Kepiting Bakau

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla sp). Jenis kepiting ini disenangi masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting (Catacutan 2002). Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif. Berdasarkan pertimbangan kontinyuitas produksi, maka perlu dikembangkan budidaya kepiting bakau secara terkontrol. Guna menunjang usaha budidaya kepiting yang efektif, efisien dan menguntungkan secara ekonomis maka perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat biologis kepiting bakau. Hal tersebut dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya mem-berikan pertumbuhan yang maksimal. 1

description

SKRIPSI PENELITIAN GUA

Transcript of Kepiting Bakau

Page 1: Kepiting Bakau

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan

potensial untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla sp). Jenis kepiting

ini disenangi masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai

nutrien penting (Catacutan 2002). Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting

bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang

sifatnya fluktuatif. Berdasarkan pertimbangan kontinyuitas produksi, maka perlu

dikembangkan budidaya kepiting bakau secara terkontrol. Guna menunjang usaha

budidaya kepiting yang efektif, efisien dan menguntungkan secara ekonomis

maka perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat biologis kepiting bakau. Hal

tersebut dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya mem-

berikan pertumbuhan yang maksimal.

Seperti organisme perairan lainnya, pertumbuhan kepiting bakau hanya

dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi setelah energi yang dikonsumsi

dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Dengan demikian,

partumbuhan kepiting akan semakin meningkat apabila energi bersihnya semakin

meningkat atau energi yang dimetabolisme tetap atau semakin menurun. Adanya

perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap besaran energi yang

dikonsumsi, dapat lebih besar atau lebih kecil daripada energi yang

1

Page 2: Kepiting Bakau

dimetabolisme, sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan atau

penurunan energi tubuh.

Metabolisme merupakan segala proses reaksi kimia yang terjadi di dalam

tubuh organisme yang meliputi anabolisme dan katabolisme. Konsumsi oksigen

merupakan salah satu parameter fisiologis yang dapat digunakan untuk menaksir

laju metabolisme secara tidak langsung, yaitu dengan mengukur oksigen yang

digunakan dalam proses oksidasi. Dalam proses ini mendapat, mengubah dan

memakai senyawa kimia dari sekitarnya untuk mempertahankan kelangsungan

hidup (Wirahadikusumah, 1985). Konsumsi oksigen pada krustase dipengaruhi

oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang

berpengaruh adalah salinitas, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, cahaya, status

makanan dan karbondioksida. Faktor internal adalah spesies, stadia, bobot,

aktivitas, jenis kelamin, reproduksi, dan molting (Kumlu et al. 2001; Verslycke

dan Janssen 2002; Villareal at al. 2003).

Salinitas merupakan masking factor bagi organisme akuatik yang dapat

memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang

berdampak terhadap organisme (Gilles dan Pequeux, 1983; Ferraris et al., 1986).

Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat

berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan

kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi

untuk metabolisme dapat diminimalisir.

Pengetahuan masyarakat tentang pengaruh salinitas terhadap proses

metabolisme kepiting bakau (Scylla sp) di perairan akuatik yang berada pada

2

Page 3: Kepiting Bakau

substrat baik keras maupun yang lunak, masih sangat terbatas yaitu berupa

petunjuk-petunjuk teknis terkait peningkatan kepiting bakau (Scylla sp) dalam

ekosistemnya, hal ini disebabkan karena masih kurangnya instansi atau lembaga

yang melakukan penelitian ini, khususnya di Kawasan Hutan Mangrove yang

terdapat di Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas guna mendapatkan gambaran

tentang laju metabolisme kepiting bakau (Scylla sp) yang ada pada berbagai

salinitas maka dilakukan penelitian dengan formulasi judul:

”Pengaruh Salinitas Terhadap Laju Metabolisme Kepiting Bakau

(Scylla sp) Di Kawasan Perairan Akuatik Hutan Mangrove Desa Moluo

Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara ”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uaraian di atas maka penulis merumuskan masalah dalam

penelitian ini yaitu: Bagaimanakah pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme

dalam konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan,

dan rutin di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan

Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu: Untuk mengetahui

pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen kepiting

bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di perairan akuatik

3

Page 4: Kepiting Bakau

kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo

Utara.

1.2 Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini dilakukan, maka dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Sebagai salah satu bahan informasi bagi usaha pengembangan kepiting

bakau terutama aspek budidayanya.

2. Dapat memberikan imformasi ilmiah bagi petani kepiting (Scylla sp) dan

instansi terkait tentang pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme dalam

konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan,

dan rutin di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan

Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

3. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah Biokimia tentang metabolisme

yaitu konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal,

makan, dan rutin.

4. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah Fiswan tentang konsumsi

oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin.

5. Sebagai sumber informasi lanjutan bagi mahasiswa Jurusan Biologi untuk

melakukan penelitian.

4

Page 5: Kepiting Bakau

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tentang Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah

pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya

mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas

(pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap

keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob.

Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yang

diantaranya terancam punah, seperti harimau sumatera (Panthera tigris

sumatranensis), bekantan (Nasalis larvatus), wilwo (Mycteria cinerea), bubut

hitam (Centropus nigrorufus), dan bangau tongtong (Leptoptilus javanicus, dan

tempat persinggahan bagi burung-burung migran.

2.1.3 Jenis-Jenis Mangrove

Banyak jenis mangrove yang sudah dikenal dunia, tercatat jumlah

mangrove yang telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54

sampai dengan 75 spesies, tentunya tergantung kepada pakar mangrove yang

mana pertanyaan kita tujukan (Tomlinson dan Field, 1986 dalam Irwanto, 2006).

Irwanto (2006), menyatakan bahwa ”Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan Indonesia disebutkan memiliki sebanyak

5

Page 6: Kepiting Bakau

tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis”. Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang

banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau

(Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia

sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis

mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang berfungsi menangkap,

menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api atau di dunia

dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses

menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi

terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak)

dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik.

Mangrove besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora spp.)

merupakan jenis kedua terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak

kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin (Irwanto, 2006).

Gambar Fauna perairan yang hidup di ekosistem mangrove (Bengen,2002)

6

Page 7: Kepiting Bakau

Menurut Zeinyta Azra Haroen dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

Hutan Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman yang terbesar di dunia.

Komunitas Mangrove membentuk pencampuran antra dua kelompok :

1. Kelompok fauna daratan /terestial (arboreal) yang umumnya menempati

bagian atas pohon mangrove.

2. Kelompok fauna perairan /akuatik terdiri atas dua tipe yaitu:

Yang hidup di kolom air terutama jenis-jenis ikan dan udang.

Yang menempati substrat baik keras ( akar dan batang pohon

mangrove ) maupun yang lunak yaitu kepiting dan kerang.

2.2 Deskripsi Tentang Kepiting

Manusia tak sadar, kepiting begitu berjasa bagi kehidupannya. Mungkin

karena penelitian mengenai kepiting masih sedikit dilakukan, informasi mengenai

keberadaannya seolah “hilang”. Di Indonesia, kepiting hanya dikenal sebagai

bahan makanan semata. Padahal apabila dicermati lebih jauh lagi, kepiting tak

hanya enak dikonsumsi. Banyak manfaat lain yang bisa diambil. Kepiting bisa

dinikmati secara visual (sebagai kepiting hias), digunakan sebagai bioindikator

logam berat dan penangkal racun.

Bahkan kepiting bisa juga dipelihara sebagai hewan peliharaan yang lucu.

Lebih jauh lagi, apabila dilihat dari sisi ekologi, jumlahnya yang dominan di

daerah mangrove mampu mengatur keseimbangan ekosistem di daerah tersebut.

2.2.1 Fungsi Ekologis

Kepiting menjaga keseimbangan ekosistem dan memainkan peranan

penting di daerah mangrove. Daun yang dimangsa kepiting dan dikeluarkan dalam

7

Page 8: Kepiting Bakau

bentuk faeces terbukti lebih cepat terurai dibandingkan dengan daun yang tidak

dimangsa. Hal ini menyebabkan proses perputaran energi berjalan cepat di

mangrove. Selain itu, keberadaan lubang-lubang kepiting, secara tidak langsung

mampu mengurangi kadar racun tanah mangrove yang terkenal anoksik. Lubang-

lubang ini membantu terjadinya proses pertukaran udara di tanah mangrove.

2.2.2 Keanekaragaman Jenis Kepiting Bakau Scylla sp.

Kepiting bakau (Scylla sp) merupakan-satu-satunya spesies dari famili

Portunidea yang memiliki assosiasi yang dekat dengan lingkungan

mangrove/hutan bakau, sehingga dikenal dengan nama kepiting bakau atau mud

crab. Telah dilakukan penelitian tentang keaneka ragaman jenis kepiting bakau

dikawasan mangrove sungai Lakatong, dengan tujuan untuk mengetahui

keanekaragaman jenis kepiting bakau dan memperoleh data deskriptor dari

populasi-populasi kepiting bakau dikawasan sungai Lakatong Kab.Takalar.

Pengambilan sampel kepiting dilakukan di tiga titik sampling sepanjang kawasan

mangrove Sungai Lakatong, dengan menggunakan alat tangkap rakkang.Titik.titik

sampling dianggap mewakili daerah ruaya kepiting bakau sehingga ukuran sampel

kepiting terwakili.

2.2.3 Komposisi Spesies Kepiting Di Hutan Mangrove

Berbagai jenis krustasea yang hidup di mangrove menggali tanah sampai

water table, permukaan air. Kepiting Thalassina sp. yang merupakan indikator

adanya tanah sulfat masam menggali lubang hampir horisontal dengan

percabangan pada sisi-sisinya, sedangkan Upogebia sp. membentuk lubang seperti

huruf “U”. Kepiting Sesarma sp. menggali lubang yang lebih sederhana dengan

8

Page 9: Kepiting Bakau

ruangan yang luas di dasarnya. Selanjutnya kepiting jenis Portunidae seperti

Scylla serrata dapat menggali lubang hingga 5 m ke luar dari sisi tebing sungai

masuk ke mangrove. Fungsi lubang bagi kepiting bervariasi, bergantung pada

spesiesnya, yaitu sebagai tempat menghindar dari predator, tempat menampung

air, sumber bahan pakan organik seperti pada Thalassina sp., sebagai rumah atau

daerah teritorial dalam berpasangan dan kawin, tempat pertahanan, dan tempat

mengerami telur atau anaknya.

Campuran dari deposit organik dengan flora, bakteria, diatom, dan

mikroorganisme lainnya yang terdapat di dasar mangrove merupakan sumber

makanan bagi berbagai jenis kepiting. Kepiting Uca sp. betina mengambil lumpur

dengan kedua kaki capitnya yang kecil sehingga lebih cepat mengambil makanan

dibandingkan dengan Uca sp. jantan yang hanya mempunyai satu kaki capit yang

kecil, sedangkan kaki capit satu lagi ukurannya besar sehingga sulit untuk

mengambil makanan.

2.3 Keterkaitan Komunitas Dalam Perlindungan Ekosistem Mangrove

  Burbridge and Maragos 1985 mengatakan bahwa ekosistem pesisir terkait

satu sama lain karena adanya aliran energi dan mineral. Meskipun hutan

mangrove ditemukan disepanjang garis pantai Queensland, penelitian-penelitian

mengenai komunitas ikan yang masuk ke habitat-habitat ini pada saat pasang

masih sedikit (Stephenson and Dredge1976 ; Morton 1990 ; Robertson and

Duke1990 dalam Halliday1996). Hal ini mengindikasikan bahwa kerugian habitat

belum diperhitungkan dalam produktivitas perikanan. Tekanan-tekanan untuk

membangun atau gangguan terhadap habitat kawasan pesisir.

9

Page 10: Kepiting Bakau

Dari tahun 1974 sampai tahun 1987, 8.4 % dari hutan mangrove dan

10.5% dari kawasan saitmarsh-claypan antara antara daerah Coolangatta dan

caloundra di bagian selatan timur Queensland telah hilang sebagai hasil dari

pembangunan pelabuhan,kanal,resor,galangan kapal dan perluasan dari bandara

Brisbane. Dokumentasi dari penggunaan habitat oleh dan kemampuan untuk

menyedia pendugaan yang akurat sebagai dampak dari pembangunan kawasan

pesisir adalah kritis jika kawasan-kawasan yang memiliki nilai perikanan yang

tinggi akan dilestarikan (Halliday 1996)

Secara ekologis ekosistem mangrove memiliki peran utama sebagai daerah

pemijahan (spawning ground),daerah asuhan (nursery ground) dan tempat

mencari makan (feeding ground). Sebagian besar jenis biota laut

(ikan ,udang ,kepiting) yang bernilai ekonomi penting. Menurut Snedaker 1978,

bahwa sekitar 80% dari jenis –jenis ikan laut daerah tropika menghabiskan masa

hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya,didaerah pesisir berhutan

mangrove. Dengan demikian, ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber

plasma nuftah dan biodiversity. Selain itu hutan mangrove juga berfungsi sebagai

pelindung daerah pesisir dari gempuran ombak (abrasi),gelombang tsunami,dan

angin taufan. Ekosistem mangrove juga berperan besar dalam pemeliharaan

kualitas perairan pesisir melalui :

Penjebakan sedimen yang terdapat di kolom air.

Pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang (steady-state

equilibrium). Ruslan 1986 menyimpulkan dari hasil penelitian yang

dilakukan di pantai timur Daerah Istimewa Aceh bahwa lebar jalur hijau

10

Page 11: Kepiting Bakau

mempunyai hubungan yang nyata (sinifikan) dengan produksi udang dari

tambak tradisional dan populasi udang dari hasil tangkapan nelayan

disekitarnya.

Perubahan pemanfaatan lahan pesisir yang merusak hutan mangrove

misalnya untuk tambak dapat mengakibatkan hilangnya komponen ssumberdaya

hayati lain yang terkandung didalamnya dan sumberdaya perikanan di wilayah

perairan sekitarnya. Komponen sumberdaya tersebut memiliki nilai ekonomi,

sehingga perubahan hutan mangrove menjadi tambak mengakibatkan hilang nilai

ekonomi dan komponen hayati yang terkandung di dalamnya dan nilai ekonomi

sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya.

Adanya hubungan antara hutan, mangrove dengan seluruh produktivitas

ekosistem berarti argumen ekonomi yang kuat dapat dibuat untuk larangan

penebangan habis hutan mangrove. Beberapa pembatasan tebang habis hutan

mangrove akan optimal secara ekonomi bila terjadi hubungan ekologis yang kuat.

2.4 Ketergantungan Sumberdaya Pesisir Terhadap Mangrove

  Banyak penelitian menunjukkan bahwa mangrove memainkan peran yang

penting bagi beberapa spesies ikan yang ada ,di pesisir. Kasus terbanyak adalah

udang, dimana udang dewasa yang berada di laut dan larva menuju ke pesisir

dengan aktif berenang dan secara pasif dibawa oleh arus pasang surut. Sebagai

fungsi tempat pembesaran, ekosistem mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor:

tingkat tropik sumberdaya, kekeruhan air,dan keanekaragaman yang terstruktur.

Pertama konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi pada

ekosistem estuary termasuk mangrove disebabkan karena adanya aliran air

11

Page 12: Kepiting Bakau

tawar,sebagai penjebak zat hara,pencampuran air yang disebabkan oleh

adanya pasang surut dan terjadinya modulasi lingkungan (Knox 1986)

Semua faktor diatas menghasilkan produktivitas yang tinggi di ekosistem

ini. Dan hal ini merupakan dasar dari jaring makanan pada ekosistem

mangrove dimana jenis-jenis larva udang,plankton dan juvenil ikan

tersedia melimpah dan beraneka ragam.

Kedua,kekeruhan yang terjadi di suatu perairan dapat mengakibatkan

menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di

wilayah tersebut dan memperluas daerah pembesaran ikan,dan akhirnya

dapat meningkatkan tingkat hidup dari ikan-ikan muda yang banyak

terdapat pada ekosistem tersebut.

Ketiga, struktur keanekaragaman dan tersedianya habitat yang sesuai

dengan ekosistem mangrove dalam penyediaan ruang yang lebih luas dan

adanya niche yang bertingkat merupakan hal yang penting dan

mengakibatkan banyaknya ikan-ikan muda yang tersedia di ekosistem ini

Penelitian di teluk Mexico menunjukkan bahwa sumberdaya ikan sangat

tergantung pada ekosistem mangrove. Hubungan keterkaitan antara ekosistem

mangrove dan lingkungannya dengan perikanan komersil juga diteliti di Australia

oleh Blaber pada tahun 1997 juga menyimpulkan hal yang sama yakni banyak

spesies adalah oportunis dan tidak bergantung pada estuary. Meskipun kondisi

lingkungan mangrove sangat disukai untuk ikan-ikan yang dipanen sekitar

pantai,ketergantungan ekologi dari ikan-ikan pesisir terhadap mangrove masih

sedikit yang dikuantifikasikan.

12

Page 13: Kepiting Bakau

Dari semua hal tersebut hutan mangrove di Indonesia termasuk jenis yang

terbaik di dunia .Oleh karena itu banyak permintaan terhadap hutan mangrove

semakin meningkat, tidak saja dari segi produk, tetapi juga lahan yang sendiri.

Permintaan terhadap lahan hutan mangrove lebih berpotensi merusak karena pada

akhirnya akan merusak lingkungan pada lokasi tersebut dan berdampak luas pada

lingkungan sekitarnya. Melihat gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai

kepentingan tersebut maka diperlukan konsiderasi komunitas dalam perlindungan

dan pengelolaan serta rehabilitasi ekosistem mangrove secara optimal dan

berkelanjutan.

Untuk dapat melakukan pengelolaan secara lestari diperlukan pengetahuan

tentang nilai strategis karena keberadaan hutan mangrove bagi masyarakat

sekitarnya dan pengambilan kebijakan terkait. Konservasi ekosistem dan

sumberdaya di dalamnya dapat dicapai dengan mencegah terjadinya perubahan-

perubahan yang nyata ,seperti sirkulasi air,salinitas,kimia dari substrat hidupnya

penting untuk di perhatikan bahwa banyak hal yang dapat mengubah faktor

tersebut,berasal dari dua ekosistem mangrove. Karenanya, konservasi dan

pemanfaatan mangrove bergantung sepenuhnya pada perencanaan yang

terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Maka

pengembangan dan perlindungan serta kegiatan insidental yang mempengaruhi

ekosistem mangrove seharusnya, mencerminkan perencanaan dan pengelolaan

yang baik.

Hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Hal ini

dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial di Indonesia seperti di

13

Page 14: Kepiting Bakau

perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai

Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya semuanya masih berbatasan dengan hutan

mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan. Besarnya peranan hutan

mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyak

jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di sekitar pohon

mangrove.

Para ilmuan sebelumnya telah mengemukakan bahwa potensi perikanan di

wilayah hutan mangrove sangat meningkat, hal ini disebabkan adanya hubungan

yang terjadi secara kuantitatif antara mangrove dengan sumber daya perikanan

secara umum. Sebagaimana yang di utarakan oleh Zeinyta Azra Haroen dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa hutan mangrove di Indonesia memilliki

keanekaragaman yang terbesar di dunia. Komunitas mangrove membentuk

pencampuran antra dua kelompok fauna yaitu: Kelompok fauna daratan /terestial

(arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove. Dan

kelompok fauna perairan /akuatik yang terdiri atas dua tipe yaitu: yang hidup di

kolom air terutama jenis-jenis ikan dan udang dan yang menempati substrat baik

keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun yang lunak seperti kepiting.

Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang

merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan

mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh

mikroorganisme diuraikan menjadi partikel partikel detritus. Detritus kemudian

menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus, seperti cacing, mysidceae

(udang-udang kecil/rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi

14

Page 15: Kepiting Bakau

makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan-

hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar dan begitu

seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan

lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia (Sugiarto dan Willy 1995 dalam

Suhaeb, 1999).

15

Page 16: Kepiting Bakau

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Pengambilan Sampel Dan Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel untuk penelitian ini direncanakan di kawasan hutan

bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Lokasi

pengambilan sampel terdiri atas 2 stasiun pengamatan. Adapun penelitiannya akan

dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Jurusan Pendidikan Biologi F. MIPA

Universitas Negeri Gorontalo.

3.1.2 Waktu Pengambilan Sampel Dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilaksanakan selama 3 hari pada

Minggu pertama di Bulan Mei 2009. Dan untuk waktu penelitiannya akan

dilaksanakan selama 1 Minggu yaitu pada Minggu kedua di Bulan Mei 2009.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan kepiting

bakau (Scylla sp) pada perairan/akuatik yang hidup pada substrat baik keras

maupun yang lunak yang terdapat di kawasan hutan bakau Desa Moluo

Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

16

Page 17: Kepiting Bakau

3.3 Metode Pengambilan Sampel dan Metode Penelitian

3.3.1 Metode Pengambilan Sampel

Jenis pengambilan sampel untuk penelitian ini adalah natural ekperiment

(eksperimen alami) dengan menggunakan metode Line Transek dengan

pendekatan deskriptif. Karena wilayah penelitian (Kawasan hutan bakau yang

terdapat di Desa Muolo Kecamatan Kwandang) ini memiliki luas 200 Ha, maka

untuk pengambilan sampel dibuat 2 stasiun pengamatan dengan masing-masing

stasiun terdiri dari 2 transek dan masing-masing transek terdiri atas 3 plot

pengamatan. Line transect tersebut dibuat tegak lurus memotong garis pantai

sedangkan panjang garis/line transek 100 m yang terbagi dalam 3 plot/kuadrant

dengan ukuran plot masing-masing 10 x 10 meter.

3.3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing mempunyai 3 ulangan. Dengan

demikian pada penelitian ini terdapat 12 unit percobaan. Analisis Data Metoda

statistik Analisis Ragam (ANOVA) Satu arah dengan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) akan digunakan untuk menganalisis masing-masing perlakuan (Sokal &

Rohlf 1981; Fowler & Cohen 1990). Analisis data akan dilakukan dengan

menggunakan program komputer Minitab ®.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam.

Selanjutnya untuk Uji Tukey digunakan untuk membandingkan perbedaan antara

perlakuan (Steel dan Torrie, 1993). Sebagai alat bantu untuk melaksanakan uji

statistik tersebut digunakan paket program SPSS versi 13.0.

17

Page 18: Kepiting Bakau

3.4 Alat Dan Bahan

3.4.1 Alat Dan Bahan Pengambilan Sampel Penelitian

Dalam pengambilan sampel penelitian ini alat dan bahan yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1. Role Meter, untuk membuat plot (kuadrant)

2. Salino meter, untuk mengukur salinitas/kadar garam air laut.

3. GPS (Global Position System), untuk menetukan titik koordinat wilayah

pengambilan sampel di peta.

4. Sling Psikometer, untuk menentukan kelembaban udara dari wilayah sampel

5. Soil tester, untuk menetukan pH tanah dari wilayah pengambilan sampel

6. Lux Meter, untuk menetukan intensitas cahaya dari wilayah sampel

7. Kunci Determinasi/identifikasi untuk jenis kepiting bakau (Scylla sp)

8. Kamera alat untuk dokumentasi.

9. Peta Wilayah, untuk mengetahui wilayah tempat pengambilan sampel.

10. Alat pengukur tekstur tanah yang digunakan untuk analisis sifat tekstur

tanah.

3.4.2 Alat Dan Bahan Dalam Penelitian

Dalam penelitian ini alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Wadah berupa stoples plastik bervolume 16 L yang dirancang dengan

sistem sirkulasi,

2. Dissolve Oxygen Meter (DO-Meter), alat ukur laju konsumsi oksigen

kepiting,

18

Page 19: Kepiting Bakau

3. Spektrofotometer, untuk mengukur besar kandungan amoniak (nitrit),

4. Magnetic Stirrer, alat pengaduk,

5. Termostat alat pengukur suhu,

6. Hewan uji adalah kepiting bakau (S serrata) berukuran bobot 20, 40, 60,

dan 80 gram,

7. Air laut bersalinitas 35 ppt,

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Prosedur Kerja Pengambilan Sampel Penelitian

Sebelum melaksanakan prosedur penelitian di Laboratorium, terlebih

dahulu melaksanakan prosedur kerja dalam pengambilan sampel penelitian,

adapun prosedur kerja yang akan dilaksanakan pada pengambilan sampel

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan Observasi:

2. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keandaan

atau kondisi kepiting bakau (Scylla sp) di kawasan hutan bakau di Daerah

Muolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

3. Melakukan tahap pengambilan sampel penelitian:

Adapun tahap-tahap pengambilan sampel penelitian yang akan dilakukan

antara lain sebagai berikut:

a. Menentukan titik masing-masing wilayah yang menjadi wilayah

sampel penelitian dan menentukan titik koordinatnya pada peta dengan

menggunakan GPS (Global Position System).

19

Page 20: Kepiting Bakau

b. Membuat jalur transek sepanjang 100 m dengan menggunakan role

meter dengan ukuran masing-maisng Plot/kuadrant 10 x 10 meter, 5 x

5 meter dan 1 x 1 meter.

c. Mengambil data jenis kepiting bakau (Scylla sp) pada masing-masing

zonasi hutan mangrove.

d. Menentukan jenis-jenis kepiting bakau (Scylla sp) dengan

menggunakan kunci determinasi/kunci identifikasi.

e. Mengukur kelembaban udara dari wilayah sampel yang menjadi lokasi

penelitian dengan menggunakan slingk Meter.

f. Mengukur intensitas cahaya dari dari wilayah sampel yang menjadi

lokasi penelitian dengan menggunakan lux Meter.

g. Mengukur pH tanah dari wilayah sampel yang menjadi lokasi

penelitian dengan menggunakan Soil Tester.

h. Mengukur salinitas air pada setiap zonasi hutan mangrove dengan

menggunakan salino meter.

Sampling Desain

Gambar Garis Transek

Arah Transek

Gambar Ukuran Plot

20

Page 21: Kepiting Bakau

10 m

5 m 10 m

1 m

1 m 5 m

3.5.2 Prosedur Kerja Penelitian Di Laboratorium

Penelitian ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing mempunyai 3 ulangan. Dengan

demikian pada penelitian ini terdapat 12 unit percobaan.

Penelitian ini menggunakan wadah berupa stoples plastik bervolume 16 L

yang dirancang dengan sistem sirkulasi. Wadah tersebut dilengkapi dengan alat

pengatur suhu (termostat). Sebagai hewan uji adalah kepiting bakau (S. serrata)

berukuran bobot 20, 40, 60, dan 80 gram. Kepiting ditebar dengan kepadatan 1

ekor per wadah pada setiap perlakuan berdasarkan bobot tubuh kepiting. Sumber

air yang digunakan terdiri atas air laut bersalinitas 35 ppt, yang diperoleh di

pesisir pantai kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang

Kabupaten Gorontalo Utara. Untuk mendapatkan media perlakuan sesuai dengan

salinitas yang diinginkan maka dilakukan teknik pengenceran dengan air tawar.

Sebagai perlakuan adalah perbedaan salinitas media yaitu : (A) 5; (B) 15;

(C) 25 dan (D) 35 ppt. Peubah yang diukur adalah konsumsi oksigen pada kondisi

basal, kenyang, dan rutin, Konsumsi oksigen pada kondisi basal ditentukan

melalui pengukuran tingkat konsumsi oksigen setelah kepiting uji terlebih dahulu

dipuasakan selama 48 jam. Untuk kondisi kenyang, pengukuran konsumsi oksigen

21

Page 22: Kepiting Bakau

dilakukan pada saat sesudah kepiting makan kenyang (feeding maximun) dan

dipantau selama 24 jam, sedangkan untuk aktivitas rutin diukur dalam keadaan

kepiting tetap diberi pakan dan melakukan aktivitas hariannya. Pakan yang

diberikan adalah ikan rucah sebanyak 5% dari bobot tubuh. Frekuensi pemberian

dilakuan dua kali sehari.

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa parameter

fisika kimia air media penelitian meliputi: suhu, pH, amoniak, dan nitrit.

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer, pH dengan pH

meter dan amoniak dengan menggunakan spektrofotometer.

Pengukuran Konsumsi Oksigen

Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan dengan cara mengukur oksigen

terlarut di dalam air wadah percobaan sesudah hewan uji dimasukkan. Pengukuran

tersebut menggunakan "Dissolve Oxygen Meter" (DO-Meter). Sebelum

pengukuran, hewan uji akan ditempatkan di dalam wadah percobaan yang

beraerasi dan dilengkapi dengan pengaduk (Magnetic Stirrer) dengan perlakuan

yang berbeda-beda untuk setiap wadah selama waktu yang telah ditentukan

sebagai periode aklimatisasi pengukuran. Setelah periode tersebut, kemudian

oksigen terlarut di dalam wadah diukur dan hasilnya dicatat sebagai data oksigen

terlarut awal (C aw ). Selanjutnya, wadah ditutup rapat dengan menggunakan

penjepit (dimungkinkan tidak ada udara yang keluar masuk di dalam wadah

selama percobaan). Dalam keadaan ini hewan uji dibiarkan (tanpa gangguan)

selama waktu yang ditetapkan untuk setiap perlakuan. Pada akhir waktu yang

22

Page 23: Kepiting Bakau

telah ditetapkan, oksigen terlarut diukur kembali dan hasilnya dicatat sebagai data

oksigen terlarut akhir (C ak ).

3.2 Prosedur Analisis Data

Paramater laju metabolisme konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan laju konsumsi oksigen (R)

yang diperoleh dari data pengukuran oksigen terlarut (awal dan akhir). Laju

Konsumsi oksigen (R) tersebut dihitung dengan menggunakan rumus yang

dikemukakan oleh Johnson (1973), sebagai berikut:

R = [ (C aw – C ak ) . V. 700] . [ t . w ] -1, dimana:

R adalah laju konsumsi oksigen (L. h -1 . g -1 berat bersih), C aw adalah nilai konsentrasi oksigen terlarut awal (ppm),C ak adalah nilai konsentrasi oksigen terlarut akhir (ppm), 700 adalah faktor konversi (untuk oksigen, 1 ppm = 700 L/L),V adalah volume air dalam wadah (liter), T adalah waktu (jam), dan w adalah berat bersih.

Analisis Data Metoda statistik Analisis Ragam (ANOVA) Satu arah

dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) akan digunakan untuk menganalisis

masing-masing perlakuan (Sokal & Rohlf 1981; Fowler & Cohen 1990). Analisis

data akan dilakukan dengan menggunakan program komputer Minitab ®.

Hipotesis sederhana yang dikemukakan pada percobaan ini adalah Ho

Perlakuan tidak memberi pengaruh nyata pada konsumsi oksigen; H1 : Perlakuan

memberi pengaruh nyata pada konsumsi oksigen. Jika hasil analisis menunjukkan

adanya pengaruh perlakuan yang berbeda secara nyata atau sangat nyata maka

23

Page 24: Kepiting Bakau

akan dilanjutkan dengan Uji-Tukey menurut petunjuk Fowler & Cohen (1991)

untuk menentukan perlakuan mana yang berbeda nyata dengan control.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001. Hutan Mangrove. http://www.lablink.or.id/Eko/Wetland/lhbs- mangrove.htm (6 Februari 2008)

Basyuni, Mohamad. 2002. Panduan Restorasi Hutan Mangrove Yang Rusak (Degrated). http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=24 (6 Februari 2008)

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Dahuri, Rohmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. 155 hal.

24

Page 25: Kepiting Bakau

Hardjosuwarno, S. 1994. Metode Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. www.irwantoshut.com (6 Februari 2008).

Nyabakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.

Rochana, Erna. 2006. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. www.irwantoshut.com. (20 Februari 2008).

Clark,R.J.1996. Coastal Zona Management Hand Book.CRC.Lewis Publishers. Boca Rato.Florida,USA.

D.G.Bengen.2001.Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan,IPB.Bogor.

D.G.Bengen. 2001.Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.Pusat Kajian Sumberdaya dan Laut,IPB.Bogor.

Dahuri R, J.Rais, S.P.Ginting dan M.J.Sitepu.1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.Prodya Paramita.Jakarta.

Dixon,J.A.1989.Valuation of Mangrove Trop. Coast .Area Mgt.

Fakhrudin,Ahmad.1996 .Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kab.Subang.

Hamilton,Snedaker.1984.Hand Book For Mangrove Area Management. IUCN and UNESCO.

Nontji,A.1987.Laut Nusantara.Penerbit Djambatan.Jakarta.

Nybakken,J.W.1992.Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis.Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama.

Naamin, N and A.Hardja Mulia.1990.Potensi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Indonesia,Praseding Puslitbangka.Jakarta.

Odum,W.E.1982.The Ekologi of The Mangrove of South Florida a Community Profile.Washington D.C.

Soemordihardjo,S.& I.Soerianegara.1989.The Status of Mangrove Forest in Indonesia.In Soerianegara,I.,D.M.Sitompul ,&U.Rosalina

25

Page 26: Kepiting Bakau

(Eds).Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic Consideration Biotrop Special Publication.

Knox.G.A.1986.Estuarine Ecosystems: A System Approach.CRC Press.INC.Boca Raton.Florida.

http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_bakau#Perkembangbiakan

http://tumoutou.net/702_04212/zeinyta_a_h.htm

26