
b. menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum;
c. memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset Nasional dan Daerah yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan
99
d. mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan pengendalian kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 86
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; dan
b. membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih,
berperilaku santun dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata.
Pasal 87
Setiap wisatawan berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b. memelihara dan melestarikan lingkungan;
c. turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan
d. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.
Pasal 88
Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d. memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan;
100
e. memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;
f. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan;
g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;
i. berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan
program pemberdayaan masyarakat;
j. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
k. memelihara lingkungan yang sehat, bersih dan asri;
l. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan
n. menerapkan standard usaha dan standard kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 89 Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata, seperti merusak fisik daya tarik wisata dengan cara melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu,
mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata.
101
BAB XV PENDANAAN
Pasal 90
Sumber dana untuk kegiatan pembangunan kepariwisataan Daerah berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha dan sumber lain yang tidak mengikat.
Pasal 91
Pengelolaan dana kepariwisataan dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik.
Pasal 92 Pemerintah Daerah memberikan peluang pendanaan bagi usaha mikro dan kecil di bidang kepariwisataan.
BAB XVI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 93 (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah
Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pariwisata, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pariwisata agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pariwisata;
102
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pariwisata;
d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pariwisata;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pariwisata;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa indentitas orang, benda dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Pariwisata;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Pariwisata sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
103
BAB XVII KETENTUAN PIDANA
Pasal 94
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 89 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pelanggaran.
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 95 RIPKKA yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah ini dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan kepentingan pembangunan daerah dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun sekali.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96 Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
104
Pasal 97 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
AAggaarr sseettiiaapp oorraanngg mmeennggeettaahhuuiinnyyaa,, mmeemmeerriinnttaahhkkaann
PPeenngguunnddaannggaann PPeerraattuurraann DDaaeerraahh iinnii ddeennggaann ppeenneemmppaattaannnnyyaa
ddaallaamm LLeemmbbaarraann DDaaeerraahh KKaabbuuppaatteenn FFlloorreess TTiimmuurr..
Ditetapkan di Larantuka pada tanggal 22 April 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka pada tanggal 22 April 2013
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 0086
105
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013
TENTANG
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013-2023
I. UMUM
Kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan Daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup.
Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi Daerah ini kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kekayaan berupa letak geografis yang strategis, keanekaragaman bahasa dan suku bangsa, keadaan alam, flora, dan fauna, peninggalan purbakala, serta peninggalan sejarah, seni, dan budaya merupakan sumber daya dan modal untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan dicita-citakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sumber daya dan modal tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan Daerah, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperkenalkan dan mendayagunakan daya tarik wisata dan destinasi di Daerah.
106
Kecenderungan perkembangan kepariwisataan dunia dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal itu disebabkan, antara lain, oleh perubahan struktur sosial ekonomi negara di dunia dan semakin banyak orang yang memiliki pendapatan lebih yang semakin tinggi. Selain itu, kepariwisataan telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Dalam menghadapi perubahan global dan penguatan hak pribadi masyarakat untuk menikmati waktu luang dengan berwisata, perlu dilakukan pembangunan kepariwisataan yang bertumpu pada keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan bangsa dengan tetap menempatkan kebhinekaan sebagai suatu yang hakiki dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk itu, dalam rangka menjamin pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Flores Timur secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab maka Pemerintah memandang perlu untuk membentuk Peaturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah. Hal ini dimaksudkan agar Pemerintah Daerah, dunia usaha pariwisata, dan masyarakat berkewajiban untuk dapat menjamin agar berwisata sebagai hak setiap orang dapat ditegakkan sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia, peningkatan kesejahteraan, serta persahabatan antarbangsa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
107
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Asas Manfaat yakni semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, lestari dan berkelanjutan.
Huruf b
Asas Keterbukaan yakni perencanaan dilakukan secara terbuka dan melibatkan semua elemen masyarakat;
Huruf c
Asas Keterpaduan (integrated) yakni memiliki keterpaduan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan makro yang telah ditetapkan baik pada tingkat Nasional Regional dan Daerah;
Huruf d
Asas Berkelanjutan (suistanable) yakni memperhatikan keseimbangan “balance of life” (hubungan manusia dan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam) dalam prinsip pembangunan yang berkelanjutan; dan
Huruf e
Asas Keterkaitan yakni antara wilayah dengan melihat keterkaitan antar wilayah yang diikat kesamaan sejarah, kondisi alam atau sumber daya yang diharapkan akan mendorong terjalin kerjasama antar daerah.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
108
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
109
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
110
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas. Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Huruf a
Pola Kemitraan Inti Plasma merupakan kerjasama antara pihak masyarakat yang memiliki usaha tertentu sebagai plasma dengan pihak swasta berdasarkan perjanjian dan kesepakatan bersama.
Huruf b
Pola Kemitraan Bersama yakni masyarakat yang memiliki aset baik berupa lahan, rumah atau aset-aset lain yang digunakan sebagai modal usaha untuk berkerja sama dengan pemberi modal atau perusahaan.
111
Huruf c
pola tenaga kerja terdidik yakni masyarakat setempat dilibatkan sebagai tenaga kerja yang bekerja pada usaha pariwisata.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
112
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
113
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Yang dimaksudkan dengan wisatawan yang berkebutuhan khusus adalah wisatawan yang mempunyai kelainan mental dan fisik.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
114
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN KABUPATEN KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0086
115
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 3, 2013 Penjelasan dalam Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0087
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA
DINAS-DINAS DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka sinkronisasi tugas pokok dan fungsi jabatan pada jajaran kesehatan dan dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah maka Susunan Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur dan Susunan Organisasi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Flores Timur yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan
116
Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah, perlu disesuaikan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah;
Mengingat
: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
117
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah;
5. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2008 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0026), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0066);
118
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS–DINAS DAERAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2008 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0026), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0066), diubah sebagai berikut:
119
1. Ketentuan angka 3, angka 4, angka 5, dan angka 6 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 23 diubah sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Susunan Organisasi Dinas Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 5, terdiri dari:
1. Kepala Dinas.
2. Sekretariat, terdiri dari:
a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
b. Sub Bagian Keuangan; dan
c. Sub Bagian Penyusunan Program dan Pelaporan.
3. Bidang Pelayanan Kesehatan, terdiri dari:
a. Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar;
b. Seksi Rujukan dan Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat; dan
c. Seksi Perbekalan dan Sarana Prasarana Kesehatan.
4. Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan, terdiri dari:
a. Seksi Pencegahan Penyakit Menular;
b. Seksi Penyehatan Lingkungan; dan
c. Seksi Wabah dan Surveylans.
5. Bidang Kesehatan Masyarakat, terdiri dari:
a. Seksi Kesehatan Ibu dan Anak;
b. Seksi Kesehatan Remaja dan Usia Lanjut; dan
c. Seksi Perbaikan Gizi Masyarakat.
6. Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Peran Serta Masyarakat, terdiri dari:
a. Seksi Pengembangan Sumber Daya Manusia, Registrasi dan Akreditasi;
b. Seksi Promosi Kesehatan; dan
c. Seksi Pengembangan Peran Serta Masyarakat.
120
7. Kelompok Jabatan Fungsional. 8. Unit Pelaksana Teknis (UPT).
(2) Bagan Struktur Organisasi Dinas Kesehatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
2. Ketentuan Pasal 51 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Susunan Organisasi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 12, terdiri dari:
1. Kepala Dinas
2. Sekretariat, terdiri dari:
a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
b. Sub Bagian Keuangan; dan
c. Sub Bagian Penyusunan Program dan Pelaporan.
3. Bidang Anggaran dan Perbendaharaan, terdiri dari:
a. Seksi Anggaran dan Otorisasi;
b. Seksi Perbendaharaan dan Kas Daerah; dan
c. Seksi Gaji.
4. Bidang Akutansi, terdiri dari:
a. Seksi Akuntansi Belanja dan Pembiayaan;
b. Seksi Akuntansi Pendapatan; dan
c. Seksi Evaluasi dan Pelaporan.
5. Bidang Pendapatan Asli Daerah Lainnya, terdiri dari:
a. Seksi Pendataan;
b. Seksi Penetapan; dan
c. Seksi Penagihan.
121
6. Bidang Pengelolaan Aset, terdiri dari:
a. Seksi Analisa dan Pengadaan;
b. Seksi Inventarisasi dan Pendistribusian; dan
c. Seksi Evaluasi Aset.
7. Bidang Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Dana Perimbangan.
a. Seksi Pelayanan dan Penyuluhan;
b. Seksi Pendataan, Penilaian dan Penetapan; dan
c. Seksi Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan,
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Dana Perimbangan.
8. Kelompok Jabatan Fungsional.
9. Unit Pelaksana Teknis (UPT).
(2) Bagan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
3. Ketentuan Pasal 57A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57A
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Pejabat yang diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2008 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0026), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 15,
122
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0066), tetap menduduki jabatan sampai dengan diangkatnya pejabat baru berdasarkan Peraturan Daerah ini.
Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
TAHUN 2013 NOMOR 3
123
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2008
TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI
DAN TATA KERJA DINAS-DINAS DAERAH
I. UMUM
Reformasi Birokrasi bertujuan untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, profesional, berintegritas tinggi, akuntabel, dan melayani. Makna tersebut sangat mudah dipahami karena harus diakui bahwa peran birokrasi dalam implementasi berbagai sektor pembangunan memang sangat besar dengan sasarannya adalah perubahan kelembagaan (struktur organisasi) menuju organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing).
Kondisi imperik menunjukan bahwa Struktur Organisasi Dinas Kesehatan sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah dari aspek tugas pokok dan fungsi terjadi tumpang tindih (overlapping), oleh karen itu, dalam rangka efisiensi dan efektivitas perlu dilakukan perubahan tugas pokok dan fungsi dan numenklatur Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Flores Timur.
Perubahan tugas pokok dan fungsi dan nomenklatur Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur dilakukan untuk penyesuaian dengan jajaran kesehatan di tingkat yang lebih tinggi,
124
sehingga dalam melaksanakan tugas ada kesinambungan antara jajaran kesehatan mulai dari Daerah, Provinsi dan Pusat, maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah perlu disesuaikan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0087
125
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 4, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0088
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 4 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG
ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT, BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
DAN LEMBAGA TEKNIS DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja dan Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja maka Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur yang semula sudah diatur dalam Peraturan Daerah
126
Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong
127
Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5094);
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 590);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0067);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA
INSPEKTORAT, BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN LEMBAGA TEKNIS DAERAH.
128
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0067), diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Paragraf 3
Susunan Organisasi
Pasal 39
(1) Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9, terdiri dari:
a. Kepala Satuan;
b. Sekretariat, terdiri dari:
1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;
2. Sub Bagian Keuangan; dan
3. Sub Bagian Penyusunan Program dan Pelaporan.
c. Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah, terdiri dari:
1. Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan; dan
2. Seksi Penyelidikan dan Penyidikan.
d. Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, terdiri dari:
1. Seksi Operasi dan Pengendalian; dan
2. Seksi Kerjasama.
e. Bidang Sumber Daya Aparatur, terdiri dari:
1. Seksi Pelatihan Dasar; dan
2. Seksi Teknis Fungsional.
129
f. Bidang Perlindungan Masyarakat, terdiri dari:
1. Seksi Satuan Perlindungan Masyarakat; dan
2. Seksi Bina Potensi Masyarakat.
g. Kelompok Jabatan Fungsional.
h. Unit Pelaksana Satuan Polisi Pamong Praja Kecamatan
(2) Bagan Stuktur Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
2. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Pejabat yang diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0067), tetap menduduki jabatan sampai dengan diangkatnya pejabat baru berdasarkan Peraturan Daerah ini.
130
Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 22 April 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 0088
131
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT KABUPATEN, BADAN PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAERAH DAN LEMBAGA TEKNIS DAERAH
I. UMUM
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan salah satu wujud reformasi otonomi daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya.
Berdasarkan amanat Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas membantu Bupati untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan
132
masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. Oleh karena itu, di samping menegakkan Peraturan Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja juga dituntut untuk menegakkan kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu Peraturan Bupati.
Untuk mengoptimalkan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja perlu dibangun kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja yang mampu mendukung terwujudnya kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur. Penataan kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja tidak hanya mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah penduduk di suatu daerah, tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab yang diemban, budaya, sosiologi, serta resiko keselamatan polisi pamong praja.
Klasifikasi kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja di tingkat Kabupaten berdasarkan ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong terdiri atas Tipe A dan Tipe B yang ditetapkan berdasarkan klasifikasi besaran organisasi perangkat daerah berdasarkan variabel dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah meliputi:
a. jumlah penduduk;
b. luas wilayah; dan
c. jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Berdasarkan perhitungan variabel besaran organisasi perangkat daerah Kabupaten Flores Timur berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah di atas, telah mencapai nilai lebih dari 60 (enam puluh). Sejalan dengan itu maka Pemerintah memandang perlu untuk meningkatkan status Satuan Polisi Pamong Praja dari yang semula Tipe B ke Tipe A melalui Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.
133
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0088
134
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 5, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0089
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
RETRIBUSI JASA UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang :
a. bahwa sehubungan dengan adanya penambahan objek retribusi pelayanan kesehatan dan penyesuaian klasifikasi pasar, maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, perlu disesuaikan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum;
135
Mengingat
: a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
e. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0063);
136
DDeennggaann PPeerrsseettuujjuuaann BBeerrssaammaa
DDEEWWAANN PPEERRWWAAKKIILLAANN RRAAKKYYAATT DDAAEERRAAHH KKAABBUUPPAATTEENN
FFLLOORREESS TTIIMMUURR
ddaann
BBUUPPAATTII FFLLOORREESS TTIIMMUURR
MMEEMMUUTTUUSSKKAANN::
MMeenneettaappkkaann :: PPEERRAATTUURRAANN DDAAEERRAAHH TTEENNTTAANNGG PPEERRUUBBAAHHAANN
AATTAASS PPEERRAATTUURRAANN DDAAEERRAAHH KKAABBUUPPAATTEENN
FFLLOORREESS TTIIMMUURR NNOOMMOORR 1122 TTAAHHUUNN 22001111
TTEENNTTAANNGG RREETTRRIIBBUUSSII JJAASSAA UUMMUUMM..
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0063), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (2) Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(2) Struktur dan besarnya tarif retribusi yang dikenakan meliputi jasa pelayanan dan jasa sarana, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
2. Ketentuan ayat (2) Pasal 28 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28 (2) Kelas pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
adalah: a. Kelas I, adalah Pasar Inpres Larantuka.
137
b. Kelas II, adalah Pasar Inpres Waiwerang; c. Kelas III, terdiri dari:
1. Pasar Boru; 2. Pasar Waiwadan; 3. Pasar Weri; dan 4. Pasar Lamawalang.
d. Kecuali Kelas I, Kelas II dan Kelas III sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c adalah Kelas IV.
3. Ketentuan Pasal 30 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Struktur dan besarnya tarif retribusi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka pada tanggal 3 Mei 2013
BUPATI FLORES TIMUR, CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN Diundangkan di Larantuka pada tanggal 3 Mei 2013
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR, CAP TDT ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 0089
138
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
RETRIBUSI JASA UMUM
I. UMUM
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab, maka perlu digali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah guna mendukung pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan dan pelaksanaan Pembangunan menuju kemandirian Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka salah satu sumber pendapatan Daerah adalah penetapan dan pemungutan retribusi.
Retribusi Jasa Umum semula diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Akan tetapi berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas pasar maka pembagian kelas pasar berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum perlu dilakukan penyesuaian.
Disamping penyesuaian atas retribusi berdasarkan volume aktivitas Pasar, masih terdapat sejumlah obyek pelayanan pada Rumah Sakit Umum Daerah Larantuka yang belum dikenakan pungutan dalam pelayanannya. Sejalan dengan itu maka Lampiran I Peraturan Daerah Kabupaten Flores
139
Timur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum yang mengatur tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0089
140
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 6, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0090
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 6 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG
RETRIBUSI JASA USAHA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang
:
a. bahwa sehubungan dengan adanya penambahan objek Retribusi Jasa Usaha, maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, perlu disesuaikan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha;
141
Mengingat
: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
(4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
(5) Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0068);
142
DDeennggaann PPeerrsseettuujjuuaann BBeerrssaammaa
DDEEWWAANN PPEERRWWAAKKIILLAANN RRAAKKYYAATT DDAAEERRAAHH KKAABBUUPPAATTEENN
FFLLOORREESS TTIIMMUURR
ddaann
BBUUPPAATTII FFLLOORREESS TTIIMMUURR
MMEEMMUUTTUUSSKKAANN::
MMeenneettaappkkaann :: PPEERRAATTUURRAANN DDAAEERRAAHH TTEENNTTAANNGG
PPEERRUUBBAAHHAANN AATTAASS PPEERRAATTUURRAANN DDAAEERRAAHH
KKAABBUUPPAATTEENN FFLLOORREESS TTIIMMUURR NNOOMMOORR 1188
TTAAHHUUNN 22001111 TTEENNTTAANNGG RREETTRRIIBBUUSSII JJAASSAA
UUSSAAHHAA..
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0068), diubah sebagai berikut:
4. Di antara huruf e dan huruf f ayat (1) Pasal 4 disisipkan 1 (satu) huruf, yakni huruf ea sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4 (1) Objek retribusi adalah jasa pelayanan pemakaian
kekayaan Daerah yang disediakan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
a. tanah;
b. bagunan atau gedung;
c. ruangan;
d. kendaraan;
e. alat berat;
ea. jasa penyiaran radio; dan
f. fasilitas-fasilitas penunjang lainnya.
143
5. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka
pada tanggal 3 Mei 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka
pada tanggal 3 Mei 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 6
144
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 6 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG
RETRIBUSI JASA USAHA
I. UMUM
Kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh informasi, bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dalam hal ini kebebasan harus dilaksanakan secara bertanggungjawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut telah membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, termasuk penyiaran di Kabupaten Flores Timur. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat
umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam mengembangkan alam demokrasi di Daerah. Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis, dan pemerintah.
145
Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur dan merupakan media publik lokal yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan pendidikan, informasi, hiburan yang sehat dan pelestarian budaya Daerah.
Dalam penyelenggaraan siaran, Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur memberikan ruang atau durasi waktu untuk layanan siaran iklan baik siaran iklan niaga maupun iklan layanan masyarakat yang bersumber dari Pemerintah, BUMN, BUMD, lembaga masyarakat serta perorangan. Akan tetapi Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur tidak dapat melakukan pungutan atas jasa layanan siaran iklan dimaksud. Hal ini disebabkan karena Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Penggantian Biaya Administrasi yang merupakan dasar pungutan Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur, telah dicabut sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sementara itu, ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengamanatkan bahwa salah satu sumber pembiayaan lembaga penyiaran publik berasal dari siaran iklan di samping iuran penyiaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
Mengingat aset yang digunakan pada Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur merupakan aset Pemerintah Daerah yang belum dipisahkan maka pengaturan pungutan atas jasa
146
siaran merupakan salah satu objek pungutan Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah dalam Retribusi Jasa Usaha.
Di samping itu, mengingat ada beberapa objek retribusi pada Dinas Kelautan dan Perikanan khususnya dalam pemanfaatan sarana PPI oleh pihak ketiga yang belum terakomodir dalam objek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, perlu disesuaikan dengan menambah objek pungutan Jasa Penyiaran dan objek pungutan atas pemanfaatan sarana PPI di Amagarapati.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0090
147
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 7, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0091
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 7 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2011
TENTANG PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang
:
a. bahwa berdasarkan hasil evaluasi Menteri Keuangan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan dalam rangka mencapai efektivitas dan efisiensi sistem pemungutan dan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, perlu disesuaikan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
148
Kabupaten Flores Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
Mengingat
: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LLeemmbbaarraann Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
5. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 22,
149
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0073);
DDeennggaann PPeerrsseettuujjuuaann BBeerrssaammaa
DDEEWWAANN PPEERRWWAAKKIILLAANN RRAAKKYYAATT DDAAEERRAAHH
KKAABBUUPPAATTEENN FFLLOORREESS TTIIMMUURR
ddaann
BBUUPPAATTII FFLLOORREESS TTIIMMUURR
MMEEMMUUTTUUSSKKAANN::
MMeenneettaappkkaann :: PPEERRAATTUURRAANN DDAAEERRAAHH TTEENNTTAANNGG
PPEERRUUBBAAHHAANN AATTAASS PPEERRAATTUURRAANN DDAAEERRAAHH
KKAABBUUPPAATTEENN FFLLOORREESS TTIIMMUURR NNOOMMOORR 2222
TTAAHHUUNN 22001111 TTEENNTTAANNGG PPAAJJAAKK DDAAEERRAAHH..
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2011 Nomor 22, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0073), diubah sebagai berikut:
6. Ketentuan huruf e Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Besarnya tarif pajak untuk setiap jenis hiburan adalah:
a. untuk jenis pertunjukan dan keramaian umum yang menggunakan sarana film di bioskop ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tanda masuk;
b. penyelenggaraan pertandingan olah raga adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tanda masuk;
c. penyelenggaraan hiburan kesenian berupa show, pergelaran musik, pergelaran busana, kontes
150
kecantikan, dan sejenisnya adalah 15% (lima belas persen) dari harga tanda masuk;
d. penyelenggaraan hiburan kesenian berupa kesenian tradisional seperti drama, puisi, dan sejenisnya yang bertujuan untuk melestarikan budaya nasional adalah sebesar 5% (lima persen) dari harga tanda masuk;
e. penyelenggaraan klub malam, diskotik, karaoke, bar, pab dan sejenisnya adalah sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah yang dibayar konsumen;
f. permainan ketangkasan adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tanda masuk;
g. permainan bilyard dan sejenisnya adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah pembayaran yang diterima penyelenggara;
h. penyelenggaraan permainan bowling adalah sebesar 5% (lima persen) dari pembayaran yang diterima penyelenggara;
i. penyelenggaraan hiburan berupa panti pijat sebesar 15% (lima belas persen) dari pembayaran yang diterima penyelenggara;
j. mandi uap (stembath) mandi sauna dan sejenisnya sebesar 15% (lima belas persen) dari pembayaran yang diterima penyelenggara;
k. pertunjukan dan keterampilan umum yang menggunakan elelktronik ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
l. panggung terbuka dipungut pajaknya sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tanda masuk;
m. panggung tertutup dipungut pajaknya sebesar 15% (lima belas persen) dari harga tanda masuk; dan
n. pasar seni dan pameran dipungut pajaknya sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga tanda masuk.
151
7. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebagai berikut:
a. di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen); dan
b. di bawah Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
Pasal II
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka pada tanggal 3 Mei 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka pada tanggal 3 Mei 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 0091
152
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 7 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK
DAERAH
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan pendapatan Daerah dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan peningkatan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pengaturan mengenai perpajakan di Kabupaten Flores Timur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas sistem pemungutan dan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
maka berdasarkan perhitungan tarif Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, perlu dilakukan perubahan.
153
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0091
154
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 8, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0092
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2013
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PENDIRIAN DAN
PENGURUSAN PERUSAHAAN DAERAH GEMOHING FLORES TIMUR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang : a. bahwa Perusahan Daerah Gemohing yang
didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pendirian dan Pengurusan Perusahaan Daerah Gemohing tidak dapat melanjutkan kelangsungan usaha karena permasalahan manajemen dan likuiditas berdasarkan laporan hasil audit BPK Perwakilan Nusa Tenggara Timur;
b. bahwa Perusahaan Daerah Gemohing, ternyata tidak dapat berfungsi sebagai alat bantu Pemerintah Daerah untuk
155
memberdayakan ekonomi rakyat yang dimanifestasikan dalam bentuk turut mengembangkan berbagai sektor pembangunan dan memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah sebagaimana diamanatkan dalam tujuan pendirian;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pencabutan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pendirian dan Pengurusan Perusahaan Daerah Gemohing Flores Timur;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
156
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
DDeennggaann PPeerrsseettuujjuuaann BBeerrssaammaa
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCABUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PENDIRIAN DAN PENGURUSAN PERUSAHAAN DAERAH GEMOHING FLORES TIMUR.
Pasal 1
Peraturan Daerah Kabupten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pendirian dan Pengurusan Perusahaan Daerah Gemohing Flores Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 Tahun 2001 Seri D Nomor 14) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
157
Pasal 2
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka pada tanggal 12 Agustus 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka pada tanggal 12 Agustus 2013
SEKRETARIS DAERAH,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 8
158
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 8 TAHUN 2013
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PENDIRIAN DAN
PENGURUSAN PERUSAHAAN DAERAH GEMOHING FLORES TIMUR
I. UMUM
Perusahaan Daerah Gemohing yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flore Timur Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pendirian dan Pengurusan Perusahaan Daerah Gemohing Flores Timur, merupakan aset daerah yang keberadaanya diharapkan dapat berfungsi sebagai alat bantu Pemerintah Daerah untuk memberdayakan ekonomi rakyat yang dimanifestasikan dalam bentuk turut mengembangkan berbagai sektor pembangunan dan memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah sebagaimana diamanatkan dalam tujuan pendirian.
Sejak akhir tahun 2004 sampai dengan saat ini, sudah tidak beroperasi sehingga mengakibatkan akumulasi defisit yang besar. Kondisi ini berdampak merugikan Pemerintah Daerah dan tidak dapat memberikan kontribusi terhadap penerimaan Asli Daerah.
Berdasarkan rekomendasi Laporan Hasil Audit BPK Perwakilan Nusa Tenggara Timur menyatakan
bahwa Perusahaan Daerah Gemohing tidak dapat melanjutkan kelangsungan usaha (going concern) karena permasalahan manajemen dan likuiditas sehingga menyarakan agar perlu membubarkan Perusahaan Daerah Gemohing. Sehubungan dengan hal tersebut,
159
maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 18 tahun 2001 tentang Pendirian dan Pengurusan Perusahaan Daerah Gemohing Flores Timur perlu dicabut.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0092
160
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 9, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0093
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA
PENCALONAN, PEMILIHAN, PENGANGKATAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka menampung perkembangan keadaan hukum yang berkaitan dengan tata cara pencalonan, pemilihan, pengangkatan, pelantikan dan pemberhentian Kepala Desa maka Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa, perlu disesuaikan;
161
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa;
Mengingat
: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
162
Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587);
5. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0022);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PEMILIHAN, PENGANGKATAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA.
Pasal I
Beberapa ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0022), diubah sebagai berikut:
163
1. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 3, disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) BPD membentuk Panitia pemilihan Kepala Desa dengan Keputusan BPD.
(2) Pembentukan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Desa dengan atau tanpa surat permohonan pengunduran diri dari Kepala Desa.
(2a) Apabila sampai batas waktu empat bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Desa, Panitia Pemilihan Kepala Desa belum dibentuk maka Camat wajib membentuk Panitia Pemilihan Kepala Desa melalui musyawarah Desa.
(3) Panitia Pemilihan Kepala Desa terdiri dari:
a. unsur Perangkat Desa;
b. pengurus lembaga kemasyarakatan; dan
c. tokoh masyarakat.
(4) Jumlah anggota Panitia ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. jumlah penduduk sampai dengan 1000 (seribu) orang sebanyak 5 (lima) orang;
b. jumlah penduduk 1001 (seribu satu) orang sampai dengan 1250 (seribu dua ratus lima puluh) orang sebanyak 7 (tujuh) orang;
c. jumlah penduduk 1251 (seribu dua ratus lima
puluh satu) orang sampai dengan 1500 (seribu lima ratus) orang sebanyak 9 (sembilan) orang; dan
d. jumlah penduduk lebih dari 1500 (seribu lima ratus) orang sebanyak 11 (sebelas) orang.
164
(5) Rincian unsur panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), adalah: a. bagi Desa yang jumlah Panitianya 5 (lima) orang
maka:
1) unsur Perangkat Desa 1 (satu) orang;
2) pengurus lembaga kemasyarakatan 2 (dua) orang; dan
3) tokoh masyarakat 2 (dua) orang.
b. bagi Desa yang jumlah Panitianya 7 (tujuh) orang maka:
1) unsur Perangkat Desa 2 (dua) orang;
2) pengurus lembaga kemasyarakatan 3 (tiga) orang; dan
3) tokoh masyarakat 2 (dua) orang.
c. bagi Desa yang jumlah Panitianya 9 (sembilan) orang maka:
1) unsur Perangkat Desa 3 (tiga) orang;
2) pengurus lembaga kemasyarakatan 3 (tiga) orang; dan
3) tokoh masyarakat 3 (tiga) orang.
d. bagi Desa yang jumlah Panitianya 11 (sebelas) orang maka:
1) unsur Perangkat Desa 3 (tiga) orang;
2) pengurus lembaga kemasyarakatan 4 (empat) orang; dan
3) tokoh masyarakat 4 (empat) orang.
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
Persyaratan Calon Kepala Desa adalah sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
165
dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah;
c. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan atau sederajat;
d. apabila Desa-desa yang tidak memiliki sumber daya manusia yang berpendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf c maka dapat menyesuaikan dengan kondisi yang senyatanya;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. sekurang-kurangnya telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun;
g. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
h. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun;
i. belum pernah menjabat sebagai Kepala Desa paling lama 2 (dua) periode baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut;
j. mendapat dukungan 10% dari jumlah penduduk setempat bagi putera desa yang bukan penduduk Desa;
k. bersedia berdomisili di Desa setempat bagi putera Desa yang bukan penduduk Desa;
l. telah menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa jabatan Kepala Desa dalam rapat paripurna BPD dan juga telah menyampaikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Bupati bagi Bakal Calon yang sebelumnya memangku jabatan Kepala Desa;
m. mendapat dukungan 5% dari jumlah penduduk setempat bagi putera Desa yang merupakan penduduk Desa; dan
n. tidak pernah diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan Kepala Desa.
166
3. Ketentuan Pasal 8 ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf l, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
Calon Kepala Desa hasil penyaringan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Panitia dengan melengkapi bahan-bahan sebagai berikut: a. surat Pernyataan setia dan taat kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan kepada Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. surat Pernyataan kesedian menjadi calon dan tidak mengundurkan diri;
c. surat Keterangan Sehat yang dikeluarkan oleh Dokter Pemerintah;
d. surat Keterangan tidak pernah dihukum dengan hukuman Penjara paling singkat 5 (lima) tahun dari Pengadilan;
e. surat Keterangan tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan Keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
f. foto copy ijasah terakhir yang dilegalisir oleh Pejabat/Lembaga berwenang dan/rekomendasi dari lembaga berwenang;
g. foto copy KTP yang masih berlaku;
h. surat keterangan catatan kepolisian;
i. surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan bagi calon yang menduduki salah satu jabatan di tingkat Desa;
j. surat pernyataan dukungan paling sedikit 10% dari jumlah penduduk setempat bagi putera Desa yang
bukan penduduk Desa;
k. pas photo ukuran 3 x 4 sebanyak 4 (empat) lembar; dan
l. bukti dukungan hasil penjaringan paling sedikit 5% dari jumlah penduduk setempat bagi putera Desa yang merupakan penduduk Desa.
167
4. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 ditambah 1 (satu) Pasal yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
Tata cara pembentukan panitia penjaringan, penyaringan dan kampanye pemilihan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon
yang mendapatkan suara terbanyak.
(2) Hasil penghitungan suara dimuat dalam Berita Acara Penghitungan Suara.
(3) Panitia Pemilihan Kepala Desa melaporkan hasil Pemilihan Kepala Desa kepada BPD.
(4) Calon Kepala Desa Terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan BPD berdasarkan Laporan dan Berita Acara Penghitungan Suara dari Panitia Pemilihan.
(5) Apabila dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah pelaksanaan pemungutan suara BPD belum menetapkan Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dianggap telah ada Keputusan BPD dan Panitia wajib melanjutkan proses pengesahan pengangkatan Kepala Desa terpilih.
6. Ketentuan Pasal 22 ayat (1), ayat (5) dan ayat (6) diubah, sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Kepala Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; dan
c. diberhentikan.
168
(2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, karena:
a. berakhir masa jabatan; b. berhalangan tetap;
c. meninggalkan tugas selama 6 (enam) bulan berturut-turut;
d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan;
e. tidak melaksanakan kewajiban Kepala Desa; dan
f. melanggar larangan bagi Kepala Desa sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(3) Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, disampaikan kepada Bupati melalui Camat berdasarkan Keputusan musyawarah BPD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota BPD.
(4) Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, ditetapkan oleh Bupati tanpa melalui usulan BPD.
(5) Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), huruf a adalah pemberhentian dengan hormat.
(6) Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e adalah pemberhentian tidak dengan hormat.
(7) Usul Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan kepada Bupati melalui Camat untuk ditetapkan pengesahan pemberhentiannya.
(8) Pengesahan pemberhentian Kepala Desa sebagimana
dimaksud pada ayat (6), ditetapkan dengan Keputusan Bupati paling lama 15 (lima belas) hari sejak usul diterima.
169
(9) Setelah pengesahan pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Bupati mengangkat Penjabat Kepala Desa.
7. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
Tata cara pemberhentian dan pemberhentian sementara Kepala Desa, diatur dengan Peraturan Bupati.
8. Ketentuan ayat (3) Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Bupati dapat mengangkat Penjabat Kepala Desa yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) Pengangkatan Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh BPD.
(3) Masa jabatan Penjabat Kepala Desa adalah paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat diperpanjang oleh Bupati.
(4) Tugas dan kewenangan Penjabat Kepala Desa adalah memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa dan melaksanakan tugas pokok dan kewenangan Kepala Desa kecuali mengangkat dan memberhentikan Perangkat Desa.
9. Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 27A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27A
Tata cara dan Syarat-syarat pengangkatan penjabat Kepala Desa diatur dengan Peraturan Bupati.
10. Ketentuan Pasal 28 ayat (2) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a) sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:
170
Pasal 28
(1) Anggaran biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada APBDesa.
(2) Penggunaan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diusulkan oleh Panitia kepada Kepala Desa.
(2a)Penggunaan anggaran biaya pemilihan Kepala Desa dilakukan sesuai tahapan pemilihan.
(3) Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan biaya pemilihan Kepala Desa disesuaikan dengan kemampuan keuangan Daerah.
11. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29 (1) Pertanggungjawaban pengelolaan anggaran pemilihan
Kepala Desa oleh Panitia disampaikan kepada Kepala Desa.
(2) Pertanggungjawaban pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat(1), dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak pelantikan Kepala Desa terpilih.
12. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Desa yang sedang melaksanakan proses pemilihan Kepala Desa sampai pada tahap penjaringan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa dihentikan dan melakukan proses pemilihan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Desa yang sedang melaksanakan proses pemilihan Kepala Desa sampai pada tahap penyaringan
171
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa maka proses selanjutnya disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
13. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan dari Peraturan
Daerah ini ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal II Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka pada tanggal, 12 Agustus 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka pada tanggal 12 Agustus 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 0093
172
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 9 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
FLORES TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA
PENCALONAN, PEMILIHAN, PENGANGKATAN, PELANTIKAN
DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA
I. UMUM
Proses dan tahapan pencalonan, pemilihan, pengangkatan, pelantikan dan pemberhantian kepala desa dalam kurun waktu pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa sering menimbulkan sejumlah permasalahan baik yang bersumber dari pengaturan peraturan Daerah maupun pada tataran pelaksananaan. Permasalahan dimaksud meliputi proses pembentukan panitia pemilihan, penjaringan, penyaringan, penetepan calon terpilih, pengesahan pengakatan dan pemberhentian Kepala Desa. Selain itu penjabaran teknis yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan daerah melalui Peraturan Kepala Daerah belum mendapatkan delegasi pengaturan dari Peraturan Daerah. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan proses Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa menimbulkan disharmonisasi penyelanggaran pemerintahan Desa dan kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan kondisi ini maka dibutuhkan kebijakan legislasi Peraturan Daerah yang mampu memberikan payung hukum bagi keseluruhan tahapan proses pemilihan Kepala Desa sebagai guna menciptakan tata
173
penyelenggaraan pemerintahan Desa yang tertib dan teratur dengan melakukan perubahan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 2 tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Lingkup perubahan dalam peraturan daerah ini meliputi:
1. Pembentukan Panitia;
2. Persyaratan calon;
3. Penjaringan dan Penyaringan dan penetapan calon terpilih;
4. Pemberhentian Kepala Desa;
5. Pengangkatan Penjabat Kepala Desa; dan
6. Pembiayaan.
Pada tahapan pembentukan panitia perlu dirumuskan kewenangan Camat untuk membentuk panitia pemilihan melalui musyawarah Desa apabila sampai batas waktu empat bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Desa, Panitia Pemilihan Kepala Desa belum dibentuk. Pada verifikasi persyaratan calon perlu ditambahkan syarat dukungan minimal bagi calon Kepala Desa yang merupakan penduduk Desa dan syarat tidak pernah diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan Kepala Desa. Penambahan syarat dimaksud bertujuan untuk menjamin kredibilitas calon Kepala Desa dalam proses pemilihan selanjutnya. Pada tahap penetapan calon terpilih perlu dirumuskan jalan keluar manakala terdapat kebuntuhan dalam proses penetapan oleh BPD.
Perubahan terkait pemberhentian Kepala Desa dilakukan dengan merumuskan ulang atribut
pemberhentian baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat. Penegasan terhadap atribut pemberhentian ini menjadi penting karena berkaitan dengan kemungkinan pencalonan Kepala Desa yang telah diberhentikan. Terhadap pengangkatan Penjabat
174
Kepala Desa perlu diberikan wewenang kepada Bupati untuk merumuskan tata cara dan syarat-syarat pengangkatan termasuk wewenang yang bersifat diskresi untuk memperpanjang masa jabatan Penjabat Kepala Desa. Kewenangan ini dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan kelanjutan jalannya pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan. Perubahan terhadap pengaturan pembiayaan dilakukan untuk menyesuaikan dengan mekanisme dan tata kelola keuangan Desa secara tertib dan bertanggung jawab.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0093
175
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 10, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0094
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 10 TAHUN 2013
TENTANG
PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang : a. bahwa Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Flores Timur baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai Badan Hukum memiliki peran serta kedudukan yang sangat strategis dalam mewujudkan masyarakat yang maju, sejahtera, adil dan makmur;
b. bahwa Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah perlu dibangun menjadi lebih kuat dan mandiri sehingga mampu berperan sebagai sokoguru perekonomian baik lokal maupun nasional dan
176
sekaligus sebagai wahana penciptaan lapangan kerja;
c. bahwa sumber daya manusia pada Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Flores Timur belum disertai dengan kemampuan yang memadai dalam bidang organisasi, manajemen, permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan berkompetisi sehingga perlu diberdayakan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggarara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
177
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
DDeennggaann PPeerrsseettuujjuuaann BBeerrssaammaa
DDEEWWAANN PPEERRWWAAKKIILLAANN RRAAKKYYAATT DDAAEERRAAHH
KKAABBUUPPAATTEENN FFLLOORREESS TTIIMMUURR
ddaann
BBUUPPAATTII FFLLOORREESS TTIIMMUURR
MMEEMMUUTTUUSSKKAANN::
MMeenneettaappkkaann :: PPEERRAATTUURRAANN DDAAEERRAAHH TTEENNTTAANNGG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores Timur.
3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.
4. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Flores Timur yang melaksanakan urusan di bidang Perkoperasian.
5. Dewan Koperasi Indonesia Daerah yang selanjutnya disingkat DEKOPINDA adalah Dewan Koperasi Indonesia Daerah Kabupaten Flores Timur, yang didirikan dari dan oleh gerakan koperasi untuk memperjuangkan kepentingan dan menyalurkan aspirasi koperasi.
178
6. Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
7. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi.
8. Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi koperasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita dan tujuan koperasi.
9. Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
10. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan secara individu atau yang bergabung dalam Koperasi yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
11. Usaha Kecil adalah usaha produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar, dan memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
179
12. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahan atau cabang perusahan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
13. Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
14. Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan oleh Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, secara sinergis melalui penetapan berbagai Peraturan Perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
15. Pelaku usaha adalah setiap orang, badan usaha dan/atau badan hukum yang didirikan dan berkedudukan serta melakukan kegiatan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau bentuk usaha lain di Daerah.
16. Jaringan Usaha adalah suatu sistem usaha terpadu yang
dibentuk oleh para pelaku usaha untuk mendukung keberhasilan usaha secara sinergis dan saling menguntungkan.
180
17. Perlindungan Usaha adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada pelaku usaha dari adanya praktek monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi oleh pihak lain.
BAB II
PEMBERDAYAAN
Bagian Kesatu
Tujuan dan Prinsip Pemberdayaan
Paragraf 1
Tujuan Pemberdayaan
Pasal 2
Tujuan pemberdayaan di Daerah adalah:
a. meningkatkan kualitas sumber daya manusia pelaku usaha Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan sehingga mampu menghadapi persaingan;
b. meningkatkan kualitas produk Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam rangka menghadapi era pasar bebas;
c. meningkatkan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam upaya menumbuhkan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
d. memberikan rangsangan kepada masyarakat agar tertarik untuk menjadi wirausaha baru;
e. meningkatkan kerjasama antar gerakan Koperasi dan antar Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta antara gerakan Koperasi dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah maupun dengan pihak lain dalam rangka alih teknologi; dan
f. meningkatkan peran Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai pelaku ekonomi kerakyatan yang tangguh, mandiri dan profesional sehingga mampu menjadi sokoguru pertumbuhan perekonomian di Daerah.
181
Paragraf 2 Prinsip Pemberdayaan
Pasal 3
Pemberdayaan dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. efektif;
b. efisien;
c. adil;
d. akuntabel;
e. transparan;
f. terpadu;
g. profesional;
h. berkelanjutan;
i. kemandirian;
j. etika usaha;
k. ramah lingkungan; dan
l. peduli kemiskinan.
Bagian Kedua Pelaksanaan dan Koordinasi Pemberdayaan
Paragraf 1 Pelaksanaan Pemberdayaan
Pasal 4
(1) Pelaksanaan Pemberdayaan dilakukan oleh:
a. Pemerintah Daerah;
b. Dunia Usaha;
c. Masyarakat; dan
d. Dekopinda.
(2) Tata Cara pelaksanaan Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.
182
Pasal 5 (1) Pelaksanaan Pemberdayaan dilakukan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, secara teknis dilaksanakan oleh Dinas.
(2) Dinas yang secara teknis melakukan Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan dana pembinaan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 6
(1) Dunia Usaha dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c, menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi terlaksananya Pemberdayaan.
(2) Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Perusahaan Swasta dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan perusahaan yang dialokasikan kepada Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, pembiayaan lainnya serta hibah.
Paragraf 2
Koordinasi Pemberdayaan
Pasal 7 (1) Pelaksanaan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), wajib dikoordinasikan dengan Dinas.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan.
183
Bagian Ketiga Bentuk-Bentuk Pemberdayaan dan Pelaporan
Paragraf 1 Pemberdayaan Koperasi
Pasal 8
(1) Pemberdayaan terhadap Koperasi dapat dilakukan dalam bentuk: a. pembinaan dan pendataan Lembaga Koperasi;
b. pembinaan/pemantauan data administrasi dan pelaporan;
c. pembinaan manajemen keuangan;
d. pendidikan, pelatihan dan bimbingan teknis;
e. perkuatan permodalan;
f. pemasaran produk;
g. fasilitasi kemitraan; dan
h. fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual.
(2) Tata Cara Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 9
Dalam melaksanaan pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian, Pemerintah Daerah membentuk Lembaga Pengawasan Koperasi.
Pasal 10
Dalam hal pemberdayaan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), maka kepada DEKOPINDA dapat diberi peran sebagai berikut:
a. menyerap dan menyalurkan aspirasi Koperasi;
b. meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan masyarakat;
c. melakukan pendidikan perkoperasian;
184
d. mengembangkan kerjasama antar Koperasi dan antara Koperasi dengan badan usaha lain;
e. membantu Pemerintah Daerah dalam proses pendataan Koperasi; dan
f. meningkatkan penataan kelembagaan dan pengembangan usaha Koperasi.
Paragraf 2
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Pasal 11
(1) Pemberdayaan terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dilakukan dalam bentuk:
a. pembinaan dan pendataan kelembagaan;
b. pembinaan manajemen keuangan;
c. pendidikan dan pelatihan serta bimbingan teknis;
d. perkuatan permodalan;
e. magang;
f. pameran dan pemasaran produk;
g. fasilitasi kemitraan;
h. fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual; dan
i. pemantauan dan evaluasi perkembangan.
(2) Tata Cara Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 3 Pelaporan
Pasal 12
(1) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah wajib
menyampaikan laporan kinerja secara berkala kepada Bupati.
185
(2) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi, berupa:
a. Teguran tertulis dari pelaksana pemberdayaan; dan
b. Penghentian pemberdayaan.
(3) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB III
KEMITRAAN DAN JARINGAN USAHA
Bagian Kesatu Kemitraan
Pasal 13
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat melakukan kerjasama usaha dengan pihak lain dalam bentuk kemitraan berdasarkan kesetaraan dan saling menguntungkan.
Pasal 14
Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bertujuan untuk:
a. mewujudkan kemitraan antara Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Perusahaan Swasta;
b. mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pelaksanaan transaksi usaha dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Perusahaan Swasta;
c. mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah terhadap Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Perusahaan Swasta;
d. mencegah pembentukan struktur pasar yang mengarah kepada terjadinya persaingan tidak sehat dalam bentuk monopoli, dan oligopoli; dan
e. mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang
186
dapat merugikan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Pasal 15
(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk melakukan hubungan kemitraan dalam berbagai bidang usaha.
(2) Dunia Usaha dan masyarakat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk melakukan hubungan kemitraan dalam berbagai bentuk bidang usaha dengan pihak lain.
Pasal 16
Kemitraan dilaksanakan dengan pola:
a. inti-plasma;
b. subkontrak;
c. waralaba;
d. dagang umum;
e. distributor/keagenan;
f. kerjasama operasional;
g. usaha patungan (joint venture); dan
h. penyumberluaran (outsourching).
Bagian Kedua Jaringan Usaha
Pasal 17
(1) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat membentuk jaringan usaha.
(2) Jaringan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi berbagai bidang usaha yang mencakup bidang
yang disepakati oleh para pihak dan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.
187
BAB IV IKLIM USAHA DAN PERLINDUNGAN
Bagian Kesatu Iklim Usaha
Pasal 18
(1) Dinas memfasilitasi penciptaan iklim usaha yang kondusif dalam rangka pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui penerapan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi aspek:
a. permodalan;
b. persaingan;
c. perlindungan;
d. prasarana;
e. perjanjian usaha;
f. informasi; dan
g. kemitraan.
(2) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang memasarkan produk usahanya harus bisa memberikan jaminan kualitas produk.
(3) Dunia Usaha dan masyarakat berperan aktif untuk menumbuhkan iklim usaha yang kondusif.
Pasal 19
Dinas wajib melakukan pemantauan, evaluasi dan pengendalian terhadap pelaksanaan program pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Bagian Kedua
Perlindungan Usaha
Pasal 20 Perlindungan usaha kepada Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah meliputi:
a. memfasilitasi pendirian dan perizinan usaha;
188
b. persaingan usaha yang sehat;
c. kemitraan usaha; dan
d. perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka pada tanggal 12 Agustus 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka pada tanggal 12 Agustus 2013
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 10
189
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 10 TAHUN 2013
TENTANG
PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO,
KECIL DAN MENENGAH
I. UMUM
Potensi masyarakat produktif di Daerah terutama yang
bergerak di bidang usaha Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sangat besar. Berdasarkan data yang ada, jumlah Koperasi di Daerah sampai dengan Desember 2012 mencapai 166 (seratus enam puluh enam) koperasi, Jumlah Anggota sebanyak 44.835 (empat puluh empat ribu delapan ratus tiga puluh lima) orang, Pengurus 537 (lima ratus tiga puluh tujuh) orang, Pengawas 471 empat ratus tujuh puluh satu) orang, Manajer 26 (dua puluh enam) orang, Karyawan 256 dua ratus lima puluh enam) orang, Modal Sendiri Rp. 66.160.658.726,00 (enam puluh enam miliar seratus enam puluh juta enam ratus lima puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam rupiah), Modal Luar Rp. 201.182.475.319,00, (dua ratus satu miliar seratus delapan puluh dua juta empat ratus tujuh puluh lima ribu tiga ratus sembilan belas rupiah), Volume Usaha Rp. 93.381.721.646,00 (sembilan puluh tiga miliar tiga ratus delapan puluh satu juta tujuh ratus dua puluh satu ribu enam ratus empat puluh enam rupiah), Asset Rp. 267.553.914.802,00 (dua ratus enam puluh tujuh miliar lima ratus lima puluh tiga juta sembilan ratus empat belas ribu delapan ratus dua rupiah), Sisa Hasil Usaha (SHU) Rp. 5.640.850.82,00 (Lima miliar enam ratus empat puluh juta delapan ratus lima puluh ribu delapan puluh
190
dua rupiah), sedangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebanyak 460 (empat ratus enam puluh) orang, Modal Sendiri Rp. 4.750.834.725,00 (empat miliar tujuh ratus lima puluh juta delapan ratus tiga puluh empat ribu tujuh ratus dua puluh lima rupiah), Modal Luar Rp. 12.897.923.000,00 (dua belas miliar delapan ratus sembilan puluh tujuh juta sembilan ratus duapuluh tiga ribu rupiah), Volume Usaha Rp. 2.538.856.000,00 (dua miliar lima ratus tiga puluh delapan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah), Asset Rp. 11.168.496.559,00 (sebelas miliar seratus enam puluh delapan juta empat ratus sembilan puluh enam ribu lima ratus lima puluh sembilan rupiah).
Sebagai salah satu tulang punggung dan sokoguru perekonomian Nasional maupun daerah pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah merupakan sebuah pilihan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah bersama masyarakat. Langkah-langkah pemberdayaan ini sangat penting mengingat banyaknya hambatan dan permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha di dalam mengembangkan usahanya, sehingga untuk memperlancar dan mengoptimalkan upaya pemberdayaan diperlukan adanya regulasi yang mampu menjadi payung hukum dan memberi perlindungan terhadap dunia usaha, khususnya Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
“Efektif” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus sesuai dengan
191
kebutuhan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
Huruf b
“Efisien” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus diusahakan dengan menggunakan sumberdaya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Huruf c
“Adil” berarti pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang hendak diberdayakan dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan cara dan atau dasar apapun.
Huruf d
“Akuntabel” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat sesuai prinsip-prinsip pemberdayaan.
Huruf e
“Transparan” artinya pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus dilakukan secara terbuka khususnya pada Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dipilih serta pihak lain pada umumnya.
Huruf f
“Terpadu” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah yang dilakukan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan permberdayaan yang dilakukan oleh dinas / atau pihak lain yang diwujudkan dalam bentuk koordinasi lintas sektor.
192
Huruf g
“Profesional” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus dilaksanakan oleh pihak yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai dibidangnya sesuai kebutuhan.
Huruf h
“Berkelanjutan” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus memiliki keterkaitan dengan pemberdayaan yang dilakukan sebelumnya atau yang akan datang.
Huruf i
“Kemandirian” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dilakukan harus bertumpu dan ditopang kekuatan sumberdaya internal yang dikelola dengan sistem ekonomi kerakyatan sehingga tidak tergantung pada kekuatan ekonomi diluar ekonomi rakyat itu sendiri dan tidak boleh menjadi objek belas kasihan tetapi ditempatkan sebagai pelaku ekonomi.
Huruf j
“Etika Usaha” artinya pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dapat menumbuhkan kesadaran atas perilaku berusaha yang sportif melalui persaingan yang sehat, etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.
Huruf k
“Ramah Lingkungan” artinya pemakaian produk dan metode yang tidak berdampak pada pencemaran lingkung.
Huruf l
“Peduli Kemiskinan” artinya pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah harus dilakukan dengan mempertimbangkan
193
dampak positifnya terhadap upaya pengentasan kemiskinan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
“Pembinaan/pemantauan data administrasi dan pelaporan” dilakukan dengan maksud agar tata administrasi koperasi berjalan tertib dan laporan kegiatan koperasi dibuat secara benar dikirim tepat waktu.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
“Pendidikan, pelatihan dan bimbingan teknis” dilakukan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kualitas sekaligus kuantitas hasil produksi bagi Koperasi dan Usaha Mikro, kecil dan Menengah.
Huruf e
“Perkuatan permodalan” ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kualitas sekaligus kuantitas hasil produksi bagi Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
194
Huruf f
“Pemasaran Produk” dilakukan melalui fasilitasi pada pameran produk unggulan, Smesco, promosi produk unggulan dan fasilitasi pada event lainnya.
Huruf g
“Fasilitasi Kemitraan” dilakukan dengan maksud membantu dan memperlancar hubungan kerjasama antar koperasi maupun antara koperasi dengan dunia usaha (perbankan atau BUMN/BUMD).
Huruf h
Dinas memberikan penyuluhan dan fasilitasi kepada koperasi dalam rangka memperoleh Hak Kekayaan Intelektual.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Monopoli” adalah berdagang sendiri, orang lain atau kongsi lain tidak boleh ikut serta; untuk seorang atau segolongan saja; hak monopoli mempunyai hak berdagang sendiri; penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
195
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “Oligopoli”, adalah keadaan pasar dengan produsen pembekalan barang yang berjumlah sedikit sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
“Inti Plasma” adalah hubungan kemitraan antara Usaha kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan inti melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.
Huruf b
“Sub Kontrak” adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau usaha Besar, yang didalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari Produksinya.
Huruf c
“Waralaba” adalah adalah hubungan kemitraan, yang didalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan licenci, merek dagang dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan
manajemen.
Huruf d
”Dagang Umum” adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menegah atau Usaha Besar, yang didalamnya Usaha Menengah
196
atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.
Huruf e
“Distribusi/keagenan” adalah hubungan kemitraan, yang didalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha besar mitranya.
Huruf f
“Kerjasama operasional” adalah perjanjian anatara dua pihak atau lebih dimana masing-masing sepakat untuk melakukan suatu usaha bersama dengan menggunakan dan/atau hak usaha yang dimiliki dan secara bersama menanggung resiko usaha tersebut.
Huruf g
“Usaha patungan (joint venture)” adalah sebuah kesatuan yang dibentuk antara dua pihak atau lebih yang menjalankan aktivitas ekonomi bersama. Pihak-pihak itu setuju untuk berkelompok dengan menyumbang keadilan kepemilikan satuan dalam penerimaan, biaya dan control perusahaan.
Huruf h
“Penyumberluaran (outsourching)” adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-care atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa kerja/buruh (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
197
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0094
198
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN FLORES TIMUR
No. 11, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0095
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 11 TAHUN 2013
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL KABUPATEN FLORES TIMUR
DI LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI FLORES TIMUR,
Menimbang : a. bahwa setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat, minat, dan kemampuan termasuk Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur;
b. bahwa dalam rangka menjamin dan melindungi hak asasi Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan
199
anti perdagangan manusia, perlu diatur penempatan dan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia dimaksud;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Kabupaten Flores Timur di Luar Negeri;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4844);
200
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
dan
BUPATI FLORES TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL KABUPATEN FLORES TIMUR DI LUAR NEGERI.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Flores Timur.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Flores Timur.
3. Bupati adalah Bupati Flores Timur.
4. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan Ketenagakerjaan di Daerah.
5. Kepala Dinas adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan Ketenagakerjaan di Daerah.
6. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
7. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
201
8. Keluarga Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut Keluarga Calon TKI adalah suami atau isteri, anak, orang tua dan orang lain yang masih ada hubungan keluarga yang diakui sebagai anggota keluarga.
9. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.
10. Pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih
baik dalam rangka memberikan dan meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri.
11. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.
12. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disingkat PPTKIS adalah Badan Usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas yang mendapat izin dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja asal Kabupaten Flores Timur ke Luar Negeri.
13. Kantor Cabang Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disebut Kantor Cabang adalah Perwakilan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang terdaftar di Dinas yang melaksanakan urusan Ketenagakerjaan di Kabupaten Flores Timur yang bertindak atas nama Pelaksana Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang bersangkutan.
14. Perwakilan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disebut Perwakilan adalah Badan Hukum atau Perseorangan yang bertindak untuk dan atas
202
nama Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta di Luar Negeri.
15. Asuransi Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut Asuransi adalah suatu bentuk perlindungan bagi Tenaga Kerja Indonesia dalam bentuk santunan berupa uang, yang meliputi kematian, kecelakaan dan kerugian material.
16. Perjanjian Kerjasama Penempatan yang selanjutnya disingkat PKP adalah perjanjian tertulis antara Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta dengan mitra usaha atau pengguna di negara tujuan yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka
penempatan serta perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
17. Perjanjian Penempatan yang selanjutnya disingkat PP adalah perjanjian tertulis antara Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta dengan calon Tenaga Kerja Asal Kabupaten Flores Timur yang memuat hak dan kewajiban dalam rangka penempatan tenaga kerja ke Luar Negeri.
18. Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PK adalah perjanjian tertulis antara Calon Tenaga Kerja Indonesia dan pengguna (user) yang memuat tentang syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.
19. Perjanjian Rekrutmen yang selanjutnya disingkat PR adalah perjanjian tertulis antara Pemerintah Daerah melalui Dinas yang menangani urusan Ketenagakerjaan dengan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang memuat tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur.
20. Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disingkat SIPPTKI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta.
203
21. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disingkat SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah kepada pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta untuk merekrut calon Tenaga Kerja Indonesia dari daerah tertentu, untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan pada calon pengguna tertentu dalam jangka waktu tertentu.
22. Surat Penempatan Tenaga Kerja Indonesia atau Job Order adalah surat yang berisi permintaan Tenaga Kerja Indonesia dari pengguna atau mitra usaha di Luar Negeri.
23. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan suatu negara yang
memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan.
24. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disingkat KTKLN adalah kartu identitas bagi Tenaga Kerja Indonesia yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.
25. Pendataan adalah upaya pengumpulan identitas seseorang untuk didaftar sebagai Calon Tenaga Kerja Indonesia.
26. Rekrutmen adalah keseluruhan proses dari pendataan, melengkapi dokumen, pendaftaran, seleksi hingga pelatihan dan pemberangkatan ke Luar Negeri.
27. Pendidikan dan Pelatihan adalah seluruh kegiatan untuk memberikan, meningkatkan, mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan keahlian Calon Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur, sesuai dengan kebutuhan dan pekerjaan yang akan dijalani, termasuk di dalamnya pengetahuan hukum, bahasa serta budaya negara tujuan penempatan.
28. Purna Penempatan adalah masa di mana seseorang setelah menyelesaikan pekerjaannya di Luar Negeri kembali tinggal
di Daerah.
29. Sistem Informasi adalah keseluruhan proses dari pengumpulan, pengolahan dan penyebarluasan serta umpan balik data yang berkenaan dengan penyelenggaraan
204
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur.
30. Bantuan Hukum adalah segala upaya untuk melakukan advokasi termasuk pelayanan, pendampingan atau pembelaan hukum kepada Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur.
BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2 Penempatan dan perlindungan Calon TKI/TKI berdasarkan azas persamaan hak, keterpaduan, demokrasi, keadilan sosial dan kesetaraan Gender, anti diskriminasi dan anti perdagangan manusia.
Pasal 3 Penempatan dan perlindungan TKI merupakan upaya pembinaan TKI dan keluarganya bertujuan untuk:
a. menjamin hak-hak ekonomi, budaya, politik, hak keselamatan kerja dan syarat kondisi kerja, serta hak kesehatan dan hak reproduksi bagi perempuan;
b. memberdayakan dan mendayagunakan TKI secara optimal dan manusiawi;
c. menjamin dan melindungi Calon TKI/TKI sejak pra penempatan, penempatan sampai dengan purna penempatan;
d. mewujudkan pemerataan dan kesempatan kerja serta penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di Luar Negeri; dan
e. meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.
205
BAB III TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN
PEMERINTAH DAERAH
Bagian Kesatu Tugas
Pasal 4
Pemerintah Daerah bertugas mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
Bagian Kedua Tanggung jawab
Pasal 5
Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penempatan dan upaya meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri.
Bagian Ketiga Kewajiban
Pasal 6
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, Pemerintah Daerah berkewajiban:
a. menjamin terpenuhinya hak-hak Calon TKI/TKI, baik yang berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;
b. mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
c. membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri;
d. memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan; dan
e. menyediakan anggaran untuk pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
206
BAB IV PELAKSANA PENEMPATAN TKI DI LUAR NEGERI
Pasal 7
Penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh:
a. Pemerintah Daerah; dan
b. PPTKIS.
Pasal 8 (1) Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, hanya dapat
dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.
(2) Tata cara penempatan TKI di luar Negeri oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 9
Penempatan TKI oleh PPTKIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
BAB V TATA CARA PENEMPATAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 10
(1) Penempatan TKI di luar Negeri hanya dapat dilakukan ke Negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia.
(2) Penempatan TKI di luar Negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.
207
(3) Penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak azasi manusia, perlindungan hukum, pemerataan kesempatan kerja, dan ketersediaan tenaga kerja.
Bagian Kedua Pra Penempatan
Paragraf 1 Informasi
Pasal 11 (1) Pemerintah Daerah dan PPTKIS wajib mengembangkan
sistem informasi pasar kerja di Luar Negeri secara lengkap dan benar, serta dapat diakses secara mudah dan terbuka oleh Calon TKI.
(2) Pemerintah Daerah dan PPTKIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas penyebaran informasi pasar kerja kepada masyarakat.
(3) Informasi pasar kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. tata cara perekrutan dan penempatan;
b. dokumen-dokumen yang diperlukan oleh Calon TKI;
c. hak dan kewajiban TKI;
d. situasi, kondisi dan budaya negara tujuan;
e. resiko bekerja di negara tujuan;
f. komponen pembiayaan yang ditanggung oleh TKI;
g. komponen pembiayaan yang ditanggung oleh PPTKIS;
h. mekanisme perlindungan; dan
i. mekanisme pembayaran gaji kepada TKI.
(4) Komponen pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dan huruf g, untuk calon TKI di sektor informal ditetapkan dengan Keputusan Bupati setelah mendapatkan masukan dari PPTKIS.
208
Paragraf 2 Pendataan
Pasal 12
(1) Pendataan Calon TKI dilakukan oleh Dinas dan/atau PPTKIS bekerjasama dengan Pemerintah Desa atau Kelurahan melalui Camat.
(2) Untuk kepentingan pendataan, Calon TKI harus menyerahkan:
a. foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dilegalisir;
b. foto copy Kartu Keluarga yang dilegalisir;
c. foto copy Ijazah Terakhir yang dilegalisir;
d. foto copy Akte Kelahiran yang dilegalisir; dan
e. foto copy Sertifikat Ketrampilan (jika ada) yang dilegalisir.
(3) Pelaksanaan pendataan Calon TKI tidak dipungut biaya.
Paragraf 3 Pendaftaran dan Perekrutan
Pasal 13
Calon TKI yang berminat bekerja ke luar Negeri harus terdaftar pada Dinas.
Pasal 14 (1) Pendaftraan Calon TKI dilakukan secara terbuka, langsung
dan sukarela.
(2) Pada saat pendaftaran, Dinas dan/atau PPTKIS harus menjelaskan kepada Calon TKI hal-hal sebagai berikut:
a. lowongan pekerjaan yang tersedia beserta uraian tugas;
b. syarat kerja, antara lain memuat besarnya gaji, jaminan sosial, waktu kerja, waktu istirahat dan cuti;
c. peraturan perundang-undangan di Negara tujuan penempatan;
d. kondisi sosial dan budaya di Negara tujuan penempatan;
209
e. hak dan kewajiban Calon TKI;
f. prosedur dan kelengkapan dokumen; dan
g. biaya-biaya yang dibebankan kepada Calon TKI.
(3) Seseorang yang didaftar menjadi Calon TKI, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah, kecuali Calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
b. memiliki Kartu Tanda Penduduk;
c. sehat mental dan fisik yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
d. berpendidikan sekurang-kurangnya tamat SD;
e. memiliki Surat Izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;
f. memiliki ketrampilan atau keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat ketrampilan;
g. memiliki rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah; dan
h. menunjukan 2 (dua) atau lebih Rekening Tabungan Bank, 1 (satu) atas nama TKI dan yang lainnya atas nama Keluarga TKI.
Pasal 15
(1) PPTKIS yang dapat melakukan perekrutan Calon TKI di daerah, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. mempunyai Surat Izin PPTKIS; dan
b. memiliki Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan di Daerah.
(2) Kantor Cabang PPTKIS atau Kantor Perwakilan di Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus memenuhi persyaratan:
a. terdaftar di Dinas; b. kepala Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan wajib
berdomisili tetap di Daerah;
210
c. memiliki alamat tetap dan lengkap yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Kepala Desa atau Lurah; dan
d. memiliki fasilitas minimal perkantoran, seperti fasilitas ruangan kerja, kursi, meja, lemari arsip dan mesin ketik atau komputer.
Pasal 16 (1) Untuk dapat melakukan perekrutan Calon TKI, PPTKIS
wajib memiliki dokumen:
a. salinan PKP yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang;
b. salinan surat permintaan TKI atau Job Order/Demmand Letter atas nama PPTKIS yang bersangkutan, yang telah dilegalisir;
c. perjanjian kerja induk;
d. persetujuan PP TKI; dan
e. PR.
(2) Dinas wajib melakukan verifikasi terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17 Perekrutan Calon TKI dilarang dilakukan terhadap anak di bawah usia kerja, ibu hamil, ibu yang sedang menyusui dan ibu yang mempunyai anak di bawah lima tahun (balita), penduduk yang masih duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau sederajat dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sederajat.
Paragraf 4 Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 18 (1) Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai
dengan persyaratan jabatan.
211
(2) Dalam hal calon TKI belum memiliki sertifikat kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah atau PPTKIS wajib melakukan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
Pasal 19
(1) Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
(2) Pendidikan dan Pelatihan bagi calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk:
a. membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja calon TKI;
b. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja di luar negeri;
c. membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan; dan
d. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon TKI/TKI.
Pasal 20 (1) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2), dilaksanakan oleh Pemeritah Daerah, PPTKIS atau Lembaga Pelatihan Kerja yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan Lembaga lain yang berkompeten.
(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan
pendidikan dan pelatihan.
Pasal 21
Calon TKI Wanita wajib diperlakukan secara layak dalam hal memperoleh fasilitas dalam pendidikan dan pelatihan.
212
Paragraf 5 Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi
Pasal 22
Setiap calon TKI wajib mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan Lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 23 Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, bertujuan untuk mengetahui derajat kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di Negara tujuan.
Bagian Ketiga Penempatan Tenaga Kerja
Paragraf 1 Umum
Pasal 24
Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen-dokumen: a. Kartu Tanda Penduduk;
b. ijazah terakhir;
c. akte kelahiran atau surat kenal lahir;
d. surat keterangan status perkawinan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah, dan bagi yang telah menikah melampirkan foto copy Akta Perkawinan atau Buku Nikah;
e. surat izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang ditandatangani di atas meterai dan mengetahui Kepala
Desa atau Lurah;
f. sertifikat kompetensi kerja;
g. surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
213
h. pasport yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
i. visa kerja;
j. PP TKI;
k. PK;
l. KTKLN; dan
m. Kartu AK1 (Kartu Kuning).
Paragraf 2 Pelaksanaan Penempatan
Pasal 25
Penempatan Calon TKI hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau PPTKIS yang telah memiliki izin dan terdaftar di Kementerian yang menangani urusan ketenagakerjaan.
Pasal 26
(1) PPTKIS wajib membuat PP dengan Calon TKI.
(2) PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
a. nama dan alamat PPTKIS;
b. nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan alamat calon TKI;
c. nama dan alamat calon Pengguna;
d. hak dan kewajiban para pihak dalam rangka penempatan TKI di luar negeri yang harus sesuai dengan kesepakatan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh calon Pengguna tercantum dalam PKP;
e. jabatan dan jenis pekerjaan calon TKI sesuai permintaan Pengguna;
f. jaminan PPTKIS kepada calon TKI dalam hal Pengguna tidak memenuhi kewajibannya kepada TKI sesuai PK;
g. waktu keberangkatan calon TKI;
h. biaya penempatan yang harus ditanggung oleh calon TKI dan cara pembayarannya;
i. tanggung jawab pengurusan penyelesaian masalah;
214
j. akibat atas terjadinya pelanggaran PP TKI oleh salah satu pihak; dan
k. tanda tangan para pihak dalam PP TKI.
(3) PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilarang memuat ketentuan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 27
(1) Apabila terjadi sengketa yang berkaitan dengan PP maka diselesaikan secara Negosiasi antara PPTKIS dan calon TKI
atau Mediasi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Apabila Negosiasi dan Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mencapai kesepakatan maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui gugatan di Pengadilan Negeri Larantuka.
Pasal 28
(1) PPTKIS wajib melakukan monitoring secara berkala terhadap perkembangan TKI dan melaporkan setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Kepala Dinas.
(2) Kepala Dinas setelah menerima laporan perkembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lama 1 (satu) minggu wajib menginformasikan perkembangan tenaga kerja kepada keluarga dan masyarakat.
Bagian Keempat
Masa Tunggu di Penampungan
Pasal 29 (1) PPTKIS dapat menampung calon TKI sebelum
pemberangkatan.
(2) Lamanya penampungan disesuaikan dengan jabatan dan/atau jenis pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan.
215
(3) Selama masa penampungan, PPTKIS wajib memperlakukan calon TKI secara wajar dan manusiawi.
(4) PPTKIS yang tidak memperlakukan calon TKI secara wajar dan manusiawi.
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi administratif.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis; dan
c. Pencabutan rekomendasi.
Bagian Kelima Masa Penempatan
Pasal 30
(1) TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan melapor pada Dinas dan Perwakilan Republik Indonesia.
(2) Setiap TKI wajib melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.
(3) Bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan kewajiban melapor kedatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh PPTKIS.
Pasal 31 PPTKIS dilarang menempatkan TKI yang tidak sesuai dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan PK yang disepakati dan ditandatangani TKI yang bersangkutan.
Bagian Keenam
Purna Penempatan
Pasal 32 (1) Mekanisme dan prosedur pemulangan TKI sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
(2) TKI wajib melakukan pemeriksaan kesehatan setelah mengalami purna penempatan di sarana kesehatan yang
216
ditunjuk Pemerintah Daerah yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah dan/atau PPTKIS.
(3) Tata cara pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 33
Bupati melaksanakan koordinasi untuk memberikan perlindungan kepada TKI yang mengalami purna penempatan.
BAB VI
PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 34 (1) Masyarakat dapat berperanserta dalam proses penempatan
dan perlindungan bagi TKI.
(2) Tata cara peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembinaan
Pasal 35
(1) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap setiap kegiatan yang berhubungan dengan Penempatan Tenaga Kerja.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengikutsertakan PPTKIS dan pihak terkait lainnya.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan secara terpadu, terkoordinasi dan berkelanjutan.
Pasal 36 Pembinaan Tenaga Kerja dimulai sejak pra penempatan, selama penempatan hingga purna penempatan.
217
Pasal 37 Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 38
Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap PPTKIS yang melakukan perekrutan dan penempatan tenaga kerja.
BAB VIII
PERLINDUNGAN
Pasal 39 (1) Pemerintah Daerah dan PPTKIS bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan sampai dengan purna penempatan.
(3) Bentuk perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. Perlindungan Hukum;
b. Perlindungan Sosial; dan
c. Perlindungan Ekonomi.
(4) Perlindungan Tenaga Kerja dilakukan melalui:
a. PKP;
b. Perjanjian kerjasama rekrutmen antara Dinas dan PPTKIS;
c. Pembuatan Perjanjian Penempatan Tenaga Kerja;
d. Pembuatan Perjanjian Kontrak Kerja;
e. Pertanggungan Asuransi;
f. Pengaturan biaya penempatan;
g. Penyediaan bantuan kredit biaya penempatan oleh Pemerintah Daerah; dan
218
h. Pemberian bantuan hukum/pembelaan bagi TKI.
Pasal 40 Tata cara perlindungan oleh Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41 Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini ditetapkan.
Pasal 42
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur.
Ditetapkan di Larantuka pada tanggal 12 Agustus 2013
BUPATI FLORES TIMUR,
CAP TDT
YOSEPH LAGADONI HERIN
Diundangkan di Larantuka pada tanggal 12 Agustus 2013
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR,
CAP TDT
ANTON TONCE MATUTINA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 0095
219
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR
NOMOR 11 TAHUN 2013
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL KABUPATEN FLORES TIMUR
DI LUAR NEGERI
I. UMUM
Hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak merupakan hak konstitusional warga Negara yang telah mendapat jaminan pemenuhan dan perlindungan baik dalam konstitusi maupun Peraturan Perundang-undangan. Jaminan pemenuhan dan perlindungan dimaksud menimbulkan konsekuensi bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya tanpa diskriminasi berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender terhadap tenaga kerja domestik maupun yang bekerja di luar negeri. Keberaadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri dan Undang-Undang Ratifikasi Convensi Internasional tentang perlindungan Buruh Migrant (Migrant Workers) lebih menekankan perlindungan terhadap buruh migrant yang berkerja di luar negeri melalui skema penempatan Pemerintah, PPTIKS dan Perusahaan. Keberadaan buruh migrant di Kabupaten Flores Timur yang didominasi oleh buruh migrant swadaya perlu mendapat perhatian dalam kebijakan penempatan dan perlindungan. Buruh migrant
swadaya ini, bekerja di luar negeri atas prakarsa dan inisiatif sendiri di luar skema penempatan yang seringkali menimbulkan kompleksitas permasalahan berkaitan dengan mekanisme penempatan dan perlindungan. Berdasarkan data Pemerintah Daerah pada Tahun 2012,
220
jumlah buruh migrant swadaya pada 25 (dua puluh lima) Desa dari 229 (dua ratus dua puluh sembilan) Desa dan 2 (dua) Kelurahan dari 21 (dua puluh satu) Kelurahan se-Kabupaten Flores Timur berjumlah 1291 (seribu dua ratus sembilan puluh satu), terdiri dari buruh migrant laki-laki berjumlah 883 (delapan ratus delapan puluh tiga) dan buruh migrant perempuan berjumlah 408 (empat ratus delapan) yang tersebar pada 6 (enam) Kecamatan yang dijadikan sampel dari 19 (Sembilan belas) Kecamatan dengan sistem pengambilan sampel bertahap (system stratified random sampling).
Bertitik tolak dari kondisi dimaksud maka Daerah berkewajiban untuk merumuskan Kebijakan legislasi yang berpihak kepada buruh migrant swadaya dimaksud. Lingkup perlindungan yang diberikan oleh daerah melaui Peraturan Daerah ini meliputi perlindungan hukum, perlindungan sosial dan perlindungan ekonomi dalam keseluruhan tahapan dimulai dari pra penempatan, penempatan dan purna penempatan.
Lingkup Pemerintah Peraturan Daerah ini meliputi:
1. Asas danTujuan;
2. Tugas, Tanggung Jawab dan Kewajiban pemerintah Daerah;
3. PelaksanaPenempatan TKI diluar Negeri;
4. Tata Cara Penempatan;
5. Peran serta masyarakat;
6. Pembinaan dan Pengawasan; dan
7. Perlindungan.
Asas penempatan dan perlindungan tenaga kerja berdasarkan Peraturan Daerah meliputi asas persamaan hak, keterpaduan, demokrasi, keadilan sosial, kesamaan
gender, anti trafficking. Pemilihan asal ini selaras dengan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan nasional sebagai satu kesatuan system hukum. Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur yang bekerja di luar Negeri bertujuan untuk
221
menjamin pemenuhan hak-hak sebagai warga Negara beserta keluarganya. Tugas, tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah Daerah dimaksud bertujuan untuk mempertegas dan memperkuat posisi Pemerintah Daerah dalam penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabuapaten Flores Timur dengan merumuskan tugas, tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pemenuhan hak-hak tersebut.
Peraturan Daerah ini memberikan wewenang penempatan kepada Pemerintah Daerah dan PPTKIS untuk menyelenggarakan kegiatan penempatan dan perlindungan yang meliputi pra penempata, penempatan dan purna penempatan berdasarkan asas dan tujuan penempatan Tenaga Kerja Indonesia. Disamping itu, peraturan daerah ini mengatur pelembagaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Pengaturan partisipasi masyarakat dimaksudkan diarahkan untuk menjamin hak-hak publik sebagai pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap isu perlindungan buruh migrant baik dalam bentuk kolaborasi maupun pengawasan terhadap proses penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun PPTKIS. Peraturan Daerah ini mengatur juga pelembagaan wewenang pembinaan dan pengawasan kepada Pemerintah Daerah bersama PPTKIS sesuai skema penempatan Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Flores Timur yang bekerja di luar Negeri untuk memberikan jaminan pemenuhan hak dan perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
222
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
223
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
224
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 0095