Latar Belakang Kepiting Bakau

26
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu produksi budidaya kepiting bakau (Scylla olivacea) dewasa ini sangat menjanjikan bila dilihat dari nilai jualnya yang mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibanding kepiting berkulit keras. Wahyuningsi (2008) dan Damayanti (2008) mengaplikasikan vitomolt sebagai stimulan molting kepiting bakau melalui injeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuntikan vitomolt pada kepiting dapat mempercepat dan menyerentakkan molting, tidak menyebabkan kematian, pertumbuhan kepiting yang mendapat aplikasi vitomolt lebih besar dibandingkan tanpa aplikasi vitomolt. Namun, aplikasi vitomolt yang diberikan dengan cara penyuntikan kurang efisien dilakukan dalam skala besar. Upaya yang dapat dilakukan adalah menggunakan pakan buatan sebagai media aplikasi viitomolt. Susanti (2009) melaporkan bahwa vitomolt juga efektif diaplikasikan melalui pakan buatan dengan dosis 2 kali injeksi. Namun, pakan yang digunakan masih mahal karena berbahan dasar ikan dengan kadar protein tinggi. Aslamyah dan Fujaya (2009) telah berhasil memformulasi pakan buatan yang lebih murah dengan kadar protein yang lebih rendah. Pakan buatan ber-vitomolt dengan kadar protein 30,62% dan karbohidrat 41,72% efektif menstimulasi molting kepiting bakau. Namun demikian, pakan yang digunakan pada percobaan tersebut belum isokalori. Diketahui bahwa, selain protein, karbohidrat dan lemak nutrien penting dalam pakan. Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi dalam pakan. Kadar karbohidrat dan lemak yang memenuhi kabutuhan energi kepiting bakau diharapkan berfungsi sebagai protein sparing effect.

description

g

Transcript of Latar Belakang Kepiting Bakau

Page 1: Latar Belakang Kepiting Bakau

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu produksi budidaya kepiting bakau (Scylla olivacea) dewasa ini

sangat menjanjikan bila dilihat dari nilai jualnya yang mencapai dua kali lipat lebih

tinggi dibanding kepiting berkulit keras. Wahyuningsi (2008) dan Damayanti (2008)

mengaplikasikan vitomolt sebagai stimulan molting kepiting bakau melalui injeksi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuntikan vitomolt pada kepiting dapat

mempercepat dan menyerentakkan molting, tidak menyebabkan kematian,

pertumbuhan kepiting yang mendapat aplikasi vitomolt lebih besar dibandingkan

tanpa aplikasi vitomolt. Namun, aplikasi vitomolt yang diberikan dengan cara

penyuntikan kurang efisien dilakukan dalam skala besar. Upaya yang dapat

dilakukan adalah menggunakan pakan buatan sebagai media aplikasi viitomolt.

Susanti (2009) melaporkan bahwa vitomolt juga efektif diaplikasikan melalui pakan

buatan dengan dosis 2 kali injeksi. Namun, pakan yang digunakan masih mahal

karena berbahan dasar ikan dengan kadar protein tinggi.

Aslamyah dan Fujaya (2009) telah berhasil memformulasi pakan buatan yang

lebih murah dengan kadar protein yang lebih rendah. Pakan buatan ber-vitomolt

dengan kadar protein 30,62% dan karbohidrat 41,72% efektif menstimulasi molting

kepiting bakau. Namun demikian, pakan yang digunakan pada percobaan tersebut

belum isokalori.

Diketahui bahwa, selain protein, karbohidrat dan lemak nutrien penting dalam

pakan. Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi dalam pakan. Kadar

karbohidrat dan lemak yang memenuhi kabutuhan energi kepiting bakau diharapkan

berfungsi sebagai protein sparing effect.

Page 2: Latar Belakang Kepiting Bakau

2

Disamping fungsinya sebagai sumber energi lemak memiliki fungsi untuk

menopang fungsi senyawa organik sebagai penghantar sinyal, seperti pada

prostaglandin, hormon steroid dan kelenjar empedu (Anonim, 2010 dalam

www.scribd.com, 2010). Ditambahkan oleh Koolman dan Röhn (1995) bahwa lemak

dalam bahan makanan adalah pembawa energi yang penting. Pada pemberian

makanan yang benar, lemak dalam bahan makanan dapat memberikan sekitar 30-

35% energi tambahan. Selain lemak, kepiting bakau juga membutuhkan karbohidrat.

Karbohidrat juga merupakan salah satu makromolekul utama dalam sel organisme

hidup yang mempunyai peran penting sebagai sumber energi, seperti energi

cadangan dalam bentuk glikogen, sebagai komponen dalam struktur membran sel

dan dinding sel (Aslamyah, 2008).

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian respon

molting dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla olivacea) pada berbagai kadar

karbohidrat - lemak dalam pakan buatan isokalori yang diperkaya dengan vitomolt.

B. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi persentase molting dan

pertumbuhan kepiting bakau (Scylla olivacea) pada berbagai kadar karbohidrat-

lemak pakan bervitomolt.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih informasi dan

pengetahuan mengenai pengaruh kombinasi karbohidrat-lemak pakan bervitomolt

untuk memenuhi energi kepiting bakau dalam melakukan aktivitas molting.

Page 3: Latar Belakang Kepiting Bakau

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Kasry (1996) kepiting bakau (Scylla olivacea) merupakan salah satu

spesies dari famili Portunidae, memiliki asosiasi yang dekat dengan lingkungan

mangrove, sehingga dikenal dengan nama kepiting bakau atau Mud Crab.

Menurut Motoh (1977); Warner (1977); Moosa (1980); dan Keenan (1999)

kepiting bakau dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Mud Crab yang dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Subfilum : Mandibulata

Klas : Crustacea

Subklas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Subordo : Raptantia

Famili : Portunidae

Genus : Scylla

Spesies : Scylla olivacea (Gambar 1).

Gambar 1. Morfologi kepiting bakau (Scylla olivacea).

Page 4: Latar Belakang Kepiting Bakau

4

Menurut Kanna (2006) kepiting bakau (Scylla olivacea) memiliki ukuran lebar

karapas lebih besar daripada ukuran panjang tubuhnya dan permukaanya agak licin.

Pada dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri dan disamping kanan

dan kirinya masing-masing terdapat sembilan buah duri. Kepiting bakau jantan

memiliki sepasang capit yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat

daripada panjang karapasnya, sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih pendek.

Selain itu, kepiting bakau juga mempunyai 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki

renang. Kepiting bakau berjenis kelamin jantan ditandai dengan abdomen bagian

bawah berbentuk segitiga meruncing, sedangkan pada kepiting bakau betina

melebar.

Deskripsi Scylla sp. (Herbst, 1796 dalam Fujaya, 2008) adalah:

- Warna bervariasi dari merah orange hingga kecoklatan tergantung habitat.

- Berasosiasi dengan hutan mangrove muara sungai yang digenangi air laut yang

tereduksi selama musim hujan.

- Sering hidup berasosiasi dengan S. tranquebarica.

- Lebih agresif dibanding jenis kepiting bakau yang lain.

B. Pertumbuhan dan Molting

Menurut Fujaya (2008) kepiting tidak dapat tumbuh secara linier sebagaimana

hewan lain karena mereka memiliki cangkang luar yang keras (karapas) yang tidak

dapat bertumbuh. Karenanya agar kepiting dapat bertumbuh maka karapas lama

harus diganti dengan yang baru yang lebih besar. Proses pergantian ini disebut

molting. Ditambahkan oleh Effendy dkk. (2005) pada kepiting bakau, pertumbuhan

merupakan proses perubahan panjang dan bobot yang terjadi secara berkala pada

setiap rangkaian proses pergantian kulit atau molting.

Page 5: Latar Belakang Kepiting Bakau

5

Menurut Buwono (2004) pertumbuhan diasumsikan sebagai pertambahan

jaringan struktural, yang berarti pertambahan (peningkatan) jumlah protein dalam

jaringan tubuh. Hampir semua jaringan secara aktif mengikat asam-asam amino dan

menyimpannya secara intraseluler dalam konsentrasi yang lebih besar, untuk

dibentuk menjadi protein tubuh (sel-sel tubuh). Ditambahkan oleh Mujiman (1997)

asam amino adalah bagian terkecil dari protein. Di alam terdapat lebih kurang 50

macam asam amino. Sepuluh macam diantaranya merupakan asam amino

esensial, yaitu asam amino yang mutlak diperlukan oleh tubuh hewan dan harus

tersedia di dalamnya. Sebab asam-asam amino esensial itu tidak dapat dibuat oleh

tubuh hewan itu sendiri. Kesepuluh macam asam amino esensial tersebut adalah

metionin, arginin, triptofan, treonin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, finilalanin dan

valin. Dari kesemuanya itu, yang paling esensial adalah lisin.

Menurut Kuntiyo dkk. (1994) selama masa pertumbuhan menjadi dewasa,

kepiting bakau akan mengalami beberapa kali molting yaitu antara 17 sampai 20

kali. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak dapat

membesar, sehingga perlu dibuang dan diganti dengan yang lebih besar. Setiap

periode (fase intermolt) pertumbuhan kepiting dapat mencapai 20% sampai 30%

dari ukuran semula. Sedangkan menurut Warner (1977) pada kepiting yang masih

kecil penambahan bobot dapat mencapai 400%. Secara keseluruhan, penambahan

bobot pada setiap molting berkisar antara 3% sampai 44%. Ditambahkan oleh

Lavina (1980) pertumbuhan kepiting bakau sejak dari telur sampai dewasa dengan

lebar karapas sekitar 114.2 mm memerlukan waktu minimal 369 hari.

Menurut Fujaya (2008) molting adalah proses sentral dan berkesinambungan

yang terjadi selama hidup kepiting. Ada empat fase dalam siklus molting: intermolt,

premolt (persiapan untuk mencapai molting), molt (molting), dan post molt (recovery

dari molting). Selama intermolt, exoskeleton terbentuk sempurna dan hewan

mengakumulasi calcium dan energi untuk disimpan. Premolt dimulai ketika

Page 6: Latar Belakang Kepiting Bakau

6

exsoskeleton yang lama mulai memisahkan diri dari epidermis dan mulai terbentuk

exsoskeleton baru. Calcium dan beberapa nutrien lainnya diabsorbsi dari

exoskeleton lama dan disimpan di dalam daging kepiting dan selanjutnya

dikembalikan pada exoskeleton baru.

Menurut Fujaya (2008) ada beberapa faktor yang mengontrol molting, yaitu

informasi eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperatur, dan ketersediaan

makanan. Selain itu, informasi internal juga sangat berperan, seperti ukuran tubuh

yang membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi

otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormon molting. Ekdisteroid

adalah hormon molting pada kepiting.

C. Hormon Molting

Menurut Gunamalai dkk. (2003) ekdisteroid merupakan hormon streoid utama

pada arthropoda yang memiliki fungsi utama sebagai hormon molting, selain itu juga

mengatur fungsi fisiologi, seperti pertumbuhan, metamorfosis, dan reproduksi.

Hormon ini disekresi oleh organ-Y dalam bentuk ecdysone. Di dalam hemolimph

hormon ini dikonversi menjadi hormon aktif, 20-hydroxyecdysone, oleh enzim 20-

hydroxylase yang terdapat di epidermis organ dan jaringan tubuh lainnya. Titer 20-

hydroxyecdysone dalam sirkulasi bervariasi sepanjang fase molting. Sesaat setelah

ecdysis (molting) titernya sangat rendah dan juga sepanjang fase intermolt. Menurut

Donalson dkk. (1978) aksi metabolik steroid yang paling menonjol adalah

digiatkannya metabolisme protein. Beberapa hasil penelitian menunjukkan terjadi

peningkatan pertumbuhan pada ikan budi daya yang diberi pakan mengandung

hormon steroid sintetik 17 α-metyltestosteron dalam pakan efektif menurunkan

penggunaan protein pakan sampai 20% dan terbukti meningkatkan pertumbuhan

dan efisiensi pakan ikan betutu.

Page 7: Latar Belakang Kepiting Bakau

7

Menurut Anonim (2009) dalam repository.ui.ac.id (2009) bahwa organ-Y

(kelenjar endokrin yang terdapat dibagian kepala) menghasilkan hormon molting

ecdysone. Selanjutnya menurut Anonim (2002) dalam o-fish.com (2009) setidaknya

ada dua jenis hormon molting diketahui bertanggung jawab terhadap proses molting,

yaitu hormon Ecdysis dan MIH (Molt Inhibiting Hormone).

D. Kebutuhan Pakan

Kepiting bakau membutuhkan nutrisi untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya. Afrianto dan Liviawaty (2005) kepiting yang telah dewasa lebih senang

memakan daging, bahkan bangkai juga disukainya. Selanjutnya menurut Kanna

(2006) ukuran pakan disesuaikan dengan kemampuan kepiting dalam

mencengkram pakan, dan Fujaya (2008) melaporkan bahwa keberhasilan

pembesaran kepiting bakau ditambak atau dalam suatu wadah terkontrol sangat

ditentukan oleh kesesuaian pakan yang diberikan, baik jumlah maupun jenis. Lanjut

bahwa, kepiting bakau adalah hewan omnivora scavenger artinya mereka dapat

memakan segala jenis makanan baik hewani maupun nabati bahkan bangkai

sekalipun.

Menurut Karim (2005) manajemen pemberian pakan pada budidaya kepiting

bakau merupakan faktor penentu keberhasilan. Terdapat 5 prinsip yang perlu

dipertimbangkan dalam memilih pakan yang tepat, yaitu: (1) kuantitas, (2) kualitas

(nilai nutrisi dan sanitasi), (3) bentuk dan ukuran, (4) daya tarik, dan ketahanan

(stabilitas) di dalam air (media) (Ilyas dkk, 1987 dalam Karim, 2005).

E. Karbohidrat dan Lemak

Menurut Anonim (2006) crustacea memerlukan karbohidrat dalam jumlah

yang banyak untuk pembakaran dalam proses metabolisme juga diperlukan dalam

sintesis khitin dalam kulit keras, dan karbohidrat dibongkar dari tempat

penyimpannya karena dibutuhkan untuk sintesis protein.

Page 8: Latar Belakang Kepiting Bakau

8

Bahan baku pakan yang mengandung karbohidrat antara lain jagung, beras,

dedak, tepung terigu, tapioka, dan sagu. Sebagian bahan di atas, selain berperan

sebagai sumber karbohidrat juga berfungsi sebagai alat perekat (binder) untuk

mengikat komponen bahan baku dalam pembuatan pakan (Afrianto dan Liviawaty,

2005).

Menurut Affandi dkk. (2005) lemak disebut juga lipid, adalah suatu zat yang

kaya akan energi, berfungsi sabagai sumber energi yang utama untuk proses

metabolisme tubuh. Lemak yang beredar dalam tubuh diperoleh dari dua sumber

yaitu dari makanan dan hasil produksi organ hati, yang bisa disimpan di dalam sel-

sel lemak sebagai cadangan energi. Lemak berfungsi sebagai senyawa organik

penghantar sinyal, seperti pada prostaglandin dan hormon steroid dan kelenjar

empedu (Anonim, 2010 dalam www.scribd.com, 2010).

F. Kualitas Air

Menurut Kordi dan Tancung (2007) bagi biota perairan, misalnya ikan, udang,

kerang dan lain-lain, air berfungsi sebagai media, baik sebagai media internal

maupun eksternal. Sebagai media internal, air berfungsi sebagai bahan baku reaksi

di dalam tubuh, pengangkut bahan makanan ke seluruh tubuh, dan sebagai peadap

atau penyangga suhu tubuh. Sementara sebagai media internal, air berfungsi

sebagai habitatnya. Kualitas air merupakan salah satu faktor lingkungan yang

sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis oleh organisme. Salah satu

manipulasi untuk mempercepat proses ganti kulit adalah dengan manipulasi

lingkungan (Anonim, 2009 dalam repository.ui.ac.id, 2009).

Menurut Fujaya (2008) kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas 5-36

ppt tetapi selama pertumbuhan mereka lebih menyukai salinitas rendah antara 5-25

ppt. pH yang cocok berkisar antara 7-9. Selain sifat kimia air, kepiting juga tidak

menyukai air yang keruh. Lanjut bahwa, untuk menjaga kualitas air tetap sesuai

Page 9: Latar Belakang Kepiting Bakau

9

maka pergantian air setiap hari perlu dilakukan. Dapat disesuaikan dengan kondisi

pasang surut atau kira-kira 30-50% per hari dan penggantian total dilakukan

seminggu sekali.

Menurut Rustam (1989) suhu yang baik untuk kehidupan kepiting bakau

adalah 23-32 oC. Selain itu menurut Boyd (1990) oksigen terlarut sangat esensial

dibutuhkan oleh kepiting bakau untuk respirasi yang selanjutnya dimanfaatkan untuk

kegiatan metabolisme. Oleh sebab itu, kandungan oksigen terlarut harus selalu

dipertahankan dalam kondisi optimum. Secara umum, apabila kandungan oksigen

terlarut rendah (<3 ppm) akan menyebabkan nafsu makan dan tingkat pemanfaatan

rendah. Untuk budidaya kepiting bakau agar pertumbuhannya baik maka kandungan

oksigen sebaiknya lebih besar dari 3 ppm.

Menurut Kuntiyo dkk. (1994) amoniak bersifat toksik sehingga dalam

konsentrasi yang tinggi dapat meracuni organisme. Apabila konsentrasi amoniak

meningkat, maka berpengaruh terhadap permeabilitas organisme dan menurunkan

konsentrasi ion netralnya. Mempengaruhi pertumbuhan dan konsumsi oksigen. Oleh

sebab itu, agar kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik maka konsentrasi

amoniak dalam media tidak lebih dari 0,1 ppm.

Page 10: Latar Belakang Kepiting Bakau

10

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2010 di tambak

Bawanamarana, Desa Marana, Kabupaten Maros. Analisis proksimat pakan

dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

B. Materi Penelitian

B.1. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau (Scylla olivacea) jantan dan

betina yang berasal dari Sungai Pallime Kab. Bone dengan bobot tubuh 100 g/ekor.

Hewan uji yang diteliti berjumlah 120 ekor, masing-masing 30 ekor per perlakuan.

B.2. Wadah Penelitian

Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah crab box yang berukuran

panjang, lebar, dan tinggi adalah 30 cm x 20 cm x 15 cm. Hewan uji dipelihara

secara individual di crab box yang terletak di atas rakit bambu berpelampung,

sehingga mengapung di atas permukaan air tambak yang memiliki kedalaman + 15

cm.

B.3. Pakan Uji

Pakan yang digunakan adalah 4 jenis pakan buatan isokalori (2850 kkal)/kg

pakan dengan kadar protein 31% pakan di formulasi berbentuk pellet dengan

berbagai persentase karbohidrat-lemak. Komposisi pakan uji dapat dilihat pada

Tabel 1.

Page 11: Latar Belakang Kepiting Bakau

11

C. Prosedur Penelitian

Pakan diperkaya dengan vitomolt melalui penyemprotan vitomolt yang telah

diencerkan dengan etanol 80% pada perbandingan 1:1 dan telah dihomogenkan.

Selanjutnya, diencerkan lagi dengan etanol 80% sampai volume 20 mL/kg pakan.

Campuran larutan tersebut disemprotkan secara merata ke pakan buatan dengan

dosis 500 ng/g kepiting uji untuk hari ke 0 hingga hari ke-10 dan 200 ng/g kepiting uji

untuk hari ke-11. Kemudian pakan dikering-anginkan dan disimpan dalam kantong

plastik pengap (packing) hingga siap untuk digunakan.

Hewan uji yang dijadikan sampel terlebih dahulu disortir, kemudian

diadaptasikan selama 4 hari pada kondisi lingkungan penelitian dan pakan uji.

Sebelum diberi perlakuan, dilakukan penimbangan bobot tubuh awal dengan

menggunakan timbangan elektrometris dan pengukuran lebar karapas dengan

menggunakan mistar geser. Kemudian di-marking dengan menggunakan spidol

marker permanen pada bagian dorsal karapas untuk memudahkan dalam

pengamatan. Selanjutnya, kepiting uji dimasukkan dalam wadah pemeliharaan.

Air yang digunakan adalah air laut yang dialirkan secara gravitasi dengan

pergantian air minimal 30% per hari. Frekuensi pemberian pakan uji diberikan satu

kali dalam sehari yakni pada sore hari (17.00 Wita). Persentase pemberian pakan

3% per bobot tubuh harian. Pengamatan dilakukan sampai hewan uji molting.

Penimbangan bobot tubuh dan pengukuran lebar karapas hewan uji dilakukan satu

jam setelah molting.

Parameter kualitas air diukur setiap hari secara langsung di wadah

pemeliharaan meliputi salinitas yang diukur dengan menggunakan

handrefractometer, Suhu dan Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan

metode elektrometris (DO meter), dan pH diukur dengan menggunakan kertas pH

(pH water tester) pada pukul 06.00 dan 18.00 WITa, sedangkan pengukuran amonia

Page 12: Latar Belakang Kepiting Bakau

12

diukur pada awal dan akhir pemeliharaan dengan metode spectrofotometer di

Laboratorium Kualitas Air, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan, Universitas Hasanuddin.

D. Perlakuan

Perlakuan yang diujikan adalah 4 jenis pakan buatan isokalori dengan

berbagai kadar karbohidrat- lemak. Perlakuan tersebut adalah:

Pakan A (Karbohidrat 40,10% dan lemak 10,20%)

Pakan B (Karbohidrat 43,26% dan lemak 9,10%)

Pakan C (Karbohidrat 45,19% dan lemak 8,05%)

Pakan D (Karbohidrat 48,89% dan lemak 7,20%)

Penempatan masing-masing untuk percobaan dilakukan secara acak pada

wadah penelitian sebagai berikut:

B.1 B.6 B.9 A.2 A.4 C.1 A.3 C.2 B.10 D.20

B.3 A.10 A.6 B.5 B.7 B.4 C.10 D.18 B.8 B.2

D.16 A.5 A.25 C.3 B.30 B.11 C.7 C.3 A.9 D.19

C.5 D.28 D.14 D.17 A.7 C.4 A.8 A.26 B.12 B.14

A.1 D.27 A.11 B.15 C.8 C.6 C.9 B.16 D.23 A.12

B.13 A.13 C.12 A.14 B.17 A.15 D.30 B.18 A.27 C.11

A.16 D.10 C.14 A.17 D.21 A.29 D.22 C.30 B.20 B.19

B.21 C.15 D.29 D.8 D.11 D.7 A.18 A.28 B.22 D.15

C.13 C.26 C.16 C.17 B.23 C.18 B.24 D.13 D.12 D.24

A.19 B.25 D.2 C.25 B.26 C.21 C.22 D.9 C.19 C.20

D.3 A.20 C.24 D.4 A.21 B.27 D.25 A.22 A.23 C.26

C.23 C.27 D.1 B.28 D.6 D.5 B.29 C.28 A.24 A.30

E. Parameter yang Diamati

Adapun parameter yang diamati selama penelitian meliputi:

E.1. Persentase molting

Persentase molting kepiting uji dihitung dengan menggunakan rumus:

Persentase molting = Hewan uji yang molting x 100 Jumlah hewan uji

Page 13: Latar Belakang Kepiting Bakau

13

E.2. Pertumbuhan

Pertambahan bobot tubuh dan lebar karapaks hewan uji di ukur pada awal

penelitian dan pada akhir pengamatan satu jam setelah molting. Pertumbuhan

kepiting uji dihitung dengan menggunakan rumus:

Pertumbuhan mutlak = Bt – Bt Dimana: Bt = Bobot tubuh akhir = Lkt – Lk0 Bt = Bobot tubuh awal

Lkt = Lebar karapaks akhir Lk0 = Lebar karapaks awal

E.3. Mortalitas

Mortalitas hewan uji dihitung dengan menggunakan rumus:

Mortalitas = Jumlah hewan uji yang mati x 100 Jumlah hewan uji

F. Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh respon pemberian pakan terhadap persentase

molting dan pertumbuhan hewan uji maka hasil pengamatan dan pengukuran tiap

parameter dianalisis secara deskriptif.

Page 14: Latar Belakang Kepiting Bakau

14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

A.1. Persentase molting

Pemberian pakan buatan ber-vitomolt dengan berbagai kadar karbohidrat-

lemak pada hewan uji menunjukkan bahwa adanya perbedaan terhadap

persentase molting. Data persentase molting pada masing-masing perlakuan dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2. Molting (%) hewan uji pada masing-masing perlakuan, yaitu pakan A (39,99), pakan B (46,65), pakan C (53,33) dan pakan D (73,34).

Persentase molting yang dihasilkan pada pemeliharaan ini berkisar dari

39,99-73,34%. Persentase molting tertinggi dihasilkan pada perlakuan pakan D

73,34%, diikuti oleh pakan C 53,33%, pakan B 46,65%, dan persentase molting

terendah pada perlakuan pakan A 39,99% (Gambar 2).

A.2. Pertumbuhan

Pemberian pakan ber-vitomolt pada berbagai kadar karbohidrat – lemak

menunjukkan adanya pertumbuhan hewan uji yang ditandai dengan adanya

pertambahan bobot tubuh dan lebar karapaks hewan uji (Gambar 3).

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

A B C D

Mo

ltin

g (

%)

Pakan

Page 15: Latar Belakang Kepiting Bakau

15

Gambar 3. Pertambahan bobot mutlak dan lebar karapas mutlak hewan uji pada masing-masing perlakuan

Pertambahan bobot tubuh berkisar dari 9,89-16,28 g. Pertambahan

pertumbuhan bobot tubuh hewan uji tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan D

16,28 g, yang diikuti oleh perlakuan pakan C 13,98 g, pakan B 12,85 g, dan

terendah pada perlakuan pakan A 9,89 g. Pertambahan lebar karapaks hewan uji

tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan D 9,7 mm, yang diikuti oleh perlakuan

pakan C 8,47 mm, pakan B 7,52 mm, dan terendah pada perlakuan pakan A 6,23

mm.

A.3. Mortalitas

Pengaruh pemberian pakan terhadap persentase mortalitas masing-masing

hewan uji dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Mortalitas (%) hewan uji pada masing-masing perlakuan, yaitu pakan A (6,67), pakan B (10,00), pakan C (10,00) dan pakan D (3.33).

9.89

12.8513.98

16.28

6.237.52

8.479.7

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

A B C D

Pe

rtu

mb

uh

an

Bo

bo

t d

an

L

eb

ar

Ka

rap

aks

Pakan

Bobot mutlak (g)

Lebar mutlak (mm)

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

A B C D

Mo

rta

lita

s (

%)

Pakan

Page 16: Latar Belakang Kepiting Bakau

16

Persentase mortalitas kepiting uji selama penelitian berkisar antara 3,33%-

10%. Persentase mortalitas tertinggi diperlihatkan oleh perlakuan pakan B dan C

yaitu 10%, yang diikuti oleh perlakuan pakan A yaitu 6,67% dan terendah pada

perlakuan pakan D yaitu 3,33%.

A.4. Kualitas air

Hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengukuran kualitas air

Parameter Kisaran Alat ukur

Suhu (oC) 24,4 – 35,0 DO meter elektrometris Salinitas (ppt) 25 – 37 Handrefractometer

DO (ppm) 0,96 – 8,01 DO meter elektrometris pH 7 – 8 pH water tester

Amonia (ppm) 0,001 – 0,002 Spectrofotometer

B. Pembahasan

Perbedaan komposisi bahan baku yang berakibat pada perbedaan kadar

nutrien masing-masing formulasi pakan buatan ber-vitomolt, mempengaruhi

perbedaan respon molting kepiting bakau (Scylla olivacea) pada masing-masing

perlakuan (Gambar 2). Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005) defisiensi gizi dalam

pembuatan pakan akan mempengaruhi pertumbuhan organisme budidaya.

Selanjutnya, komposisi nutrien pakan esensial akan menentukan pertumbuhan dan

efisiensi pakan organisme (Gutierrez-Yurrita dan Montes, 2001 dalam Karim, 2005).

Persentase molting dan pertumbuhan terbaik terjadi pada perlakuan formulasi

pakan D dengan kadar karbohidrat 48,89% dan lemak 7,20%. Menurut Anonim

(2007) dalam www.pssplab.com (2010) crustacea memerlukan karbohidrat dalam

jumlah yang banyak untuk pembakaran dalam proses metabolisme juga diperlukan

dalam sintesis khitin dalam kulit keras, dan karbohidrat dibongkar dari tempat

penyimpanannya karena dibutuhkan untuk sintesis protein. Penjelasan tersebut di

Page 17: Latar Belakang Kepiting Bakau

17

atas menerangkan bahwa jumlah karbohidrat yang lebih banyak pada formulasi

pakan D dibandingkan dengan formulasi pakan C, B dan A, digunakan sebagai

bahan baku energi dalam proses molting, sehingga pemanfaatan protein sebagai

pertumbuhan tidak lagi sepenuhnya dialokasikan sebagai energi dalam proses

molting melainkan untuk pertumbuhan sebagai fungsi utamanya. Menurut

Aslamyah (2008) protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat diganti oleh zat

gizi lainnya, yaitu membangun serta memelihara sel-sel serta jaringan tubuh.

Selanjutnya menurut Steward (1991) glukosa darah merupakan sumber bahan

bakar utama dan esensial untuk metabolisme sel.

Hal tersebut diatas menerangkan bahwa pakan dengan kadar karbohidrat

lebih tinggi pada 4 perlakuan pakan tersebut, memperlihatkan eksistensi fungsinya

sebagai fungsi utama sebagai sumber energi dalam proses molting, sehingga dari 4

perlakuan tersebut memperlihatkan bahwa perlakuan pakan D memiliki keunggulan

dibandingkan oleh pakan C, B dan A.

Kadar lemak yang lebih rendah pada perlakuan formulasi pakan D ternyata

lebih baik dibandingkan dengan perlakuan formulasi pakan C, B dan A. Menurut

Afrianto dan Liviawaty (2005) pakan buatan yang mengandung lemak tinggi,

terutama asam lemak tidak jenuh, akan mengalami masalah dalam penyerapan.

Lemak sangat mudah teroksidasi menjadi peroksida dan senyawa toksik lainnya.

Lanjut bahwa, penggunaan pakan buatan yang telah mengalami proses oksidasi

akan menurunkan nafsu makan, menghambat pertumbuhan, menyebabkan

pigmentasi, serta menurunkan kadar hemoglobin dan hematokrik. Namun, lemak

berfungsi sebagai senyawa organik penghantar sinyal, seperti pada

prostaglandin dan hormon steroid dan kelenjar empedu (Anonim, 2010 dalam

www.scribd.com, 2010). Hal ini menerangkan bahwa perlakuan formulasi pakan

D yang memiliki kadar lemak 7% lebih rendah dari formulasi pakan lainnya

memiliki pengaruh lebih optimal terhadap persentase molting dan pertumbuhan

Page 18: Latar Belakang Kepiting Bakau

18

karena keberadaan vitomolt sebagai fitoekdisteroid dalam pakan yang juga

merupakan hormon steroid utama pada arthropoda yang memiliki fungsi utama

sebagai hormon molting (Gunamalai dkk, 2003).

Mengingat hal tersebut di atas ternyata dalam pelaksanaan penelitian hewan

uji tersebut juga mengalami mortalitas, hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi

fisiologis maupun kondisi lingkungan hewan uji selama pemeliharaan. Menurut

Loseke (2003) berkaitan dengan persentase mortalitas pada arthropoda terjadi

sekitar 80% hingga 90% akibat molting yang tidak sempurna. Kematian akibat

molting yang tidak sempurna bisa diakibatkan oleh faktor internal organisme. Selain

pertumbuhan akan dipengaruhi oleh lingkungan media budidaya hewan uji, hal ini

dapat terjadi oleh karena derajat kecernaan karbohidrat – lemak akan dipengaruhi

oleh kondisi lingkungannya sehingga kebutuhan akan energi dalam proses molting

tidak tercukupi. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005) menjelaskan bahwa faktor

lingkungan yang berpengaruh terhadap kebutuhan asam lemak sebagai sumber

energi adalah suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio ω6 : ω3 menurun

dengan menurunnya suhu, namun kebutuhan asam lemak rantai panjang

meningkat. Selanjutnya, menurut Rosas dkk. (1991) dalam Karim (2005) konsumsi

oksigen pada krustacea dapat digunakan sebagai aseptor elektron dalam strategi

kehidupan dan aktivitas siklus harian organisme.

Selama pelaksanaan penelitian telah dilakukan pengukuran parameter

kualitas air (Tabel 1) yang menjelaskan bahwa kisaran suhu antara 24,4-35,0 oC,

Salinitas 25- 37 ppt, DO 0,96 – 8,01 ppm, pH 7-8, dan amonia berada pada kisaran

0,001- 0,002 ppm. Namun, menurut Fujaya (2008) tambak pemeliharaan sebaiknya

mempunyai kedalaman 0,8-1,0 meter dengan salinitas air antara 15-30 ppt.

Selanjutnya, menurut Rustam (1989) suhu yang baik untuk kehidupan kepiting

bakau adalah 24 -32 oC. Untuk budidaya kepiting bakau agar pertumbuhannya baik

Page 19: Latar Belakang Kepiting Bakau

19

maka kandungan oksigen sebaiknya lebih besar dari 3 ppm (Kuntinyo dkk, 1994

dan Christensen dkk, 2005 dalam Ghurdi, 2006).

Page 20: Latar Belakang Kepiting Bakau

20

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pakan buatan

yang diperkaya vitomolt dengan dosis 700 ng/g kepiting uji dengan persentase

karbohidrat 49% dan lemak 7% paling baik menstimulasi molting dan pertumbuhan

kepiting bakau (Scylla olivacea) dengan menggiatkan produk energi untuk

pertumbuhan dan molting.

B. Saran

Mengingat bahwa persentase kadar karbohidrat dan lemak untuk memenuhi

kebutuhan energi dalam proses pertumbuhan dan molting dalam kesehariannya,

maka perlu pengkajian mengenai kadar optimal karbohidrat-lemak yang terkandung

dalam suatu formulasi pakan untuk kepiting bakau (Scylla olivacea).

Page 21: Latar Belakang Kepiting Bakau

21

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R., D. S. Sjafei, M. F. Rahardjo, dan Sulistiono. 2005. Fisiologi ikan, pencernaan dan penyerapan makanan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Afrianto, E dan E. Liviawaty. 2005. Pemeliharaan kepiting. Kanisius. Yogyakarta. Anonim. 2002. Molting. [online] http://o-fish.com/Crayfish/molting_1.php [04

November 2009]. Anonim, 2006. Budidaya Kepiting Bakau. Makalah. Dalam Sarasehan dan Temu

Konsultasi Teknologi Pendayagunaan Tambak Tanah Sulfat Masam Untuk Budidaya di Tarakan, Kaltim pada Tanggal 6 Juni 2006. Hal 1-16.

Anonim. 2007. Glikogen. Polton Sports Science and Performance Lab. [online]

http://www.pssplab.com/id-carbohydrate03.php. [06 Oktober 2009]. Anonim. 2009. Molting dan pertumbuhan daur hidup dan reproduksi (mater kuliah)

[online] http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/d2d7e694145df50dc36c199 16058fedecb9a2d3e.pdf [04 November 2009].

Anonim. 2010. Metabolisme Karbohidrat pada Crustacea (abstrak). [online]

http://www.scribd.com/doc/27163046/Metabolisme-Karbohidrat-Pada-Crustacea [09 Mei 2010].

Aslamyah, S. 2008. Pembelajaran Berbasis SCL pada Mata Kuliah Biokimia Nutrisi

(laporan modul). FIKP. Jurusan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Aslamyah, S. dan Y. Fujaya. 2009. Pengembangan pakan buatan yang murah,

berkualitas dan ramah lingkungan (Laporan I). Stranas. Makassar Buwono, I. D. 2004. Kebutuhan asam amino esensial dalam ransum ikan. Kanisius.

Yogyakarta. Boyd, C. E. 1990. Water quality for pond aquaculture. Alabama: Birmingham

Publishing Co. 328 p. Damayanti, A. 2008. Pengaruh Frekuensi Penyuntikan Vitomolt Terhadap Molting

Kepiting Bakau (Scylla olivaceous). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Donalson, E.M., U.H.M. Fegerlund, D.A. Higgs, and J.R. McBrede. 1978. Hormonal

enchantment of growth. dalam Hoar, W.S., D.J. Rondal and J.R. Bret. (eds). Fish Physiology. Vol VIII. Academic Press, New York. Hal 456 – 597.

Effendy, S., Faidar, Sudirman dan E. Nurcahyono. 2005. Pemeliharaan rajungan

(Portunus pelagicus Limneus) pada berbagai tingkat salinitas media. Laporan Penelitian. Balai Budidaya Air Payau. Takalar.

Fujaya, Y. 2007. Mempersiapkan kepiting menjadi komoditas andalan. Fajar, 5 Mei

Page 22: Latar Belakang Kepiting Bakau

22

Fujaya, Y. 2008. Kepiting komersil di dunia, biologi, pemanfaatan, dan

pengelolaannya. Citra Emulsi. Makassar. Ghurdi, 2006. Pengaruh rasio protein per energi pakan terhadap kelangsungan

hidup dan pertumbuhan kepiting bakau betina. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Gunamalai, V., R. Kirubagaran and T. Subramoniam. 2003. Sequesration of

ecdisteroid hormone into the ovary of the mole crab, emerita asitica. (Milne Edwards). Currents Science, 85 (4): 493 – 496.

Kanna, I. 2006. Budidaya kepiting bakau, pembenihan dan pembesaran. Kanisius.

Yogyakarta. Karim, M.Y. 2005. Kinerja pertumbuhan kepiting bakau betina (Scylla serrata

Forsskal) pada berbagai salinitas media dan evaluasinya pada salinitas optimum dengan kadar protein berbeda (disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kasry, A. 1996. Kepiting bakau dan biologi ringkas. Bharata. Jakarta. Keenan C. P. 1999. The fouth spesies of scylla. dalam Mud crab aquaculture and

biology. ACIAR proceedings. 78. ACIAR. Canberra. 48 – 58. Kuntiyo, Z. Arifin dan T. Supratomo. 1994. Pedoman budidaya kepiting bakau

(Scylla serrata) di tambak. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Air Payau. Jepara.

Kordi, M. G. H. dan A. B. Tancung. 2007. Pengelolaan kualitas air dalam budidaya

perairan. Rineka Cipta. Jakarta. Koolman dan Röhn (1995) Lavina, F. 1980. Notes on the biology and aquaculture of Scylla serrata. Phillipines:

SEAFDEC Dept. Loseke, L. 2003. All About Molting. [online]. http://crabstreetjournal.com/articles. [21

Desember 2010]. Mujiman, A. 1997. Makanan ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. Moosa, M. K. 1980. Systematical and zoogeographical observation the Indo-West

Pasific Portunidae. LON-LIPI. Jakarta. Hal 1 – 138. Motoh, H. 1977. Biological synopsis of alimango, Genus Scylla. Quart. Res. Rep.

SEAFDEC. 3 : 136 – 157. Rustam, A. 1989. Percobaan pematangan gonad dan pemijahan kepiting bakau

(Scylla serata) pada berbagai jenis dan ketebalan substrat. Seminar Teknologi Perikanan Pantai, Denpasar 6 – 7 Agustus 1989. Hal 182-185.

Page 23: Latar Belakang Kepiting Bakau

23

Steward, M. 1991. Blood sugar regulation. p. 291 – 321. dalam Steward, M. (Editor). Animal physilogy. Thompson Litho, Ltd. London.

Susanti, H. 2009. Pengaruh Dosis Vitomolt Dalam Pakan Kepiting Bakau (Scylla

olivacea) Terhadap Molting. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.

Wahyuningsih, S. A. 2008. Pengaruh Dosis Penyuntikan Vitomolt Terhadap Molting

Kepiting Bakau (Scylla olivaceous). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Warner, G. F. 1977. The Biology of crab. Elek Scientific Book Ltd. London.

Page 24: Latar Belakang Kepiting Bakau

24

Lampiran 1. Komposisi nutrien pakan uji.

Komposisi Pakan Formula

A B C D

Air (%) 10.55 10.16 10.30 10.20

Abu (% bk) 13.52 12.01 11.11 8.15

Protein (% bk) 30.20 30.40 30.15 30.06

Lemak (% bk) 10.20 9.10 8.05 7.20

Serat Kasar (% bk) 5.98 5.23 5.50 5.70

BETN (% bk) 40.10 43.26 45.19 48.89

DE (kkal/kg.)*) 2885.70 2882.60 2837.05 2857.55

C/P (DE/g Protein) 9.56 9.48 9.41 9.51 Keterangan *) Hasil perhitungan berdasarkan persamaan energi (NRC, 1998).

1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE 1 g protein = 3,5 kkal DE 1 g lemak = 8,1 kkal DE

Lampiran 2. Data perhitungan hasil penelitian terhadap 120 ekor hewan uji

perperlakuan

Parameter Perlakuan Pakan

A B C D

Molting

10 - 20 hari - 13.33 3.33 10.00

21 - 30 hari 3.33 13.33 13.33 26.67

31 - 40 hari 13.33 3.33 10.00 6.67

41 - 50 hari - 3.33 16.07 20.00

51 - 60 hari 23.33 13.33 10.00 10.00

40.00 % 46.67 % 53.33 % 73.33 %

48 ekor 56 ekor 64 ekor 88 ekor

Tidak molting 53.33 % 43.33 % 36.67 % 23.33 %

64 ekor 52 ekor 44 ekor 28 ekor

Mortalitas 6.67 % 10.00 % 10.00 % 3.33 %

8 ekor 12 ekor 12 ekor 4 ekor

Page 25: Latar Belakang Kepiting Bakau

25

Lampiran 3. Foto lokasi, alat ukur, wadah pemeliharaan (crab box) dan hewan uji penelitian.

Page 26: Latar Belakang Kepiting Bakau

26