Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
-
Upload
rian-doyenk -
Category
Documents
-
view
350 -
download
29
Transcript of Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
1/112
ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK
DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.)
DI PERAIRAN INDONESIA
PUPUT FITRI RACHMAWATI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
2/112
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla
spp.) di Perairan Indonesia
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009
Puput Fitri Rachmawati
C24053089
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
3/112
RINGKASAN
Puput Fitri Rachmawati. C24053089. Analisa Variasi Karakter Morfometrik
dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia. Dibawah
bimbingan Yusli Wardiatno dan M. Mukhlis Kamal.
Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi
hewan Asia dan Australasia yang ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang
bernama garis Wallace. Garis Wallace ditarik melalui kepulauan Melayu (di antara
Kalimantan dan Sulawesi) serta di antara Bali dan Lombok. Keanekaragaman jenis
hewan di bagian barat dari garis Wallace berhubungan dengan spesies Asia
sedangkan di bagian timur berhubungan dengan spesies Australia. Oleh karena itu
terdapat perbedaan karakteristik jenis hewan yang berada di wilayah barat dan timur
Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut lebih terfokus pada fauna terestrial
sedangkan perbedaan karakteristik pada fauna air belum banyak diketahui, salah
satunya adalah kepiting bakau.Kepiting bakau (Scyllaspp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan
hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia.
Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan
variasi biofisik yang besar. Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut
beradaptasi dengan cara memiliki toleransi yang luas terhadap variasi biofisik
terutama suhu dan salinitas.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan karakteristik
morfometrik dan meristik kepiting bakau (Scylla spp.) yang ada di perairan
Indonesia berdasarkan perbedaan lokasi penelitian. Hasil penelitian diharapkan
dapat memberikan informasi dasar mengenai jenis dan penyebaran kepiting bakau di
perairan Indonesia, informasi mengenai variasi karakter morfometrik dan meristik
berdasarkan spesies kepiting bakau, serta sebagai bahan acuan dalam pengelolaankepiting bakau di perairan Indonesia.
Penelitian dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008
hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan hasil tangkapan
nelayan di 14 lokasi pengambilan sampel, mencakup Pidie (Nangroe Aceh
Darussalam), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Bintan (Kep. Riau), Cilamaya
(Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Mataram (Nusa
Tenggara Barat), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros dan Teluk Bone
(Sulawesi), Jayapura dan Teluk Bintuni (Irian Jaya).
Data yang diukur ialah data karakter morfometrik dan meristik kepiting bakau,
yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), tinggi tubuh (T), panjang duri
orbital pada frontal margin(P.orb), panjang chelipedsebelah kiri dan kanan (PCL
dan PCR), panjangprofundussebelah kiri dan kanan (PPL dan PPR), tinggi chelipedsebelah kiri dan kanan (TCL dan TCR), berat tubuh (B), jumlah duri frontal margin
(SO), serta jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR).
Pengukuran karakter morfometrik dan meristik dilakukan secara in situdan di
laboratorium yang bertempat di Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I),
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data meliputi distribusi frekuensi
panjang dan lebar karapas, hubungan lebar karapas-berat, analisis komponen utama
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
4/112
(principal component analysis), dan analisis biplot. Analisis data dibantu dengan
menggunakan software SPSS 15.0 for Windows Evaluation, MINITAB 14.0 dan
SAS 9.1.
Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor,
keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan.
Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan selama penelitian ialah Scyllaserrata,yaitu 36,64% dari jumlah total sampel, sedangkan persentase spesies yang
paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari
jumlah total sampel. Selanjutnya, persentase sampel Scylla oceanicayang diperoleh
selama penelitian adalah 35,04% dari jumlah total sampel.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh identifikasi karakter morfologis untuk
membedakan ketiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica,
dan Scylla oceanicaberdasarkan warna karapas, bentuk alur H, bentuk durifrontal
margin, duri pada cheliped carpus (inner carpal), serta corak pada pleopod masing-
masing spesies. Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar kepiting bakau di
seluruh lokasi penelitian lebih banyak dipengaruhi oleh pola pertumbuhan isometrik
sedangkan sebagian kecilnya dipengaruhi oleh pola pertumbuhan allometrik negatif.
Kemudian masing-masing spesies kepiting bakau memiliki puncak pemijahan danrekruitmen yang berbeda-beda berdasarkan distribusi frekuensi panjang dan lebar
karapas, tetapi seluruhnya berlangsung sepanjang tahun.
Berdasarkan analisis komponen utama, diketahui bahwa masing-masing
spesies (Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica) memiliki
perbedaan karakter morfometrik dan meristik di setiap lokasi penelitian. Hal ini
dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi
penelitian. Karakter morfometrik dan meristik pada ketiga spesies saling berkorelasi
positif dan memiliki nilai keragaman yang bervariasi. Setiap spesies kepiting bakau
memiliki ukuran yang bervariasi.
Kesimpulan yang diperoleh ialah terdapat perbedaan karakter morfometrik dan
meristik ketiga spesies kepiting bakau di setiap lokasi penelitian. Hal ini
dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi
penelitian berdasarkan analisis komponen utama. Selain itu, ketiga spesies tersebut
menyebar luas di perairan Indonesia, meliputi perairan di Pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dan penyebaran tersebut tidak dipengaruhi oleh
adanya garis Wallace.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
5/112
ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK
DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.)
DI PERAIRAN INDONESIA
PUPUT FITRI RACHMAWATI
C24053089
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
6/112
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul Skripsi : Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik
Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia
Nama : Puput Fitri Rachmawati
N I M : C24053089
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc
NIP. 19660728 199103 1 002 NIP. 19680914 199402 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Ujian: 15 September 2009
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
7/112
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau di
Perairan Indonesia. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian pada bulan
Juni 2008 hingga Mei 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam skripsi ini dikarenakan
keterbatasan pengetahuan penulis. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, September 2009
Penulis
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
8/112
viii
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc. selaku pembimbing I atas kesabaran,
bimbingan, masukan, dan wawasan yang berarti bagi penulis, serta atas izin
beliau, penulis dapat bergabung dengan proyek penelitian ini.
2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc. selaku pembimbing II sekaligus pembimbing
akademik atas kesabaran, masukan, arahan, dan wawasan kepada penulis
hingga penulisan skripsi ini selesai, serta atas izin beliau, penulis dapat
bergabung dengan proyek penelitian ini.
3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M. Sc. selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir.
Yunizar Ernawati, M.S. selaku dosen penguji Departemen yang telah
memberikan saran dan masukan yang sangat berarti bagi penulis.
4. Ayah dan Ibu tercinta, Bapak Suwandi Sardiyanto dan Ibu Wasiah, atas semua
doa, dukungan, dan kasih sayang yang tidak pernah terputus kepada penulis,
serta adik-adikku, Diwa dan Helmi atas keceriaan, dukungan, dan kasih sayang.
6. Bapak Ruslan selaku staf Laboratorium Bio Makro I (BIMA I), Supriyadi, S.
Pi., serta staf Tata Usaha MSP yang telah banyak membantu penulis selama
penelitian.
7. Naila Faiqotul Muna, teman seperjuanganku selama penelitian yang telah
banyak membantu. Teman-teman MSP 41, MSP 43, dan MSP 42 (Pungky,
Endah, Ebith, Avie, Silfi, Lenggo, Erys, Eka, Guse, Awan, Moro, Didi, Mecin,
Puni, Shiro, Pipit, Irma, Lenny, Wati, Trio Kutai, dan semua yang tidak bisa
disebutkan satu persatu) atas bantuan dan kebersamaan yang tak terlupakan.
8. Keluarga besar Darmaga Regency B19 & B24 (Ka Hage, Ayu, Laras, Eno,
Zeni, Tyas) atas keceriaan dan canda tawa, serta Reri, Icha, dan Ayu yang telah
banyak memberikan semangat dan nasehat selama penulisan skripsi ini.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
9/112
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karawang, pada tanggal 12 Mei 1987 dari
pasangan Bapak Suwandi Sardiyanto dan Ibu Wasiah. Penulismerupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal
ditempuh di SDN Adiarsa 3 Karawang (1999), SLTPN 2
Karawang (2002) dan SMAN 1 Karawang (2005).
Pada tahun 2005, Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI dan diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten luar
biasa mata kuliah Avertebrata Air (2007/2008 dan 2008/2009), Biologi Perikanan
(2007/2008 dan 2008/2009), dan Sumberdaya Perikanan (2008/2009). Selain itu,
penulis juga aktif di berbagai organisasi, diantaranya sebagai Sekretaris II
(2007/2008) dan Sekretaris I (2008/2009) Himpunan Mahasiswa Manajemen
Sumberdaya Perairan (HIMASPER), serta anggota Organisasi Mahasiswa Daerah
Karawang (PANATAYUDA) pada tahun 2006-2007. Penulis pernah mengikuti
Program Kreativitas Mahasiswa di bidang Penelitian dan berhasil didanai DIKTI
pada tahun 2006 yang berjudul Penggunaan lendir ikan lele (Clariasbatrachus)
sebagai obat alternatif Hipertensi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi
yang berjudul Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Mersitik Kepiting
Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
10/112
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xv
1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 2
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4
2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla ....................................................... 42.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau ......................... 4
2.1.2. Morfologi kepiting bakau ................................................... 6
2.1.3. Distribusi dan habitat kepiting bakau ................................. 10
2.1.4. Daur hidup kepiting bakau ................... .............................. 13
2.1.5. Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap
kepiting bakau .................................................................... 14
2.2. Hutan Mangrove ........................................................................... 15
2.2.1. Pengertian hutan mangrove ............................. ................... 15
2.2.2. Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove ............... 16
2.2.3. Sebaran hutan mangrove di Indonesia ................................ 18
2.2.4. Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem
mangrove ........................................................................... 212.3. Garis Wallace ............................................................................... 21
2.4. Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan
Kekerabatan ................................................................................. 22
3. METODOLOGI ................................................................................. 24
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 24
3.2. Metode Kerja ................................................................................ 24
3.3. Identifikasi Morfologi Kepiting Bakau ........... ........... ................... 29
3.4. Analisis Data ................................................................................ 30
3.4.1. Distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas .................. 30
3.4.2. Hubungan lebar karapas-berat ........................................... 30
3.4.3. Analisis komponen utama (principal component analysis) . 313.4.4. Analisis biplot.................................................................... 32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 33
4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian .................. 33
4.2. Distribusi Frekuensi Panjang Karapas Setiap Spesies Kepiting
Bakau ........................................................................................... 35
4.3. Identifikasi Karakter Morfologi Sederhana ................................... 41
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
11/112
xi
4.3.1. Scylla serrata ...................................................................... 43
4.3.2. Scylla tranquebarica ........................................................... 44
4.3.3. Scylla oceanica ................................................................... 46
4.4. Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau ............................................... 47
4.5. Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hubungan Kekerabatan
Genus Scylla ................................................................................. 524.5.1. Scylla serrata ...................................................................... 52
4.5.2. Scylla tranquebarica ........................................................... 56
4.5.3. Scylla oceanica ................................................................... 58
4.6. Analisis Biplot Karakter Meristik dan Morfometrik Kepiting
Bakau ........................................................................................... 61
4.7. Pengelolaan Kepiting Bakau .......................................................... 64
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 66
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 66
5.2. Saran ............................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 67
LAMPIRAN ............................................................................................. 70
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
12/112
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Estampador ..... 10
2. Daerah penyebaran spesies Scylladi dunia............................................. 11
3. Luas hutan mangrove di Indonesia ......................................................... 19
4. Karakter morfometrik kepiting bakau yang diukur ................................. 26
5. Karakter meristik yang kepiting bakau diukur ........................................ 26
6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian .................. 34
7. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla serrata ...................... 48
8. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla tranquebarica ........... 49
9. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla oceanica ................... 51
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
13/112
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) sertacheliped carpus pada ketiga spesies Scylla (jantan) (Fushimi &
Watanabe 2001) .................................................................................. 5
2. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998) ................... 8
3. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998) .................. 9
4. Daerah penyebaran kepiting bakau menurut Keenan (FAO 1998)........ 12
5. Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp.) (Smith et al.2004 in
Butar-Butar 2006) ............................................................................... 14
6. Peta penyebaran mangrove di Indonesia (warna hijau kehitaman)
(Reef at risk 1999 in Fisheries Businnes Center 2009) ........................ 20
7. Garis Wallace (Southchinasea 2009) ................................................... 22
8. Lokasi pengambilan sampel kepiting bakau di Perairan Indonesia
(peta dimodifikasi dari www.hino.co.id/peta-indonesia-simplfy.gif).... 25
9. Karakter morfometrik dan meristik tampak dorsal .............................. 27
10. Karakter morfometrik pada chela ........................................................ 27
11. Abdomen kepiting jantan (kiri) dan abdomen kepiting betina (kanan) 27
12. Identifikasi kepiting bakau menurut Estampador (dimodifikasi)
(FAO 1998)......................................................................................... 30
13. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla serrataberdasarkan
lokasi pengambilan sampel.................................................................. 36
14. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla tranquebaricaberdasarkan
lokasi pengambilan sampel.................................................................. 36
15. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla oceanicaberdasarkan
lokasi pengambilan sampel.................................................................. 37
16. Scyllaserrata (jantan) ......................................................................... 44
17. Scyllatranquebarica (jantan) .............................................................. 45
18. Scyllaoceanica (jantan) ...................................................................... 4619. Grafik sebaran nilai b Scyllaserrata.................................................... 49
20. Grafik sebaran nilai b Scylla tranquebarica ......................................... 50
21. Grafik sebaran nilai b Scylla oceanica ................................................. 51
22. Grafik score plot Scylla serrata ........................................................... 54
23. Peta distribusi Scylla serrata di dunia.................................................. 55
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
14/112
xiv
24. Grafik score plot Scylla tranquebarica ................................................ 57
25. Peta distribusi Scylla tranquebarica di dunia....................................... 58
26. Grafik score plot Scylla oceanica ....................................................... 59
27. Peta distribusi Scylla oceanica di dunia............................................... 60
28. Grafik biplot Scylla serrata ................................................................. 61
29. Grafik biplot Scylla tranquebarica ...................................................... 62
30. Grafik biplot Scylla oceanica .............................................................. 63
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
15/112
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Contoh sampel kepiting bakau yang telah dinomori.............................. 71
2. Alat yang digunakan selama penelitian................................................. 71
3. Proses pengukuran kepiting bakau saat di lapangan............. ................. 72
4. Data sheet parameter karakter morfometrik dan meristik kepiting
bakau .......... ......................................................................................... 73
5. Data mentah karakter morfometrik dan meristik selama penelitian ....... 94
6. Distribusi frekuensi panjang karapas tiap spesies kepiting bakau.......... 96
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
16/112
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang beriklim tropik. Iklim tropik
tersebut menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang
tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh
letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor variasi
iklim musiman, arus atau massa air laut yang dipengaruhi oleh massa air dari dua
samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya,
salah satunya adalah ekosistem mangrove (Dahuri 2003). Selain itu, Indonesia
memiliki sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan
Australasia yang ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang bernama garis
Wallace. Garis Wallace ditarik melalui kepulauan Melayu (di antara Kalimantan
dan Sulawesi) serta di antara Bali dan Lombok. Keanekaragaman jenis hewan di
bagian barat dari garis Wallace berhubungan dengan spesies Asia sedangkan di
bagian timur berhubungan dengan spesies Australia (Wikipedia 2008). Oleh karena
itu terdapat perbedaan karakteristik jenis hewan yang berada di wilayah barat dan
timur Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut lebih terfokus pada fauna terestrial
sedangkan perbedaan karakteristik pada fauna air belum banyak diketahui, termasuk
kepiting bakau.
Kepiting bakau (Scyllaspp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan
hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia.
Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan
variasi biofisik yang besar. Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut
beradaptasi dengan cara memiliki toleransi yang luas terhadap faktor abiotik
terutama suhu dan salinitas.
Kepiting bakau merupakan hewan pemakan segala dan pemakan bangkai
(omnivorous-scavenger), sehingga merupakan salah satu komoditas sumberdaya
perikanan yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia karena
pembudidayaannya tidak sulit. Selain itu, Indonesia memiliki sekitar 3,5 juta Ha
hutan mangrove (pada tahun 1996) yang merupakan habitat dari kepiting bakau
(Dahuri 2003). Kepiting bakau biasanya ditangkap dengan menggunakan perangkap
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
17/112
2
bambu (wadong) dan jaring angkat (lift netatau disebut juga pintur) (Sulistiono et
al. 1994). Kepiting bakau tidak hanya diminati oleh konsumen dalam negeri tetapi
juga diminati konsumen luar negeri. Menurut Kasry (1996) kepiting bakau banyak
dikonsumsi masyarakat terutama kepiting yang sedang bertelur karena rasa
dagingnya yang enak. Kepiting bakau juga mengandung protein yang sangat tinggi
dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi (Kordi 1997).
Studi mengenai kepiting bakau hingga saat ini sudah meliputi aspek
reproduksi, makanan dan kebiasaan makan, serta aspek lainnya yang berkaitan
dengan hutan mangrove yang merupakan habitat kepiting bakau. Penelitian
mengenai sumberdaya hayati kepiting bakau masih minim, terutama studi mengenai
aspek morfometrik-meristik kepiting bakau sebagai dasar identifikasi spesies.
Penelitian yang telah dilakukan baik di Indonesia maupun luar negeri, diantaranyaadalah bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.) di ekosistem mangrove Kabupaten
Subang, Jawa Barat (Siahainenia 2008); kualitas habitat kepiting bakau Scylla
serrata, S. oceanica, S. tranquebaricadi hutan mangrove RPH Cibuaya, Karawang
(Sirait 1997); permasalahan identifikasi spesies kepiting bakau genus Scylla
(Brachyura: Portunidae) (Fushimi & Watanabe 2001); pengelolaan dan ekologi
kepiting bakau Scylla spp. (Le Vay 2001); penangkapan kepiting bakau berbasis
akuakultur (Shelley 2008); dan analisa multifaktor kepiting bakau Scylla serrata
(Brachyura: Portunidae) yang berasal dari empat lokasi di Asia Tenggara (Overton
et al. 1997).
Minimnya informasi mengenai sumberdaya hayati kepiting bakau dapat
menjadi faktor penghambat dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaannya. Oleh
karena itu, diperlukan penelitian mengenai sumberdaya kepiting bakau terutama
mengenai aspek yang terkait dengan informasi dasar biologi perikanan seperti
karakteristik morfometrik-meristik yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar
identifikasi spesies.
1.2. Rumusan Masalah
Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis, yang bernama garis Wallace, yang
membentang di antara Kalimantan dan Sulawesi serta di antara Bali dan Lombok.
Garis Wallace memisahkan distribusi flora dan fauna terestrial di Indonesia, dimana
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
18/112
3
pada bagian barat garis Wallace berhubungan dengan spesies di Asia, sedangkan
pada bagian timur garis Wallace berhubungan dengan spesies Australia (Wikipedia
2008). Hingga saat ini, belum diketahui apakah hal tersebut berpengaruh pada fauna
air, salah satunya adalah kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan salah satu
hewan yang berasosiasi dengan hutan bakau (mangrove) dan memiliki distribusi
yang luas di perairan Indonesia.
Namun, berdasarkan data hasil tangkapan yang berasal dari Dinas Perikanan
dan Kelautan (DKP 2006), hasil tangkapan kepiting bakau di daerah Jawa bagian
utara selama kurun waktu 3 tahun (2003 sampai 2005) menurun dari 41 ton/tahun
menjadi 24 ton/tahun. Selain peningkatan eksploitasi kepiting bakau, eksploitasi
habitat dan perubahan lingkungan menjadi faktor-faktor penyebab menurunnya
populasi kepiting bakau. Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan terjadiperubahan variasi morfometrik sehingga akan berdampak pada penurunan
keanekaragaman kepiting bakau di perairan Indonesia.
Berdasarkan kenyataan ini, diperlukan suatu kajian mengenai keanekaragaman
populasi kepiting bakau. Kajian tersebut diteliti melalui analisa variasi morfometrik
dan meristik. Analisa karakter morfometrik-meristik kepiting bakau dapat
digunakan sebagai acuan dasar bagi pengelolaan sumberdaya hayati kepiting di
Indonesia sehingga diperoleh pemanfaatan kepiting bakau yang optimal dengan
tetap memperhatikan kelestariannya.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakteristik
morfometrik dan meristik kepiting bakau (Scylla spp.) yang ada di perairan
Indonesia berdasarkan perbedaan lokasi penelitian.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai
jenis dan penyebaran kepiting bakau di perairan Indonesia, informasi mengenai
variasi karakter morfometrik dan meristik berdasarkan spesies kepiting bakau, serta
sebagai bahan acuan dalam pengelolaan kepiting bakau di perairan Indonesia.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
19/112
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kepiting Bakau GenusScylla
2.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau
Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae yang terdiri atas 6
subfamili, yaitu: Carcininae, Polybiinae, Caphrynae, Catoptrinae, Podopthalminae,
dan Portuninae. Moosa et al. (1985) memperkirakan bahwa terdapat sekitar 234
jenis kepiting yang tergolong ke dalam subfamili Portuninae di wilayah Indopasifik
Barat dan 124 jenis di wilayah Indonesia. Portunidae tergolong ke dalam kelompok
kepiting perenang (swimming crab) karena memiliki pasangan kaki terakhir yang
memipih dan digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup rajungan
(Portunus, Charybdis, dan Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting
bakau memiliki nama lokal yang beragam, yaitu kepiting (Jawa), katang nene
(Maluku Tengah), dan ketam batu (Sumatera). Di mancanegara, kepiting bakau pun
memiliki nama yang beragam yaitu kepiting batu (Malaysia) (Oong 1966 in
Siahainenia 2008), kepiting lumpur atau mud crab (Australia), kepiting samoa
(Hawaii), alimango (Philipina), tsai jim (Taiwan), serta nokoro gozami (Jepang)
(Cowan 1984 inSiahainenia 2008).
Aiyun & Siliang (1991) dan Sukarya (1991) in Sulistiono et al. (1994),
mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Pleocyemata
Infra ordo : Brachyura
Famili : Portunidae
Sub famili : Portuninae
Genus : Scylla(de Haan)
Spesies : Scylla serrata(Forskal)
Scylla tranquebarica (Dana)
Scylla oceanica (Fabricious)
Hingga saat ini, pengidentifikasian spesies kepiting bakau masih kontroversi.
Beberapa tahun yang lalu, hanya terdapat satu spesies yang dikenal sebagai genus
Scylla (Fuseya 1998 in Fushimi & Watanabe 2001). Akan tetapi, saat ini para
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
20/112
5
peneliti telah melaporkan bahwa genus Scylla memiliki beberapa spesies
(Estampador 1949 in Fushimi & Watanabe 2001). Estampador (1949) in Fushimi &
Watanabe (2001), mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu
varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla
serrata var. paramamosain. Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari
ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador
pada tahun 1949. Karakteristik morfologi dari rostrum dan gigi anterolateral serta
cheliped pada kepiting bakau dapat dilihat sebagai berikut: Scylla serrata: duri
frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan
gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama; Scylla tranquebarica: duri frontal
margintajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan
gigi yang bergerigi tajam dan berduri; Scylla oceanica: duri frontal margin tajamberukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam.
Selain itu terdapat pembeda lainnya, yaitu jumlah duri pada cheliped carpus dan
corak pada pleopod pertama yang terdapat pada ketiga spesies kepiting bakau.
Perbedaan dari ketiga spesies kepiting bakau di atas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) sertacheliped
carpuspada ketiga spesies Scylla(jantan) (Fushimi & Watanabe 2001).
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
21/112
6
Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) juga
mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla
tranquebarica, dan Scylla oceanicaberdasarkan klasifikasi Estampador. Perbedaan
nyata tersebut ditemukan pada 3 dari 17 loci sampel dan jarak genetik relatifnya pun
telah dihitung antara ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Ketiga spesies
kepiting bakau yang diklasifikasikan oleh Estampador berdasarkan ciri morfologis
memiliki kesamaan dengan hasil percobaan di atas. Akan tetapi, analisis genetik
memperlihatkan bahwa Scylla serrata dan Scylla tranquebarica berkorelasi lebih
dekat dibandingkan dengan Scylla oceanica. Informasi tersebut diperoleh dari
investigasi mutakhir yang menyatakan bahwa ketiga spesies kepiting bakau benar-
benar berbeda dan dapat dibedakan. Selanjutnya Klinbunga et al. (2001) in
Watanabe et al. (2002) melakukan studi dengan menggunakan sampel dari Thailanddan menyatakan bahwa telah ditemukan tiga spesies kepiting bakau dengan
menggunakan analisa RAPD dari DNA genom, ketiga spesies kepiting bakau (S.
serrata, S. tranquebarica, S. oceanica) tersebut sesuai dengan kriteria yang telah
dijabarkan oleh Estampador. Berdasarkan perbedaan tersebut, penulis menggunakan
identifikasi kepiting genus Scyllaberdasarkan deskripsi morfologi dari Estampador
yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica karena telah diuji
oleh berbagai ahli di bidangnya.
2.1.2. Morfologi kepiting bakau
Menurut Moosa (1981) in Siahainenia (2008) untuk mengenal dan
memberikan diagnosa dari tiga jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan
pengetahuan tentang istilah bagian-bagian tubuh yang biasanya digunakan dalam
taksonomi kepiting bakau. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting
yang digunakan dalam pengenalan jenis famili Portunidae adalah sebagai berikut
dan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3:a. Karapas (carapace), yaitu selubung kepala-dada serta bagian-bagian yang ada di
atasnya.
b. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapaks (rostrum).
c. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapaks.
d. Bentuk sudut postero-lateral tubuh.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
22/112
7
e. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan (periopod), terutama dari
pasangan kaki pertama yang berbentuk capit (cheliped) dan pasangan kaki
terakhir yang berbentuk dayung (pleopod).
f. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod.
g. Bentuk mulut terutama maxiliped III.
h. Bentuk bagian ruas dasar antena (basal antennal joint).
Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong ke dalam famili
Portunidae adalah: karapas pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau
agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulat-
bulatan, karapas umumnya berukuran lebih lebar daripada panjangnya dengan
permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya, dan memiliki tepi antero-lateral
karapaks dengan jumlah duri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili
Podopthalminae) sampai sembilan buah. Kemudian memiliki dahi lebar serta
terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai
enam buah, antena (antennulae) kecil terletak menyerong atau melintang, pasangan
kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terurtama pada dua ruas terakhir
(terdapat beberapa genus yang tidak berbentuk demikian) (Moosa et al. 1985).
Menurut Kasry (1996) kepiting bakau memiliki karapaks berwarna seperti
lumpur atau sedikit kehijauan, pada bagian kiri dan kanan karapas terdapat sembilan
buah duri tajam, dan pada bagian depan karapas di antara kedua tangkai matanya
terdapat enam buah duri. Dalam keadaan normal sapit kanan lebih besar daripada
sapit kiri dengan warna kemerah-merahan pada masing-masing ujung sapit.
Kepiting bakau memiliki tiga kaki pejalan dan satu kaki perenang, di mana kaki
perenang tersebut terdapat pada bagian ujung perut dan ujung kaki perenang ini
dilengkapi dengan alat pendayung. Selanjutnya Sulistiono et al. (1992) in Mulya
(2000) menyatakan bahwa secara umum karapas berbentuk cembung dan halus,
lebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk alur H antara gastric
(pencernaan) dan cardiac(jantung)jelas, empat gigi triangularpada lengan bagian
depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas-ruas
abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga sedangkan pada kepiting
bakau betina berbentuk sedikit membulat. Akan tetapi ketiga spesies kepiting bakau
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
23/112
8
S. serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica memiliki morfologi yang berbeda-
beda, perbedaan morfologitersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 2. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998).
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
24/112
9
Gambar 3. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998).
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
25/112
10
Tabel 1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp) menurut Estampador.
Warna dan ciri
morfologisScylla serrata Scylla oceanica
Scylla
tranquebarica
Scylla serrata var.
paramamosain
Warna
karapaks
Coklat merahseperti karat
Hijau keabu-abuan
Hijau buah zaitun Coklat kehijauan
Sumberpigmen
polygonal
Tidak ada Pada capit dansemua kaki
jalan
Hanya padabagian terakir
kaki jalan
Pigmen putih padabagian terakhir
dari kaki
Bentuk alur
H pada
karapaks
Tidak dalam Dalam Dalam Relatif tidak
begitu dalam
Bentuk duri
depan
Tumpul Tajam Tajam Sedang
Bentuk duri
pada
fingerjoint
Duri tidak ada
dan berubah
menjadi vestigial
Kedua duri jelas
dan runcing
Kedua duri jelas
dan satu agak
tumpul
-
Bentuk
rambut/setae
Hanya pada
hepatic area
Melimpah pada
karapaks
- -
Sumber: Estampador (1949) in Siahainenia (2008).
Menurut Moosa et al. (1985) kepiting bakau genus Scylla di Indonesia
memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau
keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar
hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S.
oceanicadan S. tranquebaricabiasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan
jenis S. serrata dan S. serrata var. paramamosain ditemukan meliang di daerah
mangrove. Selanjutnya, Kathirvel & Srinivasagam (1992) menyatakan bahwa
morfologi dari Scylla oceanica dan Scylla tranquebaricamemiliki kesamaan, yaitukedua spesies Scyllaini dapat tumbuh dengan ukuran yang sangat besar, keduanya
tidak hidup meliang, dan memiliki dua duri tajam pada sisi terluar cheliped carpus.
Variasi warna yang terdapat pada karapas dari kedua spesies ini disebabkan oleh
perbedaan letak geografis. Sedangkan spesies Scylla serratamemiliki ukuran tubuh
yang lebih kecil dibandingkan S. oceanica dan S. tranquebarica, hidupnya meliang,
serta hanya memiliki satu duri yang tumpul pada sisi terluar cheliped carpus.
2.1.3. Distribusi dan habitat kepiting bakau
Kepiting bakau hanya tersebar di perairan tropik atau pada perairan berkondisi
tropik. Daerah sebarannya meliputi wilayah Indopasifik, mulai dari pantai selatan
dan timur Afrika Selatan, Mozambik, Iran, Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh,
pulau-pulau di lautan Hindia, Kamboja, Vietnam, negara-negara ASEAN, Jepang,
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
26/112
11
Taiwan, serta Filipina. Kemudian kepiting bakau pun ditemukan di pulau-pulau
Lautan Pasifik mulai dari Kepulauan Hawaii sampai ke Selandia Baru dan Australia
(Kasry 1996). Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di
perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia
(Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian
Jaya). Pemusatan daerah pengusahaan kepiting bakau berkaitan dengan habitat yang
masih baik, antara lain terdapat di selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir,
Pamanukan), barat Sumatera (Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir,
Balikpapan), Sulawesi (Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat
(Teluk Waworada, Teluk Bima), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Nimfor)
(Asmara 2004).
Secara representatif, kepiting bakau genus Scylla memiliki daerah sebaranyang luas yaitu di sepanjang Indo-Pasifik Barat, dimana daerah penyebaran dari
maisng-masing spesies dapat dipisahkan secara jelas menurut Keenan (Tabel 2 dan
Gambar 4). Scylla serrata (S. oceanica Estampador) memiliki daerah penyebaran
paling luas, yang meliputi Samudera Hindia bagian Barat hingga ke Kepulauan
Pasifik Selatan. S. tranquebarica (S. serrata var.paramamosainEstampador)dan S.
olivacea(S. serrataEstampador) memiliki daerah penyebaran yang terfokus di Laut
Cina Selatan yang memanjang sampai Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
bagian Barat. Sementara itu, S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador)
memiliki daerah penyebaran yang terbatas, kebanyakan berada di Laut Cina Selatan
dan Laut Jawa (Le Vay 2001 dan Keenan et al. 1998 in Watanabe et al.2002).
Tabel 2. Daerah penyebaran spesies Scylladi dunia.
Spesies Daerah Penyebaran
S. serrata Indo-Pasifik Barat: Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina,
Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat), Taiwan,
Jepang.
S. paramamosain Laut Cina Selatan: Kamboja, Vietnam, Singapura, Cina, Taiwan, Hong Kong;Laut Jawa: Kalimantan, Jawa Tengah.
S. olivacea Samudera Hindia: Pakistan hingga Australia Barat;
Laut Cina Selatan: Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak hingga Cina
Selatan;
Samudera Pasifik: Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria.
S. tranquebarica Samudera Hindia: Pakistan hingga Malaysia;
Laut Cina Selatan: Sarawak, Singapura;
Samudera Pasifik: Filiphina.
Sumber: Keenan et al. (1998) in Le Vay (2001).
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
27/112
12
Gambar 4. Daerah penyebaran kepiting bakau di dunia menurut Keenan
(FAO 1998).
Kepiting bakau dapat ditemukan di daerah estuari dan daerah pesisir yang
tertutup, secara umum kepiting bakau biasanya berasosiasi kuat dengan hutan
mangrove, terutama daerah estuari. Selanjutnya, terdapat kondisi yang membedakan
distribusi lokal dan kelimpahan keempat spesies kepiting bakau secara kompleks,
Hill (1975;1978); Hill et al. (1982) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa distribusi
dan kelimpahan kepiting bakau bergantung pada stadia perkembangan kepiting
bakau. Kepiting bakau juvenil hingga ukuran karapaks 8 cm biasanya melimpah
pada daerah intertidal, sedangkan kepiting bakau subadult dan dewasa berada di
daerah subtidal. Chandrasekaran & Natarajan (1994) in Le Vay (2001) menyatakan
bahwa juvenil baru kepiting bakau akan lebih memilih berada di lingkungan perairan
yang tertutupi oleh lamun, alga, dan akar mangrove.
Menurut Kasry (1996) kepiting bakau akan beruaya dari perairan pantai ke
perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan
pantai, muara sungai atau perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan,
atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan
beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
28/112
13
melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan akan
kembali ke perairan hutan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu
pada bagian-bagian yang berlumpur dengan organisme makanan yang berlimpah.
Telur kepiting yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea (Z I, II, III, IV, V),
megalopa, kepiting muda, dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Kepiting muda
akan kembali ke pantai atau kawasan bakau untuk mencari makan dan tempat
berlindung yang aman.
2.1.4. Daur hidup kepiting bakau
Potensi reproduksi kepiting bakau sangat tinggi, menurut Arriola (1940) in
Moosa et al. (1996) satu induk kepiting bakau dapat memijahkan telur dua juta telur.
Daur hidup kepiting bakau dimulai dari telur hingga mencapai kepiting dewasa
melalui beberapa tingkat perkembangan, antara lain tingkat zoea, tingkat megalopa,
tingkat kepiting muda, dan tingkat kepiting dewasa (Gambar 5) (Ong Kah Sin 1964;
Motoh et al.1977 in Moosa et al. 1985). Sedangkan menurut Estampador (1949) in
Moosa et al. (1985) perkembangan kepiting bakau terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu
tahap embrionik, tahap larva, dan tahappostlarvae.
Menurut Ong Kah Sin (1964); Motoh et al. (1977) in Moosa et al. (1985)
dalam perkembangan dari tingkat zoea ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan
waktu 3-4 hari, dan untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya memerlukan
waktu minimal 18 hari. Dalam perkembangan tingkat zoea menuju tingkat
megalopa, terdapat lima kali pergantian kulit (moulting). Ukuran panjang tubuh dari
setiap tingkatan dari setiap pergantian kulit (moulting) zoea ialah 1,15 mm (zoea
tingkat 1); 1,51 mm (zoea tingkat 2); 1,93 mm (zoea tingkat 3); 2,40 mm (zoea
tingkat 4), dan 3,45 mm (zoea tingkat 5). Selanjutnya dari tingkat megalopa ke
tingkat kepiting muda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari dengan salinitas 31
2 ppt, sedangkan jika dilakukan pada salinitas 21-27 ppt akan diperlukan waktu 7-8
hari. Kepiting bakau hanya memiliki satu tingkat perkembangan megalopa dan
kuran panjang karapas dan lebar karapas pada tingkat megalopa ialah 2,18 mm dan
1,52 mm.
Menurut Smit et al. (2004) in Butar-Butar (2006) waktu yang diperlukan
kepiting dewasa yang siap memijah adalah antara 18 hingga 24 bulan, dimana
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
29/112
14
kepiting dewasa akan memijah pada bulan-bulan yang memiliki suhu perairan lebih
hangat.
Gambar 5. Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp) (Smit et al.2004 in Butar-
Butar 2006).
2.1.5. Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap kepiting bakau
Parameter fisika dan kimia adalah faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, diantaranya adalah salinitas, suhu, pH,
kedalaman air saat pasang surut, serta substrat dasar. Kepiting bakau di alam
menempati habitat yang berbeda-beda bergantung pada stadia daur hidupnya. Untuk
mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau diperlukan pengetahuan mengenai
parameter fisika dan kimia di mana organisme ini berada (Mulya 2000).
Kasry (1996) menyatakan kisaran salinitas yang dapat ditolerir kepiting bakau
cukup luas. Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari
15 dan lebih besar dari 30. Hill (1978) in Mulya (2000) menyatakan bahwa S.
serrata mampu mentolerir perairan dengan salinitas hingga 60. Keenan et al.
(1998) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa keempat spesies Scylla pada stadia
larva atau juvenil memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Scylla
serrata lebih dominan berada di perairan dengan salinitas 34 dan berada di daerah
mangrove yang tergenang oleh air laut selama hampir sepanjang tahun sedangkan
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
30/112
15
spesies lainnya lebih banyak berada di perairan dengan salinitas 33 di daerah
estuari yang tergenang air laut secara periodik.
Selanjutnya, suhu air mempengaruhi pertumbuhan (moulting), aktivitas dan
nafsu makan kepiting bakau (Hill 1982 in Mulya 2000). Fieder dan Haesman (1978)
in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan yang bersuhu tinggi cenderung
akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu untuk mencapai
dewasa menjadi singkat. Menurut Baliao (1983) inSiahainenia (2008) disamping
kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan
makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau. Dinyatakan pula
bahwa kepiting bakau akan tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisara suhu 23
oC 32
oC.
Wahyudi dan Ismail (1987) in Mulya (2000) menyatakan bahwa kepitingbakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur
dengan pH rata-rata 6,5. Pendapat ini didukung oleh La Sara (1994) in Mulya
(2000) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0.
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi
perkawinan. Kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni dan
Ismail (1987) in Mulya (2000) berpendapat bahwa kepiting bakau dapat hidup pada
kedalaman 30 cm 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan pada kedalaman 30
cm 125 cm di muara sungai. Kepiting bakau menuju perairan dangkal pada waktu
siang hari (Hill 1980 in Mulya 2000).
Menurut Snedaker dan Getter (1985) in Siahainenia (2008) habitat kepiting
bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur.
Substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau
terutama dalam melangsungkan perkawinan.
2.2. Hutan Mangrove2.2.1. Pengertian hutan mangrove
Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik
untuk komunitas pohon-pohonan, rumput-rumputan, maupun semak belukar yang
tumbuh di laut. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
31/112
16
untuk individu-individu jenis mangrove tersebut (Macnae 1969 in Pramudji 2004).
Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang
di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat
ekstrim, jenuh air, serta kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu
dipengaruhi oleh pasang surut. Umumnya hutan mangrove tumbuh dan berkembang
dengan baik pada kawasan pesisir di daerah yang terlindung dari hempasan ombak
dan ditopang oleh adanya aliran sungai yang selalu membawa material, misalnya di
daerah pesisir teluk, muara sungai, delta, dan estuari (Pramudji 2004).
2.2.2. Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove
Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh
beberapa faktor penting, seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang-surut.
Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia,
dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9
spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasit. Beberapa jenis
yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah: bakau (Rhizophora), api-
api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xyclocarpus),
tengar (Ceriops), dan buta-buta (Exoecaria). Dikarenakan sifat lingkungan hutan
mangrove yang keras, misalnya karena genangan pasang-surut air laut, perubahan
salinitas yang besar, perairan berlumpur tebal dan anaerobik, maka pohon-pohon
mangrove telah beradaptasi baik secara morfologi maupun fisiologi (Nontji 2007).
Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu
dipengaruhi oleh air tawar serta terlindung dari hempasan ombak. Oleh karena itu,
magrove banyak tumbuh di kawasan pesisir yang terlindung. Sehubungan dengan
hal tersebut, untuk mempertahankan eksistensinya mangrove memiliki daya adaptasi
yang tinggi terhadap lingkungan pesisir yang sangat ekstrim (Smith 1987 in
Pramudji 2004). Kemampuan mangrove untuk beradaptasi terhadap lingkungantersebut adalah adaptasi terhadap salinitas dan suhu udara yang tinggi dengan cara
memiliki daun yang tebal, kuat, serta sel khusus untuk menyimpan garam; adaptasi
terhadap kadar oksigen yang rendah dengan cara memiliki bentuk perakaran yang
khas; serta adaptasi terhadap substrat (sedimen) dengan cara memiliki struktur
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
32/112
17
perakaran yang mampu menahan dan mengendapkan bahan organik (Pramudji
2004).
Besarnya daya adaptasi jenis tumbuhan mangrove terhadap kisaran salinitas
mempengaruhi terjadinya pemintakatan atau zonasi pada kawasan hutan mangrove.
Pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan perbedaan salinitas tersebut adalah
sebagai berikut (Pramudji 2004):
a. Zona garis pantai, yaitu kawasan hutan mangrove yang berhadapan langsung
dengan laut. Zona ini umumnya memiliki lebar sekitar 10-75 meter dari garis
pantai. Jenis mangrove yang biasa ditemukan pada zonasi ini adalahRhizophora
stylosa, R. mucronata, Avicennia marina, dan Soneratia alba.
b. Zona tengah, yaitu kawasan hutan mangrove yang terletak di belakang zona
garis pantai dan memiliki substrat berupa lumpur liat. Pada zona ini umumnyaditemukan jenis Rhizopora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera
cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal,
Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris,danLumnitzera littorea.
c. Zona belakang, yaitu kawasan hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan
darat. Jenis mangrove yang tumbuh pada pada zona ini adalah Xylocarpus
granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea
octodonta,danHeritiera littoralis.
Sedangkan pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang
dominan mulai dari arah laut ke darat berturut-turut adalah zona Avicennia, zona
Rhizophora, zonaBruguiera, dan zonaNypa(Arief 2003 in Pramudji 2004).
Menurut Pramudji (2004), hutan mangrove memiliki beberapa fungsi penting
berdasarkan aspek ekologinya, yaitu:
a. Sebagai sumber nutrisi (nursery ground), karena didalamnya terjadi proses
biologi yang dimanfaatkan oleh berbagai biota laut.
b. Sebagai tempat penghasil oksigen.
c. Sebagai tempat memijah (spawning ground), pembesaran, mencari makan
(feeding ground) serta habitat dari berbagai biota laut, yaitu ikan, udang,
kepiting, dan kerang-kerangan.
d. Sebagai tempat berlindung dan berkembangnya hewan-hewan darat, seperti
burung, kelelawar, kera, buaya, biawak, dan ular.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
33/112
18
e. Sebagai sumber plasma nutfah dan genetika.
f. Sebagai pelindung pantai dari abrasi, banjir, serta bencana gelombang pasang
tsunami.
g. Membantu dalam perluasan tanah dengan membentuk teras-teras pantai di
kawasan pesisir, karena akar mangrove mampu menahan sedimen yang terbawa
aliran sungai.
h. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi air laut ke daratan, serta mampu
berperan sebagai filter untuk menyerap air limbah industri maupun air limbah
rumah tangga.
Selain itu hutan mangrove juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi
masyarakat pesisir, manfaat tersebut antara lain adalah sebagai penyedia keperluan
rumah tangga, misalnya: kayu bangunan, kayu, dan arang; sebagai area tambak
udang dan ikan; sebagai bahan baku kertas, penyamak kulit, dan kayu lapis untuk
industri; sebagai tempat penghasil benih ikan, udang, kepiting, dan kerang; serta
sebagai kawasan ekowisata bagi masyarakat maupun sebagai tempat penelitan dan
pendidikan (Pramudji 2004).
2.2.3. Sebaran hutan mangrove di Indonesia
Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta
hektar atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia (Nontji 2007). Luas hutan
mangrove di Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar namun
pada tahun 1993 atau dalam kurun waktu 11 tahun, luas hutan mangrove tersebut
turun menjadi 2,49 juta hektar (Pramudji 2004). Area hutan mangrove yang luas
antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7% , pesisir Kalimantan sebesar
26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Pulau-
pulau tersebut memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta
beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara (Pramudji
2004). Sebaran dan luas hutan mangrove di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
34/112
19
Tabel 3. Luas hutan mangrove di Indonesia.
Provinsi Luas (ha)
Sumatera:Aceh 20.000
Sumatera Utara 30.750
Sumatera Barat 1.800Riau 184.400
Jambi 4.050Sumatera Selatan 231.025
Bengkulu
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
35/112
20
Gambar6.
PetapenyebaranmangrovediIndonesia(warnahijaukehitaman)(ReefatR
isk1999in
FisheriesBusinnesCenter2009).
20
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
36/112
21
2.2.4. Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove
Kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem
mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya,
yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau
melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsur-
angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya dari
perairan hutan mangrove ke laut untuk memijah. Sedangkan kepiting bakau jantan
akan tetap berada di perairan hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya.
Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove, demikian
pula dengan dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuaria
untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia 2008).
Ekosistem mangrove merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untukberlindung. Kepiting muda yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari
dan hutan mangrove karena terbawa arus laut dan pasang sehingga akan menempel
pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987 in
Siahainenia 2008). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap
hutan mangrove dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur atau
menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Queensland
Departement of Industries 1989 in Siahainenia 2008). Lebih lanjut dikemukakan
oleh Pagcatipunan (1972) in Siahainenia (2008) yang menyatakan bahwa setelah
berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara
membenamkan diri atau bersembunyi di lubang hingga karapaksnya mengeras.
Hutching & Saenger (1987) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting
bakau hidup di perairan sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya
(pneumatophore). Sementara Hill (1982) inSiahainenia (2008) menyatakan bahwa
perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau
karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.
2.3. Garis Wallace
Garis Wallace adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah
geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan
dengan spesies Asia sedangkan pada bagian timur berhubungan dengan spesies
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
37/112
22
Australia. Garis ini dinamakan atas nama Alfred Russel Wallace, yang menyadari
perbedaan tersebut pada saat melakukan kunjungan ke Hindia Timur pada abad ke-
19. Garis Wallace membentang melalui Kepulauan Melayu, antara Borneo
(Kalimantan) dan Sulawesi serta antara Bali (sebelah barat) dan Lombok (sebelah
timur). Keberadaan garis Wallace pun tercatat oleh Antonio Pigafetta dalam
catatannya mengenai perbedaan biologis antara Filipina dan Kepulauan Maluku dan
tercatat dalam perjalanan Ferdinand Magellan pada tahun 1521. Kemudian garis
Wallace diperbaiki dan digeser ke Timur (daratan pulau Sulawesi) oleh Weber dan
diberi nama garis Wallace-Weber. Batas penyebaran flora dan fauna Asia ini
ditentukan secara berbeda-beda, berdasarkan tipe-tipe flora dan fauna (Wikipedia
2008).
Gambar 7. Garis Wallace (Southchinasea 2009).
2.4. Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan Kekerabatan
Afrianto et al. (1996) menyatakan bahwa morfometrik ialah ukuran dalam
satuan panjang atau perbandingan ukuran bagian-bagian luar tubuh organisme,
sedangkan meristik adalah sifat-sifat yang menunjukkan jumlah-jumlah bagian-
bagian tubuh luar, seperti jumlah jari-jari sirip (pada ikan), yang digunakan untuk
penentuan klasifikasi. Ukuran dalam morfometrik adalah jarak antara satu bagian ke
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
38/112
23
bagian tubuh lainnya dan biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter atau
centimeter.
Karakter morfometrik dapat memberikan informasi mengenai perbedaan antar
spesies, termasuk variasi spesies Crustacea. Contohnya variasi interspesifik pada
dua spesies Procambarus spp. (crayfish di Meksiko), yang kemudian diketahui
merupakan dua spesies simpatrik (Allegrucci et al. 1992 in Overton et al. 1997);
analisa multivariat kepiting bakau Scylla serrata yang berasal dari empat lokasi
negara di Asia Tenggara, yang kemudian diketahui merupakan tiga grup yang
berbeda berdasarkan karakter morfometrik dan meristiknya (Overton et al. 1997);
pengklasifikasian tiga spesies kepiting bakau genus Scylla di Thailand dan Laut
Andaman menggunakan analisis morfometrik, yang kemudian diketahui memiliki
tiga spesies yang berbeda (Sangthong & Jondeung 2006).Selain itu, analisis karakter morfometrik dan meristik pun dapat digunakan
untuk mengetahui hubungan kekerabatan pada organisme lain, contohnya ikan dan
udang Penaeus monodon (Imron 1998). Studi morfometrik secara kuantitatif
memiliki tiga manfaat yaitu membedakan jenis kelamin dan spesies,
mendeskripsikan pola-pola keragaman morfologis antar spesies, dan
mengklasifikasikan serta menduga hubungan filogenik. Perbedaan morfologis antar
populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh
secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan
pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik
dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa
pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan
ukuran dan umur (Strauss and Bond 1990 in Imron 1998).
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
39/112
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli
2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting
bakau yang telah ditangkap oleh nelayan di masing-masing lokasi pengambilan
sampel dengan menggunakan metode pengambilan contoh acak sederhana (PCAS),
dimana jumlah sampel yang diambil sesuai dengan yang ada pada saat itu tanpa
melihat spesiesnya. Menurut Boer (2001), teknik pengacakan dapat mengurangi
faktor subjektivitas pelaksana percobaan dalam memilih dan mengatur perlakuan
atau ulangan pada satuan percobaan.
Lokasi pengambilan sampel yang dicakup berjumlah 14 lokasi, yaitu Pidie
(Nangroe Aceh Darussalam), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Bintan (Kep. Riau),
Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon),
Mataram (Nusa Tenggara Barat), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros
dan Teluk Bone (Sulawesi), Jayapura dan Teluk Bintuni (Irian Jaya). Lokasi
pengambilan sampel tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Pengukuran karakter morfometrik dan meristik dilakukan secara in situdan di
laboratorium. Sampel kepiting bakau dimasukkan ke dalam ice boxdan selanjutnya
di bawa ke Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I), Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Data yang digunakan merupakan data primer.
3.2. Metode Kerja
Sampel kepiting bakau diambil dengan cara membeli langsung dari nelayan
yang menangkap kepiting bakau di sekitar perairan mangrove pada masing-masing
lokasi penelitian. Alat yang digunakan pada saat menangkap kepiting bakau ialah
pancing, bubu, dan jaring. Kepiting bakau yang diambil mewakili berbagai ukuran
kepiting bakau jantan dan betina dan dianalisis di Laboratorium Biologi Makro 1,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Sampel kepiting bakau yang
terkumpul akan diukur secara mofometrik, yang meliputi 10 karakter utama seperti
yang dilakukan Clark et al.(2001) terhadap genus Carcinus(Portunidae). Karakter
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
40/112
25
Gambar8.LokasipengambilansampelkepitingbakaudiPerairanIndonesia(p
etadimodifikasidariwww.h
ino.co.i
d/
p
eta-indonesia-simplfy.g
if).
25
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
41/112
26
morfometrik dan meristik yang diukur tertera pada Tabel 4, Tabel 5, Gambar 9,
Gambar 10, dan Gambar 11.
Tabel 4. Karakter morfometrik kepiting bakau yang diukur.
No. Karakter Morfometrik Keterangan
1. Lebar karapas (L) Jarak antara ujung duri marginal terakhir di sebelah
kanan dengan duri marginal terakhir di sebelah kiri
(horizontal)2. Panjang karapas (P) Jarak antara tepi duri frontal margin dengan tepi
bawah karapas3. Tinggi karapas (T) Panjang garis tegak antara karapas dengan
abdomen4. Optical groove widths Jarak duri frontal margin di antara mata
5. Panjang chela sebelahkanan (PCR)
Panjang capit (hand) sebelah kanan mulai dariujungpalmhingga ujung dactylus
6. Tinggi chela sebelahkanan (TCR)
Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atasdan bawah chelasebelah kanan
7. Panjangprofundus chela
sebelah kanan (PCR)
Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus
sebelah kanan
8. Panjang chela sebelah kiri(PCL)
Panjang capit (hand) sebelah kiri mulai dari ujung
palmhingga ujung dactylus
9. Tinggi chela sebelah kiri
(TCL)
Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas
dan bawah chelasebelah kiri10. Panjangprofundus chela
sebelah kiri (PCL)
Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus
sebelah kiri
Tabel 5. Karakter meristik kepiting bakau yang diukur.
No. Karakter Meristik Keterangan
1. Jumlah durifrontal margin Jumlah durifrontal marginyang berada di antara
kedua mata kepiting2. Jumlah duri anterolateral
margin sebelah kanan
Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang
berada di sebelah kanan karapas
3. Jumlah duri anterolateralsebelah kiri
Jumlah seluruh duri anterolateral margin yangberada di sebelah kiri karapas
Berikut ini merupakan langkah kerja saat melakukan pengukuran. Pertama-
tama, dilakukan penomoran kepiting menggunakan kertas label dimana sebelumnya
telah dibersihkan dari lumpur dan air menggunakan tissue (Lampiran 1). Lalu
dilakukan pengamatan terhadap jenis kelamin dengan cara melihat bentuk abdomen
kepiting tersebut, dimana jantan memiliki bentuk abdomen yang mengerucut
sedangkan betina memiliki bentuk abdomen yang melebar.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
42/112
27
Gambar 9. Karakter morfometrik dan meristik tampak dorsal (Keterangan: 1
(lebar karapas); 2 (panjang karapas); 3 (Optical groove widths); 4 (tinggi karapas); 5 (Duri anterolateral kiri); 6 (Duri anterolateral
kanan); 7 (durifrontal margin)).
Gambar 10. Karakter morfometrik pada chela(Keterangan: 8 (PPR); 9 (PCR); 10
(TCR); 11 (PPL); 12 (PCL); 13 (TCL)).
Gambar 11. Abdomen kepiting jantan (kiri) dan abdomen kepiting betina (kanan).
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
43/112
28
Kemudian, bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan dengan ketelitian
10 gram dan pengukuran tinggi karapas dengan menggunakan jangka sorong dengan
ketelitian 1 mm. Selanjutnya dilakukan pengukuran aspek morfometrik dengan
menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm serta pengukuran aspek meristik
secara visual (Lampiran 2 dan 3). Seluruh data tersebut dicatat pada data sheet yang
telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 4 dan 5). Setelah proses pengukuran
selesai, dilakukan proses identifikasi dan klasifikasi spesies, dengan cara dilakukan
pengamatan terhadap dua duri tajam yang berada pada bagian cheliped carpus,
warna karapas, bentuk alur H, corak pada pleopod, serta bentuk duri pada frontal
margin.
Penulis menggunakan klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau berdasarkan
Estampador karena hingga saat ini masih terdapat perdebatan antara para ahlimengenai jenis-jenis kepiting bakau. Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe
(2001) mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu varietas,
yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var.
paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filiphina
berdasarkan perbedaan morfologi eksternal (warna karapas dan kaki, gigi
anterolateral pada karapas, dan duri luar pada cheliped carpus). Serene (1952) in
Fushimi & Watanabe (2001) menyatakan bahwa eksistensi keempat spesies kepiting
bakau yang ditemukan di Vietnam sesuai dengan penemuan Estampador. Akan
tetapi, Stephenson dan Campbell (1960) in Fushimi & Watanabe (2001) menyatakan
bahwa keempat spesies tersebut merupakan satu spesies kepiting bakau berdasarkan
kesimpulan yang diambil dari sampel yang berasal dari Queensland dan New South
Wales (Australia). Stephenson dan Campbell menduga bahwa perbedaan karakter
morfologis tersebut diperoleh dari perbedaan lingkungan habitat kepiting bakau.
Selanjutnya Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001)
melakukan studi mengenai variasi genetik di 3 loci pada kepiting bakau dan
menyatakan bahwa ketiga spesies tersebut benar-benar berbeda dan dapat dibedakan
sesuai dengan klasifikasi Estampador. Keenan et al. (1998) in Fushimi & Watanabe
(2001), membuat sebuah revisi mengenai genus Scylla dengan menggunakan
spesimen yang berasal dari Laut Merah dan beberapa lokasi di Indo-Pasifik,
menggunakan 2 metode genetik yang independen, allozyme elektrophoresis, dan
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
44/112
29
sequencing of two mitochondrial DNA genes (Sitokrom oksidase I dan 16s RNA)
yang bekerja pada masing-masing spesies. Keenan et al. (1998) in Fushimi &
Watanabe (2001), menyatakan bahwa terdapat 4 spesies dengan menggunakan
kriteria morfologi tetapi keempatnya berbeda secara istilah.
Fuseya (1998) in Fushimi & Watanabe (2001) melakukan analisis
morfometrik antar spesies pada genus Scylla yang berasal dari daerah sebaran
geografis kepiting bakau yang luas. Fuseya pun melakukan uji karakteristik
morfologi pada pleopod pertama dan kedua dari kepiting bakau jantan. Berdasarkan
analisisnya, spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanicabenar-
benar dapat dibedakan. Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga
spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador pada
tahun 1949.
3.3. Identifikasi Morfologi Kepiting Bakau
Proses pengidentifikasian kepiting bakau menggunakan klasifikasi yang
digunakan Estampador, di mana kepiting bakau dibedakan menjadi 3 spesies
berdasarkan perbedaan karakter morfologisnya, yaitu Scylla serrata, Scylla
tranquebarica, dan Scylla oceanica. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau
(FAO 1998) adalah sebagai berikut:
a. Cheliped carpushanya memiliki setidaknya 1 duri
yang tidak pernah tajam; warna tubuh biasanya
agak keorangean atau kekuningan ........................... c d
b. Cheliped carpus memiliki 2 duri tajam; warna
tubuh biasanya hijau hingga ungu ........................... e
c. Frontal marginbergigi tajam; duri pada ujung
carpustajam ............................................................ Scylla tranquebarica
d. Frontal marginbergigi tumpul membundar; duri
pada ujung carpushampir tereduksi ...................... Scylla serrata
e. Frontal marginbergigi tajam; duri pada cheliped
carpus kebanyakan tajam; warna karapas hijau
atau hijau-olive; pleopod biasanya bercorak (jantan
dan betina) ............................................................... Scylla oceanica
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
45/112
30
Gambar 12. Identifikasi kepiting bakau menurut Estampador (dimodifikasi)
(FAO 1998).
3.4. Analisis Data
3.4.1. Distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas
Analisis data dilakukan terhadap sebaran frekuensi panjang dan lebar karapas
kepiting bakau untuk mendapatkan selang kelas, nilai tengah, dan frekuensi dengan
menggunakan program Microsoft Excel dalam hal perhitungannya. Langkah-
langkah dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah sebagai berikut:
a. Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data panjang dan
lebar karapas dari jumlah total kepiting bakau.
b. Menentukan jumlah kelas.
c. Menentukan wilayah data (c); c = nilai maksimum nilai minimum.
d. Menentukan lebar kelas; lebar kelas = c/jumlah kelas.
e. Menetukan batas atas kelas dan batas bawah kelas setiap selang kelas.
f. Mendaftarkan seluruh batas kelas untuk setiap selang kelas.
g. Menentukan nilai tengah setiap selang kelas.
h. Menjumlahkan frekuensi panjang dan lebar karapas yang telah ditentukan
berdasarkan masing-masing selang kelas.
i. Memplotkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas dalam sebuah
grafik untuk melihat jumlah distribusi normalnya.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
46/112
31
3.4.2. Hubungan lebar karapas-berat
Data yang digunakan pada analisis pada hubungan lebar karapas-berat ialah
data gabungan kepiting jantan dan betina pada masing-masing lokasi penelitian.
Analisis hubungan lebar karapas-berat menggunakan rumus hubungan panjang-berat
pada kepiting (Hartnoll 1982):
W = a Lb
Keterangan: W = berat
L = lebar karapas
a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-
berat dengan sumbu y)
b = penduga pola pertumbuhan panjang-berat
Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan persamaan:
Log W = Log a + b Log L
Y = a + b x
Untuk menguji nilai b digunakan uji t, dengan hipotesis:
H0: b = 1, hubungan lebar karapas-berat adalah isometrik
H1: b 1, hubungan lebar karapas-berat adalah allometrik, yaitu:
Allometrik positif (b > 1), pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan
dengan pertumbuhan panjang.
Allometrik negatif (b < 1), pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan
dengan pertumbuhan berat.
t hitung=1
01
Sb
bb
Keterangan: b1 = nilai b (dari hubungan panjang-berat)
b0 = 1
Sb1 = simpangan koefisien b
Kemudian, bandingkan antara nilai thitung dengan nilai ttabel dengan selang
kepercayaan 95% ( = 0.05). Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhannya,
kaidah keputusan yang diambil adalah sebagai berikut:
thitung> ttabel : tolak hipotesis nol (H0)thitung< ttabel: gagal tolak hipotesis nol (H0)
Penulis menggunakan bantuansoftwareSPSS 15.0 for Windows Evaluation Version
dan Microsoft Excel dalam hal perhitungannya.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
47/112
32
3.4.3. Analisis komponen utama (principal component analysis)
Sepuluh karakter morfometrik dianalisis dengan menggunakan program
Principal Components Analysis (PCA). Berdasarkan hasil analisis dari program
PCA, didapatkan suatu komponen utama yang mampu mempertahankan sebagian
besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total dengan menggunakan
sedikit komponen utama saja. Penggunaan komponen utama sering disarankan
untuk digunakan dalam proses mereduksi banyaknya peubah (Sartono et al.2003).
Selain itu, hasil plot antar komponen utama (grafik score plot) dapat digunakan
untuk untuk menentukan banyaknya penggerombolan secara sederhana. Penulis
menggunakan bantuansoftwareMINITAB 15.0 dalam hal perhitungan PCA.
3.4.4. Analisis biplot
Analisis perbandingan karakter morfometrik yang telah ditentukan bertujuan
untuk melihat karakter morfometrik yang memiliki keterkaitan dengan karakter
lainnya. Biplot merupakan teknik statistik deskriptif dimensi ganda yang dapat
disajikan secara visual dengan menyajikannya secara simultan segugus objek
pengamatan dan peubah dalam suatu grafik pada suatu bidang datar sehingga ciri-
ciri peubah dan objek pengamatan serta posisi relatif antara objek pengamatan dan
peubah dapat dianalisis. Biplot dapat menunjukkan hubungan antar peubah
kemiripan relatif antar objek pengamatan, serta posisi relatif antara objek
pengamatan dengan peubah (Jolllife 1986 & Rawling 1988 in Sartono et al.2003).
Perhitungan dalam analisis biplot, Penulis dibantu dengan menggunakan software
SAS 9.1.
Salah satu informasi yang didapat melalui analisis bilpot adalah untuk
mengetahui korelasi antar peubah, dimana dua peubah yang memiliki korelasi
positif tinggi digambarkan dengan dua buah garis dengan arah yang sama
(membentuk sudut sempit). Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasinegarif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang
berlawanan (membentuk sudut tumpul). Sedangkan dua peubah yang tidak
berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis yang membentuk sudut
mendekati 90o(Sartono et al.2003).
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
48/112
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian
Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei
2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie (Nangroe Aceh Darussalam),
Bintan (Kep. Riau), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Cilamaya (Karawang),
Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Samarinda dan Pontianak
(Kalimantan), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Maros dan Bone (Sulawesi), Teluk
Bintuni dan Jayapura (Papua). Kepiting bakau yang diperoleh selama penelitian
berasal dari para nelayan setempat yang menangkap kepiting bakau dengan
menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Lokasi penangkapan kepiting bakau
berada di perairan hutan mangrove maupun di perairan pesisir yang berlokasi di
sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian.
Pemilihan daerah penelitian berdasarkan lokasi sebaran hutan mangrove di
Indonesia, dimana kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di
ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami
utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran
(Siahainenia 2008). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir
Sumatera sebesar 19,7%, pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatanPapua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007).
Menurut Pramudji (2004) sebaran hutan mangrove mencakup hampir di
seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung), Jawa (DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), Bali, Kalimantan (Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur), Nusa Tenggara (Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan), Maluku, serta Irian Jaya (Papua).
Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor,
keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan dan
dapat dilihat pada Tabel 6.
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
49/112
34
Tabel 6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian.
Jumlah data (ekor)
No. DaerahScylla spp.
(gabungan ketiga spesies)
Scylla
serrata
Scylla
tranquebarica
Scylla
oceanica
1 Pidie 83 11 64 8
2 Jambi 12 9 - 3
3 Bintan 5 - - 5
4 Cilamaya 36 36 - -
5 Blanakan 49 20 21 8
6 Gebang 54 24 24 6
7 Ambulu 23 23 - -
8 Mataram 30 10 14 6
9 Samarinda 98 2 29 67
10 Pontianak 30 - 1 29
11 Maros 61 29 12 20
12 Bone 75 55 5 15
13 Teluk Bintuni 55 4 6 45
14 Jayapura 14 6 1 7
Total 625 229 177 219
Berdasarkan Tabel 6, jumlah sampel kepting bakau (Scylla spp.) tertinggi
berasal dari Samarinda yaitu 98 ekor atau 15,68% dari jumlah total sampel,
sedangkan jumah sampel terendahnya berasal dari Bintan yaitu 5 ekor atau 0,8%
dari jumlah seluruh sampel. Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan
selama penelitian ialah Scylla serrata, yaitu 36,64% dari jumlah total sampel,
sedangkan persentase spesies yang paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla
tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari jumlah total sampel. Selanjutnya,
persentase sampel Scylla oceanicayang diperoleh selama penelitian adalah 35,04%
dari jumlah total sampel.
Berdasarkan jumlah sampel yang paling banyak ditemukan di setiap lokasi
penelitian, spesies Scylla serrata mendominasi di 5 lokasi, yaitu Jambi, Cilamaya,
Ambulu, Maros, dan Bone. Sedangkan spesies Scylla tranquebaricamendominasi
di 3 lokasi, yaitu Pidie, Blanakan, dan Mataram. Kemudian spesies Scylla oceanica
mendominasi di 6 lokasi, yaitu Bintan, Samarinda, Pontianak, Teluk Bintuni, dan
Jayapura.
Jumlah sampel Scylla serrataterbanyak berasal dari Bone,yaitu sebanyak 55
ekor atau 24,02% dari jumlah total sampel S. serrata, sedangkan jumlah sampel
terendah berasal dari Bintan dan Pontianak, dimana pada kedua lokasi tidak
-
5/25/2018 Analisa Karakter Morfometrik Dan Meristik Kepiting Bakau
50/112
35
ditemukan S. serratapada saat pengambilan sampel. Selanjutnya, jumlah sampel S.
tranquebarica terbanyak berasal dari Pidie, yaitu sebanyak 64 ekor atau 36,16% dari
jumlah total sampel S. tranquebarica. Jumlah sampel S. tranquebarica terendah
berasal dari Jambi, Bintan, Cilamaya, dan Ambulu, dimana pada keempat lokasi
tersebut tidak ditemukan S. tranquebarica pada saat pengambilan sampel.
Kemudian, jumlah sampel S.oceanica terbanyak berasal dari Samarinda yaitu 67
ekor atau 30,59% dari jumlah total sampel S. oceanica, sedangkan jumlah sampel
terendahnya berasal dari Ambulu dan Cilamaya, dimana pada kedua lokasi tidak
ditemukan S. oceanicapada saat pengambilan sampel.
Tidak ditemukannya kepiting bakau dari setiap spesies di beberapa daerah
penelitian bukan berarti kepiting tersebut tidak menempati habitat di daerah tersebut,
karena distribusi sebaran kepiting bakau ketiga spesies tersebut mencakup hampirseluruh wilayah perairan Indonesia. Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau
ditemukan di perairan payau dan sebagian besar tertangkap di w