Lapsus Kejang Demam

download Lapsus Kejang Demam

of 23

description

lapsus kejang demam

Transcript of Lapsus Kejang Demam

BAB ILAPORAN KASUS

1.1. Identitas Penderita Nama: An. Latifa Salsabila Usia: 2 tahun 8 bulan Alamat: Ds. Pacul RT 017/RW 001, Bojonegoro Status: - Tanggal MRS: 4 Agustus 2015 jam 19.30 WIB

Ibu N a m a : Ny. Sekarsari (Alm) U m u r : 45 tahun Pekerjaan: IRT Pendidikan : SMA

Ayah N a m a : Tn. Sujarwo U m u r : 50 tahun Pekerjaan: Swasta Pendidikan : S1

1.2. Keluhan UtamaKejang

1.3. Riwayat Penyakit SekarangPasien kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang sebanyak tiga kali. Pasien kejang diawali dengan badan panas sampai 390C yang diperiksa di Bidan. Kejang mulai dengan kepala menengadah dan mata tertutup lalu disusul dengan tangan dan kaki kelojotan. Selama kejang pasien tidak menangis dan tidak sadar. Kejang pertama berlangsung selama 30 deti, 15 menit kemudian disusul kejang kedua berlangsung selama 30 detik. Selang 5 menit terjadi kejang ketiga berlangsung selama 60 detik. Setelah kejang pertama pasien sadar dan langsung menangis. Setelah kejang kedua dan ketiga pasien langsung tidak sadar dan dibawa ke RS. Badan panas muncul sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien panas sumer-sumer kemudian terjadi panas tinggi 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Panas dirasakan menetap tidak naik turun walaupun diberi obat penurun panas. Selama panas pasien tidak mengigau ataupun menggigil. Pasien mengeluh Batuk sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk dirasakan grok-grok tapi dahak susah keluar. Sekalinya keluar kental warna kuning. Batuk dirasa jarang-jarang terutama setiap pagi hari. Diminumkan obat dari bidan tapi batuk tidak mereda. Pasien muntah 6 kali sebanyak 1/4 gelas aqua setiap muntah, sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah juga diawali dengan mual. Muntah berisi cairan susu, tidak disertai lendir maupun darah. Nafsu makan dan minum pasien berukurang sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.Pasien sudah buang air besar (BAB) teakhir 3,5 jam sebelum masuk rumah sakit dengan konsistensi keras dan berwarna kuning kecoklatan. Pasien buang air kecil (BAK) terakhir 3,5 jam sebelum masuk rumah sakit berwarna kuning, tidak terasa panas ataupun nyeri.

1.4. Riwayat Penyakit DahuluOrang tua pasien mengatakan dulu pernah masuk rumah sakit sebanyak 5 kali selama 1 tahun terakhir ini karena kejang.

1.5. Riwayat Penyakit KeluargaAyah pasien punya riwayat kejang pada saat usia < 5 tahun.

1.6. Riwayat pengobatan1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan obat panas. Selama di puskesmas pasien tidak mengalami kejang, setelah sampai rumah pasien mengalami kejang. Setelah itu pasien dirujuk ke rumah sakit.

1.7. Riwayat alergiAlergi obat dan makanan disangkal.

1.8. Riwayat Kehamilan dan PersalinanPasien merupakan anak pertama lahir normal dengan usia kehamilan 9 bulan, dibantu bidan di puskesmas, langsung menangis, berat lahir 2400 gram. Badan pasien saat lahir tidak kuning, tidak pucat. Selama kehamilan berlangsung Ibu pasien tidak sempat menderita penyakit.

1.9. Riwayat Imunisasi BCG : (+) Hepatitis: (+) DPT: (+) Polio : (+) Campak: (+) Kesimpulan : Imunisasi Lengkap

1.10. Pemeriksaan FisikA. Keadaan Umum: Kesadaran: Alert Kesan sakit: Sakit Sedang BB: 22 kg TB: 107 cm Lla: 20 cm LK: 50 cm Usia : 2 tahun 8 bulan

B. Vital Sign: Nadi: 140 x/ menit (reguler ) RR: 40 x/ menit (reguler) Suhu: 39.8 C (axiller ) Tensi: 90 / 65 mmHg

C. Kepala/Leher:1) A/I/C/D : -/-/-/-2) Mata : Pupil isokor ki = ka Conjunctiva palbebra inf pucat (-) Oedema palpepbra (-) Cowong (-)3) Telinga: Pendengaran baik Bentuk normal Sekret ( - / - )4) Hidung: Pernafasan cuping hidung (-) Epistaksis (-) Sekret (-) Deviasi septum nasi (-)5) Mulut : Sianosis (-) Labium Oris kering (-) Lidah tifoid (-) Tonsil tidak terdapat pembesaran Petichie pada palatum mole (-)

6) Leher: Simetris Pembesaran KGB (-) Pembesaran Kelenjar tyroid (-)

D. Thorak :1. Paru: Inspeksi: Simetris Palpasi: Simetris Perkusi : Sonor++

++

--

Auskultasi: Rhonki dan Wheezing ( - ) di

kedua lapangan paru2. Jantung : S1 S2 tunggal reguler Mur-Mur (-) Gallop (-)

E. Abdomen : Inspeksi: Distended ( - ) Auskultasi : Bising usus ( + ) Normal Palpasi : Hepar / Lien tidak ada pembesaran Ginjal tidak ada pembesaran Massa ( - ) Nyeri tekan (-)

Perkusi: Metoerismus ( - ) Shifting dullness( - )

F. Genitalia: Tak tampak kelainan

G. Ektremitas : Akral hangat, kering dan merah dikeempat ekstremitas Capillary refill time < 2 detik Oedema (-) Arteri Dorsalis Pedis Lemas (-) Petichie (-)

F. Pemeriksaan Tambahan : Rumple Leed Test (-) Mengingeal Sign: Kaku kuduk (-) Brudzinski I-IV (-) Laseque (-) Kernig sign (-)

1.11. Problem List Kejang Demam Batuk

1.12. Asessment Observasi konvulsi DD : Kejang Demam Sederhana Kejang Demam Kompleks Meningitis Encefalitis Epilepsi

Observasi Febris hari-2DD: ISPA Bronkitis Dengue Fever Hepatitis

1.13. Planning1.14.1. Planning Diagnosis Lab Darah Lengkap Rumple Leed Test SGOT/SGPT Lab Serum Elektrolit Glukosa Darah Acak (GDA) Lumbal Punksi (Analisis CSF) EEGHasil lab darah lengkap yang bermakna (04-08-2015) : Leukosit: H 14. 2(normal: 5.0 13.5) Hematokrit: L 33. 6(normal: 34.6 40) PDW: H 13. 2(normal: 9.0 -13.2) P-LCR: H 31.8(normal: 15.0 29.0) Limfosit : L 14. 2(normal: 30 60) Monosit: H 13. 7(normal: 2 6) Neutrofil : H 67. 5(normal: 30 40)

1.14.2. Planing Terapi Infus Ringer Asetat 1540 cc/24 jam Injeksi Diazepam 5,5 mg I.V. (p.r.n) Injeksi Ceftriaxone 2 x 220 mg I.V. Paracetamol Syrup 3 x 9,16 ml (3 x II cth) p.r.n Maintenace Kejang Syr. Asam Valproat 330 mg setiap kali (250mg/5ml) 2 x cth 1 a.c. Observasi keadaan umum dan kesadaran, tanda-tanda vital. Edukasi keluarga pasien tentang terapi, prognosis dan kemungkinan komplikasi yang terjadi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISIKejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau autonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak (Nia Kania;2007). Demam pada anak merupakan salah satu masalah yang masih relevan untuk para praktisi pediatri. Demam merupakan tanda adanya kenaikan set-point di hipotalamus akibat infeksi atau adanya ketidakseimbangan antara produksi dan pengeluaran panas. Definisi demam adalah keadaan suhu tubuh diatas suhu normal, yaitu suhu tubuh diatas 380C. Suhu tubuh adalah suhu visera, hati, otak, yang dapat diukur lewat oral, rektal, dan aksila (Ismoedijanto;2000).Kejang Demam adalah suatu bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Darto Saharso;2008).

2.2 ETIOLOGILangkah selanjutnya setelah diyakini bahwa serangan saat ini adalah kejang adalah mencari penyebab kejang. Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan untuk tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi. Adapun etiologi kejang yang tersering pada anak adalah sebagai berikut: (Nia Karnia;2007)a Kejang demamb Infeksi : meningitis, ensefalitisc Gangguan metabolik : Hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan d Trauma kepalae Keracunan: alkohol, teofilinf Penghentian obat anti epilepsig Lain-lain: ensefalopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik Kejang Demam merupakan penyebab kejang yang paling sering dijumpai pada anak,biasanya terjadi antara usia 3 bulan sampai 5 tahun dengan perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan hamper sama. Insiden kejang demam pada anak mencapai 15 %. Di Amerika Serikat 2-5 % anak akan mengalami kejang demam, sementara di Negara-negara lainnya seperti jepang angka kejadian lebih tinggi yaiyu 6-9 %. Kejang Demam dapat dibagi menjadi dua jenis yang berbeda berdasarkan pada fenotipe dan durasi kejang yaitu kejang demam sederhana (65%) dan kejang demam komplek (35 %). Faktor resiko seperti usia,durasi kejang,suhu pada saat kejang dan riwayat keluarga dapat memberikan predictor akan berkembang menjadi masalah neurologis di masa depan (Sri Redjeki;2014).

2.3 PATOFISIOLOGIKejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi (F Fuadi;2010). Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama Na+ , K+, dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan menurunya potensial membran. Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini melemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang sedemikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel saraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotrasnmitter. Bila perangsangan telah selesai, maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen (F Fuadi;2010). Beberapa teori mekanisme terjadinya kejang yaitu : (F Fuadi;2010). a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia. b. Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia. c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat. Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakaan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak. Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut (F Fuadi;2010) :a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/imatur. b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel. c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron. d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.

Kejang Demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas menyebabkan gangguan perdaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakaan sel neuron (F Fuadi;2010).

2.4 KLASIFKASI Kejang Demam SederhanaKejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam (Hardiono DP dkk;2006). Kejang Demam Kompleks Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: (Hardiono DP dkk;2006).1. Kejang lama > 15 menit2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam (Hardiono DP dkk;2006). Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam (Hardiono DP dkk;2006).

2.5 KRITERIA DIAGNOSADiagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, sangat penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada tabel berikut: (Nia Kania: 2007)KeadaanKejangMenyerupai Kejang

OnsetTiba-tibaMungkin gradual

Lama seranganDetik/menitBeberapa menit

KesadaranSering tergangguJarang terganggu

SianosisSeringJarang

Gerakan ekstremitasSinkronAsinkron

Stereotipik seranganSelaluJarang

Lidah tergigit atau luka lainSeringSangat jarang

Gerakan abnormal bola mataSelaluJarang

Fleksi pasif ekstremitasGerakan tetap adaGerakan hilang

Dapat diprovokasiJarangHampir selalu

Tahanan terhada gerakan pasifJarangSelalu

Bingung pasca seranganHampir selaluTidak pernah

Iktal EEG Abnormal SelaluHampir tidak pernah

Pasca iktal EEG abnormalSelaluJarang

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadunya kejang, kemudian mencari kemungkinan adanya faktor pencetus atau penyebab kejang. Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang (Nia Kania: 2007). Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma akut kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan neurologis fokal. Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebab (Nia Kania: 2007).Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar glukosa darah, elektrolit dan hitung jenis (Nia Kania: 2007).Dalam anamnesis, biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga lainnya (Ayah, Ibu, atau Saudara Kandung). Pada pemeriksaan neurologis, tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengvaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah). Pemeriksaan radiologi, X-ray kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi (Darto Saharso: 2008). Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS), tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut: (Darto Saharso: 2008)1. Bayi < 12 bulan : diharuskan2. Bayi 12-18 bulan : dianjurkan3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis Pemeriksaan EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal) (Darto Saharso: 2008). 2.6 MANIFESTASI KLINISGejala klinis yang muncul tergantung jenis kejangnya. Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu : (Darto Saharso: 2008)1. Kejang Demam Sederhana (Simple febrile seizure), dengan ciri-ciri gejala sbagai berikut: Kejang berlangsung singkat < 15 menit Kejang umum tonik dan atau klonik Umumnya berhenti sendiri Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam2. Kejang Demam Komplikata (Complex febrile siezure), dengan ciri-ciri sebagai berikut: Kejang lama > 15 menit Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah (Hardiono DP dkk;2006). Pungsi Lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klininsnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada: (Hardiono DP dkk;2006)1. Bayi Sangat dianjurkan dilakukan2. Bayi antara 12-18 bulan --> dianjurkan3. Bayi >18 bulan --> tidak rutin Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal (Hardiono DP dkk;2006).Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau meperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak boleh direkomendasikan (level II-2, rekomendasi E). Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal (Hardiono DP dkk;2006).Imaging/Pencitraan Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-Scan atau MRI jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi tertentu seperti: (Hardiono DP dkk;2006)1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)2. Paresis nervus VI 3. Papiledema

2.8 KOMPLIKASIKomplikasi yang dapat terjadi apabila tidak diterapi dengan baik adalah sebagai berikut: (Darto Saharso: 2008) 1. Kejang demam berulang2. Epilepsi3. Kelainan motorik4. Gangguan mental dan belajar

2.9 PENATALAKSANAANBiasanya kejang demam berlangsung singkat pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah Diazepam yang diberikan secara Intravena. Dosis diazepam I.V adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/x perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg (Hardiono DP dkk;2006).Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan BB10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (Hardiono DP dkk;2006).Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit (Hardiono DP dkk;2006).Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg BB/x (Hardiono DP dkk;2006).Bila kejang tetap belum berhenti diberikan Fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/KgBB/x dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal (Hardiono DP dkk;2006).Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif (Hardiono DP dkk;2006).Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya (Hardiono DP dkk;2006).Penanganan suportif lainnya meliputi : (Darto Saharso: 2008)1. Bebaskan jalan napas 2. Pemberian oksigen 3. Menjaga keseimbangan air dan elektrolit4. Pertahankan keseimbangan tekanan darahUntuk pencegahan kejang dapat digunakan beberapa obat pilihan sebagai berikut : (Darto Saharso: 2008)1. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/kgBB/dosis PO dan antipiretik pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam. 2. Pencegahan kontinyu untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40 mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis.

Algoritma Penanganan Kejang Akut dan Status Konvulsi Pada Anak(SMF Anak RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro)

Phenobarbitone 20 mg/Kg/IV (Rate > 5-10 min; max 1g)30-60 minPrehospitalDiazepam 5-10 mg perektal max 2x jarak 5 menit0-10 menitHospital/EDAirwayBreathingCirculationDiazepam 0,25-0,5 mg/KgBB/IV/IO (Rate 2 mg/min, Max dose 20 mg)10-20 menitMonitoringVital sign EKGGula DarahSerum elektrolit (Na, K, Ca, Mg, Cl)Analisa Gas Darah Koreksi KelainanAtauMidazolam 0,2 mg/KgBB/IV BolusAtauLorazepam 0,5-0,1 mg/KgBB/IV (Rate 38 C dan tanpa adanya defisit neurologi dengan Meningeal Sign (-) yang merupakan ciri demam terjadi karena adanya proses di ekstrakranium. Termasuk dalam Kejang Demam Kompleks (Complex febrile siezure), dengan ciri-ciri sebagai berikut:1. Kejang lama > 15 menit2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.Untuk penyebab demamnya pada pasien An. Latifa Salsabila didiagnosa banding dengan ISPA karena terdapat Batuk yang sudah berlangsung selama 3 hari dan juga disertai demam. Planing diagnosa berupa lab darah lengkap yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada infeksi pada pasien. Rumple Leed tes dilakukan apakah adanya tanda-tanda perdarahan untuk menyingkirkan diagnosa banding Dengue Fever. Lab serum elektrolit bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan atau penurunan jumlah elektrolit yang memicu terjadinya demam dan kejang. Lab gula darah acak bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh kadar gula darah pasien terhadap munculnya kejang pada pasien. Liver function test ditujukan untuk mengetahui fungsi hepar pasien dan menyingkirkan diagnosa banding hepatitis. Lumbal pungsi dilakukan dengan persetujuan dari pasien atau keluarganya, hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis atau ensefalitis. EEG diusulkan dengan persetujuan dari pasien atau keluarganya yang berfungsi untuk melihat adanya kelainan dalam gelombang otaknya untuk menyingkirkan diagnosa banding epilepsi. Planing terapi berupa cairan kristaloid diberikan dengan rincian sebagai berikut:BB pasien 22 kg Kebutuhan cairan maintenance=100 cc untuk 10 kg pertama + 50 cc untuk 10 kg kedua + 20 cc untuk sisa dari berat badan pasien= (100x10 )+(50x10)+(20x2)= 1540 cc/24 jamPada pasien ini juga diberikan terapi Diazepam IV dengan dosis 5,5 mg didapatkan dari perhitungan dosis Diazepam 0,25-0,5 mg/kgBB/kali (22x0,25 = 5,5 mg/kali) yang diinjeksi kalau terjadi kejang. Paracetamol sirup 120mg/5ml 3 x cth II (p.r.n) diberikan untuk menurunkan panas pasien. Untuk rumatan kejang diberikan sirup Asam Valproat 250mg/5ml 2 x cth 1 setelah atau bersamaan dengan makanan. Diberikan injeksi ceftriaxone 2 x 220 mg IV karena terdapat tanda infeksi pada saluran pernapasan atas dan adanya leukositosis pada hasil laboratorium. Setelah terapi medikamentosa diberikan pasien juga diobservasi keadaan umumnya dan kesadarannya serta diawasi tanda-tanda vitalnya seperti Tekanan darah, Nadi, Respiratory Rate dan Suhu tubuh pasien. Pemberian edukasi kepada keluarga pasien tentang terapi yang diberikan selam perawatan bertujuan agar keluarga pasien mengerti tentang terapi yang diberikan dan ikut kerjasama serta mendukung dalam pemberian terapi medikamentosa tersebut. Edukasi tentang kemungkinan prognosis pada kasus tersebut seperti kemungkinan terjadinya kejang berulang, kemungkinan terjadinya kematian, dan kemungkinan menjadi epilepsi. Serta menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada kasus kejang demam.

DAFTAR PUSTAKAFuadi F. 2010. Kejang Demam Pada Anak. Semarang : UNDIP. eprints.undip.ac.id/29064/2/Bab_2.pdf Ismoedijanto, dkk. 2000. Demam Pada Anak dalam Sari Pediatri Vol. 2 No. 2. Surabaya: Devisi Penyakit Infeksi dan Pediatri Tropik, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UNAIR. (Halaman 103-108).Kania, Nia. 2007. Kejang Pada Anak dalam Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung. Bandung: AMC Hospital. Pusponegoro, Hardiono D. et al. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI. Suharso, Darto dkk (2008). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya : Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo.WHO (2009). Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta : WHO.

24