1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu produksi budidaya kepiting bakau (Scylla olivacea) dewasa ini
sangat menjanjikan bila dilihat dari nilai jualnya yang mencapai dua kali lipat lebih
tinggi dibanding kepiting berkulit keras. Wahyuningsi (2008) dan Damayanti (2008)
mengaplikasikan vitomolt sebagai stimulan molting kepiting bakau melalui injeksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuntikan vitomolt pada kepiting dapat
mempercepat dan menyerentakkan molting, tidak menyebabkan kematian,
pertumbuhan kepiting yang mendapat aplikasi vitomolt lebih besar dibandingkan
tanpa aplikasi vitomolt. Namun, aplikasi vitomolt yang diberikan dengan cara
penyuntikan kurang efisien dilakukan dalam skala besar. Upaya yang dapat
dilakukan adalah menggunakan pakan buatan sebagai media aplikasi viitomolt.
Susanti (2009) melaporkan bahwa vitomolt juga efektif diaplikasikan melalui pakan
buatan dengan dosis 2 kali injeksi. Namun, pakan yang digunakan masih mahal
karena berbahan dasar ikan dengan kadar protein tinggi.
Aslamyah dan Fujaya (2009) telah berhasil memformulasi pakan buatan yang
lebih murah dengan kadar protein yang lebih rendah. Pakan buatan ber-vitomolt
dengan kadar protein 30,62% dan karbohidrat 41,72% efektif menstimulasi molting
kepiting bakau. Namun demikian, pakan yang digunakan pada percobaan tersebut
belum isokalori.
Diketahui bahwa, selain protein, karbohidrat dan lemak nutrien penting dalam
pakan. Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi dalam pakan. Kadar
karbohidrat dan lemak yang memenuhi kabutuhan energi kepiting bakau diharapkan
berfungsi sebagai protein sparing effect.
2
Disamping fungsinya sebagai sumber energi lemak memiliki fungsi untuk
menopang fungsi senyawa organik sebagai penghantar sinyal, seperti pada
prostaglandin, hormon steroid dan kelenjar empedu (Anonim, 2010 dalam
www.scribd.com, 2010). Ditambahkan oleh Koolman dan Röhn (1995) bahwa lemak
dalam bahan makanan adalah pembawa energi yang penting. Pada pemberian
makanan yang benar, lemak dalam bahan makanan dapat memberikan sekitar 30-
35% energi tambahan. Selain lemak, kepiting bakau juga membutuhkan karbohidrat.
Karbohidrat juga merupakan salah satu makromolekul utama dalam sel organisme
hidup yang mempunyai peran penting sebagai sumber energi, seperti energi
cadangan dalam bentuk glikogen, sebagai komponen dalam struktur membran sel
dan dinding sel (Aslamyah, 2008).
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian respon
molting dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla olivacea) pada berbagai kadar
karbohidrat - lemak dalam pakan buatan isokalori yang diperkaya dengan vitomolt.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi persentase molting dan
pertumbuhan kepiting bakau (Scylla olivacea) pada berbagai kadar karbohidrat-
lemak pakan bervitomolt.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih informasi dan
pengetahuan mengenai pengaruh kombinasi karbohidrat-lemak pakan bervitomolt
untuk memenuhi energi kepiting bakau dalam melakukan aktivitas molting.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Kasry (1996) kepiting bakau (Scylla olivacea) merupakan salah satu
spesies dari famili Portunidae, memiliki asosiasi yang dekat dengan lingkungan
mangrove, sehingga dikenal dengan nama kepiting bakau atau Mud Crab.
Menurut Motoh (1977); Warner (1977); Moosa (1980); dan Keenan (1999)
kepiting bakau dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Mud Crab yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Subfilum : Mandibulata
Klas : Crustacea
Subklas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Raptantia
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla olivacea (Gambar 1).
Gambar 1. Morfologi kepiting bakau (Scylla olivacea).
4
Menurut Kanna (2006) kepiting bakau (Scylla olivacea) memiliki ukuran lebar
karapas lebih besar daripada ukuran panjang tubuhnya dan permukaanya agak licin.
Pada dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri dan disamping kanan
dan kirinya masing-masing terdapat sembilan buah duri. Kepiting bakau jantan
memiliki sepasang capit yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat
daripada panjang karapasnya, sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih pendek.
Selain itu, kepiting bakau juga mempunyai 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki
renang. Kepiting bakau berjenis kelamin jantan ditandai dengan abdomen bagian
bawah berbentuk segitiga meruncing, sedangkan pada kepiting bakau betina
melebar.
Deskripsi Scylla sp. (Herbst, 1796 dalam Fujaya, 2008) adalah:
- Warna bervariasi dari merah orange hingga kecoklatan tergantung habitat.
- Berasosiasi dengan hutan mangrove muara sungai yang digenangi air laut yang
tereduksi selama musim hujan.
- Sering hidup berasosiasi dengan S. tranquebarica.
- Lebih agresif dibanding jenis kepiting bakau yang lain.
B. Pertumbuhan dan Molting
Menurut Fujaya (2008) kepiting tidak dapat tumbuh secara linier sebagaimana
hewan lain karena mereka memiliki cangkang luar yang keras (karapas) yang tidak
dapat bertumbuh. Karenanya agar kepiting dapat bertumbuh maka karapas lama
harus diganti dengan yang baru yang lebih besar. Proses pergantian ini disebut
molting. Ditambahkan oleh Effendy dkk. (2005) pada kepiting bakau, pertumbuhan
merupakan proses perubahan panjang dan bobot yang terjadi secara berkala pada
setiap rangkaian proses pergantian kulit atau molting.
5
Menurut Buwono (2004) pertumbuhan diasumsikan sebagai pertambahan
jaringan struktural, yang berarti pertambahan (peningkatan) jumlah protein dalam
jaringan tubuh. Hampir semua jaringan secara aktif mengikat asam-asam amino dan
menyimpannya secara intraseluler dalam konsentrasi yang lebih besar, untuk
dibentuk menjadi protein tubuh (sel-sel tubuh). Ditambahkan oleh Mujiman (1997)
asam amino adalah bagian terkecil dari protein. Di alam terdapat lebih kurang 50
macam asam amino. Sepuluh macam diantaranya merupakan asam amino
esensial, yaitu asam amino yang mutlak diperlukan oleh tubuh hewan dan harus
tersedia di dalamnya. Sebab asam-asam amino esensial itu tidak dapat dibuat oleh
tubuh hewan itu sendiri. Kesepuluh macam asam amino esensial tersebut adalah
metionin, arginin, triptofan, treonin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, finilalanin dan
valin. Dari kesemuanya itu, yang paling esensial adalah lisin.
Menurut Kuntiyo dkk. (1994) selama masa pertumbuhan menjadi dewasa,
kepiting bakau akan mengalami beberapa kali molting yaitu antara 17 sampai 20
kali. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak dapat
membesar, sehingga perlu dibuang dan diganti dengan yang lebih besar. Setiap
periode (fase intermolt) pertumbuhan kepiting dapat mencapai 20% sampai 30%
dari ukuran semula. Sedangkan menurut Warner (1977) pada kepiting yang masih
kecil penambahan bobot dapat mencapai 400%. Secara keseluruhan, penambahan
bobot pada setiap molting berkisar antara 3% sampai 44%. Ditambahkan oleh
Lavina (1980) pertumbuhan kepiting bakau sejak dari telur sampai dewasa dengan
lebar karapas sekitar 114.2 mm memerlukan waktu minimal 369 hari.
Menurut Fujaya (2008) molting adalah proses sentral dan berkesinambungan
yang terjadi selama hidup kepiting. Ada empat fase dalam siklus molting: intermolt,
premolt (persiapan untuk mencapai molting), molt (molting), dan post molt (recovery
dari molting). Selama intermolt, exoskeleton terbentuk sempurna dan hewan
mengakumulasi calcium dan energi untuk disimpan. Premolt dimulai ketika
6
exsoskeleton yang lama mulai memisahkan diri dari epidermis dan mulai terbentuk
exsoskeleton baru. Calcium dan beberapa nutrien lainnya diabsorbsi dari
exoskeleton lama dan disimpan di dalam daging kepiting dan selanjutnya
dikembalikan pada exoskeleton baru.
Menurut Fujaya (2008) ada beberapa faktor yang mengontrol molting, yaitu
informasi eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperatur, dan ketersediaan
makanan. Selain itu, informasi internal juga sangat berperan, seperti ukuran tubuh
yang membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi
otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormon molting. Ekdisteroid
adalah hormon molting pada kepiting.
C. Hormon Molting
Menurut Gunamalai dkk. (2003) ekdisteroid merupakan hormon streoid utama
pada arthropoda yang memiliki fungsi utama sebagai hormon molting, selain itu juga
mengatur fungsi fisiologi, seperti pertumbuhan, metamorfosis, dan reproduksi.
Hormon ini disekresi oleh organ-Y dalam bentuk ecdysone. Di dalam hemolimph
hormon ini dikonversi menjadi hormon aktif, 20-hydroxyecdysone, oleh enzim 20-
hydroxylase yang terdapat di epidermis organ dan jaringan tubuh lainnya. Titer 20-
hydroxyecdysone dalam sirkulasi bervariasi sepanjang fase molting. Sesaat setelah
ecdysis (molting) titernya sangat rendah dan juga sepanjang fase intermolt. Menurut
Donalson dkk. (1978) aksi metabolik steroid yang paling menonjol adalah
digiatkannya metabolisme protein. Beberapa hasil penelitian menunjukkan terjadi
peningkatan pertumbuhan pada ikan budi daya yang diberi pakan mengandung
hormon steroid sintetik 17 α-metyltestosteron dalam pakan efektif menurunkan
penggunaan protein pakan sampai 20% dan terbukti meningkatkan pertumbuhan
dan efisiensi pakan ikan betutu.
7
Menurut Anonim (2009) dalam repository.ui.ac.id (2009) bahwa organ-Y
(kelenjar endokrin yang terdapat dibagian kepala) menghasilkan hormon molting
ecdysone. Selanjutnya menurut Anonim (2002) dalam o-fish.com (2009) setidaknya
ada dua jenis hormon molting diketahui bertanggung jawab terhadap proses molting,
yaitu hormon Ecdysis dan MIH (Molt Inhibiting Hormone).
D. Kebutuhan Pakan
Kepiting bakau membutuhkan nutrisi untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Afrianto dan Liviawaty (2005) kepiting yang telah dewasa lebih senang
memakan daging, bahkan bangkai juga disukainya. Selanjutnya menurut Kanna
(2006) ukuran pakan disesuaikan dengan kemampuan kepiting dalam
mencengkram pakan, dan Fujaya (2008) melaporkan bahwa keberhasilan
pembesaran kepiting bakau ditambak atau dalam suatu wadah terkontrol sangat
ditentukan oleh kesesuaian pakan yang diberikan, baik jumlah maupun jenis. Lanjut
bahwa, kepiting bakau adalah hewan omnivora scavenger artinya mereka dapat
memakan segala jenis makanan baik hewani maupun nabati bahkan bangkai
sekalipun.
Menurut Karim (2005) manajemen pemberian pakan pada budidaya kepiting
bakau merupakan faktor penentu keberhasilan. Terdapat 5 prinsip yang perlu
dipertimbangkan dalam memilih pakan yang tepat, yaitu: (1) kuantitas, (2) kualitas
(nilai nutrisi dan sanitasi), (3) bentuk dan ukuran, (4) daya tarik, dan ketahanan
(stabilitas) di dalam air (media) (Ilyas dkk, 1987 dalam Karim, 2005).
E. Karbohidrat dan Lemak
Menurut Anonim (2006) crustacea memerlukan karbohidrat dalam jumlah
yang banyak untuk pembakaran dalam proses metabolisme juga diperlukan dalam
sintesis khitin dalam kulit keras, dan karbohidrat dibongkar dari tempat
penyimpannya karena dibutuhkan untuk sintesis protein.
8
Bahan baku pakan yang mengandung karbohidrat antara lain jagung, beras,
dedak, tepung terigu, tapioka, dan sagu. Sebagian bahan di atas, selain berperan
sebagai sumber karbohidrat juga berfungsi sebagai alat perekat (binder) untuk
mengikat komponen bahan baku dalam pembuatan pakan (Afrianto dan Liviawaty,
2005).
Menurut Affandi dkk. (2005) lemak disebut juga lipid, adalah suatu zat yang
kaya akan energi, berfungsi sabagai sumber energi yang utama untuk proses
metabolisme tubuh. Lemak yang beredar dalam tubuh diperoleh dari dua sumber
yaitu dari makanan dan hasil produksi organ hati, yang bisa disimpan di dalam sel-
sel lemak sebagai cadangan energi. Lemak berfungsi sebagai senyawa organik
penghantar sinyal, seperti pada prostaglandin dan hormon steroid dan kelenjar
empedu (Anonim, 2010 dalam www.scribd.com, 2010).
F. Kualitas Air
Menurut Kordi dan Tancung (2007) bagi biota perairan, misalnya ikan, udang,
kerang dan lain-lain, air berfungsi sebagai media, baik sebagai media internal
maupun eksternal. Sebagai media internal, air berfungsi sebagai bahan baku reaksi
di dalam tubuh, pengangkut bahan makanan ke seluruh tubuh, dan sebagai peadap
atau penyangga suhu tubuh. Sementara sebagai media internal, air berfungsi
sebagai habitatnya. Kualitas air merupakan salah satu faktor lingkungan yang
sangat berpengaruh terhadap proses fisiologis oleh organisme. Salah satu
manipulasi untuk mempercepat proses ganti kulit adalah dengan manipulasi
lingkungan (Anonim, 2009 dalam repository.ui.ac.id, 2009).
Menurut Fujaya (2008) kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas 5-36
ppt tetapi selama pertumbuhan mereka lebih menyukai salinitas rendah antara 5-25
ppt. pH yang cocok berkisar antara 7-9. Selain sifat kimia air, kepiting juga tidak
menyukai air yang keruh. Lanjut bahwa, untuk menjaga kualitas air tetap sesuai
9
maka pergantian air setiap hari perlu dilakukan. Dapat disesuaikan dengan kondisi
pasang surut atau kira-kira 30-50% per hari dan penggantian total dilakukan
seminggu sekali.
Menurut Rustam (1989) suhu yang baik untuk kehidupan kepiting bakau
adalah 23-32 oC. Selain itu menurut Boyd (1990) oksigen terlarut sangat esensial
dibutuhkan oleh kepiting bakau untuk respirasi yang selanjutnya dimanfaatkan untuk
kegiatan metabolisme. Oleh sebab itu, kandungan oksigen terlarut harus selalu
dipertahankan dalam kondisi optimum. Secara umum, apabila kandungan oksigen
terlarut rendah (<3 ppm) akan menyebabkan nafsu makan dan tingkat pemanfaatan
rendah. Untuk budidaya kepiting bakau agar pertumbuhannya baik maka kandungan
oksigen sebaiknya lebih besar dari 3 ppm.
Menurut Kuntiyo dkk. (1994) amoniak bersifat toksik sehingga dalam
konsentrasi yang tinggi dapat meracuni organisme. Apabila konsentrasi amoniak
meningkat, maka berpengaruh terhadap permeabilitas organisme dan menurunkan
konsentrasi ion netralnya. Mempengaruhi pertumbuhan dan konsumsi oksigen. Oleh
sebab itu, agar kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik maka konsentrasi
amoniak dalam media tidak lebih dari 0,1 ppm.
10
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2010 di tambak
Bawanamarana, Desa Marana, Kabupaten Maros. Analisis proksimat pakan
dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
B. Materi Penelitian
B.1. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau (Scylla olivacea) jantan dan
betina yang berasal dari Sungai Pallime Kab. Bone dengan bobot tubuh 100 g/ekor.
Hewan uji yang diteliti berjumlah 120 ekor, masing-masing 30 ekor per perlakuan.
B.2. Wadah Penelitian
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah crab box yang berukuran
panjang, lebar, dan tinggi adalah 30 cm x 20 cm x 15 cm. Hewan uji dipelihara
secara individual di crab box yang terletak di atas rakit bambu berpelampung,
sehingga mengapung di atas permukaan air tambak yang memiliki kedalaman + 15
cm.
B.3. Pakan Uji
Pakan yang digunakan adalah 4 jenis pakan buatan isokalori (2850 kkal)/kg
pakan dengan kadar protein 31% pakan di formulasi berbentuk pellet dengan
berbagai persentase karbohidrat-lemak. Komposisi pakan uji dapat dilihat pada
Tabel 1.
11
C. Prosedur Penelitian
Pakan diperkaya dengan vitomolt melalui penyemprotan vitomolt yang telah
diencerkan dengan etanol 80% pada perbandingan 1:1 dan telah dihomogenkan.
Selanjutnya, diencerkan lagi dengan etanol 80% sampai volume 20 mL/kg pakan.
Campuran larutan tersebut disemprotkan secara merata ke pakan buatan dengan
dosis 500 ng/g kepiting uji untuk hari ke 0 hingga hari ke-10 dan 200 ng/g kepiting uji
untuk hari ke-11. Kemudian pakan dikering-anginkan dan disimpan dalam kantong
plastik pengap (packing) hingga siap untuk digunakan.
Hewan uji yang dijadikan sampel terlebih dahulu disortir, kemudian
diadaptasikan selama 4 hari pada kondisi lingkungan penelitian dan pakan uji.
Sebelum diberi perlakuan, dilakukan penimbangan bobot tubuh awal dengan
menggunakan timbangan elektrometris dan pengukuran lebar karapas dengan
menggunakan mistar geser. Kemudian di-marking dengan menggunakan spidol
marker permanen pada bagian dorsal karapas untuk memudahkan dalam
pengamatan. Selanjutnya, kepiting uji dimasukkan dalam wadah pemeliharaan.
Air yang digunakan adalah air laut yang dialirkan secara gravitasi dengan
pergantian air minimal 30% per hari. Frekuensi pemberian pakan uji diberikan satu
kali dalam sehari yakni pada sore hari (17.00 Wita). Persentase pemberian pakan
3% per bobot tubuh harian. Pengamatan dilakukan sampai hewan uji molting.
Penimbangan bobot tubuh dan pengukuran lebar karapas hewan uji dilakukan satu
jam setelah molting.
Parameter kualitas air diukur setiap hari secara langsung di wadah
pemeliharaan meliputi salinitas yang diukur dengan menggunakan
handrefractometer, Suhu dan Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan
metode elektrometris (DO meter), dan pH diukur dengan menggunakan kertas pH
(pH water tester) pada pukul 06.00 dan 18.00 WITa, sedangkan pengukuran amonia
12
diukur pada awal dan akhir pemeliharaan dengan metode spectrofotometer di
Laboratorium Kualitas Air, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin.
D. Perlakuan
Perlakuan yang diujikan adalah 4 jenis pakan buatan isokalori dengan
berbagai kadar karbohidrat- lemak. Perlakuan tersebut adalah:
Pakan A (Karbohidrat 40,10% dan lemak 10,20%)
Pakan B (Karbohidrat 43,26% dan lemak 9,10%)
Pakan C (Karbohidrat 45,19% dan lemak 8,05%)
Pakan D (Karbohidrat 48,89% dan lemak 7,20%)
Penempatan masing-masing untuk percobaan dilakukan secara acak pada
wadah penelitian sebagai berikut:
B.1 B.6 B.9 A.2 A.4 C.1 A.3 C.2 B.10 D.20
B.3 A.10 A.6 B.5 B.7 B.4 C.10 D.18 B.8 B.2
D.16 A.5 A.25 C.3 B.30 B.11 C.7 C.3 A.9 D.19
C.5 D.28 D.14 D.17 A.7 C.4 A.8 A.26 B.12 B.14
A.1 D.27 A.11 B.15 C.8 C.6 C.9 B.16 D.23 A.12
B.13 A.13 C.12 A.14 B.17 A.15 D.30 B.18 A.27 C.11
A.16 D.10 C.14 A.17 D.21 A.29 D.22 C.30 B.20 B.19
B.21 C.15 D.29 D.8 D.11 D.7 A.18 A.28 B.22 D.15
C.13 C.26 C.16 C.17 B.23 C.18 B.24 D.13 D.12 D.24
A.19 B.25 D.2 C.25 B.26 C.21 C.22 D.9 C.19 C.20
D.3 A.20 C.24 D.4 A.21 B.27 D.25 A.22 A.23 C.26
C.23 C.27 D.1 B.28 D.6 D.5 B.29 C.28 A.24 A.30
E. Parameter yang Diamati
Adapun parameter yang diamati selama penelitian meliputi:
E.1. Persentase molting
Persentase molting kepiting uji dihitung dengan menggunakan rumus:
Persentase molting = Hewan uji yang molting x 100 Jumlah hewan uji
13
E.2. Pertumbuhan
Pertambahan bobot tubuh dan lebar karapaks hewan uji di ukur pada awal
penelitian dan pada akhir pengamatan satu jam setelah molting. Pertumbuhan
kepiting uji dihitung dengan menggunakan rumus:
Pertumbuhan mutlak = Bt – Bt Dimana: Bt = Bobot tubuh akhir = Lkt – Lk0 Bt = Bobot tubuh awal
Lkt = Lebar karapaks akhir Lk0 = Lebar karapaks awal
E.3. Mortalitas
Mortalitas hewan uji dihitung dengan menggunakan rumus:
Mortalitas = Jumlah hewan uji yang mati x 100 Jumlah hewan uji
F. Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh respon pemberian pakan terhadap persentase
molting dan pertumbuhan hewan uji maka hasil pengamatan dan pengukuran tiap
parameter dianalisis secara deskriptif.
14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
A.1. Persentase molting
Pemberian pakan buatan ber-vitomolt dengan berbagai kadar karbohidrat-
lemak pada hewan uji menunjukkan bahwa adanya perbedaan terhadap
persentase molting. Data persentase molting pada masing-masing perlakuan dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 2. Molting (%) hewan uji pada masing-masing perlakuan, yaitu pakan A (39,99), pakan B (46,65), pakan C (53,33) dan pakan D (73,34).
Persentase molting yang dihasilkan pada pemeliharaan ini berkisar dari
39,99-73,34%. Persentase molting tertinggi dihasilkan pada perlakuan pakan D
73,34%, diikuti oleh pakan C 53,33%, pakan B 46,65%, dan persentase molting
terendah pada perlakuan pakan A 39,99% (Gambar 2).
A.2. Pertumbuhan
Pemberian pakan ber-vitomolt pada berbagai kadar karbohidrat – lemak
menunjukkan adanya pertumbuhan hewan uji yang ditandai dengan adanya
pertambahan bobot tubuh dan lebar karapaks hewan uji (Gambar 3).
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
A B C D
Mo
ltin
g (
%)
Pakan
15
Gambar 3. Pertambahan bobot mutlak dan lebar karapas mutlak hewan uji pada masing-masing perlakuan
Pertambahan bobot tubuh berkisar dari 9,89-16,28 g. Pertambahan
pertumbuhan bobot tubuh hewan uji tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan D
16,28 g, yang diikuti oleh perlakuan pakan C 13,98 g, pakan B 12,85 g, dan
terendah pada perlakuan pakan A 9,89 g. Pertambahan lebar karapaks hewan uji
tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan D 9,7 mm, yang diikuti oleh perlakuan
pakan C 8,47 mm, pakan B 7,52 mm, dan terendah pada perlakuan pakan A 6,23
mm.
A.3. Mortalitas
Pengaruh pemberian pakan terhadap persentase mortalitas masing-masing
hewan uji dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Mortalitas (%) hewan uji pada masing-masing perlakuan, yaitu pakan A (6,67), pakan B (10,00), pakan C (10,00) dan pakan D (3.33).
9.89
12.8513.98
16.28
6.237.52
8.479.7
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
A B C D
Pe
rtu
mb
uh
an
Bo
bo
t d
an
L
eb
ar
Ka
rap
aks
Pakan
Bobot mutlak (g)
Lebar mutlak (mm)
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
A B C D
Mo
rta
lita
s (
%)
Pakan
16
Persentase mortalitas kepiting uji selama penelitian berkisar antara 3,33%-
10%. Persentase mortalitas tertinggi diperlihatkan oleh perlakuan pakan B dan C
yaitu 10%, yang diikuti oleh perlakuan pakan A yaitu 6,67% dan terendah pada
perlakuan pakan D yaitu 3,33%.
A.4. Kualitas air
Hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran kualitas air
Parameter Kisaran Alat ukur
Suhu (oC) 24,4 – 35,0 DO meter elektrometris Salinitas (ppt) 25 – 37 Handrefractometer
DO (ppm) 0,96 – 8,01 DO meter elektrometris pH 7 – 8 pH water tester
Amonia (ppm) 0,001 – 0,002 Spectrofotometer
B. Pembahasan
Perbedaan komposisi bahan baku yang berakibat pada perbedaan kadar
nutrien masing-masing formulasi pakan buatan ber-vitomolt, mempengaruhi
perbedaan respon molting kepiting bakau (Scylla olivacea) pada masing-masing
perlakuan (Gambar 2). Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005) defisiensi gizi dalam
pembuatan pakan akan mempengaruhi pertumbuhan organisme budidaya.
Selanjutnya, komposisi nutrien pakan esensial akan menentukan pertumbuhan dan
efisiensi pakan organisme (Gutierrez-Yurrita dan Montes, 2001 dalam Karim, 2005).
Persentase molting dan pertumbuhan terbaik terjadi pada perlakuan formulasi
pakan D dengan kadar karbohidrat 48,89% dan lemak 7,20%. Menurut Anonim
(2007) dalam www.pssplab.com (2010) crustacea memerlukan karbohidrat dalam
jumlah yang banyak untuk pembakaran dalam proses metabolisme juga diperlukan
dalam sintesis khitin dalam kulit keras, dan karbohidrat dibongkar dari tempat
penyimpanannya karena dibutuhkan untuk sintesis protein. Penjelasan tersebut di
17
atas menerangkan bahwa jumlah karbohidrat yang lebih banyak pada formulasi
pakan D dibandingkan dengan formulasi pakan C, B dan A, digunakan sebagai
bahan baku energi dalam proses molting, sehingga pemanfaatan protein sebagai
pertumbuhan tidak lagi sepenuhnya dialokasikan sebagai energi dalam proses
molting melainkan untuk pertumbuhan sebagai fungsi utamanya. Menurut
Aslamyah (2008) protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat diganti oleh zat
gizi lainnya, yaitu membangun serta memelihara sel-sel serta jaringan tubuh.
Selanjutnya menurut Steward (1991) glukosa darah merupakan sumber bahan
bakar utama dan esensial untuk metabolisme sel.
Hal tersebut diatas menerangkan bahwa pakan dengan kadar karbohidrat
lebih tinggi pada 4 perlakuan pakan tersebut, memperlihatkan eksistensi fungsinya
sebagai fungsi utama sebagai sumber energi dalam proses molting, sehingga dari 4
perlakuan tersebut memperlihatkan bahwa perlakuan pakan D memiliki keunggulan
dibandingkan oleh pakan C, B dan A.
Kadar lemak yang lebih rendah pada perlakuan formulasi pakan D ternyata
lebih baik dibandingkan dengan perlakuan formulasi pakan C, B dan A. Menurut
Afrianto dan Liviawaty (2005) pakan buatan yang mengandung lemak tinggi,
terutama asam lemak tidak jenuh, akan mengalami masalah dalam penyerapan.
Lemak sangat mudah teroksidasi menjadi peroksida dan senyawa toksik lainnya.
Lanjut bahwa, penggunaan pakan buatan yang telah mengalami proses oksidasi
akan menurunkan nafsu makan, menghambat pertumbuhan, menyebabkan
pigmentasi, serta menurunkan kadar hemoglobin dan hematokrik. Namun, lemak
berfungsi sebagai senyawa organik penghantar sinyal, seperti pada
prostaglandin dan hormon steroid dan kelenjar empedu (Anonim, 2010 dalam
www.scribd.com, 2010). Hal ini menerangkan bahwa perlakuan formulasi pakan
D yang memiliki kadar lemak 7% lebih rendah dari formulasi pakan lainnya
memiliki pengaruh lebih optimal terhadap persentase molting dan pertumbuhan
18
karena keberadaan vitomolt sebagai fitoekdisteroid dalam pakan yang juga
merupakan hormon steroid utama pada arthropoda yang memiliki fungsi utama
sebagai hormon molting (Gunamalai dkk, 2003).
Mengingat hal tersebut di atas ternyata dalam pelaksanaan penelitian hewan
uji tersebut juga mengalami mortalitas, hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi
fisiologis maupun kondisi lingkungan hewan uji selama pemeliharaan. Menurut
Loseke (2003) berkaitan dengan persentase mortalitas pada arthropoda terjadi
sekitar 80% hingga 90% akibat molting yang tidak sempurna. Kematian akibat
molting yang tidak sempurna bisa diakibatkan oleh faktor internal organisme. Selain
pertumbuhan akan dipengaruhi oleh lingkungan media budidaya hewan uji, hal ini
dapat terjadi oleh karena derajat kecernaan karbohidrat – lemak akan dipengaruhi
oleh kondisi lingkungannya sehingga kebutuhan akan energi dalam proses molting
tidak tercukupi. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005) menjelaskan bahwa faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap kebutuhan asam lemak sebagai sumber
energi adalah suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio ω6 : ω3 menurun
dengan menurunnya suhu, namun kebutuhan asam lemak rantai panjang
meningkat. Selanjutnya, menurut Rosas dkk. (1991) dalam Karim (2005) konsumsi
oksigen pada krustacea dapat digunakan sebagai aseptor elektron dalam strategi
kehidupan dan aktivitas siklus harian organisme.
Selama pelaksanaan penelitian telah dilakukan pengukuran parameter
kualitas air (Tabel 1) yang menjelaskan bahwa kisaran suhu antara 24,4-35,0 oC,
Salinitas 25- 37 ppt, DO 0,96 – 8,01 ppm, pH 7-8, dan amonia berada pada kisaran
0,001- 0,002 ppm. Namun, menurut Fujaya (2008) tambak pemeliharaan sebaiknya
mempunyai kedalaman 0,8-1,0 meter dengan salinitas air antara 15-30 ppt.
Selanjutnya, menurut Rustam (1989) suhu yang baik untuk kehidupan kepiting
bakau adalah 24 -32 oC. Untuk budidaya kepiting bakau agar pertumbuhannya baik
19
maka kandungan oksigen sebaiknya lebih besar dari 3 ppm (Kuntinyo dkk, 1994
dan Christensen dkk, 2005 dalam Ghurdi, 2006).
20
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pakan buatan
yang diperkaya vitomolt dengan dosis 700 ng/g kepiting uji dengan persentase
karbohidrat 49% dan lemak 7% paling baik menstimulasi molting dan pertumbuhan
kepiting bakau (Scylla olivacea) dengan menggiatkan produk energi untuk
pertumbuhan dan molting.
B. Saran
Mengingat bahwa persentase kadar karbohidrat dan lemak untuk memenuhi
kebutuhan energi dalam proses pertumbuhan dan molting dalam kesehariannya,
maka perlu pengkajian mengenai kadar optimal karbohidrat-lemak yang terkandung
dalam suatu formulasi pakan untuk kepiting bakau (Scylla olivacea).
21
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R., D. S. Sjafei, M. F. Rahardjo, dan Sulistiono. 2005. Fisiologi ikan, pencernaan dan penyerapan makanan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Afrianto, E dan E. Liviawaty. 2005. Pemeliharaan kepiting. Kanisius. Yogyakarta. Anonim. 2002. Molting. [online] http://o-fish.com/Crayfish/molting_1.php [04
November 2009]. Anonim, 2006. Budidaya Kepiting Bakau. Makalah. Dalam Sarasehan dan Temu
Konsultasi Teknologi Pendayagunaan Tambak Tanah Sulfat Masam Untuk Budidaya di Tarakan, Kaltim pada Tanggal 6 Juni 2006. Hal 1-16.
Anonim. 2007. Glikogen. Polton Sports Science and Performance Lab. [online]
http://www.pssplab.com/id-carbohydrate03.php. [06 Oktober 2009]. Anonim. 2009. Molting dan pertumbuhan daur hidup dan reproduksi (mater kuliah)
[online] http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/d2d7e694145df50dc36c199 16058fedecb9a2d3e.pdf [04 November 2009].
Anonim. 2010. Metabolisme Karbohidrat pada Crustacea (abstrak). [online]
http://www.scribd.com/doc/27163046/Metabolisme-Karbohidrat-Pada-Crustacea [09 Mei 2010].
Aslamyah, S. 2008. Pembelajaran Berbasis SCL pada Mata Kuliah Biokimia Nutrisi
(laporan modul). FIKP. Jurusan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Aslamyah, S. dan Y. Fujaya. 2009. Pengembangan pakan buatan yang murah,
berkualitas dan ramah lingkungan (Laporan I). Stranas. Makassar Buwono, I. D. 2004. Kebutuhan asam amino esensial dalam ransum ikan. Kanisius.
Yogyakarta. Boyd, C. E. 1990. Water quality for pond aquaculture. Alabama: Birmingham
Publishing Co. 328 p. Damayanti, A. 2008. Pengaruh Frekuensi Penyuntikan Vitomolt Terhadap Molting
Kepiting Bakau (Scylla olivaceous). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Donalson, E.M., U.H.M. Fegerlund, D.A. Higgs, and J.R. McBrede. 1978. Hormonal
enchantment of growth. dalam Hoar, W.S., D.J. Rondal and J.R. Bret. (eds). Fish Physiology. Vol VIII. Academic Press, New York. Hal 456 – 597.
Effendy, S., Faidar, Sudirman dan E. Nurcahyono. 2005. Pemeliharaan rajungan
(Portunus pelagicus Limneus) pada berbagai tingkat salinitas media. Laporan Penelitian. Balai Budidaya Air Payau. Takalar.
Fujaya, Y. 2007. Mempersiapkan kepiting menjadi komoditas andalan. Fajar, 5 Mei
22
Fujaya, Y. 2008. Kepiting komersil di dunia, biologi, pemanfaatan, dan
pengelolaannya. Citra Emulsi. Makassar. Ghurdi, 2006. Pengaruh rasio protein per energi pakan terhadap kelangsungan
hidup dan pertumbuhan kepiting bakau betina. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Gunamalai, V., R. Kirubagaran and T. Subramoniam. 2003. Sequesration of
ecdisteroid hormone into the ovary of the mole crab, emerita asitica. (Milne Edwards). Currents Science, 85 (4): 493 – 496.
Kanna, I. 2006. Budidaya kepiting bakau, pembenihan dan pembesaran. Kanisius.
Yogyakarta. Karim, M.Y. 2005. Kinerja pertumbuhan kepiting bakau betina (Scylla serrata
Forsskal) pada berbagai salinitas media dan evaluasinya pada salinitas optimum dengan kadar protein berbeda (disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kasry, A. 1996. Kepiting bakau dan biologi ringkas. Bharata. Jakarta. Keenan C. P. 1999. The fouth spesies of scylla. dalam Mud crab aquaculture and
biology. ACIAR proceedings. 78. ACIAR. Canberra. 48 – 58. Kuntiyo, Z. Arifin dan T. Supratomo. 1994. Pedoman budidaya kepiting bakau
(Scylla serrata) di tambak. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Air Payau. Jepara.
Kordi, M. G. H. dan A. B. Tancung. 2007. Pengelolaan kualitas air dalam budidaya
perairan. Rineka Cipta. Jakarta. Koolman dan Röhn (1995) Lavina, F. 1980. Notes on the biology and aquaculture of Scylla serrata. Phillipines:
SEAFDEC Dept. Loseke, L. 2003. All About Molting. [online]. http://crabstreetjournal.com/articles. [21
Desember 2010]. Mujiman, A. 1997. Makanan ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. Moosa, M. K. 1980. Systematical and zoogeographical observation the Indo-West
Pasific Portunidae. LON-LIPI. Jakarta. Hal 1 – 138. Motoh, H. 1977. Biological synopsis of alimango, Genus Scylla. Quart. Res. Rep.
SEAFDEC. 3 : 136 – 157. Rustam, A. 1989. Percobaan pematangan gonad dan pemijahan kepiting bakau
(Scylla serata) pada berbagai jenis dan ketebalan substrat. Seminar Teknologi Perikanan Pantai, Denpasar 6 – 7 Agustus 1989. Hal 182-185.
23
Steward, M. 1991. Blood sugar regulation. p. 291 – 321. dalam Steward, M. (Editor). Animal physilogy. Thompson Litho, Ltd. London.
Susanti, H. 2009. Pengaruh Dosis Vitomolt Dalam Pakan Kepiting Bakau (Scylla
olivacea) Terhadap Molting. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Wahyuningsih, S. A. 2008. Pengaruh Dosis Penyuntikan Vitomolt Terhadap Molting
Kepiting Bakau (Scylla olivaceous). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Warner, G. F. 1977. The Biology of crab. Elek Scientific Book Ltd. London.
24
Lampiran 1. Komposisi nutrien pakan uji.
Komposisi Pakan Formula
A B C D
Air (%) 10.55 10.16 10.30 10.20
Abu (% bk) 13.52 12.01 11.11 8.15
Protein (% bk) 30.20 30.40 30.15 30.06
Lemak (% bk) 10.20 9.10 8.05 7.20
Serat Kasar (% bk) 5.98 5.23 5.50 5.70
BETN (% bk) 40.10 43.26 45.19 48.89
DE (kkal/kg.)*) 2885.70 2882.60 2837.05 2857.55
C/P (DE/g Protein) 9.56 9.48 9.41 9.51 Keterangan *) Hasil perhitungan berdasarkan persamaan energi (NRC, 1998).
1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE 1 g protein = 3,5 kkal DE 1 g lemak = 8,1 kkal DE
Lampiran 2. Data perhitungan hasil penelitian terhadap 120 ekor hewan uji
perperlakuan
Parameter Perlakuan Pakan
A B C D
Molting
10 - 20 hari - 13.33 3.33 10.00
21 - 30 hari 3.33 13.33 13.33 26.67
31 - 40 hari 13.33 3.33 10.00 6.67
41 - 50 hari - 3.33 16.07 20.00
51 - 60 hari 23.33 13.33 10.00 10.00
40.00 % 46.67 % 53.33 % 73.33 %
48 ekor 56 ekor 64 ekor 88 ekor
Tidak molting 53.33 % 43.33 % 36.67 % 23.33 %
64 ekor 52 ekor 44 ekor 28 ekor
Mortalitas 6.67 % 10.00 % 10.00 % 3.33 %
8 ekor 12 ekor 12 ekor 4 ekor
25
Lampiran 3. Foto lokasi, alat ukur, wadah pemeliharaan (crab box) dan hewan uji penelitian.
26
Top Related