LAPORAN TAHUNAN 2017 · sumber daya manusia di Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan tahun...
Transcript of LAPORAN TAHUNAN 2017 · sumber daya manusia di Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan tahun...
i
LAPORAN TAHUNAN
2017
PUSLITBANG SUMBER DAYA DAN
PELAYANAN KESEHATAN
BADAN LITBANG KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2017
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatanii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga Buku Laporan Tahunan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan (Puslitbang SD-Yankes) Tahun 2017
ini terselesaikan.
Laporan Tahunan Puslitbang SD- Yankes 2017 merupakan laporan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan Puslitbang SD-Yankes Tahun 2017 disusun berdasarkan pencapaian target
serta sasaran program pembangunan yang dilaksanakan guna mencapai visi dan misi
Kementerian Kesehatan yang mengikuti visi dan misi Presiden Indonesia.
Laporan Tahun ini juga merupakan salah satu indikator evaluasi setiap tahun dari
pelaksanaan kegiatan yang memuat gambaran ringkas tentang kinerja Puslitbang SD -
Yankes dengan menggunakan pendekatan sistem, yakni meliputi masukan (input), proses,
keluaran (output), outcome dan impact. Output diukur dengan capaian indikator kinerja
kegiatan. Sedangkan outcome dan impact hasil penelitian dan pengembangan tidak dapat
diukur di tingkat masyarakat, karena penelitian dan pengembangan adalah kegiatan
penunjang program, maka parameternya adalah seberapa jauh hasil penelitian dan
pengembangan dapat dipakai oleh penentu kebijakan atau pemegang program untuk
perbaikan kebijakan maupun perbaikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Terbitnya Buku Laporan ini diharapkan akan bermanfaat dan dapat memberikan
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Informasi yang terdapat pada Buku
Laporan Tahunan ini diharapkan dapat dipakai sebagai alat untuk mawas diri sekaligus
masukan untuk perbaikan perencanaan tahun berikutnya.
Kepada Tim Penyusun yang telah menyelesaikan buku ini kami sampaikan
penghargaan yang sebesar-besarnya.Kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, untuk itu saran dan usulan yang membangun dan bermanfaat akan kami
terima.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya
dan Pelayanan Kesehatan
Dr. Drs. Nana Mulyana, M.Kes
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehataniii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... iv DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... v BAB I. ANALISA AWAL TAHUN ............................................................................
1
A. HAMBATAN TAHUN LALU .................................................................... 1 B. KELEMBAGAAN ................................................................................... 2 C. SUMBER DAYA .................................................................................... 4
BAB II. TUJUAN DAN SASARAN KERJA ..............................................................
10
A. DASAR HUKUM ................................................................................... 10 B. TUJUAN, SASARAN DAN INDIKATOR ................................................ 11
BAB III. STRATEGI PELAKSANAAN ....................................................................
13
A. STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN ............................ 13 B. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STRATEGI ............................... 13 C. TEROBOSAN YANG DILAKUKAN ........................................................ 14
BAB IV. HASIL KERJA ...........................................................................................
15
A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN .............................................. 15 B. PENCAPAIAN KINERJA ....................................................................... 16 C. REALISASI ANGGARAN ....................................................................... 23 D. PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI ..........................................
BAB V. PENUTUP .................................................................................................
25
Lampiran: Rekomendasi Kebijakan
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehataniv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. : Sarana dan Prasarana, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2017
Tabel 1.2. : Alokasi Anggaran Berdasarkan Belanja, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2017
Tabel 1.3. : Alokasi Anggaran Berdasarkan Output Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan,Tahun 2017
Tabel 2.1.
: Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2017
Tabel 4.1.
: Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2017
Tabel 4.2.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan, Jumlah rekomendasi kebijakan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2017
Tabel 4.3.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Jumlah Produk / Informasi/ Data di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan Tahun 2017
Tabel 4.4.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2017
Tabel 4.5.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik internasional Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan KesehatanTahun 2017
Tabel 4.6.
: Kegiatan Panitia Pembina Ilmiah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2017
Tabel 4.7.
: Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Belanja, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2017
Tabel 4.8.
: Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan IKK, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Tahun 2017
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatanv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. : Struktur Organisasi Puslitbang SD-Yankes
Gambar 1.2. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan
Gambar 1.3. :
Jumlah Pegawai Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan Fungsional
Gambar 1.4. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Fungsional Peneliti
Gambar 1.5. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Umur
Gambar 1.6. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin
Gambar 1.7. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Golongan
Gambar 1.8. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambar 4.1. :
Sertifikat Akreditasi Majalah Ilmiah
Gambar 4.2. :
Sertifikat Akreditasi Laboratorium Penguji
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 1
BAB I ANALISA SITUASI AWAL TAHUN 2017
A. HAMBATAN TAHUN 2017
Pembangunan kesehatan jangka panjang ditujukan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Dalam jangka menengah lima tahunan, sesuai Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015 – 2019, yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan,
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya dapat terwujud, yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan
perilaku dan dalam lingkungan yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
(Puslitbang SD-Yankes), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, harus ikut
berperan dalam upaya perbaikan indikator kesehatan dan upaya pemecahan masalah dan
penanggulangan penyakit, melalui penelitian dan pengembangan bidang sumber daya dan
pelayanan kesehatan.
Selama pelaksanaan Tahun 2017, terdapat beberapa hal yang menghambat dalam
pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan, yakni:
1. Merupakan satker dengan tupoksi baru sesuai Permenkes 64 tahun 2015,
2. Penyelenggarakan Riset Implementasi PIS – PK sesuai intruksi Menkes,
merupakan output tambahan yang muncul setelah DIPA 2017 disahkan,
sehingga aktivitas yang harus dilaksanakan segera belum memiliki anggaran.
3. Output tambahan menyebabkan revisi pertama harus dilaksanakan segera di
Kanwil DJPB. Revisi tidak berjalan mudah karena tahun 2017 merupakan tahun
pertama DJPB melaksanakan revisi penambahan output.
4. Pada tahun 2017 terdapat dana titipan 002 pada output layanan internal sebesar
Rp 2.424.949.000 Dana titipan ini harus dikembalikan pada output yang
seharusnya yaitu layanan perkantoran (operasional perkantoran).Hal ini
menyebabkan harus dilaksanakan revisi DIPA utk kedua kalinya. Revisi
pemindahan dana titipan dilaksanakan bersamaan dengan revisi efisiensi, yaitu
pada bulan Agustus 2017,
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 2
B. KELEMBAGAAN
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan (Puslitbang SD-Yankes) mempunyai tugas
melaksanakan penyusunan kebijakan teknis, pelaksanaan, dan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan
tugas dimaksud, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan
Kesehatan menyelenggarakan fungsi;
1. penyusunan kebijakan teknis penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang
sumber daya dan pelayanan kesehatan;
2. pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang sumber daya dan
pelayanan kesehatan;
3. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penelitian dan pengembangan kesehatan di
bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan; dan
4. pelaksanaan administrasi Pusat.
Penjabaran dari tugas dan fungsi tersebut, maka dalam susunan organisasi Puslitbang
SD - Yankes yang terdiri dari:
1. Bagian Tata Usaha (Bagian TU)
2. Bidang Sumber Daya Kesehatan (Bidang SDK)
3. Bidang Pelayanan Kesehatan (Bidang Yankes)
4. Sub Bagian Program dan Kerjasama (Sub-bagian PKS)
5. Sub Bagian Keuangan, Kepegawaian dan Umum (Sub-bagian KKU)
6. Sub Bidang Kefarmasi dan Alat Kesehatan (Sub-bidang Farmalkes)
7. Sub Bidang Sumber Daya Manusia Kesehatan (Sub-bidang SDMK)
8. Sub Bidang Pelayanan Kesehatan Primer dan Rujukan (Sub-bidang Yankes Primer
dan Rujukan )
9. Sub Bidang Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Penunjang (Sub-bidang Yankestrad
dan Penunjang)
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 3
Gambar 1.1. Struktur Organisasi Puslitbang SD – Yankes
Di samping itu, Puslitbang SD-Yankes, sebagai lembaga penelitian dan pengembangan,
juga mempunyai struktur ad-hoc yakni:
1. Panitia Pembina Ilmiah (PPI)
Tugas Panitia Pembina Ilmiah Puslitbang SD - Yankes adalah sebagai berikut:
a) Memberikan masukan kepada Kepala Puslitbang SD - Yankes tentang prioritas dan
kualitas penelitian pengembangan bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
b) Memberikan saran dalam penyusunan rencana program dan kerjasama penelitian
dan pengembangan Puslitbang SD – Yankes serta pengembangan kemampuan
institusi
c) Melakukan seleksi dan menilai usulan penelitian sesuai dengan kriteria pedoman
yang telah ditentukan dan memberikan saran perbaikan sebagai masukan untuk
Kepala Puslitbang SD – Yankes
d) Melakukan pembinaan penelitian dari proposal, pelaksanaan penelitian, hingga
penyusunan laporan akhir
e) Memberikan saran-saran perbaikan terhadap laporan hasil penelitian,
penyebarluasan hasil penelitian termasuk dalam seminar hasil penelitian dan
publikasi
Kepala Dr. Drs. Nana Mulyana, M.Kes
Sub-bag PKS Dra. Excalanti Prawirawati
Sub-bag KKU Elvira Eka Putri, SKM, M.Kes
Bagian Tata Usaha
Nagiot Cansalony, SKM, ME
Bidang SDK Dr. dr. Harimat Herdarwan, M.Kes
Bidang Yankes dr. Muhammad Karyana, M.Kes
Sub-bidang SDMK Tinexcelly Marisiuli, SKM, MKM
Sub-bidang Yankes Primer dan Rujukan dr. Eva Sulistiowati, M.Biomed
Sub-bidang Yankestrad dan Penunjang dr. Hadi Siswoyo, M.Epid
KF Peneliti
Panitia Pembina Ilmiah (PPI) Puslitbang SD-Yankes
TP2U Puslitbang SD-Yankes
Sub-bidang Farmalkes Yuyun Yuniar, SSi, Apt. MA
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 4
f) Membina peneliti melalui seminar, diskusi ilmiah, kursus, perumusan pedoman dan
lain sebagainya.
g) Memupuk lingkungan kehidupan ilmiah
2. Tim Penilai Peneliti Unit (TP2U)
Tugas Tim Penilai Peneliti Unit Puslitbang SD - Yankes adalah sebagai berikut:
a) Membantu para peneliti dalam proses penilaian dan perhitungan angka kredit jabatan
fungsional
b) Memberikan saran perbaikan kepada para peneliti dalam proses penilaian dan
perhitungan angka kredit jabatan fungsional
c) Memberikan penjelasan kepada para peneliti tentang Angka Kredit Jabatan
Fungsional Peneliti
d) Melaporkan hasil kerjanya kepada Kepala Puslitbang SD – Yankes, mencek
kebenaran artikel/tulisan yang diajukan
e) Mengingatkan/memberi peringatan pada peneliti yang angka kreditnya akan habis
sesuai batas waktu yang ditentukan
C. SUMBER DAYA
Sumber daya yang dipunyai Puslitbang SD - Yankes meliputi sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, serta dana. Jabaran tentang sumber daya dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu aset utama dalam organisasi
penelitian. Pada awal dibentuknya Puslitbang SD-Yankes tahun 2016, Puslitbang
SD-Yankes memiliki 156 orang pegawai yang terbagi menjadi 3 jenjang jabatan yaitu
struktural, fungsional tertentu dan fungsional umum. Dalam jenjang struktural
terdapat 4 pegawai yang merangkap jabatan, yaitu sebagai pejabat struktural dan
juga memiliki jenjang fungsional. Sementara pada akhir Tahun 2017 jumlah pegawai
yang dimiliki adalah 148 orang. Untuk memahami dengan jelas mengenai kondisi
sumber daya manusia di Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan tahun
2016 hingga 2017 perhatikan gambar berikut.
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 5
Berdasarkan jenjang jabatan, fungsional tertentu merupakan jumlah pegawai
terbanyak. pegawai. Struktural sebanyak 10 pegawai, dan dalam jenjang struktural
terdapat 4 pegawai yang merangkap jabatan, yaitu sebagai pejabat struktural dan
juga memiliki jenjang fungsional.
Jenjang fungsional tertentu adalah salah satu aset vital dalam organisasi, terutama
organisasi penelitian, karena merupakan penggerak sistem sehingga organisasi
dapat berjalan
Apabila dipilah, maka jenjang jabatan fungsional, dapat dibagi menjadi peneliti,
teknisi litkayasa dan analisis kepegawaian. Berikut adalah gambaran pegawai
berdasarkan jenjang jabatan fungsional.
0
20
40
60
80
100
2016 2017
10 10
67 60
84 82
Gambar 1.2 Jumlah Pegawai 2016 -2017 Berdasarkan Jenjang Jabatan
Struktural JFU JFT
0
20
40
60
80
2016 2017
2 2 7 7
75 73
Gambar 1.3 Distribusi Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan Fungsional
Tertentu
Anpeg Litkayasa Peneliti
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 6
Berdasarkan jenjang jabatan fungsional tertentu maka peneliti merupakan jenjang
jabatan fungsional dengan jumlah pegawai terbanyak.
Jenjang fungsional penelitipun bila dilihat lebih detil dapat dibagi lagi berdasarkan
ketentuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakni peneliti utama, peneliti
madya, peneliti muda, dan peneliti pertama. Berikut gambaran jenjang fungsional
peneliti berdasarkan kriteria LIPI.
Berdasarkan jenjang jabatan fungsional peneliti maka peneliti madya merupakan
jenjang jabatan fungsional peneliti dengan jumlah pegawai terbanyak.
Menurut golongan, pegawai dibagi berdasarkan golongan I, II, III, dan IV. Berikut
jumlah pegawai berdasarkan golongan;
0
10
20
30
40
2016 2017
30 31
24 20
18 17
3 4
Gambar 1.4 Distribusi Pegawai Berdasarkan Jenjang JFT Peneliti
Pertama Muda Madya Utama
0
20
40
60
80
100
2016 2017
1 1
37 33
91 85
27 28
Gambar 1.5 Distribusi Pegawai Berdasarkan Golongan
I II III IV
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 7
Berdasarkan golongan, dari 148 pegawai banyak didominasi oleh pegawai dengan
golongan III.
Menurut tingkat pendidikan, pegawai dibagi berdasarkan tingkat pendidikan SD,
SLTP, SLTA/D1, D2/D3, S1, S2, dan S3. Berikut jumlah pegawai berdasarkan tingkat
pendidikan;
Gambar 1.6 Distribusi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan, dari 148 pegawai banyak didominasi oleh pegawai
dengan tingkat pendidikan S2.
Pada tahun 2017 telah dilakukan pengukuhan dan orasi profesor riset yang
berasal dr Puslitbang SD-Yankes yaitu Prof. Dr. Sudibyo Supardi, Apt, M.Kes yang
merupakan peneliti subbidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Beliau mengangkat
judul orasi “Merasionalkan Pengobatan Sendiri melalui Promosi Kesehatan”. Saat ini
Prof. Sudibyo merupakan satu-satunya Profesor Riset di Puslitbang Sumber Daya
dan Pelayanan Kesehatan dari 3 Profesor Riset yang masih aktif di Badan Litbang
Kesehatan.
2. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Puslitbang SD – Yankes meliputi yang bergerak
maupun tidak bergerak. Secara umum sarana yang tidak begerak meliputi: gedung
perkantoran, gedung peneliti, dan gedung laboratorium. Wujud transparansi dan
akuntabilitas sarana dan prasarana Puslitbang SD – Yankes dituangkan dalam
Laporan Barang Milik Negara, yang juga merupakan pertanggungjawaban
0
10
20
30
40
50
60
70
2016 2017
1 1
13 9
32 32
8 9
44
22
50
65
8 10
SD SMP SMA/D1 D3 S1 S2 S3
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 8
pengelolaan keuangan negara. Laporan Barang Milik Negara disusun menggunakan
Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN).
Tabel 1.1. Sarana dan Prasarana dan Ringkasan BMN
Puslitbang SD – Yankes Tahun 2017
AKUN NERACA
JUMLAH KODE URAIAN
1 2 3
117.111 Barang Konsumsi 106.016.495
117.113 Bahan untuk Pemeliharaan 5.556.730
117.114 Suku Cadang 15.903.960
117.121 Pita Cukai. Materai dan Leges 0
117.124 Peralatan dan Mesin untuk dijual atau diserahkan kepada Masyarakat
106.850.000
117.131 Bahan Baku 77.000
117.199 Persediaan Lainnya 45.535.287
131.111 Tanah 20.558.000.000
132.111 Peralatan dan Mesin 22.610.021.528
133.111 Gedung dan Bangunan 14.627.277.246
134.111 Jalan dan Jembatan 653.307.500
134.112 Irigasi 90.860.220
134.113 Jaringan 165.411.270
135.121 Aset Tetap Lainnya 427.130.740
137.111 Akumulasi Penyusutan Peralatan dan Mesin
(17.563.274.2)
137.211 Akumulasi Penyusutan Gedung dan Bangunan
(3.959.537.894)
137.311 Akumulasi Penyusutan Jalan dan Jembatan
(648.110.621)
137.312 Akumulasi Penyusutan Irigasi
(15.446.234)
137.313 Akumulasi Penyusutan Jaringan
(35.744.509)
162.151 Software 60.710.000
166.112 Aset Tetap yang tidak digunakan dalam operasi pemerintahan 18.536.000
169.122 Akumulasi Penyusutan Aset Tetap yang tidak digunakan dalam operasi
(18.536.000)
169.315 Akumulasi Amortisasi software (52.346.250)
J U M L A H 37.198.198.226
3. Dana
Pada tahun 2017 Puslitbang SD - Yankes mendapat anggaran sebesar sebanyak
Rp. 81.479.884.000,- (delapan puluh satu milyar empat ratus tujuh puluh sembilan
juta delapan ratus delapan puluh empat ribu rupiah) yang terdiri dari belanja
pegawai, belanja barang dan belanja modal. Besaran alokasi masing-masing belanja
sebagai berikut:
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 9
Tabel 1.2. Alokasi Anggaran Berdasarkan Belanja
Puslitbang SD – Yankes Tahun 2017
No Alokasi Jumlah
1 Belanja Pegawai Rp. 13.142.000.000
2 Belanja Barang Rp. 67.603.884.000
3 Belanja Modal Rp. 734.000.000
Jumlah Rp. 81.479.884.000
Diluar belanja pegawai, alokasi anggaran terbanyak adalah alokasi untuk belanja barang.
Apabila dipilah berdasarkan output maka alokasi anggaran tersebut sebagai berikut:
Tabel 1.3. Alokasi Anggaran Berdasarkan Output
Puslitbang SD – Yankes Tahun 2017
No Output Jumlah (Rp)
1. Rekomendasi Kebijakan 103.810.000
2. Publikasi Karya Tulis Ilmiah di bidang sumber
daya dan pelayanan kesehatan
166.850.000
3. Penelitian Bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
17.463.742.000
4. Laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil
Riset Kesehatan Nasional wilayah I
40.903.728.000
5. Layanan Internal (Overhead) 5.580.250.000
6. Layanan Perkantoran 17.161.204.000
Jumlah Rp. 81.479.584.000
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 10
BAB II TUJUAN DAN SASARAN KERJA
A. DASAR HUKUM
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Puslitbang SD – Yankes mengacu pada
dasar hukum sebagai berikut:
1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);
2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609);
5) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional Tahun 2015-2019
6) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2012
7) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Prioritas Pembangunan Nasional
8) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 29 Tahun 2010 Tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja Dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
9) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/SK/X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;
10) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/X/2002 tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap Manusia;
11) Keputusan Menteri Kesehatan No. 375 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025
12) Peraturan Menteri Kesehatan No. 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
13) Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/422/2017tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015 – 2019
14) DR. Dr. Trihono, MSc. (2011): Rencana Besar Pengembangan Badan Litbangkes, Jakarta.
15) Rencana Aksi Kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2015 – 2019.
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 11
B. TUJUAN, SASARAN DAN INDIKATOR
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.64 Tahun 2015 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya
dan Pelayanan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan
kesehatan, serta menapis teknologi di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan.
Dalam mencapai tugas pokok fungsi tersebut telah ditetapkan sasaran, dan indikator kinerja.
1. Visi
Visi yang ingin dicapai Badan Litbangkes adalah sebagai lokomotif Penelitian, Pengawal
Kebijakan, dan Legimator Program Pembangunan berbasis bukti.
2. Misi
Untuk mencapai visi tersebut telah ditetapkan beberapa misi, yang dilaksanakan oleh
segenap jajaran dilingkungan Puslitbang SD – Yankes. Adapun misi yang telah ditetapkan
meliputi:
a. Mengembangkan sumber daya litbangkes
b. Mengembangkan kerjasama strategis litbang dan iptek kesehatan
c. Menghasilkan rekomendasi untuk pembangunan kesehatan
d. Menghasilkan iptek kesehatan
3. Tujuan
Tujuan organisasi ditetapkan berdasarkan yang ingin dicapai dalam jangka panjang
selama 5 tahun dan jangka pendek selama satu tahun. Untuk tahun 2017, tujuan yang ingin
dicapai meliputi:
a. Membuat rekomendasi kebijakan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
b. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
c. Melaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya
dan pelayanan kesehatan
4. Sasaran
Untuk mencapai tujuan telah ditetapkan beberapa sasaran. Sasaran ini merupakan hasil
nyata yang akan dicapai dengan rumusan yang spesifik, terarah. Adapun sasaran yang
telah ditetapkan meliputi:
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 12
a. Terlaksananya penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan yang ditandai dengan jumlah hasil di bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
b. Terlaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya
dan pelayanan kesehatan yang ditandai dengan publikasi ilmiah di bidang sumber
daya dan pelayanan kesehatan yang dimuat pada media cetak dan elektronik, baik
nasional maupun internasional.
5. Indikator Kinerja Kegiatan
Kegiatan yang telah ditetapkan akan diukur setiap akhir tahun anggaran, dan selama
tahun tersebut dilakukan monitoring dan evaluasi dan pencapaiannya. Indikator kinerja
kegiatan yang ditetapkan tahun 2017, adalah:
Tabel 2.1. Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Puslitbang SD-Yankes Tahun 2017
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target Capaian %
Meningkatnya
penelitian dan
pengembangan di
bidang sumber daya
dan pelayanan
kesehatan
Jumlah rekomendasi kebijakan
yang dihasilkan dari penelitian
dan pengembangan di bidang
sumber daya dan pelayanan
kesehatan
8 11 137,5 %
Jumlah publikasi karya tulis
ilmiah di bidang sumber daya
dan pelayanan kesehatan yang
dimuat di media cetak dan/atau
elektronik nasional dan
internasional
13 18 138,46 %
Jumlah hasil penelitian dan
pengembangan di bidang
sumber daya dan pelayanan
kesehatan
8 8 100%
Jumlah laporanStatus
Kesehatan Masyarakat hasil
Riset Kesehatan Nasional
wilayah I
1 1 100 %
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 13
BAB III STRATEGI PELAKSANAAN
A. STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN
Strategi pencapaian sasaran dilakukan dengan menyusun program tahun 2017,
dengan mengacu pada RPJMN, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, dan Rencana
Aksi Kegiatan Puslitbang SD – Yankes Tahun 2017 - 2019. Secara umum strategi
pencapaian tujuan dan sasaran dilakukan dengan 4 kegiatan, yakni;
1. Membuat rekomendasi kebijakan dibidang sumber daya dan pelayan kesehatn
2. Melaksanakan penelitian dan pengembangan dibidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
3. Melaksanakan penyebarluasan dan pemanfaatan hasil litbang
4. Melaksanakan riset kesehatan nasional berupa Riset Ketenagaan Di bidang
Kesehatan
B. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STRATEGI
Dalam melaksanakan strategi pencapaian tujuan dan sasaran, dirasakan adanya
beberapa hambatan. Hambatan tersebut berasal dari internal maupun eksternal Puslitbang
SD-Yankes. Adapan hambatan yang dirasakan meliputi:
a. Penyelenggarakan Riset Implementasi PIS – PK sesuai intruksi Menkes, merupakan
output tambahan yang muncul setelah DIPA 2017 disahkan, sehingga aktivitas yang
harus dilaksanakan segera belum memiliki anggaran.
b. Output tambahan menyebabkan revisi pertama harus dilaksanakan segera di Kanwil
DJPB. Revisi tidak berjalan mudah karena tahun 2017 merupakan tahun pertama
DJPB melaksanakan revisi penambahan output.
c. Pada tahun 2017 terdapat dana titipan 002 pada output layanan internal sebesar Rp
2.424.949.000 Dana titipan ini harus dikembalikan pada output yang seharusnya
yaitu layanan perkantoran (operasional perkantoran).Hal ini menyebabkan harus
dilaksanakan revisi DIPA utk kedua kalinya. Revisi pemindahan dana titipan
dilaksanakan bersamaan dengan revisi efisiensi, yaitu pada bulan Agustus 2017.
d. Pemahaman terhadap pertanggungjawaban atas penggunaan dana APBN riset
sangat rendah dari pihak mitra sehingga output hibah penelitian teknologi kesehatan
hanya menyelesaikan kegiatan.
e. Desk perencanaan dan penganggaran internal tidak maksimal seperti proses tahun
2016.
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 14
C. TEROBOSAN YANG DILAKUKAN
Terobosan telah dilakukan untuk meminimalisasi hambatan yang ada agar tidak
menganggu dalam pencapaian tujuan. Terobosan yang dilakukan berupa:
1. Anggaran untuk Riset Implementasi PIS-PK yang harus dilaksanakan segera
terkait pertemuan dan pelatihan tim riset disediakan dari output layanan internal.
Sementara sisa kebutuhan dana lainnya disediakan dengan mengefisiensikan
secara mandiri dari output hasil penelitian bidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan
2. Tim Peneliti dengan tim PPI yang difasilitasi oleh tim manajemen berhasil
menyelesaikan proses ethical clearance tanpa mengganggu jadwal penelitian.
3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) berhasil menjalankan fungsi pengendalian
dan pengawasan kegiatan dan penggunaan dana.
4. Komunikasi yang baik, intensif dan terbuka antara peneliti, struktural dan
pegawai lainnya terbina melalui tatap muka maupun media sosial membantu
pencapaian kinerja.
5. Terbitnya jurnal Litbang Pelayanan Kesehatan vol 1: no 1 dan 2, meskipun belum
terakreditasi, namun mulai memacu peneliti untuk memasukan artikelnya.
6. Workhop penulisan artikel ilmiah yang tahun 2017 dapat dilaksanakan,
menghasilkan bank artikel yang dapat menjaga konsistensi dan mutu jurnal
7. Terlaksananya Perjanjian Kerjasama dalam penelitian PIS PK dan sekaligus
sebagai daerah Binwil dengan Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 15
BAB IV HASIL KERJA
A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN
Pencapaian tujuan dan sasaran dilakukan dengan kegiatan berupa input dan output.
Detil capaian dari masing-masing kegiatan adalah:
1. Masukan (Input)
Untuk melaksanakan kegiatan agar diperoleh output maka telah dilakukan dengan
masukan berupa:
a. Sumber daya manusia sebanyak 148 sangat mendukung untuk pelaksanaan
kegiatan. Sumber daya manusia yang terbagi antara struktural dan fungsional,
fungsional yang terbagi penelitian dan litkayasa serta analis kepegawaian, jenjang
pendidikan yang lebih banyak S2, jenjang peneliti yang lebih didominasi peneliti
madya, umur pegawai yang lebih didominasi usia produksi 31 – 40 tahun.
b. Sarana dan Prasarana yang dimiliki meliputi tanah, peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, irigasi, dan jaringan. Sarana berupa kantor, ruang peneliti, laboratorium,
gedung pelatihan, alat laboratorium dll.
c. Biaya yang teralokasi sebesar Rp 81.479.584.000,- sangat membantu untuk
kelancaran kegiatan.
d. Komunikasi dengan menggunaan internet, short message service. Semua
komunikasi dilakukan secara elektronik, termasuk adanya disposisi, dilakukan
pengarsipan secara elektornik selanjutnya dikirimkan kepada yang bersangkutan.
e. Melaksanakan jejaring penelitian dengan institusi rumah sakit dan universitas
f. Mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirim peneliti melalui jenjang
pendidikan, dan membuat workshop terkait penelitian, serta dengan mentandemkan
peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian institusi lain yang sudah ahli di
bidang penelitian klinik.
g. Membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain.
h. Melaksanakan pelatihan penulisan publikasi.
i. Mengoptimalkan fungsi Panitia Pembina Ilmiah
2. Keluaran (Output)
Output yang dicapai setelah dilakukan upaya dengan memberikan masukan baik
berupan sumber daya manusia, dana, saran dan prasarana, teknologi meliputi:
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 16
a. Pelaksanaan jejaring penelitian klinik dengan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai
antisipasi ketiadaan rumah sakit dan laboratorium penunjang. Jejaring dilakukan
dengan wadah Indonesia Research Partnership on Infectious Disease = INA
RESPOND, yang terdiri dari 8 rumah sakit dan 7 fakultas kedokteran. Fakultas
Kedokteran (FK) Universitas Indonesia/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, RS
Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr Hasan
Sadikin, FK Universitas Diponegoro/RSUP Dr Kariadi, FK Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr Sardjito, FK Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo, FK
Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan FK Universitas Hasanuddin/RSUP Dr
Wahidin Sudirohusodo.
b. Mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan penelitian melalui
jenjang pendidikan,
c. Mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian HTA
d. Membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain.
e. Panitia Pembina Ilmiah melakukan monitoring setiap pelaksanaan penelitian, dan
dengan bersama tim manajemen melakukan supervisi penelitian
B. PENCAPAIAN KINERJA
Berbagai upaya yang dilakukan untuk pencapaian tujuan dan sasaran baik berupa
masukan maupun keluaran berujung pada pencapaian indikator kinerja kegiatan. Dan
berikut capaian kinerja tersebut:
Tabel 4.1. Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Puslitbang SD-Yankes Tahun 2017
No Indikator Target Realisasi Realisasi
1. Jumlah rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
8 11 137,5 %
2. Jumlah publikasi karya tulis ilmiah di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan yang dimuat di media cetak dan/atau elektronik nasional dan internasional
13 18 138,46 %
3. Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
8 8 100%
4. Jumlah laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional wilayah I
1 1 100 %
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 17
Dari target sebanyak 8 dokumen, telah dapat dipenuhi pencapaian sebesar 11 dokumen
terkait dengan jumlah rekomendasi kebijakan dibidang sumber daya dan pelayanan
kesehatan. Ke delapan capaian indikator Jumlah rekomendasi kebijakan di bidang
sumber daya dan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Rekomendasi Kebijakan
Tahun 2017
No Judul Rekomendasi Kebijakan Nama Peneliti Satker
1 Optimalisasi Peran Apoteker dalam Kepatuhan Minum Obat pada ODHA Ibu dan Anak
Yuyun Yuniar Puslitbang SD – Yankes
2. Perluasan Pemanfaatan Alat Tes Cepat Molekuler (TCM) Tubercolosis untuk Pemeriksaan Viral Load HIV
Dona Arlinda Puslitbang SD – Yankes
3. Evaluasi Tubex TF Untuk Diagnosis Demam Typhoid
Retna Mustika Puslitbang SD – Yankes
4. Kemandirian Obat Generik Pada Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) : Isue Kebijakan , Isue Harga dan Produksi Obat Generik
Raharni Puslitbang SD – Yankes
5. Memenuhi Standar Pelayanan Kefarmasian dalam Keterbatasan SDM: Haruskah Kita Mundur?
Max J.Herman Puslitbang SD – Yankes
6. Manajemen Puskesmas dengan Pendekatan Keluarga sebagai fokus dalam Pelatihan Keluarga Sehat
Eva Sulistiowati Puslitbang SD – Yankes
7. Pelajaran dari Riset Evaluatif Nusantara Sehat : Perlukah Program Teambased Nusantara Sehat Diteruskan?
Harimat Puslitbang SD – Yankes
8. Model Terpadu Pelayanan Gizi Balita Kurus di PuskesmasUntuk Pemulihan Dan Pencegahan Gizi Buruk (Sangat Kurus)
Astuti Lamid Puslitbang SD – Yankes
9. Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS – PK) Sebagai Wahana Integrasi Program
Eva Sulistiowati Puslitbang SD – Yankes
10. Cakupan Skrining Pemeriksaan Payudara Klinis dan Inspeksi Visual Asam Asetat Positif dan Perilaku Deteksi Dini Kanker Payudara dan Serviks di Indonesia
Sri Idaiani Puslitbang SD – Yankes
11. Integrasi Program Puskesmas dalam Pelaksanaan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK)
Eva Sulistiowati Puslitbang SD – Yankes
Target hasil penelitian sebanyak 8 dokumen disajikan pada tabel berikut.
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 18
Tabel 4.3. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Tahun 2017
No Judul penelitian Ketua Penelitian Keterangan
1 Penapisan dan Pengkajian Teknologi Farmasi dan Alat Kesehatan untuk Intervensi Program Kesehatan dalam Mendukung Jaminan Kesehatan Nasional
Sri Idaiani Laporan Kegiatan
2 Implementasi Pelayanan Gizi Pada Pasien Rawat Inap Pada Balita Gizi Buruk
Astuti Lamid Laporan Penelitian
3 Riset Evaluatif Penempatan Team Based Nusantara Sehat
Ida Diana Sari Laporan Penelitian
4 Riset Penyelenggraaan Pendidikan Tenaga Kesehatan
Mieska Despitasari
Laporan Penelitian
5 Akses, Distribusi dan Manajemen Ketersediaan Obat dan Alkes Esensial dalam Menghadapi UHC 2019 (Urban, Rural dan DTPK)
Yuyun Yuniar Laporan Penelitian
6. Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan Primer dan Rujukan
Hadjar Siswantoro
Laporan Penelitian
7. Evaluasi Sistem Rujukan di Era Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Meningkatkan Akses Pelayanan Kesehatan
Tati Suryati Laporan Penelitian
8. Implementasi Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
Eva Sulistiowati Laporan Penelitian
Capaian 16 Publikasi ilmiah di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan yang dimuat
pada media cetak dan elektronik nasional, adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4.
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik nasional
Tahun 2017
No. Judul Artikel Nama Penulis Media Publikasi
1 Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular pada Responden yang diindikasikan Stroke berdasarkan Penelitian Kohor Penyakit Tidak Menular Bogor 2011-2013
Sri Idaiani. Cermin Dunia Kedokteran Edisi 249 Vol. 44 No. 2. Februari 2017. 87-91.
2 Penilaian Indikator Peresepan di Fasilitas Kesehatan Primer Pemerintah dan Swasta di Pulau Jawa, Indonesia
Yuyun Yuniar
Jurnal Kefarmasian Vol.7 No.1 Februari 2017
3 Pengaruh Diabetes Melitus terhadap Gambaran Klinis dan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis di Tujuh RSU Kelas A dan B di Jawa dan Bali
Dona Arlinda Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol.27 No.1 Maret 2017
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 19
4 Kecukupan Tenaga Kesehatan dan Permasalahannya dalam Pelayanan Kesehatan Anak dengan HIV-AIDS di Rumah Sakit pada Sepuluh Kabupaten/Kota, Indonesia
Mujiati
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol.27 No.1 Maret 2017
5 Faktor Resiko Penyakit Ginjal Kronik : Studi Kasus Kontrol di Empat Rumah Sakit di Jakarta Tahun 2014
Delima Buletin Penelitian Kesehatan Vol.45 No.1 Maret 2017
6 Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Penduduk Indonesia yang Menderita Diabetes Melitus (Data Riskesdas 2013)
Marice Sihombing Buletin Penelitian Kesehatan Vol.45 No.1 Maret 2017
7 Perbedaan Faktor Sosiodemografi dan Status Gizi Pasien Tuberkulosis dengan dan Tanpa Diabetes Berdasarkan Registri Tuberkulosis-Diabetes Melitus 2014
Agus Dwi Harso Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol.27 No.2 Juni 2017
8 Perilaku Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Tenaga Kerja Indonesia di Kansashi, Zambia: Analisis Kualitatif
Armedy Ronny Hasugian
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol.27 No.2 Juni 2017
9 Deteksi Toxoplasma gondii dari Spesimen Urine Penderita HIV/AIDS
Fitriana Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol.27 No.2 Juni 2017
10 The use of traditional health care among Indonesian Family
Nurhayati Health Science Journal of Indonesia Vol.8 No.1 Juni 2017
11 Fakto-faktor yang berhubungan dengan pelayanan bayi di Indonesia: Pendekatan Analisis Multilevel
Ingan Ukur Tarigan, tin Afifah, Demsa Simbolon
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 8 No. 1, Juni 2017
12 Resiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Cikeusik
Wibowo Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Vol. 13 No.2. Juni 2017
13 Peningkatan Kompetisi Dokter Pasca Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) Tahun 2013
Siti Nur Hasanah, Mieska Despitasari, Harimat Hendarwan
Global Medicine & Health Communication Vol. 5 No. 2 Tahun 2017
14 Keterjangkauan Biaya untuk Mendapatkan Pengobatan pada Anak dengan HIV AIDS dan Infeksi Oportunistik
Andy Leny Susyanty Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol.27 No.3 September 2017
15 Pengaruh (pH) Saliva terhadap Terjadinya Karies Gigi pada Anak Usia Prasekolah
Made Ayu Lely Buletin Penelitian Kesehatan Vol.45 No.4 Desember 2017
16 Characteristics and socioeconomic factors on Perinatal Depression among mothers and infants in three Primary Health Centers in Jakarta and Bogor
Sri Idaiani Health Science Journal of Indonesia Vol.8 No.2 Desember 2017
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 20
Untuk capaian 2 publikasi ilmiah di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan yang
dimuat pada media cetak dan elektronik internasional, adalah sebagai berikut
Tabel 4.5. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik internasional Tahun 2017
No Judul Artikel Nama Penulis Media Publikasi
1 People with Spinal Cord Injury in
Indonesia
Muhammad
Karyana
American Journal of
Physical Medicine &
Rehabilitation Volume 96,
Number 2 (suppl)
February 2017
2 Accessibility of Children Living with
HIV/AIDS to Hospitals in Ten
Districts in Indonesia
Rini Sasanti H, MJ.
Herman, Mujiati
Asian Journal of Medicine
and Health Vol.4(4) 2017
a) Panitia Pembina Ilmiah
Panitia Pembina Ilmiah dibentuk untuk membantu Kepala Puslitbang SD - Yankes
dalam pelaksanaan kegiatan terutama penelitian dan pengembangan. Anggota PPI
adalah para peneliti yang mempunyai komitmen untuk membina dan memberikan
masukan kepada peneliti lain agar pelaksanaan penelitian tidak lepas dari kaidah ilmiah.
Pada tahun 2017, meskipun hampir seluruh Panitia Pembina Ilmiah terlibat dalam
penelitian baik DIPA maupun Riset Nasional, namun tetap dapat melaksanakan kegiatan
yang mendukung suasana ilmiah di Puslitbang Sumber Daya dan Pelayan Kesehatan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan meliputi:
Tabel 4.6. Kegiatan Panitia Pembina Ilmiah
Tahun 2017
No Tanggal Topik Bahasan
1. 18 Januari 2017 Sosialisasi Penelitian 2017 dan Pembuatan SK Pembinaan Peneliti
2. 13 Februari 2017 Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) PPI; diantaranya Pokja Pengembangan Ilmiah; Pokja Pengembangan Proposal; Pokja Data dan Informasi dan Pokja Diseminasi dan Marketing.
3. 12 April 2017 Laporan akhir Nusantara Sehat 2016 Pertemuan Pembahasan Penelitian Tahun 2018 DIPA
dan Risbinkes Paparan Protokol Riset Implementasi Keluarga Sehat
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 21
4. 26 Mei 2017 Pertemuan Ilmiah Berkala Pembahasan Jabatan Fungsional di era ASN
5. 5 – 7 Juli 2017 Rapat Paripurna PPI Progress Penelitian 2017 pada Triwulan II
6. 27 – 28 September 2017
Progress Penelitian 2017 pada Triwulan III Kajian/ Rekomendasi Kebijakan 2017 Pembahasan Jurnal
7. 25 Oktober 2017 Pembahasan Kajian
8. 18 Desember 2017 Penerapan PP No. 11/ 2017 tentang Manajemen PNS dan PERKA LIPI No. 5/ 2017 tentang inpassing ke JFP Pembahasan Pengelolaan Karir sebagai Peneliti
b) Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Tahun 2017 Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan dapat menerbitkan
jurnal Litbang Pelayanan Kesehatan vol 1: no 1 dan 2, meskipun belum terakreditasi,
namun mulai memacu peneliti untuk memasukan artikelnya. Selain dalam bentuk cetak
jurnal ini siudah menerapkan Open Jounal System. Jurnal ini direncanakan akan terbit 3
kali dalm setahun, yakni bulan april, agustus dan desember, sehingga diharapkan tahun
2019 jurnal ini dapat terakreditasi.Untuk menjaga konsistensi dan mutu jurnal,
diperlukan bank artikel yang cukup, karenanya pada tanggal 11 -13 Desember
dilaksanakan Workshop Pelatihan Pengelolaan Jurnal dan Penulisan Artikel Ilmiah
Kepesertaan pameran dari Puslitbang SD - Yankes dilakukan pada kegiatan Pameran
RITECH EXPO 2017 pada tanggal 9 – 13 Agustus 2017 di Makasar dan Forum Ilmiah
Tahunan ke 3 IAKMl tanggal 17 – 19 Oktober 2017 di Menado.
C. REALISASI ANGGARAN
Anggaran yang dikelola Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
sebanyak Rp. 81.479.884.000,- (delapan puluh satu milyar empat ratus tujuh puluh sembilan
juta delapan ratus delapan puluh empat ribu rupiah), dengan realisasi sebesar Rp.
71.037.402.374 (Tujuh puluh satu milyar tiga puluh tujuh juta empat ratus dua ribu tiga ratus
tjuh puluh empat rupiah) atau sebesar 87.18%. Realisasi masing-masing indikator kinerja
kegiatan sebagai berikut:
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 22
Tabel 4.7. Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Belanja
Pusat Puslitbang SD – Yankes Tahun 2017
No Alokasi Pagu Realisasi %
1 Belanja Pegawai Rp. 13.142.000.000 Rp 10.662.621.439 81,13%
2 Belanja Barang Rp. 67.603.884.000 Rp. 59.711.020.243 88,32%
3 Belanja Modal Rp. 734.000.000 Rp. 663.760.692 90,43%
Jumlah Rp. 81.479.884.000
Rp. 71.037.402.374 87,18%
Tabel 4.8.
Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan IKK
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Tahun 2017
No Alokasi Pagu (Rp) Realisasi (Rp) %
1 Jumlah rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
103.810.000 55.900.000 53,85
2 Jumlah publikasi karya tulis ilmiah di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan yang dimuat di media cetak dan/atau elektronik nasional dan internasional
166.850.000 96.081.500 57,59
3 Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan
17.463.742.000 14.535.730.962 83,23
4 Jumlah laporan Status Kesehatan Masyarakat hasil Riset Kesehatan Nasional wilayah I
40.903.728.000 36.676.950.729 89,67
5 Dukungan Layanan Manajemen
5.680.250.000 5.250.513.833 92,43
6 Layanan Perkantoran 17.161.204.000 14.422.205.350 84,04
Jumlah 81.479.884.000 71.037.402.374 87,18
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 23
D. Upaya WTP dan Reformasi Birokrasi
Opini WTP merupakan salah satu ukuran akuntabilitas pemerintahan. Artinya setiap
pertanyaan yang diajukan para stakeholders mengenai setiap sen yang dikeluarkan
pemerintah dapat dijawab. Di dalam pengertian akuntabel termasuk juga pengertian
integritas yaitu integritas informasi, apakah pemerintah sudah menyajikan informasi secara
benar dan jujur serta apakah pengungkapannya sudah sesuai dengan standar prinsip-
prinsip akuntansi.
Pemberian opini WTP oleh BPK berdasarkan hasil penilaian apakah informasi yang
disampaikan dalam laporan keuangan telah sesuai dengan standar yang dipakai oleh BPK.
Oleh karena itu, diperlukan upaya agar informasi laporan keuangan memenuhi standar
akuntansi yang berlaku.
Guna mendukung opini WTP dilakukan juga Reformasi birokrasi di lingkungan
Puslitbang SD-Yankes, karena Reformasi Birokrasi merupakan salah satu faktor utama
yang turut berperan serta dalam perwujudan kepemerintahan yang bersih, transparansi, dan
akuntabel. Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan
pemerintahan tidak berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperbaharui. Reformasi
birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan
mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-
aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya
manusia aparatur.
Program reformasi birokrasi yang dilakukan di lingkungan Puslitbang SD-Yankes meliputi :
1. Penataan organisasi. Dalam Upaya penataan organisasi dilakukan analisa jabatan di
masing-masing bagian, agar output atau hasil pekerjaan lebih maksimal.
2. Penyempurnaan proses ketatalaksanaan/administrasi kegiatan. Untuk penyempurnaan
proses administrasi kegiatan dilakukan pembuatan SOP setiap kegiatan,
diberlakukannya e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa dan penggunaan
tata naskah dinas secara elektronik.
3. Pembuatan Surat Edaran Disiplin Kehadiran.
4. Pembekalan Agent of Change.
5. Peningkatan sumber daya manusia. Upaya peningkatan SDM dilakukan melalui
sosialisasi tentang Reformasi Birokrasi dalam bentuk pertemuan-pertemuan dan
pemasangan banner dan stiker yang berhubungan dengan Reformasi Birokrasi, absensi
menggunakan mesin Finger print dan sosialisasi PP 53 tahun 2010 mengenai disiplin
pegawai.
6. Penatausahaan Barang Milik Negara-aset tetap
7. Penatausahaan barang persediaan
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 24
8. Proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara elektronik
9. Penatalaksanaan perjalanan dinas; surat tugas, kelengkapan SPPD ditandatangani
pejabat tempat tujuan, tiket pesawat dilampiri boarding pass, kuitansi hotel, pengeluaran
riil, laporan perjalanan dinas.
10. Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 25
BAB V PENUTUP
Secara umum kegiatan Puslitbang SD – Yankes¸ yakni penelitian dan
pengembangan bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan dapat berjalan. Indikator
keberhasilan ditentukan oleh tingkat capaian dari ketiga Indikator Kinerja Kegiatan, yang
melebihi target, terutama publikasi internasional.
Keberhasilan dibidang penelitian dan pengembangan dikarenakan adanya
pembinaan yang dilakukan manajemen Litbangkes, baik oleh struktural maupun komisi ad
hoc PPI. Pun demikian, meskipun sebagai satker baru belum memiliki jurnal, akan tetapi
keaktifan peneliti untuk publikasi nasional dan internasional mendukung tercapainya output
publikasi. Adapun untuk capaian status kesehatan masyarakat dapat terlaksana
dikarenakan adanya dukungan dari berbagai pihak.
Kedepan capaian tersebut akan lebih ditingkatkan lagi dengan adanya penelitian
yang langsung diarahkan pada produk/model/protipe/standar. Dan publikasi juga
dilaksanakan dengan seminar internasional.
Semoga Laporan Tahunan Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Tahun 2017 ini dapat berguna khususnya bagi pelaksanaan penelitian dan pengembangan
bidang upaya kesehatan masyarakat demi mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan nasional.
Laporan Tahunan 2017
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan 26
Optimalisasi Peran Apoteker dalam Kepatuhan Minum Obat pada ODHA Ibu dan Anak
Latar Belakang
Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak
atau mother to child HIV transmission (MTCT). HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV
kepada anaknya selama kehamilan (5-10%), saat persalinan (10-20%) dan saat menyusui (10-
15%). Kemenkes mengestimasi setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang
melahirkan di Indonesia, jika tidak ada intervensi sekitar 3.000 bayi diperkirakan akan lahir HIV
positif setiap tahunnya di Indonesia. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan
22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak
yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Demikian pula jumlah
anak berusia di bawah 15 tahun yang tertular HIV dari ibunya pada saat dilahirkan ataupun
saat menyusui akan meningkat dari 4.361 (2012) menjadi 5.565 (2016), yang berarti terjadi
peningkatan angka kematian anak akibat AIDS.
Resiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan hingga 1-5% dengan terapi
antiretroviral (ART) jangka panjang. Resiko penularan ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
disusui dapat dikurangi hingga setengahnya bila ibu mengkonsumsi obat ARV. Risiko
penularan HIV juga semakin kecil bila bayi diberikan ARV profilaksis setelah lahir sampai usia 6
minggu dilanjutkan dengan terapi kotrimoksazol profilaksis sampai satu tahun atau sampai
diagnosis ditegakkan. Terapi ARV dilanjutkan bila tes HIV dilakukan pada usia 18 bulan
menunjukkan hasil positif.
Kepatuhan sangat diperlukan dalam terapi jangka panjang untuk mencegah resistensi pada
penggunaan obat antiretroviral (ARV). Diperlukan tingkat kepatuhan yang tinggi dalam
penggunaan ARV untuk mendapatkan keberhasilan terapi dan mencegah resistensi yang
terjadi. Untuk mendapatkan respon penekanan jumlah virus sebesar 85% diperlukan
kepatuhan penggunaan obat 90 - 95%.
Ringkasan Kepatuhan dalam pengobatan pasien dengan HIV AIDS merupakan faktor penentu keberhasilan terapi. Pada pasien anak kepatuhan sangat tergantung pada orang tua atau wali. ODHA perempuan yang mempunyai anak berstatus positif maupun negatif HIV merupakan kelompok yang memiliki kebutuhan terhadap dukungan sosial dan mempunyai motivasi yang baik dalam hal kepatuhan. Peningkatan kepatuhan terapi dapat terjadi melalui pemberian informasi obat dan konseling kepada orangtua saat kunjungan ke RS. Kegiatan PIO dan konseling obat merupakan kewajiban dan kewenangan apoteker, namun hasil penelitian di Indonesia menunjukkan baru sebagian apoteker yang terlibat dalam konseling. Setiap RS rujukan ODHA perlu menunjuk apoteker khusus sebagai anggota tim dalam VCT dengan tugas utama melakukan PIO serta memberikan konseling bersama tenaga kesehatan/KDS lainnya disertai dukungan ketersediaan fasilitas dan pelatihan yang memadai. Kemenkes melakukan penguatan implementasi tugas RS rujukan dan kestabilan penyediaan obat antiretroviral.
BRIEFING KEBIJAKAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian implementasi PPIA dan akses pengobatan anak dengan HIV-AIDS
menunjukkan bahwa peran apoteker masih belum optimal. Sebagian RS belum melibatkan
apoteker dalam kegiatan di klinik VCT. Ada RS yang sudah memiliki SK direktur RS tentang
pokja HIV dan melibatkan apoteker, tetapi masih belum optimal, di sebagian RS apoteker lebih
banyak terlibat dalam logistik/pengelolaan obat saja. Apoteker belum dilibatkan sebagai
konselor obat, selama ini konseling ditangani manajer kasus yang merupakan tenaga dari
dalam atau dari luar RS dengan latar belakang medis perawat dan dokter atau non medis (dari
kelompok dukungan sebaya).
Dari aspek kemampuan, belum semua anggota tim khususnya apoteker mendapatkan
pelatihan HIV-AIDS termasuk psikologi dan kesehatan mental HIV. Kolaborasi antara farmasi
dengan pemberi layanan lain diperlukan untuk berbagi informasi penting mengenai pasien dan
penguatan tujuan peningkatan pelayanan terhadap pasien HIV. Kolaborasi juga perlu dilakukan
dengan tenaga non medis.
Hambatan lain dari sisi ketersediaan apoteker dan beban pekerjaan dibandingkan dengan
waktu yang tersedia. Dari sisi logistik ketersediaan obat ARV pada umumnya cukup namun
kadang mengalami keterlambatan distribusi atau obat terlalu dekat masa kadaluwarsanya.
Hambatan dari sisi pasien antara lain jumlah obat, kejenuhan, lupa, depresi, dan tidak mampu
mengenali terapi dan kurangnya edukasi.
Apoteker perlu melakukan intervensi edukasi, perilaku dan dukungan sosial dalam
meningkatkan kepatuhan serta menghindari terjadinya drop out terutama saat awal terapi.
Monitoring kepatuhan terapi dapat dilakukan dengan menghitung sisa obat, dan membuat alat
bantu kepatuhan seperti kartu monitoring.
Ibu hamil dan anak perlu mendapat perhatian khusus dalam kepatuhan terapi. Kelompok ibu
rumah tangga pada umumnya termasuk kelompok memiliki motivasi tinggi dalam berobat
karena rasa tanggung jawab dan kasih sayang kepada anak yang dikandung atau anak yang
sudah lahir. Di sisi lain kelompok ODHA anak sangat tergantung pada orang tua, terutama
ibunya dalam hal terapi.
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak terhenti setelah ibu melahirkan. Ibu
tersebut akan terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya sehingga membutuhkan
dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Dukungan ini seharusnya dapat
juga dilakukan apoteker khususnya ketika memberikan layanan obat.
Apapun kendala yang terjadi apoteker perlu menunjukkan sikap tulus dalam memberikan
pelayanan, kemampuan mendengar dan bertanya tanpa menghakimi, serta memberikan solusi
untuk meningkatkan kepatuhan minum obat.
Keterlibatan farmasi menunjukkan perubahan signifikan dalam kepatuhan dan penekanan virus
dan menurunkan kunjungan maupun perawatan ke rumah sakit.
Kebijakan Saat Ini
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI no 481/Menkes/SK/XII/2013 tentang Rumah Sakit
Rujukan bagi Orang dengan HIV dan AIDS
Ada 408 RS yang tersebar di seluruh Indonesia dan ditunjuk menjadi RS rujukan. Tugas
RS rujukan antara lain menyusun prosedur, menjamin ketersediaan ARV, menyiapkan
fasilitas yang sesuai, menyiapkan tenaga kesehatan salah satunya apoteker, membentuk
pokja khusus HIV yang terdiri dari tenaga terlatih HIV-AIDS dan melaporkan pelayanan
kepada Kemenkes.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak (PPIA)
Upaya PPIA dilakukan dalam 4 prong, dalam kaitan pengobatan ada di prong 3 yaitu
pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandung; dan prog 4
yaitu pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta
anak dan keluarganya.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Pengobatan Antiretroviral
Paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu
efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan,dan harga obat. Konseling
terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur hidup dan keberhasilan
terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan minum obat,
potensi/ kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak diharapkan atau terjadinya
sindrom pulih imun dan komplikasi yang berhubungan dengan terapi ARV jangka panjang.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
Pada pasal 51 disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian antara lain di Instalasi Farmasi
RS hanya dapat dilakukan oleh apoteker. Tenaga Kefarmasian mempunyai peranan
penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan
Kefarmasian. Orientasi Pelayanan Kefarmasian telah bergeser dari pengelolaan obat
sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif tidak saja sebagai pengelola obat
namun mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat
yang benar dan rasional.
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit menggantikan Permenkes no 58/2014
Pelayanan kefarmasian di RS meliputi pengelolaan perbekalan farmasi serta pelayanan
farmasi klinik antara lain terdiri dari Pelayanan Informasi Obat (PIO) dan konseling. PIO
merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang
independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif sedangkan konseling adalah suatu
aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada
pasien dan/atau keluarganya.
6. Pedoman tentang Pelayanan Kefarmasian Untuk Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tahun
2009
Pedoman tersebut dibuat untuk meningkatkan mutu dan efisiensi Pelayanan Farmasi di
rumah sakit untuk Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Dalam pedoman dijelaskan peran
apoteker dalam PIO dan Konseling khususnya konseling kepatuhan. Bagi apoteker,
konseling adherence terkait pada dua hal, yang pertama adalah
menumbuhkembangkan kemampuan klien untuk menggunakan obatnya sesuai
petunjuk medis dan melakukan pemantauan penggunaan obat klien, dengan
menjaga hubungan terapeutik dan yang kedua adalah menjaga sediaan obat agar
tetap dapat diakses klien dan tak pernah putus sediaannya (pengelolaan obat) . Sasaran
konseling yaitu untuk mencapai pemahaman yang sama antara klien dan apoteker dan
memberikan pemahaman akan proses kerja terapi dan kesulitan yang akan dihadapi,
sehingga kerjasama dokter-klien-apoteker dapat terjalin.
Rekomendasi Kebijakan
Apoteker memiliki kompetensi dalam hal pengobatan serta memiliki kewenangan khususnya
dalam pelayanan informasi obat dan konseling. Kewenangan apoteker telah didukung oleh
berbagai kebijakan yang ada saat ini namun pelaksanaannya belum optimal. Dalam upaya
optimalisasi peran apoteker untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien HIV AIDS, maka
direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :
A. Rekomendasi untuk RS Rujukan HIV AIDS
Menunjuk apoteker khusus yang dilibatkan dalam tim manajemen perawatan dan
pengobatan pasien HIV-AIDS
Apoteker bertugas memberikan pelayanan kefarmasian khususnya PIO dan konseling bagi
pasien HIV-AIDS dengan perhatian khusus terhadap pasien ibu dan anak. Dalam
melaksanakan tugasnya apoteker dapat bekerjasama dengan tim yang berlatar belakang
medis maupun yang berasal kelompok dukungan sebaya
Memfasilitasi pelatihan manajemen pengobatan HIV bagi apoteker yang ditunjuk dalam tim
Memperkuat dukungan manajemen untuk penguatan peran apoteker, dukungan sarana
prasarana yang memadai untuk melakukan konseling, reward untuk pelaksanaan tugas
serta alokasi anggaran untuk kunjungan rumah bagi pasien
B. Rekomendasi untuk Kementrian Kesehatan
1. Memperkuat implementasi Permenkes no 481/2014 melalui penetapan struktur tim
manajemen perawatan HIV di RS atau di klinik VCT
2. Melakukan upaya-upaya untuk menjaga kestabilan suplai ARV termasuk inovasi program
dalam penyediaan sediaan ARV bagi anak yang mempermudah penggunaannya sehingga
dapat meningkatkan kepatuhan
Daftar Rujukan
1. Parya Saberi, Betty J Dong, Mallory O Johnson, Ruth M Greenblatt, and Jennifer M
Cocohoba , The impact of HIV clinical pharmacists on HIV treatment outcomes: a systematic
review, Patient Prefer Adherence. 2012; 6: 297–322. Published online 2012 Apr 5
2. Jennifer Kibicho and Jill Owczarzak, Pharmacists’ strategies for promoting medication
adherence among patients with HIV, Journal of the American Pharmacist Association
(JAPhA) 6 Nov/Dec 2011
3. U.S. Department of Health and Human Services Health Resources and Services
Administration, HIV/AIDS Bureau , Pharmacists: Prescribing Better Care, HRSA Care
Action, March 2010
4. Michael A. Horberg, MD, MAS,* Leo B. Hurley, MPH, William J. Towner, MD,Michael W.
Allerton, MS, Beth T. Tang, MS,k Sheryl L. Catz, PhD, Michael J. Silverberg, PhD, MPH,
and Charles P. Quesenberry, PhD, Determination of Optimized Multidisciplinary Care Team
for Maximal Antiretroviral Therapy Adherence, J Acquir Immune Defic Syndr _ Volume 60,
Number 2, June 1, 2012
5. J.D. Scotta,_, K.A. Abernathyb, M. Diaz-Linaresc, K.K. Grahamd,e and J.C. Leef,g, HIV
clinical pharmacists – the US perspective, Farmacia Hospitalia, 2010;34(6):303–308
Yuyun Yuniar
Rini Sasanti Handayani
Heny Lestari
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI
BRIEFING KEBIJAKAN
PERLUASAN PEMANFAATAN
ALAT TES CEPAT MOLEKULER (TCM) TUBERKULOSIS
UNTUK PEMERIKSAAN VIRAL LOAD HIV
Ringkasan
Sejak ditemukannya kasus infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pertama kali di
Indonesia pada tahun 1987, epidemi HIV di Indonesia terus meningkat. Pemeriksaan viral
load HIV penting untuk menilai efektivitas terapi antiretroviral (ART), tetapi pemeriksaan ini
belum umum dilakukan di Indonesia. Baku emas pemeriksaan viral load HIV menggunakan
Polymerase Chain Reaction (PCR) harus dilakukan oleh tenaga laboratorium terlatih di
ruangan khusus karena cara pengerjaannya cukup rumit dan memakan waktu lama. Tes
Cepat Molekuler (TCM) merupakan revolusi dari uji molekuler berbasis PCR. Dibandingkan
PCR, TCM ini lebih kompak, tidak membutuhkan ruangan tersendiri dan tenaga laboratorium
khusus. Sistem modul dan kartrid individual tidak membutuhkan kuota minimal untuk
pemeriksaan, meminimalisir efek kontaminasi silang dengan sampel lainnya, meningkatkan
akurasi, dan jenis kartrid untuk pemeriksaan berbeda pun dapat dikerjakan bersamaan.TCM
sangat cocok digunakan di berbagai tipe fasilitas kesehatan (faskes), terutama faskes yang
minim sumber daya (resource limited).
Alat TCM tersedia di 76 RS dan 6 laboratorium di 34 propinsi di Indonesia untuk diagnosis
cepat kasus tuberkulosis (TB) resistan Rifampisin dengan kartrid khusus MTB/Rif. Untuk
pemeriksaan viral load HIV, kartrid HIV-1 viral loadsudah tersedia di pasaran mulai Februari
2015dan telah mendapat perijinan dari WHO. Integrasi kartrid HIV-1 viral load dengan TCM-
MTB/Rif dapat mudah dilakukan karena menggunakan sistem pengoperasian yang serupa.
Hasil penelitian tinjauan sistematik menunjukkan pemeriksaan viral load HIV dengan TCM
HIV-1 berkorelasi baik dengan PCR sebagai baku emasnya, serta hasil kedua pemeriksaan
tersebut saling bersesuaian atau komparabel/ekuivalen.
Kebijakan terkait merekomendasikan kolaborasi layanan TB-HIV dan pemeriksaan viral load
HIV bagi ODHA, namun belum spesifik menyarankan integrasi pemeriksaan TCM MTB/Rif
dengan HIV-1 viral load. Oleh karena itu diperlukan rekomendasi kebijakan untuk
memperkuat kolaborasi Program TB dan HIV dalam rangka menurunkan beban HIV pada
pasien TB dan beban TB pada orang dengan HIV AIDS (ODHA).
Pengantar
Perkembangan uji molekuler berbasis deteksi dan amplifikasi asam nukleat (Polymerase
Chain Reaction/PCR) begitu pesat dalam merespon kebutuhan medis dan kesehatan
masyarakat. Untuk penyakit infeksi dengan beban mortalitas dan morbiditas tinggi,
dibutuhkan pemeriksaan diagnostik yang cepat dan dapat dilakukan di semua tipe fasilitas
kesehatan (faskes), terutama faskes yang minim sumber daya (resource limited). Dengan
demikian, tata laksana tepat dapat lebih cepat diberikan untuk menurunkan beban penyakit
dan risiko penularan. Tes cepat molekuler (TCM) merupakan revolusi dari uji molekuler
berbasis PCR. Selain untuk mendeteksi tuberkulosis resistan rifampisin, saat ini TCM sudah
dapat digunakan untuk menilai jumlah virus (viral load) Human Immunodeficiency Virus
(HIV).
Hasil Penelitian
Epidemi HIV di Indonesia
Tiga dekade telah berlalu sejak ditemukannya kasus infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) pertama kali di Indonesia pada tahun 1987 dan selama itu, epidemi HIV di Indonesia
terus meningkat(1).Peningkatan ini terlihat dari estimasi tingkat prevalensi HIV penduduk
Indonesia berusia 15-49 tahun dari 0,1% di tahun 2001 menjadi 0,4% tahun 2016 (2, 3).Pada
tahun 2016, diperkirakan terdapat 620.000 orang dengan HIVAIDS (ODHA). Dari jumlah
tersebut,sekitar 217.000 (35%) orang mengetahui status HIV-nya atau terdiagnosis.Dari
yang terdiagnosis, sekitar 77.700 (13%)ODHA mendapat terapi antiretroviral (ART) (4). Akan
tetapi, belum ada data berapa banyak ODHA yang mendapat ART tersebut yang berhasil
mencapai status supresiviral load.
Pemeriksaan Viral Load HIV untuk Menilai Efektivitas Terapi Antiretroviral
Penilaian klinis dan uji laboratorium berperan penting dalam menilai respon pengobatan
setelah pemberian ART pada ODHA. Kegagalan terapi ART dapat dilihat dari berbagai
kriteria, yaitu kriteria virologis, imunologis, dan klinis. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis,
yaitu pemeriksaan viral load HIV yang dilakukan setiap 6 bulan.
Baku emas pemeriksaan viral load HIV adalahuji molekuler berbasis deteksi dan amplifikasi
asam nukleat (polymerase chain reaction/PCR)(5). Pemeriksaan ini mendeteksi target
molekul asam nukleat HIV pada sampel darah pasien dan mengamplifikasi rantai asam
nukleat menjadi berkali-kali lipat. Akan tetapi, teknik PCR ini harus dilakukan oleh tenaga
laboratorium terlatih karena cara pengerjaannya cukup rumit, memakan waktu lama dan
harus dilakukan di ruangan khusus(6).Alat PCR umumnya terdapat pada RS rujukan dan
belum tersedia luas di semua rumah sakit (RS) di Indonesia.
Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM)
GeneXpert atau disebut juga Tes Cepat Molekuler (TCM) merupakan revolusi dari uji
molekuler berbasis PCR(7). Dibandingkan PCR, GeneXpert atau TCM ini lebih kompak, tidak
membutuhkan ruangan tersendiri, dan tidak membutuhkan tenaga laboratorium khusus(8, 9).
Alat ini menggunakan sistem modul berpasangan dengan kartrid (cartridge)khusus sekali
pakai, dimana sistem yang terkecil terdiri dari satu modul dan terbesar sampai dengan 80
modul (Gambar 1). Masing-masing modul dapat bekerja individual mengikuti jenis kartrid
yang digunakan dantanpa menunggu seluruh kapasitas modul terisi penuh.Artinya tidak ada
kuota minimal untuk pemeriksaan, meminimalisir efek kontaminasi silang dengan sampel
lainnya, meningkatkan akurasi, dan jenis kartrid untuk pemeriksaan berbeda pun dapat
dikerjakan bersamaan(7). Oleh karena itu, TCM sangat cocok digunakan di berbagai tipe
fasilitas kesehatan (faskes), terutama faskes yang minim sumber daya (resource limited).
(1) (2)
Gambar 1. (dari kiri ke kanan) Alat tes cepat molekuler (TCM) terkecil satu modul, dua, empat, enam belas, dan terbesar delapan puluh modul
Gambar 2. Alat tes cepat molekuler (TCM) empat modul yang tersedia di RS di Indonesia
Tes Cepat Molekuler MTB/Rif untuk Deteksi Tuberkulosis Resistan Rifampisin
Alat TCM pertama kali digunakan untuk diagnosis cepat kasus tuberkulosis (TB) resistan
Rifampisin dengan kartrid khusus yang disebut MTB/Rif(10). Dibandingkan denganPCR, cara
pengerjaan TCM-MTB/Riflebih sederhana, yaitu dengan mencampur sampel dahak pasien
dengan reagen yang disediakan di dalam kartrid MTB/Rif, kemudian kartrid dimasukkan ke
dalam alat TCM(11). Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih dua jam(11).
Sensitifitas TCM-MTB/Rif dalam mendeteksi TB dapat disamakan dengan biakan metode
cair, dimana biakan merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis TB(11). Alat TCM-
MTB/Rif sistem empat modul (Gambar 2) sudah tersebar luas di 76 RS dan 6 laboratorium
di 34 propinsi Indonesia(12).
Tes Cepat Molekuler HIV-1 Viral Loaduntuk Pemeriksaan Viral Load HIV
Selain MTB/Rif, kartrid untuk pemeriksaan viral loadHIV-1sudah tersedia di pasaran mulai
Februari 2015 dan telah mendapat perijinan dari WHO dan CE (Conformité
Européene)untuk diagnostik in vitro (IVD)(7, 13).KartridHIV-1 viral loadini dapat mendeteksi
minimal 40 dan maksimal 10.000.000 kopivirus HIV-1dalam 1 mL plasma(7, 8). Waktu
pemrosesan sejak diterimanya sampel hanya 92 menit(7, 8).Karena menggunakan sistem
pengoperasian yang sama, kartrid HIV-1 viral loaddapat dengan mudah diintegrasikan
dengan TCM-MTB/Rif yang sudah ada (14).
Perbandingan Pemeriksaan Viral Load HIV dengan TCM dan PCR
Untuk membandingkan kinerja, sensitivitas, dan spesifisitas TCM HIV-1 viral loaddengan
metode PCR yang menjadi baku emas pemeriksaan, dilakukan tinjauan sistematik terhadap
artikel hasil penelitian. Penelusuran artikel dimulai tanggal 1-23 Oktober 2017 pada
database elektronik Pubmed. Kata kunci yang digunakan adalah “(xpert OR genexpert) AND
(hiv OR hiv-1) NOT mtb/rif NOT (qual OR qualitative)”.
Judul dan abstrak diskrining oleh dua reviewer secara terpisah. Hasil skrining dicari naskah
lengkapnya dan dinilai kembali oleh kedua reviewer tersebut secara terpisah. Hasil penilaian
didiskusikan sampai didapat persetujuan bersama mengenai artikel yang relevan (Tabel 1).
Tabel 1. Perbandingan kinerja, sensitivitas dan spesifisitas TCM HIV-1 dan PCR untuk pemeriksaan viral load HIV
Peneliti Tahun
Perbandingan dengan TCM HIV-1 viral load
Tipe Alat
PCR
Jumlah
sampel
Sensitivitas
(%)
Spesifisitas
(%)
Uji Bland-
Altman
Korelasi
Pearson
(r)
Mor, dkk.(15) 2015
NucliSens 404 TD TD 0.24 Log
cp/mL 0.9
RealTime
HIV 273 TD TD
0.13 Log
cp/mL 0.98
Aptima 298 TD TD 0.05 Log
cp/mL 0.97
Ceffa,
dkk.(16) 2016
Abbot
M2000 300 TD TD
0.082
Log10
cp/mL
0.95
(274)
Garrett,
dkk.(17) 2016
Roche
TaqMan 42 95 TD
-0.10
cp/mL 0.94 (42)
Gous, 2016 Roche 155 92.9 96.9 0.03 TD
Peneliti Tahun
Perbandingan dengan TCM HIV-1 viral load
Tipe Alat
PCR
Jumlah
sampel
Sensitivitas
(%)
Spesifisitas
(%)
Uji Bland-
Altman
Korelasi
Pearson
(r)
dkk.(18) TaqMan cp/mL
Abbot
M2000 145 100 95.9
0.34
cp/mL TD
Gueudin,
dkk.(19) 2016
Abbot
M2000 285 Komparabel 100
-0.01
cp/mL 0.985
Jordan,
dkk.(20) 2016
Abbot
M2000 724 TD 100
> 0.5
Log10
cp/mL
0.9847
Moyo,
dkk.(21) 2016
Abbot
M2000 277 98.6 TD
0.34 Log10
cp/mL 0.94
Avidor,
dkk.(22) 2017
Roche
TaqMan 383 Ekuivalen TD
0.16 ± 0.19
SD Log10
cp/mL
0.97
(254)
Bruzzone,
dkk.(23) 2017 VERSANT 45 TD TD 0.13 0.93
Kulkarni,
dkk.(24) 2017
Abbot
M2000 219 97 97-100
-0.909 −
1.15 0.886
Nash,
dkk.(10) 2017
Roche
TaqMan 225 TD TD -0.133 0.96
Swathirajan,
dkk.(25) 2017
Abbot
M2000 103 TD TD
0.27 Log10
cp/mL 0.81
TD: Tidak Ditentukan
Hasil tinjauan sistematik menunjukkan pemeriksaan viral load HIV dengan TCM HIV-1
berkorelasi baik dengan PCR, serta hasil kedua pemeriksaan tersebut saling bersesuaian
atau komparabel/ekuivalen.
Konteks Kebijakan Terkait
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis
Peningkatan kolaborasi Program TB dan HIV diperlukan untuk menurunkan beban HIV pada
pasien TB, dalam rangka menuju eliminasi nasional TB.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor 87 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengobatan Antiretroviral
Sejak tahun 2013, WHO merekomendasikan pemeriksaan viral load HIV pada ODHA
sebelum mulai ART dan setiap 6 bulan(26). Indonesia, melalui Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral, mengadopsi dan
merekomendasikan pemeriksaan viral load sebagai kriteria terbaik, dibanding kriteria
imunologis (pemeriksaan CD4) dan kriteria klinis, untuk menentukan status kegagalan terapi
ARV(27).
Surat Edaran Menkes 129/2013 ttg Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan IMS
Melalui surat edaran Menkes 129/2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan
IMS merekomendasikan kepada pemerintah daerah/rumah sakit untuk membebaskan biaya
untuk pemeriksaan laboratorium seperti viral load untuk memudahkan akses ODHA ke
pengobatan ARV (28).
Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan 2012
Implementasi layanan komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan telah diinisiasi sejak tahun
2004 dan diperbaharui untuk memperkuat aspek penguatan jejaring dan rujukan di tahun
2012. Layanan komprehensif berkesinambungan menyarankan adanya akses pemeriksaan
viral load di puskesmas rujukan selain di pusat rujukan laboratorium provinsi sebagai
layanan tes laboratorium di tempat (point of care laboratory test) yang disederhanakan (27).
Rekomendasi kebijakan
1. Pemeriksaan viral load HIV merupakan kriteria terbaik dalam menentukan efektivitas
ART dan menilai supresi virus. Pemeriksaan viral load HIV menggunakan TCM HIV-1
viral load sama baiknya dengan PCR, plus ada beberapa kelebihan TCM yaitu alat lebih
kompak, tidak membutuhkan ruangan tersendiri, tidak ada kuota minimal untuk
pemeriksaan, tidak membutuhkan tenaga laboratorium khusus, dan hasil pemeriksaan
diperoleh lebih cepat.
2. Kolaborasi Program dan layanan TB-HIV harus diperkuat untuk menurunkan beban HIV
pada pasien TB dan beban TB pada ODHA, salah satunya dengan integrasi
pemeriksaan TCM MTB/Rif dengan HIV-1 viral load. Beberapa langkah yang perlu
dilakukan untuk mendukung kebijakan ini diantaranya:
Koordinasi internal antara Program TB dan Program HIV untuk mengintegrasi
perencanaan dan anggaran kegiatan yang diperlukan, demikian juga koordinasi dan
sosialisasi dengan Pemerintah Daerah.
Pemetaan RS di Indonesia menurut infrastruktur dan sumber daya yang tersedia,
misalnya ketersediaan dan kecukupan ruangan, kelistrikan, sistem rujukan
pemeriksaan spesimen, akses pengobatan, tenaga kesehatan terkait, persyaratan
biosafety, dll. Pengadaan TCM sebaiknya diprioritaskan untuk RS dengan sumber
daya terbatas (resource limited).
Penilaian beban kerja TCM MTB/Rif yang tersedia untuk menghindari overload jika
TCM ditambahkan pemeriksaan HIV-1 viral load. Untuk daerah dengan beban
penyakit TB dan HIV tinggi, prioritas dapat diberikan untuk populasi tertentu yang
lebih membutuhkan pemeriksaan viral load HIV, seperti pasien ko-infeksi TB-HIV, ibu
hamil terinfeksi HIV, dll.
3. Surveilans/penelitian viral load HIV berkesinambungan untuk mendapatkan data
nasional supresi virus.
Daftar Kepustakaan
1. Rao JVRP. INDONESIA on Fast-Track to end the AIDS epidemic by 2030: unaidsp; 2015 [Available from: https://unaids-ap.org/2015/12/01/indonesia-on-a-fast-track-to-end-the-aids-epidemic-by-2030/.
2. UNAIDS. Global report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS); 2013.
3. UNAIDS. Country factsheets Indonesia 2016. 4. UNAIDS. Ending AIDS-Progress Towards the 90-90-90 Targets: Global AIDS Update
2017. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS); 2017. 5. Wu G, Zaman MH. Low-cost tools for diagnosing and monitoring HIV infection in low-
resource settings. Bulletin of the World Health Organization. 2012;90(12):914-20. 6. Lo YMD, Chan KCA. Setting Up a Polymerase Chain Reaction Laboratory. In: Lo YMD,
Chiu RWK, Chan KCA, editors. Clinical Applications of PCR. 1. Totowa, New Jersey: Humana Press; 2006. p. 11-8.
7. WHO. WHO Prequalification of In Vitro Diagnostics. PUBLIC REPORT. Sweden; 2017. 8. Kulkarni S, Jadhav S, Khopkar P, Sane S, Londhe R, Chimanpure V, et al. GeneXpert
HIV-1 quant assay, a new tool for scale up of viral load monitoring in the success of ART programme in India. BMC Infectious Diseases. 2017;17:506.
9. Ceffa S, Luhanga R, Andreotti M, Brambilla D, Erba F, Jere H, et al. Comparison of the Cepheid GeneXpert and Abbott M2000 HIV-1 real time molecular assays for monitoring HIV-1 viral load and detecting HIV-1 infection. Journal of Virological Methods. 2016;229(Supplement C):35-9.
10. Nash M, Ramapuram J, Kaiya R, Huddart S, Pai M, Baliga S. Use of the GeneXpert tuberculosis system for HIV viral load testing in India. The Lancet Global health. 2017;5(8):e754-e5.
11. Steingart KR, Schiller I, Horne DJ, Pai M, Boehme CC, Dendukuri N. Xpert® Mtb/Rif assay for pulmonary tuberculosis and rifampicin resistance in adults. The Cochrane Database of Systematic Reviews. 2014(1):1-166.
12. P2PL. Rencana Aksi Nasional Penanggulangan TB Melalui Penguatan Laboratorium TB 2016-2020. Indonesia2016.
13. Cepheid and FIND Announce European Approval of Xpert HIV-1 Viral Load [press release]. Sunnyvale, California and Geneva: Cision PR Newswire, Dec 29, 2014 2014.
14. Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Tuberkulosis Menggunakan Alat Genexpert [press release]. Indonesia: Kementrian Kesehatan RI2015.
15. Mor O, Gozlan Y, Wax M, Mileguir F, Rakovsky A, Noy B, et al. Evaluation of the RealTime HIV-1, Xpert HIV-1, and Aptima HIV-1 Quant Dx Assays in Comparison to the
NucliSens EasyQ HIV-1 v2.0 Assay for Quantification of HIV-1 Viral Load. Journal of clinical microbiology. 2015;53(11):3458-65.
16. Ceffa S, Luhanga R, Andreotti M, Brambilla D, Erba F, Jere H, et al. Comparison of the Cepheid GeneXpert and Abbott M2000 HIV-1 real time molecular assays for monitoring HIV-1 viral load and detecting HIV-1 infection. J Virol Methods. 2016;229:35-9.
17. Garrett NJ, Drain PK, Werner L, Samsunder N, Abdool Karim SS. Diagnostic Accuracy of the Point-of-Care Xpert HIV-1 Viral Load Assay in a South African HIV Clinic. J Acquir Immune Defic Syndr. 2016;72(2):e45-8.
18. Gous N, Scott L, Berrie L, Stevens W. Options to Expand HIV Viral Load Testing in South Africa: Evaluation of the GeneXpert(R) HIV-1 Viral Load Assay. PLoS One. 2016;11(12):e0168244.
19. Gueudin M, Baron A, Alessandri-Gradt E, Lemee V, Mourez T, Etienne M, et al. Performance Evaluation of the New HIV-1 Quantification Assay, Xpert HIV-1 Viral Load, on a Wide Panel of HIV-1 Variants. J Acquir Immune Defic Syndr. 2016;72(5):521-6.
20. Jordan JA, Plantier JC, Templeton K, Wu AH. Multi-site clinical evaluation of the Xpert((R)) HIV-1 viral load assay. Journal of clinical virology : the official publication of the Pan American Society for Clinical Virology. 2016;80:27-32.
21. Moyo S, Mohammed T, Wirth KE, Prague M, Bennett K, Holme MP, et al. Point-of-Care Cepheid Xpert HIV-1 Viral Load Test in Rural African Communities Is Feasible and Reliable. Journal of clinical microbiology. 2016;54(12):3050-5.
22. Avidor B, Matus N, Girshengorn S, Achsanov S, Gielman S, Zeldis I, et al. Comparison between Roche and Xpert in HIV-1 RNA quantitation: A high concordance between the two techniques except for a CRF02_AG subtype variant with high viral load titters detected by Roche but undetected by Xpert. J Clin Virol. 2017;93:15-9.
23. Bruzzone B, Caligiuri P, Nigro N, Arcuri C, Delucis S, Di Biagio A, et al. Xpert HIV-1 Viral Load Assay and VERSANT HIV-1 RNA 1.5 Assay: A Performance Comparison. J Acquir Immune Defic Syndr. 2017;74(3):e86-e8.
24. Kulkarni S, Jadhav S, Khopkar P, Sane S, Londhe R, Chimanpure V, et al. GeneXpert HIV-1 quant assay, a new tool for scale up of viral load monitoring in the success of ART programme in India. BMC Infect Dis. 2017;17(1):506.
25. Swathirajan CR, Vignesh R, Boobalan J, Solomon SS, Saravanan S, Balakrishnan P. Performance of point-of-care Xpert HIV-1 plasma viral load assay at a tertiary HIV care centre in Southern India. Journal of medical microbiology. 2017;66(10):1379-82.
26. WHO. Consolidated Guidelines on The Use of Antriretroviral Drugs for Treating and Preventing HIV Infection. Clinical Guidelines: Antiretroviral Therapy. Switzerland: WHO Press; 2016.
27. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral [press release]. 2014.
28. Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS Dan Infeksi Menular Seksual (IMS) [press release]. Jakarta2013.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Dona Arlinda, M. Helmi Aziz, M. Karyana [email protected]
BRIEFING KEBIJAKAN
EVALUASI TUBEX TF UNTUK DIAGNOSIS DEMAM TYPHOID
Ringkasan
Demam typhoid adalah penyakit yang ditularkan melalui faecal-oral, yang disebabkan oleh
kuman Salmonella. Demam typhoid merupakan masalah kesehatan yang ada di dunia sejak
lama, termasuk di Indonesia. Kultur sebagai baku emas untuk menegakkan diagnostik
demam typhoid tidak praktis dan menyebabkan keterlambatan diagnosis pada pasien-
pasien demam typhoid.
Beberapa metode digunakan di Rumah Sakit untuk mendiagnosis demam typhoid. Salah
satunya adalah dengan menggunakan metode tes cepat, dimana di Indonesia yang banyak
digunakan adalah tubex tf. Tubex adalah tes cepat semikuantitatif. Diagnosis typhoid
dengan menggunakan tubex ini memberikan hasil diagnosis dengan berbagai macam
sensitifitas dan spesifisitas berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa area
endemic. Melalui penelititan AFIRE di beberapa Rumah Sakit di Indonesia pada pasien
demam akut yang di rawat di Rumah Sakit didapatkan hasil sensitifitas tubex adalah sangat
baik jika menggunakan cut-off positif ≥ 4, namun spesifisitas menjadi sangat rendah. Jika
menggunakan cut-off 6, spesifisitas akan naik, namun sensitifitas menjadi menurun.
Buku panduan yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan maupun organisasi profesi
tidak menjabarkan mengenai perkembangan alat diagnostic untuk mendeteksi demam
typhoid di Rumah Sakit, termasuk kekurangannya. Sebagai alat tes diagnostic cepat dimana
hasil dari beberapa penelitian menunjukkan berbagai perbedaan dari performa alat ini.
Untuk itu di Indonesia sendiri perlu ada evaluasi lebih lanjut mengenai penggunaannya.
Pengantar
Demam typhoid dan paratyphoid merupakan masalah kesehatan yang serius di dunia,
terutama di negara-negara dengan sanitasi yang belum baik. Penyakit ini disebabkan oleh
penularan melalui fecal-oral kuman Salmonella enterica serovar typhi dan serovar paratyphi
sebagai penyebab demam typhoid.
Setelah melalui masa inkubasi selama 6-21 hari, gejala klinis akan timbul berupa
peningkatan suhu tubuh hingga mencapai 39-40oC pada hari ke-5, disertai gejala lainnya
seperti menggigil, sakit kepala, tidak ada nafsu makan, lemah, mual, rasa tidak enak di
perut, batuk kering, dan nyeri pada otot atau sendi. Jika tidak mendapat pengobatan secara
tepat, pada minggu ke tiga dapat ditemukan pembesaran hati dan limfa, sementara di
minggu ke tiga dapat terjadi typhoid toksik, yang mengakibatkan komplikasi perdarahan
pada saluran pencernaan. Hal ini kemudian dapat berujung kematian pada 10-24%
penderitanya, terutama pada era dimana antibiotika belum ditemukan. Komplikasi berat
lainnya yang dapat timbul adalah peradangan paru, otot jantung, ginjal, maupun otak.
Setelah ditemukannya antibiotika, komplikasi menurun dan kematian akibat typhoid hanya
terjadi pada 1% kasus. Pada penelitian Acute Febrile Illness Requiring Hospitalization
(AFIRE) yang dilaksanakan di 8 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, kasus Salmonella
enterica yang dapat dikonfirmasi adalah 105 (7.1%), dengan angka kematian sebesar 4.8%.
Baku emas untuk diagnosis demam typhoid adalah melalui kultur sumsum tulang. Namun
dibutuhkan persiapan baik untuk pasien, peralatan, dan tenaga ahli, dimana prosedur ini
tidak mudah untuk dilakukan, dan prosedur ini hanya dapat mendeteksi sekitar 60 dari 100
orang yang menderita demam typhoid. Kultur juga dapat dilakukan menggunakan spesimen
lain seperti darah, urine dan feses. Spesimen dapat mendeteksi 25-30% kasus demam
typhoid pada minggu pertama, sementara jika specimen kultur berasal dari feses baru akan
ditemukan pada minggu ke 2. Menggunakan kultur sebagai alat diagnosis menyebabkan
keterlambatan diagnosis, dikarenakan hasil kultur baru akan diberikan 2-3 hari sesudah
prosedur dilakukan.
Kemudian terdapat pemeriksaan serologi yang pertama dengan metoda aglutinasi dari
Widal. Yang sering digunakan para dokter. Namun Teknik ini menunjukkan banyak
kekurangan seperti hasil positif palsu pada orang sehat yang tinggal didaerah endemis,
reaksi silang dengan Enterobacteriaceae yang lain, dan susahnya menentukkan cut-off
positif untuk infeksi akut, Untuk mendapatkan test yang lebih baik telah diproduksi secara
komersial pemeriksaan cepat yaitu typhidot dan tubex. Pada pemeriksaan typhidot hanya
dapat ditentukan positif atau negatif, sementara dengan tubex dapat ditentukan berapa skor
dari antibodi yang terdapat pada serum tersebut.
Hasil Penelitian
Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang berbeda-beda dari terhadap performa Tubex
serta pengalaman klinisi yang sering menyebabkan perubahan cut-off positif dari tubex,
namun pada penelitian AFIRE, dilakukan evaluasi berdasarkan hasil tubex yang
dilaksanakan di rumah sakit tersebut. Berbeda dengan penelitian lain dimana penilaian
terkontrol dengan beberapa orang yang menilai, evaluasi tubex yang kami lakukan lebih
berdasarkan kejadian di lapangan yang sesungguhnya.
Pada evaluasi ini, yang digunakkan sebagai kasus (true positive), adalah kasus-kasus
dengan kultur darah atau PCR atau serologi ELISA IgM dan IgG yang positif (57 kasus),
sementara kasus negatif (true negative) adalah jika seluruh pemeriksaan tadi negatif, dan
ditemukan pathogen lain (berdasarkan kultur darah, kultur specimen lain, mikroskopis, PCR
atau antigen), sebanyak 157 kasus. Kasus negatif yang digunakan adalah kasus dengue
(72), Rickettsia typhi (44), leptospira (10), chikungunya (8), Mycobacterium tuberculosis (4),
measles virus (4), Streptococcus pneumonia (3), Staphylococcus aureus (2), Escherichia
coli (2), Klebsiella pneumonia (2), Entamoeba hystolitica (2), influenza A (1), Acinetobacter
baumanii (1), Ascaris lumbricoides (1), dan HHV-6 (1).
Hasil sensitifitas dan spesifisitas tubex jika menggunakan cut-off 4 dan 6 adalah sbb:
CUTT OFF 4
Sensitivity Specificity
RS A 21/21 24/39
RS B 3/3 0/17
RS C 1/1 ½
RS D 5/5 1/36
RS E 14/15 14/29
RS F 10/12 17/26
RS G -- 4/8
SELURUH RS 54/57 61/157
CUTT OFF 6
Sensitivity Specificity
RS A 15/21 32/39
RS B 3/3 3/17
RS C 1/1 2/2
RS D 3/5 9/36
RS E 11/15 27/29
RS F 7/12 25/26
RS G -- 7/8
SELURUH RS 40/57 105/157
Dari tabel diatas terlihat bahwa sensitifitas tubex adalah sangat baik jika menggunakan cut-
off positif ≥ 4, namun spesifisitas menjadi sangat rendah. Jika menggunakan cut-off 6,
spesifisitas akan naik, namun sensitifitas menjadi menurun.
Tampak sensitifitas dari seluruh site tidak berbeda bermakna baik dengan menggunakan
tubex 4 ataupun 6. Hasil sensitifitas ini mirip dengan hasil penelitian lainnya. Namun,
terdapat hasil yang menyolok untuk spesifisitas, yaitu dari RS B dan RS D, dimana
spesifisitasnya sangat rendah, dan berbeda significant dibandingkan RS lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi perbedaan subyektif untuk penilaian warna dari hasil yang
muncul. Disamping itu, dikhawatirkan terjadi masalah operasional pada kedua rumah sakit
tersebut berkaitan dengan Teknik pemeriksaannya.
Untuk pemeriksaan spesififitas per pathogen, kasus leptospira ternyata tidak menimbulkan
masalah dan menunjukkan spesifisitas yang baik, namun untuk kasus chikungunya, dengue,
dan Rickettsia typhi kurang baik.
Konteks Kebijakan Terkait
Up date buku panduan manajemen kasus demam typhoid
Mengingat banyaknya kasus demam typhoid yang didiagnosis di Rumah Sakit dan
perkembangan alat diagnostik untuk penyakit demam typhoid organisasi profesi dan
pemerintah perlu menyusun kembali buku panduan yang beredar di kalangan klinisi. Setelah
itu diperlukan adanya sosialisasi secara berkala melalui seminar-seminar mengenai alat
diagnostik terkini.
Ketersediaan sumber daya untuk menunjang pemeriksaan klinis
Tidak semua Rumah Sakit menyediakan atau mampu mengusahakan alat penunjang
diagnostik termasuk pemeriksaan yang dibutuhkan untuk mendiagnosis demam typhoid.
Dalam hal penegakan diagnostik demam typhoid biasanya Rumah Sakit hanya
menggunakan 1 metode, yaitu widal atau menggunakan tubex. Selain Karena keterbatasan
pengetahuan klinisi hal ini juga bisa dikarenakan tidak adanya fasilitas, alat maupun orang
yang mampu mengerjakan tes tersebut.
Evaluasi berkala terhadap performa alat penunjang diagnostik
Untuk suatu alat yang penunjang termasuk tes cepat, diperlukan penilaian performa yang
dilakukan secara berkala melalui riset-riset yang dilakukan di Rumah Sakit. Terutama
bilamana performa alat tersebut mempunyai sensitifitas dan/atau spesifisitas yang
bervariasi.
Rekomendasi Kebijakan
1. Dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi tingkat ketepatan Tubex untuk
mendiagnosa penyakit typhoid di Indonesia.
2. Melakukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan berapakah nilai cut-off yang terbaik
untuk Tubex dalam mendiagnosa penyakit Typhoid.
3. Melihat rendahnya spesifisitas Tubex dari hasil ini, maka perlu diingatkan ke seluruh
fasilitas kesehatan yang menggunakan Tubex agar tidak menggunakan Tubex sebagai
satu-satunya pemeriksaan untuk mendiagnosa penyakit Typhoid.
4. Mengingatkan kembali pentingya pelatihan berkala dari pihak penjual terhadap teknisi
yang bertanggungjawab melakukan pemeriksaan Tubex untuk menekan kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam pemeriksaan.
5. Adanya pembaharuan buku pedoman yang memuat tatalaksana demam typhoid sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Daftar Kepustakaan
BAKER, S., FAVOROV, M. & DOUGAN, G. 2010. Searching for the elusive typhoid
diagnostik. BMC Infect Dis, 10, 45.
DAS, K. K. & SANT, M. V. 1972. Haemagglutination test as an aid in the laboratory
diagnosis of enteric fever. Indian J Pathol Bacteriol, 15, 104-12.
KEDDY, K. H., SOOKA, A., LETSOALO, M. E., HOYLAND, G., CHAIGNAT, C. L.,
MORRISSEY, A. B. & CRUMP, J. A. 2011. Sensitivity and specificity of typhoid fever
rapid antibody tests for laboratory diagnosis at two sub-Saharan African sites. Bull
World Health Organ, 89, 640-7.
KUVANDIK, C., KARAOGLAN, I., NAMIDURU, M. & BAYDAR, I. 2009. Predictive value of
clinical and laboratory findings in the diagnosis of the enteric fever. New Microbiol,
32, 25-30.
MEHTA, G. C., JOSHI, B. U. & TILAK, S. S. 1984. Evaluation of the bone marrow culture
versus the blood culture for laboratory diagnosis of enteric fever. Indian J Med Sci,
38, 21-2.
NAHEED, A., RAM, P. K., BROOKS, W. A., MINTZ, E. D., HOSSAIN, M. A., PARSONS, M.
M., LUBY, S. P. & BREIMAN, R. F. 2008. Clinical value of Tubex and Typhidot rapid
diagnostik tests for typhoid fever in an urban community clinic in Bangladesh. Diagn
Microbiol Infect Dis, 61, 381-6.
OLSEN, S. J., PRUCKLER, J., BIBB, W., NGUYEN, T. M., TRAN, M. T., NGUYEN, T. M.,
SIVAPALASINGAM, S., GUPTA, A., PHAN, T. P., NGUYEN, T. C., NGUYEN, V. C.,
PHUNG, D. C. & MINTZ, E. D. 2004. Evaluation of rapid diagnostik tests for typhoid
fever. J Clin Microbiol, 42, 1885-9.
RIZWAN, S. A. & NONGKYNRIH, B. 2011. Evaluation of newer rapid diagnostik tests for
typhoid fever. Natl Med J India, 24, 357-9.
SOMAN, D. W. & MODI, B. G. 1953. Enteric fever in Bombay-ten years' review of laboratory
diagnosis. J Indian Med Assoc, 23, 47-52.
WAIN, J. & HOSOGLU, S. 2008. The laboratory diagnosis of enteric fever. J Infect Dev
Ctries, 2, 421-5.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560
Retna Mustika Indah, M. Karyana
BRIEFING KEBIJAKAN
KEMANDIRIAN DAN KETERSEDIAAN OBATERA JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL (JKN) : “ISUE KEBIJAKAN, HARGA DAN PRODUKSI OBAT ”
Ringkasan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), merupakan program jaminan yang memberikan
perlindungan kesehatan kepada peserta untuk memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang
diberikan kepada setiap orang yang membayar iuran atau yang iurannya dibayar oleh
pemerintah. Jaminan pelayanan kesehatan meliputi promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif termasuk obat dan alat kesehatan.Sejak diberlakukannya JKN pada 1 januari
2014, permintaan obat generik diperkirakan akan sangat meningkat pesat.
Kemandirian obat JKN adalah suatu keniscayaan, peran pemerintah khususnya
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan,dalam hal ketersediaan obat, akses dan
keterjangkauan, serta kemandirian obat JKN.
Beberapa rekomendasi yaitu kebijakan pemerintah terkait harga obat JKN
khususnya obat generik, kebijakan pemerintah terkait harga obat JKN perlu disusun lebih
komprehensif dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan kepentingan
industri farmasi.Perlu dipertimbangkan kembali kebijakan pengendalian harga obat untuk
menjamin ketersediaan obat baik jumlah dan jenisnya, di era JKN, khususnya obat generik
sehingga mudah diakses oleh masyarakat. Pemerintah harus terus mendorong
pemberlakuan managed care secara nasional. Pemerintah perlu mendorong kemandirian
obat generik yang belum sepenuhnya terpenuhi, dengan pengembangan produksi bahan
baku obat dalam negeri untuk mendukung JKN, yang saat ini sebagian besar masih impor
dan harga bahan baku import yang terus naik.
Latar Belakang
Di dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, salah satu
nya adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), merupakan program jaminan yang
memberikan perlindungan kesehatan kepada peserta untuk memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
yang diberikan kepada setiap orang yang membayar iuran atau yang iurannya dibayar
oleh pemerintah.1
Dalam program JKN, peserta diberikan jaminan dalam bentuk pelayanan kesehatan
perorangan secara komprehensif, meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
termasuk obat dan alat kesehatan.2
Obat merupakan komponen penting dalam upaya pelayanan kesehatan, sehingga
obat dan program kesehatan merupakan dua sisi yang tidak terpisahkan.Salah satu
subsistem dalam SKN adalah Subsistem Obat, alkes dan makanan merupakan kegiatan
untuk menjamin aspek keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat
kesehatan dan makanan. Disamping itu tersedianya sediaan farmasi, alkes dan makanan
yang terjamin aman, berkhasiat/bermanfaat dan bermutu, dan khusus untuk obatdijamin
ketersediaan dan keterjangkauannya guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya.3
Jaminan kesehatan nasional diselenggarakan secara nasional berdasar prinsip
asuransi sosial dan prinsip ekuitas.Dengan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional
ada beberapa perubahan pada sistem kesehatan di Indonesia khususnya pada
pembiayaan pengobatan.Setelah diberlakukannya JKN 1 Januari 2014, permintaan obat
JKN tentu sangat meningkat pesat.Diperkirakan pasar obat JKN bisa meningkat 3 kali
lipat untuk memenuhi 240 juta penduduk.
Pengadaan dan penggunaan obat JKN di fasilitas pelayanan kesehatan oleh
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah menetapkan Formularium
Nasional (Fornas) yang telah disahkan melalui Surat keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 328/SK/VIII tahun 2013, yang akan digunakan dalam Program Jaminan Nasional.
Sedikitnya ada 923 bentuk sediaan obat, baik generik dan obat merk yang telah
ditetapkan. Fornas tersebut merupakan daftar obat dan yang disusun oleh Komite
Nasional penyusunan formularium yang mengatur penggunaan obat pada pelayanan
kesehatan masyarakat, dan akan menjadi acuan bagi fasyankes untuk penulisan resep
pada era JKN 2014. Obat obat yang tercantum dalam Fornas, diupayakan diproduksi
dan terdistribusi secara merata di indonesia.4
Fornas tersedia untuk semua jenis obat dan jenis penyakit, serta bisa diakses
langsung oleh masyarakat melalui katalog On line atau e Catalog. Sistem e-Catalog Obat
JKN adalah sistem informasi elektronik yang memuat informasi seputar daftar nama obat,
jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil, dan pabrik penyedia. Harga yang
tercantum dalam e-Catalog adalah harga satuan terkecil, dimana sudah termasuk pajak
dan biaya distribusi.Pengadaan obat JKN yang sudah termuat dalam e-Catalog
dilaksanakan melalui mekasisme e-Purchasing, serta bersifat penunjukkan langsung oleh
satuan kerja. Melalui e-Catalog obat JKN ini, diharapkan agar proses pengadaan obat
JKN di sektor pemerintah dapat lebih transparan, akuntabel, efektif dan efisien. Dengan
adanya sistem e-Catalog obat JKN selain dapat meminimalisasi penyimpangan, juga
dapat memudahkan pihak pemerintah untuk lebih leluasa dalam memilih produk obat JKN
generik juga tinggal memilih saja, karena harga dan spesifikasinya sudah jelas.5
Kemandirian obat generik pada era JKN sebagai masukan kepada pemerintah
khususnya Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk perbaikan
kemandirian obat dalam rangka JKN.
Hasil Penelitian
Isue Ketersediaan dan Produksi ObatJKN
Dari berbagai studi literatur terkait dengan obat JKN, pemerintah berperan sebagai
kreator dan regulator di bidang pembuatan kebijakan terkait kebijakan yang mempengaruhi
dunia usaha, khususnya industri farmasi diantaranya kebijakan moneter, fiskal, perpajakan,
tenaga kerja, persyaratan pendirian usaha baru.
Di sektor farmasi regulasi juga sangat ditentukan oleh pemerintah, karena bidang
farmasi mempunyai dua orientasi yaitu bisnis dan sosial.Contoh yang paling hangat saat ini
adalah kebijakan pemerintah soal penetapan harga obat generik.Penetapan harga obat
generik belum sepenuhnya melibatkan industri farmasi tersebut, sehingga tentu tidak bisa
begitu saja diterapkan.Banyak industri farmasi mengeluhkan harga obat generik yang
ditetapkan oleh pemerintah jauh dibawah biaya produksi.Akibatnya banyak industri farmasi
tidak mampu memproduksi obat yang biasanya dibuat karena margin profitnya sudah tipis.
Akibatnya beberapa obat generik sudah mulai tidak nampak dipasaran.
Peran pemerintah sebagai kreator, diantaranya memberi dukungan pada kegiatan
penelitian suatu produk baru untuk mengatasi penyakit, membantu industri farmasi khusunya
industri kecil sehingga lebih mandiri dan mampu meningkatkanindustry menghadapi
persaingan pasar bebas ASEAN yang akan diterapkan pada tahun 2015, atau menciptakan
persaingan yang sehat melalui perpajakan, bea masuk dan regulasi lainnya.
Penetapan harga obat generik yang terlalu rendah membuat pihak industri kesulitan
memproduksi obat generik. Hal itu terkait dengan kenaikan bahan baku, apabila harganya
terus naik, diperkirakan akan kesulitan atau bahkan tidak bisa lagi memproduksi 30 item obat
generik berlogo. 6
Walaupun prospek obat generik semakin baik, namun jika kebijakan tidak mendukung
dan tidak kondusif tentu tidak banyak industri farmasi yang memproduksi obat generik. Saat
ini hanya ada lima perusahaan farmasi yang mendominasi pasar obat generik di Indonesia.
Sumber : GP farmasi Indonesia
Gambar 3, Pencapaian Target Tingkat Ketersediaan Obat
Concern terhadap 7 hal yang mempengaruhi kontribusi GP Farmasi Indonesia,
Item produk, jumlah yang diperlukan per item per tahun, jika mungkin per kwartal, titik
distribusi, cara pembelian, cara pembayaran, tingkat harga dan komponen Obat INA
CBGs.
Menurut GP farmasi persentae ketersediaan obat dan vaksin seperti pada grafik
dibawah :
Sumber: GP farmasi
Gambar 4. Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin
Sedangkan menurut Subdit Produksi dan Distribusi Farmasi, Dirjend Kefarmasian dan
Alkes sebagai berikut ;
Sumber: business Monitor Q3 2011
Gambar 5. Market Farmasi tahun 2010 sampai 2020
Tantangan Industri bahan baku obat adalah Investasi awal yang besar, ketersediaan
bahan awal/intermediate dan pendukung produksi bahan baku obat, ketidaktersediaan high
technology produksi khususnya bioteknologi, Walaupun potensinya besar pasar dalam
negeri Indonesia dirasa kecil, karena Indonesia tidak dapat bersaing dengan bahan baku
impor baik karena harga atau kualitas.
RPP Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) Untuk mewujudkan
industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasionalyaitu struktur industri
yang kuat, berdaya saing, berbasis inovasi dan teknologi, sinkronisasi dukungan industri
hulu dan pendukung dalam pengembangan BBO.8
Menurut Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Obat, Pengembangan bahan baku obat
harus terus dilakukan dalam rangka mengupayakan kemandirian BBO di dalam negeri dan
untuk mendukung JKN, Seluruh stakeholder pengembangan BBO harus mengambil peran
sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, Kesepakatan pengembangan BBO
perlu dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan untuk pencapaian tujuan.
Pemerintah senantiasa mendorong dan berkomitmen penuh dalam pengembangan BBO di
Indonesia demi mendukung program JKN.
Sebenarnya pemerintah sudah mempertimbangkan kepentingan semua pihak dalam
menetapkan harga obat generik berlogo, termasuk bahan baku obat, biaya produksi dan
margin keuntungan industri farmasi. Namun yang menjadi masalah adalah adanya kenaikan
bahan baku obat yang secara bermakna setelah adanya kebijakan pemerintah terkait obat
generik ini.
Masalah mendasar terkait dengan obat generik adalah bahan baku obat, sekitar 96%
bahan baku obat di Indonesia merupakan bahan baku impor, yang sangat rentan terhadap
dollar, yang cenderung naik, sehingga harga bahan baku obat pun tak terelakkan juga naik.
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
20
10
20
11
20
12
f
20
13
f
20
14
f
20
15
f
20
16
f
20
17
f
20
18
f
20
19
f
20
20
f
37,53 42,53 48,19
54,61 61,89 62,65
69,07 76,15
83,95 92,56
102,05
MARKET (Rp.…
Hal hal yang disarankan adalah kebijakan industri farmasi yang tidak lagi memproduksi
obat generik harus disusun lebih komprehensif, alasan minim profit perlu mendapat teguran,
jika perlu registrasi obat nya untuk berikutnya disuspensi, sehingga jera. Tidak boleh
membiarkan industri farmasi yang belum 100% CPOB, karena akan memberi image obat
generik sebagai obat yang mutunya rendah. Diseminasi ke masyarakat bahwa obat JKN
memiliki mutu yang sama dengan obat merek dagang atau membuka akses kepada
masyarakat untuk mengetahui mutu yang sudah melalui evaluasi dari tim pakar terait
efektivitas nya.
Kebijakan pemerintah terhadap penggunaan obat JKN di sarana pelayanan
kesehatan dapat dilakukan dengan strategi; pemerintah menjamin ketersediaan obat JKN
yang cukup, baik jenis dan jumlahnya setiap saat diperlukan masyarakat.Untuk program
jangka panjang dilakukan melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional yang melibatkan Provider
yaitu dokter, rumah sakit dan pasien. 9
Salah satu yang menunjang ketersediaan obat JKN,faktor yang mendukung
keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan obat generik adalah pertama pengendalian harga
obat generik oleh pemerintah.10
Isue Harga Obat pada pelaksanaan JKN
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.1
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia. Sedangkan Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan
peralatanyang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. 7
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mulai dilaksanakan pada bulan
Januari 2014, di awal penerapan program JKN terjadi peningkatan “demand” masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti
puskesmas, klinik, apotek dan praktek dokter layanan pribadi atau dokter keluarga maupun
di fasilitas kesehatan tingkat lanjut yaitu rumah sakit. Sehingga Puskesmas diharapkan
berperan optimal sebagai gatekeeper dalam pelayanan kesehatan, dan sedapat mungkin
dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik yang dalam hal ini dinyatakan dalam kriteria
144 penyakit yang tidak boleh dirujuk ke Rumah Sakit.
Salah satu komponen penting adalah obat, merupakan komponen dalam pembiayaan
dengan sistem Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’s).
Pada era JKN ini terdapat 9 jenis penyakit yang dikategorikan sebagai penyakit
kronis yaitu diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK), Epilepsi, shcizoprenia, stroke dan systemik lupus erythemalotus (SLE).
Sumber : GP farmasi
Gambar. 1. Bagan Masa Paten Obat Inovasi
Menurut GP Farmasi Indonesia, kondisi saat ini harga obat generik yang ditetapkan
Menteri Kesehatan dianggap tidak menguntungkan, harga obat generik dengan nama
dagang yang diserahkan pada mekanisme pasar, sangat bervariasi, mendekati harga obat
paten.
Perlu disesuaikan dengan kondisi ekonomi, pemerintah seharusnya ikut campur
dalam penentuan import bahan baku obat. Dengan berkurangnya import bahan baku obat
akan secara otomatis mengurangi harga obat, sehingga pemerintah tidak perlu lagi
memberikan subsidi terlalu banyak untuk obat khususnya obat generik, sehingga terjangkau
oleh masyarakat. Dengan diproduksinya bahan bahan baku obat di Indonesia, akan
membuka peluang kerja yang menyerap tenaga kerja dalam negeri. Kebijakan pemerintah
hendaknya memperhatikan dua kepentingan yaitu pelaku produsen, disamping juga
kepentingan masyarakat.
Menurut GP Farmasi Indonesia, 2014, harga obat generik tidak realistik dan terlalu
rendah. Kemungkinan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu menurunnya
ketersediaan obat generik di pasar dan akan menghilang dari pasar, penurunan mutu obat &
mutu pelayanan farmasi. Sedangkan dampak jangka panjang yaitu terhadap industri obat
generik dalam negeri. Dengan kondisi tersebut perlu dipertimbangkan kembali kebijakan
pengendalian harga obat
HARGA OBAT NAMA OBAT HABIS MASA
PATEN MASIH MASA
PATEN
OBAT INOVASI
OBAT INOVASI Nama paten Tinggi
OBAT GENERIK
Nama dagang Variasi sangat
lebar
Generik Rendah
Konteks Kebijakan terkait
UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Peraturan presiden RI, No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
Sistem Kesehatan nasional (SKN) 2012, Subsistem obat, alkes dan makanan merupakan
kegiatan untuk menjamin aspek keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan
farmasi, alat kesehatan dan makanan.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 328/SK/VII tahun 2013 tentang Formularium
Nasional
Keputusan Menkes, No. 328/Menkes/SK/VII/2013 tentang katalog elektronik atau e
catalog
UU Kesehatan No 36 tahun 2009
Rekomendsi Kebijakan
Kebijakan pemerintah terkait harga obat JKN perlu disusun lebih komprehensif dengan
mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan kepentingan industri farmasi.Perlu
dipertimbangkan kembali kebijakan pengendalian harga obatuntuk menjamin ketersediaan
obat baik jumlah dan jenisnya, di era JKN, khususnya obat generik sehingga mudah
diakses oleh masyarakat. Pemerintah harus terus mendorong pemberlakuan managed care
secara nasional.
Pemerintah perlu mendorong kemandirian obat generik yang belum sepenuhnya
terpenuhi, dengan pengembangan produksi bahan baku obat dalam negeri untuk
mendukung JKN, yang saat ini sebagian besar masih impor dan harga bahan baku
import yang terus naik.
Daftar Pustaka
1. Undang Undang RI No. 40 tahun 2004 tentang Sistem jaminan sosial Nasional
2. Peraturan Presiden RI No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
3. Kementerian Kesehatan, 2012, Sistem Kesehatan Nasional
4. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 328/SK/VIII tahun 2013, tentang
Formularium Nasional Obat Generik
5. Keputusan Menkes No. 328/Menkes/SK/VII/2013 tentang Katalog elektronik atau
e catalog
6. Direktur Pemasaran Indofarma, Penetapan Harga Obat Generik, dan Kesulitan
Produksi
7. UU Kesehatan No 36 tahun 2009
8. Rencana Induk Nasional (RIPIN) industri Nasional
9. Andari, D, 1998, Penggunaan Obat Generik di Apoteek Wilayah Kodya Yogakarta
pada masa Krisis Moneter
10. Sulistami, 1994, Implementasi Kebijakan Obat Generik, Program Pasca sarjana,
UGM
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560
Raharni, Sudibyo Supardi, Ida Diana Sari
Memenuhi Standar Pelayanan Kefarmasian dalam Keterbatasan SDM : Haruskah
Kita Mundur?
Max J. Herman, Yuyun Yuniar, Sudibyo Supardi, Nita Prihartini
Puslitbang Sumber daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Litbangkes Kemkes RI
Ringkasan Eksekutif
Pelayanan kefarmasian diatur dalam PP nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian yang antara lain menyatakan untuk meningkatkan mutu pelayanan
kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien, diperlukan standar pelayanan
kefarmasian sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian
di rumah sakit, puskesmas, dan apotek telah dibuat dalam bentuk Permenkes RI.
Implementasi standar pelayanan kefarmasian dalam hal pengelolaan sediaan farmasi di RS
berkisar 83,70-100,0%, di PKM berkisar 78,8-98,5% serta di apotik berkisar 90,5-100% dan
yang kurang pada ketiganya terutama dalam hal monitoring dan evaluasi obat. Dalam hal
pelayanan farmasi klinik di RS implementasi berkisar 4,7-95,3% dan yang kurang terutama
dalam hal pemantauan kadar obat dalam darah, di PKM berkisar 4,5-42,4% dan yang
kurang terutama dalam hal PTO serta di apotik berkisar 47,6-95,2% dan yang kurang dalam
hal PTO dan homecare. Permasalahan kekurangan SDM merupakan hal mendasar yang
perlu diatasi dengan berbagai upaya penambahan tenaga kefarmasian dengan mekanisme
khusus serta perlunya dukungan legalitas kewenangan untuk tenaga kefarmasian selain
apoteker untuk melaksanakan tugas kefarmasian.
Latar Belakang
Dalam PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian antara lain
disebutkan praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian, pelayanan dan informasi obat harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian,
yaitu apoteker dibantu tenaga teknis kefarmasian (TTK). Apoteker adalah sarjana farmasi
yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
Sedangkan TTK adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan
tenaga menengah farmasi/asisten apoteker.
Dalam PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian antara lain
disebutkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada
keselamatan pasien, diperlukan standar pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan
sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu
BRIEFING KEBIJAKAN
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien.
Pelayanan kefarmasian meliputi dua kegiatan yaitu yang bersifat manajerial berupa
pengelolaan sediaan farmasi dan kegiatan pelayanan farmasi klinik yang harus didukung
oleh sumber daya manusia, sarana dan peralatan dalam rangka meningkatkan outcome
terapi dan meminimalkan risiko terjadi efek samping obat untuk keselamatan pasien.
Kegiatan pengelolaan merupakan suatu siklus kegiatan dimulai dari pemilihan,
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi yang dibutuhkan bagi kegiatan
pelayanan kefarmasian. Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan oleh apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping yang meliputi pengkajian dan pelayanan
resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, PIO, konseling, visite, PTO,
MESO, EPO, dispensing sediaan steril dan PKOD di Rumah Sakit.
Pelayanan kefarmasian harus dilakukan pada fasilitas pelayanan kefarmasian,
antara lain instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, dan apotek. Rumah Sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kabupaten/kota yang
bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatau wilayah kerja.
Implementasi Standar Pelayanan Kefarmasian
Penelitian kuantitatif dengan desain potong lintang dilakukan pada bulan Februari-November
2017. Lokasi penelitian di lima regional di Indonesia sesuai Permenkes no 27 tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs). Pemilihan
lokasi provinsi dilakukan secara purposif berdasarkan sistem regionalisasi, yaitu provinsi
Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan. Nusa Tenggara Barat, DI Aceh, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Seltn, Kalimntan Tengah, Maluku Utara, dan Papua.
Pemilihan kabupaten/kota dilakukan berdasarkan kriteria urban di ibu kota provinsi,
urban/rural bukan ibu kota provinsi dan kabupaten tertinggal/perbatasan
PELAYANAN FARMASI KLINIK Dilakukan oleh tenaga kefarmasian
% RS % Apotik % Puskesmas
1 Pengkajian dan pelayanan Resep 95.3 76,2 42,4
2 Rekonsiliasi Obat 60.5
3 Pelayanan Informasi Obat (PIO) 88.4 95,2 40,9
4 Konseling 74.4 85,7 30,3
5 Visite 60.5
6 Pemantauan Terapi Obat (PTO) 37.2 47,6 12,1
7 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) 44.2 13,6
8 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) 44.2 19,7
9 Dispensing sediaan steril 25.6
10 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah 4.7
11 Home care 47,6
12 Swamedikasi 90,5
13 Pencatatan Patient Medical Record 52,4
Implementasi standar pelayanan kefarmasian dalam pelayanan farmasi klinik di RS
berkisar 4,7-95,3% dan yang kurang terutama dalam hal pemantauan kadar obat dalam
darah, di PKM berkisar 4,5-42,4% dan yang kurang terutama dalam hal PTO serta di apotik
berkisar 47,6-95,2% dan yang kurang dalam hal PTO dan homecare. Hasil Sirkesnas 2016
menunjukkan hanya 35,8% puskesmas melakukan pemberian informasi obat yang
terdokumentasi dan 30,3% puskesmas melakukan konseling. Studi kualitatif analisis
kualifikasi apoteker secara potong lintang pada tahun 2010 di Bandung, Yogyakarta dan
Surabaya menunjukkan bahwa pengelolaan obat dalam hal pengadaan, distribusi dan
penyimpanan dilaksanakan dengan baik oleh apoteker rumah sakit. Praktek farmasi klinik
dan keselamatan pasien masih sangat terbatas karena alasan sumber daya manusia dan
dokumentasi yang belum memadai. Informasi obat dan konseling kadang dilakukan tanpa
fasilitas yang cukup dan apoteker juga terlibat dalam berbagai tim di rumah sakit seperti
penanggulangan infeksi nosokomial serta komite farmasi dan terapi.
KEGIATAN PENGELOLAAN OBAT Dilakukan oleh tenaga kefarmasian
% RS % Apotik %
Puskesmas
1 Perencanaan kebutuhan obat 100 95,2 92.4
2 Pengadaan obat 100 100 98,5
3 Penerimaan obat 100 100 98,5
4 Penyimpanan obat 100 100 98,5
5 Pendistribusian obat 100 100 95.5
6 Pelayanan obat 97,7 100 98,5
7 Pencatatan dan Pelaporan obat 95,3 100 97,0
8 Monitoring dan evaluasi obat 83,7 90,5 78,8
Implementasi standar pelayanan kefarmasian dalam pengelolaan obat di RS, apotek
dan puskesmas berkisar di atas 78,0%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
permasalahan dalam penempatan apoteker di puskesmas adalah (a) Dinkes
Kabupaten/kota mengetahui bahwa menurut peraturan perundangan diperlukan apoteker di
puskesmas, tetapi dalam perencanaan kebutuhan tenaga apoteker masih belum dianggap
prioritas dibandingkan kebutuhan tenaga kesehatan lain, (b) Usulan kebutuhan tenaga
kesehatan yang dibuat oleh Dinkes Kabupaten/Kota belum didasarkan atas perhitungan
beban kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan, (c) Jumlah belanja pegawai
dalam DAU sudah cukup besar, sehingga formasi yang disetujui oleh BKN terbatas, dengan
formasi yang terbatas, penempatan tenaga kesehatan tidak berdasarkan kompetensinya. (d)
Pelatihan belum banyak dilakukan karena keterbatasan anggaran.
Kecukupan jumlah tenaga kefarmasian
KRITERIA RUMAH SAKIT
(n = 43)
APOTEK
(n = 21)
PUSKESMAS
(n = 66)
Jumlah Apoteker 383 39 35
Jumlah Tenaga teknis kefarmasian
881 91 95
Jumlah Total tenaga kefarmasian 1264 130 130
% Kecukupan tenaga Kefarmasian 69.8% 66.7% 16.7%
Standar jumlah tenaga kefarmasian yang dibutuhkan dalam pelayanan RS, PKM dan
apotik menunjukkan masih kurangnya jumlah tenaga kefarmasian di ketiga fasilitas
kesehatan tersebut terutama di PKM dimana tidak sampai 17% dari PKM yang diteliti
memenuhi standar jumlah ketenagaan kefarmasian.
Hasil penelitian analisis lanjut terhadap seluruh puskesmas di Indonesia
menunjukkan bahwa hanya 17,5% puskesmas di Indonesia memiliki apoteker dan ada
32,2% puskesmas yang tidak memiliki tenaga kefarmasian sama sekali. Ada perbedaan
ketersediaan tenaga kefarmasian antar puskesmas berdasarkan lokasi puskesmas, jenis
puskesmas, keterpencilan wilayah dan status kepegawaian tenaga kefarmasian. Apoteker
berperan lebih baik dalam memberikan pelayanan farmasi, mengelola obat dan menyusun
LP-LPO dengan lengkap dibandingkan dengan tenaga teknis kefarmasian dan tenaga teknis
kefarmasian juga berperan lebih baik dibandingkan dengan tenaga non-farmasi dalam hal
yang sama.
Tinjauan Regulasi
Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, puskesmas, dan apotek telah beberapa kali
diubah untuk penyempurnaan, misalnya :
1. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, disebutkan setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan
obat dan bahan yang berkhasiat obat. Juga dalam PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian antara lain disebutkan praktik kefarmasian yang meliputi
pembuatan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pelayanan dan informasi
obat harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian. Hal ini menunjukkan hanya apoteker
dibantu oleh tenaga teknis kefarmsian yang boleh melakukan pelayanan
kefarmasian.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:1197/Menkes/SK/X/2004 tentang stadar
pelayanan farmasi di rumah sakit, diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 58 Tahun. 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di. Rumah Sakit.
Diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Terakhuir diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Apotek karena tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum, diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Kemudian
diperbaharui kembali dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 35 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Terakhir diperbaharui dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas masih belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat
sehingga dilakukan perubahan dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 36
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Terakhir diperbaharui
dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 74 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Dalam lampiran Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit dinyatakan penghitungan kebutuhan apoteker berdasarkan beban kerja pada
pelayanan kefarmasian di rawat inap dibutuhkan rasio 1 apoteker untuk 30
pasien, sedangkan di rawat jalan dibutuhkan rasio 1 apoteker untuk 30 pasien.
Hal ini dapat menjadi tolok ukur perhitungan kecukupan tenaga kefarmasian di
fasilitas pelayanan kefarmasian.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dan kajian kebijakan yang ada, implementasi standar
pelayanan kefarmasian dalam pelayanan farmasi klinik terutama di RS dan Puskesmas
hanya dapat dilakukan oleh profesi apoteker masih kurang. Hal itu terjadi karena
kekurangan jumlah tenaga kefarmasian dibandingkan dengan beban kerja terhadap pasien
rawat inap dan rawat jalan di RS dan Puskesmas. Rekomendasi yang diberikan adalah
1. Penambahan SDM tenaga kefarmasian khususnya apoteker
Kebijakan Pimpinan RS dan Kepala Dinas Kesehatan diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan apoteker, baik melalui pengangkatan tenaga kontrak maupun honorer. Perlu
ada mekanisme khusus untuk pengangkatan SDM kefarmasian baik apoteker maupun
tenaga teknis kefarmasian melalui pola pengangkatan seperti bidan atau dokter dengan
PTT dan dokter spesialis dengan program wajib kerja.
2. Delegasi wewenang kepada tenaga kesehatan lain didukung dengan legalitas
Beberapa pekerjaan kefarmasian khususnya yang berupa pengelolaan yang standarnya
harus dilakukan apoteker perlu didelegasikan kepada tenaga kefarmasian dilandasi
aturan pendukungnya, dengan demikian apoteker lebih fokus pada kegiatan farmasi
klinik.
Daftar Pustaka
1. Max Joseph Herman, Sudibyo Supardi, Yuyun Yuniar ”Hubungan Ketersediaan Tenaga Kefarmasian dengan Karakteristik Puskesmas dan Praktik Kefarmasian di Puskesmas (Analisis Lanjut Data Riset Fasilitas Kesehatan Nasional Tahun 2011) Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Volume 16, No.1, Januari 2013
2. Yuniar, Y, Herman MJ, Overcoming Shortage of Pharmacist to Provide Pharmaceutical Services in Public Health Centers in Indonesia Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 8, No. 1 Agustus tahun 2013
3. Sudibyo Supardi, Andi Leny Susyanty, Raharni, Max Joseph Herman, Kebijakan Penempatan Apoteker di Puskesmas. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, vol.15 , no 2, 2012, ISSN 1410-2935, hal. 133-142
4. Sudibyo Supardi, Raharni, Andi Leny Susyanty, Max J. Herman, Evaluasi Peran Apoteker Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, vol. 22, no. 4, 2012, ISSN 0853-9987 hal. 190-198
5. Max Joseph Herman, Rini Sasanti Handayani, Selma Arsit Siahaan, Kajian Praktik Kefarmasian Apoteker pada Tatanan Rumah Sakit, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013
6. Max Joseph Herman, Rini Sasanti Handayani, The Preparedness of Pharmacist in Community Setting to Cope with Globalization Impact, Jurnal Kefarmasian Indonesia.2015;5(1):57-66
BRIEFING KEBIJAKAN
MANAJEMEN PUSKESMAS DENGAN PENDEKATAN KELUARGA SEBAGAI FOKUS DALAM PELATIHAN KELUARGA SEHAT
Eva Sulistiowati, Andi Leny Susyanty, Tetra Fajarwati Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
RINGKASAN
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) salah satu
merupakan cara puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan
mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan
mendatangi keluarga. Mengingat penting dan strategisnya program Keluarga Sehat maka
diperlukan tenaga kesehatan yang cukup dan kemampuan yang baik dalam melakukan
wawancara dan edukasi rumah tangga yang dilakukan saat kunjungan rumah. Peningkatan
kemampuan dilakukan dengan pelatihan KS.
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, melaksanakan Riset
Implementatif PIS-PK di Kabupaten Lampung Selatan. Riset ini dilakukan dengan metode
Parcipatory Action Research (PAR), mendampingi pelaksanaan PIS-PK di tiap tahap
(persiapan, P1, P2 dan P3) untuk mengetahui lebih detail tentang implementasi PIS-PK.
Salah satu pendampingan yang dilakukan adalah pelatihan KS.
Hasil pendampingan untuk pelatihan KS bahwa modul dan metode penyampaian
materi pelajaran pada saat pelatihan keluarga sehat perlu diperbaiki dengan menitikberatkan
pada kebijakan dan konsep dasar PIS-PK, manajemen pendekatan keluarga. Kepala
puskesmas harus lebih dahulu mengenal KS sehingga pasca pelatihan dapat segera
dilakukan implementasi. On The job trainning (OJT) dapat dilakukan untuk menanggulangi
masalah kurangnya surveyor dengan menitikberatkan pada materi manajemen pendekatan
keluarga, cara komunikasi efektif, kuesioner Prokesga dan penggunaan Pinkesga.
PENGANTAR
Program Indonesia Sehat dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung
dengan pelindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan. Program Indonesia
Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) salah satu merupakan cara puskesmas untuk
meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan
kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Target capaian pelaksanaan
keluarga sehat pada tahun 2019 sebesar 100% total coverage.1,2
Mengingat penting dan strategisnya program Keluarga Sehat maka diperlukan
tenaga kesehatan yang cukup dan kemampuan yang baik dalam melakukan wawancara dan
edukasi rumah tangga yang dilakukan saat kunjungan rumah. Peningkatan kemampuan
dilakukan dengan pelatihan KS. Pusat Pelatihan SDMK telah menyusun modul dan
kurikulum Pelatihan Keluarga Sehat yang dirancang untuk menunjang terlaksananya
pendekatan keluarga sehat di wilayah kerja Puskesmas.3
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) yang telah
dilakukan sejak tahun 2015 di 9 provinsi tersebut ternyata pelaksanaan di lapangan belum
maksimal. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi pelaksanaan PIS-PK oleh Puslitbang Upaya
Kesehatan Masyarakat tahun 2016, menunjukkan bahwa hanya beberapa kabupaten saja
yang telah mulai melakukan persiapan dan pendataan awal pasca pelatihan. Kesiapan dinas
kesehatan pada umumnya baru sebatas mengirimkan petugas untuk mengikuti pelatihan
dan keterbatsan SDM yang ada di puskesmas.4
HASIL PENELITIAN
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, pada tahun 2017 ini
melaksanakan Riset Implementatif PIS-PK di Kabupaten Lampung Selatan. Riset ini
dilakukan dengan metode Parcipatory Action Research (PAR), mendampingi pelaksanaan
PIS-PK di tiap tahap (persiapan, P1, P2 dan P3) untuk mengetahui lebih detail tentang
implementasi PIS-PK. Salah satu pendampingan yang dilakukan adalah pelatihan KS.
Pelatihan sangat penting dilakukan untuk penguatan kompetensi tenaga kesehatan yang
akan melaksanakan KS. Tim riset memulainya dengan mengikuti sekaligus melakukan
pengamatan Trianing Of Trainer (TOT) KS. Kegiatan dilanjutkan dengan melakukan
sosialisasi/sharing materi kepada anggota tim yang lain, pendampingan pelatihan KS yang
dilaksanakan oleh Bapelkes Lampung dan workshop pendamping KS 2018 dengan metode
yang disesuaikan dengan temuan riset. Beberapa temuan riset dan saran kami susun,
seperti tampak pada Tabel 1.5
Kepala puskesmas yang mengikuti pelatihan KS lebih memahami dan mampu
merencanakan tindak lanjut pelaksanaan PIS-PK di wilayahnya pasca pelatihan dengan
baik. Hal ini terlihat pada hasil evaluasi pelaksanaan PIS-PK untuk 4 lokus penelitian yang
mengikutsertakan kepala puskesmas, pelaksanaan PIS-PK lebih baik dan keempat kepala
puskesmas tersebut dapat sharing pengalaman dengan kepala puskesmas lain dalam
pelatihan Manajemen Puskesmas.
Urutan penyampaian materi diubah dengan mengedepankan Kebijakan dan konsep
dasar PIS-PK dilanjutkan dengan materi Manajemen Pendekatan Keluarga sebelum materi-
materi yang memuat program. Hal ini karena materi PIS-PK, Manajemen Pendekatan
Keluarga merupakan hal yang baru, sedangkan materi program merupakan pengulangan
dan pendalaman bagi tenaga kesehatan. Diharapkan peserta menjadi lebih fokus dan
memahami tentang PIS-PK dan Manajemen Pendekatan Keluarga.
Sehubungan dengan pentingnya materi Manajemen Pendekatan Keluarga, maka
Profil Kesehatan Keluarga (Prokesga) perlu dijelaskan secara detail per Definisi Operasional
(DO) sehingga diperlukan waktu penyampaian materi yang lebih panjang (dalam kurikulum
T 2 jpl, P 3 jpl, PL 3 jpl).3 Berdasarkan workshop untuk pendamping KS 2018 maka
penyampaian materi tentang Prokesga memelukan waktu 180 menit (4 jpl). Inti pelatihan
adalah pemahaman akan Prokesga per-DO, entry data, analisis/menginterprestasikan hasil
IKS yang ada sehingga mampu menyusun rencana kegiatan sesuai dengan permasalahan
yang ditemukan.
Modul yang digunakan juga perlu direview kembali antara indikator, DO dalam
Prokesga dan materi yang tertulis di power point, agar mengikuti perubahan/kesepakatan
yang terkini. Misalnya untuk DO indikator jamban, dalam materi ajar tentang sanitasi
lingkungan ditekankan pada jamban sehat dengan kriterianya namun dalam Prokesga
adalah jamban saniter. Materi tentang KIA dalam modul dibahas tentang pertumbuhan dan
perkembangan balita namun dalam Prokesga adalah pertumbuhan (Apakah dalam 1 bulan
terakhir ditimbang?). Menambahkan materi “Pengorganisasian Lapangan”, misalnya
sebelum ke lapangan kita harus berkoordinasi dengan kepala desa/RW/RT, membuat listing
keluarga (rumah tangga). Hal ini sangat penting dan berguna dalam penulisan RT/RW
terutama bagi daerah yang memiliki struktur yang berbeda, misalnya lingkungan, jorong,
tiuk. Penting juga dalam penulisan no urut bangunan/rumah bagi setiap tim surveyor.
Materi untuk komunikasi efektif sebaiknya difokuskan pada pemanfaatan/cara
menggunakan Paket Informasi Keluarga (Pinkesga) untuk edukasi saat kunjungan rumah
secara efektif; pencatatan temuan diluar 12 indikator serta cara mengkomunikasikannya
dengan pemegang program yang bersangkutan dan kelapa puskesmas. Fasilitator yang
menyampaikan sebaiknya mempunyai penguasaan materi dan persiapan yang baik sesuai
dengan kompetensinya, tetap menitikberatkan pada PIS-PK (bukan masing-masing
program). Khusus kelas aplikasi KS sebaiknya tidak dilaksanakan dalam kelas besar,
sehingga materi dapat lebih jelas diterima. Fasilitator perlu memberikan contoh kasus dan
pelaksanaan kunjungan rumah di lapangan yang lebih banyak. Hal ini dapat menggunakan
pengalaman pelaksanaan KS tahun 2016 -2017 (dalam bentuk foto, gambar, contoh kasus
atau film pendek).
Praktek lapangan (PKL) dilakukan dengan persiapan lapangan yang lebih baik.
Koordinasi dengan puskesmas dan RW/RT lokasi PKL dan dibuat daftar Rumah Tangga
(sebagai listing) yang akan dikunjungi oleh tim yang terbentuk sehingga mencerminkan
kegiatan yang akan dilakukan dilapangan nantinya. Prokesga dan Pinkesga disiapkan
dalam jumlah yang cukup. Pihak penyelenggara pelatihan menyiapkan sinyal yang kuat
pada saat materi penggunaan aplikasi KS dan saat proses entri data sehingga hasil entri
data dapat disajikan oleh peserta/perwakilannya baik secara sistem maupun manual.
Tabel 1. Temuan dan Saran Pelatihan Keluarga Sehat
No Temuan Saran
1.
Peserta setiap puskesmas mengirimkan 5 orang sebagai surveyor (pemegang program/staf puskesmas)
Kepala puskesmas sebaiknya juga mengikuti pelatihan keluarga sehat sehingga memahami dan merencanakan tindak lanjut pelaksanaan PIS-PK di wilayahnya pasca pelatihan dengan lebih baik atau pelatihan Manajemen Puskesmas yang memuat materi KS lebih didahuluan daripada pelatihan KS.
2. Jadwal Pelatihan
a. Urutan materi
Konsep PIS-PK Materi Program Manajemen Pendekatan Keluarga terlalu fokus pada program, materi mengenai pendataan kurang mendapat perhatian
Dapat diubah menjadi Konsep PIS-PK Manajemen Pendekatan Keluarga Materi Program
b. Jam Pelajaran Untuk MI.7 “Manajemen Pendekatan Keluarga” (pengenalan kuesioner) tersedia waktu 2 jpl dirasakan tidak cukup Untuk praktek sebanyak 3 jpl dirasa cukup
Diperlukan sekurangnya 180 menit (4 jpl) untuk penyampaian materi pengenalan kuesioner dan analisis IKS. Untuk materi analisis IKS secara manual diperlukan waktu tambahan, sekurangnya 60 menit.
3. Modul:
a. Definisi Operasional
1. Terdapat perbedaan istilah antara materi program dan definisi operasional (contoh: materi sanitasi lingkungan: jamban sehat dan jamban saniter)
2. Indikator pemantauan pertumbuhan dan perkembangan Balita, namun definisi operasional hanya “pemantauan pertumbuhan”
Perlu review antara Indikator, DO, dan materi ppt agar mengikuti kesepakatan yang terkini.
b. Materi PPT
Terdapat perbedaan versi kuesioner antara PPT dan kuesioner yang digunakan
Diperlukan review ppt (menggunakan kuesioner ter”update”)
c. Materi “Pengorganisasian Lapangan”
Tidak ada materi mengenai persiapan turun ke lapangan (pengorganisasian lapangan). Saat pendataan menimbulkan kendala dalam penentuan jadwal, pengisian Blok I (pengenalan tempat) hingga berakibat kesulitan analisis masalah menurut wilayah karena kesalahan
Menambahkan materi “Pengorganisasian Lapangan”, misalnya sebelum ke lapangan kita harus berkoordinasi dengan kepala desa/RW/RT, membuat listing keluarga (rumah tangga).
penulisan ID wilayah (RW atau RT)
d. Materi Komunikasi Efektif
Materi maupun PPT sudah lengkap, namun Fasilitator kurang dapat menyampaikan esensi komunikasi efektif dalam Program KS
Sebaiknya materi difokuskan pada pemanfaatan/cara menggunakan Pinkesga untuk edukasi saat kunjungan rumah secara efektif; pencatatan temuan diluar 12 indikator serta cara mengkomunikasikannya dengan pemegang program yang bersangkutan dan kelapa puskesmas
4 Fasilitator Beberapa fasilitator kurang menguasai materi. Jumlah fasilitator untuk materi Manajemen Pendekatan Keluarga (aplikasi) terbatas, sehingga materi disampaikan dalam kelas besar dan tidak dapat memahami secara optimal oleh peserta
Perlu penekanan pada penyelenggara pelatihan, materi Manajemen Keluarga (aplikasi) tidak disampaikan dalam bentuk kelas besar
5 Metode Pengajaran
Fasilitator kurang memberikan contoh kasus dan aplikasi di lapangan. Peserta tidak dapat membayangkan, apa yang perlu dilakukan berkaitan Program KS
Contoh kasus dan pelaksanaan kunjungan rumah di lapangan diperbanyak.
Dapat menggunakan pengalaman pelaksanaan KS tahun 2016 -2017 (dalam bentuk foto, gambar, atau contoh kasus)
6 Praktik Lapangan (PKL)
a. Koordinasi antara Puskesmas dan penyelenggara Pelatihan masih kurang sehingga banyak waktu terbuang untuk menentukan rumah tangga yang akan dikunjungi
b. Saat kunjungan rumah belum memanfaatkan Pinkesga sebagai bahan edukasi
c. Entri data hasil PKL kurang didukung oleh kondisi sinyal yang baik sehingga mengganggu proses entri
a. Persiapan lapangan yang lebih baik. Koordinasi dengan puskesmas dan RW/RT lokasi PKL, dapat dibuat daftar Rumah Tangga (sebagai listing) untuk memudahkan kunjungan. Hal ini dilakukan sebelum jadwal PKL
b. Memasukkan topik penggunaan Pinkesga dalam Materi “Komunikasi Efektif”
c. Pihak penyelenggara pelatihan menyiapkan sinyal
yang kuat pada saat materi penggunaan aplikasi KS dan saat proses entri data sehingga hasil entri data dapat disajikan oleh peserta/perwakilannya baik secara sistem maupun manual
KONTEKS KEBIJAKAN TERKAIT
Pelaksanaan PIS-PK seperti yang tertuang dalam Permenkes 36 tahun 2016
memerlukan persiapan dan komitmen yang tinggi untuk mengimplementasikannya. Salah
satu persiapan yang dilakukan adalah pelatihan KS kepada tenaga kesehatan yang
terstandar. Beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas pelatihan antara lain adalah
fasilitator, modul, metode, design dan atitude peserta.6
PPSDM dan tim telah menyusun modul dan melaksanakan pelatihan baik TOT
maupun pelatihan KS di provinsi. Tahun 2017 puskesmas uang menjadi lokus berjumlah
2926 di 514 kab/kota di 34 provinsi dimana masing-masing puskesmas mengirimkan 5
orang tenaga kesehatan sesuai dengan kualifikasi, walaupun ada beberapa yang tidak
memenuhi kualifikasi dikarenakan keterbatasan tenaga kesehatan di puskesmas tertentu.
Mengingat pentingnya PIS-PK tersebut maka materi yang disampaikan sebaiknya
sesuai dengan tujuan dari pelatihan yaitu pemahaman tentang Kebijakan dan konsep dasar
PIS-PK serta manajemen pendekatan keluarga. Materi utama tersebut sebaiknya diberikan
pada tahap awal bukan tahap akhir seperti sekarang, mengingat peseta adalah petugas
puskesmas yang sudah mengenal program-program kegiatan puskesmas. Modul yang ada
sudah cukup baik hanya perlu perbaikan, sinkronisasi materi ajar di masing-masing program
sesuai dengan DO indikator yang akan dinilai/diobservasi, penggunaan instrumen (Prokesga
dan Pinkesga) dengan efektif. Praktik Lapangan (PKL) perlu didesain dengan baik,
menyerupai pelaksanaan sesungguhnya dengan melakukan listing RT. Fasilitator dan
peserta pelatihan yang sesuai dengan kualifikasi, memahami materi dengan baik diharapkan
mampu mentrasfer pengetahuan yang dimilikinya kepada orang lain.
Sesuai dengan Permenkes No. 75 tahun 2014 tentang puskesmas Kepala
puskesmas merupakan penanggungjawab atas seluruh kegiatan di puskesmas.7 Mengingat
peran kepala puskesmas sebagai manajer sangatlah vital, kepala puskesmas harus lebih
dahulu mengenal KS sehingga pasca pelatihan dapat segera dilakukan implementasi sesuai
dengan RTL yang disusun, dan mengintegrasikan kegiatan PIS-PK dengan program-
program yang ada di puskesmas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikutsertakan kepala
puskesmas dalam pelatihan KS atau pelatihan Manajemen Puskesmas yang memuat KS
dilakukan terlebih dahul sebelum pelatihan KS.
Diharapkan dengan pelatihan yang baik, materi dapat dikuasai oleh peserta dengan
baik pula sehingga dapat melakukan transfer of knowledge kepada tenaga kesehatan
lainnya di puskesmas. Hal ini perlu dilakukan karena berdasarkan pengamatan bahwa 1
orang surveyor dapat melakukan wawancara sebanyak 10 rumah tangga dalam 1 hari
dengan catatan seluruh Anggota Rumah Tangga (ART) ada di rumah/lengkap, sementara
pelatihan hanya dilakukan pada 5 orang per puskesmas untuk mencapai total coverage
akan berat. Oleh karena itu diperlukan On The Job Traning (OJT).
On The job training (OJT) merupakan salah satu metode dalam pelatihan dan
pengembangan. Dimana, karyawan baru atau yang belum berpengalaman belajar melalui
pengamatan rekan kerja atau surpervisor/manajer yang melakukan pekerjaan itu dan
mencoba meniru perilaku mereka. Metode ini tidak memerlukan biaya yang banyak, materi
disesuaikan dengan standar dan sambil belajar dapat menghasilkan.8 Metode ini dirasa
cukup pas untuk memenuhi kekurangan jumlah surveyor dan keterbatasan waktu dalam
mencapai target yang diinginkan. Sebelum turun ke lapangan, OJT akan dibekali dengan
materi utama yaitu manajemen pendekatan keluarga, cara komunikasi efektif, kuesioner
Prokesga dan penggunaan Pinkesga. Penyampaian materi dilakukan oleh surveyor yang
sudah dilatih oleh Bapelkes dan TOT dari Dinas Kesehatan dalam waktu 2 hari. Diharapkan
dengan OJT dapat menaggulangi masalah kurangnya tenaga surveyor di puskesmas.
KESIMPULAN
1. Modul dan metode penyampaian materi pelajaran pada saat pelatihan keluarga
sehat perlu diperbaiki dengan menitikberatkan pada kebijakan dan konsep dasar
PIS-PK, manajemen pendekatan keluarga.
2. Kepala puskesmas harus lebih dahulu mengenal KS sehingga pasca pelatihan dapat
segera dilakukan implementasi
3. On The job training (OJT) dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah kurangnya
surveyor dengan menitikberatkan pada materi manajemen pendekatan keluarga,
cara komunikasi efektif, kuesioner Prokesga dan penggunaan Pinkesga.
REKOMENDASI
1. Modul yang ada perlu diperbaiki dan disinkronkan antara materi ajar di masing-masing
program sesuai dengan DO indikator yang akan dinilai/diobservasi, penggunaan
instrumen (Prokesga dan Pinkesga) dengan efektif. Menitikberatkan pada kebijakan dan
konsep dasar PIS-PK, manajemen pendekatan keluarga.
2. Kepala puskesmas sebagai kunci pelaksanaan PIS-PK di puskesmas harus terlebih
dahulu mengenal KS.
3. On The job training (OJT) dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah kurangnya
surveyor
DAFTAR PUSTAKA
1. ____________. Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2016 tentang Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. 2016.
2. Kemenkes. Buku Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2016.
3. Badan PPSDM Kesehatan Pusdiklat Aparatur. Kurikulum TOT Pelatihan Keluarga Sehat. 2017.
4. Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Litbangkes. Hasil Evaluasi Pelaksanaan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) Tahun 2016. ppt.
5. Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Litbangkes. Laporan Hasil Riset Implementasi PIS-PK di Kab. Lampung Selatan. 2017.
6. Saini Ramandeep. Factors Affecting Training and Development Programs – An Empirical Study of Punjab. International Journal of Research in Organizational Behavior and Human Resource Management Vol.3 No.3. 2015. p.40-47.
7. _____________. Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2017 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. 2015.
8. Raheja Kanu. Methods of Training and Development. Innovative Journal of Business and Management 4: 2. 2015. p 35 – 41.
Model Terpadu Pelayanan Gizi Balita Kurus di Puskesmas
Untuk Pemulihan Dan Pencegahan Gizi Buruk (Sangat Kurus)
Ringkasan
• Masalah balita kekurangan gizi khususnya balita kurus (wasting)prevalensinya masih
tinggi dan menjadi isu global. Masalah ini terkait dengan masalah kelaparan dan
kemiskinan yang menjadi agenda dalam Sustainable Development Goal. Berdasakan
data Riskesdas prevalensi balita kurus (BB/TB <-2 Z skor) masih diatas 10 persen.
Masalah gizi kurus sangat penting ditanggulangi untuk mencegah terjadinya peningkatan
prevalensi gizi buruk di Indonesia yang berakibat dengan penurunan kualitas SDM dan
kematian. Kebijakan penanganan balita gizi kurus dengan pemberian PMT pabrikan
untuk bawah dua tahun sangat penting. Temuan di lapangan penanganan di empat
provinsi bervariasi dan belum dapat di evaluasi keberhasilannya dalam menurunkan
prevalensi balita kurus. Oleh karena itu sebagai solusi diusulkan model penanganan
pelayanan gizi balita kurus yang terpadu di Puskesmas
Pengantar
• Masalah balita kurus atau wasting di Indonesia prevalensinya masih diatas 10 %
(Riskesdas 2013) dan dianggap masalah yang serius dan perlu ditanggulangi karena
berpotensi dapat meningkatkan prevalensi balita gizi buruk di Indonesia. Baik balita gizi
kurus dan gizi buruk berisiko terhadap gangguan pertumbuhan dan imunitas dampak
jangka panjang menurunkan kualitas sumber daya manusia.
• Program pemerintah untuk mengatasi masalah balita kurus selama ini dengan
pemberian makanan tambahan (PMT) lokal kemudian saat ini dengan PMT pabrikan di
posyandu. Penanganan balita kurus tidak cukup hanya dengan pemberian PMT
pabrikan saja karena selain faktor asupan makanan yang kurang terkait juga dengan
faktor tidak tahuan tentang praktek pemberian makanan, pengetahuan gizi, faktor
lingkungan, penyakit dan faktor sosial budaya. Oleh karena itu masalah tersebut tidak
bisa didekati di tingkat posyandu dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan kader
yang kurang. Masalah lain pemberian PMT di tingkat posyandu untuk balita kurus
menimbulkan kecemburuan untuk balita dengan status gizi yang lebih baik serta
kurangnya keterlibatan faktor luar kesehatan di tingkat desa yaitu peranan desa dan
toma.
• Kedepan penerapan model ini di puskesmas dapat lebih mudah di monitor dan
dievaluasi keberhasilannya.
BRIEFING KEBIJAKAN
Hasil Penelitian
Temuan hasil penelitian di empat provinsi (Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Banten
dan Jawa Barat),bahwa tidak ada pemberian PMT lokal yang dibiayai oleh dana Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK). Sebelum tahun 2016 program pemerintah dengan
menyelenggarakan PMT Pemulihan bagi balita gizi kurang/kurus berbasis makanan lokal
dengan dana BOK (Ditjen Bina Gizi dan KIA 2011; 2012). Beralihnya saat ini penanganan
balita kurus dengan PMT pabrikan karena ditemukan salah satu kendala di lapangan dalam
penyelenggaraan makanan lokal adalah kesulitan membuat administrasinya (Lamid, A th
2017).
Selanjutnya hasil wawancara tentang PMT pabrikan yang diberikan di posyandu untuk balita
gizi kurang/kurus hampir semua informan kader, bidan hingga tenaga pelaksana gizi (TPG)
puskesmas mengungkapkan bahwa pemberian PMT pabrikan menimbulkan kecemburuan
balita lain yang tidak kurus yang ditimbang di posyandu. Selain itu tidak ada panduan teknis
cara pemberian PMT dan cara penyuluhan/konseling untuk orang tua balita kurus;
kurangnya ketrampilan kader dalam melakukan pengukuran panjang dan tinggi badan balita
dan pemantauan kepatuhan mengonsumsi PMT, serta tidak ada pencantuman tingkat
keberhasilan dalam meningkatkan status gizi balita kurus. Disisi lain peranan aparat desa
dan toma dalam penanganan balita gizi kurang dan buruk dirasakan masih kurang (Lamid, A
2017).
Rekomendasi WHO (2008) bahwa penanganan atau tatalaksana balita kurus dengan
BB/TB antara -3 sampai -2 Z skor tanpa odema untuk pemulihan dan pencegahan gizi
buruk dengan mengoptimalkan makanan lokal. Dalam hal kelangkaan pangan dan tidak
cukupnya makanan lokal tersedia maka dapat digunakan makanan suplemen atau PMT
pabrikan. Hasil penelitian di negara lain dengan menggunakan makanan suplemen sesuai
rekomendasi WHO telah banyak dilakukan. Namun saat ini belum tersedia
penanganannya/tata laksananya secara rinci.
Sehubungan penanganan balita kurus di lakukan di posyandu belum dapat memberikan
hasil optimal karena banyak kendala di lapangan dan sulit dievaluasi keberhasilannya dan
keterlibatan faktor luar kesehatan di desa kurang dalam penanganan gizi kurus maka
diperlukan alternatif penyelenggaraan PMT pemulihan terpadu dengan koordinasi
puskesmas.
Sejauh ini pelayanan gizi kurus telah dilakukan di pos pemulihan gizi (PPG) di Puskesmas
Karawang, kabupaten Karawang di Jawa Barat, dan Klinik Gizi Bogor yang berada di bawah
Puslitbang Sumberdaya dan Pelayanan Kesehatan dan berhasil memulihkan status gizi
balita kurus. Namun pelayanan gizi tersebut belum terpadu dengan melibatkan faktor
eksternal kesehatan di desa yaitu kader, toma dan aparat desa. Membandingkan peranan
faktor kesehatan, keberhasilan faktor eksternal ini lebih besar karena kontribusinya
sebanyak 70 persen maka diusulkan dikembangkan model pelayanan gizi balita kurus
terpadu di puskesmas dengan melibatkan peranan desa, toma dan kader yang diharapkan
kelangsungannya jangka panjang (sustainable) dan lebih terintegrasi dalam sistem
pelayanan di puskesmas.
Kontex kebijakan Terkait
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
Permenkes RI No 43 Tahun 2016. Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan
Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2014 tentang Perbaikan Gizi
Permenkes No 66 tahun 2014 tentang Pemantauan Pertumbuhan
Ditjen Bina Gizi dan KIA. 2011.Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan
Tambahan pemulihan Bagi Blita Gizi Kurang (Bantuan Operasional Kesehatan)
Kemenkes RI
Ditjen Bina Gizi dan KIA. 2012.Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan
Tambahan Pemulihan Bagi Blita Gizi Kurang dan Ibu Hamil KEK (Bantuan Operasional
Kesehatan) Kemenkes RI
Rekomendasi Kebijakan
Melibatkan peran kader, toma dan perangkat desa dalam sistem pelayanan gizi terpadu
balita kurus di Puskesmas. Diharapkan perangkat desa dapat mengkoordinasikan
seluruh bantuan yang ada di desa dalam bentuk program pemerintah di desa seperti
pemanfaatan Dana Desa dari Kemendes, Alokasi Dana Desa (ADD) dari dana APBD
kabupaten/Kota, bantuan sembako dari Dinas Ketahanan Pangan, bantuan dana tunai
dari Program Keluarga Harapan (PKH) dari Depsos dan bantuan lainnya agar dapat
dapat disalurkan pada keluarga yang tidak mampu khususnya untuk keluarga balita gizi
kurang/kurus
Meningkatkan ketrampilan kader dalam pelatihan penyegaran (refreshing) kader.
Model Terpadu Pelayanan Gizi Balita Kurus di PuskesmasUntuk Pemulihan Dan
Pencegahan Gizi Buruk (Sangat Kurus) secara rawat jalan. Balita berkunjung setiap
minggu ke puskesmas selama 3 bulan
Model Terpadu Pelayanan Balita Kurus di Puskesmas
Sembuh/pulih
rujuk
rujuk
Gambar. Model Terpadu Pelayanan Gizi Balita Kurus di Puskesmas
Kepustakaan
Lamid, A. 2017. Laporan DIPA Studi Implementasi Penanganan Balita Kurus dan Balita
Sangat Kurus (Gizi Buruk)
Kementerian Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013: Laporan Nasional. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes RI.
WHO. 2008. Consultation on the dietary management of moderate malnutrition
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi
Permenkes RI No 43 Tahun 2016. Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2014 tentang Perbaikan Gizi
Permenkes No 66 tahun 2014 tentang Pemantauan Pertumbuhan
Ditjen Bina Gizi dan KIA. 2011. Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan
pemulihan Bagi Blita Gizi Kurang (Bantuan Operasional Kesehatan) Kemenkes RI
Ditjen Bina Gizi dan KIA. 2012. Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan
Pemulihan Bagi Blita Gizi Kurang dan Ibu Hamil KEK (Bantuan Operasional Kesehatan)
Kemenkes RI
Posyandu
Penimbangan BalitaPP
Puskesmas
Konfirmasi
BB/TB;
BB/PB
Puskesmas
Pelayanan
Gizi Balita
Kurus
Rujuk RS
RujukPuskesmas
rawat
jalan/inap/TFC
Desa
Pemantauan
Kader
Pemantauan
Pendampingan
Toma
Pemantauan
PROGRAM INDONESIA SEHAT DENGAN PENDEKATAN KELUARGA (PIS-PK)
SEBAGAI WAHANA INTEGRASI PROGRAM
Eva Sulistiowati, Andi Leny Susyanty
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
RINGKASAN
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) merupakan upaya
mempercepat pencapaian terwujudnya masyarakat sehat dengan melakukan kegiatan
kesehatan memfokuskan pada tatanan keluarga. Selain PIS-PK, pemerintah juga
mempunyai Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dan Standar Minimum Pelayanan
(SPM) Bidang Kesehatan yang harus terpenuhi oleh pemerintah daerah. Pelaksanaan PIS-
PK, Germas dan SPM saat ini masih terkotak-kotak, belum terintegrasi untuk mencapai
tujuan bersama masyarakat sehat baik di tingkat provinsi, kab/kota maupun puskesmas.
Hasil pendampingan pelaksanaan PIS-PK di kab. Lampung Selatan juga menunjukkan
bahwa belum adanya integrasi/sinergi antara pihak terkait (pemerintah daerah, dinas
kesehatan, puskesmas). Hal ini terlihat pada saat awal pendampingan belum adanya
regulasi PIS-PK, Germas dan SPM kesehatan serta pelaksanaan PIS-PK yang tersendat
karena terkendala dukungan stakeholder terkait, dana, SDM, pendampingan monev. Untuk
itu, pelaksanaan PIS-PK memerlukan integrasi dengan Germas dan SPM bidang kesehatan
serta sinergi dari stakeholder terkait dan di tingkat puskesmas diperlukan persiapan yang
matang, terintegrasi dengan program pusksmas yang ada, bersinergi dengan perguruan
tinggi maupun aparat desa terkait untuk mencapai masyarakat dan kecamatan sehat yang di
cita-citakan.
PENGANTAR
Sejalan dengan kebijakan Kemenkes dalam upaya mewujudkan Program Indonesia
Sehat, dua strategi yang dilakukan adalah Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang
tertuang dalam Inpres No. 1 Tahun 20171 dan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga (PIS-PK). PIS-PK berdasarkan Permenkes No 39 Tahun 20162,
merupakan upaya mempercepat pencapaian terwujudnya masyarakat sehat dengan
melakukan kegiatan kesehatan memfokuskan pada tatanan keluarga. Dalam konteks ini
keluarga dilibatkan dalam mengenal masalah kesehatan anggota keluarganya, didorong
untuk mampu mengatasi masalah kesehatannya dengan mendayagunakan potensi
keluarga, maupun sumber daya lain yang ada di lingkungannya.
Pendekatan Keluarga bukanlah hal baru yang dilakukan Puskesmas. Puskesmas
selama ini juga sudah melakukan beberapa kegiatan dengan sasaran keluarga yaitu
BRIEFING KEBIJAKAN
Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat) Rumah Tangga.Pendekatan keluarga merupakan pengembangan dari kegiatan yang
sebelumnya sudah dilakukan oleh puskesmas yaitu kegiatan kunjungan rumah dalam
program perkesmas, Dalam pendekatan keluarga kunjungan rumah dilakukan pada semua
penduduk, baik yang sehat maupun yang berisiko, sedangkan Perkesmas lebih kepada
yang berisiko.3
Pendekatan Keluarga saat ini dilaksanakan berdasarkan 12 indikator yang merupakan
integrasi program dan mewakili 4 masalah prioritas (masalah kesehatan Ibu dan anak serta
penyakit menular dan tidak menular) yang dilaksanakan secara total coverage.
Pendekatan Keluarga ini merupakan pengembangan dari kunjungan rumah yang
dilakukan oleh program di Puskesmas (KIA, TB, Kesling dan lainnya) dan perluasan dari
upaya perkesmas, yang meliputi kegiatan: kunjungan keluarga untuk pendataan/
pengumpulan data profil kesehatan keluarga dan peremajaan (updating) pangkalan
datanya, kunjungan keluarga dalam rangka promosi kesehatan sebagai upaya promotif dan
preventif, kunjungan keluarga untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan dalam gedung,
pemanfaatan data dan informasi dari profil kesehatan keluarga untuk pengorganisasian/
pemberdayaan masyarakat dan manajemen Puskesmas.3
Pendekatan keluarga merupakan wahana integrasi kegiatan kesehatan yang berfokus
kepada keluarga, sehingga apabila dilakukan secara optimal, intervensi kesehatan kepada
keluarga lebih efisien dan efektif, serta mendorong kemandirian keluarga.
Berdasarkan hasil Evaluasi pelaksanaan PIS-PK oleh Puslitbang Upaya Kesehatan
Masyarakat 2016 dan Riset Implementasi PIS-PK di Kabupaten Lampung Selatan,
implementasi PIS-PK masih mengalami kendala utama yaitu program PIS-PK belum
menjadi kegiatan prioritas dan dukungan stakeholder.4 Tahun 2017 ini Puslitbang Sumber
Daya dan Pelayanan Kesehatan melaksanakan Riset Implementasi PIS-PK di Kabupaten
Lampung Selatan yang dilakukan berdasarkan pendekatan Participatory Action Research
(PAR), mendampingi 4 puskesmas pelaksanaan PIS-PK di 1 desa terpilih. Pendampingan
implementasi pelaksanaan PIS-PK dilakukan pada setiap tahap, meliputi tahap persiapan
(sosialisasi, pengorganisasian, pembiayaan dan pendataan); tabulasi data dan analisis,
penyusunan RUK secara evidence base pendekatan keluarga, pengerakan pelaksanaan/
intervensi permasalahan yang sudah disepakati pada Rencana Pelaksanaan Kegiatan
(RPK) sebagai prioritas masalah; hingga pengawasan, pengendalian dan penilaian
pelaksanaan PIS-PK.
HASIL PENELITIAN
Hasil pendampingan menunjukkan bahwa pelaksanaan PIS-PK masih menemui
berbagai kendala, antara lain adalah belum adanya regulasi, dukungan Dinas Kesehatan
dan lintas sektor, sarana prasarana, aplikasi KS. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah
Dukungan stakeholder (Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten, Pemerintah daerah dan
lintas sektor) dengan pengintegrasian SPM Kesehatan, GERMAS dan PIS-PK, manajemen
pelaksanaan PIS-PK di puskesmas. Berbagai upaya dilakukan bersama antara tim dan
subjek untuk mengatasi permasalahan yang terjadi seperti advokasi ke Dinas Kesehatan
Kabupaten dan Provinsi mengenai hasil temuan di lapangan.
KONTEKS KEBIJAKAN TERKAIT
INTEGRASI SPM KESEHATAN, GERMAS DAN PIS-PK
Permenkes No. 39 Tahun 2016 menyebutkan bahwa penyelenggaraan PIS-PK
dengan 12 indikator bertujuan untuk a) meningkatkan akses keluarga beserta anggotanya
terhadap pelayanan kesehatan yang komprehensif, meliputi pelayanan promotif dan
preventif serta pelayanan kuratif dan rehabilitatif dasar; b) mendukung pencapaian standar
pelayanan minimal (SPM) kabupaten/kota melalui peningkatan akses dan skrining
kesehatan; c) mendukung pelaksanaan jaminan kesehatan nasional dengan meningkatkan
kesdaran masyarakat untuk menjadi peserta JKN dan d) mendukung tercapainya tujuan
Program Indonesia Sehat dalam Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019.2
Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) dituangkan dalam Instruksi Presiden
No. 1 Tahun 2017 bertujuan untuk mempercepat dan mensinergikan tindakan dari upaya
promotif dan preventif hidup sehat guna meningkatkan produktivitas penduduk dan
menurunkan beban pembiayaan pelayanan kesehatan akibat penyakit. Germas dilakukan
melalui peningkatan aktivitas fisik, peningkatan perilaku hidup sehat, penyediaan pangan
dan percepatan perbaikan gizi, peningkatan pencegahan dan deteksi dini penyakit,
peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan edukasi hidup sehat yang dilakukan secara
lintas sektor.1
Standar Minimal Kesehatan (SPM) dalam Permenkes No. 43 Tahun 2016
merupakan acuan bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyediaan pelayanan
kesehatan yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.5
Tabel 1. Temuan Riset dan solusi yang ditawarkan6
Tema penelitian
Temuan Riset Alternatif Solusi yg diusulkan Kegiatan yg dilakukan dan hasilnya
Regulasi Pergub Program 1000 HPK dg Pendekatan Keluarga Perda ASI Ekslusif Pergub KTR Perbup Lamsel: STBM Pelaksaan PIS-PK, Germas berjalan masing-masing Belum ada regulasi khusus yang mengatur pelaksanaan PIS-PK di Kabupaten Lampung Selatan
Rakerkesda Prov. Lampung mengangkat tema integrasi PIS-PK, Germas dan SPM Kesehatan dengan mengundang Bappeda dan stakeholder terkait Perlu adanya komitmen Pimpinan daerah (Bupati) dalam bentuk dukungan regulasi, berupa Peraturan Bupati, atau Peraturan Daerah tentang Pendekatan Keluarga (PIS PK) yang didukung oleh stakeholder terkait
Pada bulan Maret 2017 MoU dan PKS Ka Badan Litbang dengan Bupati Lampung Selatan. Advokasi kepada pemerintah Daerah. TIM PIS-PK Kab Lamsel (pembagian binwil puskesmas) Bulan September 2017 telah dikeluarkan Peraturan Bupati No. 48 tahun 2017 tentang PIS PK, dan juga Germas, dan saat ini sedang proses penyusunan Peraturan Daerah.
Persiapan
Sosialisasi - Pengetahuan PIS-PK aparat desa, masyarakat <<
- Sosialiasi PIS-PK di tk Kab masih kurang (tidak ada rapat sosialisasi PIS-PK secara khusus)
- Sosialisasi di tk Puskesmas juga kurang
- Sosialisasi PIS-PK hanya dilakukan sebagai selingan dalam acara lain. Di Puskesmas sosialisasi hanya sekedar apel pagi
- Sosialisasi di Balai Desa - Di Tingkat Dinkes ada
pertemuan khusus tentang Pendekatan Keluarga
- Di Puskesmas ada pertemuan khusus untuk membahas Pendekatan Keluarga
Sosialisasi di Balai Desa Disampaikan Masukan kepada Kepala Dinkes Kabupaten dan Puskesmas. Di Dinkes dilakukan Rapat Khusus tentang PIS PK, juga dikeluarkan surat edaran Kepala Dinas Lampung Selatan kepad semua Kepala Puskesmas agar melakukan PIS PK, dan membentuk tim Pembina PIS PK tingkat Kabupaten. Di Puskesmas dilakukan pertemuan dengan seluruh staf Puskesmas yg dipimpin oleh Kepala Puskesmas, dilakukan on the job training (OJT) bagi staf yang tidak ikut pelatihan di bapelkes,
dan juga dibuat tim survey dengan SK Kepala Puskesmas.
SDM SDM yang tersedia dengan jumlah kepala keluarga yg harus dibina tidak cukup. Berdasarkan pelaksanaan pendampingan di lapangan1 hari kerja rata-rata bisa mendata sekitar 10 KK (kalau anggota KK tersebut ada ditempat). Rata-rata tiap Puskesmas tersedia SDM yang cukup banyak (terutama tenaga perawat dan bidan)
- Melatih staf Puskesmas (yg tidak ikut pelatihan di bapelkes Lampung) oleh Kepala Puskesmas dan staf yg sudah terlatih
- Metode pelatihan dengan cara On the job training (OJT)
- On Job Training dilakukan oleh Kepala Puskesmas dan staf yang telah dilatih
- Ka Puskesmas karena mengikuti pelatihan (mereka memiliki pemahaman yg baik tentang PIS PK, dan juga merasa tanggung jawab untuk mengawal kegiatan ini, serta merasakan dihargai diikutkan sebagai peserta latihan)
Pembiayaan Menggunakan anggaran BOK dan kapitasi. Belum adanya juknis pemanfaatan BOK untuk pendataan. Kegiatan PIS PK pada bulan April dan Mei (perencanaan sudah dilakukan, dan belum dianggarakan kegiatan PIS PK)
Perlu mengoptimalkan dana yang ada, al BOK dan Kapitasi. Usul : dilakukan revisi anggaran BOK, dan penggunaan dana Kapitasi untuk kunjungan anggota JKN (ada peluang setiap anggota JKN dalam rangka Promotif Preventif perlu dikunjungi)
Pertemuan dengan Puskesmas dan Dinkes Lampung Selatan, untuk membahas pendanaan. Disepakati perubahan rencana yg bersumber BOK (hal ini dpat dilakukan karena Puskesmas sudah menjadi BLUD, jd perencanaan dilakukan oleh Puskesmas). Mengoptimalkan dana Kapitasi program Kinerja berbasis pelayanan (pedoman BPJS)
Pengumpulan Data
Kunjungan rumah
- Tidak semua anggota keluarga bisa ditemui saat ke Ruta
- Perlu kunjungan ulang untuk indicator yang memang harus kontak dengan ART
- Dirasakan menyita waktu
pelaksanaan program lain
- Perlu inovasi menambah jumlah tenaga puldata: kader PTM, melibatkan mahasiswa kesehatan melalui Praktik Belajar Lapangan (PBL)
- Diintegrasikan dengan program lain
- Masukan sudah disampaikan ke Dinas Kesehatan dan Puskesmas
- Rencana tahun 2018 akan melibatkan kader terlatih dan tenaga mahasiswa kesehatan melalui PBL (daerah binaan) terutama Poltekes
- Kunjungan PIS-PK diintegrasikan dengan kesling, gizi, promosi RI
Intervensi saat puldata
- Tenaga puldata tidak memanfaatkan Piskesga untuk masalah yg diketemukan saat puldata
- Belum dipahaminya Konsep PIS-PK, bahwa intervensi yang sifatnya edukasi bisa dilaksanakan parallel dg puldata
- Merubah juknis PIS-PK, bahwa intervensi edukasi dg Pinkesga bisa dikerjakan parallel saat puldata
- Tim Litbang sudah menyampaikan umpan balik ke Tim Puskesmas dan mereka melakukan perubahan saat Puldat juga dilakukan intervensi kalau ditemukan masalah
Analisis data* (bersama dengan Pusdatin)
Entry data Proses entry data terhambat (lemot) bila dilakukan pada jam kerja puskesmas, baru bisa masuk bila entry dilakukan pada malam hari > jam 22.00 wib Menurut Pusdatin hal ini karena “delayed” , akibat dari: Jumlah data keluarga yang telah masuk pada aplikasi semakin hari semakin banyak
- Pemisahan antara aplikasi dan data base
- Penambahan kapasitas perangkat pengolah data aplikasi KS
- Improvisasi logic aplikasi IKS untuk mempercepat proses penghitungan IKS Wilayah
Sudah disampaikan ke Pusdatin, dan tim Pusdatin sedang melakukan upaya perbaikan, al.Penambahan jumlah server, ada opsi offline
IKS wilayah Admin puskesmas dan surveyor tidak dapat melihat nilai IKS wilayah, sedangkan tim pusat bisa melihat nilai IKS wilayah hingga tingkat kecamatan
Penghitungan IKS memerlukan waktu karena aplikasi dan data base untuk mengumpulkan data dan menghitung IKS masih menjadi satu Tahapan penghitungan IKS Wilayah (logic aplikasi) membutuhkan waktu lama
- Untuk melihat IKS wilayah sementara diberikan username pada web: https//demoks.kemkes.go.id (IKS kecamatan)
- Penghitungan IKS desa/RW/RT sementara dilakukan manual (menggunakan templete Litbangkes)
Pengisian RW/RT, no urut rumah dan pengorganisasian desa/kelurahan
- Penulisan RW/RT masih bervariasi penulisannya (2 atau 3 digit), Misal 009 , 09 atau 9
- Pengorganisasian desa dan kelurahan berbeda (misal: satuan lingkungan)
- Pemahaman surveyor tentang pengorganisasian masih kurang
Materi pengorganisasian tidak menekankan penggunaan 3 digit dan hanya mengajarkan ttg RW/RT, kurang memberikan contoh bila kondisi RW/RT berbeda
- Melakukan refresh tentang Pengorganisasian untuk kode RW/RT agar IKS RW/RT bisa dihitung.
- Memberikan masukan tentang materi ajar pengorganisasian
- Tim Litbang melakukan refreshing kepada tim Puskesmas
Penyusunan RUK dan Lokakaryamini lintas sektor
Penyusunan RUK
RUK puskesmas dibuat berdasarkan prediksi
Hasil analisis kunjungan rumah bisa digunakan untuk penyusunan RUK; penyusunan kegiatan untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada
Pendampingan penyusunan rencana kegiatan jangka pendek untuk mengatasi permasalahan wilayah (RW/dusun) berdasarkan hasil IKS
Lokakaryamini Lintas sektor
Pengetahuan lintas sektor tentang PIS-PK masih kurang
Data jumlah penduduk (Supas, data raskin) tidak sesuai dengan kondisi lapangan
Sosialisasi kembali tentang PIS-PK
Sinkronisasi jumlah keluarga dalam desa/kecamatan; pemaparan hasil IKS RW/dusun; kesepakatan bersama linsek untuk mengatasi permasalahan yang ada
Pendampingan lokakaryamini lintas sektor
Ketiga peraturan tersebut memperlihatkan keterkaitan yang sangat erat antara PIS-
PK dengan SPM kesehatan dan Germas. Delapan indikator PIS-PK beririsan/sama dengan
indikator dalam SPM kesehatan, antara lain ANC, Ibu bersalin, pelayanan kesehatan balita,
pelayanan kesehatan bayi baru lahir, pelayanan kesehatan balita, pelayanan kesehatan
hipertensi, pelayanan kesehatan TB dan gangguan jiwa. Bila PIS-PK dapat dijalankan
dengan baik, hasil IKS akan menjadi dasar dalam penyusunan kegiatan program-program
kesehatan untuk menunjang keberhasilan tercapainya 100% SPM kesehatan. Germas
dengan melibatkan lintas sektor akan mendukung tercapainya indikator kesehatan dan SPM
kesehatan dengan optimal (Tabel 2).7 PIS-PK dan Germas yang dapat dilaksanakan dengan
baik akan meningkatkanpula capaian SPM Bidang Kesehatan di kab/kota. Hal inilah yang
perlu disadari oleh para pemimpin daerah dan dinas kesehatan.
Tabel 2. Indikator/komponen PIS-PK, Germas dan SPM Kesehatan
No Indikator PIS-PK SPM kesehatan Germas Keterangan
1 Keluarga mengikuti KB
√
Aktivitas fisik Makan buah dan sayur
Makan ikan Pangan sehat Lingkungan
PHBS deteksi dini
2 Ibu bersalin di faskes
√ ANC, Ibu bersalin
3 Balita mendapat imunisasi dasar lengkap
√ Pelayanan kesehatan balita
4 Bayi diberi ASI Ekslusif selama 6 bulan
√ Pelayanan kesehatan bayi baru lahir
5 Pertumbuhan dan perkembangan balita dipantau tiap bulan
√ Pelayanan kesehatan balita
6 Penderita TB paru berobat sesuai standar
√ Pelayanan kesehatan TB
7 Penderita hipertensi berobat teratur √ Pelayanan kesehatan hipertensi
8 Gangguan Jiwa Berat tidak ditelantarkan
√ Pelayanan kesehatan gangguan jiwa
9 Tidak ada ART yang merokok √
10 Keluarga mempunyai akses terhadap air bersih
√
11 Keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat
√
12 Sekeluarga menjadi anggota JKN/Askes
√
Pelayanan kesehatan usia pendidikan dasar
Pelayanan kesehatan usia pendidikan dasar
Pelayanan kesehatan usia produktif Pelayanan kesehatan usia produktif
Pelayanan kesehatan usia lanjut Pelayanan kesehatan usia lanjut
Pelayanan DM
Pelayanan DM
Pelayanan HIV Pelayanan HIV
SIKLUS
HIDU
ME
NG
INT
EG
RA
SIK
AN
PIS
-PK
, G
ER
MA
S D
AN
SP
M
KE
SE
HA
TA
N
Kolaborasi
lintas sektor
KESIMPULAN
1. Ada keterkaitan erat antara Germas, indikator PIS-PK dan SPM Bidang Kesehatan.
Pelaksanaan Germas dan PIS-PK yang baik akan mendukung tercapainya SPM
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
2. Pelaksanaan PIS-PK memerlukan integrasi dengan Germas dan SPM bidang
kesehatan serta sinergi dari stakeholder terkait
REKOMENDASI
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu mengintegrasikan kegiatan Germas, PIS-PK
untuk mencapai SPM Bidang Kesehatan dengan didukung dan bersinergi bersama
stakeholder terkait
KEPUSTAKAAN
1. ___________.Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. 2017.
2. ___________.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. 2016.
3. Kementerian Kesehatan RI. (2017). Petunjuk Teknis Penguatan Manajemen Puskesmas Dengan Pendekatan Keluarga Edisi-2. 2017.
4. Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Litbangkes. Hasil Evaluasi Pelaksanaan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) Tahun 2016. ppt.
5. Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Litbangkes. Laporan Hasil Riset Implementasi PIS-PK di Kab. Lampung Selatan. 2017.
6. ___________. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.
7. Siswanto.(2017). Pengintegrasian Program dalam Implementasi PIS-PK, Germas dan SPM Bidang Kesehatan (ppt). Disampaikan pada Rakerkesda Provinsi Lampung 28 Juli 2017.
dr. Eva Sulistiowati, M.Biomed & tim Puslitbang Sumber Daya & Pelayanan Kesehatan
CAKUPAN SKRINING PEMERIKSAAN PAYUDARA KLINIS DAN INSPEKSI VISUAL
ASAM ASETAT POSITIF DAN PERILAKU DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA DAN
SERVIKS DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Angka kematian tertinggi perempuan di Indonesia akibat penyakit kanker berasal dari
kanker payudara (21,4%), diikuti kanker serviks (10,3%) dan kemudian oleh kanker trakea,
bronkus dan paru sebesar 9,1%. Kanker payudara dapat dideteksi dengan pemeriksaan
payudara sendiri (Sadari) atau pemeriksaan payudara klinis (Sadanis) yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan terlatih. Kanker serviks dapat dideteksi dengan pemeriksaan pap smear
dan inspeksi visual asam asetat (IVA) serta dapat dicegah dengan vaksinasi HPV. Melalui
pemeriksaan Sadanis dapat ditemukan kelainan pada payudara (benjolan, retraksi puting,
kulit jeruk, dll) yang apabila diperiksa lebih lanjut dengan menggunakan mammografi akan
dapat diketahui indikasi keganasan tumor tersebut. Melalui pemeriksaan IVA dapat
ditemukan bercak putih (acetowhite)pada leher rahim sebagai tanda lesi prakanker serviks.
Pemerintah saat ini sedang giat melakukan program preventif untuk kanker payudara dan
serviks pada perempuan di Indonesia dengan jumlah Puskesmas yang tercatat sebagai
Puskesmas IVA-CBE berjumlah 2.073 puskesmas dengan tenaga bidan dan dokter terlatih
sebanyak 4.128 orang. Pelaksanaan upaya pemerintah ini belum maksimal oleh karena
masih rendahnya cakupan pemeriksaan skrining kedua penyakit tersebut.
Tujuan rekomendasi ini adalah untuk memberikan rekomendasi strategi skrining kanker
payudara dan kanker serviks berdasarkan gambaran karakteristik populasi berdasarkan
hasil skrining Riset Penyakit Tidak Menular (PTM)..
Dasar hukum program pengendalian kanker payudara dan serviks
Permenkes No 34 Tahun 2015 tentang penanggulangan kanker payudara dan
kanker leher rahim
Permenkes No 43 Tahun 2016. SPM Kesehatan: skrining kanker serviks pada wanita
30-59 tahun dengan pemeriksaan IVA.
Kepmenkes RI No 796/Menkes/SK/VII/2010 tentang pedoman teknis pengendalian
kanker payudara dan kanker leher rahim.
BRIEFING KEBIJAKAN
METODOLOGI
Rekomendasi dilakukan berdasarkan hasil Riset PTM tahun 2016 yang diilakukan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan secara nasional.
Riset PTM adalah survei pada komunitas dengan populasi wanita usia 25-64 tahun.
HASIL DAN KESIMPULAN
SADANIS POSITIF
Gambar 1. Prevalensi perempuan 25-64 tahun di perkotaan Indonesia dengan hasil Sadanis
positif
Dari target 70.000 responden, terdapat 36.749 wanita yang berpartisipasi dan mau diperiksa
Sadanis. Dengan demikian respon rate pemeriksaan Sadanis sebesar 52,3%. Hasilnya ada
sekitar 8,1% perempuan usia 25-64 tahun di Indonesia dengan hasil Sadanis positif yang
berarti bahwa mereka mempunyai tumor payudara.
Karakteristik mereka antara lain lebih banyak belum kawin, usia melahirkan pertama kali
diatas 30 tahun, pernah keguguran, tidak pernah menyusui, menyusui lebih singkat, pernah
keguguran, pernah mengonsumsi obat pencegah keguguran, menggunakan kontrasepsi
hormonal jangka panjang, pernah operasi kista ovarium, pernah operasi tumor ganas
payudara dan mempunyai riwayat keluarga yang mengalami kanker ovarium dan payudara.
IVA POSITIF
Gambar 2. Prevalensi perempuan 25-64 tahun di perkotaan Indonesia dengan hasil IVA
positif
Dari target 70.000 responden, terdapat 36.889 wanita yang berpartisipasi dan mau diperiksa
IVA. Dengan demikian respon rate pemeriksaan Sadanis sebesar 52,7%. Hasilnya ada
sekitar 7,0% perempuan usia 25-64 tahun di Indonesia dengan hasil IVA positif yang berarti
bahwa mereka mengalami lesi prakanker serviks.
Diantara yang mengalami lesi prakanker serviks tersebut, 1 per 10.000 responden pernah
dinyatakan kanker serviks. Gejala terbanyak yang dialami adalah perdarahan setelah
berhubungan seksual atau perdarahan pada masa menopouse. Karakteristik lain adalah
riwayat merokok setiap hari, ada riwayat keluarga yang menderita kanker serviks. Meskipun
obesitas jarang dihubungkan dengan kanker serviks, pada penelitian ini responden yang
mengalami IVA positif lebih banyak obesitas.
Gambar 3. Perilaku deteksi dini kanker payudara
Responden lebih banyak yang mengaku pernah melakukan pemeriksaan payudara sendiri
(Sadari) dibandingkan yang pernah melakukan Sadanis.
Gambar 3. Perilaku deteksi dini kanker serviks
Dalam hal deteksi dini kanker serviks, responden lebih banyak yang melakukan
pemeriksaan Pap smear dibandingkan melakukan pemeriksaan IVA, meskipun untuk kedua
jenis deteksi dini tersebut angkanya masih dibawah 10%.
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
Pada perempuan umur 25-64 tahun di perkotaaan Indonesia terdapat sekitar masing-masing
7-8% yang terindikasi menderita kanker payudara dan kanker serviks. Dengan demikian,
pemerintah perlu menyediakan fasilitas pemeriksaan lanjutan dan pengobatan bagi populasi
tersebut. Perempuan yang mempunyai hasil Sadanis positif selayaknya dilanjutkan
pemeriksaaan ultrasonografi (USG) payudara dan atau mamografi. Selanjutnya apabila
dicurigai sebagai keganasan, maka harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan patologi
anatomi. Demikian halnya perempuan dengan hasil IVA positif harus melakukan krioterapi
serta pemantauan lanjutan. Alat krioterapi, bahan gas NO2 serta tenaga terampil krioterapi
harus tersedia untuk melakukan pengobatan lesi ini. Pada setiap Puskesmas atau fasilitas
kesehatan yang menyelenggarakan pemeriksaan skrining kanker payudara dan serviks
harus dipersiapkan pembiayaan termasuk sarana prasarana untuk sekitar 7-8% orang yang
diperiksa. Apabila pemeriksaan lanjutan tidak tersedia, maka akan terjadi perburukan
kondisi kesehatan yang akan menghabiskan biaya pengobatan yang besar oleh karena
dideteksi dalam stadium lanjut.
Perempuan yang melakukan Sadari jumlahnya sudah cukup banyak meskipun masih
dibawah 50%, hal ini berdampak pada jumlah yang melakukan Sadanis yang sangat rendah
yaitu sekitar 4,5%, Hal ini mungkin diakibatkan hanya perempuan yang merasa ada kelainan
pada payudaranya saat melakukan Sadari yang kemudian melakukan pemeriksaan
Sadanis. Dengan demikian maka jumlah peempuan yang melakukan Sadari harus
ditingkatkan menjadi 100% agar yang melakukan Sadanis menjadi lebih banyak. Program
Sadanis adalah program yang cukup baru yaitu sekitar 3-4 tahun terakhir sehingga belum
banyak yang melakukan Sadanis. Program Sadanis harus terus dipromosikan bahkan
diwajibkan bagi seluruh wanita dewasa untuk dilakukan secara berkala. Adapun Sadari,
tingkat keakuratannya sangat ditentukan oleh teknik pemeriksaan. Meskipun Sadari rutin
dilakukan, namun tetap harus dilakukan Sadanis.
Jumlah perempuan yang pernah melakukan IVA hanya setengah dari jumlah perempuan
yang pernah melakukan tes Pap smear. Hal ini karena tes Pap smear telah lebih dahulu
dikenal, sedangkan pemeriksaan IVA baru dipopulerkan sekitar 3-4 tahun terakhir. Pap
smear bukanlah sebuah program rutin oleh karena sarana prasarana pemeriksaan Pap
smear lebih spesifik dibandingkan IVA. Tanpa program rutin, jumlah perempuan yang
melakukan tes Pap smear jauh lebih banyak dibandingkan yang melakukan IVA. Sebagai
program rutin yang telah ditetapkan pemerintah, sudah selayaknya cakupan pemeriksaan
IVA ditingkatkan pada semua perempuan. IVA merupakan metode yang sangat tepat untuk
negara berkembang bahkan menengah karena mempunyai keunggulan selesai dalam waktu
1 hari. Pada negara setingkat diatas negara berkembang biasanya IVA ditambah dengan
pemeriksaan DNA HPV.
Program skrining melalaui pemeriksaan Sadanis dan IVA masih sangat rendah cakupannya.
Respon rate Riset PTM menunjukkan bahwa sekitar 53% populasi berhasil diperiksa
Sadanis dan IVA. Metode penelitian yang menjangkau populasi dengan cara mendatangi
rumah ke rumah, serta memberikan undangan khusus untuk datang ke Puskesmas untuk
diperiksa merupakan metode yang baik untuk meningkatkan cakupan skrining disamping
program sosialisasi. Dengan telah tersedianya landasan hukum program Sadanis dan IVA
merupakan dasar yang kuat untuk melaksanakan skrining yang masif pada perempuan.
Rekomendasi utama berdasarkan penelitian ini adalah :
1. Diperlukan persiapan serta alokasi anggaran untuk diagnosis lanjut serta
pengobatan bagi7-8% perempuan yang menjalani skrining pemeriksaan Sadanis dan
IVA sebagai tindak lanjuthasil emeriksaan berdasarkan skrining.
2. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan cakupan skrining Sdanis dan IVA
antara lain metode-metode menyerupai penelitian di komunitas yang mendatangi
rumah serta mengundang secara khusus peempuan kelompok sasaran dengan
dasar kebijakan yang telah tersedia.
KEPUSTAKAAN
1. Mi Kim Y , Lambe FM , Soetikno , Wysong M ,Tergas AI ,Rajbhandari P, et al.
Evaluation of a 5-year cervical cancer prevention project in Indonesia: Opportunities,
issues, and challenges. J. Obstet. Gynaecol. Res.2013;39(6):1190-1199.
2. Maine D, Hulrburt S, Greeson D. Cervical Cancer Prevention in the 21st Century:
Cost Is Not the Only Issue.Am J .Public Health.2011;101(9):1549-1955.
3. Nelson E, Hughes J, Oakes J, Thyagarajan B, Pankow J, Kulasingam S. Human
Papillomavirus Infection in Women Who Submit Self-collected Vaginal Swabs After
Internet Recruitment. Journal Of Community Health [serial on the Internet]. (2015,
June), [cited December 28, 2017]; 40(3): 379-386. Available from: Education
Research Complete.
4. Boxwala FI, Bridgemohan A, Griffith DM, Soliman AS. Factors Associated with
Breast Cancer Screening in Asian Indian Women in Metro-Detroit. J. Immigr. Minor.
Health.2010 08;12(4):534-43.
5. Akinyemiju TF. Socio-Economic and Health Access Determinants of Breast and
Cervical Cancer Screening in Low-Income Countries: Analysis of the World Health
Survey. PLoS One 2012 11;7(11).
6. The benefits and harms of breast cancer screening: an independent review. The
Lancet 2012 Nov 17;380(9855):1778-86.
7. Nik Daliana NF, Norlaili AA, Al-Sadat N, Jamaludin M, Dahlui M. Clinical Breast
Examination As the Recommended Breast Cancer Screening Modality in a Rural
Community in Malaysia; What Are the Factors That Could Enhance Its Uptake?
PLoS One 2014 09;9(9).
8. Hislop TG. Is breast self-examination still necessary? CMAJ. 1997 Nov
01;157(9):1225-6.
9. Miller AB, Baines C, Harvey B, al e. Breast self-examination / The author resonds.
CMAJ. 2002 Jan 22;166(2):163-168.
10. Direktorat Penyakit Tidak Menular PPPL. Pedoman teknis pengendalian kanker
payudara & kanker leher rahim 2010. p. 1-69.
11. Nuranna L, Aziz M, Cornain S, et al. Cervical cancer prevention program in
Jakarta,Indonesia : See and treat model in developing country. J Gynecol Oncol
2012;23(3):147-52. Epub July 2, 2012.
Briefing Kebijakan
INTEGRASI PROGRAM PUSKESMAS DALAM
PELAKSANAAN PROGRAM INDONESIA SEHAT DENGAN
PENDEKATAN KELUARGA (PIS-PK)
Made Dewi S, Eva Sulistiowati
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Ringkasan
Puskesmas dalam melaksanakan pelayanan UKP dan UKM secara berkesinambungan
terintegrasi mengikuti siklus hidup dengan target fokus keluarga, berdasarkan data dan
informasi dari Profil Kesehatan Keluarga. Hasil riset menunjukkan puskesmas telah
berupaya melakukan integrasi program saat kunjungan rumah sehingga meberikan daya
ungkit terhadap cakupan program. Namun perlu adanya komunikasi antar pemegang
programyang terdokumentasi secara manual atau terintegrasi dengan aplikasi KS / sistem
informasi puskesmas sehingga pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan secara
komprehensif.
Pengantar
Rencana Penyusunan Kegiatan Puskesmas bertujuan untuk menanggulangi segala
permasalahan kesehatan prioritas dengan memanfaatkan seluruh potensi sumber daya
yang ada baik di dalam dan di luar lingkungan kerja Puskesmas. Kegiatan kunjungan rumah
dalam Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) selain untuk
mendata kondisi kesehatan juga melakukan upaya pelayanan perseorangan (UKP) dan
upaya kesehatan masyarakat (UKM) secara terintegrasi mengikuti siklus hidup.1 Dalam
upaya mencakup seluas mungkin sasaran masyarakat yang harus dilayani, serta mengingat
ketersediaan sumber daya yang terbatas, maka pelayanan kesehatan harus dapat
dilaksanakan secara terintegrasi baik lintas program maupun lintas sektor. Kepala
Puskesmas harus mampu membangun kerjasama dan mengkoordinasikan program di
internal Puskesmas dan di eksternal dengan mitra lintas sektor. Koordinasi dengan lintas
sektor sangat diperlukan, karena faktor penyebab dan latar belakang masalah kesehatan
tertentu kemungkinan hanya dapat diselesaikan oleh mitra lintas sektor. Keterpaduan lintas
program adalah keterpaduan internal Puskesmas yang bertujuan agar seluruh petugas
mempunyai rasa memiliki dan motivasi yang tinggi dalam melaksanakan seluruh kegiatan
yang diselenggarakan oleh Puskesmas secara terintegrasi. Seluruh komponen Puskesmas
harus memiliki kesadaran bahwa Puskesmas merupakan satu sistem dan mereka adalah
subsistemnya.2
Hasil penelitian
Selama pendampingan Riset Implementatif di Kabupaten Lampung Selatan khususnya
di 4 lokus penelitian yaitu Puskesmas Tanjung Bintang, Puskesmas Tanjung Sari,
Puskesmas Way Urang dan Puskesmas Karang Anyar terlihat adanya beberapa kendala
terkait sumberdaya yang tersedia. Kendala tersebut antara lain kurangnya dukungan lintas
sektor, terbatasnya jumlah surveyor yang telah dilatih oleh Bapelkes Lampung (5 orang tiap
puskesmas), jumlah tensimeter, dan dana.
Puskesmas telah berupaya mengatasi kendala tersebut dengan mengintegrasikan
beberapa program sesuai sumberdaya yang dimiliki. Dukungan lintas sektor didapat dengan
melakukan sosialisasi kepada camat, kepala desa dan jajarannya yang dilakukan oleh tim
PIS-PK puskesmas dibawah komando kepala puskesmas. Hal ini terlihat dengan adanya
dukungan aparat desa saat dilakukan listing rumah tangga dan sosialisasi kepada
masyarakat tentang tujuan kunjungan rumah. Sedangkan keterbatasan surveyor diatasi
dengan melakukan On The job Training (OJT) terhadap seluruh tenaga kesehatan dari
berbagai program di puskesmas. Para surveyor merupakan tim bina keluarga untuk wilayah
RT/RW tertentu sehingga pemantauan kesehatan masyarakat lebih terstruktur. Pendanaan
tidak hanya bersumber dari BOK namun juga memanfaatkan dana kapitasi untuk memenuhi
jumlah tensimeter dan perlengkapan saat kunjungan rumah.
Sinergi yang dilakukan di tingkat manajemen juga tercermin dalam kegiatan kunjungan
rumah. Salah satu contoh yang dilakukan di Puskesmas Tanjung Bintang, saat kunjungan
rumah dalam rangka KS surveyor selain inspeksi jamban dan air bersih sesuai indikator KS
juga mengisi ceklist inspeksi sarana sumur gali yang merupakan program kesling (Gambar
1). Disamping itu surveyor melakukan juga sosialisasi pelayanan yang dimiliki puskesmas
termasuk pelayanan rawat inap.
Selain itu, jika ada masalah terkait gizi, PTM, TB dan temuan lain diluar 12 indikator KS
ditulis di bagian catatan kuesioner KS yang selanjutnya akan ditindak lanjuti oleh pemegang
program. Contohnya pada saat kunjungan rumah didapatkan balita dengan berat badan
kurang dan memiliki riwayat jarang ke posyandu, selain diberikan penyuluhan temuan
tersebut dicatat pada kolom catatan prokesga dan dikoordinasikan dengan bidan desa serta
petugas gizi untuk penanganan lebih lanjut. Pencatatan dan pelaporan secara manual berisi
informasi tentang identitas sasaran/ keluarga, permasalahan, upaya yang sudah dilakukan,
rujuk ke pemegang program terkait, upaya pemecahan oleh pemegang program terkait dan
tindak lanjut yang dilakukan pemegang program.
Gambar 1. Surveyor selain melakukan observasi jamban sebagai salah satu indikator
KS juga mengisi checklist inspeksi sarana sumur gali
Daya ungkit dari kegiatan PIS-PK terhadap UKP di Puskesmas Tanjung Bintang, antara
lain:
1. Meningkatnya jumlah kunjungan pasien rawat inap baik yang menggunakan BPJS
maupun tunai sampai 2 kali lipat dari kunjungan sebelum ada kegiatan KS. Promosi
dilakukan saat sosialisasi KS di tingkat kecamatan / desa dan juga saat kunjungan
rumah.
2. Meningkatnya rasio angka kontak peserta BPJS dimana saat triwulan II tahun 2017
sebesar 81,6 (berada di zona tidak aman) meningkat di Triwulan III sebesar 167,9.
Berdasarkan angka tersebut Puskesmas Tanjung Bintang termasuk 4 dari 26
puskesmas di Lampung Selatan yang berada dalam zona aman KBKP BPJS.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa melalui kunjungan rumah yang dilakukan akan
meningkatkan cakupan program puskesmas dan angka kontak sebagai salah satu indikator
komitmen pelayanan JKN. Data yang terkumpul merupakan data riil kondisi kesehatan
masyarakat di wilayah kerja puskesmas. Keluarga yang mempunyai anggota rumah tangga
dengan gangguan jiwa berat yang selama ini “disembunyikan” dapat mendapatkan
penanganan yang sesuai, penderita “unknown hypertensive” juga dapat dilakukan
pengobatan sesuai dengan standar.
Hasil Indeks keluarga Sehat (IKS) ini dirasakan sangat bermanfaat untuk penyusunan
Rencana Usulan kegiatan (RUK) dan melakukan advokasi dengan desa/lintas sektor terkait
serta pemberdayaan masyarakat. Salah satu contoh yang dilakukan oleh Puskesmas
Karanganyar adalah kerjasama dengan Dinas Pendidikan terkait Posbindu dan Kawasan
Tanpa Rokok di sekolah serta penggalakan Gerakan Masyarakat Hidup sehat (Germas) di
kantor kecamatan/kelurahan untuk mencegah penyakit tidak menular.
Konteks kebijakan terkait
Sesuai Permenkes 39 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program
Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga, Permenkes nomor 44 tahun 2016 tentang
Manajemen Puskesmas dan Juknis Penguatan Manajemen Puskesmas dengan Pendekatan
Keluarga,1,2,3 Puskesmas dalam melaksanakan UKP dan UKM secara berkesinambungan
sudah seharusnya mengintegrasikan seluruh manajemen yang ada (sumber daya, program,
pemberdayaan masyarakat, sistem informasi Puskesmas, dan mutu) dengan target fokus
keluarga, berdasarkan data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga. Sehingga dapat
menyelesaikan masalah prioritas kesehatan di wilayah kerjanya dan meminimalisir
kehilangan peluang dari sasaran program untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
seharusnya dapat dilaksanakan secara terintegrasi dalam satu pelaksanaan (missed
opportunity).
Cakupan capaian 12 indikator KS saling terkait dengan cakupan program lainnya
seperti cakupan persalinan di fasilitas kesehatan berkaitan dengan cakupan Inisiasi
Menyusui Dini (IMD), Cakupan kunjungan neonatal pertama (KN1) dengan cakupan
imunisasi HB0. Cakupan akses air bersih dan penggunaan jamban sehat terkait dengan
angka kejadian diare, penanganan kasus TB terkait dengan DM dan HIV, dan masih banyak
integrasi program yang dapat dilakukan.
Rekomendasi kebijakan
Pelaksanaan PIS-PK di puskesmas memerlukan pengintegrasian seluruh manajemen
yang ada (sumber daya, program, pemberdayaan masyarakat, sistem informasi
puskesmas). PIS-PK membawa dampak positif bagi peningkatan capaian program dan
KBKP puskesmas. Pengintegrasian program pada khususnya akan berjalan
berkesinambungan jika terdapat komunikasi antar pemegang program yang terdokumentasi
secara manual atau terintegrasi dengan aplikasi KS / sistem informasi puskesmas sehingga
pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan secara komprehensif.
Kepustakaan
1. Kemenkes RI. 2016. Petunjuk Teknis Penguatan Manajemen Puskesmas dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta:PADK Kemenkes.
2. Kemenkes. 2016. Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 44 tahun 2016 tentang Manajemen Puskesmas. Jakarta :Kemenkes.
3. Kemenkes. 2016. Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta :Kemenkes.
PERLUKAH TEAM BASED NUSANTARA SEHAT DILANJUTKAN …..? (Pembelajaran riset evaluatif Nusantara Sehat)
Oleh : Harimat Hendarwan
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan suatu negara besar yang meliputi sekitar 17.496 pulau,
dengan luas wilayah sekitar 7,81 juta km2, dan penduduk lebih dari 253,6 juta orang, 1.128
Suku bangsa/etnik; 746, bahasa, 34 Provinsi, 410 kabupaten, 98 kotamadya, 6694
kecamatan, 8216 kelurahan serta 69249 desa. Berdasarkan karakteristik tersebut, jelas
merupakan suatu tantangan yang tersendiri untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan
yang optimal bagi seluruh penduduk.
Permasalahan tenaga kesehatan :
Jumlah tenaga kesehatan yang kurang
Distribusi tidak merata
Mutu yang belum memadai
Pada prinsipnya, upaya pemenuhan kebutuhan SDM Kesehatan dapat dilakukan
melalui 2 cara, yakni : Tetap (permanen), dan Sementara (temporary). Cara pemenuhan
tetap antara lain pengadaan pegawai melalui jalur Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pemenuhan pegawai sementara dilakukan
melalui Pegawai Tidak tetap (PTT Pusat dan Daerah), Nusantara Sehat Berbasis Tim (team
based), penugasan khusus individu (Tugsus Individu), Waji Kerja Dokter Spesialis (WKDS),
Kontrak (Honor) Badan Layanan Umum (BLU), kontrak/honor/swasta.
Berdasarkan data Badan PPSDM Kesehatan, dengan mengacu pada Standar
ketenagaan di Puskesmas berdasarkan PMK 75/2014 tentang Puskesmas, maka per
tanggal 30 Juni 2016 terdapat 1.898 puskesmas kekurangan dokter umum, 4.831
puskesmas kekurangan dokter gigi, 919 puskesmas kekurangan perawat, 1.374 puskesmas
kekurangan bidan, 787 puskesmas kekurangan tenaga kefarmasian, 4.016 kekurangan
tenaga kesehatan masyarakat, 542 puskesmas kekurangan tenaga kesehatan lingkungan,
4.064 puskesmas kekurangan tenaga gizi, dan 6.169 puskesmas kekurangan tenaga ahli
teknologi laboratorium medik. (KapusrenGun, BPPSDM Kesehatan, 2017).
Secara garis besar, pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan oleh Pemerintah
Pusat (Kementerian Kesehatan) untuk fasilitas pelayanan kesehatan terbagi atas
pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan di puskesmas (melalui mekanisme Penugasan
Khusus Berbasis Tim (Nusantara Sehat Team Based), dan Penugasan Khusus Individu
(Nusantara Sehat Individu)), dan di rumah sakit (Penugasan Khusus Residen dan Wajib
Kerja Dokter Spesialis).Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program
Nusantara Sehat merupakan pendayagunaan secara khusus Tenaga Kesehatan dalam
kurun waktu tertentu yang dilakukan melalui :Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan
Berbasis Tim dengan jumlah dan jenis tertentu (Nusantara Sehat), danPenugasan Khusus
Tenaga Kesehatan Individual (Permenkes nomor 16 tahun 2017 tentang Penugasan Khusus
Tenaga Kesehatan Dalam Mendukung Program Nusantara Sehat).
Hal ini dilakukan dengan sasaran terpenuhinya jumlah dan jenis tenaga kesehatan
sesuai dengan standar di puskesmas DTPK, serta terwujudnya penguatan dan pemenuhan
kebutuhan pelayanan di puskesmas.
Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara
Sehat merupakan Pendayagunaan secara khusus Tenaga Kesehatan dalam kurun waktu
tertentu yang dilakukan melalui Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Berbasis Tim
dengan jumlah dan jenis tertentu (Nusantara Sehat), danPenugasan Khusus Tenaga
Kesehatan Individual
Program ini bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatanuntuk menjangkau
remote area, menjaga keberlangsungan pelayanan kesehatan, menangani masalah
kesehatansesuai kebutuhan daerah, meningkatkan retensi tenaga kesehatan yang
bertugas, memenuhi kebutuhan tenagakesehatan, menggerakkan pemberdayaan
masyarakat, mewujudkan pelayanan kesehatanterintegrasi, meningkatkan dan melakukan
pemerataan pelayanan kesehatan. Melalui program ini diharapkan dapat terpenuhi jumlah
dan jenistenaga kesehatan sesuai dengan standar di puskesmas DTPK, serta terwujud
penguatandan pemenuhan kebutuhan pelayanan di puskesmas.
Sampai dengan akhir tahun 2017, dikirimkan 8 gelombang Tim Nusantara Sehat,
dengan jumlah peserta sekitar 2486 orang di 439 puskesmas yang berada di 269
kabupaten/kota dan 29 provinsi di Indonesia.
Untuk menilai dampak penempatan Tim Nusantara Sehat,Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan melakukan evaluasi pasca penempatan timsehingga dapat
diketahui apakah keberadaan tim Nusantara Sehat memberikan kontribusi terhadap kinerja
puskesmas, mendekatkan jangkauan pelayanan, perbaikan pelayanan, serta memberikan
manfaat pada masyarakat.
Evaluasi ini dilakukan melalui suatu evaluation research, yang dalam
pelaksanaannya dibagi dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pre, mid dan post yang
menunjukkan input, proses, dan output. Tahap pre sudah dilakukan pada tahun 2015
berupa pengumpulan data Fasilitas puskesmas yang terdiri dari demografi, Sumber Daya
Manusia Kesehatan (SDMK), Manajemen puskesmas, cakupan program, sarana prasarana,
program intervensi, potensi wilayah dan status kesehatan masyarakat sebagai gambaran
input. Tahap mid sudah dilakukan tahun 2016 melalui pengumpulan data yang dapat
menggambarkan proses terdiri dari Plan of Action (POA), pelaksanaan kegiatan, penilaian
stakeholder terhadap Tim Nusantara Sehat, serta data Kinerja Tim Nusantara Sehat.
Pada tahap post yang dilakukan tahun 2017, kembali dikumpulkan data mengenai
demografi, fasilitas puskesmas yang terdiri dari Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK),
Manajemen puskesmas, cakupan program, sarana prasarana, program intervensi, potensi
wilayah dan status kesehatan masyarakat, dilengkapi dengan penilaian stakeholder
terhadap Tim Nusantara Sehat, serta data Kinerja Tim Nusantara Sehat sebagai output
untuk menilai dampak penempatan Tim Nusantara Sehat melalui perbandingan kondisi awal
dengan kondisi akhir pasca 2 tahun penempatan tim.
Untuk menilai status kesehatan masyarakat dilakukan melalui survei cepat. Dalam
survei cepat ini akan dilakukan pembandingan status kesehatan masyarakat sebelum dan
sesudah penempatan tim Nusantara Sehat. Pembandingan dilakukan pula terhadap status
kesehatan di Puskesmas intervensi dan Puskesmas kontrol, sehingga dapat dinilai
pengaruh penempatan tim Nusantara Sehat terhadap status kesehatan masyarakat.
Gambar 1. Skema pelaksanaan Riset Evaluatif Nusantara Sehat
O U
T
P U
T
P R
O S
E S
I N
P U
T
PUSKESMAS INTERVENSI
PENEMPATAN TIM NUSANTARA SEHAT Kondisi
awal
Puskesmas
Kondisi Pkm
pasca 2 thn
penempatan
Demografi
Fasilitas
Puskesmas SDM Kesehatan Manajemen
Puskesmas Sarpras Capaian program Program
interenvensi
Potensi wilayah
Demografi Fasilitas
Puskesmas SDM Kesehatan Manajemen
Puskesmas Sarpras Capaian program Program
interenvensi Kinerja
Puskesmas Peran stakeholder
Potensi wilayah
POA Kinerja Tim Kinerja
puskesmas Pelaksanaan
kegiatan Penilaian
stakeholder
Survey Status
Kesmas
Survey status
Kesmas
Indikator proses
hasil keg Tim NS
Fasilitas
Puskesmas Potensi wilayah
Pre 2015 Mid 2016 Post 2017
Kondisi
awal
Puskesmas
Kondisi Pkm
stlh 2 thn
Pre 2015 Mid 2016 Post 2017
PUSKESMAS KONTROL
Penelitian dilakukan di wilayah Program Nusantara Sehat Batch 1 dan 2 tahun 2015,
meliputi 15 Provinsi, 27 Kabupaten, 30 Puskesmas yang mendapat Tim Nusantara Sehat
sebagai puskesmas intervensi dan 30 Puskesmas yang tidak mendapat Tim Nusantara
Sehat sebagai puskesmas kontrol. Pemilihan Puskesmas sudah dilakukan pada saat pre
tahun 2015 yang dipilih secara random dari 120 Puskesmas yang mendapat Tim Nusantara
Sehat.
Populasi dan sampel digunakan saat dilakukannya survei cepat untuk menilai status
kesehatan masyarakat. Metode yang digunakan menerapkan rancangan sampel kluster dua
tahap, dengan pemilihan klaster pada tahap pertama adalah pemilihan 30 Puskesmas
Intervensi secara purposive. Pemilihan kluster pada tahap kedua, yaitu pemilihan Rukun
Tetangga (RT) dan Rumah Tangga (RUTA) dilakukan secara acak sederhana (simple
random sampling).Populasi adalah semua rumah tangga yang berada di wilayah kerja
Puskesmas Intervensi dan Puskesmas Kontrol.Sampel adalah rumah tangga terpilih yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Intervensi dan Puskesmas Kontrol. Unit terkecil
penelitian ini adalah individu. Pada penelitian ini di dalam satu puskesmas dikumpulkan data
210 Rumah Tangga.
HASIL PENELITIAN
Sebagian besardinas kesehatan kabupaten menyatakan bahwaTim NS memberikan
manfaat bagi Puskesmas dimana mereka ditempatkan.Sebagian dinas kesehatan juga
menyampaikankekecewaannya karena TimNusantara Sehat yang sudahditempatkan selama
2 tahun tidak dapat dilanjutkan lagi ditempat yang sama.
Beberapa catatan mengenai masalah yang terjadi dengan ditempatkannnya Tim
Nusanta Sehat di puskesmas, antara lain kecemburuan petugas atas besaran Gaji dan
beberapa keistimewaan yang diterima oleh Tim Nusantara Sehat, proses rekruitmen yang
hanya memberikan sedikit peluang bagi tenaga lokal untuk dapat menjadi tenaga Nusantara
Sehat, adanya peserta NS yang sering meninggalkan lokasi, konflik dengan pimpinan dan
petugas puskesmas, dan jenis tenaga yang ditempatkan belum sepenuhnya sesuai dengan
kebutuhan.
Harapan terbesar dari Dinas Kesehatan kabupaten adalah agar keberlanjutan Tim NS
dapat tetap disediakandan diharapkan tenaga kesehatan yang di tempatkan sesuai dengan
kebutuhan Puskesmas tersebut.Pengadaan tenaga semacam NS ini sangat menguntungkan
bagi daerah dan kecil kemungkinan daerah mengadakan rekrutmen dan mencetak tenaga
seperti NS.
Menurut peserta Nusantara Sehat, secara umum proses rekrutmen dinilai sudah
cukup baik dalam hal keterbukaan, informasi mudah didapat, tahapan yang sesuai, netral,
adil, sesuai kompetensi, transparan, tidak bertele-tele dan tidak memungkinkan peluang
KKN. Keluhan umum yang disampaikan antara lain proses pengumuman dan registrasi
online menggunakan internet cukup menyulitkan bagi calon peserta yang berada di desa
atau di pedalaman yang sulit mendapat akses internet, selain itu kadang-kadang juga sulit
log in, Persyaratan STR tidak jelas antara wajib atau tidak, serta permasalahan terkait
NPWP, keterbatasan lokasi tes menyulitkan calon yang jauh, pemberitahuan rekrutmen
yang dinilai terlalu mendadak, serta kepastian waktu pengumuman kelulusan.
Dalam hal pembekalan, beberapa masukan yang disampaikan peserta terkait proses
pembekalan perlunya keseimbangan porsi materi dengan praktek, padatnya jadwal
sehingga peserta kurang bisa konsentrasi akibat kelelahan dan banyak tugas, Waktu ibadah
dan waktu istirahat yang kurang, kelas dirasakan terlalu besar dan ruang yang panas
sehingga tidak kondusif untuk pembelajaran, pengkhusuan waktu untuk bela negara,
perlunya materi tentang teknologi tepat guna (seperti cara pengolahan air, sampah dan
pembuatan arang briket), potensi makanan lokal untuk gizi, penjaringan kesehatan jiwa,
strategi mengatasi keterbatasan alat di lapangan, serta penambahan materi advokasi.
Penempatan peserta harus mempertimbangkan kesesuaian dengan kebutuhan
Puskesmas baik dalam hal jenis tenaga, jumlah dan sarana prasarana. Pasca Penempatan
diharapkan ada kejelasan peluang kerja pasca NS atau pemberian beasiswa untuk alumni
NS masih menjadi pertanyaan.Sebagian tim NS merasa dilepas begitu saja karena tidak
ada yang melakukan supervisi, semua laporan tidak ada feedback, tidak ada komunikasi
dengan pendamping, ada yang menyatakan hanya komunikasi dengan pendamping
Balitbangkes yang berjalan. Sebagian lain menyatakan bahwa komunikasi dengan
Kemenkes berjalan baik
Pendamping diharapkan menjadi jembatan antara Kemenkes dengan dinas
kesehatan serta mengarahkan tim NS. Sebagian besar dinas kesehatan tidak melakukan
supervisi NS secara khusus, supervisi dilakukan terintegrasi dengan program lain.
Menurut peserta Nusantara Sehat, secara umum Dinas Kesehatan sudah
menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh Tim NS. Sarana dan prasarana
yang disediakan bervariasi seperti menyediakan tempat tinggal, alat transportasi berupa
motor dan ambulan, uang makan, tunjangan daerah. Ada dinas kesehatan yang
menyediakan rumah dinas lengkap dengan perabotan dan alat transportasi serta menawari
tim NS menjadi PNS di DTPK.
Tim NS sebagian besar belum pernah dilibatkan untuk mengikuti pelatihan, pelatihan
hanya diperuntukkan untuk tenaga kesehatan/PNS Puskesmas. Pelatihan diutamakan untuk
pegawai yang sudah berstatus PNS, terutama untuk pelatihan-pelatihan yang bersertifikat.
Selain itu, pertemuan rutin di Dinas Kesehatan Kabupaten, masih sedikit yang melibatkan
Tim NS.Beberapa kendala dalam melaksanakan tugas sebagai tim Nusantara Sehat antara
lain sarana prasarana puskesmas dan tempat tinggal : puskesmas belum tertata, ruangan
kurang memadai, tempat tinggal belum ada atau sudah ada tapi tidak layak, keamanan
lokasi kurang, obat dan laboratorium minim, Sarana Komunikasi dan listrik (sinyal telepon,
listrik dan internet tidak ada), air bersih kurang, minimnya sarana merujuk, tidak ada sarana
pendukung (bank, kantor pos), keterbatasan bahan makanan, kepemimpinan kepala
puskesmas dan ketiadaan pemegang program, kendala bahasa, kerjasama lintas sektor,
administrasi puskesmas kurang tertata,
Sejak kehadiran tim Nusantara Sehat, di beberapa puskesmas terjadi peningkatan
cakupan program.Banyak program yang kembali aktif semenjak Tim NS hadir, misalnya
prolanis dan STBM, peningkatan jumlah Posyandu yang menggunakan 5 meja, perbaikan
respon time Puskesmas, administrasi menjadi lebih rapi, dan kembali katifnya pelayanan
laboratorium.
PERHITUNGAN INDEKS KINERJA NUSANTARA SEHAT
Hasil pengolahan data survei cepat untuk indikator yang telah ditetapkan yang
mengacu pada indikator Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK)
pada puskesmas intervensi dan kontrol menunjukkan terjadinya peningkatan capaian
kegiatan pada tahun 2017, dibandingkan dengan tahun 2015. Peningkatan tersebut terjadi
baik pada puskesmas intervensi maupun puskesmas kontrol. Kendato demikian, perubahan
indeks pada puskesmas intervensi lebih besar daripada perubahan indeks pada puskesmas
kontrol. Hasil ini dikonfirmasi dari perhitungan dengan menggunakan software SPSS. Pada
puskesmas kontrol, terjadi perubahan rata-rata indeks dari 0,51 menjadi 0,6, sedangkan
pada puskesmas intervensi dari 0,49 menjadi 0,61. Hasil uji dependentt-test menunjukkan
perubahan yang terjadi baik pada puskesmas intervensi maupun kontrol bermakna secara
statistik dengan p = 0,000.
Uji independent t-testuntuk melihat kemaknaan perbedaan (delta perubahan) antara
puskesmas intervensi dan kontrol menunjukkan terdapat perbedaaan yang bermakna
secara statistik perubahan yang terjadi pada puskesmas intervensi dibandingkan dengan
puskesmas kontrol (p=0,046).
SARAN • Diseminasi Program Nusantara Sehat pada institusi pendidikan kedokteran dan
kedokteran gigi; prioritas PPDS dan PPDGS dengan penekanan bersedia kembali ke
daerah pengusulan.
• Pemerintah daerah membuka rekruitmen tenaga kesehatan
• Perhatian terhadap tenaga sukarelawan dan tenaga kontrak daerah
• Lokasi seleksi yang memberikan kesempatan lebih besar untuk tenaga kesehatan di
daerah agar dapat mengikuti proses tersebut.
• Materi bela negara diberikan pada waktu khusus yang dipisahkan dari materi terkait
substansi dan penugasan (pada waktu yang berbeda).
• Update data ketenagaan: tenaga yang dikirimkan sesuai dengan yang dibutuhkan
puskesmas.
• Usulan daerah untuk kebutuhan tenaga NS disertai dengan usulan jenis tenaga yang
dibutuhkan.
• Kejelasan dan sinkronisasi penggunaan dana BOK
• Keterlibatan daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi program Nusantara Sehat
• Kejelasan prioritas pengangkatan mantan peserta NS sebagai ASN dan atau bantuan
tugas belajar.