LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM...
Transcript of LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM...
LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
(Studi Putusan Terhadap Putusan Mahkamah Agung
Nomor 112/K/Pdt.Sus-PHI/2017)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
INTANZI LESTARI
NIM : 11150480000179
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441H / 2020M
i
LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
(Studi Putusan Terhadap Putusan Mahkamah Agung
Nomor 112/K/Pdt.Sus-PHI/2017)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
INTANZI LESTARI
NIM : 11150480000179
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441H / 2020M
LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
(Studi Putusan Terhadap Putusan Mahkamah Agung
Nomor 112/K/Pdt.Sus-PHI/2017)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
INTANZI LESTARI
NIM :11150480000179
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
ii
LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
(Studi Putusan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 112/K/Pdt.Sus-
PHI/2017)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Intanzi Lestari
NIM 11150480000179
Pembimbing:
Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
NIDN. 2021088601
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2020 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Intanzi Lestari
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Juni 1997
NIM : 11150480000179
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jalan Swadaya No 68, RT02/003 Kelurahan Pd.
Pucung, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang
Selatan Banten 15429, 081310449837
Denganini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasilkarya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Maret 2020
Intanzi Lestari
v
ABSTRAK
Intanzi Lestari. NIM 11150480000179. LEGALITAS SERIKAT PEKERJA
SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Studi Putusan Terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor 112/K/Pdt.Sus-PHI/2017). Program Studi
Ilmu Hukum, Fakultas Syariah danHukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2020M. Ix + 80 halaman
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam
memutuskan penolakan kuasa hukum pekerja yang dianggap tidak terdaftar dalam
Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia yang sudah sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Untuk dapat mengetahui
bagaimana pemenuhan upah buruh atau pekerja yang tidak dipenuhi haknya
karena putusan hakim yang mempertanyakan legalitas kuasa hukum para pekerja.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dan menggunakan
pendekatan penelitian yuridis-normatif. Penelitian yang dilakukan dengan
melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan
jurnal yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa majelis hakim tidak berlaku adil
terhadap para penggugat yaitu Ubaedillah, dkk. Karena pada saat persidangan di
Pengadilan Hubungan Industrial majelis hakim tidak memberikan waktu untuk
para penggugat memperbaiki gugatannya. Majelis Hakim seharusnya memberikan
saran kepada para penggugat untuk tidak mengguganakan kuasa hukum atau
mengajukan gugatan ulang. Ditolaknya gugatan yang diajukan para pekerja
memberikan rasa ketidakadilan kepada para pekerja sebagaimana yang telah
dijabarkan didalam gugatannya, banyak hak para pekerja yang tidak diberikan
oleh pihak perusahaan.
Kata Kunci : Perselisihan Hubungan Industrial, Legalitas Serikat
Pekerja, Kuasa Hukum Pekerja
Pembimbing Skripsi : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1980 Sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
حمن الل بسم حيم الر الر
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas
berkat dan rahmat Nya yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti,
sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Legalitas Serikat Pekerja
Sebagai Kuasa Hukum dalam Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan
Industrial (Studi Putusan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor
112/K/Pdt.Sus-PHI/2017)”. Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘AlayhiwaSallam, yang telah membawa umat manusia
dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini .
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini,berbagai hambatan, rintangan, ujian,
dan tantangan telah dilewati peneliti selama proses penyelesaian studi. Penulis
banyak mendapatkan bimbingan, arahan,serta bantuan dari berbagai pihak,
sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. Pembimbing Akademik yang telah
mendukung dan memberi dukungan kepada peneliti.
4. Indra Rahmatullah, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam
menyelesaikan skripsi, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
vii
5. Terima kasih kepada kedua orang tua yakni Ayah, Ibu dan AA yang telah
memberikan dukungan moral dan materiil kepada peneliti selama masa
perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi.
6. Semua pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu. Tidak ada
yang dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian, kecuali dengan
doa dan ucapan terima kasih.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat
kekurangan dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan
untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian
dan terima kasih.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Metode Penelitian ....................................................................... 9
E. Sistematika Pembahasan ............................................................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL ........................................................ 14
A. Kerangka Konseptual ................................................................. 14
1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial ......................... 14
2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ..................... 18
3. Peran Serikat Pekerja .............................................................. 23
B. Kerangka Teoritis ....................................................................... 25
1. Teori Tujuan Hukum .............................................................. 26
2. Teori Perlindungan Hukum Tenaga Kerja ............................ 28
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ........................................... 29
BAB III LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIALSTUDI PUTUSAN NOMOR 112
K/Pdt/Sus-PHI/2017 ...................................................................... 33
ix
A. Kronologi Kasus di PT Araputra Fortuna Perkasa ................... 33
B. Kronologi Kasus di Pengadilan Hubungan Industrial Serang .... 37
C. Kronologi Kasus di Mahkamah Agung ..................................... 42
BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DI PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 112/K/Pdt.Sus-PHI/2017 .... 48
A. Pertimbangan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Pengadilan Hubungan
Industrial di Pengadilan Negeri Serang dan Mahkamah Agung . 48
B. Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja yang Tidak Diberikan
Haknya Akibat Legalitas Serikat Pekerja sebagai Kuasa Hukum
Tidak dapat Mewakili Pekerja. ................................................... 65
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 78
A. Kesimpulan ................................................................................. 78
B. Rekomendasi ............................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81
LAMPIRAN ....................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara berkembang tentu tidak terlepas dari
rencana industrialisasi yang segala aspeknya akan ditekankan pada sektor
industri. Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa hanya dengan jalan
industrialisasi, Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dari negara
modern. Pada proyek industrialisasi tersebut, dikehendaki atau tidak pasti
akan timbul suatu strata dalam industri yaitu kedudukan pengusaha dan
pekerja. Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan yang sangat erat
karena jika tidak ada pengusaha maka tidak ada pekerja, begitu pula
sebaliknya. Hubungan ini lalu diikatkan dalam suatu perjanjian, yaitu
perjanjian kerja.
Masalah perselisihan hubungan industrial memang masalah yang
sangat rawan terjadi gesekkan antara para pihak yaitu pengusaha dan pekerja
karena hubungan para pihak bersifat sub-ordinatif. Hubungan yang bersifat
sub-ordinatif menimbulkan batasan dalam pelaksanaan perjanjian karena para
pihak selalu sebagai atasan dan bawahan. Pengusaha sebagai pihak yang lebih
tinggi secara sosial-ekonomi memberikan perintah kepada pekerja atau buruh
yang secara sosial-ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk
melakukan pekerjaan tertentu. Hal-hal inilah yang menimbulkan perselisihan
hubungan industrial. Masalah perselisihan hubungan industrial ada empat
macam, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat pekerja
atau serikat buruh dalam satu perusahaan.
Posisi pekerja yang lemah dapat diantisipasi dengan dibentuknya
serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaan. Ada anggapan selama
2
ataupun dalam tingkat pengambilan keputusan secara nasional. Serikat
pekerja/buruh saat ini menghadapi tantangan yang berat.1
Kenyataan yang ada dalam proses berlangsungnya suatu
hubungan industrial tidak seperti yang diharapkan. Majikan sering
menempatkan buruh pada posisi yang rendah, sebagai faktor ekstern yang
kurang diperhatikan. Untuk itulah diperlukan adanya wadah bagi buruh
sebagai upaya mensejajarkan posisi buruh dan majikan dalam proses
hubungan industrial dalam suatu Serikat Pekerja/Buruh.
Dalam praktik, masih banyak adanya keengganan menerima
keberadaan Serikat Pekerja/Buruh dilingkungan perusahaan sebagai mitra
sejajar dan masih banyaknya pengusaha yang berpendirian: “saya yang
berkuasa dirumah saya” (her rim haus) seperti sikap raja-raja perusahaan baja
pada awal lahirnya perjanjian perburuhan (KKB) di Jerman walaupun didesak
dengan ketentuan yang disertai sanksi pidana.2
Pada hakikatnya Pengadilan Hubungan Industrial hadir sebagai
sarana untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial baik mengenai
hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang
belum ditetapkan, baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, maupun peraturan perundang-undangan.3 Dari
tahun ke tahun buruh menjadi penggugat yang paling banyak dalam perkara
PHI. Karena undang-undang hanya memberikan kesempatan melalui PHI
untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, mau tidak mau buruh
harus menempuh cara ini untuk memperjuangkan keadilan. Salah satu
contohnya adalah penggugatan kepentingan hak yang diajukan oleh
Ubaidillah, Muhamad Agus, Nurdin, M. Hasbullah, Abdul Wahid, Yayat
1 Abdullah Sulaiman, dan Andi Walli, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, (Jakarta,
Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia : 2019), h. 329. 2 HP Rajagukguk, Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan (C determination),
makalah, 2000, h. 9. 3 Anwar Budiman, Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perlindungan Hukum terhadap
Perjanjian Kerja : Mekanisme dalam Perjanjian Kerja pada Perusahaan Sektor Otomotif di
Indonesia. Disertasi, Program Doktor Hukum Progam Pascasarjana Universitas Kriswadwipanaya
Jakarta, 2018. h. 241.
3
Ahmad Hidayat, Junaedi (selanjutnya disebut sebagai Pekerja) melawan PT
ARAPUTRA FORTUNA PERKASA (selanjutnya disebut sebagai
perusahaan).
Pada kasus ini, pekerja menuntut haknya kepada perusahaan untuk
menerima upah sesuai dengan upah minimum kabupaten yang ditentukan.
Namun tidak adanya kejelasan dari pihak perusahaan, dengan tidak
menanggapi tuntutan dari para pekerja. Para pekerja telah mengambil
langkah-langkah sesuai yang diatur oleh Undang-Undang. Hal yang pertama
dilakukan ialah mediasi dengan pihak perusahaan, namun pihak perusahaan
tidak menanggapi hal tersebut dan berakhir pada pengancaman kepada para
pekerja.
Pekerja diancam untuk di PHK secara sepihak apabila dalam waktu
satu bulan tidak mencabut tuntutannya mengenai upah. Dalam hal ini, pekerja
telah benar melakukan langkah hukum sesuai dengan Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Perselisihan hubungan Industrial
wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan
bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun para pekerja
tetap ingin memperjuangkan haknya sampai akhirnya melakukan usaha
tripartit dan akhirnya berujung pada gugatan di Pengadilan Hubungan
Industrial Serang.
Hakim menolak gugatan Pekerja dengan alasan pertama adalah
Kuasa hukum para pekerja tidak berhak bertindak untuk dan atas nama
penggugat. Padahal jelas tertera bahwa pada Pasal Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja menyatakan “Perjenjangan
Organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/buruh diatur dalam anggaran rumah tangganya”, dan Pasal 10
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja yang
menyatakan “Serikat Pekerja/Serikat Buruh, federasi dan konfederasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dapat dibentuk berdasarkan sector usaha, jenis
pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh. Majelis
4
hakim pada tingkat pertama mempermasalahkan keanggotaan kuasa hukum
para pekerja yang menurut Majelis Hakim belum berafiliasi kepada
Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, yang pada kenyataannya
Serikat Pekerja Araputra Bersatu (SPAB) sebagai kuasa hukum para pekerja
telah berafiliasi kepada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI). Majelis
Hakim berpendapat bahwa Serikat Pekerja Araputra Bersatu (SPAB) belum
berafiliasi kepada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia berpatokan pada
AD/ART dari Serikat Pekerja Araputra Bersatu yang menyatakan bahwa
Serikat Pekerja Araputra Bersatu (SPAB) merupakan serikat pekerja yang
mandiri.
Pada perkara ini Serikat Pekerja Araputra Bersatu telah berafiliasi
pada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), sesuai yang tercantum
pada Bab V Pasal 16 AD/ART Serikat Pekerja Araputra
Bersatu.Permasalahan yang terjadi Hakim dalam persidangan tidak
mempertimbangkan fakta baru yang diberikan oleh pekerja. Dalam hal ini
sesuai dengan Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat pekerja seperti yang disebutkan diatas sesuai dengan ADRT
Serikat Pekerja Tersebut. Bahwa faktanya AD/ART SPAB di Bab V Pasal 16
telah mencantumkan afiliasi SPAB ke OPSI. Bahwa fakta ini tidak dilihat dan
dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh Judex Facti, walaupun
permohonan kasasi (pekerja) telah memperlihatkan kepada Majelis Hakim
AD/ART SPAB pada saat persidangan. Bahwa untuk memastikan keberadaan
afiliasi SPAB OPSI yang sudah tercantum pada Bab V Pasal 16 maka pekerja
menyertakan kembali AD/ART SPAB sebagai kesatuan dalam memori kasasi
yang diberikan.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 112/K/Pdt.-Sus-PHI/2017
didalamnya terdapat perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion) dengan
mengemukakan bahwa terhadap fakta hukum Serikat Pekerja Araputra
Bersatu (SPAB) berafiliasi kepada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia
(OPSI) sebagai kuasa hukum Penggugat seharusnya diterapkan ketentuan
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 yang pada pokoknya Serikat
5
Pekerja dapat dibentuk berdasarkan bentuk lain, sesuai kehendak pekerja,
sehingga OPSI dapat bertindak sesuai kuasa hukum sebagaimana dimaksud
dalam keterangan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Alasan
kedua pekerja tidak memberikan risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi.
Hal tersebut bertentangan dengan hal yang diwajibkan dalam Pasal
83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Pedoman Teknis
Peradilan Perdata Buku II dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Edisi
2007 dalam Bab Teknis Peradilan Pengadilan Hubungan Industrial halaman
116.
Kejanggalan yang terdapat di putusan ini karena terdapat
perbedaan pendapat hakim yaitu karena Judex Facti belum memeriksa pokok
perkara maka Mahkamah Agung mengeluarkan putusan sela memerintahkan
Judex Facti untuk memeriksa perkara a quo kemudian setelah diputus
mengirim kepada Mahkamah Agung. Bahwa terhadap fakta hukum Serikat
Pekerja Araputra Bersatu yang berafiliasi kepada Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia (OPSI) sebagai kuasa hukum Penggugat seharusnya diterapkan
ketentuan Pasal 10 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 yang pada
pokoknya Serikat Pekerja dapat dibentuk berdasarkan bentuk lain,sesuai
kehendak pekerja, sehingga OPSI dapat bertindak sebagai kuasa hukum
sebagaimana dimaksud keterangan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004.
Dalam perkara ini terdapat banyak sekali kejanggalan yang terjadi,
hakim tidak mempertimbangkan fakta baru yang diberikan oleh penggugat
dan lain sebagainya membuat putusan ini terasa janggal.
Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan
tersebut terdapat hal menarik, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : LEGALITAS SERIKAT
PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Studi
6
Putusan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 112/K/Pdt.Sus-
PHI/2017).
B. Identifikasi , Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang berfikir tersebut terdapat berbagai masalah yang
muncul yaitu:
a. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak memberikan
sanksi tegas terhadap salah satu pihak yang tidak menjalankan
perundingan bipartit.
b. Belum efektifnya penyelesaian perselisihan di dalam Pengadilan
Hubungan Industrial jika dilihat dari empat prinsip dasar
pelaksanaan peradilan yakni, cepat, tepat, adil dan murah.
c. Perbedaan pendapat diantara hakim mengenai kuasa penggugat
yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja.
d. Pertimbangan Hakim dalam menolak Serikat Pekerja Araputra
Bersatu sebagai kuasa para penggugat yang dianggap cacat formil.
e. Perlindungan hukum para pekerja sebagai penggugat yang haknya
belum diberikan.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat begitu banyak permasalahan yang peneliti singgung
dalam identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi pada
pembahasan pada penolakan hakim terhadap kuasa penggugat yang telah
sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
dalam kasus pemenuhan hak pekerja yang tidak diberikan karena dalam
penyelesaian sengketa perselisihan hubungan industrial hakim
memutuskan gugatan mengalami cacat formal sehigga hakim menolak
gugatan dari buruh yang meminta haknya dikembalikan sesuai dengan
7
Upah Minimum Kabupaten (UMK) Tangerang yang berlaku studi kasus
Putusan Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/2017.
3. Perumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini terkait putusan hakim dalam
mempertimbangkan permasalahan terkait kuasa dalam kasus Putusan
Nomor 07/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg dan Putusan Nomor 112 K/Pdt.Sus-
PHI/2017 Pengadilan Hubungan Industrial Tangerang dalam Pengadilan
Negeri Serang dan Putusan Kasasi dari Mahkamah Agung. Pada kedua
putusan tersebut menolak gugatan dan kasasi dari para pekerja salah
satunya dengan alasan kuasa dari para pekerja tidak terdaftar dalam opsi
Tangerang. Alasan yang diutarakan kedua hakim tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
Berdasarkan pembahasan dari masalah utama tersebut yang telah
dipaparkan di atas, perumusan masalah peneliti jabarkan berupa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana analisis pertimbangan hakim dalam penolakan Kuasa
Serikat Pekerja Araputra Bersatu yang dianggap tidak berhak
menjadi kuasa hukum?
b. Bagaimana perlindungan hukum pekerja yang tidak diberikan
haknya akibat salah prosedur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok penelitian diatas, tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan
penolakan kuasa hukum pekerja yang dianggap tidak terdaftar
dalam Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia padalah sudah sesuai
8
dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja.
b. Untuk dapat mengetahui bagaimana pemenuhan upah buruh atau
pekerja yang tidak dipenuhi haknya karena putusan hakim yang
menyatakan gugatan buruh atau pekerja dianggap cacat formal
dalam prosedural.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat ilmiah berupa perluasan
ilmu dan wawasan yang akan dimiliki oleh mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum dalam menganalisa suatu perkara yang
berhubungan dengan hukum ketenagakerjaan terkhusus pada kasus
kuasa hukum yang diperbolehkan menangani kasus buruh atau pekerja
dan menganalisis putusan Pengadilan Hubungan Industrial Serang dan
Mahkamah Agung tentang perkara upah yang ditolak karena dianggap
cacat dalam formil yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat dalam
bidang ilmu hukum untuk menjadi rujukan mengenai kasus
ketenagakerjaan atas kegiatan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kemudian, membuat
setiap pembaca memahami dan tertarik terhadap isu-isu
ketenagakerjaan. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan dorongan
dan masukan kepada pemerintah dan Dinas Ketenagakerjaan untuk
mengambil kebijakan dengan tepat dalam kasus-kasus
ketenagakerjaan.
9
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,
dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan
kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.4
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan pula pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.5
1. Jenis Penelitian
Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif yaitu
didasarkan pada relevansi data terhadap permasalahan. Analisis kualitatif
menggunakan norma-norma, asas-asas, prinsip-prinsip, doktrin-doktirn
para ahli yang pandangan-pandangannya berhubungan dengan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, juga menganalisis
permasalahan ini berdasarkan ketentuan yuridis yang terdapat didalam
bahan hukum primer sebagaimana telah disebutkan diatas.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap atau prinsip-prinsip
hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertical dan horizontal,
4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta; Rajawali, 2009, Cet, Ke-11), h. 14. 5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
2008, h. 43.
10
perbandingan hukum, dan sejarah hukum, meneliti norma-norma hukum
positif, asas-asas/prinsip-prinsip, dan doktrin-doktrin hukum.6 Asas-asas
sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah
memaparkan (mendeskripsikan) subjek dan objek penelitian secara
analitis.7 Selain menggambarkan dan menguraikan fakta-fakta juga
sekaligus menganilisisnya berdasarkan pendekatan Peraturan Perundang-
undangan (statue approach) serta berdasarkan pendekatan kasus (case
approach). Dalam hal ini, objek yuridis normatif terletak dalam Pasal 5
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Objek utama Putusan
Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/2017.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan berbagai literatur
(kepustakaan), dimana studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang
dipergunakan dalam penelitian normatif.8 Dari bahan hukum yang sudah
terkumpul, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Telaah data sekunder
dijadikan sebagai telaah awal dari seluruh kegiatan penelitian yang
dilakukan. Telaah sekunder ini dapat melalui buku, teks, jurnal, makalah-
makalah ilmiah dan kepustakaan yang relevan dengan tema.
4. Sumber Data
Berdasarkan sumbernya maka penelitian ini disusun berdasarkan :
6 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 45-62. 7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 183. 8 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012). h.
123.
11
a. Sumber Data Primer
Putusan Mahkamah Agung Putusan Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/2017.
Bahan buku primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
berupa Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan undang-undang terkait.
b. Sumber Data Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang member
penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
biasanya berupa pendapat hukum/doktrin/teori-teori yang diperoleh
dari literature hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, buku-buku yang
berhubungan dengan tema penelitian, jurnal, makalah, maupun website
yang terkait dengan penelitian.
c. Sumber Data Tersier
Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan penjelasan dan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Biasanya bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus
bahasa Indonesia, kamus bahasa inggris dan lain sebagainya.
5. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Jenis penelitian ini
menekankan pada aspek pemahaman suatu norma-norma yang hidup dan
berkembang dimasyarakat. Disamping itu analisis kualitatif menjadikan
berbagai data yang dikumpulkan dan dipilih menurut kategori penelitian
dan selanjutnya dihubungkan satu sama lain atau ditafsirkan dalam usaha
mencari jawaban atau masalah penelitian. Dalam hal ini masalah penelitian
terkait dengan pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan hubungan
industrial.
6. Metode Penulisan
12
Metode penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi yang
dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017 yang
berdasarkan kaidah-kaidah penulisan yang telah ditetapkan oleh fakultas.
E. Sistematika Pembahasan
Secara ringkas, sistematika penelitian sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang, identifikasi, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review)
kajian terdahulu, serta sistematika pembahasan.
BAB II TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Dalam bab ini peneliti membahas mengenai kajian pustaka,
kerangkateoritis dan tinjauan (review) kajian terdahulu yang
terkait denganpertimbangan hakim dalam Pengadilan
Hubungan Industrial.
BAB III LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI
KUASA HUKUM DALAM SENGKETA DI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
112/K/Pdt.Sus-PHI/2017
Mengenai data penelitian, maka peneliti mencantumkan
berbagai putusan-putusan mengenai penolakan gugatan
yang diajukan pekerja dalam memperoleh haknya terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor112 K/Pdt.Sus-
PHI/2017.
13
BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DI
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 112/K/Pdt.Sus-PHI/2017 DALAM
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Analisis yang dihadirkan dalam bab ini berupa gabungan
antara bab IIdan bab III mengenai LEGALITAS
SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM
DALAM SENGKETA DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL (Studi Putusan Terhadap Putusan
Mahkamah Agung Nomor 112/K/Pdt.Sus-PHI/2017).
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini peneliti membuat kesimpulan hasil penelitian
dan rekomendasi. Kesimpulan yang berisi jawaban terhadap
inti masalah penelitian berdasarkan data yang diperoleh.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Di Indonesia, hubungan industrial melibatkan para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pada
tahun 1974, dikenal dengan istilah Hubungan Perburuhan Pancasila.11
Namun pada pelaksanaannya, istilah ini tidak popular, sehingga
digunakan istilah hubungan industrial, yang mengedepankan fungsi para
pihak dalam hubungan industrial guna mencapai cita-cita negara. Pada
prinsipnya, tujuan yang ingin dicapai dalam hubungan industrial adalah
ke tangan bekerja bagi para pekerja dan kelangsungan usaha bagi
pengusaha untuk itulah diperlukan peran pemerintah sebagai pihak yang
tidak terlibat langsung dalam hubungan kerja, dapat bersifat netral dan
dapat menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam
hubungan kerja.12
Telah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945
yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kehidupan”. Namun masih banyaknya
Pengusaha atau Perusahaan yang tidak memperhatikan para pekerja
sebagai modal utama memajukan produksinya membuat banyak
perselisihan terjadi.
Sarana yang dibutuhkan untuk terciptanya hubungan industrial
yang ideal di Indonesia, yaitu: serikat pekerja/serikat buruh seperti yang
11 Bomer Pasaribu, Dunia Kerja dan Perspektif Hubungan Industrial di Era Industrialisasi
dan Liberalisasi Ekonomi Pasar, (Jakarta:Sumber Rezeki, 1995), h. 33-38. 12 Siti Hajati Hoesin, Asas-Asas Hukum Perburuhan, (Jakarta:Radjawali, 2014), h. 65-66.
15
terdapat pada Pasal 28J Undang-undang Dasar 1945 yang
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Organisasi pengusaha, lembaga kerja sama bipartit yang terdapat
dalam Pasal 106 Undang-Undnag Nomor 13 Tahun 2003, lembaga kerja
sama tripartite terdapat dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, peraturan perusahaan terdapat dalam Pasal 108 sampai
dengan Pasal 115 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, perjanjian
kerja Bersama terdapat dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 135
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan dan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang terdapat dlam Pasal 136 Undang-Undnag Nomor 13
Tahun 2003 dan dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.13
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal
dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan
ketenagakerjaan yang belum ditetapkan, baik dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, maupun perundang-
undangan.14
Prof. Iman Soepomo menyebutkan dua bentuk perselisihan yang
mungkin terjadi dalam hubungan kerja.15 Pertama, perselisihan hak
(recthsgeschillen), yaitu jika masalah yang diperselisihkan termasuk
bidang hubungan kerja, maka yang diperselisihkan adalah mengenai hal
yang telah diatur atau ditetapkan dalam suatu perjanjian kerja, perjanjian
kerja bersama, peraturan perusahaan, atau dalam suatu peraturan
perundang-undangan.
13 Siti Hajati Hoesin, Asas-Asas Hukum Perburuhan, … h. 66. 14 Anwar Budiman, Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perlindungan Hukum terhadap
Pelaksanaan Perjanjian Kerja: Mekanisme Perjanjian Kerja pada Perusahaan Sektor Otomotif di
Indonesia. Disertasi Program Doktor Hukum Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana
Jakarta,2018. h. 241. 15 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, … h. 128.
16
Kedua, perselisihan kepentingan (belangengeschillen), yaitu tidak
adanya persesuaian paham mengenai perubahan syarat-syarat kerja
dan/atau keadaan perburuhan, biasanya berupa tuntutan perubahan atau
perbaikan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Misalnya
dalam pembaruan suatu Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja. Tuntutan kenaikan upah, tuntutan diberikannya
tunjangan kemahalan, tunjangan anak dan sebagainya yang sebelumnya
tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, atau Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004, jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:16
a. Perselisihan hak
b. Perselisihan kepentingan
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 perselisihan
hubungan industrial tidak hanya mencakup perselisihan hak dan
perselisihan kepentingan saja, tetapi juga perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja di dalam suatu
perusahaan. Jika kita telaah, hanyabterdapat 2 (dua) jenis perselisihan
dalam hubungan industrial, yaitu perselisihan hak dan perselisihan
kepentingan. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja sebenarnya masuk
kategori sebagai akibat konsekuensi dari terjadinya pelanggaran suatu
peraturan perundang-undangan, atau tidak dilaksanakannya suatu aturan
oleh pengusaha atau oleh buruhnya itu sendiri, atau serikat pekerja.
Sedangkan perselisihan antar serikat pekerja/buruh merupakan
perselisihan yang para pihaknya adalah antara Serikat Buruh yang satu
dengan Serikat Buruh yang lain tidak termasuk pengertian perselisihan
hubungan industrial karena mereka tidak mempunyai hubungan kerja.
16Abdullah Sulaiman, dan Andi Walli, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, …, h. 182.
17
Dari ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, masing-masing diberikan
batasan dalam rangka proses penyelesaian. Dapat diketahui bahwa
bentuk Perselisihan Hubungan Industrial ada empat, yaitu sebagai
berikut:
Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Misalnya Serikat
Buruh menafsirkan ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama berhak
cuti dengan upah penuh, sedangkan pengusaha menafsirkan ketentuan
Perjanjian Kerja Bersama buruhtidak berhak cuti dengan upah yang tetap
dibayar.
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peratura perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Misalnya: Tuntutan Serikat Buruh akan kenaikan upah sebesar
50% atau tuntutan buruh akan tunjangan anak, istri dan lain sebagainya
yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Misalnya: Buruh
menolak untuk diputuskan hubungan kerjanya, karena pesangonnya tidak
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau nilainya masih lebih
rendah daripada perhitungan undang-undang.
18
Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak
adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan.17
2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Pembedaan pengertian perselisihan perburuhan tersebut
dimaksudkan untuk membedakan kewenangan lembaga perselisihan
dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Mediasi diberi
kewenangan dalam menangani 4 (empat) macam perselisihan hubungan
industrial yaitu, mencakup perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh di dalam suatu perusahaan. Konsiliasi diberi
wewenang menyelesaikan 3 (tiga) macam perselisihan hubungan
industrial yaitu: perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
didalam suatu perusahaan. Arbitrase diberi kewenangan menyelesaikan 2
(dua) macam perselisihan hubungan industrial, yaitu: perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
suatu perusahaan.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk
mencapai mufakat, yang harus selesai paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Penerapan musyawarah untuk mufakat dalam proses penyelesaian
perselisihan tercermin dalam Pasal 3 ayat (1) Undnag-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak
17 Payaman J. Simanjuntak, Peranan Serikat Pekerja dalam Paradigma Baru Hubungan
Industrial di Indonesia, (Jakarta: HIPSMI, 2000) h. 62.
19
mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Sebaliknya, jika dalam perundingan para pihak mencapai kesepakatan
maka dibuat perjanjian bersama yang wajib didaftarkan pada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah diadakannya
Perjanjian Bersama. Dalam hal ini maka perjanjian bersama mengikat
dan wajib dilaksanakan para pihak. Hal tersebut telah tertera dalam Pasal
3 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.18
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka para pihak dapat
melanjutkan proses ke tahap tripartit dengan beberapa pilihan
mekanisme. Mekanisme Mediasi, Konsiliasi, dan Arbirase yang dapat
dipilih sesuai dengan perselisihan yang akan diselesaikan. Setiap
mekanisme di tingkat tripartit membutuhkan waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari untuk menyelesaikan perselisihan. Produk yang dihasilkan
dari mekanisme mediasi dan konsiliasi berupa anjuran yang dapat
diterima atau tidak dapat diterima para pihak. Apabila tidak dapat
diterima oleh salah satu pihak atau para pihak maka dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.19
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengatur secara khusus tentang
prosedur, mekanisme, dan tata cara berperkara ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Sesuai dengan ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Aquo,
ditegaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan
Industrial adalah Hukum Acara Perdata kecuali yang diatur secara
khusus dalam Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial. Gugatan
tersebut diperiksa dan diputus selama paling lambat 50 (lima puluh) hari.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial bersifat final and binding
(terakhir dan mengikat) terhadap gugatan perselisihan kepentingan.
18Widodo Suryandono dan Aloysius Uwiyono, Asas-asas Hukum Perburuhan,
(Jakarta,Rajawali Pers:2014) h. 144. 19 Muhammad Isnu, Pratiwi Febry dkk, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial Di
Indonesia. (Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta: 2014), h. 31.
20
Sedangkan putusan terhadap gugatan perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja dapat diajukan upaya kasasi ke Mahkamah
Agung.
Meskipun di dalam Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial perselisihan mulai dari bipartit sampai dengan
tingkat Mahkamah Agung paling lama 140 hari, namun dalam
prakteknya, sebagaimana akan digambarkan dalam temuan penelitian,
jangka waktu tersebut selalu dilanggar.20 Masyarakat memiliki harapan
yang tinggi terhadap Pengadilan Hubungan Industrial, hal ini merupakan
respon yang logis dan rasional. Masalahnya, para pekerja/buruh sudah
bersikap sangan skeptis dan tidak percaya lagi terhadap institusi
P4P/P4D yang dianggap telah gagal menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial secara cepat, tepat, adil dan murah.21
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan
dilaksanakan oleh Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu suatu proses
penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh pihak ketiga melalui
Pengadilan Hubungan Industrial, yang merupakan pengadilan khusus
yang dibentuk di lingkup Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Hubungan
Industrial, perselisihan hubungan industrial akan diperiksa dan diputus
oleh hakim, terdiri dari hakim karier, hakim ad-hoc yang
pengangkatannya atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha.22
Dalam proses peradilan umum, yang menerapkan Hukum Acara
Perdata,23 sebelum sidang dimulai hakim biasanya menawarkan
perdamaian (lembaga dading). Dalam hal ini hakim hanya berfungsi
sebagai fasilitator, tidak ikut mencampuri pokok perkara. Apabila
perdamaian tidak dicapai, baru kemudian sidang dilanjutkan. Lain halnya
20 Muhammad Isnu, Pratiwi Febry dkk, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial Di
Indonesia. … h. 32. 21 Juanda Pangaribuan dkk, Catatan Akademik Rancangan Undang-Undnag Pengadilana
Hubungan Industrial, (Jakarta, TURC, 2012), h. 15. 22Widodo Suryandono dan Aloysius Uwiyono, Asas-asas Hukum Perburuhan, …, h. 143. 23 Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, cet I, …. h. 150.
21
proses yang terjadi di Pengadilan Khusus Hubungan Industrial, Hakim
harus aktif mengupayakan terjadinya perdamaian, sehingga apabila para
pihak telah mufakat untuk berdamai, maka hal tersebut dijadikan putusan
oleh hakim. Dalam hal ini jelas perbedaannya dengan lembaga dading,
karena dalam Pengadilan Khusus Hubungan Industrial telah menerapkan
Alternative Dispute Resolution (ADR) yang memungkinkan hakim lebih
aktif menerapkan (Alternative Dispute Resolution (ADR)connect to
court).
Dalam perkembangan hukum, bentuk penyelesaian secara non
litigasi saat ini sedang digalakkan di semua negara, mengigat beberapa
keunggulan dari sistem penyelesaian non litigasi. Menurut M. Harahap
bahwa proses litigasi dianggap tidak efektif dan efisien, terutama di zaman
sekarang yang ditandai dengan beberapa gejala, yaitu business in global
village, free market dan free competition, bahkan lebih jauh banyak kritik
yang dilontarkan terhadap badan peradilan.24
Penyelesaian perselisihan secara non litigasi dapat dilakukan
melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Sesuai dengan Pasal 2 butir 11
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa mediasi adalah
penyelesaian perselisihan perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah ditengahi oleh
seorang atau lebih mediator yang netral.
3. Peran Serikat Pekerja
Serikat buruh adalah suatu organisasi yang didirikan oleh dan
untuk buruh secara sukarela, berbentuk kesatuan dan mencakup lapangan
pekerjaan, serta disusun secara vertikal dari pusat sampai unit-unit kerja
(basis). Menurut Pasal 1 ayat (17) Undang- Undang No 13 Tahun 2013,
24 Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Bila di PHK, Visi Media, (Jakarta : 2006), h. 11.
22
pengertian dari serikat buruh atau serikat pekerja adalah “Organisasi yang
dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja atau buruh, baik diperusahaan
maupun diluar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya”.
Menurut Kartasapoetra,Bahwa yang dimaksud dengan Organisasi
buruh di tanah air kita adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk
kaum buruh secara sukarela yang berbentuk Serikat Buruh dan Gabungan
Serikat buruh.25
Serikat buruh atau pekerja telah dijelaskan bahwa suatu organisasi
atau perkumpulan pekerja/buruh untuk memperjuangkan dan membela hak
dari para pekerja atau buruh yang tertindas. Suatu serikat pekerja harus
mengandung sifat-sifat sebagai berikut:
a. Bebas, maksudnya bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan
hak dan kewajibannya serikat pekerja tidak dibawah pengaruh dan
tekanan dari pihak lain. Terbuka, bahwa serikat pekerja dalam
menerima anggota dan atau memperjuangkan pekerja tidak
membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin.
b. Mandiri, bahwa dalam mendirikan, menjalankan dan
mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri, tidak
dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.
c. Demokratis, bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan
pengurus, memperjuangkan dan melaksanakan hak dan kewajiban
organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.
Bertanggung Jawab, Bahwa hak dalam mencapai tujuan dan
melaksanakan kewajibannya serikat pekerja bertanggung jawab
kepada anggota, masyarakat dan negara.
25 Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia, … h. 14.
23
Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia peran
serikat pekerja adalah berupaya meningkatkan kesejahteraan para anggota
dan keluarganya. Namun lebih lanjut, peran serikat pekerja secara implisit
dapat dilihat dari tujuan dan fungsi serikat pekerja sebagai berikut.
a) Tujuan Serikat Pekerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000,
serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan,
pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan
yang layak bagipekerja/buruh dan keluarganya.
Menurut Zaeni, serikat pekerja mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan
ke luar dan ke dalam. Dimana tujuan ke luar yaitu meningkatkan
kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya, misalnya
dengan mendirikan koperasi pekerja/buruh. Sedangkan tujuannya ke
dalam adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan
kepentingan pekerja/buruh dari pengusaha.26
b) Fungsi Serikat Pekerja
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000
mengenai Serikat Pekerja/Serikat Buruh, adalah Serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan
memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya. Sedangkan fungsi serikat pekerja dijabarkan di Pasal yang
sama ayat (2), yaitu:
1) Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja Bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial.
26 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja.
Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada (Jakarta:2007), h. 25.
24
2) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam Lembaga kerja sama di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya.
3) Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4) Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak
dan kepentingan anggotanya.
5) Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab
pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan
kepemilikan saham di perusahaan.
B. Kerangka Teoritis
Dalam rangka reformasi Hukum Ketenagakerjaan diperlukan perangkat
aturan hukum yang dapat mewujudkan hubungan yang harmoni antara
pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan, atau sebaliknya antara pengusaha/
majikan dengan pekerja/buruh, melalui pelaksanaan hak dan kewajiban
secara konsisten, terutama dalam hal perlindungan hak-hak pekerja/buruh
yang biasanya dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan
pengusaha/ majikan. Untuk terwujudnya hubungan yang harmoni antar para
pihak komunitas masyarakat industrial telah ada perangkat peraturan hukum
ketenagakerjaan diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang- Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dan untuk pelaksanaan hukum materil juga
telah ada hukum formal yaitu Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Indistrial. Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 dibentuk PHI (Peradilan Hubungan Industrial) yaitu peradilan yang
khusus menangani perselisihan hubungan industrial.
1. Teori Tujuan Hukum
25
Teori tujuan hukum menurut Gustav Radburch, terdiri dari
Keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Menurutnya keadilan haruslah
ditempatkan pada posisi pertama dan utama daripada kemanfaatan dan
kepastian. Secara historis, pada awalanya Gustav Radburch tidak
menempatkan keadilan pada posisi pertama, namun menempatkan pada
posisi 2 setelah kepastian. Namun, ia melihat kenyataan bahwa dengan
teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi menyalahgunakan
hukum tersebut dengan melegalisasi praktek-praktek yang tidak
berperikemanusiaan pada perang dunia kedua.
Melihat keadaan tersebut, Radburch pun akhirnya meralat teorinya
tersebut dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang
lain. Bahwa sejatinya hukum dibuat untuk menciptakan suatu ketertiban
melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan mengenai kepentingan-
kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang, sehingga setiap
orang memperoleh keadilan. Bahkan dapat dikatakan bahwa seluruh
sejarah filsafat hukum memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan
sebagai tujuan hukum. Keadilan dan Kepastian merupakan dua nilai yang
diterapkan di dalam hukum. Pemikiran filsafat hukum seringkali
mempersoalkan kedua nilai tersebut, hal inilah yang menimbulkan asumsi
jika keadilan dan kepastian merupakan suatu antinomi, sehingga filsafat
hukum dimaknai sebagai pencarian atas keadilan yang berkepastian atau
kepastian yang berkeadilan.27
Menurut Gustav Radburch, hukum harus mengandung tiga nilai
identitas yang melekat di dalam hukum itu sendiri, yakni adanya keadilan
hukum (gerechtigheit) yang ditinjau melalui sudut filosofis hukum itu
sendiri. Adanya kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) yang dintinjau
melalui sudut sosiologis. Dan yang terakhir yakni adanya kepastian hukum
(rechtmatigheid) yang ditinjau melalui sudut yuridis. Radburch
27Sidharta. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi
Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan (Jakarta:Komisi
Yudisial Republik Indonesia, 2010). h. 3.
26
mengatakan bahwa ketiga nilai dasar dalam tujuan hukum tersebut tidak
selalu berada dalam kesatuan yang harmonis satu sama lain. Pada faktanya
keadilan bisa bertabrakan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum.
Selain itu, tuntutan kemanfaatan bisa juga bertabrakan dengan keadilan
dan kepastian hukum dan seterusnya.
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah
ketika hukumtersebut memuat unsur keadilan, kepastian hukum dan
kegunaan. Artinya, meskipun ketiga unsur tersebut merupakan nilai dasar
hukum, namun pada dasarnya masing-masing nilai mempunyai tuntutan
yang berbeda satu sama lain, sehingga ketiganya mempunyai potensi
untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan dan
menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut.Karenanya,
nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai suatu kesatuan
hukum itu sendiri.Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif
sekaligus konstitutifbagi hukum. Dalam hal ini, keadilan menjadi landasan
moral hukum dansekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Karenanya,
kepadakeadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif,
karenakeadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum. Artinya, ketika di
dalam hukum tidak terdapat suatu keadilan, itu merupakan suatu aturan
yang tidak pantas menjadi hukum.
2. Teori Perlindungan Hukum Tenaga Kerja
Menurut M. Solly Lubis, perlindungan hukum berarti perlindungan
yang diberikan melalui hukum (rechts bescherming) terhadap status
(kedudukan) ataupun hak, misalnya: hak memilih, hak dipilih, hak
berusaha, atau hak khusus sebagai warga negara sebagai penduduk negara,
rakyat dan sebagainya.28
Perlindungan kerja terhadap tenaga kerja/buruh merupakan sesuatu
yang mutlak dalam pemborongan pekerjaan, hal ini sesuai dengan
28Abdullah Sulaiman, dan Andi Walli, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, …, h. 90.
27
KEPMENAKERTRANS No. KEP-101/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara
Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh.
Imam Soepomo, yang dilengkapi oleh Abdullah Sulaiman,
menyatakan bahwa bentuk pola perlindungan perburuhan meliputi antara
lain:
a. Perlindungan Ekonomis, sebagai perlindungan syarat-syarat kerja atau
syarat-syarat perburuhan diatur dalam peraturan mengenai hubungan
kerja dan perjanjian kerja.
b. Perlindungan Keselamatan Kerja, yakni memberikan perlindungan
kepada buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh
alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
c. Perlindungan Kesehatan Kerja, perlindungan ini akibat buruh hasil
teknologi industry dan non-industri lainnya karena kadang kala terjadi
perlakuan majika terhadap buruh yang semena-mena dan kadang-
kadang kurang berperikemanusiaan terhadap beban kerja buruh.
d. Perlindungan Hubungan Kerja, terhadap pekerjaan dijalankan oleh
buruh untuk majikan dalam hubungan kerja dan menerima upah.29
e. Perlindungan Kepastian Hukum, yang berupa perlndungan hukum
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya
hukum sanksi pelanggaran peburuhan yang sifatnya memaksa,
sekeras-kerasnya dan setegas-tegasnya terhadap sanksi pidana yang
berisi perintah atau larangan.30
Menurut Imam Soepomo, membagi perlindungan menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu:
a. Perlindungan Ekonomis, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk memberikan penghasilan yang cukup untuk
29 Iman Supomo, Huku Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Buruh), … , h.
2-5. 30 Abdullah Sulaiman, Hukum Perburuhan-I, BahannMatakuliah Hukum Perburuhan
Program Magister Ilmu Hukum UIJ, h. 38.
28
memenuhi keperluan sehari-hari bagi dirinya sendiri beserta
keluarganya, termasukjika ia tidak mampu lagi bekerja
karenasesuatu hal yang dikehendakinya.
b. Perlindungan Sosial, yaitu perlindungan agar tenaga kerja dapat
melakukan kegiatan kemasyarakatan. Tujuannya untuk
memungkinkan dirinya dapat mengembangkan kehidupan bagi
manusia pada umumnya dan sebagai anggota masyarakat dan
keluarga pada khususnya.
c. Perlindungan Teknis, yaitu perlindungan untuk kaum buruh dari
bahaya kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan
yang digunakan oleh perusahaan.
Dalam kerangka konsep, akanmengulas dari pemahaman hak asasi.
Jelas perlindungan hukum merupakan manifestasi dari hak asasi manusia
(HAM). Perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia dapat
disimpulkan dari ketentuan Pasal 28D Ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 yang mengamandemen Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Review atau kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa
penelitian yang sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun
penelitian-penelitian lainnya yang pernah membahas tentang
ketenagakerjaan, yaitu:
1. Skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN
PEMBERIAN HAK-HAK BAGI PEKERJA YANG MENGALAMI
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (Studi kasus putusan
pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Kota
Semarang)”, Oleh Lim Kurnia Wijaya, NIM 12.20.0020, Program
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas
29
Katolik Soegijapranata, 2016. Skripsi ini berisi tentang sumber daya
manusia memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan,
sebab dengan tidak adanya pekerja yang professional/kompetitif,
perusahaan tidak dapat melakukan aktivitasnya secara maksimal
meskipun semua peralatan modern yang diperlukan telah tersedia.
Oleh sebab itu agar pekerja dapat bekerja lebih produktif dan
professional dengan didorong oleh rasa aman dalam melakukan segala
aktivitasnya, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/sekirat buruh,
dan pemerintah , harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud
pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan
serikat pekerja/serikat maka tahap selanjutnya adalah pengadilan.
Adapun metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekata
yuridis normatif dan dilengkapi dengan data primer yang berupa
pertimbangan hakim dalam member putusan dalam suatu perkara.
Penelitian ini dikhususkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan hak-
hak pekerja yang mengalami Pemutusan Hak Kerja (PHK), setelah
adanya putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial Semarang.
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” Oleh
sebab itu pertimbangan hakim sangatlah penting untuk seorang hakim
dalam mengambil suatu putusan yang nantinya akan menyelesaikan
masalah yang ada dengan seadil mungkin.31
2. Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Mediasi dalam Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Studi kasus antara PT Sentosa
31 Lim Kurnia Wijaya, Tinjauan Yuridis Terhadap Perimbangan Hakim dalam
menetapkan Pemberian Hak-Hak Bagi Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Kota Semarang),
Skripsi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang 2016.
30
Adi Makmur dan Pekerja” Oleh Aidha Hartina Putri, 2019, Skripsi
S1 Hukum, Universitas Gadjah Mada. Penelitian hukum ini bertujuan
untuk mengetahui dan menganalisa penyebab tidak terjadinya
kesepakatan pada tahap bipartit dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial anatara PT Sentosa Adi Makmur (PT SAM) dan
pekrja, upaya pelaksanaan mediasi setelah terjadinya kegagalan pada
tahap perundingan bipartit dalam penyelesaian hubungan industrial
antara PT SAM dan pekerja, dan akibat dari kesepakatan mediasi
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara PT SAM
dan pekerja. Penelitian ini merupakan normatif-empiris dengan sifat
deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh dari wawancara dengan responden serta data sekunder yang
diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari hasil
penelitian kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif dengan
penguraian secara deskriptif. Indonesia menganut hubungan industrial
berdasarkan pancasila yang terbentuk antara pelaku dalam
pekerja,pengusaha,pemerintah yang didasarkan nilai dalam UUD
1945. Hubungan pengusaha dan pekerja berdasarkan perjanjian kerja
yang mempunyai unsur upah dan perintah. Untuk menyelesaikan
perselisihan dengan damai cenderung lebih efektif dibanding
berperkara di pengadilan yang memakan waktu lama dan biaya yang
mahal. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan (1)
penyelesaian bipartit gagal dikarenakan salah satu pihak menolak
untuk berunding dan melakukan pengaduan kepada instansi Dinas
tenaga Kerja Kota Surabaya (2) pelaksanaan mediasi yang dilakukan
berjalan dengan satu hari kerja tanpa hambatan dan halangan dikarena
semua pihak setuju dengan kesepakatan yang dilakukan (3) akibat
kesepakatan mediasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial adalah mengikat kedua belah pihak karena mediasi hanya
berupa anjuran yang menimbulkan perikatan untuk dapat dipaksakan
(1) perusahan untuk melakukan perundingan terlebih dahulu kepada
31
pekerja ketika masalah itu muncul (2) Dinas tenaga Kerja Kota
Surabaya diharapkan lebih sesuai prosedur ketika perundingan bipartit
belum dilakukan (3) dan pekerja yang telah di penuhi hak-haknya
untuk tidak melakukan tuntutan apapun dikemudian hari.32
3. Buku yang berjudul “Membaca Pengadilan Hubungan Industrial” di
Indonesia
Buku ini adalah hasil penelitian dari tim LBH Jakarta. Dan tim
penelitinya adalah Muhammad Isnu, Pratiwi Febry, Restaria Hubarat,
Eny Rofiatul N, Arif Maulana, Maruli Tua Rajaguguk, Anugerah Rizki
Akbari, Ajeng Tri Wahyuni, Pratiwi Febry. Diterbitkan oleh Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta pada tahun 2014. Dan yang menjadi kajian
komperhensif dari buku ini adalah melihat cara Pengadilan Hubungan
Industrial dalam menyelesaikan perkara yang mayoritas penggugatnya
adalah buruh/pekerja.33
4. Jurnal dengan “ANALISIS HUKUM PUTUSAN HAKIM DALAM
PERKARA PERSELISIHAN HAK DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL PEKANBARU (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor
24/G/2012/PHI.PBR).” Ditulis oleh Tria Hassanuddin, JOM Fakultas
Hukum Volume 2 Nomor 2, 2 Oktober 2015.34
32 Aidha Hartina Putri, Pelaksanaan Mediasi dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (Studi kasus antara PT Sentosa Adi Makmur dan Pekerja, Universitas Gadjah Mada
2019. 33 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, “Membaca Pengadilan Hubungan Industrial” di
Indonesia, Jakarta 2014. 34 Tria Hassanuddin, ANALISIS HUKUM PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA
PERSELISIHAN HAK DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PEKANBARU (Studi Kasus
Terhadap Putusan Nomor 24/G/2012/PHI.PBR), JOM Fakultas Hukum Volume 2 Nomor 2, 2
Oktober 2015.
32
BAB III
LEGALITAS SERIKAT PEKERJA SEBAGAI KUASA HUKUM
DALAM SENGKETA DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
(Studi Kasus Putusan Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/2017)
A. Kronologi Kasus di PT Araputra Fortuna Perkasa
Ubaidillah, Muhammad Agus, Nurdin, M. Hasbullah, Abdul
Wahid, Yayat Ahmad Hidayat, dan Junaedi yang dalam hal ini merupakan
pekerja di PT. Araputra Fortuna Perkasa meminta haknya kepada perusahaan
yang melakukan tindakan melawan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Berawal dari permasalahan upah yang diminta para
pekerja karena tidak sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten. Mendapatkan
upah merupakan tujuan dari pekerja dalam melakukan pekerjaaan. Setiap
pekerja selalu mengharapkan adanya upah yang lebih banyak dan selalu
mengalami peningkatan. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu penjanjian kerja, kesepakatan atau
peraturan perundnag-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
Pemberian upah yang diberikan kepada pekerja oleh PT Araputra
Fortuna Perkasa tidak sesuai dengan upah minimum yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 90 ayat (1) menyebutkan
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang
diatur dalam Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.Dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum disebutkan
33
pula bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari
Upah Minimum yang telah ditetapkan.Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 Pasal 15 ayat (2) Tentang Upah
Minimum menyebutkan bahwa Upah minimum hanya berlaku bagi
pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari (1) Tahun.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sebagaimana
diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa PT Araputra Fortuna Perkasa
sebagai perusahaan yang tidak memberikan hak para pekerjanya sehingga
memberikan dampak terlanggarnya perlindungan ekonomis.
1. Bahwa kasus ini bermula ketika pada tanggal 25 Maret 2015 para
penggugat mengirim surat ke pimpinan perusahaan Tergugat
mempertanyakan upah para penggugat yang diterima masih dibawah
ketentuan Upah minimum Kabupaten Tangerang dan meminta Tergugat
untuk mematuhi ketentuan Upah Minimum yang berlaku di Kabupaten
Tangerang;
2. Bahwa pada hari Rabu tanggal 1 April 2015 sekitar pukul 14.00 WIB
pihak Tergugat merespon surat tersebut, dengan memanggil para
Penggugat menghadap Pimpinan perusahaan Bpk Tamrin di ruangannya,
dalam pertemuan tersebut pimpinan perusahan menyampaikan sekaligus
meminta para Penggugat untuk segera mencabut tuntutannya dan
diberikan waktu untuk berpikir selama sebulan. Apabila dalam sebulan
para Penggugat tidak juga menarik tuntutannya secara tertulis maka para
Penggugat akan di PHK, selama dalam proses berpikir para Penggugat
tidak diizinkan masuk kerja (dirumahkan);
3. Bahwa pada hari senin tanggal 4 Mei 2015 para Penggugat mendatangi
perusahaan tempat para Penggugat bekerja dengan tujuan masuk bekerja
kembali seperti biasa namun ditolak Tergugat karena tidak bisa
menunjukan surat pencabutan tuntuan sebagaimana yang di minta
Tergugat;
4. Bahwa atas tindakan Tergugat yang tidak mengizinkan para Penggugat
bekerja seperti biasa maka pada tanggal 8 Mei 2015 para Penggugat
34
mengirim surat yang isinya menolak sikap Tergugat dan meminta untuk
bertemu agar para Penggugat diizinkan bekerja kembali seperta biasa
namun Tergugat tidak meresponnya;
5. Bahwa pada hari senin tanggal 25 Mei 2015 para Penggugat kembali
mengirim surat yang isinya menolak PHK sepihak dan meminta bertemu
untuk melakukan perundingan secara Bipartite tetapi pihak Tergugat lagi
lagi tidak mau bertemu dan berunding dengan para Penggugat.
6. Bahwa tindakan Tergugat yang melakukan PHK terhadap Penggugat tanpa
didahului Surat peringatan kepada Para Penggugat, jelas-jelas telah
melanggar ketentuan :
a. Pasal 161 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyebutkan :
“(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja, SETELAH kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan Surat Peringatan pertama, kedua dan ketiga
secara berturut-turut;
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-
masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali
ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.”
b. Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyebutkan :
“(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
35
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/buruh.”
“(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.”
7. Bahwa atas tidak diresponnya dua surat Penggugat melalui OPSI kepada
Tergugat maka berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Indutrial pihak
Penggugat membawa dan mencatatkan kasus ini ke Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Tangerang pada tanggal 10 Juni 2015 dengan surat Nomor
057/E/Adv/VI/2015;
8. Bahwa atas pencatatan yang dilakukan Penggugat maka Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Tangerang melakukan sidang mediasi. Bahwa selama 4
kali pemanggilan sidang mediasi pihak Tergugat tidak pernah hadir di
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang;
9. Bahwa atas kebuntuan di tingkat mediasi tersebut maka Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Tangerang telah mengeluarkan Surat Anjuran Nomor
567/5761/Disnakertrans tanggal 05 Okober 2015 yang pada pokoknya
menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat
tetap berlanjut (tidak terputus) dan upah selama proses agar dibayarkan;
10. Bahwa mengingat pasca dikeluarkannya surat anjuran, Tergugat tidak
memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kasus ini, maka Para
Penggugat akhirnya menggugat Tergugat ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Serang;
36
B. Kronologi Kasus di Pengadilan Hubungan Industrial Serang
Pengadilan Hubungan Industrial Serang telah menerima
permohonan keberatan atas sikap Araputra Fortuna Perkasayang tidak
mengindahkan Surat Anjuran Nomor 567/5761/Disnakertrans tanggal 05
Okober 2015 yang pada pokoknya menyatakan hubungan kerja antara Para
Penggugat dengan Tergugat tetap berlanjut (tidak terputus) dan upah selama
proses agar dibayarkan, telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang pada hari Kamis tanggal
28 Januari 2016, dibawah register Nomor: 20/SK.PHI.G/ - /2016/PN.Srg,
dengan Para Pekerja disebut sebagai Penggugat dan PT Araputra Fortuna
Perkasa disebut sebagai TERGUGAT.35
Surat Anjuran Nomor 567/5761/Disnakertrans tanggal 05 Okober
2015 yang pada pokoknya menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat
dengan Tergugat tetap berlanjut (tidak terputus) dan upah selama proses agar
dibayarkan. Sebagai Anjuran dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan Perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat,
telah dilaksanakan namun gagal maka para pekerja menempuh upaya hukum
mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan alasan dan
dasar hukum sebagai berikut :
1. Menyatakan hubungan kerja yang bersifat harian lepas antara Tergugat
dengan Para Penggugat adalah batal demi hukum.
2. Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dan Para Penggugat demi
hukum berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat tetap/permanen
berdasarkan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) terhitung
sejak Para Penggugat mulai bergabung/bekerja di Perusahaan Tergugat.
35Terdapat dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Serang Perkara Nomor
07/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg.
37
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mempekerjakan kembali para
Penggugat sebagai karyawan tetap di Tergugat di posisi semula;
4. Menyatakan perbuatan Tergugat membayar upah dibawah ketentuan upah
minimum dan tidak memberikan Uang Tunjangan Hari Raya kepada para
Penggugat merupakan ”Perbuatan Melawan Hukum” dan/atau Tindak
Pidana Kejahatan di Bidang Ketenagakerjaan.
5. Menghukum/memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar hak-hak
Para Penggugat (berupa upah selama proses, upah lembur, kekurangan
pembayaran UMK 2014 dan 2015 serta kekurangan pembayaran THR
2014 dan 2015), sebagaimana telah diuraikan pada butir 23 di atas
dengan nilai total masing-masing sebesar :
Penggugat-1 (a/n Ubaidillah) .……………...………...Rp. 64.565.218,-
Penggugat-2 (a/n Muhamad Agus) .………….....…....Rp.66.995.218,-
Penggugat-3 (a/n Nurdin) .………….....……………….Rp. 66.995.218,-
Penggugat-4 (a/n M.Hasbulah) .………….....………....Rp. 54.045.334,-
Penggugat-5 (Abdul Wahidi) .………….....……………Rp. 66.995.218 -
Penggugat-6 (a/n Yayat Ahmad Hidayat) .…………......Rp. 66.995.218,-
Penggugat-7 (a/n Junaedi) .……………….....………....Rp. 66.995.218 -
6. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar/menyetorkan premi
JHT (Jaminan Hari Tua) sebesar 3,7% dari upah/bulan (berdasarkan
UMK dari setiap tahunnya) secara akumulatif kepada PT. Jamsostek
(yang sekarang telah berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan), terhitung
sejak masing-masing Penggugat bergabung/bekerja di Perusahaan
Tergugat.
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
8. Pekerja Memohon agar Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
Serang yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menerima dan
mengabulkan permohonan keberatan yang diajukan seluruhnya.
Pada Pengadilan Hubungan Industrial Serang, PT Araputra Fortuna
Perkasa memberikan tanggapan atas gugatan dari penggugat sebagai berikut:
38
1. Kuasa hukum Penggugat tidak berhak bertindak untuk dan atas nama
Penggugat Prinsipal
Dalam dalil gugatan disebutkan pada pokoknya sebagai berikut:
a. Didalilkan bahwa Para Penggugat Prinsipal tidak dapat
menjelaskan sejak kapan dimulainya bekerja pada Tergugat (Vide
dalil profil Para Penggugat No.3).
b. Para Penggugat Prinsipal adalah bukan anggota Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI) dan OPSI tidak tercatat di Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Tangerang akan
tetapi tercatat di Suku Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
Jakarta Selatan. Hal ini menjadi tidak sah karena keanggotaan Para
Penggugat Prinsipal pada OPSI atau SPPI tidak pernah dilaporkan
kepada Tergugat.
c. Bahwa selanjutnya Organisasi Serikat Pekerja dimana Kuasa
Hukum para Penggugat bernaung tidak terdaftar pada Tergugat.
Lagipula Penggugat prinsipal tidak pernah melaporkan kepada
Tergugat perihal kepesertaannya di Organisasi Serikat Pekerja.
d. Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Serikat
Pekerja / Serikat Buruh, yang berbunyi:
Serikat pekerja / serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja / serikat buruh yang telah terbentuk
memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang ketenagaakerjaan setempat untuk
dicatat.
Bahwa berdasarkan alasan tersebut diatas maka Kuasa Hukum Penggugat
tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat prinsipal.
1. Gugatan Penggugat tidak dilampiri risalah bipartit oleh karenanya gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima karena cacat formil.
39
a. Bahwa pada tanggal 19 Februari 2016 Tergugat menerima Relaas
Panggilan Sidang Nomor: 07/Pdt.SUS-PHI/2016/PN.Srg. melalui
Jurusita Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Serang yang dalam Relaas Panggilan Sidang tersebut dilampiri
Surat Gugatan dari Penggugat, namun dalam Surat Gugatan
tersebut tidak ada lampiran Risalah Penyelesaian Melalui Mediasi
atau Konsiliasi sebagaimana yang diwajibkan dalam Pasal 83 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang berbunyi:
“Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian
melalui mediasi atau konsiliasi maka hakim Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat’.
b. Bahwa hal tersebut juga telah ditegaskan kembali dalam Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Buku II dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia Edisi 2007 dalam Bab
Teknis Peradilan Pengadilan Hubungan Industrial halaman 116
yang menyebutkan sebagai berikut:
“3. Gugatan
1) ..........................
2) ..........................
3) Gugatan yang langsung diajukan ke PHI, apabila tidak
dilampiri risalahah penyelesaian melalui Mediasi atau
Konsiliasi maka Hakim PHI wajib mengembalikan gugatan
kepada Penggugat dengan Penetapan Majelis Hakim dan
Perkara tersebut dinyatakan selesai (Pasal 83 Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2004).
4) .........................”
40
2. Fakta lain yang menunjukkan bahwa gugatan Para Penggugat tidak
dilampiri dengan Risalah Penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi
adalah hal-hal yang dituliskan dalam gugatan halaman 1 sampai dengan
halaman 10 tidak disebutkan bahwa gugatan Penggugat dilampiri dengan
Risalah Penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi.
3. Bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas cukup alasan untuk menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil
yaitu tidak dilampiri dengan Risalah Penyelesaian melalui Mediasi atau
Konsiliasi.
Berdasarkan uraian diatas, PT Araputra Fortuna Perkasa selaku
tergugat mempermasalahkan lampiran risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi. Hal tersebut bertentangan dengan hal yang diwajibkan dalam
Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Pedoman Teknis
Peradilan Perdata Buku II dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Edisi
2007 dalam Bab Teknis Peradilan Pengadilan Hubungan Industrial halaman
116.
PT Araputra Fortuna Perkasa meminta kepada majelis hakim
Pengadilan Hubungan Industrial Serang untuk menolak secara keseluruhan
gugatan penggugat karena tidak dapat diterima dan membebankan biaya
perkara dibebankan kepada penggugat.
Bahwa, terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial
Serang telah memberikan putusan Nomor 07/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg.
Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Serang dalam perkara ini
menerima eksepsi dari tergugat dan menolak keseluruhan gugatan penggugat
dan membebankan biaya perkara kepada penggugat.
41
C. Kronologi Kasus di Mahkamah Agung
Para pekerja mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung
melawan PT Araputra Fortuna Perkasa. Para pekerja mengajukan
permohonan kasasi pada tanggal 12 Agustus 2016, sebagaimana ternyata dari
Akta Permohonan Kasasi Nomor 41/Kas/PHI.G/2016/PN.Srg., yang telah
dibuat oleh Panitera Pengadilan Hubungan Industrial Serang, permohonan itu
disertai dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial Serang pada tanggal 22 Agustus 2016.36 Bahwa
berdasarkan memori kasasi yang telah disampaikan kepada Termohon Kasasi
dahulu Tergugat pada tanggal 29 Agustus 2016, kemudian Termohon Kasasi
dahulu Tergugat tidak mengajukan Kontra memori kasasi;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta keberatan-
keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam
undang-undang, sehingga permohonan kasasi tersebut secara formal dapat
diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan
olehPemohon Kasasi dalam memori kasasinya adalah:
1. Bahwa apa yang diuraikan oleh Pemohon Kasasi dalam Gugatan,
Replik, DaftarBukti, dan Kesimpulan pada Persidangan tingkat pertama
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Memori Kasasi
ini;
2. Bahwa Pemohon Kasasi menolak dengan tegas pertimbangan hukum
dan Putusan yang disampaikan oleh Judex Facti PHI karena tidak sesuai
dengan fakta hukum positif yang berlaku yaitu Undang Undang Nomor
21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Judex Facti
36 Teradapat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 112/K/Pdt.Sus-PHI/2017.
42
PHI juga tidak mendasari putusannya pada fakta-fakta bukti yang telah
disampaikan oleh Pemohon Kasasi pada saat persidangan. Bahwa
pertimbangan hukum Judex Facti PHI sangat jauh dari rasa keadilan
dengan hanya membacapasal secara sebagian-sebagian dan tidak
menyeluruh;
Bahwa atas Putusan Judex Facti PHI tersebut, Pemohon Kasasi
mengajukan Permohonan Kasasi dan membuat Memori Kasasi dengan alasan
bahwa Judex Facti PHI :
a. Salah menerapkan dan menginterpretasikan Hukum khususnya Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor 16/Men/2001, serta Bukti-bukti yang ada;
Bahwa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 butir (b) dan (c)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
yang isi lengkapnya adalah sebagai berikut : ”Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-Pengadilan
dari semua Lingkungan Peradilan karena :
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kalalaian itu dengan
batalnya putusanyang bersangkutan Salah menerapkan dan
menginterpretasikan Hukum dan Bukti-bukti yang ada;”
4. Bahwa dalil-dalil dan argumentasi Judex Facti PHI untuk menilai
status afiliasi Serikat Pekerja Araputra Bersatu (SPAB) ke Federasi
Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) adalah Tidak Tepat
43
karena Judex Facti salah menerapkan dan menginterpretasikan
hukum dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 16/Men/2001, serta Bukti-bukti
yang ada di persidangan;
5. Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti PHI yang
mempergunakan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
yang menyatakan bahwa tindakan afiliasi SPAB ke OPSI memiliki
konsekuensi perubahan AD/ART SPAB merupakan sebuah
kesimpulan yang salah. Bahwa Pasal 8 Undang Undang Nomor 21
Tahun 2000 menyatakan bahwa “Penjenjangan organisasi serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar dan/atau
anggaran rumah tangganya”;
6. Bahwa faktanya AD/ART SPAB di Bab V Pasal 16 telah
mencantumkan afiliasi SPAB ke OPSI. Bahwa fakta ini tidak
dilihat dan dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh Judex Facti,
walaupun Pemohon Kasasi (sebelumnya Penggugat) telah
memperlihatkan kepada Majelis Hakim AD/ART SPAB pada saat
persidangan. Bahwa untuk memastikan keberadaan afiliasi SPAB
ke OPSI yang sudah tercantum pada Bab V Pasal 16 maka
Pemohon Kasasi menyertakan kembali AD/ART SPAB sebagai
satu kesatuan dengan Memori Kasasi ini;
7. Bahwa karena afiliasi SPAB ke OPSI telah dituliskan di Bab V
Pasal 16 AD/ART SPAB maka tidak perlu lagi adanya perubahan
AD/ART SPAB untuk menyatakan adanya perjenjangan organisasi
serikat pekerja/serikat buruh yaitu SPAB berafiliasi ke OPSI,
seperti yang diamanatkan Pasal 8 Undang Undang Nomor 21
Tahun 2000;
44
8. Bahwa bukti P-1 dan Bukti P-2 sudah sangat jelas menunjukkan
amanat AD/ART SPAB yaitu SPAB berafiliasi ke OPSI. Bahwa
fakta Bukti P-1 dan Bukti P-2 ini tidak dijadikan pertimbangan
hukum oleh Judex Facti;
9. Bahwa dalil-dalil dan argumentasi Judex Facti dalam Pertimbangan
Hukumnya tidak menjawab Eksepsi Tergugat (saat ini Termohon
Kasasi). Bahwa sebenarnya dalam Eksepsinya Termohon Kasasi
hanya mempertanyakan tentang kapan dimulainya Para Penggugat
(saat ini Pemohon Kasasi) bekerja di Tergugat, OPSI (Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia) tidak terdaftar di Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Tangerang tetapi tercatat di Suku
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan, OPSI dan
SPPI (bukan SPAB) tidak pernah melapor ke Tergugat. Bahwa
seluruh Eksepsi Tergugat tersebut tidak dijawab oleh Judex Facti
dalam Pertimbangan Hukumnya;
10. Bahwa justru Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya hanya
mempertimbangkan tentang keberadaan AD/ART SPAB terkait
dengan afiliasi ke OPSI. Bahwa pertimbangan Judex Facti ini tidak
sesuai dengan Eksepsi yang disampaikan oleh Tergugat (saat ini
sebagai Termohon Kasasi);
11. Bahwa berdasarkan argumentasi point-point di atas sudah sangat
jelas bahwa Judex Facti telah salah dalam mengintepretasikan
hukum dan bukti- bukti yang ada, dan oleh karena itu maka
Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi seharusnya membatalkan
putusan Judex Facti ini;
Bahwa dengan Penjabaran di atas maka Judex Facti PHI telah salah
menerapkan dan menginterpretasikan permasalahan yang ada bukti-bukti
45
yang ada. Bahwa oleh karena itu berdasarkan fakta yang ada maka sudah
sepatutnya Permohonan Kasasi ini dikabulkan;
Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah
Agung berpendapat;
Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah
meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 22 Agustus 2016
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang tidak salah dalam
menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut;
Bahwa gugatan Penggugat cacat formal oleh karena kuasa hukum
Penggugat tidak dapat mewakili Para Penggugat dalam perkara a quo,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004;
Dalam perkara ini terdapat perbedaaan pendapat (dissenting opinion)
yang dinyatakan oleh Hakim Agung anggota Dr. Fauzan, S.H., M.H., dengan
mengemukakan alasan berikut:
Bahwa alasan-alasan kasasi dapat dibenarkan Judex Facti telah salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap fakta hukum Serikat Pekerja Araputra Bersatu
yang berafiliasi kepada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia
(OPSI) sebagai kuasa hukum Penggugat seharusnya diterapkan
ketentuan Pasal 10 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 yang
pada pokoknya Serikat Pekerja dapat dibentuk berdasarkan bentuk
lain, sesuai kehendak pekerja, sehingga OPSI dapat bertindak
sebagai kuasa hukum sebagaimana dimaksud keterangan Pasal 87
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004;
2. Bahwa oleh karena Judex Facti belum memeriksa pokok perkara
maka Mahkamah Agung mengeluarkan putusan sela
memerintahkan Judex Facti untuk memeriksa perkara a quo
kemudian setelah diputus mengirim kepada Mahkamah Agung;
Terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah
46
diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai
mufakat, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14
Tahun tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undnag-Undnag Nomor
3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak
dan menolak gugatan para penggugat.
47
BAB IV
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DI PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 112/K/Pdt-Sus-PHI/2017
A. Pertimbangan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pertimbangan
Majelis Hakim dalam Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan
Negeri Serang, dan Mahkamah Agung
Berawal dari permasalahan upah yang diminta para pekerja karena
tidak sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten. Mendapatkan upah
merupakan tujuan dari pekerja dalam melakukan pekerjaaan. Setiap
pekerja selalu mengharapkan adanya upah yang lebih banyak dan selalu
mengalami peningkatan. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 30
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu penjanjian
kerja, kesepakatan atau peraturan perundnag-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Surat pekerja yang tidak direspon setelah mengirimkan dua kali
melalui OPSI kepada perusahaan membuat pekerja melakukan langkah
selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial pihak
pekerja membawa dan mencatatkan kasus ini ke Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Tangerang. Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang,
menyatakan beberapa pertimbangan sebelum memutuskan perkara yang
diajukan oleh para pekerja untuk ditindak lanjuti ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang berpendapat bahwa
48
selama 4 (empat) kali pemanggilan sidang mediasi pihak perusahaan tidak
pernah hadir, maka atas kebuntuan mediasi tersebut maka Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Tangerang mengeluarkan Surat Anjuran Nomor
567/5671/Disnakertrans tanggal 05 Oktober 2015 yang pada pokoknya
menyatakan hubungan kerja antara para pekerja dan perusahaan tetap
berlanjut (tidak terputus) dan upah selama proses agar dibayarkan.
Pihak perusahaan tetap tidak melaksanaan surat anjuran Nomor
567/5671/Disnakertrans setelah itu akhirnya pekerja mengambil langkah
hukum selanjutnya yaitu mendaftarkan gugatan dengan register Nomor:
81/SK.PHI.G/ - /2016/PN.Srg. Karena diketahui menurut gugatan para
pekerja melalui OPSI pihak perushaaan tidak melaksanaan kewajiban
untuk memberikan hak kepada para pekerja maka para pekerja
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Serang.
Pertimbangan majelis hakim di Pengadilan Hubungan Industrial
Serang mengatakan bahwa kuasa hukum para pekerja tidak berhak
bertindak untuk dan atas nama para pekerja. Majelis hakim menyatakan
menolak gugatan para pekerja seluruhnya yang didaftarkan pada tanggal
28 Januari 2016. Telah diketahui bahwa Serikat Pekerja Araputra Bersatu
telah menunjukan tanda bukti pencatatan di Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Tangerang. Dan para pekerja telah menunjukan
bukti afiliasi Serikat Pekerja Araputra Bersatu (SPAB) dengan Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) dengan SK Dewan Eksekutof Nasional
No.90/SK.SPA/DEN-OPSI/VI/15. Berdasarkan bukti-bukti tersebut
majelis hakim tetap menolak gugatan yang diajukan pekerja.
Pada keputusan majelis hakim menolak gugatan para pekerja,
majelis hakim tidak mempertimbangkan gugatan pekerja, dengan
mengajukan alasan kuasa hukum penggugat tidak berhak bertindak
sebagai kuasa hukum penggugat. Karena para pekerja sebagai Penggugat
Prinsipal adalah bukan anggota Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia
(OPSI) dan OPSI tidak tercatat di Dinas Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi Kabupaten Tangerang akan tetapi tercatat di Suku Dinas
49
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Jakarta Selatan. Hal ini menjadi tidak
sah karena keanggotaan Para Penggugat Prinsipal pada OPSI atau SPPI
tidak pernah dilaporkan kepada pihak perusahaan sebagai Tergugat.
Dalam replik yang diberikan para pekerja Bahwa argumentasi
eksepsi Tergugat yang menyatakan Kuasa Hukum Penggugat tidak berhak
bertindak untuk dan atas nama Penggugat prinsipal adalah argumentasi
yang tidak benar karena faktanya para Penggugat prinsipal adalah anggota
SPAB dengan nomor Bukti Pencatatan 80/Disnakertrans/V/2015
tertanggal 20 Mei 2015.Bahwa SPAB berafiliasi ke OPSI berdasarkan
surat permohonan SPAB tanggal 27 Mei 2015 dan diterima menjadi
anggota OPSI melalui surat Dewan Eksekutif OPSI tanggal 5 Juni
2015.Bahwa berdasarkan Kartu Tanda Anggota yang dimiliki para
Penggugat prinsipal di SPAB maka sudah sangat jelas bahwa Para
Penggugat adalah anggota SPAB. Majelis hakim sudah jelas mengetahui
bahwa para pekerja selaku penggugat merupakan anggota serikat pekerja
yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tangerang dan
telah berafiliasi pada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia.
Pertimbangan hakim perihal kuasa hukum pekerja yang tidak
berhak bertindak atas nama pekerja yaitu, tindakan afiliasi Serikat Pekerja
Araputra Bersatu kepada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia adalah
suatu tindakkan untuk bergabung dan menundukkan diri pada Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia atau penjenjangan Serikat Pekerja / Serikat
Buruh sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 memiliki konsekuensi perubahan AD/ART Serikat Pekerja
Araputra Bersatu. Bahwa perubahan AD/ART diperlukan dikarenakan
Serikat Pekerja Araputra Bersatu dari semula merupakan Serikat Pekerja
yang semula mandiri menjadi Serikat Pekerja yang berafiliasi kepada
Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia.
Afiliasi adalah domain internal organisasi SPAB tetapi setiap
perubahan dalam organisasi yang significant termasuk melakukan afiliasi
dengan organisasi Serikat Pekerja / Serikat Buruh diluar organisasi semula
50
memerlukan perubahan AD/ART, sehingga tanpa perubahan AD/ART
tindakkan afiliasi belum dapat diartikan sah. Perubahan AD/ART Serikat
Pekerja / Serikat Buruh memerlukan dan mensyaratkan tindakan lanjutan
berupa pemberitahuan kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan di domisili Serikat Pekerja / Serikat Buruh untuk
dicatatkan perubahannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 21
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 jo. Pasal 7 Kepmenakertrans
Kep.16/Men/2001.
Bahwa sesuai bukti P-1 yang diajukan Serikat Pekerja Araputra
Bersatu (SPAB) benar telah mencatatkan pembentukan serikat pekerjanya
di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tangerang tertanggal
20 Mei 2016 dengan nomor pencatatan 80/Disnakertrans/V/2015 dan
mengajukan permohonan untuk berafiliasi dengan Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI) tanggal 27 Mei 2016 nomor 001/SPAV/V/2016
serta penerimaan OPSI sesuai Surat Keputusan Dewan Eksekutif Nasional
No.09/SK.SPA/DEN-OPSI/VI/15 tanggal 5 Juni 2015, hal ini
menunjukkan perubahan SPAB ber-afiliasikan ke OPSI, tetapi tindakan
afiliasi tersebut belum ditindaklanjuti dengan perubahan AD/ART dan
pemberitahuan kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan di domisili Serikat Pekerja Araputra Bersatu. Oleh karena
itu Majelis Hakim berpendapat bahwa pasal 87 Undang-UndangNomor 2
Tahun 2004 dimana Serikat pekerja / Serikat Buruh dan Organisasi
Pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di
Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya tidak dapat
diberlakukan kepada Kuasa Hukum Penggugat yang merupakan pengurus
dari OPSI, maka Majelis Hakim berpendapat Kuasa Hukum tidak dapat
mewakili Para Penggugat prinsipal.
Pertimbangan kedua majelis hakim menolak gugatan para pekerja,
mengenai jawaban dari pihak perusahaan yang mempermasalahkan tidak
adanya risalah bipartit yang seharusnya dilakukan untuk mediasi sebelum
dilakukannya laporan kepada Pengadilan Hubungan Industrial Serang
51
pada Pengadilan Negeri Serang. Dalam gugatan para pekerja yang
diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial Serang pada Pengadilan
Negeri Serang sudah jelas tertera bahwa para pekerja sudah melakukan
pengajuan mediasi pada pihak perusahaan melalui Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI). Namun pihak perusahaan tidak melakukan
itikad baik sedikitpun, karena tidak menanggapi panggilan mediasi yang
diperintahkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Kabupaten
Tangerang. Sampai pada akhirnya tidak menemukan titik terang dan
dikeluarkanlah Surat Anjuran Nomor 567/5671/Disnakertrans.
Majelis hakim telah menimbang eksepsi tergugat seperti yang telah
diuraikan dinyatakan dapat diterima maka majelis hakim tidak dapat
menerima gugatan dari para pekerja selalu para penggugat. Setelah
berakhirnya sidang di Pengadilan Hubungan Industrial Serang pada
Pengadilan Negeri Serang dinyatakan tidak dapat diterima, maka para
pekerja mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung.
Pada proses kasasi majelis hakim berpendapat bahwa keberatan
yang diajukan oleh para pekerja selaku pemohon tidak dapat dibenarkan.
Hakim pada proses kasasi telah meneliti secara seksama bahwa memori
kasasi pada tanggal 22 Agustus 2016 dihubungkan dengan pertimbangan
Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Serang tidak salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan bahwa kuasa hukum pekerja selaku Penggugat tidak dapat
mewakili pekerja dalam perkara a quo, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
Proses kasasi ini menimbulkan perbedaan pendapat (dissenting
opinion) disaat Hakim Agung anggota Dr. Fauzan, S.H., M.H.,
mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Bahwa terhadap fakta hukum Serikat Pekerja Araputra Bersatu
(SPAB) yang berafiliasi kepada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia
(OPSI) sebagai kuasa hukum Penggugat seharusnya diterapkan dalam
ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 yang pada
52
pokoknya Serikat Pekerja dapat dibentuk berdasarkan bentuk lain,
sesuai kehendak pekerja, sehingga OPSI dapat bertindak sebagai
kuasa hukum sebagaimana dimaksud keterangan Pasal 87 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004
b. Bahwa oleh karena Judex Facti belum memeriksa pokok perkara
maka Mahkamah Agung mengeluarkan putusan sela memerintahkan
Judex Facti untuk memeriksa perkara a quo kemudian setelah diputus
mengirim kepada Mahkamah Agung;
Namun karena prinsip majelis hakim berdasarkan Pasal 30 Ayat
(3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,
Majelis Hakim mengmbil putusan dengan suara terbanyak.
Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut, sesungguhnyaseperti
yang dikatakan Gustav Radburch dalam teori tujuan hukum tujuan akhir
dari proses penegakan hukum dalam proses peradilan adalah untuk
menemukan keadilan, kepastian, dan manfaat penegakan hukum tersebut
oleh karena itu penegakan hukum harus didasarkan dengan tetap
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
dan peraturan yang mengatur agar terciptanya keadilan. Selain itu, dalam
alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terkandung
landasan substansi dari hukum dan keadilan yakni hukum dan keadilan
yang mencerminkan adanya kedaulatan rakyat dengan berdasar pada
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indoneisa, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam
kebijaksanaan/ perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut, landasan dasar keadilan
bertumpu alinea keempat pada Undang-undang Dasar 1945.
Seperti ketentuan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang mengamandemen Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,
53
bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pemutusan suatu perkara pada dasarnya juga harus memenuhi
unsur Keadilan, Kepastian dan Kebermanfaatan seperti yang di cetuskan
oleh Gustav Radburch, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh keadilan
total. Hakim dalam memutuskan perkara pada setiap kasus yang selalu
dihadapkan pada ketiga tujuan hukum tersebut, yakni keadilan hukum,
asas kepastian hukum, dan asas kebermanfaatan hukum.37 Sebagaimana
Sudikno Mertokusumo beranggapan bahwa tujuan hukum tersebut harus
dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-
tiganya secara berimbang atau proporsional, sehingga tidak perlu
mengikuti asas prioritas sebagaimana dimaksud oleh Gustav Radburch,
tetapi seharusnya mengikuti asas prioritas yang bersifat kasuistis atau
sesuai dengan kasus yang dihadapi.
Putusan hakim tidak semata mata bersifat legalistik, meskipun
seharusnya hakim selalu harus berdasarkan peraturan perundang-
undangan, namun bukan berarti hakim tidak dapat melakukan penelitian
lebih terhadap kasus yang sedang berjalan. Selain itu, putusan hakim harus
berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun
harmonisasi sosial dalam pergaulan.
Majelis Hakim lebih mempertimbangan jawaban yang diajukan
oleh pihak perusahaan,yang dimana menyatakan kuasa hukum para
pekerja selaku penggugat seperti dirasa tidak tepat. Dalam AD/ART
Serikat Pekerja Araputra Bersatu sudah benar dan tidak perlu ada yang
dirubah dalam perihal prinsip mandiri yang dipermasalahkan oleh pihak
perusahaan dan majelis hakim.
37Sidharta. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi
Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan (Jakarta:Komisi
Yudisial Republik Indonesia, 2010). h. 3.
54
Serikat buruh atau pekerja telah dijelaskan bahwa suatu organisasi atau
perkumpulan pekerja/buruh untuk memperjuangkan dan membela hak dari
para pekerja atau buruh yang tertindas. Suatu serikat pekerja harus
mengandung sifat-sifat sebagai berikut:
a. Bebas, maksudnya bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan
hak dan kewajibannya serikat pekerja tidak dibawah pengaruh dan
tekanan dari pihak lain. Terbuka, bahwa serikat pekerja dalam
menerima anggota dan atau memperjuangkan pekerja tidak
membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin.
b. Mandiri, bahwa dalam mendirikan, menjalankan dan
mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri, tidak
dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.
c. Demokratis, bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan
pengurus, memperjuangkan dan melaksanakan hak dan kewajiban
organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.
Bertanggung Jawab, Bahwa hak dalam mencapai tujuan dan
melaksanakan kewajibannya serikat pekerja bertanggung jawab
kepada anggota, masyarakat dan negara.
Bahwasanya prinsip mandiri dalam serikat pekerja memang sudah
ada sejak masa orde baru dimana pertama kali dibuatnya serikat pekerja
untuk seluruh Indonesia yang dianggap belum memenuhinya prinsip dasar
dari serikat pekerja, maka dari itu perlu dibentuk serikat pekerja dari setiap
perusahaan agar tercapainya prinsip serikat pekerja.
Prinsip kesatuan, yaitu adanya solidaritas dikalangan buruh bahwa
mereka merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dalam organisasi.
Prinsip mandiri maksudnya organisasi buruh harus bebas dari dominasi
kekuatan diluar buruh, baik itu pemerintah, majikan, partai politik,
organisasi agama atau tokoh-tokoh individual. Prinsip demokratis, artinya
55
mendapat dukungan dan partisipasi penuh para anggotanya.38 Prinsip
kemandirian telah salah ditafsirkan ole majelis hakim sebagaimana yang
dipermasalahkan dalam gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial
Serang. Kemandirian yang tertera dalam AD/ART Serikat Pekerja
Araputra Bersatu merupakan prinsip menolak untuk di dominasi oleh
pihak-pihak dari luar Serikat Pekerja Araputra Bersatu. Kemandirian ini
bukan berarti tidak dapat berafiliasi ke Serikat Pekerja diluar Serikat
Pekerja Araputra Bersatu, namun hanya menolak untuk di dominasi,
karena setiap serikat pekerja harus mempunyai pemikiran masing-masing
untuk tetap bertujuan mensejahterakan anggotanya.
Prinsip Kemandirian yang dipermasalahkan oleh hakim untuk
dirubah dalam AD/ART Serikat Pekerja Araputra Bersatu bukanlah suatu
permasalahan yang seharusnya menjadi pertimbangan majelis hakim untuk
menolak gugatan para pekerja. Karena sudah jelas disebutkan dalam Pasal
9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000.
Pasal 9
“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa
tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan
pihak manapun.”
Apabila majelis hakim memerintahkan untuk merubah AD/ART
Serikat Pekerja Araputra Bersatu (SPAB) berarti dapat diartikan bahwa
majelis hakim sebagai ujung tombak penegak keadilan menentang
Undang-Undang yang bersifat memberikan kebebasan pada rakyatnya
untuk bebas berserikat, dan juga menentang Undang-Undang Dasar 1945.
38International Union of Food and Allied Worker’s Associations, Buku Pegangan Untuk
Serikat Buruh. h.17-24.
56
Tujuannya dibentuknya Serikat Pekerja/Buruh adalah
menyeimbangkan posisi buruh dengan majikan.39 Selain itu, melalui
wadah Serikat Pekerja/Buruh ini diharapkan akan terwujud peran serta
buruh dalam proses produksi. Hal ini merupakan salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan hubungan industrial di tingkat
perusahaan. Keputusan hakim menolak gugatan para pekerja bertentangan
dengan Pasal 87Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pasal 87
“Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
untuk mewakili anggotanya.”
Fungsi dari serikat pekerja/buruh telah dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2000. Fungsi berasal dari kata function, yang
berarti something that performs a function: or operation.40 Berdasarkan
ketentual Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Serikat Pekerja
mempunyai fungsi :
(1) Serikat Pekerja/Buruh, federasi dan konfederasi Serikat Pekerja/Buruh
bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan,
serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
Serikat Pekerja/Buruh, federasi dan konfederasi Serikat Pekerja/Buruh
mempunyai fungsi:
a. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial;
39Abdullah Sulaiman, dan Andi Walli, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, (Jakarta,
Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia : 2019), h. 129. 40 Philip BabCoks, A Merriam Webster’s Third New Internatioal Dictionary of The
English Language un a Bridged, 1993, Merriam Webster inc, Publishers, Springfield, Massa
Chusetts, U.S.A. h. 921.
57
b. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama dibidang
ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;
c. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
d. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya;
e. Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan
pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan
saham di perusahaan.
Dalam praktik, masih adanya keengganan menerima keberadaan
Serikat Pekerja/Buruh di lingkungan perusahaan sebagai mitra sejajar dan
masih banyaknya pengusaha yang berpendirian “saya yang berkuasa
dirumah saya” (her rim haus) seperti sikap raja-raja perusahaan baja pada
awal lahirnya perjanjian perburuhan (KKB) di Jerman walaupun didesak
dengan ketentuan-ketentuan yang disertai sanksi pidana.41
Fungsi serikat pekerja/buruh selalu dikaitkan dengan keadaan
hubungan industrial. Hubungan industrial diartikan sebagai suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang atau
jasa yang meliputi pengusaha, pekerja dan pemerintah.42 Kenyataan yang
ada dalam proses berlangsungnya suatu hubungan industrial tidak seperti
yang diharapkan. Majikan sering menempatkan buruh pada posisi yang
rendah, sebagai faktor ekstern yang kurang diperhatikan. Untuk itulah
diperlukan adanya wadah bagi buruh sebagai upaya mensejajarkan posisi
41HP Rajagukguk, Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan (C
determination), makalah, 2000, h. 9. 42 Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan Antara Pengusaha dan
Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), (Jakarta; Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 1999),
h. 2.
58
buruh dan majikan dalam proses hubungan industrial dalam suatu Serikat
Pekerja/Buruh.
Serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu sarana
hubungan industrial, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja, yang memiliki tujuan selain
mensejahterakan anggotanya, juga bertujuan mengatur suatu pergaulan
hubungan industrial sehingga tercipta ketenangan kerja dan berusaha atau
industrial peace, yaitu suatu kondisi dinamis di dalam hubungan kerja di
perusahaan dimana di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur penting :
a. Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan;
b. Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan secara internal;
c. Mogok dan penutupan perusahaan (lock out) tidak perlu digunakan
untuk memaksakan kehendak, karena perselisihan yang terjadi telah
dapat diselesaikan secara baik.
Tujuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja sebagaimana disebutkan di atas akan sulit dicapai bila belum ada
kepastian hukum tentang status hukum serikat pekerja/serikat buruh.
Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memuat aturan
mengenai serikat pekerja, tetapi tidak ada satu ketentuan hukumpun yang
mengatur mengenai status hukum serikat pekerja/serikat buruh.
Keterlibatan Serikat pekerja/serikat buruh dalam pergaulan hukum
terutama berkaitan dengan hubungan industrial, yaitu :43
a. Serikat pekerja/serikat buruh memiliki hak menggugat/digugat
terutama di muka pengadilan hubungan industrial baik dalam
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
43 Tanti Kirana Utami, PERAN SERIKAT PEKERJA DALAM PENYELESAIAN
PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01
Februari 2013.
59
hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan;
b. Serikat pekerja/serikat buruh memiliki nama dan identitas, sehingga
dengan nama dan identitas tersebut serikat pekerja/serikat buruh dapat
dituntut di muka pengadilan umum, terutama dalam kaitan dengan
perkara perdata;
c. Menurut Pasal 21 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000, serikat
pekerja/serikat buruh dapat mengadakan persetujuan atau melakukan
perbuatan hukum seperti membuat perjanjian kerja bersama,
menjalankan suatu aktivitas perburuhan yang sah menurut hukum.
Serikat buruh adalah suatu organisasi yang didirikan oleh dan
untuk buruh secara sukarela, berbentuk kesatuan dan mencakup lapangan
pekerjaan, serta disusun secara vertikal dari pusat sampai unit-unit kerja
(basis). Menurut Pasal 1 ayat (17) Undang- Undang No 13 Tahun 2013,
pengertian dari serikat buruh atau serikat pekerja adalah “Organisasi yang
dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja atau buruh, baik diperusahaan
maupun diluar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya”.
Menurut Kartasapoetra, Bahwa yang dimaksud dengan Organisasi
buruh di tanah air kita adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk
kaum buruh secara sukarela yang berbentuk Serikat Buruh dan Gabungan
Serikat buruh.44
Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia peran
serikat pekerja adalah berupaya meningkatkan kesejahteraan para anggota
dan keluarganya. Namun lebih lanjut, peran serikat pekerja secara implisit
dapat dilihat dari tujuan dan fungsi serikat pekerja sebagai berikut.
44 Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia, … h. 14.
60
a) Tujuan Serikat Pekerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000,
serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan,
pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan
yang layak bagipekerja/buruh dan keluarganya.
Menurut Zaeni, serikat pekerja mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan
ke luar dan ke dalam. Dimana tujuan ke luar yaitu meningkatkan
kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya, misalnya
dengan mendirikan koperasi pekerja/buruh. Sedangkan tujuannya ke
dalam adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan
kepentingan pekerja/buruh dari pengusaha.45
b) Fungsi Serikat Pekerja
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000
mengenai Serikat Pekerja/Serikat Buruh, adalah Serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan
memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya. Sedangkan fungsi serikat pekerja dijabarkan di Pasal yang
sama ayat (2), yaitu:
1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja Bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial.
2. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam Lembaga kerja sama di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya.
3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
45 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja.
Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada (Jakarta:2007), h. 25.
61
4. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya.
5. Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan
pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan
saham di perusahaan.
Selanjutnya dalam pertimbangannya, hakim juga merasa perlu
untuk mengemukakan pertimbangan tersebut karena apabila Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI) mempertimbangkan dasar-dasar dan alasan
yuridis putusan ini menjadi jelas, baik ratio pertimbangan hukum maupun
obitur diktum putusan, sehingga dapat dipahami oleh semua pihak dan
masyarakat bahwasanya penegakan hukum telah dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran,
maka semangat penegakan hukum tetap dilakukan dalam koridor aturan
hukum tanpa melanggar hukum itu sendiri.Seperti yang sudah jelas
dijabarkan dalam (dissenting opinion) perbedaan pendapat hakim
menyebutkan sesuai dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000.“Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis
pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh.”.
Disaat Hakim Agung Anggota, Dr. Fauzan menyampaikan
perbedaan pendapat (dissenting opinion) dengan Hakim yang lain dengan
mengatakan seharusnya Judex Facti memeriksa pokok perkara maka
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan sela memerintahkan Judex Facti
untuk memeriksa perkara a quo kemudian setelah diputus mengirim
kepada Mahkamah Agung;
Berkaitan dengan hal tersebut, pada dasarnya tugas yustisial hakim
adalah memeriksa, mengadili dan kemudian menjatuhkan putusan atas
62
suatu perkara yang dihadapkan padanya, maka yang menjadi pedoman
hakim dalam melaksanakan tugas yustisi nya yakni berpedoman pada
peraturan perundang-undangan. Hakim dituntut untuk selalu menemukan
hukum, apabila suatu perundang-undangan tidak jelas atau tidak lengkap
mengatur suatu peristiwa konkrit. Jika dihubungkan dengan Pasal 5 Ayat
(1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman merumuskan bahwa:
Pasal 5 ayat (1)
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
Pasal 10 ayat (1)
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”
Ketentuan dalam pasal ini, memberikan pemahaman bahwa hakim
bertindak sebagai perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, haruslah memahami nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat dengan turun langsung ke dalam masyarakat
itu sendiri.
Paham realisme hukum berpandangan bahwa putusan hakim
adalah hukum yang sebenar-benarnya (the real law). Doktrin yang
menjadi asumsi dasarnya adalah adagium yang berbunyi all the law is
judge made law, artinya semua hukum itu pada hakikatnya adalah putusan
hakim. Berdasarkan cara berpikir seperti ini, posisi dan kedudukan hakim
menjadi sangat sentral dalam konteks pembentukan hukum.46 Oleh karena
itu putusan hakim sebagai hukum yang sejatinya, harus dapat mewujudkan
46 Darji Darmodiharjo, dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum di Indonesia), …, Cet-7, h. 138.
63
tujuan dari hukum itu sendiri. Setidak-tidaknya terdapat tiga tujuan hukum
yang harus diwujudkan dalam putusan hakim, yaitu keadilan, kepastian
dan kemanfaatan.47Dalam perkara ini seharusnya hakim lebih
mengedepankan keadilan subtantif disbanding keadilan prosedural.
Putusan keadilan substantif tidak hanya mengakomodir aturan
yang berlaku dalam tahapan penemuan keadilan yang paling sosial.
Keadilan bukan semata-mata persoalan yuridis semata, akan tetapi
masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti oleh sosiologi hukum.
Karakter keadilan substantif yang bertumpu pada ‘respon’ masyarakat,
dengan indah membentuk penyelesaian permasalahan bersandar pada
hukum yang mendalami suara hati masyarakat. Artinya, hukum mampu
mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya
keadilan substantif.48
Isi dari keadilan subtantif dalam putusan hakim, sebagai berikut:
keadilan substantif terkait dengan isi putusan hakim dalam mengadili
suatu perkara, yang dibuat berdasarkan pertimbangan yang objektif , jujur,
imparsial dan rasional (logis). Berdasarkan konsep tersebut, ada empat ciri
untuk mengukur apakah putusan hakim mengandung keadilan substantif
atau tidak, yaitu adanya objektivitas, kejujuran, imparsialitas, dan
rasionalitas. 49
Pertimbangan hakim Pengadilan Hubungan Industrial dan Kedua
hakim Pada Mahkamah Agung tidak sejalan pula dengan pendapat yang
dikemukakan Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., perlindungan hukum berarti
perlindungan yang diberikan melalui hukum (rechts bescherming)
47 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum,…, Cet-2, h. 84-96.
48 Ridwan, Mewujudkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan Subtantif, Jurnal Hukum Pro Justicia Vol. 26
No.2, 2008, h. 170.
49 Salman Luthan dan Muhammad Syamsudin, Kajian Putusan-Putusan Hakim untuk
Menggali Keadilan Subtantif dan Prosedural” Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi
2013. Direktorat Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta, 2013:UI, h. 67.
64
terhadap status (kedudukan) ataupun hak, misalnya: hak memilih, hak
dipilih, hak berusaha, atau hak khusus sebagai warga negara sebagai
penduduk negara, rakyat dan sebagainya.50 Perlindungan kerja terhadap
tenaga kerja/buruh merupakan sesuatu yang mutlak dalam pemborongan
pekerjaan, hal ini sesuai dengan KEPMENAKERTRANS No. KEP-
101/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/buruh.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004, hukum acara yang digunakan pada Pengadilan Hubungan
Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus
dalam undang-undang.51
Pada prinsipnya, apabila wakil dari serikat pekerja/serikat buruh
tersebut berkompeten, paham dan mengerti prosedur dan proses litigasi
pengadilan tidak akan menimbulkan masalah, namun di satu sisi tidak
semua orang mengerti dan paham proses litigasi di pengadilan, sehingga
hal tersebut akan memberikan kesulitan bagi pekerja dan tentunya juga
bagi Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 83 Undnag-Undang Nomor 2 Tahun 2004, hakim
berkewajiban untuk memeriksa gugatan dan memerintahkan penggugat
untuk menyempurnakan. Apabila wakil dari serikat pekerja/sarikat buruh
tidak paham maka hal ini akan memperlambat waktu penyelesaian
perselisihan dan hal ini juga akan sangat merugikan pihak serikat
pekerja/serikat buruh apabila gugatan yang diajukan tidak cermat sehingga
gugatan yang diajukan ditolak atau tidak dapat diterima. Seperti yang
50Abdullah Sulaiman, dan Andi Walli, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, (Jakarta,
Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia : 2019), h. 90.
51 Buruh Online, UU PHI, Satu Paket Kebijakan Yang Belum Berpihak Kepada
Masyarakat https://buruh-online.com/2015/10/undang-undang-nomor-2-tahun-2004-tentang-pphi-
adalah-satu-paket-kebijakan-yang-belum-berpihak-kepada-masyarakat.html, diakses pada 30
Januari 2020 .
65
dikatakan Hakim Agung Anggota Dr. Fauzan, S.H., M.H.,karena Judex
Facti belum memeriksa pokok perkara maka Mahkamah Agung
mengeluarkan putusan sela memerintahkan Judex Facti untuk memeriksa
perkara a quo kemudian setelah diputus mengirim kepada Mahkamah
Agung.
B. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja yang Tidak diberikan Haknya
Akibat Legalitas Serikat Pekerja sebagai Kuasa Hukum Tidak dapat
Mewakili Pekerja
Imam Soepomo, yang dilengkapi oleh Abdullah Sulaiman,
menyatakan bahwa bentuk pola perlindungan perburuhan meliputi antara
lain:
a. Perlindungan Ekonomis, sebagai perlindungan syarat-syarat
kerja atau syarat-syarat perburuhan diatur dalam peraturan
mengenai hubungan kerja dan perjanjian kerja.
b. Perlindungan Keselamatan Kerja, yakni memberikan
perlindungan kepada buruh agar selamat dari bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
c. Perlindungan Kesehatan Kerja, perlindungan ini akibat buruh
hasil teknologi industry dan non-industri lainnya karena kadang
kala terjadi perlakuan majika terhadap buruh yang semena-mena
dan kadang-kadang kurang berperikemanusiaan terhadap beban
kerja buruh.
d. Perlindungan Hubungan Kerja, terhadap pekerjaan dijalankan
oleh buruh untuk majikan dalam hubungan kerja dan menerima
upah.52
e. Perlindungan Kepastian Hukum, yang berupa perlndungan
hukum yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
52 Iman Supomo, Huku Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Buruh) , …,
h. 2-5.
66
yang sifatnya hukum sanksi pelanggaran peburuhan yang
sifatnya memaksa, sekeras-kerasnya dan setegas-tegasnya
terhadap sanksi pidana yang berisi perintah atau larangan.53
Apabila Hakim Ketua dan satu Hakim Anggota berpendapat bahwa
gugatan yang diajukan oleh para pekerja yang telah masuk ke ranah kasasi
tetap ditolak maka hakim sebagai ujung tombak keadilan tidak
memberikan perlindungan hukum kepada para pekerja yang sudah jelas
terpaparkan bahwa hak-haknya tidak diberikan oleh pihak perusahaan.
Alasan kedua Hakim Agung tidak tepat disaat Serikat Pekerja Araputra
Bersatu (SPAB) telah berafiliasi terhadap Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia (OPSI) dan masih mencari kesalahan dengan memberi alasan
bahwa AD/ART dari serikat pekerja itu harus dirubah maka hal tersebut
bertentangan dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
yang pada pokoknya Serikat Pekerja dapat dibentuk berdasarkan bentuk
lain, sesuai kehendak pekerja, sehingga OPSI dapat bertindak sebagai
kuasa hukum sebagaimana dimaksud keterangan Pasal 87 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004.
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan satu-satunya alternative
penyelesaian sengketa hubungan industrial apabila jalan musyawarah tidak
mencapaimufakat sebagaimana amanat dari Pasal 136 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Buruh sebagai pihak
yang sering menjadi korban hubunganindustrial, menaruh harapan pada
Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapat perlindungan hak dari
tindakansewenang-wenang para pengusaha. Data tentang banyaknya
gugatan yang masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial oleh buruh
menunjukkan bahwa dalam hubungan industrial, buruh merupakanpihak
yang sering merasa dirugikan dan dilanggar haknya dalam hubungan
industrialsehingga mereka mencari perlindungan melalui Pengadilan
53 Abdullah Sulaiman, Hukum Perburuhan-I, BahannMatakuliah Hukum Perburuhan
Program Magister Ilmu Hukum UIJ, h. 38.
67
Hubungan Industrial. Kaum buruh ternyata masihmemiliki ekspektasi
tinggi terhadap Pengadilan Hubungan Industrial sebagai wadah
penyelesaian sengketa untukmenyelesaikan perselisihan hubungan
industrial yang dihadapi dengan pengusaha.
Meski demikian, jika dibandingkan dengan hasil putusan hakim
Pengadilan Hubungan Industrial, hanya 67,02% gugatan buruh
dikabulkan. Hal ini lebih rendah dari presentase Pengusahasebagai
penggugat yang gugatannya dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan
Hubungan Industrial sebanyak72,70% dari 348 gugatan. (Data diambil
oleh Tim Peneliti Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dari Mahkamah
Agung Sepanjang tahun 2006 sampai dengan tahun 2013, sebanyak 2.993
putusan.) Ini menunjukkan bahwa meski secara angka gugatan yang
diajukan pengusaha/perusahaan lebih kecil, tetapi secara presentase,
pengusaha/perusahaan sebagai Penggugat memiliki kecenderungan lebih
tinggi untuk dikabulkan gugatannya oleh majelis hakim dibandingkan
dengan buruh, padahal pihak yang lebih banyak mengajukan gugatan dari
segi jumlah adalah buruh.54
Data tentang presentase gugatan buruh yang dikabulkan kurang dari
70% menunjukkan gejala bahwa Pengadilan Hubungan Industrial belum
dapat memberikan perlindungan hak-hak tenaga kerja kepada buruh (pro
buruh) sebagai wadah penyelesaian sengketa hubungan industrial.
Padahal, jika dihubungkan dengan kesimpulan sebelumnya, para buruh
memiliki harapan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial dapat
melindungi buruh dari tindakan pengusaha yang melanggar hukum.
Dengan banyaknya buruh yang mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial lalu mengajukan upaya hukum lanjutan dengan
kasasi maka dari itu pertanda bahwa Pengadilan Hubungan Industrial
54Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Membaca Pengadilan Hubungan Industrial Di
Indonesia. (Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta: 2014), h. 67.
68
belum mampu untuk menyelesaikan perkara yang diajukan buruh untuk
mendapatkan hak-haknya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan contoh satu
paket kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat. Secara
normative, tujuan dari undang-undang tersebut adalah untuk memberikan
keadilan bagi semua pihak, baik pekerja maupun pengusaha, namun pada
tataran implementasinya, undang-undang tersebut malah mempersulit
pekerja untuk memperoleh rasa keadilan.55
Dalam putusan perkara ini, hakim lebih condong kepada pihak
perusahaan dimana tidak mempertimbangankan hak-hak buruh yang telah
terabaikan oleh pihak perusahaan sebelum dan setelah terjadinya perkara
ini di Pengadilan. Hak-hak buruh yang telah terabaikan yaitu Upah pada
saat buruh masih bekerja diberikan dibawah Upah Minimum Kabupaten
sebagaimana Pasal 90 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, buruh
mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan
tidak mendapat pesangon sesuai dengan Pasal 156 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Aspek jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dalam Peraturan
Perusahaan dibedakan menjadi 10 (sepuluh) jenis Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK), pembagian jenis tersebut adalah:
a. Pemutusan Hubungan Kerja Pada Masa Percobaan
Peraturan Perusahaan (PP) menganut Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) yang terjadi pada masa percobaan. PHK pada jenis ini hanya
terjadi pada pekerja baru yang telah menandatangani perjanjian kerja
waktu tidak tertentu. Inisiatif pengakhiran hubungan kerja diberikan
55Buruh Online, UU PHI, Satu Paket Kebijakan Yang Belum Berpihak Kepada
Masyarakat https://buruh-online.com/2015/10/undang-undang-nomor-2-tahun-2004-tentang-pphi-
adalah-satu-paket-kebijakan-yang-belum-berpihak-kepada-masyarakat.html, diakses pada 30
Januari 2020 .
69
leluasa pada kedua belah pihak, baik perusahaan maupun pekerja. Pada
masa percobaan ini, apabila benar terjadi PHK maka yang terjadi
adalah PHK tanpa syarat.
Perusahaan tidak diwajibkan untuk memberikan uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja dan uang pergantian hak kepada pekerja,
kecuali hanya sekedar ongkos atau biaya pemulangan pekerja
sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja. Konsekuensi pada
Pemutusan Hubungan Kerja pada masa percobaan ini, bukan hanya
sekedar pada kata sepakat atas perjanjian awal yang telah dilakukan.
Pekerja/buruh meskipun sudah berkerja, sekalipun pada masa
percobaan, dalam hal ini Van Dun menyampaikan bahwa konsekuensi
dari perjanjian juga harus dilihat dari perbuatan-perbuatan yang
sebelumnya atau yang mendahuluinya.56
b. Pemutusan Hubungan Kerja karena Berakhirnya Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu
PHK yang terjadi karena berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu
tertentu merupakan jenis PHK demi hukum. Hubungan kerja otomatis
berakhir karena waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja.
Dalam hal ini, perusahaan tidak wajib memberikan uang pesangon,
pergantian hak atau penghargaan masa kerja. Dalam (PP) hanya
mengatur mengenai penggantian biaya perjalanan untuk pemulangan
pekerja. Apabila PHK terjadi sebelum habis jangka waktu yang
disepakati, (PP) mengatur kepada para pihak untuk tunduk pada
perjanjian kerja waktu tertentu dan peraturan perundangan yang
berlaku.
c. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Pengunduran DirSi
56 Salim, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: SInar Grafika, h. 161.
70
Pengunduran diri secara pribadi dimasukkan dalam jenis PHK
menurut (PP) ini, dengan mekanisme pengajuan 1 (satu) bulan sebelum
berakhirnya hubungan kerja. Persyaratan lain adalah adanya kewajiban
memiliki persetujuan atasan untuk pengajuan pengunduran diri.
Berdasar klausul tersebut, dirasa sangat memberatkan karena
pengunduran diri secara pribadi berasal dari inisiatif pribadi, jika
dibatasi dengan kewajiban adanya persetujuan atasan maka sama
halnya mengurangi hak kebebasan terhadap pengakhiran hubungan
kerja. Selain hal tersebut, (PP) juga mengatur mengenai besaran uang
pisah apabila pengakhiran hubungan kerja karena pengunduran diri,
yakni bagi pekerja < 3 tahun masa kerja tidak mendapat uang pisah, 3 -
5 tahun masa kerja 1 x upah sebulan dan > 5 tahun masa kerja 2 x upah
sebulan. Penghitungan terhadap uang pisah tersebut memang diatur di
dalam (PP), akan tetapi pada bagian selanjutnya diatur bahwa
pekerja/buruh yang sudah mendapatkan uang pemutusan hubungan
kerja sesuai dengan peraturan perundang – undangan maka tidak lagi
berhak mendapatkan uang pisah. Sehingga uang pisah bukanlah hak
wajib yang bisa didapatkan oleh pekerja/buruh yang hubungan
kerjanya berakhir dengan cara pegunduran diri.
d. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Mencapai Usia Pensiun
Pada jenis pengakhiran hubungan kerja karena pensiun ini, (PP)
mengatur jelas terhadap usia yang dapat diakhiri hubungan kerjanya
dalam usia 55 (lima puluh lima) tahun kecuali pada jabatan tertentu
batas usia pensiun bisa ditentukan lain. Pengakhiran hubungan kerja
karena usia pensiun (PP) hanya mengaturnya bahwa mekanisme
pengakhiran hubungan kerja akan dilakukan secara hormat sesuai
dengan peraturan perundang – undangan. Perlindungan terhadap hak
pasca pensiun tidak diatur secara tegas dalam (PP) ini, pengaturan
lebih mengatur terhadap kewajiban pekerja/buruh terhadap perusahaan
6 (enam) bulan sebelum memasuki masa pensiun.
71
e. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kinerja
Peraturan Perusahaan (PP) juga mengenal pengakhiran hubungan
kerja oleh pengusaha terhadap pekerja yang memiliki penilaian
prestasi kerja yang rendah (poor). Apabila pengakhiran hubungan kerja
ini terjadi, (PP) mengatur mengenai pemenuhan hak pekerja yang
dapat diberikan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang
berlaku. Dengan demikian, perusahaan tetap memberikan hak pekerja
apabila terjadi pemutusan hubungan kerja pada jenis PHK karena
alasan Kinerja.
f. Pemutusan Hubungan Kerja Setelah Memperoleh Surat Peringatan
Ketiga
Sama halnya dengan pengakhiran hubungan kerja karena alasan
kinerja, (PP) juga mengatur PHK oleh pengusaha karena pelanggaran
pekerja dan sudah mendapatkan surat peringatan ketiga. Pengakhiran
hubungan kerja pada jenis ini, maka perusahaan juga akan memberikan
hak pekerja/buruh sesuai dengan peratuan perundang – undangan.
g. Pemutusan Hubungan Kerja karena Sakit Berkepanjangan
Pada jenis pengakhiran hubungan kerja karena saki berkepanjangan,
ukuran “sakit berkepanjangan” adalah ketidakmampuan pekerja/buruh
dalam melakukan pekerjaan selama 12 (dua belas) bulan berturut –
turut. Dengan demikian, ketidakmampuan pekerja karena sakit
dibawah waktu tersebut tidak boleh dilakukan pemutusan hubungan
kerja. (PP) juga mengatur terhadap perlindungan hak pekerja yang
mendapat pengakhiran hubungan kerja karena sakit berkepanjangan
dengan pemenuhan uang pengakhiran hubungan kerja yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
h. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Meninggal Dunia
72
Apabila pekerja/buruh meningal dunia, maka hubungan kerja yang
ada akan berakhir dengan sendirinya. Pengakhiran hubungan kerja
pada jenis ini, (PP) mengatur perlindungan hak pekerja/buruh untuk
diberikan hak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang
berlaku kepada ahli warisnya.
i. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Penahanan oleh Pihak Berwajib
Pengakhiran hubungan kerja dapat dilakukan karena pekerja/buruh
ditahan atas suatu perkara pidana yang menghalanginya untuk bekerja
selama 6 (enam) bulan. Selain hal tersebut, pengakhiran hubungan
kerja juga dapat dilakukan apabila pekerja/buruh dinyatakan bersalah
oleh putusan pengadilan telah melakukan perbuatan pidana. Pada
pengakhiran hubungan kerja jenis ini, pengusaha akan memberikan
hak pekerja/buruh sesuai degan peratuan perundangan yang berlaku.
Pengaturan mengenai PHK karena Penahanan pihak berwajib tersebut
memili kejelasan baik secara sebab maupun perlindungan.
j. Pemutusan Hubungan Kerja karena Alasan Khusus
Pengakhiran hubungan kerja dapat terjadi karena alasan khusus
yang diatur di dalam (PP). Alasan Khusus yang dimaksud dalam (PP)
adalah klausul pada Pasal 48 Ayat (4) mengenai “keterlambatan datang
dari waktu kerja yang telah ditentukan tanpa ijin atau alasan yang
dapat diterima sebanyak 5 (lima) kali dalam sebulan dan telah
mendapat teguran secara lisan”.
Perlu diketahui, bahwa alasan khusus yang dimaksud di dalam (PP)
merupakan jenis pelanggaran disiplin yang sanksinya adalah surat
peringatan pertama. Dengan demikian, alasan khusus tersebut
bukanlah sebuah pelanggaran sedang bahkan berat yang memang
pantas untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja. Kriteria mendesak
pada alasan khusus tersebut juga dirasa kurang tepat, sehingga seolah
73
terjadi inkonsistensi terhadap sanksi yang diberikan pada alasan
khusus ini, apakah surat peringatan pertama atau langsung diakhiri
hubungan kerjanya.
Pengakhiran hubungan kerja pada alasan khusus ini apabila terjadi
maka pekerja/buruh hanya berhak atas uang pisah sebesar 25% dari
jumlah yang ditentukan oleh (PP). Selain itu, pekerja juga berhak atas
uang peggantian hak dan hak-hak lain sesuai dengan peaturan
perundangan yang berlaku. Dengan demikian, meski perlindungan hak
terhadap PHK karena alasan khusus tersebut ada, namun mengenai
alasan khusus (mendesak) yang ditentukan dirasa merugikan
pekerja/buruh dalam mendapatkan jaminan untuk terus bekerja.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak yang dilakukan
pihak perusahaan seharusnya tidak boleh terjadi, dan apabila pemutusan
hubungan kerja (PHK) terjadi pihak perusahaan seharusnya memberikan
uang pesangon atau uang penghargaan kepada para pekerja. Sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
penyelesaian pemutusan hubungan kerja (PHK), penetapan uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja serta ganti rugi diatur
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/2000
Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti
Kerugian di Perusahaan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-78/MEN/2001
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/MEN/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon,
Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di
Perusahaan kemudian diubah untuk kedua kalinya dengan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-111/MEN/2001
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Pasal 35A Keputusan Menteri Tenaga
74
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-78/MEN/2001
tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia Nomor KEP-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian
Pemutusan, namun akhirnya dibatalkan karena hal yang sama diatur secara
berbeda oleh UU Ketenagakerjaan. Jadi, kami luruskan bahwa yang
menjadi acuan adalah UU Ketenagakerjaan.57
Dalam hal terjadi pemutusan hak kerja (PHK), maka pengusaha
wajib membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja
(UPMK), dan Uang Penggantian Hak (UPH) kepada pekerjanya. Hal
tersebut dapat kita jumpai pengaturannya dalam Pasal 156 ayat (1)
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Pekerja atau Buruh tidak diberikan asuransi kesehatan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Program jamsostek
(jaminan sosial tenaga kerja) adalah hak setiap tenaga kerja, baik dalam
hubungan kerja maupun tenaga kerja luar hubungan kerja. Oleh karena itu,
program jamsostek tersebut wajib dilakukan oleh setiap perusahaan
(lihat Pasal 3 ayat [2] jo. Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 Tahun
1992 tentang Jamsostek). Ditegaskan pula dalam Pasal 17 UU
3/1992 bahwa pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut dalam program
jamsostek.
Persyaratan dan tata cara kepesertaan dalam program jamsostek
diatur lebih lanjut dalam PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Jamsostek, yang antara lain disebutkan dalam Pasal 2 ayat (3) PP 14/1993,
57 Hukum Online, Hak Pekerja Yang Terkena PHK dan yang Mengundurkan Diri,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2066/hak-pekerja-yang-terkena-phk-dan-
yang-mengundurkan-diri diakses pada 15 April 2020 .
75
bahwa pengusaha yang (telah) mempekerjakan sebanyak 10 (sepuluh)
orang tenaga kerja, atau membayar upah paling sedikit Rp1 juta sebulan,
wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jamsostek
pada badan penyelenggara, yakni PT Jamsostek (Persero).
Sesuai dengan Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1992 jo. Pasal 2 ayat (1) PP
No. 14/1993 bahwa lingkup program jaminan sosial tenaga kerja saat
ini adalah meliputi 4 (empat) program, yakni:
a. jaminan kecelakaan kerja (“JKK”);
b. jaminan kematian (“JK”); dan
c. jaminan hari tua (“JHT”); serta
d. jaminan pemeliharaan kesehatan (“JPK”).
Keempat program tersebut, 3 (tiga) dalam bentuk jaminan
uang (JKK, JK dan JHT), dan 1 (satu) dalam bentuk jaminan
pelayanan (JPK).
Dalam Pasal 2 ayat (4) PP 14/1993 diatur lebih lanjut bahwa apabila
pengusaha telah menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan
kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat yang lebih baik dari Paket
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar menurut PP 14/1992, maka
pengusaha tersebut tidak wajib ikut dalam Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara, dalam hal ini
PT Persero Jamsostek.
Melihat kenyataan dan fakta yang terjadi dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial tersebut, seharusnya pemerintah segera
merubah kebijakannya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 agar
lebih berpihak kepada pekerja/buruh. Apabila jaminan keadilan bagi
pekerja/buruh sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 dapat terealisasi dengan baik, tentunya akan segera
76
tercipta suasana kerja yang kondusif dan pembangunan perekonomian di
Indonesia jauh lebih maju daripada saat ini.
LBH Jakarta menilai pemerintah belum sepenuh hati
menyejahterakan kaum buruh, padahal ini amanat konstitusi.
Meskipun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja,
sanksi hukum, tapi pelanggaran hak-hak pekerja masih terus terjadi.
Misalnya faktanya, masih banyak pembayaran upah di bawah standar upah
minimum, pemberangusan serikat buruh, tidak membayar upah lembur,
tidak mendaftarkan pekerja dalam program jaminan sosial dan kecelakaan
kerja (BPJS Kesehatan/Ketenagakerjaan).58
Menurut catatan LBH Jakarta, ada banyak sanksi pidana yang dapat
dikenakan kepada pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan.
Sanksi itu mulai dari administratif sampai pidana. Sedikitnya ada 46 jenis
tindak pidana perburuhan yang tercantum dalam 6 Undang-Undang.
Seperti, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja, Undang-Undnag Nomor 24
Tahun 2011 tentang BPJS, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib
Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan.
Absennya penegakan pidana perburuhan membuat hukum
ketenagakerjaan terus menerus dilanggar pengusaha. LBH Jakarta
menghitung selama 2017 ada 1.287 korban tindak pidana perburuhan di
Jabodetabek dan Karawang. Mereka sudah mengadukan kasusnya kepada
kepolisian, tetapi tidak dapat ditindaklanjuti dengan berbagai dalih seperti
minimnya pemahaman aparat kepolisian terhadap pidana ketenagakerjaan,
ketiadaan penyidik khusus, alasan lain. Tak jarang kasus pidana
58 Hukum Online, Mayday 2019: Beragam Tuntutan Kesejahteraan Buruh,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ccabfb12d926/mayday-2019--beragam-tuntutan-
kesejahteraan-buruh/ diakses pada 15 April 2020 .
77
perburuhan ini diarahkan diselesaikan lewat pengadilan hubungan
industrial (PHI). Padahal pidana perburuhan bukan pelanggaran (hak)
normatif, tapi harus ditegakan (ultimum remedium) tanpa menunggu
proses administratif pengawas ketenagakerjaan atau PHI. Bahkan tak
jarang ketika buruh melakukan advokasi untuk mendapatkan haknya,
seringkali mereka “dikriminalisasi” aparat kepolisian.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kesalahan prosedur yang
dilakukan oleh para pekerja selaku pihak Penggugat terhadap PT. Araputra
Bersatu sebagai studi analisis ditemukan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam hal ini seharusnya, Majelis Hakim Agung setuju dengan
pertimbangan yang diberikan oleh Hakim Agung Anggota Dr. Fauzan,
S.H., M.H., bahwa seharusnya hakim harus memeriksa dengan teliti dan
memberikan putusan sela terhadap gugatan para pekerja agar
memperbaiki gugatannya bukan langsung menolak gugatan para pekerja.
a. Hakim seharusnya memberi waktu kepada para penggugat untuk
merubah AD/ART Serikat Pekerja Araputra Bersatu. Dan atau
b. Hakim memerintahkan kepada para pekerja untuk tidak
menggunakan kuasa dalam menggugat namun harus melakukan
gugatan ulang.
Hal ini sebagai mana yang telah diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 bahwa hukum acara yang digunakan dalam
Pengadilam Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata. Dalam
pemutusan perkara Majelis hakim dan dua Hakim Mahkamah Agung
lebih mengedepankan keadilan prosedur daripada keadilan subtantif.
2. Penolakan hakim Pengadilan Hubungan Industrial dan dua Hakim
Mahkamah Agung terhadap gugatan yang diajukan para pekerja
memberikan rasa ketidakdilan pada pihak pekerja. Majelis hakim
langsung menolak dengan tidak memikirkan hak para pekerja yang
tidak diberikan semasa perselisihan tersebut berlangsung dan sebelum
perselisihan berlangsung. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berfungsi melindungi hak-hak dari para
79
pekerja pada saat ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mengenai
tidak adanya keadilan bagi para pekerja, seharusnya Majelis Hakim
Agung dapat melakukan suatu pengawasan yang dapat berakibat hukum
pada putusan Pengadilan Hubungan Industrial tersebut batal, dan dalam
perkara ini Majelis Hakim Agung hanya mendukung tanpa menelaah
lebih jauh terhadap perkara tersebut.
B. Rekomendasi
Melihat berbagai permasalahan yang tidak pernah teratasi dalam
perselisihan hubungan industrial, peneliti merekomendasikan hal-hal yang
sekiranya dapat menyelesaikan permasalahan perselisihan hubungan
industrial dalam hal ini. Sebagai berikut:
1. Majelis Hakim lebih memberikan kesempatan terhadap para pekerja
yang melakukan gugatan dengan tidak langsung menolak perkara
namun memberikan waktu terhadap para pekerja dengan
mempertimbangkan hak-hak yang seharusnya dilindungi dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 namun tidak diperhatikan
dalam pelaksanaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
2. Melihat permasalahan yang diajukan oleh para pekerja karena
haknya yang tidak diberikan oleh pengusaha.Upah pada saat buruh
masih bekerja diberikan dibawah Upah Minimum Kabupaten
sebagaimana Pasal 90 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, buruh
mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan
tidak mendapat pesangon sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003, buruh tidak diberikan asuransi
kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan.
3. Merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kep.16/Men/2001 agar lebih
80
berpihak kepada para pekerja. Karena selama ini hanya berpihak
kepada pengusaha.
81
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Achmad. 2017. Menguak Tabir Hukum. Cet-2. Jakarta:Kencana
Asyhadie, Zaeni. 2007. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
BabCoks, Philip. 1993. A Merriam Webster’s Third New Internatioal Dictionary
of The English Language un a Bridged. Merriam Webster inc,
Publishers, Springfield, Massa Chusetts, U.S.A.
Buku Pegangan Untuk Serikat Buruh. International Union of Food and Allied
Worker’s Associations, Buku Pegangan Untuk Serikat Buruh.
Darmodiharjo, Darji, 2008. Pokok-Pokok Hukum Filsafat (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum di Indonesia). Cet-7. Jakarta:Gramedia
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hajati, Siti Hoesin. 2014. Asas-Asas Hukum Perburuhan. Jakarta:Radjawali
Harahap, Krisna. 1996. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, cet I.
Bandung: Grafitri Budi Utami
Ibrahim, Jhony. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing
Isnu, Muhammad, Pratiwi Febry. 2014. Membaca Pengadilan Hubungan
Industrial Di Indonesia. Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Jehani, Libertus. 2006. Hak-hak Pekerja Bila di PHK. Jakarta: Visi Media
Kartasapoetra. 1992. Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafindo
82
Kertonegoro, Sentanoe. 1999. Hubungan Industrial, Hubungan Antara
Pengusaha dan Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), Jakarta:
Yayasan Tenaga Kerja Indonesia
Luthan, Salman dan Muhammad Syamsudin. 2013. Kajian Putusan-Putusan
Hakim untuk Menggali Keadilan Subtantif dan Prosedural” Laporan
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi 2013. Direktorat Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta. Yogyakarta:UII
Pangaribuan Juanda dkk. 2012. Catatan Akademik Rancangan Undang-Undnag
Pengadilana Hubungan Industrial. Jakarta:TURC
Pasaribu, Bomer. 1995. Dunia Kerja dan Perspektif Hubungan Industrial di Era
Industrialisasi dan Liberalisasi Ekonomi Pasar. Jakarta:Sumber Rezeki
Rajagukguk, HP. 2000 Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan (C
determination), makalah
Salim, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika
Sidharta. 2010. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga
Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian
Hukum, dan Kemanfaatan (Jakarta:Komisi Yudisial Republik Indonesia
Simanjuntak, Payaman J. 2000. Peranan Serikat Pekerja dalam Paradigma Baru
Hubungan Industrial di Indonesia. Jakarta: HIPSMI
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat Jakarta; Rajawali. Cet, Ke-11
Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia Press
83
Soepomo, Iman. 1980. Huku Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan
Buruh). Jakarta: Pradya Paramita
Soepomo, Iman. 1986. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta:Djambatan
Sulaiman, Abdullah. Hukum Perburuhan-I, BahannMatakuliah Hukum
Perburuhan Program Magister Ilmu Hukum UIJ
Sulaiman, Abdullah dan Andi Walli. 2019. Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan,
Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia
Suratman dan Philips Dillah. Metode Penelitian Hukum. 2012. Bandung: Alfabeta
Suryandono, Widodo dan Aloysius Uwiyono. 2014. Asas-asas Hukum
Perburuhan. Jakarta:Rajawali Pers
Wijayanti, Asri. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca ReformasiJakarta ; Sinar
Grafika
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
84
Jurnal, Skrispsi, dan Internet
1. Jurnal
Hassanuddin, Tria. 2015. ANALISIS HUKUM PUTUSAN HAKIM DALAM
PERKARA PERSELISIHAN HAK DI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL PEKANBARU (Studi Kasus Terhadap Putusan
Nomor 24/G/2012/PHI.PBR), JOM Fakultas Hukum Volume 2 No.
02
Kirana, Tanti Utami. 2013. PERAN SERIKAT PEKERJA DALAM
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01
Ridwan. 2008. Mewujudkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik Solusi Pencarian dan Penemuan
Keadilan Subtantif, Jurnal Hukum Pro Justicia Vol. 26 No.2
2. Skripsi
Budiman, Anwar. 2018. Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perlindungan
Hukum terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kerja: Mekanisme
Perjanjian Kerja pada Perusahaan Sektor Otomotif di Indonesia.
Disertasi Program Doktor Hukum Program Pascasarjana
Universitas Krisnadwipayana Jakarta
Hartina, Aidha Putri.2019. Pelaksanaan Mediasi dalam Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (Studi kasus antara PT Sentosa
85
Adi Makmur dan Pekerja, Skripsi Program Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada
Kurnia, Lim Wijaya. 2016. Tinjauan Yuridis Terhadap Perimbangan Hakim
dalam menetapkan Pemberian Hak-Hak Bagi Pekerja Yang
Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Kota
Semarang), Skripsi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang
3. Internet
Buruh Online, UU PHI, Satu Paket Kebijakan Yang Belum Berpihak Kepada
Masyarakat.https://buruh-online.com/2015/10/undang-undang-
nomor-2-tahun-2004-tentang-pphi-adalah-satu-paket-kebijakan-
yang-belum-berpihak-kepada-masyarakat.html. Diakses pada 30
Januari 2020
Hukum Online, Hak Pekerja Yang Terkena PHK dan yang Mengundurkan
Diri,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2066/hak-
pekerja-yang-terkena-phk-dan-yang-mengundurkan-diri diakses
pada 15 April 2020
Hukum Online, Mayday 2019: Beragam Tuntutan Kesejahteraan Buruh,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ccabfb12d926/mayda
y-2019--beragam-tuntutan-kesejahteraan-buruh/ diakses pada 15
April 2020
Halaman 1 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
P U T U S A N
Nomor: 07/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang yang
memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada tingkat
pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara gugatan
antara:
1. Ubaidillah, bertempat tinggal di RT. 001/004 Kp Bayur Kali, Lebak
Wangi, Sepatan, Kab. Tangerang;
2. Muhamad Agus, bertempat tinggal di RT. 001/002 Kp Gurudug,
Ds,Mekar Jaya, Kec.Sepatan, Kab. Tangerang;
3. Nurdin, bertempat tinggal di RT. 001/002 Kp Pisangan Baru,Ds.Sarakan
Kec. Sepatan, Kab. Tangerang;
4. M.Hasbullah, bertempat tinggal di RT. 005/001 Kp Pisangan,Ds.Kayu
Agung, Kec.Sepatan, Kab. Tangerang;
5. Abdul Wahid, bertempat tinggal di RT. 002/003 Kp Pondok Wetan, Ds.
Pakuhaji, Kec.Sepatan, Kab. Tangerang;
6. Yayat Ahmad Hidayat, bertempat tinggal di RT. 003/008 Kp Nagrog,Ds.
Sukamenak, Kec. Purbaratu, Tasikmalaya;
7. Junaedi, bertempat tinggal di RT. 002/001 Kp Buaran Mangga, Ds. Paku
haji, Kec. Pakuhaji, Kab. Tangerang.
dalam hal ini memberikan kuasa kepada Saepul Tavip, Timbul Siregar dan
Ardi Adnan dari Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) yang telah
tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kodya Jakarta Selatan
dengan No. Pencatatan 484/V/N/XII/2006 beralamat di Jl. I Kavling No. 36 RT.
02/014, Asem Baris, Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, berdasarkan surat
kuasa tanggal 19 Januari 2016, yang telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang pada hari
Kamis tanggal 28 Januari 2016, dibawah register Nomor: 20/SK.PHI.G/ -
/2016/PN.Srg, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT;
Halaman 2 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
LAWAN
PT. Araputra Fortuna Perkasa yang beralamat di Jl. Karet Raya II Ujung
Kp.Gurudug, Ds.Mekar Jaya Kec. Sepatan, Kabupaten Tangerang, yang
diwakili oleh Direktur Thamrin Anwar, dalam hal ini memberikan kuasa kepada
Kuasanya yang bernama Bernat Siregar, S.H Advokat dan Konsultan Hukum
pada kantor Bernat Siregar & Partner yang beralamat di Perumahan Sari
Bumi Indah Blok D.16 No.10 Binong, Curug, Kabupaten Tangerang,
berdasarkan surat Kuasa Khusus nomor: 02/SKH-Pdt/III/2016 tertanggal 2
Maret 2016, yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Serang pada hari Rabu tanggal 16 Maret
2016, dibawah register Nomor: 81/SK.PHI.G/ - /2016/PN.Srg, selanjutnya
disebut sebagai TERGUGAT;
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tersebut;
Setelah membaca berkas perkara beserta surat-surat yang bersangkutan;
Setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara;
Setelah melihat bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak yang berperkara;
Setelah mendengar keterangan saksi-saksi;
TENTANG DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Penggugat dengan Surat Gugatan tanggal 27
Januari 2016 yang dilampiri anjuran atau risalah penyelesaian, yang diterima
dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Serang pada tanggal 28 Januari 2016 dalam Register Nomor
07/Pdt.SUS-PHI/2016/PN.Srg, telah mengajukan gugatan sebagai berikut :
1. Bahwa kasus ini bermula ketika pada tanggal 25 Maret 2015 para penggugat
mengirim surat ke pimpinan perusahaan Tergugat mempertanyakan upah
para penggugat yang diterima masih dibawah ketentuan Upah minimum
Kabupaten Tangerang dan meminta Tergugat untuk mematuhi ketentuan
Upah Minimum yang berlaku di Kabupaten Tangerang;
2. Bahwa pada hari Rabu tanggal 1 April 2015 sekitar jam 14.00 pihak
Tergugat merespon surat tersebut, dengan memanggil para Penggugat
menghadap Pimpinan perusahaan Bpk Tamrin di ruangannya, dalam
pertemuan tersebut pimpinan perusahan menyampaikan sekaligus meminta
para Penggugat untuk segera mencabut tuntutannya dan diberikan waktu
untuk berpikir selama sebulan. Apabila dalam sebulan para Penggugat tidak
Halaman 3 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
juga menarik tuntutannya secara tertulis maka para Penggugat akan di PHK,
selama dalam proses berpikir para Penggugat tidak diizinkan masuk kerja
(dirumahkan);
3. Bahwa pada hari senin tanggal 4 Mei 2015 para Penggugat mendatangi
perusahaan tempat para Penggugat bekerja dengan tujuan masuk bekerja
kembali seperti biasa namun ditolak Tergugat karena tidak bisa menunjukan
surat pencabutan tuntuan sebagaimana yang di minta Tergugat;
4. Bahwa atas tindakan Tergugat yang tidak mengizinkan para Penggugat
bekerja seperti biasa maka pada tanggal 8 Mei 2015 para Penggugat
mengirim surat yang isinya menolak sikap Tergugat dan meminta untuk
bertemu agar para Penggugat diizinkan bekerja kembali seperta biasa
namun Tergugat tidak meresponnya;
5. Bahwa pada hari senin tanggal 25 Mei 2015 para Penggugat kembali
mengirim surat yang isinya menolak PHK sepihak dan meminta bertemu
untuk melakukan perundingan secara Bipartite tetapi pihak Tergugat lagi lagi
tidak mau bertemu dan berunding dengan para Penggugat;
6. Bahwa tindakan Tergugat yang melakukan PHK terhadap Penggugat tanpa
didahului Surat peringatan kepada Para Penggugat, jelas-jelas telah
melanggar ketentuan :
a. Pasal 161 ayat (1) dan ayat (2) UU N0. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyebutkan : “(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja, SETELAH kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan
Surat Peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut;
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-
masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.”
b. Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan : “(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/buruh.”
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.”
Halaman 4 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
7. Bahwa atas tidak diresponnya dua surat Penggugat melalui OPSI kepada
Tergugat maka berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No 21 Tahun
2004 tentang Perselisihan Hubungan Indutrial pihak Penggugat membawa
dan mencatatkan kasus ini ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang
pada tanggal 10 Juni 2015 dengan surat Nomor 057/E/Adv/VI/2015;
8. Bahwa atas pencatatan yang dilakukan Penggugat maka Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Tangerang melakukan sidang mediasi. Bahwa selama 4
kali pemanggilan sidang mediasi pihak Tergugat tidak pernah hadir di Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang;
9. Bahwa atas kebuntuan di tingkat mediasi tersebut maka Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Tangerang telah mengeluarkan Surat Anjuran No,
567/5761/Disnakertrans tanggal 05 Okober 2015 yang pada pokoknya
menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat tetap
berlanjut (tidak terputus) dan upah selama proses agar dibayarkan;
10. Bahwa mengingat pasca dikeluarkannya surat anjuran, Tergugat tidak
memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kasus ini, maka Para Penggugat
akhirnya menggugat Tergugat ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Serang;
11. Bahwa dari apa yang diuraikan oleh Para Penggugat, maka terdapat fakta-
fakta hukum sebagai berikut :
12. Bahwa mengingat Para Penggugat (yang oleh Tergugat dianggap sebagai
pekerja harian lepas) telah bekerja tidak kurang dari 21 hari kerja, bahkan
lebih dari 3 bulan berturut-turut (selama bertahun-tahun) serta mengerjakan
kegiatan inti (core business) dari Perusahaan Tergugat, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT), khususnya ayat (3), yaitu :
Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja
harian lepas berubah menjadi PKWTT.
maka, status dari Para Penggugat secara hukum adalah karyawan
tetap/permanen, bukan karyawan harian lepas.
13. Bahwa setelah diputus hubungan kerjanya secara sepihak pada bulan April
2015 Tergugat sudah tidak lagi membayarkan upah kepada Para Penggugat
sejak bulan April 2015, maka sesungguhnya Para Penggugat masih berhak
atas upah selama proses yang dihitung sampai dengan putusan ini
dibacakan, yaitu sekitar bulan Maret 2016. Dengan demikian, setiap
Penggugat berhak mendapat upah proses masing-masing sebesar 9 bulan
upah di tahun 2015(sesuai UMK Kabupaten Tangerang tahun 2015 sebesar
Rp. 2.710.000,- (dua juta tujh ratus sepuluh ribu rupiah) dan 3 bulan upah di
Halaman 5 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
tahun 2016 sesuai UMK Kabupaten Tangerang 2016 sebesar
Rp.3.021.650,- (tiga juta seratus ribu rupiah);
14. Bahwa jumlah hari dan jam kerja normal yang berlaku di Perusahaan
Tergugat, dalam seminggu adalah 6 hari kerja dari pukul 08.00 WIB s/d
16.00 WB dan di hari Sabtu mulai pukul 08.00 WIB s/d 13.00 WIB. Faktanya
setiap Para Penggugat diwajibkan kerja lembur. Para Penggugat baru bisa
pulang pada pukul 18.00 WIB (lembur 2 jam) dan pada hari Sabtu pulang
pukul 16.00 WIB (lembur 3 jam). Namun pada kenyataannya, Tergugat
hanya membayar sebesar Rp. 4.500,- per jam (kecuali untuk Penggugat-1
yang dibayar sebesar Rp.7.500,- per jam);
15. Bahwa dengan demikian, jelas terdapat pelanggaran terhadap perhitungan
dan pembayaran upah lembur terhadap para Penggugat. Berdasarkan
ketentuan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, maka dengan jumlah
hari kerja sebanyak 25 hari dalam sebulan, perhitungan upah lembur dari
Para Penggugat (kecuali Penggugat-4, yang baru bergabung di bulan
Oktober 2014) adalah sebagai berikut :
Tahun 2014
a. 1 jam pertama, sebanyak 25 jam dalam sebulan : (25 x 1,5) x UMK 2014/173 x 12 bulan.
b. 1 jam kedua (25 jam) ditambah 4 jam di hari Sabtu : (29 x 2) x UMK 2014/173 x 12 bulan.
Tahun 2015
a. 1 jam pertama, sebanyak 25 jam dalam sebulan : (25 x 1,5) x UMK 2015/173 x 3 bulan.
b. 1 jam kedua (25 jam) ditambah 4 jam di hari Sabtu : (29 x 2) x UMK 2015/173 x 3 bulan.
16. Bahwa dengan upah lembur yang dibayar dan sudah diterima oleh Para
Penggugat sebesar Rp.4.500/jam (kecuali Penggugat-1 yang dibayar
sebesar Rp.7.500/jam), maka jumlah hak upah lembur tersebut masing-
masing tinggal dikurangkan dengan (25+29) x Rp.4.500.- x 12 bulan untuk
tahun 2014 sebesar Rp. 2.916.000,-. Sementara untuk tahun 2015 :
(25+29) x Rp.4.500.- x 3 bulan, sebesar Rp.729.000,-, total sebesar Rp.
3.645.000.
Dengan demikian kekurangan pembayaran upah lembur dari setiap
Penggugat (kecuali Penggugat-1 dan Penggugat-4) adalah sebagai berikut :
Tahun 2014 : (25 x 1,5) x 2.442.000/173 x 12 bulan = Rp. 6.352.023
(29 x 2 ) x 2.442.000/173 x 12 bulan = Rp. 9.824.462 Tahun 2015 : (25 x 1,5) x 2.710.000/173 x 3 bulan = Rp. 1.762.283
(29 x 2) x 2.710.000/173 x 3 bulan. = Rp 2.723.000 Total = Rp.20.661.768
Dikurangi yang sudah dibayar…………………… = Rp. 3.645.000 Jumlah kekurangan upah lembur = Rp.17.016.768
Halaman 6 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
17. Bahwa adapun untuk Penggugat-1 (dengan upah lembur dibayar sebesar
Rp. 7.500 /jam), maka perhitungannya adalah sebagai berikut :
Total upah lembur di tahun 2014 dan 2015 = Rp.20.661.768 Dikurangi yang sudah dibayar sebesar Rp.7.500/jam : Tahun 2014 : (25+29) x Rp.7.500.- x 12 bulan sebesar = Rp. 4.860.000,- Tahun 2015 : (25+29) x Rp.7.500.- x 3 bulan, sebesar = Rp. 1.215.000,-
Jumlah kekurangan upah lembur = Rp.14.586.768,- 18. Bahwa untuk Penggugat-4 (baru bergabung di tanggal 13 Oktober 2014)
perhitungan kekurangan upah lemburnya adalah sebagai berikut :
Tahun 2014 : (25 x 1,5) x 2.442.000/173 x 2,5 bulan = Rp. 1.323.338 : (29 x 2 ) x 2.442.000/173 x 2,5 bulan = Rp. 2.046.763
Tahun 2015 : (25 x 1,5) x 2.710.000/173 x 3 bulan = Rp. 1.762.283 (29 x 2) x 2.710.000/173 x 3 bulan = Rp 2.723.000
Total = Rp. 7.855.384 Dikurangi yang sudah dibayar : Tahun 2014 : (25+29) x Rp.4.500.- x 2,5 bulan, sebesar = Rp. 607.500,- Tahun 2015 : (25+29) x Rp.4.500.- x 3 bulan, sebesar = Rp. 739.000,-
Jumlah kekurangan upah lembur = Rp. 6.508.884,-
19. Bahwa mengingat pada kenyataannya Para Penggugat (kecuali Penggugat-
1 a/n Ubaidillah) hanya menerima upah sehari sebesar Rp. 69.500 (artinya
dalam 25 hari kerja dalam sebulan sebesar Rp. 1.737.500,-), sementara
UMK Kabupaten Tangerang tahun 2014 adalah sebesar Rp. 2.442.000,-
dan tahun 2015 sebesar Rp.2 710.000,-, padahal sesuai ketentuan Pasal 90
Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2013 Tergugat
wajib membayar upah Para Penggugat tersebut sebesar nilai UMK. Oleh
karenanya untuk jangka 2 tahun ke belakang, Para Penggugat berhak atas
kekurangan/selisih upah tersebut, yang besarnya setiap bulan adalah
sebesar Rp. 704.500,- untuk tahun 2014 dan sebesar Rp. 972.500,- untuk
tahun 2015;
20. Bahwa adapun untuk Penggugat-1 dengan upah per hari sebesar
Rp.90.000,- di tahun 2014 (berarti perhitungan upah sebulan adalah sebesar
Rp. 2.250.000,-) dan Rp. 97.500 di tahun 2015 (berarti perhitungan upah
sebulan adalah sebesar Rp. 2.437.500,-), maka kekurangannya setiap bulan
untuk tahun 2014 adalah sebesar Rp. 192.000,- dan kekurangan upah untuk
tahun 2015 adalah sebesar Rp.272.500,- per bulan;
21. Bahwa demikian pula dengan THR (Tunjangan Hari Raya) tahun 2014 dan
tahun 2015 yang faktanya para Penggugat tidak pernah menerima
Tunjangan Hari Raya (THR). Oleh karenanya sesuai ketentuan Pasal 3
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 04 Tahun 1994 tentang
Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan, maka bagi
Penggugat yang telah bekerja lebih dari satu tahun pada masing-masing
waktu Hari Raya Iedul Fitri, berhak mendapatkan pembayaran THR sebesar
1 bulan upah dengan nilai sebesar UMK. Dengan demikian, Tergugat wajib
Halaman 7 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
membayar THR tersebut. Untuk tahun 2014 sebesar Rp. 2.442.000,- dan
tahun 2015 sebesar Rp. 2.710.500. - kepada masing-masing Penggugat.
22. Mengingat para Penggugat tidak disertakan dalam program Jamsostek
selama bekerja di Perusahaan Tergugat, maka berdasarkan ketentuan UU
Jamsostek No. 3 tahun 1992 jo UU BPJS No. 24 tahun 2011, Tergugat wajib
menyetorkan kepada PT. Jamsostek (yang sekarang telah berubah menjadi
BPJS Ketenagakerjaan) sekurang-kurang premi Jaminan Hari Tua (JHT)
sebesar 3,7% dari upah para Penggugat yang besarnya sesuai UMK pada
masing-masing tahun, terhitung sejak Para Penggugat bekerja di
Perusahaan Tergugat.
23. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka secara keseluruhan hak-hak
dari masing-masing Penggugat adalah sebagai berikut :
Penggugat-1 (a/n. Ubaidillah)
Masa kerja : 11 tahun 7 bulan Upah : Rp.2.710.000,- (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp 2.710.000,-
Rp. 24.390.000
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp 3.021.650,-
Rp. 9.064.950
c Kekurangan upah lembur Rp. 14.586.768
d Kekurangan upah tahun 2014. 12 bulan x Rp.704.500.-
Rp. 8.454.000
e Kekurangan upah tahun 2015: 3 bulan x Rp.972.500,-
Rp. 2.917.500
f THR tahun 2014 Rp. 2.442.000
g THR tahun 2015 Rp. 2.710.000
T o t a l Rp 64.565.218
Enam puluh empat juta lima ratus enam puluh lima ribu dua ratus delapan
belas rupiah
Penggugat-2 (a/n.Muhamad Agus)
Masa kerja : 3 tahun 2 bulan Upah : Rp.2.710.000,- (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp 2.710.000,-
Rp. 24.390.000
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp 3.021.650,-
Rp. 9.064.950
c Kekurangan upah lembur Rp. 17.016.768
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x Rp.704.500,-
Rp. 8.454.000
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp. .972.500,-
Rp. 2.917.500
Halaman 8 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
f THR tahun 2014 Rp. 2.442.000
g THR tahun 2015 Rp. 2.710.000
T o t a l Rp . 66.995.218
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus
delapan belas rupiah
Penggugat-3 (a/n. Nurdin)
Masa kerja : 4 tahun 3 bulan Upah : Rp.2.710.000,- (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp 2.710.000,-
Rp. 24.390.000
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp
3.021.650,-
Rp. 9.064.950
c Kekurangan upah lembur Rp. 17.016.768
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x Rp.704.500,-
Rp. 8.454.000
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp. .972.500,-
Rp. 2.917.500
f THR tahun 2014 Rp. 2.442.000
g THR tahun 2015 Rp. 2.710.000
T o t a l Rp . 66.995.218
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus
delapan belas rupiah
Penggugat-4 (a/n. M.Hasbulah)
Masa kerja : 1 tahun 3 bulan Upah : Rp.2.710.000,- (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp 2.710.000,-
Rp. 24.390.000
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp 3.021.650
Rp. 9.064.950
c Kekurangan upah lembur Rp. 6.508.884
d Kekurangan upah tahun 2014 : 2 bulan x Rp.704.500,-
Rp. 1.409.000
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp.972.500,-
Rp. 2.917.500
f THR tahun 2015 Rp. 2.710.000
T o t a l Rp. 54.045.334
Lima puluh empat juta empat puluh lima ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah
Halaman 9 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
Penggugat-5 (a/n. Abdul Wahid)
Masa kerja : 2 tahun 3 bulan Upah : Rp.2.710.000,- (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp 2.710.000,-
Rp. 24.390.000
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp 3.021.650,-
Rp. 9.064.950
c Kekurangan upah lembur Rp. 17.016.768
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x Rp.704.500,-
Rp. 8.454.000
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp. .972.500,-
Rp. 2.917.500
f THR tahun 2014 Rp. 2.442.000
g THR tahun 2015 Rp. 2.710.000
T o t a l Rp . 66.995.218
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus delapan belas rupiah
Penggugat-6 (a/n. Yayat Ahmad Hidayat)
Masa kerja : 2 tahun 2 bulan Upah : Rp.2.710.000,- (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp 2.710.000,-
Rp. 24.390.000
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp 3.021.650,-
Rp. 9.064.950
c Kekurangan upah lembur Rp. 17.016.768
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x Rp.704.500,-
Rp. 8.454.000
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp. .972.500,-
Rp. 2.917.500
f THR tahun 2014 Rp. 2.442.000
g THR tahun 2015 Rp. 2.710.000
T o t a l Rp . 66.995.218
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus delapan belas rupiah
Penggugat-7 (a/n. Junaedi)
Masa kerja : 3 tahun 3 bulan Upah : Rp.2.710.000,- (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp 2.710.000,-
Rp. 24.390.000
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp 3.021.650,-
Rp. 9.064.950
Halaman 10 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
c Kekurangan upah lembur Rp. 17.016.768
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x Rp.704.500,-
Rp. 8.454.000
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp. .972.500,-
Rp. 2.917.500
f THR tahun 2014 Rp. 2.442.000
g THR tahun 2015 Rp. 2.710.000
T o t a l Rp . 66.995.218
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus delapan belas rupiah
Oleh karena itu, atas dasar keterangan dan dalil-dalil sebagaimana yang telah
diuraikan di atas secara lengkap dan jelas, sesuai fakta-fakta hukum yang
sebenarnya, Para Penggugat memohon dengan segala hormat kepada Majelis
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang yang
memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan mengeluarkan putusan yang
amarnya sebagai berikut :
DALAM POKOK PERKARA
1. Menyatakan hubungan kerja yang bersifat harian lepas antara Tergugat
dengan Para Penggugat adalah batal demi hukum.
2. Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dan Para Penggugat demi
hukum berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat tetap/permanen
berdasarkan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) terhitung sejak
Para Penggugat mulai bergabung/bekerja di Perusahaan Tergugat.
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mempekerjakan kembali para
Penggugat sebagai karyawan tetap di Tergugat di posisi semula;
4. Menyatakan perbuatan Tergugat membayar upah dibawah ketentuan upah
minimum dan tidak memberikan Uang Tunjangan Hari Raya kepada para
Penggugat merupakan ”Perbuatan Melawan Hukum” dan/atau Tindak
Pidana Kejahatan di Bidang Ketenagakerjaan.
5. Menghukum/memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar hak-hak
Para Penggugat (berupa upah selama proses, upah lembur, kekurangan
pembayaran UMK 2014 dan 2015 serta kekurangan pembayaran THR 2014
dan 2015), sebagaimana telah diuraikan pada butir 23 di atas dengan nilai
total masing-masing sebesar :
▪ Penggugat-1 (a/n Ubaidillah) .……………...………..... Rp 64.565.218,-
▪ Penggugat-2 (a/n Muhamad Agus) .………….....….... Rp. 66.995.218,-
▪ Penggugat-3 (a/n Nurdin) .………….....………………. Rp 66.995.218,-
▪ Penggugat-4 (a/n M.Hasbulah) .………….....………... Rp. 54.045.334,-
▪ Penggugat-5 (Abdul Wahidi) .………….....…………… Rp. 66.995.218 -
▪ Penggugat-6 (a/n Yayat Ahmad Hidayat) .…………... Rp. 66.995.218,-
Halaman 11 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
▪ Penggugat-7 (a/n Junaedi) .……………….....……….. Rp 66.995.218 -
6. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar/menyetorkan premi JHT
(Jaminan Hari Tua) sebesar 3,7% dari upah/bulan (berdasarkan UMK dari
setiap tahunnya) secara akumulatif kepada PT. Jamsostek (yang sekarang
telah berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan), terhitung sejak masing-
masing Penggugat bergabung/bekerja di Perusahaan Tergugat.
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
Demikian surat gugatan ini kami ajukan. Jika Majelis Hakim berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan, untuk
Penggugat dan Tergugat masing-masing menghadap Kuasanya tersebut;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mengupayakan perdamaian
diantara para pihak;
Menimbang, bahwa oleh karena upaya perdamaian tidak berhasil,
pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan Surat Gugatan yang isinya
tetap dipertahankan oleh Penggugat;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut pihak
Tergugat memberikan Jawaban tertanggal 16 Maret 2016 yang pada pokoknya
sebagai berikut :
A. Kuasa hukum Penggugat tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat
Prinsipal
Dalam dalil gugatan disebutkan pada pokoknya sebagai berikut:
1. Didalilkan bahwa Para Penggugat Prinsipal tidak dapat menjelaskan sejak
kapan dimulainya bekerja pada Tergugat (Vide dalil profil Para Penggugat
No.3).
2. Para Penggugat Prinsipal adalah bukan anggota Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI) dan OPSI tidak tercatat di Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Tangerang akan tetapi
tercatat di Suku Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Jakarta Selatan.
Hal ini menjadi tidak sah karena keanggotaan Para Penggugat Prinsipal
pada OPSI atau SPPI tidak pernah dilaporkan kepada Tergugat.
3. Bahwa selanjutnya Organisasi Serikat Pekerja dimana Kuasa Hukum para
Penggugat bernaung tidak terdaftar pada Tergugat. Lagipula Penggugat
prinsipal tidak pernah melaporkan kepada Tergugat perihal
kepesertaannya di Organisasi Serikat Pekerja.
4. Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 18 UU Serikat Pekerja / Serikat
Buruh, yang berbunyi:
Halaman 12 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
(1) Serikat pekerja / serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja / serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara
tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagaakerjaan setempat untuk dicatat.
Bahwa berdasarkan alasan tersebut diatas maka Kuasa Hukum Penggugat
tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat prinsipal.
B. Gugatan Penggugat tidak dilampiri risalah bipartit oleh karenanya gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima karena cacat formil.
1. Bahwa pada tanggal 19 Februari 2016 Tergugat menerima Relaas Panggilan
Sidang Nomor: 07/Pdt.SUS-PHI/2016/PN.Srg. melalui Jurusita Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang yang dalam Relaas
Panggilan Sidang tersebut dilampiri Surat Gugatan dari Penggugat, namun
dalam Surat Gugatan tersebut tidak ada lampiran Risalah Penyelesaian
Melalui Mediasi atau Konsiliasi sebagaimana yang diwajibkan dalam Pasal
83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang berbunyi:
“Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui
mediasi atau konsiliasi maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada penggugat’.
2. Bahwa hal tersebut juga telah ditegaskan kembali dalam Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Buku II dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia Edisi 2007 dalam Bab Teknis Peradilan Pengadilan
Hubungan Industrial halaman 116 yang menyebutkan sebagai berikut:
“3. Gugatan
a. ..........................
b. ..........................
c. Gugatan yang langsung diajukan ke PHI, apabila tidak dilampiri
risalahah penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi maka
Hakim PHI wajib mengembalikan gugatan kepada Penggugat
dengan Penetapan Majelis Hakim dan Perkara tersebut
dinyatakan selesai (Pasal 83 Undang-Undang Nomor 2 tahun
2004).
d. .........................”
3. Fakta lain yang menunjukkan bahwa gugatan Para Penggugat tidak dilampiri
dengan Risalah Penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi adalah hal-hal
yang dituliskan dalam gugatan halaman 1 s/d 10 tidak disebutkan bahwa
gugatan Penggugat dilampiri dengan Risalah Penyelesaian melalui Mediasi
atau Konsiliasi.
4. Bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas cukup alasan untuk menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil
Halaman 13 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
yaitu tidak dilampiri dengan Risalah Penyelesaian melalui Mediasi atau
Konsiliasi.
DALAM POKOK PERKARA
1. Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan oleh Para
Penggugat kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya oleh Tergugat
dan dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh Tergugat sepanjang relevan dan
mendukung dalil-dalil Tergugat mohon untuk dianggap diberlakukan kembali.
2. Bahwa Para Penggugat adalah Pekerja Harian Lepas yang melamar dengan
cara menitipkan lamarannya pada perusahaan dan apabila Perusahaan
Tergugat membutuhkan Tenaga Kerja maka akan dipanggil.
3. Bahwa Tergugat menolak keras dalil Penggugat yang menyatakan masa
kerja Para Penggugat adalah seperti poin 8 dalil gugatannya fakta yang
sebenarnya adalah:
No Nama Masa Kerja Keterangan
1 Ubaidillah 05-05-2014 s/d 01-04-2015 1 Tahun
2 Muhamad Agus 21-08-2014 s/d 01-04-2015 8 Bulan
3 Nurdin 23-09-2014 s/d 01-04-2015 1,5 Tahun
4 M. Hasbullah 10-11-2014 s/d 01-04-2015 5 Bulan
5 Abdul Wahid 09-05-2014 s/d 01-04-2015 11 Bulan
6 Yayat Ahmad 13-11-2014 s/d 01-04-2015 1,3 Tahun
7 Junaidi 02-05-2014 s/d 01-04-2015 11 Bulan
Sesuai dengan PKWT yang telah ditandatangani oleh Para Pihak yakni Para
Penggugat dan Tergugat.
Fakta hukumnya adalah telah bahwa Penggugat adalah Karyawan harian
Lepas yang tidak bekerja secara terus menerus di perusahaan tergugat.
4. Bahwa Para Penggugat telah berakhir masa kerjanya sesuai dengan PKWT
dan mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh Para Penggugat tersebut
adalah pekerjaan-pekerjaan pendukung yang tidak termasuk dalam
pekerjaan inti (Core Business).
5. Bahwa perlu kami sampaikan bahwa Para Penggugat Prinsipal merupakan
buruh harian lepas yang kadang-kadang bekerja kadang-kadang tidak
bekerja dan tergantung sekali dengan banyak tidaknya order yang diperoleh
Tergugat.
6. Bahwa pada saat masuk kerja di Tergugat, awalnya Para Tergugat
mengajukan lamaran untuk bekerja dan tidak langsung diterima oleh
tergugat dikarenakan pada saat itu sepi order ataupun perusahaan Tergugat
sedang sepi.
Halaman 14 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
7. Bahwa setelah diterima bekerjaPara Penggugat melakukan pekerjaan
secara serabutan artinya tidak fokus pada pekerjaan tertentu karena
memang ruang lingkup dan pekerjaan yang ada pada tergugat simple dan
sederhana sehingga semua karyawan bisa mengerjakannya.
8. Selanjutnya karena sepinya order Tergugat tidak memberikan pekerjaan
karena memang sifat pekerjaan pada Tergugat sangat tergantung pada
order sehingga setelah masa kontraknya berakhir Tergugat tidak memanggil
Penggugat untuk bekerja.
9. Bahwa perlu kami sampaikan bahwa selama bekerja para Tergugat dengan
system kerja dan pengupahan yang sudah berjalan Penggugat tidak pernah
sama sekali keberatan baik lisan maupun tertulis kepada Tergugat.
10. Bahwa hal ini menjadi aneh ketika Penggugat melalui kuasa hukumnya
mempermasalahkan perihal system kerja dan system pengupahan yang ada
pada Tergugat, namun para Penggugat Principal sama sekali tidak pernah
mengeluh dan keberatan.
11. Bahwa mengenai dalil Para Penggugat poin 22 yang menyebutkan Para
Penggugat tidak diikutsertakan dalam program BPJS Ketenagakerjaan hal
ini tidak diadakan sehubungan pekerjaan dan status Para Penggugat adalah
Karyawan Harian Lepas yang tidak menetap serta jenis pekerjaannya yang
tidak menentu.
12. Bahwa kronologi tersebut penting kami sampaikan agar Majelis Hakim yang
Mulia tidak salah persepsi dan menganggap Tergugat seolah-olah tidak
manusiawi kepada para Penggugat.
13. Bahwa tidak benar didalilkan oleh Para Penggugat bahwa setelah
pertemuan dengan pimpinan perusahaan Tergugat cq bpk. Thamrin Para
Penggugat tidak diperbolehkan lagi untuk bekerja faktanya adalah Para
Penggugatlah yang tidak pernah hadir atau masuk kerja. Bahwa seharusnya
jika Penggugat menganggap bahwa antara Penggugat dan Tergugat terjadi
perselisihan maka sesuai dengan pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No.13
Tahun 2003 tetang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Selama putusan
lembaga penyelesaian hubungan industrial belum ditetapkan baik
pengusaha maupun pekerja / buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.” Namun faktanya Penggugat tidak bersedia bekerja lagi
ditempat Tergugat.
14. Bahwa oleh karena Para Penggugat tidak pernah masuk lagi untuk bekerja
padahal perselisihan belum selesai atau belum terjadi kesepakatan bersama
maka melanggar ketentuan 155 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan maka Penggugat telah mengundurkan diri atas
kemauan sendiri.
Halaman 15 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
15. Bahwa Para Penggugat telah mengundurkan diri atas kemauan sendiri maka
kewajiban Tergugat adalah sebagaimana ditentukan dalam pasal 162 ayat
(1) Undang-Undang No.13 tahun 2003 yaitu: “Pekerja/buruh yang
mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian
hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).”
16. Bahwa Para Penggugat dalam Petitumnya menyebutkan bahwa hubungan
kerja antara Penggugat dan Tergugat berakhir/putus sejak putusan Perkara
ini diucapkan adalah merupakan hal yang keliru dan tanpa dasar hukum
karena sudah Tergugat sampaikan bahwa Penggugatlah yang meminta
untuk tidak bekerja lagi pada Tergugat maka tuntutan Penggugat haruslah
ditolak dan menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan
Tergugat telah berakhir.
17. Bahwa dalam gugatan para Penggugat, Para Penggugat mempersoalkan
mengenai upah proses hal ini jelas-jelas Tergugat bantah karena fakta
hukum yang sebenarnya adalah yang mengakhiri hubungan kerja adalah
Penggugat Principal sendiri bukanlah Tergugat. Hal ini sangat beralasan
untuk menolak tuntutan upah proses dari Penggugat.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut Tergugat mohon kepada Yang Mulia Majelis
Hakim pemeriksa perkara a quo memberikan amar putusan sebagai berikut:
PERMOHONAN:
DALAM POKOK PERKARA
- Menerima Jawaban Tergugat untuk seluruhnya;
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidaknya
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
- Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara.
Jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
Menimbang, bahwa atas jawaban Tergugat tersebut selanjutnya pihak
Para Penggugat mengajukan Replik tertanggal 23 Maret 2016 dan atas Replik
tersebut Tergugat mengajukan Duplik tertanggal 30 Maret 2016;
Menimbang, bahwa selanjutnya untuk menguatkan dalil dalil gugatannya pihak
Penggugat telah mengajukan bukti surat yang diberi meterai cukup dan diberi
tanda P-1 sampai dengan P-16 adapun bukti tersebut adalah berupa :
1. Bukti P-1 Foto copy tanda bukti pencatatan Serikat Pekerja Araputra
Bersatu di Disnakertrans Kabupaten Tangerang;
2. Bukti P-2 Foto copy SK Dewan Eksekutif Nasional
No.09/SK.SPA/DEN-OPSI/VI/15;
3. Bukti P-3 Foto copy slip gaji Penggugat I (Sdr. Ubaidillah) bulan
Halaman 16 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
Penggugat juga menyerahkan bukti tambahan berupa surat-surat pada tanggal
11 Mei 2016 sebagai berikut:
Menimbang, bahwa selain bukti surat tersebut, Para Penggugat telah
mengajukan 3 orang saksi bernama 1. Muhidin, 2. Abdul Yanwar dan 3.
November 2007;
4. Bukti P-4 Foto copy slip gaji Penggugat I (Sdr. Ubaidillah) bulan
Desember 2009;
5. Bukti P-5 Foto copy slip gaji Penggugat I (Sdr. Ubaidillah) bulan Juni
2014;
6. Bukti P-6 Foto copy slip gaji Penggugat I (Sdr. Ubaidillah) bulan
Februari 2015;
7. Bukti P-7 Foto copy slip gaji Penggugat V (Sdr. Abdul Wahid) bulan
November 2013;
8. Bukti P-8 Foto copy slip gaji Penggugat V (Sdr. Abdul Wahid) bulan
Oktober 2014;
9. Bukti P-9 Foto copy slip gaji Penggugat VI (Sdr. Yayat Akhmad
Hidayat) bulan Desember 2013;
10. Bukti P-10 Foto copy slip gaji Penggugat VI (Sdr. Yayat Akhmad
Hidayat) bulan Januari 2015;
11. Bukti P-11 Foto copy surat anjuran dari Disnakertrans Kabupaten
Tangerang;
12. Bukti P-12 Pernyataan Sdr. Sopiyan (teman kerja Para Penggugat di
Tergugat);
13. Bukti P-13 Pernyataan Sdr. Muhidin Bin Sarmad (teman kerja Para
Penggugat di Tergugat)
14. Bukti P-14 Foto copy slip gaji Penggugat III (Sdr. Nurdin) bulan Oktober
2011
15. Bukti P-15 Foto copy slip gaji Penggugat III (Sdr. Nurdin) bulan Januari
2012
16. Bukti P-16 Foto copy slip gaji Penggugat III (Sdr. Nurdin) bulan Maret
2014
Halaman 17 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
Sopiyan telah menerangkan dibawah sumpah, yang pada pokoknya sebagai
berikut :
1. Saksi Muhidin menerangkan sebagai berikut :
Saksi kenal dengan Para Penggugat karena dahulu rekan kerja di
PT...............................;
- Bahwa ............................
2. Saksi Abdul Yanwar, menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:
Saksi kenal dengan Para Penggugat karena dahulu rekan kerja di
PT..............................;
- Bahwa saksi menerangkan .................
3. Saksi Sopiyan, menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi kenal dengan para penggugat dan kenal dengan tergugat;
- Bahwa Status para Penggugat adaah pegawai harian lepas;
- Bahwa para penggugat tersebut sudah tidak bekerja lagi di perusahaan
PT. Araputra Fortuna Perkasa tertanggal 1 April 2015;
- Bahwa para Penggugat menuntut upah sesuai UMR akan tetapi
perusahaan tidak ditanggapi kemudian para Pengguga disuruh keluar;
- Bahwa saksi mempunyai tanda anggota serikat;
- Bahwa saksi mendapatkan upah diperusahaan tersebut sebesar
Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah);
- Bahwa UMR di daerah tersebut Sekitar Rp.2.700.000,- (dua juta tujuh
ratus ribu rupiah);
- Bahwa saksi bekerja di perusahaan tersebut melalui lamaran surat
langsung;
- Bahwa para penggugat menuntut dengan secara tertulis;
-
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil sangkalannya
Tergugat telah mengajukan bukti surat yang telah diberi meterai yang cukup
lalu diberi tanda bukti T-1 Sampai dengan T-26, adapun bukti-bukti tersebut
berupa :
1. Bukti T-1 Foto copy Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUPP
Menengah Nomor: 503/02106-BP2T/30-03/PM/X/2013
atas nama PT. Araputra Fortuna Perkasa
2. Bukti T-2 Foto copy Surat Perjanjian Kerjasama antara PT.
Halaman 18 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
Araputra Fortuna Perkasa dengan Yayasan Ar Rahman
Mekarjaya - Sepatan
3. Bukti T-3 Foto copy surat lamaran kerja atas nama Ubaidillah
4. Bukti T-4 Foto copy surat personal file karyawan PT. Araputra
Fortuna Perkasa atas nama Ubaidillah
5. Bukti T-5 Foto copy Surat Kesepakatan Kerja untuk waktu tertentu
terhadap Ubaidillah dengan PT. Araputra Fortuna
Perkasa dengan Pekerja Kontrak Nomor:
048/KRY/AFP/II/14
6. Bukti T-6 Foto copy Surat Lamaran kerja atas nama Muhammad
Agus
7. Bukti T-7 Foto copy surat personal file karyawan PT. Araputra
Fortuna Perkasa atas nama Muhammad Agus
8. Bukti T-8 Foto copy Surat Kesepakatan Kerja untuk waktu tertentu
terhadap Muhammad Agus dengan PT. Araputra
Fortuna Perkasa dengan Pekerja Kontrak Nomor:
049/KRY/AFP/II/14
9. Bukti T-9 Foto copy surat personal file karyawan PT. Araputra
Fortuna Perkasa atas nama Nurdin
10. Bukti T-10 Foto copy Surat Kesepakatan Kerja untuk waktu tertentu
terhadap Nurdin dengan PT. Araputra Fortuna Perkasa
dengan Pekerja Kontrak Nomor: 047/KRY/AFP/III/13
11. Bukti T-11 Foto copy Surat Lamaran kerja atas nama M. Hasbullah
12. Bukti T-12 Foto copy surat personal file karyawan PT. Araputra
Fortuna Perkasa atas nama M. Hasbullah
13. Bukti T-13 Foto copy Surat Kesepakatan Kerja untuk waktu tertentu
terhadap M. Hasbullah dengan PT. Araputra Fortuna
Perkasa dengan Pekerja Kontrak Nomor:
049/KRY/AFP/II/14
14. Bukti T-14 Foto copy Surat Lamaran kerja atas nama Abdul Wahid
15. Bukti T-15 Foto copy surat personal file karyawan PT. Araputra
Fortuna Perkasa atas nama Abdul Wahid
16. Bukti T-16 Foto copy Surat Kesepakatan Kerja untuk waktu tertentu
terhadap Abdul Wahid dengan PT. Araputra Fortuna
Perkasa dengan Pekerja Kontrak Nomor:
049/KRY/AFP/II/14
Halaman 19 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
Tergugat juga menyerahkan bukti tambahan berupa surat-surat pada tanggal 15
Juni 2016 sebagai berikut:
Menimbang, bahwa selain bukti surat tersebut, Para Tenggugat telah
mengajukan 3 (tiga) orang saksi bernama 1. Sumiyati, 2. Untung dan 3.
Subhan telah menerangkan dibawah sumpah, yang pada pokoknya sebagai
berikut :
1. Saksi Sumiyati menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa saksi menerangkan……..
2. Saksi Untung menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa saksi menerangkan....................
17. Bukti T-17 Foto copy Surat Lamaran kerja atas nama Yayat Ahmad
Hidayat
18. Bukti T-18 Foto copy surat personal file karyawan PT. Araputra
Fortuna Perkasa atas nama Yayat Ahmad Hidayat
19. Bukti T-19 Foto copy Surat Kesepakatan Kerja untuk waktu tertentu
terhadap Yayat Ahmad Hidayat dengan PT. Araputra
Fortuna Perkasa dengan Pekerja Kontrak Nomor:
047/KRY/AFP/III/13
20. Bukti T-20 Foto copy Surat Lamaran kerja atas nama Junaidi
21. Bukti T-21 Foto copy surat personal file karyawan PT. Araputra
Fortuna Perkasa atas nama Junaidi
22. Bukti T-22 Foto copy Surat Kesepakatan Kerja untuk waktu tertentu
terhadap Junaidi dengan PT. Araputra Fortuna Perkasa
dengan Pekerja Kontrak Nomor: 049/KRY/AFP/II/14
19. Bukti T-23 Foto copy Surat da Foto copy surat pernyatan pencabutan keterangan sebagai
saksi, oleh sdr. M. Sopiyan B dari Penggugat dalam
perkara nomor: 07/Pdt.Sus-PHI/2016/PN. Srg. Pada
tanggal 18 Mei 2016 dalam persidangan di Pengadilan
Negeri Serang / Perselisihan Hubungan Industrial
20. Bukti T-24 Foto copy surat pernyatan pencabutan keterangan sebagai
saksi, oleh sdr. Abdul Yanwar dari Penggugat dalam
perkara nomor: 07/Pdt.Sus-PHI/2016/PN. Srg. Pada tanggal
18 Mei 2016 dalam persidangan di Pengadilan Negeri
Serang / Perselisihan Hubungan Industrial
Halaman 20 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
3. Saksi Subhan menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa saksi menerangkan..................
…………………… diisi dgn keterangan saksi ………………………….
Menimbang, bahwa selanjutnya segala sesuatu yang termuat dalam
berita acara persidangan perkara ini, untuk menyingkat putusan ini dianggap
telah termuat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan putusan ini ;
Menimbang, bahwa selanjutnya Para Penggugat dan Tergugat telah
menyampaikan kesimpulan masing masing pada tanggal 13 Juli 2016;
Menimbang, bahwa akhirnya para pihak menyatakan tidak ada hal-hal
yang diajukan lagi dan mohon putusan;
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Para Penggugat
adalah sebagaimana diuraikan tersebut diatas;
DALAM EKSEPSI
Menimbang, bahwa dalam jawaban Tergugat tertanggal 16 Maret 2016
terdapat eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1. Kuasa hukum Penggugat tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat Prinsipal,
dimana Tergugat mendalilkan:
▪ Didalilkan bahwa Para Penggugat Prinsipal tidak dapat menjelaskan
sejak kapan dimulainya bekerja pada Tergugat (Vide dalil profil Para
Penggugat No.3).
▪ Para Penggugat Prinsipal adalah bukan anggota Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI) dan OPSI tidak tercatat di Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Tangerang akan tetapi
tercatat di Suku Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Jakarta
Selatan. Hal ini menjadi tidak sah karena keanggotaan Para Penggugat
Prinsipal pada OPSI atau SPPI tidak pernah dilaporkan kepada Tergugat.
▪ Bahwa selanjutnya Organisasi Serikat Pekerja dimana Kuasa Hukum
para Penggugat bernaung tidak terdaftar pada Tergugat. Lagipula
Halaman 21 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
Penggugat prinsipal tidak pernah melaporkan kepada Tergugat perihal
kepesertaannya di Organisasi Serikat Pekerja.
▪ Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 18 UU Serikat Pekerja / Serikat
Buruh, yang berbunyi:
(2) Serikat pekerja / serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja / serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara
tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
Bahwa berdasarkan alasan tersebut diatas maka Kuasa Hukum Penggugat
tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat prinsipal.
Sehubungan atas eksepsi Tergugat tersebut Penggugat dalam Repliknya
tertanggal 23 Maret 2016 mendalilkan bahwa:
▪ Bahwa argumentasi eksepsi Tergugat yang menyatakan Kuasa Hukum
Penggugat tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat
prinsipal adalah argumentasi yang tidak benar karena Serikat Pekerja
Araputra Bersatu (SPAB) memang sudah ada di Tergugat. Bahwa
faktanya para Penggugat prinsipal adalah anggota SPAB dengan nomor
Bukti Pencatatan 80/Disnakertrans/V/2015 tertanggal 20 Mei 2015.
▪ Bahwa SPAB berafiliasi ke OPSI berdasarkan surat permohonan SPAB
tanggal 27 Mei 2015 dan diterima menjadi anggota OPSI melalui surat
Dewan Eksekutif OPSI tanggal 5 Juni 2015.
▪ Bahwa berdasarkan Kartu Tanda Anggota yang dimiliki para Penggugat
prinsipal di SPAB maka sudah sangat jelas bahwa Para Penggugat
adalah anggota SPAB.
Menimbang, bahwa eksepsi diatas yang diajukan Tergugat mengenai Kuasa
hukum Penggugat tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat
Prinsipal adalah bukanlah perihal kekuasaan hakim atau declianatoire exeptie,
maka berdasarkan pasal 136 HIR eksepsi ini akan diperiksa, dipertimbangkan
dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara.
Perihal eksepsi Tergugat tersebut Majelis berpendapat dalam pertimbangan
hukumnya,
▪ Bahwa dengan memperhatikan Pasal 1 ayat (1) dan (4) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh:
(1) Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh, dan untuk pekerja/buruh baik diperusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
Halaman 22 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
(4) Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat
pekerja/serikat buruh;
▪ Bahwa dengan memperhatikan Pasal 18 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara
tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan
dilampiri:
a. daftar nama anggota pembentuk;
b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c. susunan dan nama pengurus.
▪ Bahwa dengan memperhatikan Pasal 8 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:
Perjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur dalam anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangganya.
▪ Bahwa dengan memperhatikan Pasal 21 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:
Dalam hal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga,
pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/Serikat buruh memberitahukan kepada instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar dan/atau
anggaran rumah tangga tersebut.
▪ Bahwa dengan memperhatikan pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor Kep.16/Men/2001 tentang Tata Cara
Pencatatan Serikat Pekerja / Serikat Buruh:
(1) Dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar/anggaran rumah tangga
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja /
serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf b,
pengurus harus memberitahukan secara tertulis mengenai pasal-pasal
perubahan anggaran dasar / anggaran rumah tangga kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
dengan di lampiri anggaran dasar /anggaran rumah tangga yang baru,
dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran
VI Keputusan Menteri ini.
Halaman 23 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten /
kota setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus mencatat perubahan anggaran dasar/anggaran rumah
tangga serikat pekerja atau serikat buruh dalam buku pencatatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Keputusan Menteri ini.
▪ Bahwa dengan memperhatikan Pasal 25 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan
berhak:
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan
industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(2) Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
▪ Bahwa dengan memperhatikan Pasal 23 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:
Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan
harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra
kerjanya sesuai dengan tingkatannya.
▪ Bahwa dengan memperhatikan Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep.16/Men/2001 tentang
Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja / Serikat Buruh:
Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh setelah menerima nomor bukti pencatatan harus
memberitahukan secara tertulis kepada mitra kerjanya sesuai dengan
tingkatan organisasinya.
▪ Bahwa dengan memperhatikan Pasal 87 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial:
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
untuk mewakili anggotanya.
Halaman 24 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
▪ Bahwa Serikat Pekerja Araputra Bersatu menunjukkan Tanda Bukti
Pencatatan di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Tangerang – bukti P-1 dalam perkara aquo;
▪ Bahwa Penggugat menunjukkan bukti afiliasi Serikat Pekerja Araputra
Bersatu (SPAB) dengan Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)
dengan SK Dewan Eksekutif Nasional No.09/SK.SPA/DEN-OPSI/VI/15 –
bukti P-2 dalam perkara aquo
Maka menurut pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara aquo,
Bahwa tindakan afiliasi SPAB kepada OPSI adalah suatu tindakkan untuk
bergabung dan menundukkan diri pada OPSI atau penjenjangan Serikat Pekerja
/ Serikat Buruh sebagaimana diatur dalam pasal 8 UU 21/2000 memiliki
konsekuensi perubahan AD/ART SPAB.
Bahwa perubahan AD/ART diperlukan dikarenakan SPAB dari semula
merupakan Serikat Pekerja yang semula mandiri menjadi Serikat Pekerja yang
berafiliasi kepada OPSI.
Bahwa afiliasi adalah domain internal organisasi SPAB tetapi setiap
perubahan dalam organisasi yang significant termasuk melakukan afiliasi
dengan organisasi Serikat Pekerja / Serikat Buruh diluar organisasi semula
memerlukan perubahan AD/ART, sehingga tanpa perubahan AD/ART tindakkan
afiliasi belum dapat diartikan sah.
Bahwa perubahan AD/ART Serikat Pekerja / Serikat Buruh memerlukan
dan mensyaratkan tindakan lanjutan berupa pemberitahuan kepada instansi
yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di domisili Serikat Pekerja /
Serikat Buruh untuk dicatatkan perubahannya sebagaimana yang diatur dalam
pasal 21 UU No.21/2000 jo. Pasal 7 Kepmenakertrans Kep.16/Men/2001.
Bahwa sesuai bukti P-1 yang diajukan Serikat Pekerja Araputra Bersatu
(SPAB) benar telah mencatatkan pembentukan serikat pekerjanya di Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tangerang tertanggal 20 Mei 2016
dengan nomor pencatatan 80/Disnakertrans/V/2015 dan mengajukan
permohonan untuk berafiliasi dengan Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia
(OPSI) tanggal 27 Mei 2016 nomor 001/SPAV/V/2016 serta penerimaan OPSI
sesuai Surat Keputusan Dewan Eksekutif Nasional No.09/SK.SPA/DEN-
OPSI/VI/15 tanggal 5 Juni 2015, hal ini menunjukkan perubahan SPAB ber-
afiliasikan ke OPSI, tetapi tindakan afiliasi tersebut belum ditindaklanjuti dengan
perubahan AD/ART dan pemberitahuan kepada instansi yang bertanggung
jawab dibidang ketenagakerjaan di domisili SPAB. Oleh karena itu Majelis
Hakim berpendapat bahwa pasal 87 UU 2/2004 dimana Serikat pekerja / Serikat
Buruh dan Organisasi Pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk
beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya tidak
Halaman 25 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
dapat diberlakukan kepada Kuasa Hukum Penggugat yang merupakan
pengurus dari OPSI, maka Majelis Hakim berpendapat Kuasa Hukum tidak
dapat mewakili Para Penggugat prinsipal.
Menimbang bahwa oleh karena eksepsi Tergugat dinyatakan dapat
diterima, maka gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (Niet
onvankelijke verklaard);
Menimbang bahwa eksepsi pertama Tergugat sebagaimana diuraikan
diatas dapat diterima, maka Majelis Hakim berpendapat eksepsi Tergugat yang
kedua perihal Gugatan Penggugat tidak dilampiri risalah bipartit oleh karenanya
gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena cacat formil tidak perlu
diperiksa dan dipertimbangkan lagi;
DALAM POKOK PERKARA
Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi Tergugat perihal Kuasa Hukum
Penggugat tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat Prinsipal
atas pertimbangan diatas telah dikabulkan, maka gugatan Penggugat dalam
pokok perkara yang sedang diperselisihkan oleh Penggugat dengan Tergugat
tidak dapat diperiksa dan dipertimbangkan lebih lanjut.
Majelis Hakim menyatakan bahwa Gugatan Penggugat No.07/Pdt.SUS-
PHI/2016/PN.Srg tanggal 27 Januari 2016 yang didaftarkan pada tanggal 28
Januari 2016 tidak dapat diterima (Niet onvankelijke verklaard).
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan
biaya Perkara. Berdasarkan ketentuan Pasal 58 UU No.2 Tahun 2004 : ”Dalam
proses beracara di PHI, Pihak-Pihak yang berPerkara tidak dikenakan biaya
termasuk biaya Eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp.150.000.000
( seratus lima puluh juta rupiah )”, Bahwa oleh karena nilai gugatan Penggugat
dalam Perkara aquo lebih dari Rp.150.000.000; maka Penggugat dikenakan
membayar Biaya Perkara;
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan serta Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan peraturan-peraturan lain
yang bersangkutan;
M E N G A D I L I
DALAM EKSEPSI
- Menerima Eksepsi Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA
Halaman 26 dari 26 Putusan PHI Nomor: 7 /Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Srg
1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat di terima ( Niet On Vankelijke
Verklaard );
2. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat yang keseluruhannya
sebesar Rp. 591,000,- (Lima Ratus Sembilan Puluh Satu Ribu Rupiah).
Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang, pada hari
Selasa, tanggal 19 Juli 2016, oleh kami, YUSRIZAL, S.H., M.H., sebagai Hakim
Ketua, RUDY KURNIAWAN, S.H. dan Hj. NUNUNG NURHAYATI, S.H.,
masing-masing Hakim Ad-hoc sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut
diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Selasa 26 Juli
2016 oleh Hakim Ketua dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota tersebut
dibantu oleh Guntoro, S.H. Panitera Pengganti dan kuasa Penggugat serta
kuasa Tergugat.
Hakim-hakim Ad-Hoc : Ketua Majelis,
RUDY KURNIAWAN, S.H. YUSRIZAL, S.H., M.H.
Hj. NUNUNG NURHAYATI, S.H.
Panitera Pengganti,
Guntoro, S.H.
Perincian biaya : 1. Materai...................................... Rp. 6.000,00; 2. Redaksi..................................... Rp. 5.000,00; 3. Proses....................................... Rp. 50.000,00; 4. PNBP........................................ Rp. 30.000,00; 5. Panggilan ................................. Rp. 500.000,00; Jumlah …………….................... Rp. 591.000,00; (Lima Ratus Sembilan Puluh Satu Ribu Rupiah);
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 1 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
P U T U S A NNomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAM A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial pada
tingkat kasasi memutus sebagai berikut dalam perkara antara:
1. UBAIDILLAH, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di
RT. 001/004 Kampung Bayur Kali, Lebak Wangi, Sepatan,
Kabupaten Tangerang;
2. MUHAMAD AGUS, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat
tinggal di RT. 001/002 Kampung Gurudug, Desa Mekar Jaya,
Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang;
3. NURDIN, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di RT.
001/002 Kampung Pisangan Baru, Desa Sarakan Kecamatan
Sepatan, Kabupaten Tangerang;
4. M.HASBULLAH, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal
di RT. 005/001 Kampung Pisangan, Desa Kayu Agung,
Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang;
5. ABDUL WAHID, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal
di RT. 002/003 Kampung Pondok Wetan, Desa Pakuhaji,
Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang;
6. YAYAT AHMAD HIDAYAT, Kewarganegaraan Indonesia,
bertempat tinggal di RT. 003/008 Kampung Nagrog, Desa
Sukamenak, Kecamatan Purbaratu, Tasikmalaya;
7. JUNAEDI, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di RT.
002/001 Kampung Buaran Mangga, Desa Paku haji, Kecamatan
Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, dalam hal semuanya memberi
kuasa kepada Saepul Tavip, dan kawan-kawan, Presiden,
Sekretaris dan Para Staf Bidang Hukum dan Advokasi OPSI
(Organisasi Pekerja Seluruh Indaonesia), beralamat di Jalan
Masjid Nomor 19 A, RT001/RW10, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 8 Agustus 2016, sebagai Para Pemohon Kasasi
dahulu Para Penggugat;
L a w a n
PT ARAPUTRA FORTUNA PERKASA yang beralamat di Jalan
Karet Raya II Ujung Kampung Gurudug, Desa Mekar Jaya
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 2 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, sebagai Termohon
Kasasi dahulu Tergugat;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Para Pemohon Kasasi dahulu Para Penggugat telah mengajukan gugatan
terhadap Termohon Kasasi dahulu Tergugat di depan persidangan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang, pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Bahwa kasus ini bermula ketika pada tanggal 25 Maret 2015 Para
Penggugat mengirim surat ke pimpinan perusahaan Tergugat
mempertanyakan upah Para Penggugat yang diterima masih dibawah
ketentuan Upah minimum Kabupaten Tangerang dan meminta Tergugat
untuk mematuhi ketentuan Upah Minimum yang berlaku di Kabupaten
Tangerang;
2. Bahwa pada hari Rabu tanggal 1 April 2015 sekitar jam 14.00 pihak
Tergugat merespon surat tersebut, dengan memanggil Para Penggugat
menghadap Pimpinan perusahaan Bpk Tamrin di ruangannya, dalam
pertemuan tersebut pimpinan perusahan menyampaikan sekaligus meminta
Para Penggugat untuk segera mencabut tuntutannya dan diberikan waktu
untuk berpikir selama sebulan. Apabila dalam sebulan Para Penggugat tidak
juga menarik tuntutannya secara tertulis maka Para Penggugat akan di PHK,
selama dalam proses berpikir Para Penggugat tidak diizinkan masuk kerja
(dirumahkan);
3. Bahwa pada hari senin tanggal 4 Mei 2015 Para Penggugat mendatangi
perusahaan tempat Para Penggugat bekerja dengan tujuan masuk bekerja
kembali seperti biasa namun ditolak Tergugat karena tidak bisa menunjukan
surat pencabutan tuntuan sebagaimana yang di minta Tergugat;
4. Bahwa atas tindakan Tergugat yang tidak mengizinkan Para Penggugat
bekerja seperti biasa maka pada tanggal 8 Mei 2015 Para Penggugat
mengirim surat yang isinya menolak sikap Tergugat dan meminta untuk
bertemu agar Para Penggugat diizinkan bekerja kembali seperta biasa
namun Tergugat tidak meresponnya;
5. Bahwa pada hari senin tanggal 25 Mei 2015 Para Penggugat kembali
mengirim surat yang isinya menolak PHK sepihak dan meminta bertemu
untuk melakukan perundingan secara Bipartite tetapi pihak Tergugat lagi lagi
tidak mau bertemu dan berunding dengan Para Penggugat;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 3 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
6. Bahwa tindakan Tergugat yang melakukan PHK terhadap Penggugat tanpa
didahului Surat peringatan kepada Para Penggugat, jelas-jelas telah
melanggar ketentuan :
a. Pasal 161 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyebutkan :
“(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan
Surat Peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut;
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-
masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama;”
b. Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan :
“(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/buruh;”
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.”
7. Bahwa atas tidak diresponnya dua surat Penggugat melalui OPSI kepada
Tergugat maka berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Indutrial pihak
Penggugat membawa dan mencatatkan kasus ini ke Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Tangerang pada tanggal 10 Juni 2015 dengan surat Nomor
057/E/Adv/VI/2015;
8. Bahwa atas pencatatan yang dilakukan Penggugat maka Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Tangerang melakukan sidang mediasi. Bahwa selama 4
kali pemanggilan sidang mediasi pihak Tergugat tidak pernah hadir di Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 4 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
9. Bahwa atas kebuntuan di tingkat mediasi tersebut maka Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Tangerang telah mengeluarkan Surat Anjuran Nomor
567/5761/Disnakertrans tanggal 05 Okober 2015 yang pada pokoknya
menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat tetap
berlanjut (tidak terputus) dan upah selama proses agar dibayarkan;
10. Bahwa mengingat pasca dikeluarkannya surat anjuran, Tergugat tidak
memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kasus ini, maka Para Penggugat
akhirnya menggugat Tergugat ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Serang;
11. Bahwa dari apa yang diuraikan oleh Para Penggugat, maka terdapat fakta-
fakta hukum sebagai berikut :
12. Bahwa mengingat Para Penggugat (yang oleh Tergugat dianggap sebagai
pekerja harian lepas) telah bekerja tidak kurang dari 21 hari kerja, bahkan
lebih dari 3 bulan berturut-turut (selama bertahun-tahun) serta mengerjakan
kegiatan inti (core business) dari Perusahaan Tergugat, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT), khususnya ayat (3), yaitu :
Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja
harian lepas berubah menjadi PKWTT;
maka, status dari Para Penggugat secara hukum adalah karyawan
tetap/permanen, bukan karyawan harian lepas;
13. Bahwa setelah diputus hubungan kerjanya secara sepihak pada bulan April
2015 Tergugat sudah tidak lagi membayarkan upah kepada Para Penggugat
sejak bulan April 2015, maka sesungguhnya Para Penggugat masih berhak
atas upah selama proses yang dihitung sampai dengan putusan ini
dibacakan, yaitu sekitar bulan Maret 2016. Dengan demikian, setiap
Penggugat berhak mendapat upah proses masing-masing sebesar 9 bulan
upah di tahun 2015(sesuai UMK Kabupaten Tangerang tahun 2015 sebesar
Rp 2.710.000,00 (dua juta tujh ratus sepuluh ribu rupiah) dan 3 bulan upah di
Tahun 2016 sesuai UMK Kabupaten Tangerang 2016 sebesar
Rp3.021.650,00 (tiga juta seratus ribu rupiah);
14. Bahwa jumlah hari dan jam kerja normal yang berlaku di Perusahaan
Tergugat, dalam seminggu adalah 6 hari kerja dari pukul 08.00 WIB s/d
16.00 WB dan di hari Sabtu mulai pukul 08.00 WIB s/d 13.00 WIB. Faktanya
setiap Para Penggugat diwajibkan kerja lembur. Para Penggugat baru bisa
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 5 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
pulang pada pukul 18.00 WIB (lembur 2 jam) dan pada hari Sabtu pulang
pukul 16.00 WIB (lembur 3 jam). Namun pada kenyataannya, Tergugat
hanya membayar sebesar Rp4.500,00 per jam (kecuali untuk Penggugat I
yang dibayar sebesar Rp7.500,00 per jam);
15. Bahwa dengan demikian, jelas terdapat pelanggaran terhadap perhitungan
dan pembayaran upah lembur terhadap Para Penggugat. Berdasarkan
ketentuan Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, maka
dengan jumlah hari kerja sebanyak 25 hari dalam sebulan, perhitungan upah
lembur dari Para Penggugat (kecuali Penggugat IV, yang baru bergabung di
bulan Oktober 2014) adalah sebagai berikut :
Tahun 2014
a. 1 jam pertama, sebanyak 25 jam dalam sebulan :
(25 x 1,5) x UMK 2014/173 x 12 bulan.
b. 1 jam kedua (25 jam) ditambah 4 jam di hari Sabtu :
(29 x 2) x UMK 2014/173 x 12 bulan;
Tahun 2015
a. 1 jam pertama, sebanyak 25 jam dalam sebulan :
(25 x 1,5) x UMK 2015/173 x 3 bulan;
b. 1 jam kedua (25 jam) ditambah 4 jam di hari Sabtu :
(29 x 2) x UMK 2015/173 x 3 bulan;
16. Bahwa dengan upah lembur yang dibayar dan sudah diterima oleh Para
Penggugat sebesar Rp4.500/jam (kecuali Penggugat I yang dibayar sebesar
Rp7.500/jam), maka jumlah hak upah lembur tersebut masing-masing tinggal
dikurangkan dengan (25+29) x Rp4.500,00 x 12 bulan untuk tahun 2014
sebesar Rp2.916.000,00 Sementara untuk tahun 2015 : (25+29) x
Rp4.500,00 x 3 bulan, sebesar Rp729.000,00 total sebesar Rp3.645.000,00
Dengan demikian kekurangan pembayaran upah lembur dari setiap
Penggugat (kecuali Penggugat I dan Penggugat IV) adalah sebagai berikut :
Tahun 2014 : (25 x 1,5) x 2.442.000/173 x 12 bulan = Rp 6.352.023,00
(29 x 2 ) x 2.442.000/173 x 12 bulan = Rp 9.824.462,00
Tahun 2015 : (25 x 1,5) x 2.710.000/173 x 3 bulan = Rp 1.762.283,00
(29 x 2) x 2.710.000/173 x 3 bulan. =Rp 2.723.000,00
Total = Rp20.661.768,00
Dikurangi yang sudah dibayar…………………… = Rp 3.645.000,00
Jumlah kekurangan upah lembur =Rp17.016.768,00
17. Bahwa adapun untuk Penggugat I (dengan upah lembur dibayar sebesar
Rp7.500 /jam), maka perhitungannya adalah sebagai berikut :
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 6 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
Total upah lembur di tahun 2014 dan 2015 = Rp20.661.768,00
Dikurangi yang sudah dibayar sebesar Rp7.500/jam :
Tahun 2014 : (25+29) x Rp7.500,00 x 12 bulan sebesar = Rp 4.860.000,00
Tahun 2015 : (25+29) x Rp7.500,00 x 3 bulan, sebesar = Rp 1.215.000,00
Jumlah kekurangan upah lembur = Rp14.586.768,00
18. Bahwa untuk Penggugat IV (baru bergabung di tanggal 13 Oktober 2014)
perhitungan kekurangan upah lemburnya adalah sebagai berikut :
Tahun 2014 : (25 x 1,5) x 2.442.000/173 x 2,5 bulan = Rp1.323.338,00
: (29 x 2 ) x 2.442.000/173 x 2,5 bulan = Rp2.046.763,00
Tahun 2015 : (25 x 1,5) x 2.710.000/173 x 3 bulan = Rp1.762.283,00
(29 x 2) x 2.710.000/173 x 3 bulan = Rp2.723.000,00
Total = Rp7.855.384,00
Dikurangi yang sudah dibayar :
Tahun 2014 : (25+29) x Rp4.500,00 x 2,5 bulan, sebesar = Rp 607.500,00
Tahun 2015 : (25+29) x Rp4.500,00 x 3 bulan, sebesar = Rp 739.000,00
Jumlah kekurangan upah lembur = Rp6.508.884,00
19. Bahwa mengingat pada kenyataannya Para Penggugat (kecuali Penggugat I a/n
Ubaidillah) hanya menerima upah sehari sebesar Rp69.500,00 (artinya dalam 25
hari kerja dalam sebulan sebesar Rp1.737.500,00), sementara UMK Kabupaten
Tangerang tahun 2014 adalah sebesar Rp2.442.000,00 dan tahun 2015 sebesar
Rp2.710.000,00, padahal sesuai ketentuan Pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2013 Tergugat wajib membayar upah Para
Penggugat tersebut sebesar nilai UMK. Oleh karenanya untuk jangka 2 tahun ke
belakang, Para Penggugat berhak atas kekurangan/selisih upah tersebut, yang
besarnya setiap bulan adalah sebesar Rp 704.500,00 untuk tahun 2014 dan
sebesar Rp972.500,00 untuk tahun 2015;
20. Bahwa adapun untuk Penggugat I dengan upah per hari sebesar Rp90.000,00 di
tahun 2014 (berarti perhitungan upah sebulan adalah sebesar Rp2.250.000,00)
dan Rp97.500,00 di tahun 2015 (berarti perhitungan upah sebulan adalah
sebesar Rp2.437.500,00), maka kekurangannya setiap bulan untuk tahun 2014
adalah sebesar Rp192.000,00 dan kekurangan upah untuk tahun 2015 adalah
sebesar Rp272.500,00 per bulan;
21. Bahwa demikian pula dengan THR (Tunjangan Hari Raya) tahun 2014 dan
tahun 2015 yang faktanya Para Penggugat tidak pernah menerima
Tunjangan Hari Raya (THR). Oleh karenanya sesuai ketentuan Pasal 3
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 04 Tahun 1994 tentang
Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan, maka bagi
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 7 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
Penggugat yang telah bekerja lebih dari satu tahun pada masing-masing
waktu Hari Raya Iedul Fitri, berhak mendapatkan pembayaran THR sebesar
1 bulan upah dengan nilai sebesar UMK. Dengan demikian, Tergugat wajib
membayar THR tersebut. Untuk tahun 2014 sebesar Rp2.442.000,00 dan
tahun 2015 sebesar Rp2.710.500,00 kepada masing-masing Penggugat;
22. Mengingat Para Penggugat tidak disertakan dalam program Jamsostek
selama bekerja di Perusahaan Tergugat, maka berdasarkan ketentuan
Undang Undang Jamsostek Nomor 3 tahun 1992 jo Undang Undang BPJS
Nomor 24 Tahun 2011, Tergugat wajib menyetorkan kepada PT Jamsostek
(yang sekarang telah berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan) sekurang-
kurang premi Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 3,7% dari upah Para
Penggugat yang besarnya sesuai UMK pada masing-masing tahun, terhitung
sejak Para Penggugat bekerja di Perusahaan Tergugat;
23. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka secara keseluruhan hak-hak
dari masing-masing Penggugat adalah sebagai berikut :
Penggugat I (a/n. Ubaidillah)
Masa kerja : 11 tahun 7 bulan Upah : Rp2.710.000,00 (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp
2.710.000,00
Rp24.390.000,00
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp
3.021.650,00
Rp 9.064.950,00
c Kekurangan upah lembur Rp14.586.768,00
d Kekurangan upah tahun 2014. 12 bulan x
Rp704.500,00
Rp 8.454.000,00
e Kekurangan upah tahun 2015: 3 bulan x
Rp972.500,00
Rp 2.917.500,00
f THR tahun 2014 Rp 2.442.000,00
g THR tahun 2015 Rp 2.710.000,00
T o t a l Rp64.565.218,00
Enam puluh empat juta lima ratus enam puluh lima ribu dua ratus delapan
belas rupiah
Penggugat II (a/n.Muhamad Agus)
Masa kerja : 3 tahun 2 bulan Upah : Rp2.710.000,00 (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp
2.710.000,00
Rp24.390.000,00
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 8 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp
3.021.650,00
Rp 9.064.950,00
c Kekurangan upah lembur Rp17.016.768,00
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x
Rp704.500,00
Rp 8.454.000,00
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp
.972.500,00
Rp 2.917.500,00
f THR tahun 2014 Rp 2.442.000,00
g THR tahun 2015 Rp 2.710.000,00
T o t a l Rp66.995.218,00
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus
delapan belas rupiah
Penggugat III (a/n. Nurdin)
Masa kerja : 4 tahun 3 bulan Upah : Rp2.710.000,00 (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp
2.710.000,00
Rp24.390.000,00
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp
3.021.650,00
Rp 9.064.950,00
c Kekurangan upah lembur Rp17.016.768,00
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x
Rp704.500,00
Rp 8.454.000,00
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp
.972.500,00
Rp 2.917.500,00
f THR tahun 2014 Rp 2.442.000,00
g THR tahun 2015 Rp 2.710.000,00
T o t a l Rp66.995.218,00
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus
delapan belas rupiah
Penggugat IV (a/n. M.Hasbulah)
Masa kerja : 1 tahun 3 bulan Upah : Rp2.710.000,00 (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp
2.710.000,00
Rp
Rp24.390.000,00
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp
3.021.650
Rp 9.064.950,00
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 9 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
c Kekurangan upah lembur Rp 6.508.884,00
d Kekurangan upah tahun 2014 : 2 bulan x
Rp704.500,00
Rp 1.409.000,00
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x
Rp972.500,00
Rp 2.917.500,00
f THR tahun 2015 Rp 2.710.000,00
T o t a l Rp54.045.334,00
Lima puluh empat juta empat puluh lima ribu tiga ratus tiga puluh empat
rupiah
Penggugat V (a/n. Abdul Wahid)
Masa kerja : 2 tahun 3 bulan Upah : Rp2.710.000,00 (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp
2.710.000,00
Rp24.390.000,00
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp
3.021.650,00
Rp 9.064.950,00
c Kekurangan upah lembur Rp17.016.768,00
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x
Rp704.500,00
Rp 8.454.000,00
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp
.972.500,00
Rp 2.917.500,00
f THR tahun 2014 Rp 2.442.000,00
g THR tahun 2015 Rp 2.710.000,00
T o t a l Rp66.995.218,00
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus
delapan belas rupiah
Penggugat VI (a/n. Yayat Ahmad Hidayat)
Masa kerja : 2 tahun 2 bulan Upah : Rp2.710.000,00 (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp
2.710.000,00
Rp24.390.000,00
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp
3.021.650,00
Rp 9.064.950,00
c Kekurangan upah lembur Rp17.016.768,00
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x
Rp704.500,00
Rp 8.454.000,00
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 10 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp
.972.500,00
Rp 2.917.500,00
f THR tahun 2014 Rp 2.442.000,00
g THR tahun 2015 Rp 2.710.000,00
T o t a l Rp66.995.218,00
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus
delapan belas rupiah
Penggugat VII (a/n. Junaedi)
Masa kerja : 3 tahun 3 bulan Upah : Rp2.710.000,00 (UMK 2015)
a Upah proses (April s/d Des 2015) 9 bulan x Rp
2.710.000,00
Rp24.390.000,00
b Upah proses (Jan s/d Maret 2016) 3 bulan x Rp
3.021.650,00
Rp 9.064.950,00
c Kekurangan upah lembur Rp17.016.768,00
d Kekurangan upah tahun 2014 : 12 bulan x
Rp704.500,00
Rp 8.454.000,00
e Kekurangan upah tahun 2015 : 3 bulan x Rp
.972.500,00
Rp 2.917.500,00
f THR tahun 2014 Rp 2.442.000,00
g THR tahun 2015 Rp 2.710.000,00
T o t a l Rp66.995.218,00
Enam puluh enam juta sembilan ratus sembilan puluh lima ribu dua ratus
delapan belas rupiah
Oleh karena itu, atas dasar keterangan dan dalil-dalil sebagaimana yang telah
diuraikan di atas secara lengkap dan jelas, sesuai fakta-fakta hukum yang
sebenarnya, Para Penggugat memohon dengan segala hormat kepada Majelis
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang yang
memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan mengeluarkan putusan yang
amarnya sebagai berikut :
Dalam Pokok Perkara
1. Menyatakan hubungan kerja yang bersifat harian lepas antara Tergugat
dengan Para Penggugat adalah batal demi hukum;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dan Para Penggugat demi
hukum berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat tetap/permanen
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 11 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
berdasarkan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) terhitung sejak
Para Penggugat mulai bergabung/bekerja di Perusahaan Tergugat;
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mempekerjakan kembali Para
Penggugat sebagai karyawan tetap di Tergugat di posisi semula;
4. Menyatakan perbuatan Tergugat membayar upah dibawah ketentuan upah
minimum dan tidak memberikan Uang Tunjangan Hari Raya kepada Para
Penggugat merupakan ”Perbuatan Melawan Hukum” dan/atau Tindak
Pidana Kejahatan di Bidang Ketenagakerjaan;
5. Menghukum/memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar hak-hak
Para Penggugat (berupa upah selama proses, upah lembur, kekurangan
pembayaran UMK 2014 dan 2015 serta kekurangan pembayaran THR 2014
dan 2015), sebagaimana telah diuraikan pada butir 23 di atas dengan nilai
total masing-masing sebesar :
Penggugat I (a/n Ubaidillah) .……………...………..... Rp64.565.218,00
Penggugat II (a/n Muhamad Agus) .………….....….... Rp66.995.218,00
Penggugat III (a/n Nurdin) .………….....………………. Rp66.995.218,00
Penggugat IV (a/n M.Hasbulah) .………….....………... Rp54.045.334,00
Penggugat V (Abdul Wahidi) .………….....…………… Rp66.995.218,00
Penggugat VI (a/n Yayat Ahmad Hidayat) .…………... Rp66.995.218,00
Penggugat VII (a/n Junaedi) .……………….....………..Rp66.995.218,00
6. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar/menyetorkan premi JHT
(Jaminan Hari Tua) sebesar 3,7% dari upah/bulan (berdasarkan UMK dari
setiap tahunnya) secara akumulatif kepada PT. Jamsostek (yang sekarang
telah berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan), terhitung sejak masing-
masing Penggugat bergabung/bekerja di Perusahaan Tergugat;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara;
Demikian surat gugatan ini kami ajukan. Jika Majelis Hakim berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Bahwa, terhadap gugatan tersebut di atas, Tergugat mengajukan eksepsi
yang pada pokoknya sebagai berikut:
A. Kuasa hukum Penggugat tidak berhak bertindak untuk dan atas nama
Penggugat Prinsipal
Dalam dalil gugatan disebutkan pada pokoknya sebagai berikut:
1. Didalilkan bahwa Para Penggugat Prinsipal tidak dapat menjelaskan sejak
kapan dimulainya bekerja pada Tergugat (Vide dalil profil Para Penggugat
Nomor 3);
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 12 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
2. Para Penggugat Prinsipal adalah bukan anggota Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI) dan OPSI tidak tercatat di Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Tangerang akan tetapi
tercatat di Suku Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Jakarta Selatan.
Hal ini menjadi tidak sah karena keanggotaan Para Penggugat Prinsipal
pada OPSI atau SPPI tidak pernah dilaporkan kepada Tergugat;
3. Bahwa selanjutnya Organisasi Serikat Pekerja dimana Kuasa Hukum para
Penggugat bernaung tidak terdaftar pada Tergugat. Lagipula Penggugat
prinsipal tidak pernah melaporkan kepada Tergugat perihal kepesertaannya di
Organisasi Serikat Pekerja;
4. Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 18 Undang Undang Serikat Pekerja
/ Serikat Buruh, yang berbunyi:
(1) Serikat pekerja / serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja / serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara
tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagaakerjaan setempat untuk dicatat;
Bahwa berdasarkan alasan tersebut diatas maka Kuasa Hukum Penggugat
tidak berhak bertindak untuk dan atas nama Penggugat prinsipal;
B. Gugatan Penggugat tidak dilampiri risalah bipartit oleh karenanya gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima karena cacat formil;
1. Bahwa pada tanggal 19 Februari 2016 Tergugat menerima Relaas Panggilan
Sidang Nomor: 07/Pdt.SUS-PHI/2016/PN.Srg. melalui Jurusita Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang yang dalam Relaas
Panggilan Sidang tersebut dilampiri Surat Gugatan dari Penggugat, namun
dalam Surat Gugatan tersebut tidak ada lampiran Risalah Penyelesaian
Melalui Mediasi atau Konsiliasi sebagaimana yang diwajibkan dalam Pasal
83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang berbunyi:
“Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui
mediasi atau konsiliasi maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan kepada Penggugat’;
2. Bahwa hal tersebut juga telah ditegaskan kembali dalam Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Buku II dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia Edisi 2007 dalam Bab Teknis Peradilan Pengadilan
Hubungan Industrial halaman 116 yang menyebutkan sebagai berikut:
“3. Gugatan
a. ..........................
b. ..........................
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 13 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
c. Gugatan yang langsung diajukan ke PHI, apabila tidak dilampiri
risalahah penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi maka
Hakim PHI wajib mengembalikan gugatan kepada Penggugat
dengan Penetapan Majelis Hakim dan Perkara tersebut
dinyatakan selesai (Pasal 83 Undang-Undang Nomor 2 tahun
2004);
d. .........................”
3. Fakta lain yang menunjukkan bahwa gugatan Para Penggugat tidak dilampiri
dengan Risalah Penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi adalah hal-hal
yang dituliskan dalam gugatan halaman 1 s/d 10 tidak disebutkan bahwa
gugatan Penggugat dilampiri dengan Risalah Penyelesaian melalui Mediasi
atau Konsiliasi;
4. Bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas cukup alasan untuk menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil yaitu
tidak dilampiri dengan Risalah Penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi;
Bahwa, terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Serang telah memberikan putusan Nomor 07/Pdt.Sus-
PHI/2016/PN Srg tanggal 26 Juli 2016 yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi
- Menerima Eksepsi Tergugat;
Dalam Pokok Perkara
1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat di terima ( Niet On Vankelijke
Verklaard );
2. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat yang keseluruhannya
sebesar Rp591,000,00 (lima ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
Menimbang, bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Serang tersebut telah diucapkan dengan hadirnya Kuasa
Penggugat dan Kuasa Tergugat pada tanggal 26 Juli 2016, terhadap putusan
tersebut, Para Pemohon Kasasi dahulu Para Penggugat melalui kuasanya
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 8 Agustus 2016 mengajukan
permohonan kasasi pada tanggal 12 Agustus 2016, sebagaimana ternyata dari
Akta Permohonan Kasasi Nomor 41/Kas/PHI.G/2016/PN Srg., yang dibuat oleh
Panitera Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang,
permohonan tersebut disertai dengan memori kasasi yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang
pada tanggal 22 Agustus 2016;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 14 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
Bahwa memori kasasi telah disampaikan kepada Termohon Kasasi
dahulu Tergugat pada tanggal 29 Agustus 2016, kemudian Termohon Kasasi
dahulu Tergugat tidak mengajukan kontra memori kasasi;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta keberatan-
keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan
dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang,
sehingga permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya adalah:
1. Bahwa apa yang diuraikan oleh Pemohon Kasasi dalam Gugatan, Replik,
Daftar Bukti, dan Kesimpulan pada Persidangan tingkat pertama merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Memori Kasasi ini;
2. Bahwa Pemohon Kasasi menolak dengan tegas pertimbangan hukum dan
Putusan yang disampaikan oleh Judex Facti PHI karena tidak sesuai dengan
fakta hukum positif yang berlaku yaitu Undang Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Judex Facti PHI juga tidak
mendasari putusannya pada fakta-fakta bukti yang telah disampaikan oleh
Pemohon Kasasi pada saat persidangan. Bahwa pertimbangan hukum
Judex Facti PHI sangat jauh dari rasa keadilan dengan hanya membaca
pasal secara sebagian-sebagian dan tidak menyeluruh;
Bahwa atas Putusan Judex Facti PHI tersebut, Pemohon Kasasi mengajukan
Permohonan Kasasi dan membuat Memori Kasasi dengan alasan bahwa Judex
Facti PHI :
a. Salah menerapkan dan menginterpretasikan Hukum khususnya Undang
Undang Nomor 21 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 16/Men/2001, serta Bukti-bukti yang ada;
3. Bahwa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 butir (b) dan (c) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, yang isi
lengkapnya adalah sebagai berikut : ”Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi
membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-Pengadilan dari semua
Lingkungan Peradilan karena :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kalalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan;”
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 15 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
Salah menerapkan dan menginterpretasikan Hukum dan Bukti-bukti yang ada
4. Bahwa dalil-dalil dan argumentasi Judex Facti PHI untuk menilai status
afiliasi Serikat Pekerja Araputra Bersatu (SPAB) ke Federasi Organisasi
Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) adalah Tidak Tepat karena Judex Facti
salah menerapkan dan menginterpretasikan hukum dalam Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 16/Men/2001, serta Bukti-
bukti yang ada di persidangan;
5. Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti PHI yang mempergunakan Pasal 8
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa tindakan
afiliasi SPAB ke OPSI memiliki konsekuensi perubahan AD/ART SPAB
merupakan sebuah kesimpulan yang salah. Bahwa Pasal 8 Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2000 menyatakan bahwa “Penjenjangan organisasi serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangganya”;
6. Bahwa faktanya AD/ART SPAB di Bab V Pasal 16 telah mencantumkan
afiliasi SPAB ke OPSI. Bahwa fakta ini tidak dilihat dan dijadikan dasar
pertimbangan hukum oleh Judex Facti, walaupun Pemohon Kasasi
(sebelumnya Penggugat) telah memperlihatkan kepada Majelis Hakim
AD/ART SPAB pada saat persidangan. Bahwa untuk memastikan
keberadaan afiliasi SPAB ke OPSI yang sudah tercantum pada Bab V Pasal
16 maka Pemohon Kasasi menyertakan kembali AD/ART SPAB sebagai
satu kesatuan dengan Memori Kasasi ini;
7. Bahwa karena afiliasi SPAB ke OPSI telah dituliskan di Bab V Pasal 16
AD/ART SPAB maka tidak perlu lagi adanya perubahan AD/ART SPAB
untuk menyatakan adanya perjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat
buruh yaitu SPAB berafiliasi ke OPSI, seperti yang diamanatkan Pasal 8
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000;
8. Bahwa Bukti P-1 dan Bukti P-2 sudah sangat jelas menunjukkan amanat
AD/ART SPAB yaitu SPAB berafiliasi ke OPSI. Bahwa fakta Bukti P-1 dan
Bukti P-2 ini tidak dijadikan pertimbangan hukum oleh Judex Facti;
9. Bahwa dalil-dalil dan argumentasi Judex Facti dalam Pertimbangan
Hukumnya tidak menjawab Eksepsi Tergugat (saat ini Termohon Kasasi).
Bahwa sebenarnya dalam Eksepsinya Termohon Kasasi hanya
mempertanyakan tentang kapan dimulainya Para Penggugat (saat ini
Pemohon Kasasi) bekerja di Tergugat, OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia) tidak terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 16 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
Kabupaten Tangerang tetapi tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Jakarta Selatan, OPSI dan SPPI (bukan SPAB) tidak pernah
melapor ke Tergugat. Bahwa seluruh Eksepsi Tergugat tersebut tidak
dijawab oleh Judex Facti dalam Pertimbangan Hukumnya;
10. Bahwa justru Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya hanya
mempertimbangkan tentang keberadaan AD/ART SPAB terkait dengan afiliasi ke
OPSI. Bahwa pertimbangan Judex Facti ini tidak sesuai dengan Eksepsi yang
disampaikan oleh Tergugat (saat ini sebagai Termohon Kasasi);
11.Bahwa berdasarkan argumentasi point-point di atas sudah sangat jelas
bahwa Judex Facti telah salah dalam mengintepretasikan hukum dan bukti-
bukti yang ada, dan oleh karena itu maka Mahkamah Agung pada Tingkat
Kasasi seharusnya membatalkan putusan Judex Facti ini;
Bahwa dengan Penjabaran di atas maka Judex Facti PHI telah salah
menerapkan dan menginterpretasikan permasalahan yang ada dan Bukti-bukti
yang ada. Bahwa oleh karena itu berdasarkan fakta yang ada maka sudah
sepatutnya Permohonan Kasasi ini dikabulkan;
Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah
Agung berpendapat:
Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah
meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 22 Agustsu 2016 dihubungkan
dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Serang tidak salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa gugatan Penggugat cacat formal oleh karena kuasa hukum
Penggugat tidak dapat mewakili Para Penggugat dalam perkara a quo,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004;
Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Agung anggota Dr. Fauzan,
S.H., M.H., menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan
mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
Bahwa alasan-alasan kasasi dapat dibenarkan Judex Facti telah salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap fakta hukum Serikat Pekerja Araputra Bersatu yang
berafiliasi kepada Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) sebagai
kuasa hukum Penggugat seharusnya diterapkan ketentuan Pasal 10
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 yang pada pokoknya Serikat
Pekerja dapat dibentuk berdasarkan bentuk lain, sesuai kehendak pekerja,
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 17 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
sehingga OPSI dapat bertindak sebagai kuasa hukum sebagaimana
dimaksud keterangan pasal 87 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004;
2. Bahwa oleh karena Judex Facti belum memeriksa pokok perkara maka
Mahkamah Agung mengeluarkan putusan sela memerintahkan Judex Facti
untuk memeriksa perkara a quo kemudian setelah diputus mengirim kepada
Mahkamah Agung;
Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam
Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh
tetapi tidak tercapai mufakat, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Undang
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil
putusan dengan suara terbanyak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata
bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Serang, dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-
undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon
Kasasi: UBAIDILLAH, dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena nilai gugatan dalam perkara ini di atas
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 58 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Pemohon Kasasi;
Memperhatikan, Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3
Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I:Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1.
UBAIDILLAH, 2. MUHAMAD AGUS, 3. NURDIN, 4. M.HASBULLAH, 5.
ABDUL WAHID, 6. YAYAT AHMAD HIDAYAT, 7. JUNAEDI, tersebut;
Membebankan biaya perkara kepada Pemohon Kasasi;
Demikianlah diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada
Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 8 Maret 2017 oleh Maria Anna Samiyati,
S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 18 dari 18 hal.Put.Nomor 112 K/Pdt.Sus-PHI/20017
Ketua Majelis, H. Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H., M.H., dan Dr. Fauzan, S.H., M.H.,
Hakim-Hakim Ad Hoc PHI, masing-masing sebagai Anggota, putusan tersebut
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan
dihadiri oleh Anggota-Anggota tersebut dan oleh Yusticia Roza Puteri, S.H., MH.,
Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh para Pihak.
Anggota-anggota, K e t u a,
Ttd Ttd
H. Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H., M.H. Maria Anna Samiyati, S.H., M.H
Ttd
Dr. Fauzan, S.H., M.H.
Panitera Pengganti,
Ttd
Yusticia Roza Puteri, S.H., MH.
Untuk SalinanMahkamah Agung R.I.
a.n. PaniteraPanitera Muda Perdata Khusus
Rahmi Mulyati, SH.MHNIP : 19591207 1985 12 2 002
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18