Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Hematologi - Kelompok B7 Angkatan 2012
Laporan Tutorial I - Kelompok 4
description
Transcript of Laporan Tutorial I - Kelompok 4
LAPORAN TUTORIAL I
Oleh:
KELOMPOK 4
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2008
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
SKENARIO 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
LEARNING OBJECTIVE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
MAPPING KONSEP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .56
1
SKENARIO IDEMAM LIMA HARI
Sapto, anak lai-laki berumur lima tahun, menderita demama sejak lima hari lalu.
Ibunya sudah memberinya kompres dan obat penurun panas. Setelah minum obat, suhu
tubuhnya turun menjadi normal untuk beberapa jam, tapi setelah itu naik lagi. Tadi
malam Sapto panas lagi dan memngigau, panasnya mencapai suhu 40˚C sapto juga
mengeluh sakit ketika menelan. Beberapa hari sebelum sakit, Sapto mengalami luka
robek dikakinya akibat terjatuh dari sepeda dan sekarang mengalami inflamasi.
Beberapa teman bermain Sapto juga sedang mengalami batuk pilek tapi tidak ada yang
mengalami demam seperti Sapto. Ibunya sangat panik dan membewanya ke IRD RSU
Mataram. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan nadi 108 kali/menit, reguler, kuat: suhu
39,5˚C; tonsila palatina dekstra-sinistra edema dan hiperemis.
Bagaimana mekanisme terjadinya demam pada Sapto? Bagaimana pula peran
sisitem imun tubuh Sapto melawan antigen enyebab penyakitnya?
2
LEARNING OBJECTIVE
1. Bagaimana hubungan antara proses inflamasi dan mekanisme sistem imun tubuh?
2. Bagaimana respon imun tubuh terhadap infeksi?
3. Jelaskan anatomi, fisiologi dari organ limfoid, komponen sistem imun dan
mekanisme spesifik/cara kerja?
4. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kerja sistem imun?
5. Jelaskan pengertian dari antigen dan antibodi?
6. Jelaskan mengenai komplemen dan jalur pengaktifannya?
7. Jelaskan mengapa panas Sapto dapat naik kembali setelah turun beberapa jam?
8. Adakah hubungan antara luka dangan sakitnya tonsila palatina yang edema dan
hiperemis? Apa yang menyebabkan tonsila palatina edema dan hiperemis?
9. Jelaskan mekanisme terjadinya demam, terutama yang berhubungan dengan
infeksi?
3
MAPPING KONSEP
Hiperemis
Organ(Anatomi &
fisiologi) Mek. kerja
Faktor yangmempengaruhi
Luka
Infeksi Gangguan Tubuh
Sistem Imun Inflamasi Edema +Hiperemis
Demam
Jenis
4
PEMBAHASANSISTEM LIMFOID
Sistem limfoid mencakup semua sel, jaringan, dann organ yang mengandung
kumpulan limfosit. Limfosit tersebar di seluruh tubuh berupa kumpulan sel terisolasi.
Sistem lymfoid yang utama berupa organ yang bekerja baik pada imunitas spesfik
maupun non spesifik. Adapun yang termasuk dari sistem lymfoid utama dalam tubuh
kita adalah:
Tonsil
Beberapa sumber membagi tonsila menjadi 3 macam dan ada pula yang
membaginya menjadi 4 macam, antara lain Tonsila Palatina, Tonsila Lingua, Tonsila
Faringea, dan Tonsila tuba.
Tonsila palatine (fausial), terdapat sepasang dan menempati daerah antara
lengkung gloso-palatina dan faring-palatina.
Tonsila Lingua terdapat pada pangkal lidah di belakang papilla sirkumvalata.
Tonsila lingua ini terdiri atas kumpulan sumur-sumur epithelial yang bermuara
lebar dan masing-masing dikelilingi oleh jaringan limfoid.
Tonsila faringea merupakan kumpulan jaringan limfoid di dinding belakang
medial nasofaring. Jaringan limfoidnya sama seperti pada tonsila palatine.
Tonsila tuba. Terkadang tonsila tuba dianggap sebagai kelompok tonsila
tersendiri. Setiap tonsila tuba terletak di sekeliling muara faringeal tuba faring-
timpani (auditiva) dan membentuk perluasan tonsila faringea ke lateral.
5
Thymus
Timus adalah organ yang terletak di mediastinum superior, anterior terhadap
keluarnya pembuluh besar dari jantung. Ia meluas dari pangkal leher, ke kranial, ke
kantung perikard, ke kaudal. Ia terdiri dari dua lobus, pada embrio muncul pada
primordia terpisah pada masing-masing sisi garis tengah, namun kemudian menyatu
oleh jaringan ikat. Timus memperoleh berat relatif paling tinggi pada akhir
kehidupan fetal, namun berat absolut tetap meningkat, mencapai 30-49 g pada saat
pubertas.
Epitel yang malapisi permukaan luarnya adalah epitel selapis pipih (mesothel).
Capsula yang membungkus thymus tersususn oleh jaringan ikat padat dengan serabut
elastis. Capsula yang masuk ke dalam membentuk trabekula. Trabekula akan
membagi organ thymus menjadi lobuli. Stroma terdiri dari capsul yang tersusun dari
jaringan ikat padat dan serabur elastis. Capsul masuk ke dalam lobus membentuk
septum interlobularis dan membagi lobus menjadi lobuli-lobuli. Setiap lobuli terdiri
atas korteks yang terlihat lebih padat dan medula yang pucat. Pada medulla
ditemukan hassall’s body.
Timus adalah satu-satunya organ limfoid primer yang telah diidentifakasi tuntas,
yaitu pada mamalia. Timus adalah organ pertama menjadi limfoid karena itu disebut
limfoblas asal-darah kantung kuning telur, dan kemudian dari hati. Mereka ini
berdiferensiasi menjadi limfosit-T dalam lingkungan mikro khusus dari timus. Di
dalam timus mengalami proliferasi intensif, tidak tergantung stimulasi antigen dan
setelah differensiasi, menghuni limfosit perifer. Limfosit-T ini sanggup
melaksanakan berbagai fungsi dalam respon imun bermedia sel dan bekerjasama
dengan limfosit-B dalam respon imun humoral.
6
7
Nodus lympaticus
Limfonodus adalah organ-organ kecil berderet sepanjang jalan pembuluh limfe.
Mempunyai struktur cortex dan medula. Capsula yang membungkus organ ini
dibentuk oleh jaringan ikat fibrous dengan pembuluh darah kecil. Bagian cortex yang
masuk ke dalam organ akan membentuk trabekula yang memisahkan noduli-noduli
lympatici. Ruang/daerah antara capsula dengan noduli lympatici disebut sinus
trabecularis, sedangkan ruang-ruang yang terdapat pada medula disebut sinus
medularis. Bagian tengah dari nodulus lympatici yang terlihat lebih pucat disebut
pusat germinal. Limfonodus mengandung banyak makrofag yang membersishkan
limfe dari mikroorganisme dan zat renik yang masuk. Fungsi histofisiologinya,
limfonodus merupakan penyaring sangat efektif. Salah satu fungsinya adalah
membatasi penyebaran bakteri dan sel-sel ganas, dengan mengangkatnya dari limfe
sebelum memasuki darah melalui torasikus. Dinding tipis kapiler
8
Lien
Lien atau spleen adalah salah satu organ lympaticus sekunder yang terletak
intraperitoneal di regio hypochondriaca sinistra (left upper quadrant). Karena
termasuk organ intraperitoneal, semua bagiannya terbungkus lapisan peritoneum,
kecuali bagian hilum (tempat keluar masuknya arteri dan vena). Spleen pada keadaan
normal selalu berada dalam region costalis (terletak dalam fleksura colica sinistra),
tepatnya antara costa ke-9 hingga costa ke-11. antara costa dan lien dipisahkan oleh
struktur diaphragma dan costodiaphragmatic recess.
Lien memiliki ukuran, bentuk dan berat yang bervariasi pada masing-masing
individu. Bagian permukaan dari lien terdiri atas bagian anterior dan superior yang
berbentuk tajam dan bagian posterior dan inferior yang membulat. Bagiab superior
disebut margo superior dan sebelah inferior disebut margo inferior. Ujung posterior
disebut ektremitas posterior dan ujung anterior disebut ekstremitas anterior. Facies
diaphragmatica adalah bagian yang berbatasan dengan diaphragma dan bentuknya
mengikuti cekungan diaphragma. Bagian yang berbatasan dengan gaster disebut
facies gastrica. Dan yang berbatasan dengan colon disebut facies colica.
Lien berhubungan dengan bagian posterior dinding abdomen dan dihubungkan
pada curfatura mayor dari dinding abdomen oleh ligament gastroslenicum, dan
dihubungkan pada ren sinistra oleh ligament splenorenale. Ligament ini terdiri atas
pembuluh lienalis, dan terhubung pada bagian medial lien di daerah hilum. Bagian
hilum ini juga terhubung pada bagian caudal pancreas.
Vaskularisasi dari lien dilakukan oleh arteri spenica atau arteri lienalis dan vena
splenica atau vena lienalis. A. splenica adalah cabang terbesar dari trunktus celiacus.
Diantara lapisan dari ligament splenorenale, arteri splenica terbagi atas lima atau
lebih cabang “proper splenic” yang memasuki bagian hilim dari lien. V. splenica
terdiri atas beberapa pembuluh yang keluar dari hilum. Pembuluh ini dihubungkan
oleh IMV dan berjalan kearah belakang tubuh dan melewati pancreas. V. splenica
bergabung vena mesenterica superior di daerah posterior leher penkreas untuk
membentuk vena portal. Pembuluh limpatic splenica meninggalkan kelenjar lympha
di hilum dan melewati pembuluh splenica menuju kelenjar lympha
9
pancreaticosplenica. Persarafan lien berasal dari plexus celiacus, yang dominant
terdistribusi sepanjang cabang artery splenica dan berfungsi sebagai vasomotor.
Secara histology spleen terdiri atas pulpa merah yang berfungsi sebagai tempat
penghancuran eritrosit dan pulpa putih yang terdiri atas jaringan limfoid. Limpa tidak
memiliki korteks atau medulla seperti pada limfonoduli, namun terdapat limfonoduls
di seluruh bagiannya. Struktur lien terdiri dari stroma dan parenchym. Stromanya
tersusun oleh kerangka collagen dan retikular. Lien dibungkus oleh capsula. Capsul
tertutup oleh peritoneum yang terdiri dari sel selapis pipih (mesotel). Capsula
dibentuk dari jaringan ikat fibrous (terdiri dari serabut collagen dan elastis) dan
sedikit otot polos. Bagian cortex yang masuk ke dalam organ akan membentuk
trabekula. Tersusun atas jaringan fibrous padat dan sedikit otot polos. Di dalam
trabekula juga terdapat arteir trabekularus. Parenchym terdiri atas pulpa alba/putih
dan pulpa rubra/merah. Pada pulpa putih ditemukan arteri centralis dan pusat
germinal. Pulpa merah terdiri dari sinusoid yang terisi darah.
Limpa adalah organ limfoid terbesar. Salah satu fungsi utamanya adalah
menyaring darah yang dilakukan oleh pulpa putih. Struktur pulpa putih yang berupa
jejaring retikular padat, berfungsi sebagai penyaring yang efektif untuk antigen,
mikroorganisme, trombosit, dan eritrosit tua. Materi yang terperangkap akan dibuang
dari darah oleh makrofag dan sel reticular fagositik. Selain itu, pulpa putih berisi
limfonoduli dan merupakan tempat utama produksi limfosit dalam lien.
Pulpa merah menyerupai sponge yang terbentuk dari eritrosit; disini merupakan
tempat terjadinya eliminasi eritrosit yang sudah tua atau rusak. Makrofag akan
10
menghancurkan hemoglobin dari eritrosit tua. Sehingga besi dapat didaur ulang, besi
yang telah didaur ulang akan dikemalikan ke sum-sum tulang agar dapat dipakai lagi
untuk membentuk eritrosit baru. Sedang heme dari hemoglobin akan dieksresikan ke
dalam empedu.
Semasa kehidupan fetal, lien adalah organ hemopoietik yang menghasilkan
granulosit dan eritrosit. Namun setelah lahir, kemampuan ini hilang. Limpa juga
dapat berfungsi sebagai reservoar darah karena srukturnya yang longgar mirip spons.
Kulit
Seluruh pemukaan tubuh manusia terselubungi oleh lapisan yang disebut kulit.
Bagian luar biasa disebut kulit dan bagian dalam yang basah, yang melindungi
bagian permukaan tubuh disebut mukosa. Merupakan organ terbesar, 16 % dari barat
badan, sebagai organ pelindung utama dan pertama dalam sistem pertahanan tubuh.
Organ ini termasuk dalam kategori imunitas non-spesifk
11
Kulit terdiri atas dua lapisan utama, epitel permukaan disebut epidermis dan
lapisan ikat dibawahnya dermis atau korium. Di bawah dermis terdapay selapis
jaringan ikat longgar, hipodermis, yang pada beberapa tempat, terutama terdiri atas
jaringan lemak. Hipodermis pada gilirannya, melekat secara longgar pada fasia
dalam atau periousteum tulang di bawahnya.
Integumen manusia tidak memiliki bulu, sisik, atau duri yang berfungsi
protektif seperti pada hewan yang lebih rendah, namun kreatinisasi berat sel-sel
epitel dan adanya materi ekstrasel kaya lipid dalam stratum korneum jelas sedikit
banyak memberi proteksi terhadap kerusakan mekanik, hilangnya cairan, dan keratin
adalah komponen dari sitoskelet banyak jenis sel epitel, namun tidak ada yang
sebanyak didalam epidermis, dan aneka ragam keratin dalam kulit memberi kesan
bahwa mereka memiliki fungsi spesifik. Dua keratin, K8 dan K18 umumnya
ditemukan dalan epitel selapis. Pada epidermis, sintesis keratin jauh lebih kompleks,
menghasilkan 3 tipe asam tipe-1 (K10, K11, K14) dan tiga keratin basa tipe-2 (K1,
K2, K5). Lagi pula macam-macam keratin berbeda dihasilkan dalam tahap-tahap
sitomorfosis sel epidermis. Sel-sel yang dekat dasar epitel mengandung keratin relatif
kecil, sedangkan yang dilapis yang diatas memiliki keraktin relatif.
Untuk fungsi imunologik, kulit dengan permukaannya yang luas, secara terus-
menerus terpapar terhadap iritans, toksin, virus dan bakteri. Ditemukannya sel-sel
didalam epidermis untuk menanggulangi subtansi antigenik dari lingkungan
sekitarnya sebenarnya sama saja dengan adanya konsentrasi sel-sel demikian didalam
lamina propria saluran cerna sebagai pertahanan terhadap antigen usus. Ada sejumlah
kecil limfosit didalam epidermis. Sebagian besar darimpopulasi itu adalah limfosit-T
imatur, yang menetap di kulit dan berimigrasi ke dalam epidermis setelah
maturasinya yang berawal di timus. Bila sediaan kulit dipaparkan terhadap antibody
berlabel fluoresein terhadap timopoietin, yaitu sebuah hormon yang mempengaruhi
maturasi sel-T di timus, maka antibody terikat pada sitoplasma keratinosit di lapis
basal epidermis. Sel-sel yang sama juga memiliki tiga petanda permukaan jelasyang
ditemukan di plasmalema sel-sel epitel dari timus. Dapat disimpulkan, bahwa
keratinoit menghasilkan timopoietin atau zat serupa yang membantu maturasi pasca-
timus dari limfosit-T setempat. Bila menghadapi tantangan imunologik, mereka juga
mampumenghasilkan interleukin-1, sebuah sitokin yang terikat pada limfosit-T dan
berakibat pembebasan interleukin-2, yang merangsang proliferasi limfosit-T. Limfisit
12
demikian dapat masuk ke pembuluh limf dan disebarkan ke seluruh tubuh. Jadi
keratinosit merupakan bagian penting dalam pertahanan imun kulit dan tubuh.
Sel-sel langerhans dari epidermis barasal dari sumsum tulang dan melalui darah
dibawa ke kulit, tempat mereka menempatkan diri di antara keratinosit serta
mengambil bentuk dendritik. Seperti makrofag dan sel retikulum jaringan limfoid,
sel langerhan memproses antigen dan menyajikannya pada limfosit-T helper dalam
bentuk yang dapat memicu respon imun.
13
IMUNOLOGI DASAR DAN RESPON IMUN
IMUNITAS ALAMIAH/NONSPESIFIK/BAWAAN
Merupakan respon imun yang telah ada sejak lahir yang tidak didapat melalui kontak
dengan agen asing (nonself) yang disebut sebagai antigen. Imunitas ini bersifat tidak
spesifik dan mencakup berbagai sawar terhadap agen-agen infeksi. Meliputi :
Fagositosis terhadap bakteri dan penyerbu lainnya oleh sel darah putih
dan sel pada system makrofag jaringan
Pengrusakan oleh asam lambung dan enzim pencernaan terhadap
organisme yang tertelan ke dalam lambung
Daya tahan kulit terhadap invasi organisme
Adanya senyawa kimia tertentu dalam darah yang melekat pada
organisme asing atau toksin dan menghancurkannya, misalnya lisozym,
polipeptida dasar, kompleks komplemen, dan limfosit pembunuh alami
Adapun pembagian sistem imun non-spesifik adalah:
Sawar fisik
Kulit : sedikit mikroorganisme yang mampu menembus kulit intak, tetapi banyak
yang dapat masuk melalui kelenjar keringat atau sebasea dan folikel rambut serta
menetap disana. pH asam dan zat kimia tertentu (terutama asam lemak) yang
dimilikinya mempunyai sifat antimikroba yang cenderung mengeliminasi
organisme-organisme patogenik.
Membrane mukosa : bila organism masuk ke dalam tubuh melalui membrane
mukosa maka cenderung akan diambil oleh fagosit dan diangkut ke dalam saluran
limfatik regional yang membawanya ke kelenjar getah bening.
Mekanisme batuk dan bersin untuk mengeluarkan benda-benda asing dari
saluran nafas dan saluran cerna.
Sawar larut: berupa penghancuran secara biokimia (asam lambung dan
lisozim) atau secara humoral (oleh komplemen dan interferon)
14
Sawar selular; dilakukan oleh sel-sel fagosit (mononuklier dan
polimorfonuklier) dan sel-sel humoral (sel NK, sel mast dan basofil)
Mekanisme
Pertahanan tubuh yang utama dan pertama dilakukan oleh sawar fisik. Jika sawar
ini dalam keadaan baik, akan cukup efektif dalam mekanisme pertahanan tubuh
tahap awal. Kerusakan pada sawar fisik akan memudahkan pajanan agen asing
langsung kedalam tubuh.
Respon dini terhadap infeksi terjadi beberapa jam pertama meliputi penelanan
mikroorganisme oleh makrofag (fagositosis) dan aktivasi komplemen melalui
jalur alternatif.
Pertahanan berikutnya meliputi pelepasan sitokin dari makrofag dan pelepasan
mediator lain yang mencetuskan respons radang sebagai penghalang penyebaran
pathogen sampai respons adaptif spesifik dimulai.
System Retikuloendotelial : melibatkan sel-sel fagositik MN yang terdapat dalam
darah, jaringan limfoid, hati, limpa, sumsum tulang, paru dan jaringan lain yang
efisien dalam pengambilan dan pembuangan bahan partikulat dari saluran limf
dan aliran darah.
Jalur alternative aktivasi komplemen : jalur ini dapat diaktivasi oleh permukaan
mikroba dan terus berlangsung pada keadaan tanpa antibody. Protein komplemen
memiliki beberapa sifat anti mikroba yang berperan untuk pertahanan pejamu
termasuk opsonisasi, lisis bakteri, dan amplifikasi respons radang melalui
anafilatoksin C5a, C4a, dan C3a.
Fagositosis : fungsi utama sel-sel fagositik adalah migrasi, kemotaksis, mencerna,
dan membunuh mikroba. Fagositosis dapat terjadi pada keadaan tanpa antibody
serum, terutama jika dibantu oleh arsitektur jaringan. Oleh karena itu sel-sel
fagositik tidak efisien di ruang terbuka yang halus seperti pleura atau pericardium.
Respons peradangan : respons imun bawaan pada makrofag meliputi pelepasan
sitokin, termasuk interleukin-1 (IL-1) dan factor nekrosis tumor-α (TNF-α).
Mediator lain yang dilepaskan oleh makrofag teraktivasi adalah prostaglandin dan
leukotrien.
15
Demam : zat-zat yang dapat menimbulkan demam (pirogen) antara lain adalah
endotoksin bakteri gram negative dan sitokin yang dilepaskan dari sel-sel limfoid
seperti IL-1. Cedera mekanis langsung atau pemajanan zat kimiawi akan
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus yang kemudian akan
menimbulkan demam.
Interferon: merupakan ekspresi protein antivirus yang dicetuskan oleh infeksi
virus. Protein-protein ini disebut interferon-α (IFN-α) dan interferon-β (IFN-β),
berbeda dengan interferon-γ (IFN-γ) yang dihasilkan limfosit teraktivasi. IFN-α
dan IFN-β membantu pengendalian replikasi virus dengan cara menghambat
sintesis protein dalam sel.
Sel pembunuh alami (NK) : sel-sel tersebut berperan dalam sitotoksisitas selular
yang bergantung pada antibody (antibody-dependent cellular cytotoxicity, ADCC)
dan mempunyai peran pada fase dini infeksi oleh herpes virus dan pathogen-
patogen intrasel lainnya. Sel NK tidak mengekspresikan reseptor spesifik antigen.
Sel ini mempunyai dua jenis reseptor permukaan, termasuk “reseptor pengaktif”
yang mengenali ligand karbohidrat dan :reseptor inhibitor” yang mengenali
molekul MHC I.
IMUNITAS ADAPTIF/DIDAPAT/SPESIFIK
Merupakan imunitas yang terjadi setelah pajanan terhadap suatu antigen, bersifat
spesifik dan diperantarai oleh antibody maupun sel limfoid.
Respons adaptif dapat bersifat humoral (diperantarai antibody), selular (diperantarai
sel), atau keduanya.
Respons imun yang diperantarai antibody
Limfosit T-helper (CD4) mengenali antigen pathogen yang membentuk kompleks
dengan protein MHC II di permukaan sel penyaji antigen (makrofag atau sel B)
sitokin mengaktifkan sel B antibody spesifik dengan antigen sel B
berpoliferasi klonal dan berdiferensiasi sel plasma antibody
Respons imun yang diperantarai sel
Limfosit T-helper (CD4) mengenali kompleks antigen MHC II ; Limfosit T-
sitotoksik (CD8) mengenali kompleks antigen MHC I tiap kelas sel T
mengahsilkan sitokin aktif berpoliferasi klonal
16
Aktifitas sel T-helper selain merangsang sel B untuk menghasilkan antibody,
membantu terjadinya hipersensitivitas tipe lambat, dan demikian juga berperan
dalam pertahanan tubuh melawan agen-agen intraselular, termasuk bakteri intrasel
(misal: mikobakteri), fungi, protozoa, dan virus.
Aktifitas sel T-sitotoksik terutama ditujukan untuk destruksi sel pada tandur
jaringan, sel-sel tumor, atau sel-sel yang terinfeksi oleh beberapa virus.
RESPON IMUN SELULER
Imunitas seluler atau respon imun seluler, adalah respon imun yang
dilaksanakan oleh limfosit T. saat tubuh terpajan ke suatu imunogen, sel-sel T
berproliferasi dan mengarahkan reaksi seluler dan subseluler pejamu untuk bereaksi
terhadap epitop spesifik.
Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama: fungsi regulator dan fungsi
efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T
penolong (juga dikenal sebagai sel CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang
dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan
oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin-sitokin
dari sel CD4 mengendalikan proses-proses imun, seperti pembentukan
imunoglobulin oleh sel B, pengaktifan sel T lain dan pengaktifan makrofag. Fungsi
efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (juga dikenal sebagai sel CD8). Sel-sel CD8
mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor, dan jaringan
transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran
“asing”.
Pendidikan timus
Baik sel CD4 maupun sel CD8 menjalani “pendidikan timus” di kelenjar timus
untuk belajar mengenai fungsi. Teori delesi klonal memberikan salah satu penjelasan
bagaimana cara sel T mempelajari fungsinya. Saat mencapai timus, sel-sel T imatur
tidak memilki reseptor pengikat epitop dan protein CD4 atau CD8. peran reseptor
epitop di sel T imatur adalah mengikat epitop antigenik. Peran protein CD4 dan CD8
pada sel T matang adalah untuk menstabilkan interaksi antara sel T dan sel lain.
Dengan demikian, sel T matang yang meninggalkan timus memiliki reseptor untuk
17
mengikat suatu epitop dan protein CD4 (menyebabkannya menjadi sel TCD4, atau
dikenal sebagai sel helper) atau sel CD8 ( menyebabkannya menjadi sel TCD8 atau
sitotoksik atau penekan)
Apabila sel T harus siap melaksanakan fungsinya saat meninggalkan timus,
maka sel tersebut pertama-tama perlu mengenal epitop-epitop asing dan kedua
memiliki protein CD4 atau CD8 yang fungsional. Dengan demikian, pendidikan
timus menghasilkan sel T CD4 atau sel T CD8 dengan fungsi berikut:
a. sel mengenali sel diri lainnya dari antigen MHC dan tidak berikatan dengan sel
tersebut
b. sel yang menandai sel asing sebagai penyerang
c. sel yang dapat berikatan dengan sel asing dengan protein CD4 atau CD8
fungsional untuk menstabilkan interaksi antara dua sel.
Sel-sel yang berpotensi reaktif terhadap antigen diri dan komponen MHC juga
mungkin dihasilkan tetapi di timus sel-sel tersebut dihilangkan.
Fungsi regulator sel CD4
Sel-sel CD4 terutama terdapat pada medula timus, tonsil, dan darah, membentuk
sekitar 65% dari seluruh limfosit T yang beredar. Sel CD4 memiliki empat dungsi
utama: (1) sel CD 4 memiliki regulatorik yang mengaitkan sistem monosit –
makrofag ke sistem limfoid; (2) sel CD 4 berinteraksi dengan APC untuk
mengendalikan pembentukan imunoglobulin; (3) sel CD4 menghasilkan sitokin-
sitokin yang memungkinkan sel CD4 dan CD8 tumbuh; (4) sel CD4 berkembang
menjadi sel pengingat.
Salah satu fungsi regulatorik essensial pada sel CD4 adalah perannya
mengaitkan sistem monosit-makrofag dengan sistem limfoid. Apabila makrofag
menelan suatu imunogen misalnya bakteri, maka makrofag tersebut akan
menguraikan imunogen tersebut. Epitop-epitop bakteri adalah salah satu produk
desktruksi bakteri tersebut. Sebuah epitop berikatan dengan antigen MHC makrofag
(MHC kelas II) yang menyebabkan berkibarnya kompleks MHC-epitop “seperti
bendera” di permukaan sel makrofag. “bendera” ini mengaktifkan sel CD4, yang
reseptor antigennya juga berikatan dengan kompleks epitop-MHC. Interaksi antara
18
sel fagositik dan sel limfoid ini adalah suatu keterkaitan esensial yang
memungkinkan tubuh bertahan terhadap serangan benda asing. Interaksi antara sel
fagositik dan sel limfoid menyatukan dua sistem tubuh yang kuat, menjadi suatu
sistem pertahanan yang melinfungi diri dari benda asing seumur hidup. Interaksi
antara APC dan sel CD4 menghasilkan fungsi regulator tambahan. Sel-sel CD4
dalam reaksi ini mengeluarkan interferon-gama (γ) (suatu sitokin) setelah APC dan
sel CD4 menyatu. Pengeluaran interferon-γ oleh sel CD4 menarik makrofag lain ke
lokasi, mengaktifkan makrofag tersebut, dan memperkuat reaksi jaringan terhadap
antigen asing.
Sel-sel CD4 memilki fungsi regulatorik penting lainnya, terutama berkaitan
dengan pembentukan imunoglobulin. Saat menyajikan epitop, APC berinteraksi
dengan sel CD4 den mengaktifkannya. Sel-sel CD4 yang sudah diaktifkan akan
menghasilkan zat-zat kimia atau limfokin. Sitokin-sitokin ini dan berbagai interaksi
lain merangsang sel B membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma, yaitu sel B
matang yang mampu menghasilkan imunoglobilin. Dengan demikian, sel CD4
essensial untuk merangsang sel B menghasilkan imunoglobulin. Selain itu pola
sitokin kepada sel B yang terpajan memengaruhi susunan gen yang memerlukan tipe
antibodi yang dihasilkan.]
Fungsi efektor sel CD8
Limfosit CD8 yang ditemukan terutama di sumsum tulang dan GALT,
membentuk sekitar 35% dari seluruh limfosit yang beredar. Sel-sel CD8 melakukan
dua fungsi efektor utama: hipersensitivitas tipe lambat dan sitotoksisitas.
Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat imunogen organisme intrasel seperti fungus
atau mikobakteri menimbulkan respon alergi.
Sitotoksisitas terutama berperan dalam menghancurkan sel yang terinfeksi virus,
penolakan cangkokan, dan desktruksi sel tumor. Semua sel dalam tubuh memiliki
salah satu tipe antigen MHC (MHC kelas I) yang dapat memperlihatkan epitop virus
di permukaan sel. Sel CD8 mengenali kompleks MHC-epitop tersebut dan, dengan
bantuan sel CD4, membentuk klona sel CD8 spesifik untuk epitop virus tersebut. Sel
CD8 kemudian mengeluarkan perforin (zat kimia toksik yang merusak membran luar
sel yang terinfeksi) dan granzymes (enzim-enzim protease). Perforin membentuk
19
sebuah lubang menembus sel sehingga cairan ekstrasel dapat masuk ke dalam sel.
Selain itu, DNA sel mengalami penguraian, memicu terjadinya apoptosis, atau
kematian sel terprogram. Saat sel yang terinfeksi oleh virus mati, sel CD8 tidak
terpengaruh dan terus mematikan sel-sel lain disekitarnya yang juga terinfeksi oleh
virus yang bersangkutan.
Apabila dilakukan transpplantasi organ atau jaringa asing, maka sel CD 8
resipien (penerima tranplantasi) akan mengetahui antigen MHC di permukaan sel
transplan bukanlah antigen diri. Dengan bantuan sel CD4, sel CD8 membentuk klona
sel yang spesifik untuk menghancurkan epitop asing di permukaan sel transplan. Sel
CD8 mematikan sel di jaringan asing sengan mengeluarkan perforin. Proses serupa
terjadi terhadap sel tumor. Seiring dengan tumbuhnya tumor, sering terbentuk
imunogen-imunogen baru (berbeda dengan dari komponen diri sel tubuh normal)
dipermukaan sel tumor. Epitop yang relevan akan dikenali oleh sel CD8, yang
membentuk suatu klona untuk melakukan surveilans terhadap tumor, yang idealnya
dapat mematikan neoplasma saat neoplasma tersebut terbentuk.
RESPON IMUN HUMORAL
Imunitas humoral ditengahi oleh sekelompok limfosit yang berdiferensiasi di
sumsum tulang dan disebut limfosit asal sumsum tulang (bone marrow derived) atau
limfosit B. Antibodi merupakan produk dari elemen sel B (limfosit B dan sel plasma)
yang berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler.
Limfosit B
Sel B adalah sel yang bertanggung jawab atas pembentukan imunoglobin (Ig)
dan merupakan 5-15 % dari limfosit dalam sirkulasi darah.
Sel B mempunyai 2 fungsi penting, yaitu :
1. Berdiferensiasi menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi
2. Berfungsi sebagai sel penyaji antigen (Antigen Presenting cell, APC)
Pada saat embryogenesis, sel B pertama kali ditemukan pada hepar janin. Dari
hepar, sel-sel tersebut bermigrasi ke sumsum tulang dan menetap seterusnya.
20
Maturasi sel B melewati 2 fase, yaitu :
1. Fase tidak tergantung antigen, yang terdiri dari perubahan sel-sel induk menjadi
sel-sel pre-B dan sel-sel B.
2. Fase tergantung antigen, yang meliputi perubahan-perubahan yang terjadi akibat
interaksi antigen dengan sel B, yaitu menjadi sel-sel B yang teraktivasi dan sel
plasma.
Pada sel B didapatkan IgM permukaan yang berfungsi sebagai reseptor antigen.
IgM permukaan ini berbentuk monomer, berbeda dengan IgM dalam sirkulasi yang
berbentuk pentamer. Beberapa sel B juga mempunyai IgD permukaan sebagai
reseptor antigen. Sel B dapat ditemukan di germinal center pada limfonodi atau
pulpa putih lien. Sel B juga didapatkan pada jaringan limfoid yang berhubungan
dengan saluran pencernaan, misalnya Peyer’s patches.
Sel Plasma
Sel plasma merupakan fase diferensiasi terminal dari perkembangan sel B dalam
upaya memproduksi dan mensekresi antibody. Setelah teraktivasi oleh antigen, sel B
spesifik berproliferasi dan berdiferensiasi kemudian mengalami perubahan kelas
immunoglobulin rantai berat (heavy chain class switching ) dan memproduksi
antibody spesifik (= sel plasma).
Imunoglobulin / Antibodi
Immunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai
molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme
penyebab infeksi. Molekul ini disintesis oleh sel B dalam 2 bentuk yang berbeda
yaitu :
1. Sebagai reseptor permukaan (untuk mengikat antigen)
2. Sebagai antibody yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler. Antibody
yang disekresikan ini dapat berfungsi sebagai adaptor yang mengikat antigen
melalui binding sites-nya yang spesifik sekaligus sebagai jembatan yang
menghubungkan antigen dan sel-sel system imun atau mengaktivasi komplemen.
21
Antibodi (immunoglobulin)
Antibody merupakan kelas molekul yang dihasilkan oleh sel plasma (berasal
dari limfosit B) dan dibantu oleh limfosit T dan makrofag yang dirangsang oleh
antigen asing.
Antibody diproduksi melalui proses yang disebut seleksi klonal (clonal
selection). Setiap sel B mempunyai reseptor permukaan (IgM atau IgD)yang dapat
bereaksi terhadap satu antigen (atau kelompok antigen yang serupa). Suatu antigen
akan berinteraksi dengan limfosit B yang mempunyai reseptor permukaan yang
paling sesuai. Setelah berikatan dengan antigen, sel B akan terstimulasi untuk
berproliferasi dan membentuk klon sel. Sel-sel B yang akan terpilih ini akan segera
berubah menjadi sel plasma dan mensekresi antibody yang spesifik terhadap
antigen. Sel plasma mensintesis immunoglobulin dengan spesifisitas antigenic yang
sama dengan yang dibawa oleh sel B yang diseleksi. Spesifisitas antigenic tidak
akan berubah meskipun terjadi perubahan kelas rantai berat antibody.
IMUNITAS PASIF DAN AKTIF
Imunitas pasif merupakan kekebalan yang didapat melalui transfer antibodi yang
sudah dikembangkan ditubuh orang lain. (passive administration of antibody against
certain viruses) Pemberian antibody pada beberapa virus (seperti hepatitis B) akan
sangat berguna jika diberikan selama masa inkubasi untuk membatasi multiplikasi
virus (viral multiplication), misalnya setelah needle-stick injury to seseorang yang
belum divaksinasi sebelumnya. Keuntungan dari imunisasi pasif adalah dapat
menyediakan antibody dalam jumlah besar dengan cepat. Sedangkan kelemahannya
resistennya dalam waktu singkat dan kemungkinan bisa memacu reaksi
hipersensitivitas karena antibody berasal dari orang lain.
Imunitas aktif adalah kekeba;an yang didapat setelah tubuh berkontak dengan
antigen asing seperti mikroorganisme atau produk-produknya. Kontak ini bisa berupa
22
infeksi klinik atau subklinik, imunisasi dengan agen infeksi yang masih hidup atau
yang sudah mati atau dengan antigennya, kontak dengan produk mikroba (seperti
toxin, toxoid), atau tranplantasi sel asing. Dalam semua keadaan tersebut tubuh
secara aktif membentuk antibody dan sel-sel limfoid sehingga memperoleh
kemampuan untuk merespon antigen asing tersebut. Keuntungan dari imunitas aktif
adalah bisa bertahan lama, sedangkan kelemahannya responnya lambat dan butuh
kontak lebih dari sekali dengan antigen agar bisa bekerja secara maksimal.
IMUNITAS PRIMER DAN IMUNITAS SEKUNDER
IgM dan IgG secara berturut-turut berperan dalam imunitas primer dan
sekunder. Kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor
antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respon imun primer terhadap kebanyakan
antigen dibanding IgG.
Beberapa limfoblas yang terbentuk oleh pengaktifan suatu klon limfosit B, tidak
berlanjut membentuk sel plasma, melainkan membentuk sel limfosit B yang baru
dalam jumlah yang cukup dan serupa dengan yang terdapat pada klon asal. Dan
limfoist B tersebut ditambahkan ke limfosit asal pada klon. Limfosit yang baru ini
juga bersirkulasi ke seluruh tubuh untuk mendiami seluruh jariugan limfoid, tetapi
secara imunologis, mereka tetap dalam dormant sampai diaktifkan lagi oleh sejumlah
antigen baru yang sama. Limfoid ini disebut sel memori. Pajanan berikutnya oleh
antigen yang sama akan menimbulkan respon antibodi yang jauh lebih cepat dan
lebih kuat.
23
Gambar di atas menjelaskan tentang perbedaan antara respon primer untuk
pembentukan yang terjadi pada saat pajanan pertama oleh suatu antigen spesifik dan
respon sekunder yang terjadi setelah pajanan kedua oleh antigen yang sama.
Perhatikaan keterlambatan timbulnya respon primer, potensinya yang lemah , dan
masa hidupnya yang singkat. Sebaliknya, respon imun sekunder, timbul dengan cepat
setelah terpajan dengan antigen yang sama, bersifat jauh lebih kuat, dan membentuk
antibodi selama berbulan-bulan, ketimbang hanya beberapa minggu saja.hal yang
khas terjadi pada respon sekunder.
1
100
10
1000
10000
100000
7 282114 35 42hari
Respon primer Respon sekunder
IgG
IgM
Kadar Ab (log titer)
24
ANTIGEN DAN ANTIBODI
ANTIGEN
Istilah antigen dahulu diartikan sebagai molekul yang dapat merangsang
pembentukan antibodi, tapi sekarang istilah antigen digunakan menyebut substansi
yang mampu bereaksi dengan antibodi yang diproduksi atas rangsangan imunogen,
tanpa mempertimbangkan apakah antigen itu sendiri bersifat imunogenik.
Imunogenitas suatu substansi menunjukkan kemampuan substansi bersangkutan
untuk merangsang respon imun, baik respon selular maupun respon humoral atau
keduanya, apabila substansi itu dimasukkan ke dalam tubuh. Substansi yang
mempunyai sifat demikian disebut imunogen. Walaupun istilah antigen dan
imunogen dianggap sama, namun keduanya memiliki sedikit perbedaan.
Umumnya kedua kata tersebut sudah memadai kecuali apabila molekul yang
terlibat adalah suatu hapten (sebuah antigen yang bukan imunogen kecuali apabila
berikatan dengan molekul pembawa yang lebih besar). Dengan demikian hapten
tidak dapat memicu respon imunogenik sendiri; hapten adalah antigen tetapi bukan
imunogen. Hapten biasanya dikenal oleh sel B, sedangkan molekul pembawa oleh sel
T. Walaupun sebagian besar hapten adalah molekul kecil, namun sebagian asam
nukleat berberat molekul tinggi juga merupakan hapten.
25
Kita ketahui bahwa hampir semua molekul biogenik, termasuk karbohidrat,
lipid, hormone, protein dan asam nukleat dapat bertindak sebagai antigen, tetapi
hanya makromolekul yang bersifat imunogenik dan mampu merangsang aktivitasi
limfosit yang diperlukan untuk mengawali respon imun. Substansi dengan berat
molekul rendah, seperti berbagai jenis obat dan antibiotik, umumnya tidak
imunogenik, tetapi bila diikat dengan protein yang imunogenik (carrier protein) ia
akan membentuk suatu kompleks yang dapat merangsang sistem imun untuk
memproduksi antibody terhadap molekul tersebut. Substansi tersebut yang disebut
hapten, dapat bereaksi dengan antibodi yang diproduksi tetapi ia sendiri tidak
imunognik.
Istilah epitop adalah bagian dari antigen yang bereaksi dengan antibody atau
dengan reseptor spesifik pada limfosit T. Epitop dahulu disebut antigenic
determinant. Spesifitas respon imun bergantung pada respon terhadap epitop-epitop.
Immunoglobulin yang diproduksi bersifat spesifik terhadap epitop-epitop dan bukan
terhadap molekul atau sel imunnogen secara keseluruhan. Dengan demikian,
immunoglobulin tidak berikatan dengan sel atau molekul keseluruhan tetapi dengan
epitop dipermukaan imunogen. Paratop ialah bagian dari antibodi yang mengikat
epitop. Respon imun dapat terjadi terhadap semua golongan bahan kimia seperti
hidrat arang, protein, dan asam nukleat. Imunogen yang paling poten umumnya
merupakan makromolekul protein, polisakarida, polipeptida, atau dapat juga berupa
polimer sintetik misalnya polivinilpirolidon (PVP).
Imunogen asing yang umum adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus dan
fungus, serta bahan organic, misalnya serbuk sari atau debu rumah. Apabila organ,
jaringan, sel, atau molekul dari orang lain atau bahkan dari spesies lain dimasukkan
ke dalam tubuh seseorang melalui bedah transplantasi, transfuse darah, atau
vaksinasi, maka organ, jaringan, sel, atau molekul tersebut juga berfungsi sebagai
imunogen. Imunogen asli juga dapat memicu rrspon imun, terutama apadila sel-sel
tubuh mengalami mutasi dan menjadi sel kanker.
Karakteristik antigen yang sangat menentukan imunogenitas respon imun adalah
sebagai berikut :
26
a. Asing (berbeda dari self) : Pada umumnya, molekul yang dikenal sebagai self
tidak bersifat imunogenik; untuk menimbulkan respon imun, molekul harus
dikenal sebagai nonself.
b. Ukuran molekul : Imunogen yang paling poten biasanya merupakan protein
bermolekul besar. Scara umum, molekul dengan berat molekul kurang dari 10.000
kuran bersifat imunogenik dan yang sangat kecil (misalnya asam amino) tidak
bersifat imunogenik. Molekul kecil tertentu (misalnya hapten) menjadi
imunogenik hanya jika bergabung dengan protein pembawa (carrier).
c. Kompleksitas kimiawi dam structural : jumlah tertentu kompleksitas kimiawi
diperlukan, contohnya homopolimer asam amino kurang bersifat imunogenik
dibanding dengan heteropolimer yang mengandung dua atau tiga asam amino
yang berbeda.
d. Determinan antigen (epitop) : Unit terkecil dari suatu antigen kompleks yang
dapat diikat oleh antibodi, disebut dengan determinan antigen atau epitop. Antigen
dapat mempunyai satu atau lebih determinan. Pada umumnya, suatu determinan
mempunyai ukuran lima asam amino atau gula, ukuran secara kasar.
e. Tatanan genetik penjamu : Dua strain binatang dari spesies yang sama dapat
merespon secara berbeda terhadap antigen yang sama karena perbedaan komposisi
gen respon imun.
f. Dosis, cara dan waktu pemberian antigen : Oleh karena derajat respon imun
tergantung pada banyaknya antigen yang diberikan, respon imun dapat
dioptimalkan dengan cara menentukan dosis antigen dengan cermat (termasuk
jumlah dosis), cara pemberian dan waktu pemberian(termasuk interval diantara
dosis yang diberikan) juga mempengaruhi respon imun. Seperti pemberian
intravena dapat mengurangi timbulnya respon imun jika dibanding pemberian
secara intramuscular. Pemberian dengan dosis berlebihan pun dapat mengurangi
respon imán dari hospes.
Adapun cara lain untuk meningkatkan respon imun dari suatu zat adalah dengan
menggabungkannya dengan ajuvan. Ajuvan merupakan zat yang merangsang respon
imun, misalnya dengan cara mempermudah pengambilan antigen oleh sel penyaji
antigen (antigen presenting cell).
Klasifikasi Antigen :
27
Secara umum antigen diklasifikasikan menjadi antigen eksogen (bakteri, virus,
obat) dan antigen endogen.
Klasifikasi yang lain, yaitu :
Menurut epitop
a. Uniddeterminan univalen :hanya satu jenis determinan (epitop) dan epitop
tersebut hanya ditemukan satu pada satu molekul.
b. Unideterminan multivalen: hanya satu jenis epitop dan epitop tersebut ditemukan
dua atau lebih dalam satu molekul.
c. Multideterminan univalen: banyak jenis epitop dan epitop-epitop tersebut hanya
ditemukan dalam satu molekul.
d. Multideterminan multivalen: banyak jenis epitop dan dalam satu molekul hanya
dapat ditemukan dua atau lebih epitop.
Jenis antigen Contoh
Unideterminan, univalen Hapten
Unideterminan, multivalen Polisakarida
Multideterminan, univalen Protein
Multideterminan, multivalen Kimia kompleks
Menurut spesifitas
a. Heteroantigen : dimiliki oleh banyak spesies
b. Xenoantigen : yang hanya dimiliki spesies tertentu.
c. Aloantigen (isoantigen) : spesifik untuk individu dalam satu spesies.
d. Antigen organ spesifik : hanya dimilik organ tertentu.
e. Autoantigen : yang dimiliki alat tubuh sendiri.
Menurut ketergantungan terhadap sel T
28
a. T dependen : memerlukan pengenalan oleh sel T terlebih dahulu untuk dapat
menimbulkan respon antibody. Kebanyakan antigen protein termasuk dalam
golongan ini.
b. T independent : yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk
membentyk antibody. Kebanyakan antigen golonngan ini berupa molekul besar
polimeri yang dipecah dalam tubuh secara perlahan-lahan, misalnya
lipopolisakarida, ficoll, dekstran, levan, flagelin, polimerik bakteri.
Menurut sifat kimiawi
a. Hidrat arang (polisakarida): pada umumnya imunogenik. Glikoprotein yang
merupakan bagian permukaan sel banyak mikroorganisme dapat menimbulkan
respon imin terutama pembentukan antibodi. Contoh lain adalah respon imun
yang ditimbulkan golongan darah ABO, sifat antigen dan spesifitas imunnya
berasal dari polisakarida pafa premukaan sel darah merah.
b. Lipid : biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat protein
pembawa. Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah sfingolipid.
c. Asam nukleat : tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi imunogenik bila diikat
protein pembawa. DNA dalam bentuk heliks biasanya tidak imunogenik. Respon
imun terhadap DNA terjadi pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik
(RES).
d. Protein : kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya
multideterminan dan univalen.
ANTIBODI (IMUNOGLOBULIN)
Immunoglobulin adalah suatu molekul glikoprotein yang terdiri atas komponen
polipeptida (82-96%) dan karbohidrat. Immunoglobulin adalah substansi dalam
serum yang mampu menetralisir mikroorganisme penyebab infeksi. Immunoglobulin
disintesis oleh sel limfosit B dalam dua bentuk berbeda, pertama sebagai reseptor
permukaan dan sebagai antibody yang disekresikan kedalam cairan ekstraselular.
29
Antibodi merupakan kelas molekul yang dihasilkan oleh sel plasma
(perkembangan dari limfosit B) dan dibantu oleh limfosit T dan magrofag yang
dirangsang oleh antigen asing. Antibodi ditemukan dalam serum dan jaringan dan
mengikat antigen secara spesifik.
STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin memiliki 4 rangkai polipeptida yang terdiri dari 2 rantai berat
(heavy chains) dan 2 rantai ringan (light chains) yang identik dan dihubungkan satu
dengan yang lainnya oleh ikatan disulfida, demikian pula antar rantai beratnya
dihubungkan oleh ikatan disulfida. Rantai berat (heavy chains) memiliki berat
molekul sekitar 50 000-70 000 Da dan terdiri atas sekitar 450 asam amino,
sedangkan rantai ringan (light chains) memiliki berat molekul sekitar 23 000 Da
dan terdiri atas sekitar 212 asam amino. Rantai ringan (light chains) memiliki 2 tipe
yaitu rantai kappa (κ) dan lambda (λ).
Apabila molekul immunoglobulin dicerna oleh enzim proteolitik papain, maka
molekul akan terbagi menjadi 2 bagian, yaitu 2 fragmen Fab (fragment antigen
binding) yang merupakan bagian immunoglobulin (ig) yang mengikat dan
menetralkan antigen, disebut antigen binding site sehingga bagian ini berbeda-beda
pada tiap Ig. Selain itu ada satu fragmen Fc (fragment crystallizable) yang tidak
dapat mengikat antigen, tapi dapat berfungsi sebagai antigen (determinant antigen).
Fc adalah fragmen konstan yang memiliki fungsi efektor sekunder dan menentukan
sifat biologis dari antibody. Seperti kemampuan melekat pada sel, fiksasi
komplemen, kemampuan Ig menembus plesenta, distribusi Ig daam tubuh dan lainya.
30
Hingga sekarang dikenal 5 kelas utama immunoglobulin dalam serum manusia,
yaitu IgG, IgA, IgD, IgM, dan IgE. Klasifikasi ini didasarkan pada perbedaan dalam
struktur kimia yang mengakibatkan perbedaan dalam sifat biologic maupun sifat
fisika immunoglobulin. Dilabolatorium, kelas Ig ini ditentukan berdasar sifat migrasi
masing-masing pada elektroforesis dan sifat-sifat serologic.
Adapun penjelasan mengenai masing-masing immunoglobulin adalah:
Imunoglobulin G
IgG merupakan imunoglobulin yang paling banyak dalam bentuk serum (13
ug/ml atau sekitar 75% dari immunoglobulin total). Kelas IgG memiliki rantai
berat yang spesifik, yaitu rantai γ (G). Tiap molekul IgG tersusun atas satu unit
dasar (monomer) terdiri atas 2 rantai γ dirangkaikan dengan 2 rantai κ atau λ.
IgG memiliki berat molekul sekitar 150 000 Da, dan dibagi dalam empat
subkelas yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4. IgG ditemukan dalam berbagai
cairan seperti darah, system getah bening, CSF, urin dan usus serta memiliki 2
tempat pengikatan antigen. IgG merupakan immunoglobulin utama yang
dibentuk atas rangsangan antigen. Mereka mempunyai efek kuat anti-bakteri dan
penghancur antigen. Mereka melindungi tubuh terhadap bakteri dan virus, serta
menetralkan asam yang terkandung dalam toksin. Karena kemampuan dan
ukurannya yang kecil, mereka dapat menyelip diantara sel-sel dan menembus
plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari kemungkinan infeksi. Selain itu
IgG paling mudah berdifusi kedalam jaringan ekstravaskular dibanding
imunoglobulin lain. IgG dapat melekat pada reseptor Fc yang terdapat dalam
31
permukaan sel sasaran dan memungkinkan terjadinya ADCC, bila melekat pada
reseptor Fc pada permukaan trombosit ia dapat merangsang penglepasan
vasoactive amine dan menyebabkan agregasi trombosit. Pada proses desentisasi
penderita alergi, yang dirangsang adalah IgG yang bersifat sebagai antibodi
penghambat, sehingga IgE akan turun. IgG memiliki half life sekitar 23 hari.
Imunoglobulin A
Kelas immunoglobulin terbanyak kedua dalam serum adalah IgA. Memiliki 2
subkelas yaitu IgA1 dan IgA2. IgA utama berfungsi sebagai antibody sekretori
dan diproduksi dalam jumlah besar oleh sel plasma dalam jaringan limfoid yang
terdapat sepanjang saluran cerna, saluran nafas dan saluran urogenital dalam
bentuk dimmer. Karena itu IgA ditemukan sedikit dalam bentuk serum, tetapi
banyak dalam bentuk sekresi saluran nafas, cerna, kemih, air mata, keringat,
ludah, kolostrum dan juga secret vagina dan prostat. Baik dalam bentuk serum
maupun sekresi, keduanya dapat menetralkan toksin, mencegah kontak antara
toksin dengan sel organ sasaran. IgA memiliki rantai berat spesifik, yaitu rantai
α; ditemukan dalam bentuk dimer dan monomer, tapi sebagian besar (80-90%)
terdapat dalam bentuk dimmer, terdiri atas 2 unit dasar, masing-masing unit
mempunyai 2 rantai α dan 2 rantai κ atau λ. Kedua unit dasar membentuk satu
lempeng yang dirangkaikan satu dengan lainnya oleh rantai J (joining chain,
yaitu bagian non-imunoglobulin yang mengandung banyak sulfhidril). Pada
epitel mukosa kelenjar, rangkaian dimer dirangkai dengan komponen sekretorik
yang bertindak sebagai reseptor untuk memudahkan IgA menembus epitel
mukosa dengan cara endositosis. Setelah dirangkai dengan komponen sekretorik,
IgA dilepaskan kedalam cairan sekresi. IgA mengaktifkan komplemen melalui
jalur alternatif. Salah satu komponen komplemen yang dilepaskan pada aktivasi
jalur alternative, yaitu C3b, dapat melakukan opsonisasi mikroorganisme
sehingga mikroorganisme itu mudah difagositosis. IgA membantu imunitas
banyi baru lahir dari kolostrum pada ASI. IgA juga berfungsi membatasi
absorbsi antigen yang berasal dari makanan. Reseptor terhadap IgA dijumpai
pada permukaan limfosit, PMN, dan monosit. Dalam serum IgA dijumpai dalam
bentuk monomer sebanyak 15% dari kadar imunoglobulin total. Half life IgA
hádala 5-6 hari.
32
Imunoglobulin M
IgM memiliki rantai berat µ (M). Sekresi IgM berupa molekul pentamer yang
memiliki 5 unit dasar dimana tiap unit terdiri atas 2 rantai µ dan dua rantai κ
atau λ. Kelima unit dasar dirangkai oleh rantai J. Tetapi IgM pada permukaan
limfosit (sIgM) ditemukan dalam bentuk monomer. IgM merupakan
imunoglobulin terbesar, sekitar 900 000 Da, untuk mencegahnya keluar dari
plasma. Baru apabila terjadi kenaikan permeabilitas vaskuler pada proses
radang, molekul ini keluar. Karena memiliki 10 tempat pengikatan antigen, IgM
merupakan aglutinator dan fiksasi komplemen yang baik. Merupakan antibodi
kelas pertama yang dibentuk pada respon imun. Merupakan respon imun primer,
dan diproduksi dalam jumlah banyak pada respon imun sekunder. Terdapat
dalam darah, saluran getah bening, dan permukaan sel B. Dalam plasma jumlah
IgM terbanyak ke-3 setelah IgG dan IgA, yaitu sekitar 10% dari Ig total. IgM
akan meningkat jika terjadi infeksi. IgM dapat digunakan untuk mengetahui akut
tidaknya suatu penyakit karena sifat responnya yang langsung dan akan menurun
setelah beberapa waktu. Selain itu, karena IgM tidak dapat menembus plasenta,
adanya antibody kelas IgM menunjukakan IgM dibentuk oleh bayi karena
adanya infeksi. Isohemaglitinin (anti-A dan anti-B) umumnya terdiri dari IgM.
Imunoglobulin D
IgD memilki rantai berat spesifik & (D). Berbentuk monomer dengan 2 rantai &
dan dua rantai κ atau λ. Ditemukan dalam kadar yang sangat rendah di darah,
tapi cukup besar dalam darah tali pusar. Terdapat juga dalam permukaan sel B
sebagai reseptor yang jumlahnya lebih banyak dibanding dalam serum. IgD
tidak mengikat kolplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen
berbagai makanan dan autoantigen seperti sel B sebagai reseptor antigen. Tapi
peran biologiknya pada imunitas humoral belum jelas, tapi diketahui memiliki
peran reaksi hipersensitifitas terhadap penissilin. Salah satu sifatnya yang
berbeda dengan Ig lain adalah IgD lebih lentur dibanding Ig lain karena
mempunyai bagian engsel yang lebih panjang sehingga dapat melakukan ikat-
silang dengan antigen polivalen secara lebih efisien. Selain itu IgD peka
terhadap enzim proteolitik. Hal inilah yang mungkin menyebabkan umur IgD
yang pendek (2-3 hari).
33
Imunoglobulin E
IgE memiliki rantai berat spesifik, yaitu ε (E). IgE merupakan monomer,
tersusun atas 2 rantai ε dan 2 rantai κ atau λ . Memiliki kadar yang paling rendah
dalam serum, yaitu hanya 0,0004% kadar Ig total. IgE mengikat secara selektif
sel mast dan basofil dengan fragmen Fc yang dimilikinya. Ikatan antigen ke
fragmen Fab-nya merupakan pemicu untuk melepaskan histamin dan substansi
penting lain pada hipersensitivitas jenis anafilaktik. IgE akan meningkat
kadarnya pada saat mengalami alergi, infeksi cacing, skistosomiasis.
34
REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI
Reaksi antigen dan antibodi bersifat spesifik. Antigen akan bereaksi hanya
dengan antibodi yang khas untuk antigen tersebut.
Respon antibody merupakan kulminasi dari suatu rangkaian interaksi seluler dan
molekuler yang terjadi berurutan, yaitu :
1. Sel T akan teraktivasi saat mengenali antigen yang di presentasikan oleh sel
penyaji antigen (Antigen Presenting Cells, APC)
2. Sel T helper berinteraksi dengan sel B yang mempresentasikan fragmen antigen
3. Sel B yang teraktivasi akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma
atau sel penghasil antibody (Antibody Forming Cells, AFC)
4. Antibodi dihasilkan dan dikuti berbagai respon imun selanjutnya
Kompleks Histokompatibilitas Mayor ( MHC)
35
Molekul MHC mengikat antigen peptide dan menyajikannya untuk sel T atau
kata lain bertanggung jawab untuk pengenalan antigen oleh reseptor sel T. Dalam
hal ini, reseptor sel T berbeda daria antibody. Molekul antibody berinteraksi
dengan antigen secara langsung; reseptor sel T hanya mengenali antigen yang
disjaikan oleh molekul MHC pada sel lain, yaitu sel penyaji antigen (APCs).
Reseptor sel T juga spesifik untuk molekul MHC. Jika antigen disajikan oleh bentuk
alel lain dari molekul MHC in vitro (secara normal hanya pada eksperimen), tidak
terjadi pengenalan oleh reseptor sel T. Fenomena ini disebut restriksi (pembatasan)
MHC.
Berikut Ciri-ciri penting beberapa Produk gen MHC pada Manusia :
Kelas I Kelas II
Loki genetic HLA-A,-B dan –C HLA-DP,-DQ dan –DR
Komposisi
polipeptida
BM 45.000 +β M
(BM 12.000)
Rantai α (BM 33.000)
Rantai β (BM 29.000)
Rantai Ii (BM 30.000)
Distribusi sel Semua sel somatic yang berinti Sel penyaji antigen
(makrofag, sel B,dsb.)
Sel T yang teraktivasi
Menyajikan peptide
antigen ke
Sel T CDSδ+ Sel T CD4+
36
Ukuran ikatan
peptida
8-11 residu 10-30 atau lebih residu
Sel Penyaji Antigen (Antigen Presenting Cells/ APC)
Ada banyak sel yang dapat berfungsi sebagai APC, tergantung pada bagaimana
dan dimana antigen pertama kali bertemu sel system imun. Interdigitating dendritic
cells (IDC)yang bayak ditemukan di limfonodi dan lien merupakan APC utama imun
primer karena dapat lebih efektif menginduksi proliferasi sel T daripada sel-sel yang
lain. Sel B juga dapat berfungsi sebagai APC dengan cara berikatan dengan antigen
spesifik meleui reseptor permukaannya, mendegradasi antigen tersebut menjadi
menjadi peptida dan mempresentasikannya. Sel B terutama sangat efektif bila
konsentrasi antigen sangat rendah karena reseptornya yang sangat spesifik dengan
afinitas yang sangat tinggi (IgM atau IgD) akan cepat mengenali antigen. Hal ini
terutama terjadi pada respon imun sekunder, saat jumlah sel B yang spesifik untuk
antigen tertentu sangat banyak.
Pemrosesan Antigen dan Penyajiannya
Antigen presentation by MHC II
37
Protein dari antigen eksogen,seperti bakteri masuk ke tubuh penjamu atau
mengalami internalisasi melalui vesikel endositik ke sel penyaji antigen seperti
makrofag. Kemudian antigen tersebut dipaparkan ke protease intraseluler dalam
vesikel intraseluler. Peptida, kira-kira sepanjang 10-30 residu asam amino dibentuk
dalam vesikel endosom. Kemudian vesikel endosom bergabung dengan vesikel
eksositik yang mengandung molekul MHC kelas II.
Molekul MHC kelas II disintesis, seperti glikoprotein membrane yang lain,
dalam reticulum endoplasma kasar dan kemudian dikeluarkan melalui badan Golgi.
Polipeptida ketiga, rantai invariant (Ii), melindungi tempat pengikatan dimer αβ kelas
II sampai PH kompartemen menurun setelah fusi dengan vesikel endosom
menyebabkan disosiasi rantai Ii. Kompleks MHC kelas II-antigen peptide kemudian
diangkut ke permukaan sel untuk ditunjukkan dan dikenali oleh reseptor sel T.
Antigen presentation by MHC I
38
Antigen endogen, misalnya protein virus sitolitik yang disintesis ke dalam sel
yang terinfeksi akan diproses untuk disajikan oleh molekul MHC kelas 1. Secara
singkat protein sitosolik dipecah oleh kompleks peptidase yang disebut proteasom.
Peptida sitosolik mencapai molekul MHC kelas I yang baru terbentuk dalam
reticulum endoplasma kasar melalui system pengangkut peptide (TAPs). Gen TAP
juga dikode dalam MHC. Di dalam lumen reticulum endoplasma, antigen peptide
bergabung dengan protein MHC kelas I yang baru dibentuk dan bekerja sama dengan
mikroglobulin β , membentuk kompleks MHC kelas I- antigen peptide yang stabil
dan sangat berlipat-lipat yang kemudian diangkut ke permukaan sel untuk
ditampilkan dan dikenali oleh sel T sitotoksik.
KOMPLEMEN
39
Komplemen merujuk pada system yang berhubungan secara fungsional
keseluruhan yang terdiri atas paling sedikit 20 protein serum yang berbeda, reseptor
selulernya, dan protein pengatur yang berhubungan yang merupakan efektor bukan
hanya terhadap sitolisis imun namun juga fungsi biologis lainnya termasuk anafilaktik,
fagositosis, opsonisasi, dan hemolisis . Sistem ini mempunyai fungsi antimikroba non-
spesifik dan merupakan system amplifikasi yang efektif untuk memperkuat mekanisme
pertahanan non-spesifik dan spesifik. Ada 3 mekanisme parallel yang independent,
yaitu: jalur klasik, jalur lectin, dan jalur alternatif. Ketiganya akan mengaktivasi C3
yang merupakan bagian terpenting kaskade komplemen.
Defek pada komplemen-komplemen dan protein pengatur terpilih
Protein defektif Jalur yang terkena Gangguan yang
dihubungkan secara klinik
C1 Jalur klasik Gangguan autoimun;
infeksi piogenik
C2 Jalur klasik Gangguan autoimun;
infeksi piogenik
C3 Jalur klasik dan alternatif Gangguan autoimun;
infeksi piogenik
C4 Jalur klasik Gangguan autoimun
C5-C9 Kompleks penyerang
membrane
Infeksi neisserial
dissaminata rekurens
Properdin Jalur alternative Infeksi piogenik dan
neisserial
Factor D Jalur alternative Infeksi piogenik dan
neisserial
Penghambat Cl Deregulasi jalur klasik Edema angioneurotik
herediter; beberapa
gangguan autoimunitas
Faktor I Deregulasi jalur alternatif Gangguan autoimunitas;
infeksi piogenik
Factor H Jalur klasik Glomerulonefritis
40
terangan:
Fragmen yang berasal dari pemecahan proteolitik dari protein komplemen ditujukan
dengan akhiran huruf yang kecil, e.g., C3a. Dengan kesepakatan, fragmen pemecah
awal yang lebih kecil ditandai dengan “a” dan yang lebih besar “b”, pengecualian
fragmen C2a dan C2b yang tergerak dari C2, yang lebih besar, fragmen yang aktif telah
ditandai secara sepakat C2a. Fragmen yang disebut inaktif ditandai dengan awalan “i”,
e.g., iC3b.
Jalur klasik
41
Terutama diaktifkan oleh kompleks imun dan juga oleh IgG1, IgG2, IgG3, IgM
Jalur klasik adalah mekanisme utama aktivasi komplemen yang diarahkan oleh
antibody.
C1, yang diikat ketempat pengikatan di regio Fc, tersusun dari 3 protein; C1q,
C1r dan C1s. C1q merupakan agregat polipeptida yang terikat ke bagian Fc dari IgG
dan IgM. Antibodi-antigen, digabungkan dengan C1 mengaktifkan C1s, yang
membebaskan C4 dan C2 untuk membentuk C4b2a. C4b2a ini merupakan C3
konvertase aktif yang memecah molekul C3 menjadi dua fragmen: C3a dan C3b. C3a,
suatu anafilatoksin. C3b membentuk kompleks dengan C4b2a, menghasilkan enzim
baru, C5 konvertase, yang memecah C5 untuk membentuk C5a dan C5b. C5a
merupakan anafilatoksin dan suatu factor kemotaktik, C5b terikat ke C6 dan C7 untuk
membentuk kompleks yang menyisip ke dalam membrane bilayer. Kemudian C8 terikat
ke kompleks C5b/ C6/ C7, diikuti oleh polimerisasi sampai 16 molekul C9 untuk
menghasilkan kompleks penyerang membrane yang menyebabkan sitolisis.
Jalur lectin
Sangat homolog dengan jalur klasik tetapi diaktifkan dengan cara tidak
tergantung antibody.
C1q termasuk kelompok lektin tergantung-kalsium yang dikenal sebagai
kolektin (lektin kolagenosa). Kelompok protein ini meliputi lektin pengikat-mannan
(mannan binding lectin, MBL), yang juga dikenal sebagai protein pengikat mannan
( mannan binding protein, MBP), konglutinin dan protein surfaktan paru A dan D. MBL
dalam serum dapat terikat pada gugus manose terminal pada permukaan bakteri dan
kemudian mampu berinteraksi dengan dua proteniase serin yang dikenal sebagai MASP
dan MASP2 (mannan-binding lectin -associated serin proteinase). MASP dan MASP2
mempunyai struktur yang homolog dengan C1r dan C1s. Interaksi-interaksi antara MBL
dengan MASP dan MASP2 bersifat analog dengan interaksi antara C1q dengan C1r dan
C1s sehingga mampu mengaktivasi jalur klasik tanpa tergantung antibody.
Jalur alternatif
42
Dapat berlangsung tanpa diawali oleh terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
Banyak senyawa yang tidak berkaitan, dari kompleks kimia (misalnya endotoksin)
sampai agen infeksius (misalnya parasit), mengaktifkan komplemen melalui jalur yang
berbeda. Reaksi dapat terjadi bila ada C3b yang melekat pada permukaan sel yang
mungkin berasal dari reaksi antara C3 dengan factor B, enzim system fibrinolitik atau
enzim jaringan lain.
C3 dipecah dan C3 konvertase dibentuk melalui kerja factor B, D dan properdin.
C3 konvertase alternative (C3bBb) menghasilkan lebih banyak C3b. C3b tambahan
terikat ke C3 konvertase untuk membentuk C3bBbC3b, yang merupakan jalur
alternative bagi C5 konvertase untuk membentuk C5b, yang menyebabkan produksi
komplemen penyerang membrane.
Reseptor komplemen
Fragmen protein komplemen yang dihasilkan selama aktivasi akan melekat pada
reseptor spesifik permukaan sel imun. Mekanisme ini penting untuk memediasi efek
fisiologis komplemen, seperti fagositosis partikel yang telah diopsonisasi oleh
komplemen dan aktivasi sel pembawa reseptor.
Tiga produk C3 (kadang-kadang disebut fragemen opsonik) dapat melekat pada
membrane sel sasaran. Ketiganya adalah C3b,iC3b, dan C3dg. Dikenal empat reseptor
yang berbeda untuk fragmen-fragmen opsonik ini, yaitu reseptor komplemen tipe 1
sampai 4 ( CR1, CR2, CR3, CR4)
Reseptor Fragmen kompelemen yang
diikat
Distribusi lokasi pada
permukaan sel
CR1
(CD35)
C3b > iC3b
C4b
Sel B, neutrofil, monosit,
makrofag, eritrosit, sel-sel
dendritik folikuler, sel-sel
epitel glomeruler
CR2)
CD21)
iC3b, C3dg
virus Epstein-Barr
interferon-
Sel B, sel-sel dendritik
folikuler, sel-sel epitel
serviks dan nasofarings
CR3
(CD18/ CD11b)
iC3b
zymosan
Monosit, makrofag,
neutrofil, sel NK, sel-sel
43
bakteri tertentu
fibrinogen
faktor X
ICAM-1
dendritik folikuler
CR4
(CD18/ CD11c)
iC3b
fibrinogen
Neutrofil, makrofag,
makrofag jaringan
Sistem pengendali
1. Protein S
2. C1 inhibitors (C1 esterase inhibitor) yang dapat menghambat C1 maupun
plasmin, kalikrein, faktor XII dan Xi
3. factor 1, merusak C3b bebas yang melekat pada permukaan sel
4. factor H, mengikat C3b dan membantu factor 1 sehingga pengrusakan C3b lebih
efektif
5. C4 binding protein mengikat C4b untuk selanjutnya mempermudah pengrusakan
C4b oleh factor 1
6. enzim merupakan inaktivator anafilatoksin yang mengganggu aktivitas C3a, C4a
dan C5a dengan cara merombak arginin karboksiterminal yang ada di molekul-
molekul tersebut.
Fungsi komplemen
Fungsi utama dari sistem komplemen dalah menyebabkan lisis sel, perannya
dalam lisis bakteri terjadi karena pengaktivan jenjang C. Setelah mengalami
pengaktivan secara sekuensial, komponen-komponen C berinteraksi satu sama lain
untuk membentuk membrane attack compleks (MAC) dipermukaan sel sasaran. MAC
memasukkan molekul-molekul pembuat pori ke dalam membran sel imunogen.
Membran sel kemudian mengalami kerusakan sehingga air dan elektrolit masuk ke
dalam sel yang menyebabkan sel sasaran pecah dan mati.
Fungsi kedua komplemen, pembentukan berbagai mediator imun, berperan
penting dalam respons peradangan imun. Protein-protein system C menyebabkan
vasodilatasi ditempat peradangan. Apabila suatu suatu jaringan mengalami vasodilatasi,
maka akan lebih banyak darah dan sel imun yang beredar ke jaringan tersebut. Selain
itu, fragmen-fragmen C (terutama C5a dan kompleks C567) menarik neutrofil dan
makrofag ke tempat kejadian untuk meningkatkan fagositosis. Proses menarik sel-sel
44
fagositik ke tempat peradangan disebut kemotaksis. Beberapa fragmen (C3a, C4a, C5a)
menyebabkan degranulasi (pengosongan vesikel yang mengandung histamine) sel mast
dan basofil. Histamin yang dibebaskan kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas vascular dan kontraksi otot polos. Karena perubahan-perubahan ini mirip
dengan efek jaringan setelah reaksi dependen-IgE seperti anafilaksis, maka fragmen-
fragmen C tersebut sering disebut sebagai anafilaktosin..
Fungsi ketiga system C adalah opsonisasi. Sel-sel fagositik sering lebih mampu
menelan bahan apabila bahan imunogen ini dilapisi oleh komplemen (terutama C3b).
Banyak sel fagositik memiliki reseptor C3b di permukaan selnya. Apabila imunogen
dilapisi oleh komplemen, maka reseptor sel fagositik untuk komplemen dapat mengikat
imunogen dan fagositosis dapat berlangsung cepat.
Fungsi keempat, komplemen berperan penting dalam destruksi bakteri piogenik
melalui mekanisme fagositosis dan destruksi intraseluler.
Fungsi kelima adalah mengurangi kerentanan terhadap infeksi oleh Neisseria
meningitidis dengan adanya kompleks serangan membran (MAC).
Fungsi keenam, membantu menyajikan antigen pada sel penyaji antigen dan sel
B. Namun, penderita defisiensi C3 herediter hanya akan menderita gangguan produksi
antibodi ringan sehingga tampaknya komplemen tidak mempunyai peranan yang terlalu
penting
Aktivitas biologis sistem komplemen dapat dibagi menjadi aktivitas yang
menguntungkan dan yang membahayakan hospes. Aktivitas utama yang
menguntungkan hospes adalah sebagai berikut:
1. peningkatan pembunuhan mikroorganisme
2. pembersihan kompleks imun dengan efisien
3. induksi dan penguatan respon antibody
Komplemen dapat membahayakan hospes pada beberapa keadaan sebagai berikut:
1. bila diaktifkan secara sistemik pada skala besar, misalnya pada septisemia gram
negative
2. bila diaktifkan oleh nekrosis jaringan, misalnya pada infark miokardium
3. bila diaktifkan oleh respons autoimun terhadap jaringan hospes.
45
Komplemen dapat meningkatkan pembunuhan mikroorganisme. Peningkatan
pembunuhan mikroorganisme dicapai dengan beberapa cara sebagai berikut:
1. dengan pembentukan anafilaktosin yang akan meningkatkan permeabilitas
vaskular sehingga menarik komponen-komponen respons radang yang lain ke
tempat infeksi,
2. dengan opsonisasi mikroorganisme untuk menguatkan fagositosis
3. dengan penyelipan kompleks serangan membran ke dalam membran sel
mikroorganisme.
46
RESPON IMUN PADA INFEKSI
INFEKSI VIRUS
Virus adalah parasit intraseluler obligat yang berkembangbiak di dalam sel
hospes dan menggunakan asam nukleat dan berbagai organ seluler hospes untuk
metabolisme dan sintesis proteinnya.
Virus masuk ke dalam sel hospes dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik
yang berada pada permukaan sel hospes. Spesifisitas ini menentukan tropisme suatu
virus pada sel atau hospes tertentu. Misalnya, HIV (Human Immunodeficiency
Virus) mampu berikatan dengan reseptor CD4 pada permukaan sel T helper, virus
Epstein-Barr dengan reseptor pada permukaan sel B, virus polio pada permukaan
neuron, dan virus influenza A pada permukaan berbagai sel, termasuk epitel jalan
napas.
Setelah masuk ke dalam sel, virus menimbulkan kerusakan jaringan dan
penyakit serta menginduksi respon imun hospes dengan berbagai cara. Pada infeksi
yang bersifat sitopatik atau sitolitik, replikasi virus mengakibatkan kerusakan dan
kematian sel karena replikasi virus menggangu sintesis dan fungsi protein seluler
hospes. Sel yang terinfeksi akan mengalami lisis dengan melepaskan virus-virus
baru ke ruang ekstraseluler. Infeksi ini biasanya bersifat akut, seperti pada influenza
dan infeksi rotavirus.
Virus non-sitolitik dapat tetap bersembunyi di dalam sel hospes sambil
melepaskan kuncup-kuncup virus baru. Virus ini tidak hanya dapat menyebar
melalui jembatan interseluler tanpa melalui ruang ekstraseluler, sehingga tidak
terjangkau antibody dalam sirkulasi. Sel hospes dapat tetap hidup dan bahkan
membelah dan menurunkan sel-sel baru yang telah terinfeksi. Infeksi yang
ditimbulkan biasanya bersifat laten, seperti pada infeksi keluarga virus herpes.
DNA virus dapat berintegrasi dengan DNA hospes dan mengakibatkan
perubahan transkripsi kode genetic yang dapat mengubat sifat sel hospes.
Perubahan sifat ini dapat diturunkan pada generasi sel berikutnya. Infeksi ini dapat
mentransformasi sel normal hospes menjadi sel kanker.
47
Imunitas non-spesifik
Mekanisme pertahanan awal terhadap invasi virus adalah integritas permukaan
tubuh. Bila mekanisme ini dapat ditembus, akan terjadi aktivasi respon imun
nonspesifik seperti interferon, sel NK, dan makrofag
Ada 3 macam interferon, yaitu IFNα, IFNβ, dan IFNγ. Infeksi virus pada suatu
sel akan mengakibatkan dihasilkannya IFNα atau IFNβ yang akan mengaktifkan
mekanisme anti virus sel sekitarnya dan memungkinkannya menghindari infeksi.
IFNγ meningkatkan efisiensi respon imun spesifik dengan mensrimulasi ekspresi
MHC kelas I dan II. Interferon ini juga merupakan activator kuat makrofag dan sel
NK.
Imunitas spesifik: proteksi oleh antibody
Antibodi dapat menetralkan virus melalui berbagai cara. Pada influenza,
antibody terhadap hemaglutinin virus mencegah pengikatan virus pada reseptor sel
hospes sehingga mencegah penetrasi. Pada campak, antibody yang serupa
mencegah pemindahan virus campak dari sel ke sel. Antibodi juga dapat
menghancurkan partikel virus melalui aktivasi jalur komplemen klasik yang
kemudian melisis sel-sel yang terinfeksi virus campak, parotis, dan influenza.
Pemberian antibody pasif sebelum atau segera sesudah pemajanan dapat
melindungi terhadap infeksi-infeksi tertentu, seperti campak, hepatitis A dan B, dan
varisela.
Imunitas seluler
Imunitas seluler terhadap virus penting karena banyak virus yang bersifat
intraseluler sehingga tidak dapat dikenali oleh antibody. Virus intraseluler tersebut
dapat mengubah antigen permukaan membrane sel hospes atau melepaskan kuncup
berebentuk partikel infeksi dari permukaan sel. Reseptor limfosit T dapat
mengenali antigen permukaan yang telah berubah tersebut dan menimbulkan
rsepon imun terhadapnya. Sitotoksitas oleh sel NK atau sitotoksitas seluler
bergantung antibody (antibody dependent cell mediated citotoxicity, ADCC) juga
sangat efektif.
48
INFEKSI BAKTERI
Mekanisme pertahanan terhadap infeksi bakteri tergantung pada strukur bakteri
dan pada mekanisme patogenesitas bakteri tersebut.
Struktur bakteri- ada 4 macam dinding sel bakteri, yaitu dinding sel bakteri gram
positif, gram negative, mikobakteri, spirokheta. Lapisan lipid ganda (lipid bilayer0
terluar bakteri gram negative rentan terhadap mekanisme yang dapat melisis
menbran, seperti komplemen dan sel sitotoksik tertentu, sedangkan pemusnahan
baketri lain seringkali menggunakan mekanisme fagositosis. Pada lapisan terluar
bakteri sering terdapat fimbrae atau flagella, tau terlindungi dengan kapsul yang
dapat menghambat fungsi fagosit atau komplemen, tetapi perlengkapan ini dapat
menjadi sasaran antibody.
Mekanisme patogenesitas bakteri- Ada 2 pola patogenesitas bakteri, yaitu (1)
toksisitas tanpa invasi dan (2) invasi tanpa toksisitas. Corynebacterium diphteriae
dan Vibrio cholerae merupakan contoh bakteri yang toksik, tetapi tidak invasive.
Karena patogenesitasnya sepenuhnya tergantung pada produksi toksin. Sebaliknya
pada bakteri yang invasive, bakteri itu sendiri juga harus dibunuh. Kenyataannya,
kebanyakan bakteri mempunyai kedua pola patogenesitas tersebut, bersifat invasive
dibantu toksin local dan factor penyebaran atau enzim perusak jaringan.
Imunitas non-spesifik
Kulit dan membrane mukosa utuh memberikan rintangan mekanis terhadap
invasi bakteri. Keasaman cairan lambung dapat menghancurkan berbagai jenis
bakteri, kecuali beberapa bakteri pathogen tertentu seperti Salmonella typhosa.
Berbagai factor humoral juga dapat membunuh bakteri, sepserti asam lemak tidak
jenuh pada kulit dan lisosim, suatu enzim pada air mata, saliva, dan sekresi hidung,
yang mampu menghancurkan lapisan mukopeptida dinding sel bakteri.
Keseimbangan ekologi mikroba pada permukaan tubuh juga merupakan mekanisme
pertahanan yang penting. Keseimbangan ini dapat tergangguoleh penyakit atau
pengobatan. Misalnya, terjadi pertumbuhan Staphylococcus aureus berlebihan
setelah pemberian antibiotic berspektrum luas.
Setelah masuk ke dalam tubuh, berbagai komponen bakteri dapat memicu
berbagai respon non-spesifik, seperti aktivasi komplemen jalur alternative. Aktivasi
49
komplemen akan menghasilkan C3a dan C5a, suatu anafilatoksin yang dapat
memicu kontraksi otot polos dan degranulasi sel mast untuk meningkatkan
permeabilitas vascular; opsonisasi bakteri oleh produk C3; dan komplek serangan
membrane (C5b-9) yang mampu melisis dinding sel bakteri tertentu, terutama
bakteri gram negative. Bersama dengan berbagai produk bakteri, lipopolisakarida,
peptidoglikan, polianion, peptide muramil, dan sebagainya, aktivasi komlemen juga
bersifat khemotaktik, menarik, dan mengaktivasi neutrofil, makrofag, dan sel NK.
Pelepasan sitokin oleh makrofag dan sel NK akan mengaktifkan fagositosis. Semua
mekanisme ini dan berbagai mekanisme reaksi inflamasi yang lain dapat
menghambat penyebaran bakteri.
Imunitas spesifik : peran antibody
Selama perjalanan infeksi bakteri, elemen-elemen respon imun spesifik
diaktifkan melalui sel-sel jaringan limfoid. Pada infeksi local terjadi pembesaran
limfonodi regional atau pembesaran limpa bila organisme masuk ke dalam sirkulasi
darah.
Antibodi dapat menetralkan patogenesitas bakteri dengan berbagai cara.
Streptokokus grup A dan beberapa pathogen usus mempunyai reseptor pada epitel
yang dapat diblokade oleh antibody. Komponen-komponen bakteri yang dapat
menghambat fagositosis, seperti protein- M Streptokokkus dan kapsul
pneumokokus, Haemophilus influenzae dan Bacilus anthrax, dapat diinaktifkan
oleh antibody. Antibodi antitoksin dapat menetralkan toksin Corynebacterium
diphtheria, Clostridium tetani, dan Clostridium weichii, dan mencegah efek
kerusakan terpenting yang ditimbulkan bakteri-bakteri ini. Antibodi IgA sekretoris
terhadao lipopolisakarida dan toksin Vibrio cholera akan menghambat perlekatan
toksin pada reseptornya.
Imunitas seluler
Imunitas seluler efektif terhadap bakteri yang mampu hidup dan tumbuh dalam
makrofag hospes, seperti Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium leprae, dan
Legionella. Miroba-mikroba ini dapat mengelakkan mekanisme pembunuhan
fagosit dengan mencegah fusi fagosom dan lisosom, seperti pada mikobakterium
atau dengan menghambat peningkatan aktivitas metabolic pasca fagositosis,
sepserti pada Legionella.
50
INFEKSI PARASIT
Infeksi parasit protozoa dan cacing lazim diderita anak-anak di negara-negara
tropis serta menimbulkan masalah kesehatan yang cukup penting. Penyakit yang
ditimbulkan oleh investasi parasit sangatlah beraneka ragam, begitupula respon
imun yang efektif terhadap setiap jenis parasit. Pertahanan hospes non-spesifik
relative tidak efektif terhadap parasit. Mekanisme pertahanan terhadap infeksi
parasit memerlukan memerlukan antibody, sel T, dan makrofag yang distimulasi sel
T. Pada umumnya, respon humoral penting terhadap organisme yang menginvasi
aliran darah seperti malaria dan tripanosomiasis, sedangkan imunitas seluler
berperan pada parasit yang menginvasi jaringan, seperti Leismaniasis dan
toksoplasmosis.
Proteksi oleh antibody
Antibodi dihasilkan oleh berbagai tipe infeksi parasit, tetapi pada umumnya
parasit mampu mengembangkan cara-cara untuk mengelakkan penghancuran oleh
antibody. Kadar IgM biasanya meningkat pada tripanosomiasis dan malaria. IgG
pada malaria dan Leismaniasis viseralis, dan IgE pada infestasi cacing. Pada
tripanosomiasis dan malaria, parasit menghindari antibody dengan mengubah
epitop antigenic bentuk-bentuk darah sikliknya. Pada toksoplasmosis, antibody
efektif melawan bentuk dewasa tetapi tidak dapat melenyapkan kista sehingga
jarang ditemui penyakit klinis yang nyata, tetapi infeksi sub klinis relative sering.
Pada skistosomiasis, antibody yang dihasilkan dapat secara efektif memblokade
infeksi kedua, tetapi organisme pada infeksi pertama tetap hidup dalam darah
sampai beberapa tahun karena mampu menghindari pengenalan antibody dengan
menggunakan golongan darah hospes dan histokompatibilitas sebagai kulit luarnya.
Pada infeksi cacing, terutama Trichinellla spiralis, dihasilkan IgE dengan kadar
yang sangat tinggi. IgE dapat membantu memaksa pengeluaran cacing dengan
melepaskan histamine dari sel mast yang diselimuti IgE. Histamin ini akan
meningkatkan peristaltic usus dan menyebabkan eksudasi serum yang mengadung
antibody protektif berkadar tinggi dari semua kelas immunoglobulin.
51
Imunitas seluler
Limfosit T mempunyai peran yang penting pada respon hospes terhadap parasit.
Makrofag yang distimulasi limfokin efektif memfagosit protozoa intraseluler
seperti Trypanosoma cruzi, Lheismania donovani, Toxoplasma gondii, dan
Plasmodium sp, serta cacing seperti cacing filarial dan skistosoma. Sel T sitotoksik
secara langsung dapat menghancurkan sel dan fibroblast jantung yang terinfeksi T.
cruzi. Pada beberapa infeksi, seperti skistosomiasis, system imun tidak dapat secara
sempurna melenyapkan parasit. Sel T bereaksi terhadap antigen yang dilepaskan
secara local oleh cacing atau telurnya, dan mengisolasinya dengan pembentukan
granuloma.
52
DEMAM
Demam berarti temperatur tubuh di atas normal, dapat disebabkan oleh kelainan di
dalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan
temperatur.
A. Patofisiologi Demam
Demam karena efek pirogen
Banyak protein, hasil pemecahan protein, dan beberapa zat tertentu lain, terutama
toksin lipopolisakarida yang dilepaskan oleh bakteri, dapat menyebabkan
peningkatan set point termostat hipotalamus. Zat yang menimbulkan efek seperti ini
disebut zat pirogen.
Mekanisme kerja pirogen dalam menyebabkan demam
Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau dalam
darah, keduanya akan di fagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan
limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil
pemechan bakteri dan melepaskan zat interleukin-1 kedalam cairan tubuh, yang juga
disebut sebagai pirogen leucosit atau pirogen endogen. Interleukin-1 saat mencapai
hipotalamus lansung menyebabkan demam dengan cara menginduksi pembentukan
prostaglandin terutama prostaglandin E2 atau zat yang mirip zat ini selanjutnya
bekerja pada hipotalamus unutk membangkitkan reaksi demam.
Penjelasan di atas dapat disederhanakan dalam bentuk skema sbb :
Pirogen Endogen (PE)Pirogen Endogen (PE)
Thermostat dinaikkanThermostat dinaikkan
ProstagandinProstagandin
Demam Karena Lesi Otak
Bila seorang ahli bedah otak melakukan operasi didaerah hipotalamus, demam yang
berat hampir selalu terjadi; akan tetapi, jarang, timbul efek yang berlawanan,
Endotoksin, Peradangan, Rangsang piogenik lainEndotoksin, Peradangan, Rangsang piogenik lain
Leukosit PMN, Monosit, MakrofagLeukosit PMN, Monosit, Makrofag
HipotalamusHipotalamus
Demam
53
sehingga memperlihatkan kemampuan mekanisme hipotalamus untuk pengaturan
temperatu tubuh dan mudahnya kelainan hipotalamus mengubah set-point dari
pengatur temperatur. Keadaan lain yang menyebabkan memanjangnya temperatur
tinggi adalah penekanan hipotalamus oleh tumor otak.
B. Karakteristik Keadaan Demam
Kedinginan
Apabila set-point pusat pengatur hipotalamus berubah tiba-tiba dari tingkat normal
ke tingkat lebih tinggi dari nilai normal sebagai akibat dari penghancuran jaringan,
zat pirogen; atau dehidrasi, temperatur tubuh biasanya membutuhkan waktu beberapa
jam untuk mencapai set-point temperatur yang baru. Karena temperatur darah
sekarang lebih rendah dari dari set-point pengatur temperatur hipotalamus, terjadi
reaksi umum yang menyebabkan kenaikan temperatur tubuh. Pada periode ini orang
menggigil dan merasa kedinginan, walaupun temperatur tubuhnya mungkin telah di
atas nilai normal. Juga, kulit menjadi dingin karena terjadi vasokontriksi, dan orang
tersebut gemetar. Menggigil berlanjut saampai temperatur tubuh mencapai set-point
hipotalamus. Kemudian orang tersebut tidak lagi menggigil tapi sebaliknya merasa
tidak dingin atau panas. Sepanjang factor yang menyebabkan pengontrol temperatur
diatur terus pada nilai yang tinggi, temperatur tubuh diatur lebih kurang dengan cara
normal tetapi pada tingkat set-point temperatur yang tiggi.
Krisis atau Kemerahan
Bila factor yang menyebabkan temperatur tinggi tiba-tiba disingkirkan, set-point
pengatur temperatur hipotalamus tiba-tiba turun ke nilai yang lebih rendah atau
mungkin ke nilai normal. Keadaan ini analaog dengan pemanasan yang berlebihan
pada area preoptik-hipotalamus anterior, yang menyebabkan keringat banyak, dan
kulit tiba-tiba menjadi panas karena vasodilatasi di semua tempat. Perubahan yang
tiba-tiba dari peristiwa ini dalam penyakit demam di kenal sebagai “krisis” atau lebih
tepatnya “kemerahan”.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMUNITAS
DARI INDIVIDU ITU SENDIRI
54
USIA : faktor usia akan mempengaruhi imunitas seseorang. Pada masa bayi,
sistem imun belum berkembang secara sempurna sedang setelah usia tua, sistem
imun ada yang mengalami degradasi seperti thymus yang menghilang pada usia
dewasa. Hal ini dapat mempengarhi daya imunitas seseorang terhadap agen asing.
JENIS KELAMIN : pengaruhnya terhadap respon imun terkait dengan sistem
hormonal, dimana pada pria sangat berbeda dengan wanita. Al ini dapat
mempengaruhi kerja sistem imun.
GENETIK : keadaan genetik seseorang dapat sangat mempengaruhi sistem
imunnya. Orang dengan penyakit genetik kegagalan sistem imun akan sangat
berbeda tingkat imunitasnya dengan orang yang memiliki sistem imun dalam
keadaan baik.
KEADAAN NUTRISI : imunitas sangat dipengaruhi keadaan gizi seseorang.
Orang dengan gangguan penyakit gizi akan lebih mudah terserang penyakit (daya
imunitasnya rendah) dibanding orang yang tercukupi gizinya. Karena asupan
nutrisi yang baik akan menunjang kerja tubuh dalam keadaan optimal, termasuk
yang berkenaan dengan sistem imun.
IMUNISASI : pemberian vaksin/imunisasi akan membantu memperkuat sistem
imun terhadap penyakit tertentu. Meskipun tidak serta merta dapat bebas dari
penyakit, pemberian imunisasi akan membantu kerja sistem imun bila suatu saat
agen pembawa penyakit tersebut menyerang tubuh. Sehingga tubuh telah sap
menjamu agen asing tersebut.
DARI LINGKUNGAN
PAPARAN AGEN ASING : orang yang terpapar agen asing dalam intensitas
yang tinggi dan jumlah yang besar akan lebih rentan terkena penyakit disbanding
55
orang yang kurang mendapat paparan. Sehingga sistem imun harus bekerja lebih
keras untuk menghancurkan agen asing.
KEMAMPUAN ANTIGEN MENGHINDARI SISTEM IMUN : antigen memiliki
kemampuan untuk menghindar dari respon imun tubuh, terutama respon awal
nonspesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen Garna, 1996. Imunolodi Dasar edisi 6.. Jakarta: FKUI
56
Bellanti, Joseph A, 1993. Imunologi III. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Burmester, GR, Pezzto, A, 2003. Colour Atlas of Immunology. Available in:
Http://server.fk-unram.edu/doc/
Dorland, W. A Newman, 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Guyton, Arthur C :Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit (human physoilogy and
mechanisms of disease); alih bahasa, Petrus Andrianto.-ed.3.- Jakarta :EGC, 199
Guyton and hall, 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.9. Jakarta: EGC
Jawetz dkk. 2005, Mikrobiologi Kedokteran Jld. 1. Jakarta: Salemba Medika
Kresno, SB, 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Labolatorium. Jakarta: FKUI
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson, 2005. Patofisiologi Jld. 1 Ed. 6. Jakarta: EGC
Wahab, AS, Julia, M, 2002. Sstem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika
57