LARINGITIS TUBERKULOSIS

7
LARINGITIS TUBERKULOSIS Pendahuluan Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan laring yang hampir selalu merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis paru aktif (Lee, 2003). Ballenger (1994) memaparkan bahwa dahulu penyakit ini banyak ditemukan pada kelompok usia muda (20-40 tahun), namun dalam 20 tahun terakhir insidensinya meningkat secara nyata pada kelompok umur 60 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, serta banyak di antaranya adalah peminum alkohol. Di Indonesia, belum terdapat publikasi data epidemiologi laringitis tuberkulosis yang mencakup skala nasional. Penelitian oleh Purnanta (2005) di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (Januari 2000- Desember 2004) didapatkan 15 pasien dengan diagnosis laryngitis tuberculosis. Insidensi terbanyak adalah pada kelompok umur 60- 69 tahun (30%), sedangkan perbandingan pada jenis kelamin pasien perempuan dan laki-laki adalah 45%:55%. Etiopatogenesis Laringitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini hampir selalu merupakan komplikasi tuberkulosis paru aktif. Penelitian oleh Bailey menyebutkan bahwa hanya 6% dari 37 pasien laringitis tuberkulosis yang tidak

Transcript of LARINGITIS TUBERKULOSIS

Page 1: LARINGITIS TUBERKULOSIS

LARINGITIS TUBERKULOSIS

Pendahuluan

Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan laring yang hampir selalu merupakan

infeksi sekunder dari tuberkulosis paru aktif (Lee, 2003). Ballenger (1994) memaparkan

bahwa dahulu penyakit ini banyak ditemukan pada kelompok usia muda (20-40 tahun),

namun dalam 20 tahun terakhir insidensinya meningkat secara nyata pada kelompok

umur 60 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut dengan keadaan ekonomi

dan kesehatan yang buruk, serta banyak di antaranya adalah peminum alkohol.

Di Indonesia, belum terdapat publikasi data epidemiologi laringitis tuberkulosis

yang mencakup skala nasional. Penelitian oleh Purnanta (2005) di RSUP Dr.Sardjito

Yogyakarta menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (Januari 2000-Desember

2004) didapatkan 15 pasien dengan diagnosis laryngitis tuberculosis. Insidensi terbanyak

adalah pada kelompok umur 60-69 tahun (30%), sedangkan perbandingan pada jenis

kelamin pasien perempuan dan laki-laki adalah 45%:55%.

Etiopatogenesis

Laringitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini

hampir selalu merupakan komplikasi tuberkulosis paru aktif. Penelitian oleh Bailey

menyebutkan bahwa hanya 6% dari 37 pasien laringitis tuberkulosis yang tidak disertai

dengan keterlibatan tuberculosis paru (Purnanta, 2005).

Hermani dan Abdurrachman (2004) menyebutkan bahwa infeksi Mycobacterium

tuberculosis ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum, ataupun aliran

darah dan limfa yang membawa bakteri tersebut. Invasi ke laring oleh Mycobacterium

tuberculosis selanjutnya mencetuskan terjadinya laringitis dan menimbulkan gangguan

sirkulasi sehingga dapat terjadi edema pada fosa interaritenoid, korda vokalis, plika

ventrikularis, epiglotis, serta subglotis.

Menurut Lee (2003), lokasi tuberkulosis laring yang paling sering adalah pada

posterior laring, yaitu pada lipatan interaritenoid. Lokasi paling sering berikutnya adalah

pada permukaan epiglotis. Sedangkan penelitian oleh Purnanta (2005), menunjukkan

Page 2: LARINGITIS TUBERKULOSIS

lokasi tersering laringitis tuberkulosis adalah pada korda vokalis (30%), tepatnya di

bagian posterior korda vokalis.

Stadium Klinis

Secara klinis menurut Hermani dan Abdurrachman (2004) laringitis tuberkulosis terbagi

dalam 4 stadium, yaitu:

1. Stadium Infiltrasi

Awal stadium ini ditandai dengan pembengkakan dan hiperemis pada mukosa laring

posterior, pada beberapa kasus korda vokalis juga dapat terkena. Selain itu mukosa laring

berwarna pucat.

Pada tahap selanjutnya di daerah submukosa terbentuk tuberkel-tuberkel yang

menyebabkan mukosa tidak rata dan tampak berbintik-bintik kebiruan. Makin lama

tuberkel kian membesar dan beberapa di antaranya yang berdekatan menyatu sehingga

mukosa di atasnya meregang. Apabila regangan makin kuat, mukosa dapat robek dan

timbul ulkus.

2. Stadium Ulserasi

Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi dapat membesar dan memiliki karakter

dangkal dengan dasar yang ditutupi perkejuan, selain itu juga dirasakan sangat nyeri oleh

pasien.

3. Stadium Perikondritis

Pada stadium ini ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring (paling sering

terkena adalah kartilago aritenoid dan epiglotis). Akibatnya terjadi destruksi kartilago dan

terbentuk pus yang berbau. Proses peradangan akan berlanjut dan terbentuk squester.

Keadaan umum pasien sudah sangat buruk bahkan dapat meninggal dunia.

4. Stadium Fibrotuberkulosis

Pasien yang mampu bertahan dari stadium perikondritis masuk ke stadium terminal:

stadium fibrotuberkulosis, di mana terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior,

korda vokalis, dan subglotik.

Page 3: LARINGITIS TUBERKULOSIS

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis laringitis tuberkulosis menurut Lee (2003), meliputi:

1. Hoarseness, dapat berlangsung selama berminggu-minggu

2. Hemoptisis

3. Disfagia (sering ditemukan pada pasien)

4. Pada beberapa kasus dapat ditemukan dispnea akibat edema laring dan

kontraksi jaringan ataupun destruksi di bawah kartilago.

Sedangkan penelitian oleh Purwanta (2005) menunjukkan bahwa hoarseness merupakan

manifestasi klinis yang paling sering ditemukan (73%). Durasi munculnya hoarseness

umumnya berlangsung selama 3 bulan (53%) dan antara 3-6 bulan (30%)

Penegakan Diagnosis dan Diagnosis Banding

Penegakan diagnosis laringitis tuberkulosis selain dari anamnesis, pemeriksaan klinis

dengan laringoskopi direct maupun indirect, juga diperlukan pemeriksaan penunjang

laboratorium (BTA sputum), foto roentgen thorax (dilakukan sedini mungkin), dan

patologi anatomi (Lee, 2003). Secara umum dapat disebutkan bahwa pemeriksaan lab dan

radiologi terutama ditujukan untuk menemukan penyakit tuberkulosis paru pada pasien

suspek laringitis tuberkulosis, sedangkan temuan spesifik untuk laringitis tuberkulosis

sendiri tidak ada.

Menurut Ballenger (1994), secara histopatologi dikenal dua macam lesi pada

laringitis tuberkulosis, yaitu: lesi eksudatif (ditandai fase inflamasi akut difus dengan

infiltrasi rongga subepitel oleh sel-sel eksudat non spesifik) dan lesi produktif (ditandai

dengan tuberkel avaskular berisi daerah perkejuan di tengah yang dikelilingi sel epiteloid

dengan sel mononukleus pada perifer). Laringitis tuberkulosis harus dibedakan dengan

penyakit granulomatosis kronik laring lainnya dengan gejala yang mirip, yaitu: lupus

laring, laringitis luetika, laringitis lepra, dan karsinoma laring.

Page 4: LARINGITIS TUBERKULOSIS

Penatalaksanaan

Terapi laringitis tuberkulosis pada dasarnya ditujukan terhadap penyakit tuberkulosis

paru yang diderita, yaitu dengan pemberian obat-obatan anti tuberkulosis. Selain itu bila

diperlukan juga dapat ditambahkan analgesik opioid ataupun injeksi nervus laring

superior dengan procaine (novocaine) untuk menghilangkan rasa nyeri. Bila terdapat

obstruksi jalan nafas perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakeostomi. Bedah

definitif diperlukan untuk fiksasi sendi krikoaritenoid bilateral yang menimbulkan

obstruksi dan disfungsi glotis. Selama pengobatan berlangsung pasien diwajibkan

istirahat suara/voice rest (Lee,2003).

Prognosis

Menurut Hermani dan Abdurrachman (2004), prognosis laringitis tuberkulosis

dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi, kebiasaan hidup sehat, dan ketekunan pasien

dalam berobat. Lee (2003) menyebutkan bahwa prognosis yang baik dapat dicapai bila

penyakit didiagnosis dan diobati pada stadium dini, namun bila terdapat manifestasi lokal

dan keterlibatan kartilago maka prognosis akan lebih buruk.

Page 5: LARINGITIS TUBERKULOSIS

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger, J.J., 1993. Diseases of Nose, Throat, Ear, Head and Neck.

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,1994 (Alih Bahasa),

Binarupa Aksara, Jakarta

2. Hermani, B., Abdurrachman, H., 2004, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-

Hidung-Tenggorok Kepala Leher (5th edition), Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta

3. Lee, K.J., 2003, Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery (8th edition),

McGraw-Hill Companies,inc., United States of America

4. Purnanta, M.A., 2005. Laryngitis Tuberculosa in ENT Department Dr.Sardjito

Hospital Yogyakarta Year 2000-2004. http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?

id=jkpkbppk-gdl-res-2005-marief-2080-laryngitis&q=sardjito