LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI -...
Transcript of LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI -...
LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI
SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI
Tim Penguji Seminar Skripsi Program studi Ahwal Al‐Syakhsiyah mengesahkan proposal skripsi :
Judul : Kewajiban Pembiayaan Hadhanah yang Masih di Bawah Umur Akibat Perceraian ( studi kritis terhadap pasal 105 point c dan pasal 149 point d kompilasi hukum islam )
Penyusun : Aziz Angga Riana
NIM : 106044101392
Konsentrasi : Peradilan Agama
Telah diuji dalam seminar Proposal Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Ahwal Al Syakhsiyah pada hari Selasa tanggal 12
Jakarta, 12,januari, 2010
Disahkan Oleh Tim Penguji Seminar Proposal Skripsi :
Ketua : Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA (..………………………………….)
NIP: 150 169 102
Sekertaris : Kamarusdiana, Sag, MH (……………………………………)
NIP: 150 285 972
Penguji I : Dr.H.A.Juani syukri Lc.MAg (…….…………………………….)
NIP : 150 256 969
Penguji II : Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA (…...………….………………..)
NIP : 150 169 102
Catatan :
setelah revisi proposal sesuai dengan rekomendasi penguji, anda dapatmengajukan dosen pembimbing ke ketua program Studi Ahwal Al Syakhsiyah dengan membawa proposal serta bukti lembar pengesahan ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecendrungan untuk hidup
bersama. Kehidupan manusia yang ingin bersama, melakukan kontak dengan manusia
yang lainnya tidak dapat dibatasi karena sudah menjadi kodrat manusia, sebagai
makhluk sosial. Tidak jarang dari mereka menjalin suatu ikatan lahir batin yang
cukup kuat di antara manusia, yakni dengan jalan perkawinan.
Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi
berpasangan. Maka di antara salah satu rahmat dari Allah menciptakan kamu semua,
laki-laki dan perempuan, dari jenis yang satu sehingga timbullah rasa kasih sayang,
cinta, dan senang agar sarana-sarana keterikatan tetap terpalihara dan proses
berketurunan pun berkesinambungan.1
Manusia sesuai dengan kodrat alam, dimana-mana dan pada zaman apapun
pasti melangsungkan hidup bersama, hidup berkelompok sekurang-kurangnya
kehidupan bersama ini terdiri dari dua orang. Di dalam perkembarngan hidup,
manusia tak dapat seorang pun yang mampu hidup menyendiri, yang terpisah dari
kelompok manusia yang lainnya, terkecuali dalam keadaan terpaksa itupun hanya
dalam sementara waktu, dan oleh karena itu sifatnya yang suka bergaul satu sama
1 Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta
: Gema Insani,2000),h.759.jilid 3.
1
2
lain, maka dari itu manusia disebut dengan makhluk sosial.2 Oleh karena manusia
akan selalu berusaha untuk mewujudkan bentuk ke hidupan bersama dalam
masyarakat. Keinginan untuk selalu berkomunikasi merupakan hukum agama yang
tersirat, karena manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk selalu hidup berdampingan
satu dengan yang lainnya dan saling menolong tanpa membeda-bedakan masalah ras,
suku, dan bangsa.3
Allah juga menjadikan manusia itu sebagai makhluk hidup yang selalu
menjaga kehormatan dan kemuliaan martabatnya. Oleh karena itu agar bentuk
kehidupan bersama antara seorang pria dan wanita terjaga baik kehormatan dan
kemuliaan, maka diaturlah dalam suatu ikatan perjanjian yang suci dan kokoh untuk
membentuk suatu keluarga yang kokoh dan kekal. Masyarakat lebih mengenal
perjanjian tersebut dengan istilah perkawinan yang mempunyai fungsi –fungsi sosial
seperti regenerasi keturunan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Keturunan
merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam tujuan sebuah perkawinan,
karena keturunan dapat membuat perkawinan menjadi lebih harmonis.4
Menurut Undang- Undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dengan tujuan membentuk
2 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , (Jakarta : Balai Pustaka,2002),h. 29
3 Sayyid Qutub, Tassir FI zhilalil Qur’an, ( Jakarta : Gema Insani, 2000), h.171 4 Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, ( Jakarta : CV . Pedoman Ilmu jaya,
1993),cet ke – 1,h.52
3
keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan yang Maha Esa.5
Selain hukuk positif yang mengatur tentang perkawiinan, hukum islam juga
menjelaskan tentang bagaimana mengatur kehidupan berkeluarga yang baik sebab
islam adalah “ Rahmatal Lilalamin “ rahmat bagi semesta alam baik secara
perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di
akhirat. Ada yang menyatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi sunnah para rasul
sejak dahulu dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi yang akan datang
kemudian. 6
Keluarga merupakan bagian dari institusi sosial yang terkecil dalam
masyarakat. Satu sisi dapat dipahami sebagian dari proses sosial, namun di sisi lain
juga dapat dipahami sebagi cara membangun masyarakat yang ramah nilai, manfaat
dan arti kehidupan yang lebih luas. Untuk menghantarkan yang demikian, keluarga
mesti memiliki seperangkat aturan yang dapat menumbuhkan kesadaran yang tinggi
diantara anggota (keluarga) terhadap hak dan kewajibannya masing – masing.7
Menurut agama Islam hak dan kewajiban suami istri tercermin dalam kehidupan
sehari-hari antara keduanya. Pergaulan tersebut berupa pergaulan yang ma’ruf, dan
saling menjaga rahasia masing-masing. Membina sebuah mahligai rumah tangga atau
hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah.
Melalui rumah tangga yang islami, diharapkan akan terbentuk komunitas kecil
5 Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama , ( Jakarta : PT Internasa , 1991), cet . ke-1,h. 187
6 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, ( Jakarta: Bulan Bintang , 1993), Cet, ke – 3,h.9
7 Zaituah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan , ( Jakarta : el-kahfi,2008),h. 265
4
masyarakat islami. Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat. Bila setiap
keluarga dibina dan dididik dengan baik, sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam,
maka pada akhirnya akan terbentuk masyarakat yang islami pula.8
Tujuan diadakannya perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.9 Proses menuju keluarga yang sakinah tentu tidak
bisa dianggap sepele, sebagaimana Nabi munahhad SAW tidak pernah
menyepelekannya, oleh karena itu kita harus memahami terlebih dahulu tentang
tujuan perkawinan tersebut sebelum kita melaksanakan dari pada perkawinan.10
Namun, tidaklah dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu
mahligai perkawinan yang sesuai dengan tujuan perkawinan dan ketentuan pergaulan
suami istri seperti yang diharapkan oleh agama Islam itu tidaklah mudah. Hal itu
karena manusia dalah makkhluk yang tak luput dari kesalahan, khilap, dan dosa.
Begitu pula suami istri, tidak ada suami istri yang hidup dalam masa indah yang
tentram terus menerus tanpa adanya rintangan dan hambatan sebab kehidupan itu
laksana berlayar yang penuh dengan gelombang, oleh sebab itu seharusnya pasangan
suami istri harus pintar-pintar menjaga hubungannya agar tidak kandas di tengah
jalan. Namun jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi
memancarkan airnya, sehingga hati sudah tidak lagi memperdulikan satu sama
8 Hasbi Indra, Potret Wanita Shalihah, ( Jakarta : Penamadani, 2004 ),h. 61 9 Zaituah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan ,h. 275 10 Abdullah Gymnastiar, Aa Gym dan Fenomena Darrut tauhid, ( Bandung : PT Mizan
,2002),h.210
5
lainnya, maka yang akan terjadi adalah percekcokan yang terus menerus dan tidak
menutup kemungkinan berakhir dengan perceraian.
Suatu gugatan perceraian, bisa mengundang berbagai macam permasalahan.
Di samping gugatan cerai itu sendiri , muncul pula masalah-masalah lain sebagai
akibat dari dikabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti masalah pembagian harta
bersama, dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula permasalahan tentang
siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah (pemeliharaan) terhadap anak.11
Hadhanah atau (pemeliharaan) terhadap anak, juga mengandung arti
tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya
serta mencukupi kebutuuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya,
tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan
nafkah anak tersebut berkelanjutan sampai anak tersebut mencapai batas umur yang
legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri. Proses pemeliharaan
anak dan pendidikannya akan dapat berjalan dengan baik, jika kedua orang tua saling
bekerja sama dan saling membantu. Tentu saja ini dapat dilakukan dengan baik jika
keluarga tersebut benar-benar keluarga yang sakinah dan mawaddah.
Permasalahannya seberapa efektifkah pasal 105 point c jo pasal 156 point d
Kompilasi Hukum Islam di dalam memenuhi kebutuhan biaya hadhanah anak yang
masih di bawah umur akibat perceraian, khususnya jika ayah tidak mampu sama
11 Said Agil Husain Al-Munawwar, Problematika Hukum keluarga Islam kontemporer
( analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah), ( Jakarta : Prenada Media, 2004 ), h. 189
6
sekali ataupun tidak bertanggung jawab sedikitpun. Di sini penulis akan mencoba
menganalisis pasal 105 point c dan pasal 156 point d yang berbunyi :
pasal 105 yang berbunyi : dalam hal terjadinya perceraian : a) pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah ibunya, b)
pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan anak untuk memilih di antara
ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, c) biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.12 Dan juga hal yang sama di dalam kompilasi Hukum
Islam pasal 156 point d yang berbunyi “semua biaya hadhanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai
anak tersebut dewasa dapat mengurus dirinnya sendiri (21 tahun).”13
Pasal ini memang sangat jelas, akan tetapi belum tentu sempurna. Dengan
lahirnya pasal ini menjadi suatu jaminan hak-hak khususnya bagi anak yang masih di
bawah umur ketika kedua orang tuanya bercerai. Letak masalahnya ketika sang ayah
tidak bertanggung jawab sama sekali ataupun tidak mampu sama sekali di dalam
pembiayaan hadhanah tersebut menjadi suatu problem. Karena tujuan dilahirkannya
pasal ini, yaitu guna untuk menjamin hak-hak anak, di dalam pasal 105 dan 156
Kompilasi Hukum Islam jelas- jelas tidak mengakomodir ketika sang ayah tidak
bertanggung jawab sama sekali ataupun tidak mampu sama sekali. Tentunya hak –
hak yang nantinya akan diperoleh oleh anak akan tidak ada.
12 Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,( CV. Nuansa Aulia , 2008) ,h. 33 13 Nuansa Aulia, kompilasi Hukum Islam, h. 48
7
Berangkat dari paradigma di atas penulis berfikir hal ini perlu dikritisi. Karena
di zaman sekarang terutama di kota metropolitan terdapat banyak faktor penyebab
permasalahan khususnya di dalam pembiayaan anak, macam problematika sosial
yang tentunya berujung pada permasalahan kewajiban pemeliharaan anak pasca
perceraian. Sesuai dengan wacana di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
mendalam mengenai persoalan ini dalam bentuk penelitian dengan judul :
KEWAJIBAN PEMBIAYAAN HADHANAH ANAK YANG MASIH DI
BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN (studi kritis terhadap pasal 105 point c
jo Pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Jika ditelusuri masalah ini yang berkaitan dengan hadhanah, sesungguhnya
banyak sekali hal-hal yang mempunyai relevansi pada masalah tersebut. Oleh karena
itu, untuk mempermudah dan memperjelas pokok bahasan, maka penulis membatasi
pada pokok-pokok pembahasan kewajiban pembiayaan hadhanah yang masih di
bawah umur akibat perceraian yang kemudian penulis mengkritisi terhadap
Kompilasi Hukum Islam pasal 105 point c dan pasal 156 point d.
2. Perumusan Masalah
Hadhanah dalam skripsi ini dibatasi pada kewajiban biaya hadhah anak yang
terteta pada pasal 105 point c jo pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi “ bahwa kewajiban pembiayaan anak adalah sang ayah menurut
kemampuannya, sampai anak itu berumur 21 tahun “ Dari latar belakang yang penulis
8
buat, maka penulis menentukan masalah pokok yaitu, seberapa efektifkah pasal 105
point c jo pasal 156 point d di dalam memenuhi kebutuhan biaya hadhanah anak yang
masih di bawah umur akibat perceraian.
1. Bagaimana latar belakang timbulnya pasal pasal 105 point c dan pasal
156 point d Kompilasi Hukum Islam?
2. Bagaimana Langkah seharusnya yang diambil Peradilan Agama
apabila sang ayah tidak mampu ataupun tidak bertanggung jawab di
dalam masalah pembiayaan hadhanah ?
3. Mengapa pasal pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi
Hukum Islam tidak mengakomodir ketika sang ayah tidak mampu
ataupun tidak bertanggung jawab di dalam hal pembiayaan hadhanah
anak ?
C. enelitian Tujuan dan Manfaat P
dhanah
Adapun tujuan penulis dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui lebih dalam mengenai keefektifitasan pasal 105 point c
dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam
2. Mengetahui tentang latar belakang timbulnya pasal 105 point c dan
pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam
3. Untuk mengetahui kewajiban hadhanah dan Langkah apa yang
diambil ketika sang ayah tidak mampu ataupun tidak bertanggung
jawab di dalam masalah pembiayaan ha
9
4. Untuk mengkritisi Mengapa pasal pasal 105 point c dan pasal 156
point d Kompilasi Hukum Islam tidak mengakomodir ketika sang
ayah tidak mampu ataupun tidak bertanggung jawab di dalam
pembiayaan hadhanah
Adapun manfaat penelitian ini adalah
1. Bagi kalangan akademisi dan masyarakat umum, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi besar keilmuan bagi
yang berminat untuk mengkaji
2. Bagi masyarakat, agar mereka memahami dinamika perkembangan
hukum Islam di Indonesia terutama sekitar kewajiban hadhanah.
D. Studi kajian terdahulu
penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan
judul proposal, diantaranya adalah sebagai berikut : Firman Sulaiman skripsinya yang
berjudul “ hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz akibat perceraian " yang
ditulis pada tahun 2005. Di sini ia menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat memperoleh hak hadhanah yang ditinjau hanya dari Kompilasi Hukum
Islam saja.
Hal serupa juga dilakukan oleh Usi Sanusi, yang berjudul “ putusnya
perkawinan akibat perceraian dan dampaknya terhadap pemeliharaan anak dalam
perspektif Hukum Islam dalam undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974” yang
ditulis pada tahun 2005. Di sini ia menjelaskan dasar hukum Islam dan undang-
undang No 1 tahun 1974 tentang perceraian merupakan alternative terakhir untuk
10
menyelesaikan ketegangan rumah tangga yang tidak bisa lagi didamaikan dan
pemeliharaan anak pasca perceraian serta pembiyaan hidup anak setelah perceraian.
Yang terakhir skripsi yang ditulis oleh Siti jamilah pada tahun 2005 dengan
judul “Pandangan hukum Islam dan Hukum Perdata tentang Hak Pemeliharaan
Anak akibat perceraian suami istri “ di dini saudari Siti Jamilah menjelaskan,
tentang perkawinan merupakan suatu wujud kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah warahmah, akan tetapi timbul suatu kewajiban antara anggota keluarga
antara suami istri dan anak. Kewajiban pemeliharaan anak yang ada di bawah umur
menurut hukum Islam adalah hak seorang Ibu sedangkan hak pemeliharaan anak
menurut hukum perdata adalah hak kedua orang tua, baiksudah cerai ataupun bahkan
masih melangsungkan perkawinan kecuali kekuasaan mereka telah dicabut, mereka
masih wajib memberikan tunjangan untuk pemeliharaan dan pendidikannya.
Setelah melakukan analisa dari ketiga skripsi di atas, penulis rasa bahwa
pembahasannya berbeda dengan judul penulis.“ kewajiban pembiayaan Hadhanah
Anak yang masih di bawah umur akibat perceraian (studi kritis terhadap pasal 105
point c dan pasal 156 ponit d kompilasi hukum Islam) “. Di sini penulis mencoba
memaparkan masalah mengenai hadhanah dan mengkritisi pasal 105 point c dan pasal
156 point d Kompilasi Hukum Islam mengenai kewajiban pembiayaan pemeliharaan
anak pasca perceraian.
E. Metode penelitian dan penulisan
Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode studi
kepustakaan (librarry research) yang deskriptif sesuai dengan hukum normatif..
11
Metode deskriptif analitis yaitu metode yang memaparkan masalah-masalah
sebagaimana adanya disertai argumentasi-argumentasi, dan metode analitis
eksplanatoris yaitu metode yang berdasarkan rasional dan logis secara induktif dan
deduktif terhadap sasaran pemikiran.
Metode bahan rujukan ataupun sumber-sumber yang digunakan berdasarkan
al-Qur’an dan al-Hadist, literatur fiqih klasik dan literatur fiqih modern, dan sumber
lainnya yang tidak terbatas sehingga skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan
Penjelasan mengenai metode penulisan yang digunakakan penulis sebagai berikut:
1. PENGUMPULAN DATA
ANALISIS DATA
Induktif, metode a
analisa dengan cara membawa data-data yang
bersifat umum ke dalam
ndingkannya untuk mencapai
kmungkinan mengkom
Yaitu mencari berbagai literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan
untuk selanjutnya dikaji guna mencari landasan pemikiran dalam upaya pemecahan
masalah.
2.
a. nalisis yang berpijak pada data yang bersifat
khusus, yang kemudian dikongklusikan dalam suatu generalisasi
berdasarkan hubungan dan permasalahan.
b. Deduktif , metode
aneka pembahasan yang bersifat khusus.
c. komperatif, menjabarkan dan memaparkan beberapa pendapat
yang berbeda, kemudian memba
promikannya.
12
d. Deskriptif, umumnya digunakan dalam menguraikan sejarah,
mengutip atau menjelaskan bunyi suatu perundang-undangan
Historis, yaitu dalam
3.
tekhnik penulisan s
penulisan yang diterbitkan
Syarief Hidayattullah Jakarta 004 dengan sedikit
at
Kutipan yang berasal d
Istilah-istilah asing yan
F.
memberikan gambaran y
dalam
Bab pertama, berisikan pendahulua ungkapkan
latar belakang tentang penulisan skripsi ini, merumuskan identifikasi permasalahan,
e. mengemukakan sejarah disertai kajian dan
sebab keterkaitannya.
Tehnik penulisan
Mengenai kripsi ini, penulis mengacu kepada pedoman
skripsi, tesis, disertasi UIN Syarief Hidayattullah Jakarta,
oleh UIN press Cet ke-2 tahun 2
pengecualian yaitu:
1. Terjemahan Al-Qur’an dan hadist diketik satu spasi sekalipun kurang
dari enam baris, dengan diberi tanda petik di awal dan di akhir
kaliam
2. ari bahasa asing (kecuali Al-Qu’ran dan Al-
Hadist) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang disempurnakan
dengan terjemah bebas
3. g terdapat dalam teks serta catatan di cetak
dengan cetakan miring
Sistematika Penyusunan
Untuk ang jelas, karya ilmiah ini disusun dan dibagi
empat bab, dengan susunan sebagai berikut:
n dengan uraian yaitu meng
13
menun
dipergunakan sebagai kerangka
menuju
an umum tentang
penger
ak.
n bagian akhir dari seluruh rangkaian tulisan
karya i
jukan maksud dan tujuan dari penelitian, kegunaan penelitian, kerangka
pemikiran dan mengungkapkan metodologi yang
uraian yang sistematis dan terakhir sistematika penulisan.
Bab kedua, berisikan tentang tinjauan umum pengertian dan tujuan
perkawinan, putusnya perkawinan, penyebab putusnya perkawinan, serta akibat dari
putusnya perkawinan.
Bab ketiga, yaitu, menguraiakan dan menjelaskan tuju
tian pemeliharaan anak, syarat-syarat dalam pemeliharaan anak, pihak-pihak
yang berhak mendapatkan hak pemeliharaan anak, kewajiban biaya pemeliharaan
anak, serta masa pemeliharaan an
Bab keempat, berisikan efektifitas pasal 105 point c jo pasal 156 point d
Kompilai Hukum Islam yang dilengkapi dengan latar belakang serta analisis pasal
105 point c jo pasal 156 point d Kompilai Hukum Islam.
Bab kelima, yaitu merupaka
lmiah ini. Penulis akan menarik kesimpulan dari keseluruhan pembahasan
untuk kemudian penulis memberi saran-saran yang konstruktif. Dan saran yang dapat
mendukung kelengkapan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM SEPUTAR PERCERAIAN
A. Pengertian dan dasar perceraian
1. Pengertian perceraian
Thalak, dari kata “ ithlaq “, artinya “ melepaskan atau meninggalkan. “ dalam
istilah agama, thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan
perkawinan.1 Menurut Imam Nawawi dalam bukunya Tahdzib, thalak adalah
tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus
nikah.2 Al- Mahalli di dalam kitabnya syarah Minhaz al-thalibin yang dalam artinya:
“Melepaskan hubungan pernikahan dengan mengunakan lafazh talak dan
sejenisnya”.3
Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan
yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya dan
seterusnya agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai
tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan dapat memelihara anak-
anaknya sehinggar mereka tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa ikatan antara suami istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh,
sehingga tidak ada suatu dalil yang jelas menunjukan tentang kesuciannya yang
begitu agung selain Allah senndiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami
1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , ( Bandung: PT Al- Ma’rif, 1980 ),h. 7 2 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab sayyed Hawwas, Fiqih munakahat ( Jakarta
: Sinar Grafika Offset, 2009 ), H, 255 3 Amir Syarifuddin, Garis – Garis besar Fiqih, ( Jakarta : PRENADA MEDIA, 2003 ),h. 125-
126
14
15
istri dengan kalimat “ perjanjian yang kokoh “.4 Jika ikatan antara suami
istri demikian kokoh kuatnya, maka tidak sepatutnya dirusak dan disepelekan. Setiap
usaha untuk menyepelekan hubungan perkawinan dan melemahkannya adalah
dibenci oleh Islam, karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemashlahatan
antara suami dan istri.
2. Dasar Perceraian
Adapun dasar diperbolehkannya cerai adalah
1. Surat Al- Baqarah ayat 229
)229: 2/البقرة ( بإحسان تسريح أو بمعروف فإمساك مرتان الطالق
Thalak (yang dapat di ruju), dua kali. Setelah itu boleh diruju lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS: Al-Baqarah: 229 )
من تخرجوهن ال ربكم هللاواتقو العدة وأحصوا لعدتهن فطلقوهن النساء طلقتم إذا النبي أيها يا )1: 65/ الطالق( مبينة بفشه يأتين أن إلا يخرجن ولا بيوتهن
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya dan hitunglah waktu iddah itu dan bertaqwalah kepada Allah tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar kecuali kalau mengerjakan perbutan yang keji yang terang (Qs: At-Thalak: 1)
Seandainya tahap perceraian ini telah terjadi, Al-Qur’an memerintahkan para
suami agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang dan
meninggalkan isterinya terkatung- terkatung.
4 Slamet Abidin, Aminudin, fiqih Munaqahat I I( Bandung : CV Pustaka setia, 1999 ),h. 9
16
Dan kamu tidak bisa berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung ( yang kamu cintai )sehingga kamu membiarkan yang lain terkatung-katung . dan jika kamu mengadakan perbaiakan dan memelihara diri dari kecuranagan maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang ( QS: An-Nissa: 129)
2. Hadist Nabi Muhammad Saw :
الى اهللا عز عن ابن عمر رضي اهللا عنهما قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ابغض الحالل رواه ابو داود. وجل الطالق
“ Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda : sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian “ (H. R. Abu Daud)5
B. Rukun dan Macam- macam perceraian 1. Rukun Perceraian
Rukun perceraian atau thalaq ada tiga, yaitu:
a. Suami yang menthalaq; dengan syarat baligh, berakal dan kehendak
sendiri.
b. Isteri yang dithalaq
c. Ucapan yang digunakan untuk menthalaq6.
Ucapan thalak dapat dilakukan dengan lisan secara langsung, dapat dengan
tulisan yang dapat dipahami, dengan perantaraan orang lain; bahkan dapat pula
5 Abi Daud Sulaiman bin As’atsajstani, Sunan Abu Daud, ( Beirut-Libanon : Darul fikr,
١٩٩٤), Juz 1, h. 500 6 Mohammad Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam lengkap, (Semarang :PT Karya Toha Putra 1978
),h.483
17
dengan isyarat orang bisu yang dapat dipahami oleh orang yang melihat dan
mendengarnya7.Pembicaraan rukun pertama yaitu perceraian (suami yang
menceraikan). Perceraian merupakan tindakan kehendak yang berpengaruh dalam
hukum syara’. Oleh karena itu, perceraian dapat diterima apabila memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu sebagaimana berikut.8
a. Mukallaf
Ulama sepakat bahwa suami yang diperbolehkan menceraikan isterinya dan
thalaknya diterima apabila ia berakal, baligh ( minimal sampai usia belasan tahun ),
dan berdasarkan pilihan sendiri. Maksud mukallaf ialah berakal dan baligh. Tidak sah
thalak seorang suami yang masih kecil, gila, mabuk dan tidur, baik thalak
menggunakan kalimat yang tegas ataupun bergantung. Seperti perkataan anak kecil;
“Jika aku baligh maka isteriku aku tercerai”. Perceraian tidak terjadi sekalipun anak
kecil menjadi baligh dan yang gila sudah sadar. Jika thalak mereka yang sama sekali
tidak syah. Adapun thalaknya orang bodoh dan orang sakit sah sekalipun bercanda.
Sedangkan thalaknya orang minum obat atau dipaksa minum khamar tidak sah
hukumnya.
Ringkasnya, sesungguhnya thalak diterima manakala dilakukan oleh ahli
thalak yaitu berakal, baligh, dan pilihan sendiri. Ada selain mukallaf yang
dikecualikan, yaitu seorang pemabuk dengan sengaja, seperti seorang peminum
7 Amir Syarifuddin, Garis garis Besar FIQIH, ( Jakarta : PRENADA MEDIA, 2003 ),h. 128-
129 8 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munaqahat
( Khitbah, Nikah, dan thalak ) ,h. 261
18
Khamar padahal ia memabukkan, maka thalaknya terjadi sekalipun ia bukan mukallaf
sebagaimana disebutkan di dalam berbagai kitab Ushul. Hukum ini dimaksudkan
untuk memberatkan hukuman, karena kesalahannya dengan sengaja menghilangkan
akal maka ia dijadikan seperti berakal. Hukum yang digunakan adalah hukum wadh’i,
yakni penetapan hukum yang berkaitan dengan sebab.9
b. Pilihan sendiri
Tidak syah thalak orang yang dipaksa tanpa didasarka kebenaran. Nama itu
deberikan kepada orang yang terpaksa itu tertutup dari segala pintu, tidak dapat
keluar melainkan harus thalak. Adapun jika pemaksaan itu didasarkan kepada
kebenaran seperti kondisi keharusan thalak yang dipaksakan oleh hakim, hukumnya
sah karena paksaan ini dibenarkan. Selanjutnya, akan dijelaskan lebih terperinci10.
2. Macam-macam perceraian
1. Dari segi jumlahnya ada 3 macam, yaitu,:
a. Thalaq satu, yaitu thalaq yang dijatuhkan pertama kali dengan satu
thalaq.
b. Thalaq dua, yaitu thalaq yang dijatuhkan untuk yang kedua
kalinya, atau pertama kalinya dengan dua thalak sekaligus.
9 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munakahat
( Khitbah, Nikah, dan thalak ) h. 261 10 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munaqahat
( Khitbah, Nikah, dan thalak ) h. 263-264
19
c. Thalak tiga, yaitu thalak yang dijatuhkan untuk yang ketiga kalinya
atau untuk pertama kalinya tetapi tiga thalak sekaligus11.
2. Ditinjau dari dibolehkannya nikah lagi atau terjadinya nikah ada 2
yaitu:
a. Thalaq raja’i ialah thalak yang suaminya boleh ruju’ kembali, pada
bekas isterinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan
(akad) baru, asal isterinya masih di dalam iddahnya seperti thalak
satu dan dua.
b. Talak Bai’in ialah talak yang suami tidak boleh ruju’ kembali
kepada bekas isteri, melainkan mesti dengan akad baru.
Talak bai’in ini terbagi lagi menjadi dua :
• Ba’in sughra (kecil) yaitu, thalaq yang tidak boleh dirujuk
lagi, tetapi mantan isteri itu boleh dinikahi kembali dengan
aqad maskwin baru, tanpa harus nikah dulu dengan orang
setelah abis iddahnya dari
lain.
• Ba’in kubra (besar) yaitu, thalaq tiga yang bekas suaminya
boleh menikah kembali kepada bekas isterinya setelah kawin
dengan orang lain dan sudah cerai
perceraian suami yang kedua itu12.
11 Mohammad Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah lengkap
dengan berbagai permasalahannya, ( Surabaya : TERBIT TERANG, 2005 ),h. 502 12 Mohammad Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam lengkap,h.489
20
Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an :
⌧ ⌧ ⌧
☺
☺
⌧
) 230: 2/ البقرة ( ☺
kepada kaum yang (mau) Mengetahui. (QS: Al-
engan sengaja
memerlukan adanya niat, artinya jika ucapan thalaq itu dengan
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri)
untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya
Baqarah : 230 )
3. Ditinjau dari jelas tidaknya ucapan thalaq ada dua, yaitu:
a. Sharih, yaitu ucapan yang tegas maksudnya untuk menthalaq.
Thalaj itu jatuh jika seorang telah mengucapkan d
walaupun hatinya tidak berani menthalaq isterinya.
b. Kinayah, artinya ucapan yang tidak jelas maksudnya, mungkin
ucapan itu maksudnya thalaq lain. Ucapan thalaq kinayah
21
niat, maka sah tahalaknya dan jika tidak disertakan niat maka
thalaqnya belum jatuh.13
4. Ditinjau dari segi jatuhnya :
a. Thalaq sunni, thalaq yang dijatuhkan ketika isteri telah suci dari
haidnya dan belum dicampuri.
b. Thalaq bid’iy yaitu thalak yang dijatuhkan ketika isteri sedang haid
atau nifas, atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampurinya
kembali14
5. Ditinjau dari segi cara penyampaiannya :
a. Dengan ucapan, secara langsung dengan ucapannya.
b. Dengan tulisan, disampaikan lewat tulisan. Thalaq dengan surat
yang ditulis suami sendiri dan dibaca hukumnya sama dengan
lisan, tetapi jika surat itu tidak dibaca sebelum dikirim isterinya,
maka sama dengan kinayah.
c. Dengan utusan, thalaq yang melalui perantara orang lain15.
d. Dengan isyarat, isyarat bagi orang bisu merupakan alat
komunikasi. Ia menempati lafal dalam menjatuhhkan thalaq. Jika
ia memberi syarat yang menunjukan pada maksudnya yaitu
menghentikan hubungan pasangan suami isteri dan semua orang
13 Mohammad Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah lengkap dengan berbagai permasalahannya,h. 504
14 Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih munakahat 2 ,h.41 15 Mohammad Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah lengkap
dengan berbagai permasalahannya,h. 505
22
paham, maka talak itu sharih (jelas). Akan tetapi jika syarat itu
tidak dapat dipahami melainkan orang cerdas saja, ada dua
pendapat; adakalanya sharih dan adakalanya kinayah16.
C. Hukum dan Hikmah Thalak
1. Hukum thalak
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum tahalak, pendapat yang lebih
benar adalah makruh jika tidak ada hajat yang menyebabkannya, karena thalak berarti
kufur terhadap nikmat Allah. Pernikahan itu adalah suatu nikmat dari bebrapa nikmat
Allah maha mebalikkan segala hati.17 Hidup dalam hubungan perkawinan itu
merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam.
Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah
dan Rasul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang
sakinah mawaddah warahmah. Meskipun demikian bila hubungan pernikahan itu
tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi
kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya
perceraian. Dengan demikian pada dasarnya perceraian atau thalak itu adalah sesuatu
yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqih disebut makruh.
Hukum makruh in dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya talak
itu dengn berbagai pentahapan. Hal ini terlihata dalam surat al-Nissa’ ayat 34 :
16 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munaqahat ( Khitbah, Nikah, dan thalak ) h. 271
17 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munaqahat ( Khitbah, Nikah, dan thalak ) h. 258
23
I ☺
☺ ⌧
☺ ⌧
☺
⌧ ⌧ ⌧
)34: 4/ النساء ( Kaum laki laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki)telah menefkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri. Wanita – wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS: An-Nisaa : 34)
Walaupun hukum asal dari talak itu adalah makruh, namun melihat keadaan
tertentu dalam situasi tertentu maka hukumnya thalak itu adalah sebagai berikut:
a. Nadab atau sunnah ; yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat
dilanjutkan kembali dan seandainya dipertahankan juga kemudharatannya
akan lebih banyak timbul.
b. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan
tidak ada pihak – pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan
manfaatnya juga ada.
c. Wajib atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh
hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli
24
isterinya ssendiri sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak bergaul dengan
isterinya. Tindakannya itu memudaratkan isterinya.18
d. Haram, yaitu jika talak itu akan mendatangkan kemadharatan atau kerugian
bagi suami isteri.19
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tentang hukum thalak secara
rinci. Menurut mereka hukum thalak terkadang wajib dan haram dan sunnah. Al-
Bujairimi Al-khatib berkata “ Hukum thalak itu ada lima, yaitu adakalanya wajib,
seperti thalaknya orang yang bersumpah ila’ ( bersumpah tidak mencampuri isteri )
atau dua utusan dari keluarga suami dan isteri, adakalanya haram seperti thalak
bid’ah, dan adakalanya sunnah seperti thalaknya orang yang lemah, tidak mampu
melaksanakan hak – hak pernikahan. Demikianpun sunnah, thalaknya suami yang
tidak ada kecendrungan hati kepada isteri, karena perintah salah satu dari dua orang
tua yang bukan memberatkan, karena buruk ahklaknya dan ia tidak tahan untuk hidup
bersamanya, ini tidak mutlak karena pada umumnya wanita seperti itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa thalak adakalanya wajib, seperti
thalaknya dua utusan keluarga yang ingin menyelesaikan perpecahan pasangan suami
isteri karena thalak inilah satu solusi perpecahan tersebut. Demikian juga thalak orang
yang bersumpah ila’ (tidak menyampuri isteri) setelah menunggu masa iddah empat
bulan sebagaimana firman Allah SWT :
18 Amir Syarifuddin, (Garis garis Besar FIQIH,) h,.126-127 19 Mohammad Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah lengkap
dengan berbagai permasalahannya,h. 502
25
⌦ ⌧
) 226: 2/ البقرة . ( ⌧Kepada orang – orang yang mengila’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) thalak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Menegtahui. ( QS: Al-Baqarah : 226 )
Pembicaraan tentang beberapa hikmah diisyaratkannya talak sebagaimana
yang telah kami bicarakan di atas, bahwa Islam memberikan hak thalak ini hanya
bagi suami karena ia lebih mendorong keabadian pernikahan, ia korbankan harta
benda yang dibutuhan untuk mencapai jalan ini, bahkan lebih besar dari itu ketika ia
thalak dan meghendaki menikah dengan wanita yang lain.20
2. Hikmah thalak
Meskipun thalak itu dibenci terjadinya dalam suatu iakatan rumah tangga,
namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaab tertentu
boleh dilakukan. Hikmah dibolehkannya thalak itu adalah karena dinamika kehidupan
runah tangga kadang – kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan
tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan seperti ini kalau dilanjutkan
juga, rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada dua belah pihak dan orang
sekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik
20 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqih Munaqahat
( Khitbah, Nikah, dan thalak ) h. 259-260
26
ditempuh perceraian dalam bentuk thalak tersebut. Dengan demikian thalak dalam
Islam hanyalah untuk suatu tujuan mashlahat.21
D. Sebab dan Akibat Putusnya perkawinan
1. Sebab putusnya perkawinan
Ada beberapa hal yang menyebakan putusnya perkawinan di antaranya
adalah;
Menurut mazhab Hanafi adalah;
a. Pengucapan cerai oleh suami
b. Ila’
c. Khulu
d. Li’an
e. Perpisahan karena cacad kelamin (aib jinsi) pada pihak suami
f. Murtad
Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali adalah;
a. pengucapan thalak oleh suami
b. khulu
c. pernyataan thalak oleh hakim karena suami menjatuhkan talak disebabkan
ila’22
Menurut mazhab Maliki adalah;
21 Amir Syarifuddin. Garis garis Besar FIQIH ,h. 127-128 22 Abdurahman I Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam ( terjemahnya ), ( Jakarta; Rineka
Cipta, 1997 ) cet ke-1,h.4
27
a. Diucapkan oleh suami
b. Khulu
c. Cacadnya salah seorang dari suami atau isteri
d. Berbagai kesulitan suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya
e. Adanya hal yang membahayakan (dhihar) karena Ila’
f. Tiadanay kufu 23
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 116 mengenai hal perceraian dapat terjadi
karena alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagiannya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman ataupun penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain ;
e. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
23 Abdurahman I Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam ( terjemahnya ), cet ke-1,h.4
28
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga ;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.24
Dari penyebab putusnya perkawinan di atas kiranya istilah – istilah tersebut
perlu dijelaskan yaitu;
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri untuk menebus
dirinya dari ikatan suaminya25
Ila’ ialah sumpah seorang suami dengan nama Allah untuk tidak
menggauli isterinya26.
Li’an ialah perkataan suami sebagai berikut “ saya persaksikan kepada
Allah bahwa saya benar terhadap tuduhan isteri saya bahwa dia telah
berjinah”. Kalau kalau ada anak yang diyakini bukan anaknya, hendaklah
diterangkan pula bahwa anak itu bukan anaknya. Perkataan tersebut
24 Abdurahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : CV AKADEMIKA
PRESSINDO, 2010),h.141 25 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab ( terjemah ), penerjemah: Masykur AG
et all, ( Jakarta: Penerbit Lentera, 2000),Cet,ke-5,h.456 26 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab ( terjemah ), penerjemah: Masykur AG
et all, Cet,ke-5,h.498
29
hendaklah diulanginya empat kali,kemudian ditambahkan lagi dengan
kalimat: “ atasku la’nat Allah sekiranya aku dusta dalam tuduhanku” 27.
Penyebab putusnya perkawinan sebagaimana disebutkan diatas antara mazhab
tidak banyak perbedaan. Secara lebih singkat setidaknya ada empat kemungkinan
yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan
untuk putus/ terputusnya perkawinan, yaitu:
a. Terjadinya Nusyuz dari pihak isteri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap
suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan,
dan hal-hal yang lain yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga28.
Mengenai hal ini Allah berfirman :
☺
☺ ⌧
☺ ⌧
☺ ⌧
⌧ ⌧ ) 34: 4/ النساء ( .
“Kaum laki laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki)telah menefkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri. Wanita –
27 Sulaiman Rasyid, fiqih Islam ( hukum fiqih lengkap ), ( Bandung: CV Sinar baru, 1986 ),h.382
28 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,( Jakarta : Grafindo persada, 2003 ),h. 269
30
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(QS: Al-Nissa:34)
Petunjuk dalam Al-Qur’an tersebut merupakan langkah mengantisipasi
terjadinya perceraian, dengan pemberian nasehat, memisahkan tempat tidur isteri dari
tempat tidur suami apabila nasehat gagal, terakhir apabila langkah kedua gagal adalah
memberinya pelajaran dan memukulnya, namun hal ini merupakan langkah terakhir
setelah didahului mendidiknya dengan member pengertian-pengertian.
a. Terjadinya Nsuyuz dari pihak suami
Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari pihak isteri dapat juga
datang dari pihak suami29, hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an :
⌧ ☺ ☺ ☯ ⌧ ☯ ⌧
⌧ ☺ ☺ ) 128: 4/ النساء (
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah maha menetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS Al-Nisa : 128 )
b. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri yang disebut
syiqoq30. Dalam hal ini Allah memberi petunjuk :
29 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,h. 270
31
☺
☺ ☯
☺ ⌧ ☺ ) 35: 4 /النساء . (
“Dan jika kamu khawatir ada pertengkaran antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscahaya Allah member taufik kepada suami isteri itu, sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana “. ( QS. Al- Nissa: 35 )
c. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fahisyah, yang
menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya 31. Cara penyelesaianya
adalah membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an dengan
mengucap sumpah. Li’an sesungguhnya telah memasuki “ gerbang” putusnya
perkawinan dan bahkan untuk selamanya karena akibat li’an adalah terjadinya
talak ba’in kubra.
Selanjutnya penyebab putusnya perkawinan menurut peraturan tertulis di
Indonesia yaitu Undang -Undang No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
lebih rincinya adalah :
Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 38 bahwa
penyebab putusnya perkawinan adalah :
a. Salah satu pihak meninggal dunia b. Karena perceraian c. Atas putusan pengadilan32.
30 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,,h.272 31 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,,h. 273
32 Departement Agama R.I, Direktorat Pembinaan Badan Perdilan Agama Islam, Dirjen pembinaan Agama Islam, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan peradilan Agama, ( Jakarta: , 2001 ),h.140
32
Dari jenis penyebab putusnya perkaiwinan di atas , perceraian merupakan
fenomena yang paling banyak terjadi di masyarakat, baik itu cerai yang dijatuhkan
oleh suami terhadap isteri yang disebut dengan cerai talak dan cerai yang diminta
oleh sang isteri agar suaminya menjatuhkan talak kepadanya yang disebut dengan
cerai gugat. Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dengan
sendirinyua perkawinan itu terputus. Sedangkan putusnya perkawinan atas keputusan
pengadilan dapat terjadi karena pembatalan suatu perkawinan.
Lebih lanjut perceraian di atur dalam pasal 39 yang memuat ketentuan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan33.hal ini dilakukan
setelah upaya damai mengalami kebuntuan. Menurut hemat penulis peraturan ini
sangat tepat guna menghilangkan kesewenang-wenangan dalam menjatuhkan talak
oleh suami. Peraturan ini dilaksanakan demi kepastian hukum yang benar-benar
didasarkan pada pemeriksaan kekuasaan yang berwenang, aturan ini juga pantas
diterapkan dalam masyarakat yang berbudaya dan moderen34.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, mengenai penyebab putusnya perkawinan
sama dengan yang tertuang dalam Undang-Undang perkawinan. Dalam pasal 113
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan dapat diputus karena:
a. Salah satu dari mereka meninggal dunia b. Karena perceraian
33 Departement Agama R.I, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan
peradilan Agama,, ( Jakarta: , 2001 )h. 141 34 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, ( Medan, CV Zahir,1975 ),cet. Ke-
1,h,133
33
c. Atas putusnya pengadilan35. Mengenai alasan alasan perceraian sama dengan Undang – udang perkawinan, hanya
saja ada penambahan yaitu suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau
murtad yang menyababkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumahtangga, hal ini
dijelaskan pada pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
2. Akibat Putusnya Perkawinan
Putusnya sebuah ikatan perkawinan akan menimbulkan akibat hukum baik
terhadap manusia pelaku perkawinan yaitu suami isteri maupun yang dihasilkan dari
perkawinan itu seperti anak dan harta bersama.
Diantara akibat dari putusnya perkawinan dalam Undang – undang perkawinan No 1
tahun 1974, dalam pasal 41 bahwa :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya36.
35 Departement Agama R.I, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan
peradilan Agama, ( Jakarta: , 2001 ) h.140. 36 Departement Agama R.I, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan
peradilan Agama, ( Jakarta: , 2001 ),h.140.-141
34
Ketentuan-ketentuan akibat perkawinan karena perceraian dalam pasal 41
Undang-Undang perkawinan tersebut di atas terlihat lebih bersifat global karena tidak
merinci secara detail jenis perinciannya. Namun hal ini diperjelas dengan hadirnya
Kompilasi Hukum Islam yang merupakan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991. Akibat
putusnya perkawinan, Kompilasi Hukum Islam merincinya dalam empat kategori
yaitu akibat cerai talak, cerai gugat, li’an, dan kematian suami, secara rinci kompilasi
hukum Islam menjelaskan beberapa pasal.
Pasal 149, dalam pasal ini dijelaskan akibat perceraian karena talak, bunyi redaksi
sebagai berikut:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isteri, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isterinya tersebut qabla dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhkan talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak yang belummencapai umur 21 tahun
Berikutnya dalam pasal 156 dijelaskan tentang akibat perceraian karena cerai
gugat, yaitu cerai yang dijatuhkan oleh isteri agar suami menjatuhkan talak
kepadanya. Bunyi pasal tersebut ialah:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak untuk mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
1. Wanita – wanita dalam garis lurus keatas dari ibu 2. Ayah 3. Wanita – wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
35
5. Wanita – wanita kerabat sedarah menuurut garis samping dari ayah
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah anak dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabatnya yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurusi diri sendiri (21 tahun)
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan keputusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).
f. Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayah menetapkan jumlah biaya unutuk pemeliharaan anak dan pendidikannya yang tidak turut padanya.
Mengenai harta bersama dijelaskan dalam pasal 157, bahwa harta bersama
dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96, 97. Adapun bunyi
pasal 96 adalah :
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar Pengadilan Agama.
Pasal 97 menjelaskan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Dalam pasal 158 disebutkan tentang mut’ah bahwa mut’ah wajib diberikan oleh
bekas suaminya dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul b. Perceraian itu atas kehendak suami
36
Selanjutnya pasal 159 menjelaskan bahwa mut’ah sunnah diberikan oleh bekas
suaminya tanpa syarat tersebut pada pasal 158, dan besarnya mut’ah disesuaikan
dengan kepatuhan dan kemampuan suami sebagaimana disebutkan dalam pasal 160.
Dalam pasal 161 dijelaskan mengenai akibat perceraian dengan jalan khulu, pasal ini
menjelaskan bahwa “ perceraian dengan jalan khulu mengurangi jumlah talak dan
tidak dapat rujuk “.akibat perceraian karena li’an dijelaskan dalam pasal 162, bahwa “
bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang
dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban
memberi nafkah37
37 Departement Agama R.I, Himpunan peraturan per-Undang-undangan dalam lingkungan
peradilan Agama, ( Jakarta: , 2001 ) h.353-356
BAB III
KONSEP DASAR HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata “ Hidhan “, artinya lambung. Seperti kata حضن
Burung itu mengapit telur yang ada di bawah sayapnya. Begitu pula الطير بيضه
seorang perempuan (ibu) yang mengempit anaknya. 1Secara etimoloogis, hadhanah
berarti di samping atau berada di bawah ketiak2. Hadhanah basal dari kata
yang memiliki arti mengasuh atau memeluk anak3.
Dari segi etimologi, hadhanah memiliki definisi yang variatif walaupun
subtansinya sama definisi ini diberikan oleh beberapa ulama fiqih antara lain :
Menurut Muhammad Ibnu Ismail al-San’ani, hadhanah adalah memelihara
anak yang belum mampu mengurusi dirinya sendiri dan menjaganya dari sesuatu
yang dapat membinasakan atau membahayakan. Seperti di dalam ungkapan : 4
حفظ من اليستقل بأمره وتربياته ووقياته عما يهلكه أو يضرهKemudian menurut Imam Taqiyuddin, bahwa hadhanah itu :
عما عبارة عن القيام بحفظ من اليميز وال يستقل بأمره وتربياته بما يصله ووقايته
.يؤديه 1 Slamet Abidin, Aminuddin, fiqih munakahat II, ( Bandung: CV pustaka setia, 1999 ), h. 171
2 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta: Ichtia Baru Van Hoepe, 1999 ) Jil. 2,h. 415
3 Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, ( Jakarta : Hidakarya Agung, 1990 ), cet.ke- 8,h.104
4 Al- Imam Muhammad Ibnu Ismail Sana’ani, Subulussalam, juz 3, h,227
37
38
“ ibarat menjalakan untuk menjaga orang (anak) yang belum mumayyiz atau tidak berakal dan mengerjakannya akan kebaikan serta menjaganya dari sesuatu yang sangat membahayakannya “5
para ahli fiqih mendefinisikan “ hadhanah” ialah: “ melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil lai-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar,
tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, mendidik dan menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.”6
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat
anak wajib. Akan tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadahanah ini mejadi hak
orang tua ( terutama ibu ) atau hak anak. Ulama mazhab hanafi dan maliki misalnya
berpendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja
mengugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak
bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah Zuhaily, hak hadhanah
adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang
didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.7
Hadhanah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua
untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan
ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi
5 Imam Taqiyuddin, Kifayatul al- Akhyar, 151
6 Sayyid Sabiq, fiqih sunnah 8, ( Bandung: PT ALMA’ARIF, 1980 ), h.173 7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta : ikhtiar baru Van Hoepe,
1999),h.415
39
kebutuhan sosial anak.8pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung
jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta
mencukupi kebutuhan hidup dari seoarang anak oleh orang tua. Selanjutnya tanggung
jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah
anak tersebut bersifat terus-menerus sampai anak tersebut mencapai batas umur yang
legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.9
Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah kewajiban orang tua
untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut
menjadi manusia ang mempunyai kemampuan dedikasi hidup yang dibekali dengan
kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan
dikembangkannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan
penghidupannya setelah ia lepas dari tanggung jawab orang tua.10
Setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan yang harus diajarkan orang tua
kepada anaknya seperti berikut ini:
1. Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT
2. Tidak mensyariatkan Allah dengan sesuatu yang lain
3. Berbuat baik kepada orang tua, sebagai bukti kesyukuran anak
4. Mempergauli orang tua secara baik – baik ( ma’ruf )
8 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali pers, 1998), h.235 9 M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, ( Medan: Zahir Traiding, 1975),h.204 10 M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, h. 205-206
40
5. Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan dari Allah
SWT
6. Menaati perintah Allah SWT. Seperti shalat, amal ma’ruf dan nahi
munkar, serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan
7. Tidak sombong dan angkuh
8. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata11.
Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya
adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian
yang bersuci sendiri dan sebagainya. Anak yang masih kecil memiliki hak hadhanah.
Karena itu, ibunya diharuskan melakukannya jika mereka membutuhkannya dan tidak
ada orang lain yang bisa melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar hak anak atas
pemeliharaan dan pendidikannya tersia-siakan. Jika di hadhanahnya dapat ditangani
orang lain, misalnya bibi perempuan dan ia rela melakukannya, sedangkan ibunya
tidak mau, maka hak ibu untuk mengasuh menjadi gugur dengan sebab bibi
perempuan yang mengasuhnyapun mempunyai hak hadhanah ( mengasuh ).12
B. Syarat-syarat dalam Hadhanah
Seorang hadhinah ( ibu asuh ) yang menangani dan menyelenggarakan
kepantingan anak kecil yang di asuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan.
Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat
11 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali pers, 1998), h. 240-244 12 Slamet Abidin, Aminuddin, fiqih munakahat II, ( Bandung: CV pustaka setia, 1999 ), h.172
41
tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan
hadhanahnya.
Syarat- syaratnya itu adalah :
1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya
tidak boleh menangani hadhanah. Karena mereka ini tidak dapat
menangani mengurusi dirinya sendiri. Sebab itu ia tidak boleh diserahi
mengurusi orang lain. Sebab orang yang tidak punya apa-apa tentulah ia
tidak dapat memberi apa-apa kepada orang lain.
2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap
membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya,
oleh karena itu dia tidak boleh mengurusi urusan orang lain.
3. Mampu mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang buta
atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya
untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang
bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaiakan urusan
rumahnnya sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan
orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama
orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil
itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan
kepentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang
tidak baik.
42
4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang aman bagi anak kecil
dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan keawjibannya dengan
baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti
orang yang curang ini.
5. Islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan
muslim. Sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan
Allah tidak membolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang
kafir.
6. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-
urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk
mengasuh anak kecil.13
7. Wanita yang mengasuh itu tidak bersuamikan dengan seoarng laki-laki
yang bukam mahram dari anak yang diasuh itu karena ia sibuk
melayani keperluan suaminya sehingga untuk mengasuh anak itu sudah
hamper-hampir tidak ada waktu. Tetapi ibunya itu kawin dengan anak
asuhan itu, seperti pamannya maka perempuan itu boleh mengasuh.14
C. Pihak Pihak yang Berhak Mendapatkan Hak Hadhanah
Suatu rumah tangga, idealnya diramaikan oleh anak-anak sebagai buah hati
kasih sepasang suami istri. Buah hati yang menyenangkan itu sudah menjadi
kewajiban suam istri untuk memeliharanya dengan baik, diberikan pendidikan yang
13 Sayyid Sabiq, fiqih Sunnah 8, ( Bandung: PT ALMA’RIF , 1980 ), h. 179-184 14 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandinan dalam kalangan
Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ( Jakarta: PT Bulan Bintang,1988),h.404
43
berkualitas baik yang menyangkut “ imtak “ maupun “ iptek “sehingga ada
keseimbangan antara intelektual quotient dan spiritual quoitieun dalam diri si anak,
dan memang begitulah seharusnya orang tua yang baik yang memiliki emosi
kebapakan dan keibuan tumbuh pada jiwa yang kedua orang tua, dan dari hati mereka
terpancar sumber sensitifitas, tak pelak dalam sesitifits tersebut terdapat pengaruh
mulia dan hasil hasil positif dalam memelihara anak – anak dan kesejahteraan mereka
dan bergerak menuju kehidupan tentang dan tentram dan masa depan yang mulia dan
luhur15
Ilustrasi dari sebuah rumah tangga di atas dijelaskan oleh banyak pasangan
dan itu merupakan perwujudan dari ketaatan kepada Allah SWT, sebagimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an:
⌧
) 6: 66/ التحريم (“ Hai orang – orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendhuharkai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakannya apa yang diperintahkannya “. ( QS.Al-Tahrim:6 )
Ayat tersebut memerintahkan untuk semua kaum muslimin untuk mengasuh
dan mendidik anak – anaknya. Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada
15 Abdullah Nashih Ulwah, Pemeliharaan kesehatan jiwa anak ( terj ), penerjmh: Khulullah
Ahmad Masjkur Hakim, ( Bandung : Remaja Rosdakarya,1996 ), Cet, ke- 3,h.7
44
saja rumah tangga yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan
ketegangan. Ketegangan suami isteri biasanya timbul dari hal yang kecil seperti
perasaan yang kurang dihargai bagi isteri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal
kecil tersebut bila dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat
menjadi “ bom waktu “ yang sewaktu- waktu dapat meledak sehingga akhirnya
terjadi perceraian.
Perceraian baik yang disebabkab oleh kematian salah satu pihak atau talak,
fasakh, atau li’an, akan menimbulkan akibat bagi ” penyelenggaraan anak “ terutama
anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun. Mengenai pemeliharaan anak ini
yang lebih berhak menurut mayoritas ulama adalah ibu dikarenakan kesempurnaan
kasih sayangnya. Alasan mengapa ibu lebih didahulukan hak asuhnya dari pada ayah,
atas dasar hadist Rasulullah SAW :
هذ آان بطني له وعاء وثديي له ينبا ناهللا ا تالق ةارما ناو رمع نب اهللا دبع نعسقاء وحجري له حواء وان اباه طلقني وارد ان ينتزعه مني فقال له رسول اهللا صلي
)اخرجه أحمد(اهللا عليه وسلم انت احق به مالم تنكحي “ Dari Abdillah Bin Amr, bahwasanya seorang perempuan berkata : ya Rasulullah sesunggunya anakku ini perutku tempatnya, susuku menjadi minumnya, pangkuanku menjadi tempat pemeliharaanya, dan sesungguhnya ayahnya telah mentalaknya saya dan ia hendak mengambilnya dari saya, maka Rasulullah berkata : engkaulah lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah .16 ( dikeluarkan oleh Imam Ahmad )
16 Al- Imam Al-Hafidz Abi Sulaiman, Sunan Abu Daud, ( al-Qahiroh : Dar al-Harrin, 1988
M/ 1408 H) , juz 2, h,292
45
Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia
membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya dan orang yang
mendidiknya. Dan ibulah yang berkeawajiban melakukan hadhanah.17
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur teretentu
memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan,
pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur.
Karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran,
dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian hari. Disamping
itu, harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan yang
memiliki sayarat-syarat tersebut itu ialah wanita.18
Menurut Imam Malik dalam kitab Muwatha’ dari yahya bin sa’id berkata
Qasim bin Muahammad bahwa Umar bin Khatab mempunyai seorang anak, namanya
Ashim bin Umar, kemudian ia bercerai. Pada suatu waktu Umar pergi ke Quba dan
menemui anaknya itu sedang bermain-main di dalam masjid. Umar mengambil
anaknya itu dan meletakkannya di atas kudanya. Dalam pada itu datanglah nenek si
anak, Umar berkata, “ anakku”. Wanita itu berkata pula, “ anakku”. Maka dibawalah
perkara itu kepada khaliah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan bahwa anak
Umar itu ikut Ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya.19
Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi perceraian
antara suami istri, mereka masih tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
17 Sayid Sabiq, Fiquh Sunnah 8,,h.173 18 Abdurahman Ghazaly, Fiqih munaqahat,( Jakarta : Prenada Media,2003 ),h.177 19 Abdurahman Ghazaly, Fiqih munaqahat,h,178
46
anak mereka yang semata- mata ditunjukan bagi kepentingan si anak. Dalam
pemeliharaan tersebut walau pada praktiknya dijalankan oleh salah seorang dari
mereka, tidak berarti pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap
pemeliharaan tersebut. Persoalannya jika terjadi perceraian, siapakah yang berhak
untuk memelihara si anak. 20
Apabila sepasang suami dan istri bercerai, baik dengan jalan thalak, ataupun
jalan fasah atau lian, sedangkan mereka mempunyai anak yang masih kecil, maka
yang lebbih berhak mengasuh anak mereka ialah istri, yaitu ibu anak itu. Alasannya
ialah bahwa pernah terjadi suatu peristiwa di zaman Rasulullah, seoarang perempuan
datan pada Rasulullah: “ ya Rasulullah, anakku ini adalah dari kandunganku,
pangkuanku merupakan tempatnya berlindung dan ari susuku ia mendapat minuman.
Bapaknya telah menceraikan daku dan ia hendak mengambil anak ini dari padaku.”
Rasulullah pun menjawab: “ engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau
belum kawin lagi.”21
Tampaknya teks-teks suci dalam hal pemeliharaan anak , menetapkan untuk
pemeliharaan anak pada pihak ibu selama si anak belum balig dan belum menikah
dengan lelaki lain. Alasanya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar Siddiq, “ ibu
lebih cendrung (sabar) kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun,
lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya. Maka jelaslah yang
20 Aminur Nuruddin, Azhari Akmal Taligan, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi kritis
perkembangan hukum islam dari fiqih.UU No 1/ 1974 sampai KHI ( Jakarta: Prenada Media,2006 ),h.296
21 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandinan dalam kalangan Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam,h.400
47
berhak merawat anak adalah dari pihak istri. Alasannya seperti telah diungkap dalam
pernyataan Abu Bakar Siddiq di atas.
Masdar F. Mas’udi menyimpulkan sebagai berikut : pertama, sebagai ibu
ikatan lahiir batin dan kasih sayang dengan anak cendrung selalu melebihi kasih
sayang sang ayah. kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa
lebih berat dibanding derita keterpisahan dengan seorang ayah. ketiga, sentuhan
tangan keibuan pertumbuhan dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan
mentalitas anak secara lebih sehat.22
Senada dengan penjelasan Masdar, menurut Muhammad Baqir Al-Habsyi,
sebab-sebab ibu lebih berhak adalah, karena ibu lebih memiliki kemampuan untuk
mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam usianaya yang masih amat muda
itu, dan juga lebih sabar dan teliti dari pada ayahnya. Di samping itu, ibu memiliki
waktu yang lebih panjang untuk melaksanakan tugasnya tersebut di banding seorang
ayah yang memiliki banyak kesibukan.23
Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan
dari pada keayah dalam menangani masalah hadhanah, dan urutannya sebagai berikut
ini: jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukann, mislanya karena
salah satu syaratnya tidak terepenuhi, mak berpindahlah ke tangan ibu dari ibu
(nenek) dan terus ke atas. Jika ternyata ada satu halangan, maka berpindahlah ke
22 Masdar Farid Mas’udi, Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fikih Pemberdayaan,
( Bandung : Mizan.1997 ),h. 151-152 23 Muhammad Baqir, Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an dan Sunnah dab
Pendapat Ulama ( Bandung : Mizan, 2002 ) ,h. 237
48
tangan ayah, kemudian saudara perempuannya sekandung, lalu saudara
perempuannya seibu , kemudian saudara perempuan seayah. Setelah itu, kemenakan
perempuannya sekandung, lalu kemenakannya perempan seibu, kemudian saudara
perempuan ibu yang sekandung, lalu saudara perempuan yang seibu, lalu saudara
perempuan ibu yang seayah.24
Kemudian kemenekan perempuan ibu yang seayah, anak perempuan ke
saudara laki-lakinya yang sekandung, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya yang
seibu, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya yang seayah. Setelah itu kemudian
bibi dari ibu sekandung lalu bibi dari ibu yang seibu, lalu bibi dari dari ibu yang
seayah, lalu bibinya ibu, lalu bibinya ayah, kemudian bibinya ibu dari ayah ibu, lalu
bibinya ayah dari ayahnya ayah.25
Apabila seorang ibu uzur atau sang ibu telah meninggal dunia, maka berpindah
hak mengasuh itu kepada anggota keluarga lain, menurut Mazhab Hanafi hak asuh itu
berpindah dari ibu kepada :
1. Ibu dari ibu (nenek)
2. Ibu dari bapak
3. Saudara perempuan seibu sebapak (kandung)
4. Saudar perempuan seibu
5. Saudara perempuan sebapak
6. Anak perempuan dari saudara perempuan seibu sebapak
24 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih munakahat II, ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ),h.
184 25 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih munakahat II, h. 185
49
7. Anak perempuan dari saudara perempuan seibu
8. Bibi (saudara perempuan ibu)
9. Bibi (saudara perempuan bapak)
Adapun menurut pandangan dari kalangan mzhab Maliki, urutan perpindahan itu
sesudah ibu.
1. Ibu dari ibu (nenek)
2. Bibi kandung
3. Bibi seibui
4. Bibi ibu (saudara perempuan nenek)
5. Bibi ibu (saudar perempuan Bapak dari Ibu)
6. Bibi Bapak (saudara perempuan kakek)
7. Ibu dari ibu (ibu nenek)
8. Ibu dari Bapak (nenek)
Menurut mazhab Hanbali, urutan hak mengasuh itu sesudah ibu
1. Ibu dari ibu (nenek)
2. Ibu dari ibunya ibu (ibu nenek)
3. Bapak
4. Ibu dari bapak (nenek)
5. Kakek
6. Ibu kakek
7. Saudara perempuan seibu bapak
8. Saudara perempuan seibu
50
9. Saudara perempuan sebapak
10. Bibi kandung (saudara perempuan dari ibu)
11. Bibi seibu, dan seterusnya26
Menurut mazhab Syafi’ie, orang yang paling utama untuk mengasuh anak
adalah dengan urutan sebagai berikut:
1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain
2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas
3. Bapak
4. Ibu dari bapak (nenek)
5. Saudara yang perempuan
6. Tante (bibi)
7. Anak perempuan
8. Anak perempuan dari saudara laki-laki
9. Saudara perempuan dari bapak.27
D. Kewajiban Biaya Pemeliharaan Anak
Seorang ibu yang mengasuh anaknya atau orang lain berhak mendapatkan
atau menerima ongkos atau upah jasa yang sudah diberikan dalam mengasuh anak itu
apabila perempuan itu sudah tidak menjadi istri bapak dari anak yang diasuhnya itu,
atau sudah tidak dalam iddah raj’inya lagi. Upahnya diambil dari sebagian harta anak
26 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandingan dalam kalangan
Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ,h.403 27 Slamet Abidin, Aminuddin, FIqih Munaqahat 2, ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ),h.
186
51
itu sendiri kalau dia mempunyai harta (seperti sejumlah kekayaan yang dihadiahkan
orang). Kalau anak itu tidak mempunyai harta, maka upah tersebut menjadi
kewajiban bapaknya memberi nafkah kepada anak itu.28
Ibu memang berhak mendapatkan upah dari mengasuh anaknya namun ibu
tidak berhak mendapatkan biaya asuhan seperti upah menyusukan anaknya selama
dia berstatus istri atau sedang dalam masa iddah. Karena pada masa itu dia masih
mendapat belanja dari suami, sebagaimana firman Allah :
⌧
☺
⌧ ☺
⌧ ☺
☺
)233: 2/ البقرة ( .“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
28 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandingan dalam kalangan
Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ,h.408
52
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” ( QS Al-Baqarah : 233 )
Ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah ia juga wajib membayar
ongkos sewa rumah atau perlengkapan jika sekiranya si ibu tidak punya rumah
sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya.29 Ia juga wajib membayar gaji
pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu
membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk
dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil, seprti : makan, minum, tempat tidur,
obat-obatan, dan keperluan lain yang pokok yang sangat dibutuhkannya. Tetapi gaji
ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu pengasuh menangani asuhannya. Dan gaji ini
menjadi hutang yang ditanggung oleh ayah serta baru bisa lepas dari tanggungan ini
kalau dilunasi atau dibebaskan.30
Jika di antara kerabat anak kecil ada orang yang pandia mengasuhnya dan
melakukannya dengan suka rela, sedangkan ibunya sendiri tidak mau kecuali kalau
dibayar, maka jika ayahnya mampu, dia boleh paksa untuk membayar upah kepada
ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabatnya perempuan yang
mau mengasuhnya dengan suka rela, bahkan si anak kecil harus tetap pada ibunya.
Sebab asuhan ibunya lebih baik untuknya apabila ayahnya mampu membayar
untuk upah ibunya. Tetapi kalau ayahnya tidak mampu, ia boleh menyerahkan anak
kecil itu kepada kerabatnya yan perempuan untuk mengasuhnya dengan suka rela,
29 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, h,.186 30 Abdurahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, ( Jakarta: Prenada Media, 2003 ),h.187-188
53
dengan syarat perempuan ini dari kalangan kerabat si kecil dan pandai mengasuhnya.
Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung oleh ayah. Adapun apabila si
kecil itu sendiri mempunyai harta untuk membayar nafkahnya, maka anak kecil inilah
yang membayar kepada pengasuh suak relaanya. Di samping itu untuk
menjaga hartanya juga karena ada salah seorang kerabatnya yang menjaga dan
mengasuhnya.31
Jika ayah tidak mampu, si anak kecil sendiri juga tidak memiliki harta, sedang
ibunya tidak mampu unutuk mengasuhnya kecuali kalau bayar, dan tidak seorang
kerabat pun yang mau mengasuhnya dengan suka rela maka ibu dapat dipaksa untuk
mengasuhnya, sedangkan upah (bayarannya) menjadi hutang yang wajib dibayar
oleh ayah, dan bisa gugur kalau telah dibayar atau dibebaskan.32
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 156 point D dan F akibat
putusnya suatu ikatan perkawinan karena peceraian ialah:
• Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab
ayah menurut kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
• Pengadilan dapat pula dengan menngingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anaknya yang tidak turut padanya.33
31 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat, ( Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ),h. 183 32 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat, h.183 33 Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,( CV. Nuansa Aulia , 2008) ,h. 48-49
54
Menurut mazhab Maliiki dan Imamiyah wanita pengasuh tidak berhak atas
upah pengasuhan yang diberikannya, akan tetapi Imamiyah menegaskan bahwa sang
ibu berhak atas upah kalau anak yang disusui itu mempunyai harta, maka orang yang
menyusuinya diberi upah yang diambil dari hartanya, upah itu menjadi tanggung
jawab ayahnya bila ayahnya mampu34.
Menurut mazhab Hanafi, pengasuh wajib memperoleh upah ketika sudah
tidak ada lagi ikatan perkawinan ibu dan Bapak si anak, dan tidak pula dalam masa
iddah dalam talak raj’i, demikian pula halnya bila ibunya berada dalam keadaan iddah
dari talak bain atau fasakh nikah yang masih berhak atas nafkah dari ayah si anak.
Upah bagi orang yang mengasuh wajib diambilkan dari harta si anak bila dia
mempunyai harta, dan bila tida, upah itu menjadi tanggungan orang yang
berkewajiban memberi nafkah kepadanya35.
E. Masa Pemeliharaan Anak
Tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang menerangkan dengan tegas
tentang masa hadhanah, hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat
tersebut. Karena itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan dengan
berpedoman kepada isyarat-isyarat itu. Seperti menrut mazhab Hanafi : hadahanah
anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak memerlukan lagi penjagaan dan telah
dapat menguru keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian,
34 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih lima Mazhab ( terjamah ), h. 48 35 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih lima Mazhab ( terjamah ), h. 47-48
55
membersihkan tempatnya dan sebagiannya. Sedangkan masa hadhanah wanita
berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid pertama.36
Menurut kompilasi Hukum Islam masa pemeliharaan anak adalah sampai
anak itu dewasa dan dapat megurusi dirinya sendiri. Batas usianya adalah ketika anak
sudah mencapai umur 21 tahun sebagaimana bunyi dari pasal 156 point d :
“ semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya, sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurusi dirinya sendiri 21 tahun.37
Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian memberi batasan
berdasarkan ijtihad karena pertimbangan kondisi anak, tempat dan masanya. Maka
mereka menentukan batas usia untuk anak laki-lakai 7 tahun dan untuk anak
perempuan 9 tahun. Ada pula di antara mereka yang memberi batas untuk anak laki-
laki berusia 9 tahun dan untuk anak perempuan 11 tahun. Fatwa yang berlaku pada
mazhab ini ialah untuk anak perempuan berumur 9 tahun batas maksimal untuk
diasuh. Apabila anak itu sudah melewati batas maksimal itu, bapaknya boleh
mengambil anak itu dari ibunya. Seterusnya apabila anak itu sudah mencapai usia
rusd (sempurna akalnya) ia boleh memilih tempat tinggalnya sendiri. Anak yang
sudah baligh tidak menjadi kewajiban ayahnya lagi untuk memberi nafkah kecuali
karena sedang menuntut ilmu.
36 Abdurahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, ( Jakarta : Prenada Media, 2003 ),h.185 37 Abdurahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,h.151
56
Menurut mazhab Maliki, menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk
diasuh ialah sejak anak itu lahir sampai baligh. Untuk anak perempuannya adalah
ialah sejak lahir sampai kawin, bahkan sampai ia dicampuri suaminya. Sedangkan
menurut mazhab Syafi’ie, tidak ada batas tertentu untuk mengasuh seorang anak
kecil, karena tidak ada suatu keterangan yang tegas dalam hal itu. Seorang anak tetap
tinggal bersama ibunya (apabila orang tuanya bercerai) sehingga anak itu bisa
mempertimbangkan sendiri unutuk memilih di mana ia tinggal, diantara ibu atau
bapaknya. Kalau anak itu memilih kedua orang tuanya, maka harus dilakukan undian.
Akan tetapi kalau anak itu tidak melakukan pilihannya siapapun, maka ia tetap
tinggal bersama ibunya.38
Akan tetapi mazhab Hanbali memberi batasan untuk mengasuh seorang anak,
baik laki-laki maupun perempuan, ialah berumur 7 tahun. Kalau seorang anak sudah
melewati usia tersebut dan kedua orang tuanya setuju tentang tempat tinggal anak itu,
maka di tempat yang disetujui itulah anak itu tinggal. Tetapi kalau persetujuan yang
demikian tidak ada, bahkan kedua orang tua itu berselisih dalam menentukan
tempatnya, maka terserah kepada pilihan anak itu sendiri untuk menentukan
tempatnya.
Kalau anak itu memilih di tempat yang mudah merusaknya akhlaknya (salah
seorang orang tuanya suka mengerjakan yang tidak baik) maka anak itu harus
dipaksakan tinggal di tempat yang dapat terpelihara budi perketinya. Adapun anak
38 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandinan dalam kalangan
Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ,h.405
57
perempuan, apabila sudah berusia 7 tahun, bapaknya berkewajiban menjaganya
dengan baik sampai anak itu kawin. Bapak dianggap lebih mampu mengawasinya
karena itu diserahkan kepadanya meskipun ibu anak itu mau mengawasinya dengan
suka rela.39
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang batas umur bagi anak kecil laki-laki
tidak memerlukan hadahnah. Sebagian mereka menetapkan 7 tahun, sebagian lagi 9
tahun, dan yang lain adalah 11 tahun. Jika hakim menganggap merupakan
kemashlahatan bagi anak-anak ini tetap tinggal dalam asuhan seorang wanita, maka ia
boleh memutuskan demikian sampai umur 9 tahun bagi laki-laki, dan 11 tahun bagi
perempuan.40
39 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandingan dalam kalangan
Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam,h.406 40 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Mnakahat ,h.184
BAB IV
EFEKTIFITAS PASAL 105 POINT c jo PASAL 156 POINT D
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. pasal 105 point c jo pasal 156 point d
Kompilasi Hukum Islam
Latar belakang Munculnya
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan rangkaian dari fenomena
sejarah hukum nasional yang momentumental terutama bagi umat Islam Indonesia
karena bagaimana tidak, Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang mayoritas
penduduknya beragama Islam adalah merupakan realitas sosial, karena itu sangat
relevan apabila hukum Islam di formalisasikan menjadi sumber rujukan dalam
pembentukan hukum nasional.
Disebabkan belum adanya Kompilasi Hukum Islam yang dapat memberikan
kepastian hukum bagi umat Islam Indonesia. Pemerintah telah menetapkan suatu
proyek untuk mengkompilasikan Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam ini
dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi hakim di lingkungan peradilan agama
dalam menangani kasus kasus yang menyangkut kepentingan umat Islam Indonesia
khususnya di bidang hukum perdata Islam (keluarga). Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dalam bentuk instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991 merupakan suatu
langkah besar di dalam mepositifkan hukum Islam di Indonesia. Dengan lahirnya
Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah jelas dan pasti nilai – nilai tata hukum Islam di
58
59
bidang Perkawinan, hibah, wasiat, waqaf, dan warisan yang kesemuanya ini bertujuan
menyamakan persepsi dalam penegakan hukum, kebenaran dan keadilan melalui
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Masyarakat Islam dalam mencari keadilan di
Peradilan Agama akan menemukan nilai – nilai tata hukum yang dipertarungkan I
forum Peradilan Agama serta kaidah dan rumusannya dengan apa yang seharusnya
ditetapkan oleh para hakim di seluruh Nusantara.1 Pendapat yang diutarakan oleh M
Yahya Harahap selaku ketu tim perumus Kompilasi Hukum Islam tersebut
merupakan harapan yang harus kita tangkap semangatnya. Harapan tersebut akan
terasa hampa tanpa disesuaikan dengan kenyataan di lapangan pada akhirnya. Tujuan
tersebut di atas sangat relevan karena sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Banyak dari Hakim di lingkungan Peradilan Agama memutus sesuai dengan
latar belakang pemahaman fiqihnya seperti yang telah dijelaskan pada dipergunakan
di lingkungan Peradilan Agama memang sangat membantu bagi para hakim di dalam
menyelesaikan kasus. Kondisi yang Obyektif demikian pada suatu Hakim, karena
hanya merujuk ke Kompilasi Hukum Islam dalam memutuskan perkara, tetapi pada
sisi lain, karena perubahan waktu dan zaman tentunya membuat putusan haruslah
dipertimbangkan dengan matang sesuai dengan kondisi yang dihadapi2. Sesuai
dengan pernyataan di atas karena walaupun sudah digeneralisasi guna meminimalisir
pemakain berbagai macam kitab – kitab fiqih oleh para hakim di lingkungan
Peradilan Agama tidak menutup kemungkinan akan timbul kembali perbedaan
1 M Yahya Harahap, kedudukan Kewenangan dan Acara Peradiilan Agama, h. 25 2 M Amin Suma, dalam 10 tahun Undang – undang Peradilan Agama, Panitia seminar
Nasional 10 tahun UU PA, Cet. Ke-1, h. 60
60
keputusan. Mengenai hal ini, oleh Karena itu penulis mengarahkan tentang
bagaimana efektifitas Kompilasi Hukum Islam dalam menyelesaikan perkara biaya
hadhanah akibat perceraian.
Penyelesian perkara hadhanah di Pengadilan Agama merupakan suatu
fenomena yang banyak di temui di lapangan, karena biasanya hal ini menyertai dalam
perkaa perceraian, dimana para pihak yaitu suami dan istri yang bercerai menuntut
hak untuk mengasuh anak-anak dan pembebanan pembiayaan hadhanah setelah
nantinya mereka resmi bercerai.
Dalam mengomentari pembebanan kewajiban pembiayaan hadhanah akibat
perceraian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat dalam pasal 105 point c dan pasal
156 point d, ditekankan pada poin c bahwa biaya pemeliharaan hadhnah akibat
perceraian ditanggung oleh ayahnya, serta pada point d menekankan bahwa semua
biaya hadahanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang – kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurusi
dirinya sendiri. Kedua pasal ini cukup efektif dalam merealisasaikan Kompilasi
Hukum Islam sebagai hukum materi di lingkungan Pengadilan Agama. Berdasarkan
hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yaitu Uyun
Kamiruddin 3. Beliau menyatakan bahwa memang Kompilasi Hukum Islam cukup
efektif dijadikan sebagai rujukan atau pedoman majelis hakim, khususnya mengenai
pembiayaan hadhanah ketika sang ibu ingin menetapkan pembiayaan tersebut majlis
hakim mengabulkan atas penetapan biaya untuk sang anak. Ketika penetapan biaya
3 Uyun Kamiruddin, wawancara Pengadilan Agama Jakarta Pusat,( Jakarta 19 juli-2010 )
61
hadhanah dikabulkan oleh majlis hakim nampaknya pasal ini efektif saja dengan
indikator ketika majlis hakim menetapkan bahwa sang ayah membayar biaya
hadhanah untuk sang anak. Akan tetapi apabila ayah tidak mampu sama sekali
ataupun tidak mau bertanggung jawab di dalam kewajiban itu, ibu ikut membantu
ayah di dalam biaya tersebut dan bila ayah tidak bertanggung jawab ibu bisa
memohon untuk mengeksekusi atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim, namun
sejauh ini di Pengadilan Agama Jakarta Pusat hampir tidak menerima permohonan
eksekusi pengadilan terhadap putusan pembiayaan hadhanah yang ayahnya tidak
bertanggung jawab.
Pendapat praktisi Hukum yaitu hakim memang cukup beralasan karena
besarnya tanggung jawab yang diemban para hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Mengenai hal ini dijelaskan dalam penjelasan UU No 14 tahun 1970, I Umum, butir
enam dijelaskan :
“ pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-
badan penegak hukum dan keadilan tersebut, baik dan buruknya tergantung dari
manusia-manusianya pelaksanaannya, in case para hakim“4. Di samping itu
tanggunga jawab hakim meliputi :
1. ang Maha Esa, seperti yang dijelaskan dalam
( pasal 4 ayat I UU No 14 tahun 1970 )
Memutus atas nama Tuhan Y
4 Bismar Siregar, Hukum, Hakim, dan keadilan Tuhan, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1995 ).
Cet, ke-1,h.34
62
2. gt bijaksana dan bertanggung jawab, pertama
kepada Tuhan Yang Maha Esa (pasal 4 ayat I UU No 14 tahun 1970)
3. Mengadili, menemukan, dan merumu
Memutus sebagai hakim yan
skan hukum yang sesuai dengan rasa
keadilan yang hidup di kala
nt d Kompilasi Hukum Islam
meman
156 pont d Kompilasi Hukum Islam.
ngan rakyat (pasal 27 ayat 1 UU No 4 tahun
1970)5.
Efektifitas pasal 105 point c jo pasal 156 poi
g cukup efektif, selama menghadapi kasus sang ayah melaksanakan semua
yang telah dijelaskan atau diputuskan oleh majelis hakim. Namun jika ayah tidak
bertanggung jawab atau tidak mampu inilah yang akan terjadi masalah. Karena di
dalam pasal 105 point c jo pasal 156 point d tidak menjelaskan apabila ayah tidak
mampu sama sekali dan ayah tidak bertanggung jawab di dalam pembiayaan tersebut.
Apabila hal tersebut ditemui dalam pemeriksaan majelis hakim, tentunya para hakim
akan menganbil rujukan selain Kompilasi Hukum Islam. Bila seperti ini, penulis
berpendapat Kompilasi Hukum Islam masih jauh dari sempurna dengan tujuannya
sehingga dapat menyebabkan para hakim untuk menggunakan rujukan lain selain
Kompilasi Hukum Islam. Dan yang paling sederhana saja dalam masalah pembiayaan
hadhanah, pasal 105 point c jo pasal 156 point d tidak disertai dengan pengikut
sertaan ibu di dalam memikul biaya tersebut. Mengenai hal ini penulis mencoba
memaparkan latar belakang timbulnya lalu menganalisis pasal 105 point c dan pasal
5 Bismar Siregar, Hukum, Hakim, dan keadilan Tuhan, . Cet, ke-1,h.35
63
Berbicara mengenai latar belakang sudah barang tentu akan tergambarkan
dan terjawab oleh ulama-ulama ataupun pembuat Kompilasi Hukum Islam itu
sendiri, n
56 Point d Kompilasi Hukum Islam
kemampuan sang ayah sekurang-kurangnya sampai anak itu berumur 21 tahun..
amun dari hasil wawancara yang saya dapatkan dari Uyun Kamiruddin
selaku Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.6 Secara tinjauan filosofi pasca
bercerai dampak perceraian suami dan isteri anak-anak lah yang jadi korban. Karena
dalam tatanan yang real ternyata anak anaklah yang dalam hal ini menjadi korban
perceraian kedua orang tuanya, banyak dari anak-anak yang terlantar baik ditinjau
dari segi moril dan materi. Hal inilah yang merupakan faktor lahirnya pasal 105 point
c jo pasal 156 point d, pasal ini lahir guna untuk melindungi hak-hak anak yang
menjadi korban perceraian kedua orang tuanya, agar masa depan anak bisa berjalan
terus tanpa tidak terkatung-katung.7Dan yang selanjutnya yang melatar belakangi
pasal ini muncul ialah pihak dari ibu ataupun Bapak merasa paling berhak dan pantas
untuk mengasuh anak hasil dari perkawinan mereka. Oleh karena itu pasal ini lahir,
guna untuk memberikan rasa keadilan diantara pihak Bapak, Ibu dan juga pihak anak.
Tentunya jika pasal ini tidak ada maka dampaknya para orang tua akan mengabaikan
kewajiban dan hak - haknya sebagai orang tua.
B. Analisis pasal 105 point c jo pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam
Menurut pasal 105 Point c dan pasal 1
bahwa kewajiban pembiayaan hadhanah di bawah tanggung jawab sang ayah menurut
6 Uyun Kamiruddin, wawancara Pengadilan Agama Jakarta Pusat,( Jakarta 19 juli-2010 ) 7 Uyun Kamiruddin, wawancara Pengadilan Agama Jakarta Pusat,( Jakarta 19 juli-2010 )
64
Keten
ratan yang mudah karena masalah biaya hadhanah adalah
perso
tuan dalam pasal 105 point c dan pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam
tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan Konsep Hukum Islam, namun ketika
melihat pada zaman sekarang ini yang dimana ekonomi sangat carut marut dan juga
krisis ahlak yang mengakibatkan sikap tidak tanggung jawabnya seorang ayah dan
ketidakmampuan ayah di dalam biaya hadhanah sehinggga kedua pasal ini akan jauh
dari sempurna dengan tujuannya sehingga dapat menyebabkan para hakim untuk
menggunakan rujukan lain selain Kompilasi Hukum Islam. Tampaknya pasal 105
Point c dan pasal 156 Point d Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya
mempertimbangkan dari aspek non materialnya saja dan kurang memberi penekanan
dari aspek material.
Meskipun menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa semua biaya hadhanah
menjadi tanggungan ayahnya sampai anak berumur 21 tahun, namun bukan serta
merta tanpa persya
alan yang menyangkut masa depan lahir dan batin, pendidikan seorang anak,
maka dari itu harus ada yang menanggung biaya hadhanah baik dari bapak ataupun
Ibu. Di dalam pasal 105 point c jo pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam
mengenai biaya hadhanah anak yang masih di bawah umur akibat perceraian tidak
mengatur suatu ketentuan yang melarang ibu ikut memikul biaya hadhanah
disebabkan bapak tidak bisa memenuhi kewajibannya. Dengan kata lain pasal 105 ini
mengartikan bahwa tidak ada pengecualian di dalam pembiayaan tersebut, karena
pasal 105 point c jo pasal 156 point d ini tetap mewajibkan pembiayaan hadhanah itu
mutlak di tangan sang ayah, meskipun di dalam pasal 156 point f yang menjelaskan
65
“bahwa pengadilan dapat mengingat kemampuan ayah dan menetapkan jumlah biaya
untuk pemeliharaan dan pendidikan anak”. Akan tetapi kata kemampuan di sini
mengartikan bahwa kewajiban ayah memang mutlak, padahal merawat dan mendidik
anak itu adalah tanggung jawab keduanya, meskipun dalam hal ini ayah pencari
nafkah. Seyogyanya pasal ini bisa melihat kemampuan ayah secara materil maupun
psikis. Tentunya hal ini akan berdampak kepada sang ayah itu sendiri, karena ketika
sesuatu putusan telah berkekuatan hukum tetap (BHT), maka putusan itu harus
dijalankan sebagaimana mestinya. Khususunya di dalam masalah ketika ayah tidak
mampu sama sekali di dalam pembiayaan tersebut, dan dari pihak ibu pun tidak mau
bertanggung jawab bersama di dalam pemeliharaan anak. Pihak ibu akan meminta
kepada pengadilan untuk mengeksekusi putusan untuk memaksa ayah membayar
biaya hadhanah.
Adapun selanjutnya mengenai sikap ataupun prilaku ayah yang tidak mau
bertanggung jawab atau tidak patuh kepada putusan majelis hakim. Di dalam kedua
pasal ini memang tidak menjelaskan bagaimana apabila sang ayah tidak bertanggung
jawab di dalam pembiayaan hadhanah anak, tidak ada pasal 105 maupun 156 yang
menjelaskan bahwa ketika ayah tidak bertanggung jawab maka pengadilan bisa
menjalankan eksekusi paksa. Suatu putusan yang tidak dijalankan sebagaimana
mestinya bisa dieksekusi paksa, dari pihak ibu bisa memohon eksekusi putusan ke
Pengadilan Agama atas ketidak patuhannya ayah di dalam menjalankan putusan
Hakim. Yang di mana bentuk eksekusinya yaitu dengan memaksa kepada ayah
66
dengan melibatkan pihak aparat yang berwenang, terutama polisi8. Eksekusi
putusannya memaksa ayah atau pihak yang kalah dalam persidangan untuk
membayar biaya hadhanah ataupun yang tertera di surat putusan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama. upaya paksa ini dilakukan atas permohonan pihak yang
memenangkan perkara untuk melaksanakan dari pada kewajiban. itu karena pihak
yang menang ataupun ibu meminta kepada Pengadilan untuk mengeksekusi paksa
kepada pihak yang kalah ataupun ayah. Lahirnya pasal ini bertujuan untuk
menjamin hak-hak anak pasca bercerai kedua orang tuanya, semestinya kedua pasal
ini mengatur atas kasus – kasus tersebut. Agar hak – hak anak terjamin. Di sini
penulis dapat mengatakan bahwa pasal 105 point c jo pasal 156 point d Kompilasi
Hukum Islam masih terdapat kekurangan di dalam menjelaskan kewajiban sang ayah
dalam membiayai hadhanah anak yang belum mumayyiz akibat perceraian karena
hanya secara umum.
Lebih jauh lagi masayarakat Muslim Indonesia yang merupakan mayoritas dan
sebagian ada yang menganggap KHI sebagai fikih nasional. Mereka akan
beran
ggapan pasal 105 point c jo pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam adalah
mutlak , akan tetapi bagi sebagian orang lagi tidak menganggap demikian.Selanjutnya
di lingkungan Peradilan Agama, kompilasi Hukum Islam secara umum merupakan
salah satu hukum materil PA dan tujuan awalnya untuk menghilangkan ketidak
seragaman para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam mengambil rujukan
untuk memutuskan perkara yang berdampak disparitas antara putusan. kompilasi
8 Rifyal Ka’bah, Permasalahan Hadhanah, WWW.Goegle.com
67
Hukum Islam lahir untuk menghilangkan hal ini. Apabila dalam kenyataanya para
hakim masih belum dapat menemukan jawabannya di dalam Kompilasi Hukum Islam
khususnya mengenai pembiayaan hadhanah pasca perceraian, pasal 105 jo 156 hanya
mewajibkan ayahlah yang harus mebiayai hadhanah tanpa ada penjelasan yang lebih
lanjut jika pada kenyataanya ayah tidak mampu sama sekali ataupun tidak
bertanggung jawab.
Berdasarkan wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Uyun Kamiruddin 9 bahwa dalam hal pembiayaan anak yang belum mumayyiz akibat
perce
asal 156 point d Kompilasi Hukum Islam masih belum secara
maksimal dan sempurna dengan tujuannya. Sehingga dapat menyebabkan para hakim
raian maka hukum asalnya ialah kewajiban pembiayaan hadhanah itu di bawah
tanggung jawab sang ayah menurut kemampuan sang ayah sekurang-kurangnya
sampai anak itu berumur 21 tahun. Dalam hal kewajiban pembiayaan ayahlah yang
harus berkewajiban untuk membayarnya, namun jika pada kenyataannya ayah tidak
dapat membiayai maka kewajiban itu pun tetap melekat kepada ayah, akan tetapi ibu
ikut memikul biaya tersebut. Sehingga pihak dari ibu tidak bisa lepas dari tanggung
jawab di dalam memberikan biaya terhadap anaknya tersebut, karena sampai
kapanpun kewajiban itu akan selalu melekat terhadap kedua orang tua khususnya
ayah. Serta aspek kemampuan pun harus menimbang sesuai kemampuan materil
ataupun psikis .
Berdasarkan ulasan di atas, penulis dapat memberikan komentar bahwa pasal
105 point c jo p
9 Uyun Kamiruddin, wawancara Pengadilan Agama Jakarta Pusat,( Jakarta 19 juli-2010 )
68
untuk
Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya
ebut
berumur 21 tahun.
menggunakan rujukan lain selain Kompilasi Hukum Islam. Setidaknya
Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam pasal 105 pasal c jo 156 pasal d dilengkapi
dengan pengecualian apabila bapak tidak mampu sama sekali di dalam membiayai
hadhanah agar ketika menghadapi permasalahan yang bersifat kasusistik seperti
bapak tidak bisa membayar biaya hadhanah dan tidak bertanggung jawab atas biaya
tersebut. Mejelis hakim tetap berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam sehingga
dapat dipergunakan sepenuhnya tanpa meniggalkan sedikitpun. pasal 105 point c jo
pasal 156 point d tidak mengakomodir ketika ayah tidak mampu sama sekali dan
tidak bertanggung jawab di dalam masalah hadhanah, itu karena pasal 105 point c jo
pasal 156 point d hanya membahas kewajiban ayah dari aspek non materil saja.
Dalam Pemeliharaan anak atau istilah disebut dengan hadhanah, pelaksanaanya tidak
hanya sebatas pada kegiatan formalitas yang begitu saja tanpa dibarengi dengan
mendidik dan pembiayaan yang bertujuan menjadikan anak sehat baik moril dan
materil .
Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hukum materil di
lingkungan Peradilan Agama dalam pasal 105 point c jo 156 point d disebutkan :
•
• Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak ters
69
Da si Hukum Islam sebagai rujukan di lingkungan
gama, khususnya mengenai masalah kewajiban ayah tentang pembiayaan
ahnah anak yang belum mumayyiz akibat percer
lam pengunaan Kompila
Peradilan A
had aian maka pasal 105 point c jo
elesaikan perkara. Khususnya di dalam kasus
pembiay
pasal 105
point c
berada di bawah kekuasaan majelis hakim sebagai pemegang kebijakan dalam
156 pointd dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara tersebut sepanjang bapak
mau bertanggung jawab dan juga mampu membiayai hadanah dan tidak terdapat
klausul yang mengganti kewajiban bapak apabila kenyataannya bapak tidak mampu
ataupun tidak bertanggung jawab.
Kompilasi Hukum Islam digunakan sebagai hukum materil di lingkungan
peradilan Agama dalam penerapannya tidak serta mengekang kebebasan hakim dalam
memeriksa, memutus, dan meny
aan ini, apabila kenyataanya sang ayah tidak mampu dan tidak bertanggung
jawab, meskipun di dalam pasal 105 point c jo 156 pointd Kompialasi Hukum Islam
hanya menyebutkan kewajiban seorang bapak di dalam masalah biaya tanpa
pengecualian, bukan berarti harus dilaksanakan begitu saja akan tetapi hakim harus
memperhatikan hukum yang hidup di masyarakat dalam hal ini hukum adat yang
lebih tinggi dari kompilasi Hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama.
Efektifitas Kompilasi Hukum Islam secara umum memang cukup memadai
dan dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi para hakim dalam memutus suatu
perkara. Khususunya dalam masalah hadhanah, Kompilasi Hukum Islam
jo 156 point d hanya menjelaskan secara global dan ini merupakan hukum
asal dan apabila terdapat perkara yang bersifat kasuistik maka keputusan akhirnya
70
mengambil keputusan karena Kompilasi hanyalah sebuah instruksi Presiden (Inpres)
No. 1 tahun 1991 bukanlah sebuah Undang-undang, namun kehadiran Kompilasi
Hukum Islam ini merupakan langkah besar di dalam mempositifkan Hukum Islam
khususnya di Indonesia.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan analisis di atas pada bab-bab terdahulu, maka penulis dapat
memberikan kesimpulan bahwa :
Pasal 105 point c jo pasal 156 point d kompilasi Hukum Islam di dalam
penggunaanya sebagai hukum Peradilan Agama cukup
terasa cukup efektif ketika menghadapi
ermasalahan yang ayah tidak mampu sama
sekali ataupun tidak
pas
kan faktor lahirnya pasal 105 point c jo pasal 156 point d,
pasal ini lahir guna untuk m
korban perceraian kedua orang tuanya.
materil di lingkungan
efektif dengan beberapa catatan :
a. Kedua pasal ini akan
permasalahan sang ayah mampu dan menyanggupi terhadap biaya
hadhanah anak.
b. Apabila terjadi suatu p
bertanggung jawab seyogyanya pasal 105 point
c jo pasal 156 point d kompilasi Hukum Islam dapat menjelaskan
pengecualian terhadap biaya tersebut.
1. latar belakang lahirnya al ini ialah :
a. Karena dalam tatanan yang real ternyata anak anaklah yang dalam hal
ini menjadi korban perceraian kedua orang tuanya, banyak dari anak –
anak yang terlantar baik ditinjau dari segi moril dan materi. Hal inilah
yang merupa
elindungi hak-hak anak yang menjadi
72
b. Bapak merasa paling berhak dan pantas untuk
mengasuh anak hasil dari perkawinan mereka. Oleh karena itu pasal ini
lahir, guna untuk memberikan rasa keadilan dan membatasi antara hak
kewajiban pihak Bapak, Ibu dan juga pihak anak.
2. Langkah yang dilakukan jika ayah tidak mampu sama sekali dan tidak
bertanggung jawab di dalam biaya hadhanah ialah:
Pihak dari Ibu ataupun
Di dalam pasal 105 poi
b. Pihak ibu bisa memoh
mana bentuk eksekusinya yaitu dengan memaksa kepada ayah
dengan melibatkan pi
an. Dan juga karena di
am pasal ini hanya men
a. nt c dan pasal 156 point d tidak menjelaskan jika
sang ayah tidak mampu sama sekali membiayai hadhanah, namun
berdasarkan wawancara yang penulis dapatkan bahwa ibu pun juga ikut
membantu di dalam pembiayaan tersebut. Namun kedua pasal ini tidak
mengatur.
on eksekusi putusan ke Pengadilan Agama atas
ketidak patuhannya ayah di dalam menjalankan putusan Hakim. Yang
di
hak aparat yang berwenang, terutama polisi.
Ataupun menyita harta benda ayah.
3. Sebab pasal 105 point c tidak mengakomodir karena di pasal 156 memang
telah dijelaskan bahwa pembiayaan hadhnah menurut kemampuan sang
ayah akan tetapi penjelasannya tidak ada pengecuali
dal jelaskan aspek non material saja.
73
A. Saran
1. Karena Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu hukum materil yang
digunakan oleh Pengadilan Aga
nyai kemampuan sama sekali
dan tidak mau bertanggung jawab di dalam masalah pembiayaan
hadhanah, hakim tetap berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam
dan tidak melewatkannya satu pasal pun.
Karena kompilasi Huk
ma maka seharusnya Kompilasi Hukum
Islam juga menjelaskan pengecualian ayah di dalam masalah kewajiban
hadhanah anak, agar ketika menghadapi kasus yang bersifat kasustik
seperti penyelesaian kewajiban hadhanah akibat perceraian karena sang
ayah di dalam kenyataannya tidak mempu
2. um Islam tidak mengatur ketentuan yang sang
ayah tidak mampu sama sekali dan tidak bertanggung jawab untuk
membiayai hadhnah pasca perceraian. Maka dari itu hendaknya para
hakim bisa mengambil pertimbangan berdasarkan kemashlahatan anak
dengan sesuai maqasid al-syari’ah.
3. Karena Kompilasi Hukum Islam belum menjadi UU.PA, maka agar
lebih efektif seyogyanya Kompilasi Hukum Islam disahkan sebagai
Undang-Undang Pengadilan Agama.
74
Al-Qur’an dan terjem
Agama, Departement, R.I, Direktorat Pembinaan Badan Perdilan Agama Islam,
As’atsajtani, Daud, Abu bin , Sunan Abu Daud, Beirut-Libanon : Darul Fikr, 1994
ziz Muhammad, Azzam Abdul Aziz, Sayyed Hawwas, Abdul Wahab, Fiqih
Munaqahat (Khitbah, Nikah, dan thalak) Jakarta : Sinar Grafika Ofseet, 2009
l-Habsyi, Baqir Muhammad, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an dan Sunnah dab
Pendapat Ulama ( Bandung : Mizan, 2002)
Abdurahman , kompilasi hokum karta : Akademik pressindo,
1995)
Abidin, Slamet, Fiqih munakahat II, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999
Aulia , Nuansa,
Agama, jakarta : PT Internasa, 1991, Cet ke-1
Ar-Rifa’i, Muhamm
(Jakarta: Gema Insani, 2000)
Ayyub, Syaikh Hasan, fiqih keluarga, Jakarta : P autsar, 2006
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia,( Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
ahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1994
Dirjen pembinaan Agama Islam, Himpunan peraturan per-Undang-undangan
dalam lingkungan peradilan Agama, (Jakarta: , 2001)
A
A
Islam di Indonesia, (Ja
kompilasi Hukum Islam (hukum perkawinan, kewarisan, dan
perwaqafan ), Bandung : CV : Nuansa Aulia
Abdullah, Abdul Ghani, Himpunan per Undang-Undangan dan Peraturan Peradilan
ad Nasib, Kemudahan Dari Allah RIngkasan Tafsir Ibnu katsir,
ustaka Al-K
75
Abdullah , Abdul Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam tata Hukum
Indonesia, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1994)
karta : Balai
Daly, udi pebandinan alam kalangan
Yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah ), Jakarta : Prenada Media, 2004
Gymnastiar, Bandung: PT
Mizan,2002
sinar Grafika, 2001)
Harahap,M. Yahya,
I Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam (terjemahnya), Jakarta;
Indra , Wanita Shalehah, Jakarta: Penamadani, 2004
CST, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Ja
Pustaka 2000)
Penuoh, Hukum Prerkawinan Islam suatu st
Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam (Jakarta: PT Bulan
Bintang,1988)
Dahlan, Abdul Aziz Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtia Baru Van Hoepe,
1999 Jil. 2)
Effendi, Satria , Problematika hukum Kelluarga Islam Kontemporer ( analisis
Ghazaly, Abdurahman, Fiqih munaqahat,( Jakarta : Prenada Media,2003)
Abdullah, Aa Gym dan Fenomena Darut Tauhid,
Harahap, Yahya, kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, ( Jakarta :
Hukum Perkawinan Nasional, ( Medan, CV Zahir,1975)
Abdurahman,
Rineka Cipta, 1997
Hasbi, Potret
Jawad Mughniyah, Muhammad, fiqih lima mazhab (terjemah), penerjemah: Masykur
AG et all, ( Jakarta: Penerbit Lentera, 2000)
76
Mas’udi, Masdar Farid, Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fikih
Pemberdayaan, ( Bandung : Mizan.1997)
dalam
Nazar, han Rumah Tangga, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta:
Prenada Media,2006
in, Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta :
Quthub, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an, (Jakarta :
Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam ( Hukum Fiqih Islam Lengkap ), Bandung: Sinar Baru,
Rifa’i, Mohammad, Ilmu fiqih Islam Lengkap, Semarang : PT Karya Toha Putra,
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Grafindo persada, 2003)
San’ani ,Ibnu Ism
Syarif ris Besar FIQIH, Jakarta : PRENADA MEDIA, 2003 .
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1993
Muttaqien, Dadan, et al (ed), Peradilam Agama dan Kompilasi Hukum Islam
Tata Hukum Indonesia, ( Yogyakarta: UII press, 1993)
Bakry, Kunci Keutu
1993)
Nurudin, Amin, Akmal Taligan, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi kritis
perkembangan hukum islam dari fiqih.UU No 1/ 1974 sampai KHI
Nurudin, Am
Prenada Media Grop, 2004
Gema Insani , 2000)
1992
1978
ail, Muhammad Al- Imam, Subulussalam, h,.Juz 3
uddin, Amir, Garis ga
77
Subhan, Zaituah, Mengagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: El-Kahfi,
2008)
Sabiq, Sayyid, fiqih sunnah jilid ke 8, Bandung : PT Al-Ma’arif, 1980
Saifulloh Al Aziz, Mohammad Fiqih Islam Lengkap pedoman hukum ibadah lengkap
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ( antara fiqih dan
Suma, Am dalam 10 tahun Undang – undang Peradilan Agama, Panitia seminar
rta: Gema Insani
Taqiyuddin, Imam, . 2
Tebba, Sudirman, Perkembangan muthir Hukum Islam di Asia Tenggara : Studi
Pemeliharaan kesehatan jiwa anak (terj), penerjmh:
dengan berbagai permasalahannya, ( Surabaya : TERBIT TERANG, 2005)
Undang-Undang perkawinan), Jakarta : Prenada Media, 2006
in,
Nasional 10 tahun UU PA
Siregar, Bismar, SH, Hukum, Hakim, dan keadilan Tuhan, ( Jaka
Press, 1995)
Kifayatul al- Akhyar, ( Surabaya : Al-Hidayah, it ) juz
Kasus Hukum Keluarga dan pengkodifikasiannya, ( Bandung : Mizan, 1993)
Ulwan, Abdullah Nasih,
Khulullah Ahmad Masjkur Hakim, (Bandung : Remaja Rosdakarya,1996)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1990)
78
79
LEMBAR PERTANYAAN WAWANCARA
1. Seberapa efektifkah pasal 105 point C dan pasal 156 point D dalam
memenuhi kebutuhan hadhanah anak ?
Jawaban :
2. Apa yang melatar belakangi timbulnya pasal pasal 105 point C dan
pasal 156 point D?
Jawaban :
80
3. Langkah apa yang diambil apabila sang ayah tidak mampu ataupun
tidak bertanggung jawab di dalam masalah pembiayaan hadhanah…?
4. Mengapa di dalam pasal 105 point C dan pasal 156 point D tidak
menjangkau ketika sang ayah tidak mampu ataupun tidak bertanggung
jawab di dalam hal pembiayaan hadhanah ?
Jawaban :
Jawaban:
81
1.
ali sang ibu tidak memiliki
kewajiban untuk memelihara anak itu ataupun mentelantarkannya. Pasal ini
Nampak efektif dengan masalah hadhanah akan dengan indicator majlis hakim
mengabulkan permintaan penetapan hadhanah oleh sang ayah. Akan tetapi jika sang
ayah tidak menjalankan putusan yang telah ditetapkan oleh hakim maka pihak ibu
bisa meminta eksekusi putusan dari pengadilan. Akan tetapi khususunya di
pengadilan agama hamper tidak menemukan kasus yang seperti ini.
2. Secara filosofis pasca perceraian banyak anak – anak yang terlantar baik itu dari
segi moril ataupun materil, karena factor perceraian kedua orang tuanya. Dan juga
dari pihak ibu atau pun ayah merasa paling berhak untuk mendidik dan merawat.
Pasal ini l korban perceraian
bisa meminta
LEMBAR JAWABAN WAWANCARA
Sejauh ini pasal 105 jo pasal 156 efektif, khususunya ketika ibu meminta penetapan
biaya hadhanah dikabulkan oleh majelis hakim. Kecu
ahir guna untuk melindungi hak-hak anak yang menjadi
dan juga untuk mengetahui bagaimana kewajiban ayah ataupun ibu kepada anak
pasca mereka bercerai.
3. Kewajiban itu masih terletak pada sang ayah, akan tetapi jika ayah tidak memiliki
kemampuan maka kewajiban itu pun melekat pada sang ibu sehingga ibu tidak bisa
lepas tangan di dalam memberikan biaya terhadap anaknya. Dan juga aspek
kemampuan harus bisa melihat dan menimbang sesuai kewajiban ayahnya dan
psikologis anaknya terhadap biaya. Namun ketika ayah tidak mau bertanggung
jawab maka hakim setelah memutuskan perkara itu pihak ibu
82
eksekusi putusan. Yang di mana eksekusi ini memaksa kepada ayah ataupun
tergugat yang kalah di persidangan.
4. Karena di pasal ini jika sang ayah tidak tanggung jawab di kategorikan karena
factor dari psikologis ayah, dan pertanggung jawaban tidak melekat di pasal akan
tetapi kewajiban itu harus di cantumkan terhadap putusan.
83
84