Laporan Skenario Kasus Pbl I_respifix

download Laporan Skenario Kasus Pbl I_respifix

of 23

Transcript of Laporan Skenario Kasus Pbl I_respifix

LAPORAN SKENARIO KASUS PBL I BLOK RESPIRATORY SYSTEM RHINOFARINGITIS

Tutor : dr. Viva Ratih Bening A Kelompok 91. Tessa Agrawita

G1A010002 G1A010022 G1A010050 G1A010059 G1A010075 G1A010082 G1A010104

2. Indrasti Banajaransari G1A010020 3. Mayuda Riani Andristi

4. Angkat Prasetya A. N. G1A010038 5. Danny Amanati Aisya 6. Yuni Purwati 7. Lina Sunayya 8. Provita Rahmawati 9. Irfani Ryan Ardiansyah

Tanggal tutorial : 7-9 Maret 2012

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2012

BAB I PENDAHULUAN

Skenario PBL II RINOFARINGITIS Informasi 1 Seorang anak laki-laki umur 10 tahun datang ke UGD di antar oleh ibunya dengan keluhan mimisan . Ibunya menceritakan bahwa sang anak mengalami panas sejak kemaren pagi, pusing, pilek, bersin-bersin, batuk, dan tenggorokan sakit. Informasi 2 Anak sudah diberi obat flu di warung tapi belum membaik. Mimisan dialami 1 jam yang lalu, jumlahnya kira-kira 1 sendok, dapat berhnti sendiri. Riwayat mimisan terdahulu disangkal. Hasil pemeriksaan fisik Keadaan umum Berat badan Suhu Respirasi Nadi Kepala : hidung Faring Thorak : inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen Ekstremitas Informasi 3 Hb 12gr%, hematokrit 42gr%, eritrosit 4, 2 juta, leukosit, 6800, trombosit 190 ribu, PTT 10 detik, aPTT 35 detik : baik, compos mentis : 25 kg : 37, 80 C : 20x/menit : 84x/menit : konkha udem (+), Hiperemi (+), discharge serous (+) : hiperemi : simetri, retraksi (-), tidak ada gerak dada yang tertinggal : hataran parukanan=kiri : sonor dikedua lapang paru : suara dasar vesikuler, ronchi (-) : dalam batas normal : dalam batas normal

Tonsil: T1-1, hiperemi (-)

BAB II PEMBAHASAN 1. Kejelasan istilah a. Unit Gawat Darurat (UGD) adalah salah satu bagian di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Di UGD dapat ditemukan dokter dari berbagai spesialisasi bersama sejumlah perawat dan juga asisten dokter. Saat tiba di UGD, pasien biasanya menjalani, anamnesis untuk membantu menentukan sifat dan keparahan penyakitnya. Penderita yang terkena penyakit serius biasanya lebih sering mendapat visite lebih sering oleh dokter daripada mereka yang penyakitnya tidak begitu parah. Setelah penaksiran dan penanganan awal, pasien bisa dirujuk ke RS, distabilkan dan dipindahkan ke RS lain karena berbagai alasan, atau dikeluarkan. Kebanyakan UGD buka 24 jam, meski pada malam hari jumlah staf yang ada di sana akan lebih sedikit (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). b. Mimisan (Epistaksis) Perdarahan hidung akibat pecahnya pembuluh darah kecil yang terletak di bagian anterior septum nasal kartilaginosa (Dorland, 2002). c. Panas Peningkatan abnormal suhu badan jika diukur menggunakan termometer, suhu rektal minimal 380C, bukan merupakan suatu penyakit tapi merupakan tanda adanya suatu masalah. Suhu tubuh saat diukur per oral > 37,80C pada axila > 37, 20 (Muzcari, 2005). d. Batuk Batuk adalah refleks yang dapat terjadi secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan mikroba (Aditama, 1993). e. pusing Pusing adalah gejala yang sering ditemukan dan bisa disebabkan oleh kondisi neurologis atau kardiovaskular yang serius. Akan tetapi, pusing memiliki berbagai penyebab yang ringan dan meliputi berbagai gejala yang berbeda, sehingga bisa jadi sulit untuk mendapatkan diagnosis pasti (Gleadle, 2007).f. Sakit tenggorokan

Sakit tenggorokan adalah rasa sakit pada daerah tenggorrok (faring) yang dapat disebabkan karena beberapa hal seperti infeksi virus, bakteri, juga bisa dikarenakan sinus drainase (post nasal drip). Sakit tenggorokan juga bisa terjadi akibat perawatan paska kemoterapi (Adams, 1997). g. Bersin Bersin adalah refleks pegeluaran dan pembersihan saluran pernafasan secara paksa yang ditandai dengan turunnya uvula sehingga udara dapat keluar melalui rongga hidung dan sedikit melaalui rongga mulut (Adams, 1997). 2. Identifikasi masalah a. Anamnesis Identitas pasien1. 2.

Nama Umur

: tidak disebutkan dalam skenario : 10 tahun

3. RPS

Jenis kelamin : laki-laki : mimisan (epistaksis) : tidak disebutkan dalam skenario : hidung : tidak disebutkan dalam skenario : tidak disebutkan dalam skenario : pusing, batuk, pilek, sakit tenggorokan, demam : tidak disebutkan dalam skenario : tidak disebutkan dalam skenario

Keluhan utama Onset Lokasi

Faktor yang memperberat Faktor yang memperingan Gejala penyerta RPD1. Riwayat alergi 2. Riwayat trauma

RPK 1. Ditanyakan kepada pasien mengenai ada tidaknya anggota keluarga yang memiliki riwayat terkena TBC 2. Ditanyakan kepada keluarga pasien apakah anggota keluarga mengalami keluhan yang sama Riwayat sosial1. Lingkungan tempat tinggal 2. Pekerjaan orangtua

: tidak disebutkan dalam skenario : tidak disebutkan dalam skenario

3.

Analisis masalah

a. Perbedaan antara IGD dengan UGD b. Epistaksis c. Epitel pada saluran pernafasan d. Vaskularisasi rongga hidung e. Inervasi rongga hidung f. histologi rongga hidungg. Anatomi saluran pernafasan atas

h. Perbedaaan suhu tubuh anak-anak dengan dewasa i. Mekanisme bersin j. Mekanisme batuk k. Mekanisme terjadinya demam4.

Menyusun berbagai penjelasan mengenai permasalahan UGD yaitu Unit Gawat Darurat sedangkan IGD adalah Instalasi Gawat Darurat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia-

a. Perbedaan antara IGD, UGD dan ER

Unit adalah bagian terkecil dari sesuatu yg dapat berdiri sendiri Gawat darurat bagian dari rumah sakit yg menampung dan melayani pasien yg sangat gawat (atau luka parah).

- Instalasi adalah perangkat peralatan teknik beserta perlengkapannya posisinya

dan siap dipergunaka.- ER adalah emergency room. Dalam bahasa indonesia berarti ruag gawat darurat

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). b. Epistaksis Epistaksis yaitu perdarahan dari hidung yang dapat berupa perdarahan anterior dan perdarahan posterior. Perdarahan anterior merupakan perdarahan yang berasal dari septum bagian depan (pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior). Prevalensi yang sesungguhnya dari epistaksis tidak diketahui, karena pada beberapa kasus epistaksis sembuh spontan dan hal ini tidak dilaporkan. Epistaksis anterior dapat terjadi karena berbagai macam penyebab.Secara umum penyebab epistaksis anterior dapat dibagi atas penyebab lokal dan penyebab sistemik.Penyebab lokal yaitu trauma, benda asing, infeksi, iatrogenik, neoplasma dan zat kimia.Penyebab sistemik antara lain yaitu penyakit kardiovaskular, gangguan endokrin, infeksi sistemik, teleangiektasis hemoragik herediter, kelainan hematologi, obatobatan dan defisiensi vitamin C dan K.

Untuk menegakkan diagnosis dari epistaksis anterior dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Sumber perdarahan dapat ditentukan dengan pemasangan tampon yang telah dibasahi dengan larutan pantokain 2% dan beberapat tetes adrenalin 1/10.000. Penatalaksanaan pada epistaksis anterior seharusnya mengikuti tiga prinsip utama yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis (Munir, 2006). Etiologi Penyebab Epistaksis : 1. Lokal-

Trauma misalnya trauma maksilofasial waktu mengeluarkan ingus

dengan kuat, bersin, mengorek hidung, terjatuh, terpukul, iritasi oleh gas yang merangsang.-

Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan mimisan ringan disertai Infeksi, pada hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis. Iatrogenik (pembedahan). Neoplasma pada cavum nasi atau nasofaring, baik jinak maupun ganas. Zat kimia (logam berat seperti merkuri, kromium dan fosfor, asam Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak

ingus yang berbau busuk.-

sulfur, amonia, gasolin, glutaraldehid).-

(seperti pada penerbang dan penyelam/penyakit caisson) atau lingkungan yang udaranya sangat dingin.-

Tidak diketahui penyebabnya, biasanya terjadi berulang dan ringan pada

anak dan remaja2. Gangguan Sistemik

- Penyakit kardiovaskular, Arteriosklerosis, Hipertensi. - Gangguan endokrin seperti pada kehamilan, menstruasi dan menopause. - Infeksi sistemik : demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid. - Telangiektasia hemoragik herediter (Osler weber rendu disease). Merupakan penyakit autosomal dominan yang ditunjukkan dengan adanya perdarahan berulang karena anomali pembuluh darah. - Kelainan hematologi : hemopilia, leukemia, multiple myeloma, imune trombositopenia purpura (ITP), polisitemia vera.

- Obat-obatan : NSAID, aspirin, warfarin, agen kemoterapeutik. - Defisiensi Vitamin C dan K.2-7 (Munir, 2006). Patofisiologi Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : a.alveolaris posterior superior, a.palatina desenden , a.infraorbitalis, a.sfenopalatina, pterygoid canal dan a. pharyngeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior.1 Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum.1-8 Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan little area berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di little area. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih

dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis (Munir, 2006). Penatalaksanaan Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : - Menghentikan perdarahan - Mencegah komplikasi - Mencegah berulangnya epistaksis 4 Terapi simptomatis Umum - Tenangkan penderita, jika penderita khawatir perdarahan akan bertambah hebat, sumbat hidung dengan kapas dan cuping hidung dijepit sekitar 10 menit. - Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan mudah membatukkan darah dari tenggorokan, menggunakan apron plastik serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pemakainya. - Kompres dingin pada daerah tengkuk leher dan juga pangkal hidung. - Turunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. - Hentikan pemakaian antikoagulan. - Pemberian cairan elektrolit pada perdarahan hebat, dan keadaan pasien lemah. Terapi Lokal - Buang gumpalan darah dari hidung dan tentukan lokasi perdarahan. - Pasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. - Setelah perdarahan berhenti, dilakukan penyumbatan sumber perdarahan dengan menyemprotkan larutan perak nitrat 20-30% (atau asam trikloroasetat 10%), atau dengan elektrokauter. Bila terdapat pertemuan pembuluh darah septum anterior dan lokasi perdarahan ditemukan, maka terbaik mengkauterisasi bagian pinggirnya dan tidak benar-benar di pembuluh darah itu sendiri karena kauterisasi langsung pada pembuluh darah tersebut biasanya akan menyebabkan perdarahan kembali. Harus hati-hati agar tidak membuat luka bakar yang luas dan nekrosis jaringan termasuk kartilago dibawahnya sehingga terjadi perforasi septum nasi. - Cara yang paling baik untuk mengontrol epistaksis anterior (setelah dekongesti dan kokainisasi) dengan suntikan 2 ml lidokain 1% di regio foramen incisivum pada dasar hidung. Pengontrolan perdarahan anterior dengan cara ini dapat menghindari masalah perforasi septum, karena elektrokauterisasi diberikan ke tulang dasar hidung dan bukan pada septum.

- Bila dengan cara tersebut perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior yang telah diberi vaselin atau salep antibiotika agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat tampon dilepaskan. Tampon dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72 x inci, dimasukkan melalui lubang hidung depan, dipasang secara berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung dan harus menekan sumber perdarahan. Tampon dipasang selama 1-2 hari, sebagian dokter juga melapisi tampon dengan salep antibiotik untuk mengurangi bakteri dan pembentukan bau. - Dapat juga digunakan balon intranasal yang dirancang untuk menekan regio septum anterior (pleksus kiesselbach) atau daerah etmoidalis. Cara ini lebih mudah diterima pasien karena lebih nyaman. Medika Mentosa - Pada pasien yang dipasang tampon anterior, berikan antibiotik profilaksis. -Vasokontriktor topikal : Oxymetazoline 0,05%. Menstimulasi reseptor alfa-adrenergik sehingga terjadi vasokonstriksi. Dosis : 2-3 spray pada lubang hidung setiap 12 jam. Kontraindikasi : hipersensitivitas, hati-hati pada hipertiroid, penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, meningkatkan tekanan intraokular. - Anestesi lokal : lidokain 4% Digunakan bersamaan dengan oxymetazoline Menginhibisi depolarisasi, memblok transmisi impuls saraf. Kontraindikasi : hipersensitivitas. - Salep antibiotik : mopirocin 2% (Bactroban Nasal) Menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis : 0,5 g pada setiap lubang hidung selama 5 hari Kontraindikasi : hipersensitivitas. - Perak Nitrat Mengkoagulasi Kontraindikasi protein : seluler dan menghancurkan kulit jaringan granulasi. hipersensitivitas, yang terluka.10,11

Intervensi radiologi, angiografi dengan embolisasi percabangan arteri karotis intema. Hal ini dilakukan jika epistaksis tidak dapat dihentikan dengan tampon. Pembedahan Ligasi Arteri Ligasi arteri etmoid anterior dilakukan bila dengan tampon anterior perdarahan masih terus berlangsung. Ligasi dilakukan dengan membuat sayatan mulai dari

bagian medial alis mata,lalu melengkung ke bawah melalui pertengahan antara pangkal hidung dan daerah kantus media. Insisi langsung diteruskan ke tulang, dimana periosteum diangkat dengan hari-hari dan periorbita dilepaskan, lalu bola mata ditarik ke lateral, arteri etmoid anterior merupakan cabang arteri optalmika terletak pada sutura frontomaksilolaksimal. Pembuluh ini dijepit dengan suatu klip hemostatik, atau suatu ligasi tunggal. Septal dermatoplasty pada pasien osler-weber-rendu-syndrome mukosa septum diambil dan kartilago diganti dengan skin graft (Adams, 1997). KOMPLIKASI - Komplikasi epistaksis :Hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi pneumoni - Komplikasi kauterisasi : Sinekia, perforasi septum - Komplikasi pemasangan tampon : Sinekia, rinosinusitis, sindrom syok toksik, Perforasi septum, tuba eustachius tersumbat, aritmia (overdosis kokain atau lidokain ) - Komplikasi embolisasi : Perdarahan hematom, nyeri wajah, hipersensitivitas, paralisis fasialis, infark miokard. - Komplikasi ligasi arteri : kebas pada wajah, sinusitis, sinekia, infark miokard. PROGNOSIS Prognosis epistaksis bagus tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat dan kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih agresif. c. Epitel pada saluran pernafasan Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks bersilia, bertingkat palsu (pseudo-stratified), berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada tekanan, dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia-lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks, sila pendek dan agak irregular. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki sila yang panjang dan terusun rapi. Sinus mengandung epitel kubus dan silia yang sama panjang dan jarak antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga mempengaruhi ketebalan lamina propia dan jumlah kelenjar mukosa. Lamina propia tipis di daerah dimana

aliran udara lambat atau lemah, namun tebal di daerah aliran udara yang kuat (Adams,1997). d. Vaskularisasi rongga hidung

Sumber gambar: Buku Ajar Penyakit THT hal 181

Sumber gambar: Buku Ajar Penyakit THT hal 181 Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus, dan septum. Cabang ethmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan ethmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri

maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis (Adams, 1997). Suplai darah dinding lateral hidung Arteri ethmoidalis merupakan cabang-cabang arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna. Sedangkan arteri sfenopalatina dan palatine mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna (Adams, 1997). Suplai darah septum nasi cabang-cabang arteri labialis superior dan arteri palatine juga mencapai septum. Pleksus kiesselbach merupakan daerah yang sangat umum mengalami epistaksis (Adams, 1997). e. Inervasi rongga hidung Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus, dan septum. Cabang ethmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan ethmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis (Adams, 1997). Suplai darah dinding lateral hidung Arteri ethmoidalis merupakan cabangcabang arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna. Sedangkan arteri sfenopalatina dan palatine mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna (Adams, 1997). Suplai darah septum nasi cabang-cabang arteri labialis superior dan arteri palatine juga mencapai septum. Pleksus kiesselbach merupakan daerah yang sangat umum mengalami epistaksis (Adams, 1997).

f. Histologi rongga hidung

Keterangan: 1 Anterior cranial fossa 2 Crista galli 3 Nasal septum with respiratory mucosa 4 Nasal cavity 5 Inferior nasal concha 6 Inferior nasal meatus 7 Middle nasal concha 8 Middle nasal meatus 9 Ethmoidal cells 10 Orbital cavity 11 Maxillary sinus

12 Maxilla, upper jaw bone 13 Soft palate 14 Oral cavity 15 Ethmoid bone, lamina perpendicularis 16 Ethmoid bone, lamina orbitalis 17 Maxillary bone 18 Levator palpebrae superioris muscle and superior rectus muscle 19 Superior oblique muscle 20 Medial rectus muscle 21 Retrobulbar fat (corpus adiposum orbitae) (DiFiore, 2010). g. Anatomi rongga hidung

h. Perbedaaan suhu tubuh antara anak-anak dan dewasa Suhu tubuh normal pada orang dewasa 36,5OC-37,5OC, sedangkan pada anak-anak berkisar antara 36, 1OC-38OC (Schwartz, 2004).i.

Mekanisme terjadinya bersin-

Pertama-tama alergrn masuk ke hidung kemudia menempel dipermukaan mukosa hidung. Akhirnya mukosa hidung tersesitisasi, akibatnya rantai IgE

mengikat alergen spesifik yang masuk tersebut. Hal tersebut menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil sehingga histamin terlepas, histamin ini kemudian merangsang ujung saraf sehingga terjadilah respon yang begitu gatal. Karena gatal inilah menyebabkan bersin (Benjamin, 2000).-

Inspirasi benda asing masuk glottis membuka tekanan intra thorax menurun ekspirasi aliran udara cepat dan melewati jalan sempit bersin iritan terbawa keluar (Adams, 1997).

j. Mekanisme terjadinya batuk-

Inspirasi Benda asing reseptor batuk di carina glottis menutup tekanan intra thorax meningkat ekspirasi batuk.

-

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi, dan fase ekspirasi. Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Setelah udara diinspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat. Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal (Aditama, 1993).

k. Mekanisme terjadinya demam Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi, dan fase ekspirasi. Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Setelah udara diinspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat. Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal (Aditama,1993). 5. Sasaran Belajar

RHINOFARINGITIS Definisi Merupakan peradangan akibat infeksi virus di saluran pernafasan atas. Namalain dari nasofaringitis akut antara lain rhinofaringitis akut, rhinitis simpleks, selesma,coryza atau orang awam lebih sering menyebut masuk angin/common cold (CC)Selesma (common cold) dan flu (influenza) sering disebut sebagai self-limiting desease karena sebenarnya penyakit ini merupakan penyakit yang dapatsembuh dengan sendirinya.Selesma disebabkan oleh bermacam-macam virus (diketahui lebih dari 100virus seperti rhinovirus, adenovirus, respiratory syncytial virus (RSV), coronavirus,dan lain-lain) sedangkan flu disebabkan oleh virus influenza, biasanya tipe A. Ukuran partikelnya sendiri sangat kecil dengan diameter hanya < 10 um, akan sangat mudahuntuk menginfeksi. Setelah menginfeksi sel di saluran nafas, virus akan berkembangbiak dan menginfeksi sel-sel yang berdekatan, masa inkubasinya berkisar antara 1872 jam.Beberapa penyakit dapat diawali dengan gejala yang mirip dengan gejala flu seperti pneumonia, bronkitis, pertusis, dan lain sebagainya padahal penyebabnya berbeda dan penatalaksanaannya juga berbeda. Setiap orang pasti pernah menderitaselesma atau flu, di Amerika setiap tahun setidaknya 3-4 kali seseorang akan mengalaminya (Djojodroto, 2009) Etiologi Disebabkan oleh lebih dari 200 agen virus yang berbeda secara serologis. Agen utamanya adalah Rhinovirus (Nelson,2000). Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan subgrup famili Picornaviridae yang paling besar, terdiri dari 89 serotipe yang telah diidentifikasi dengan reaksi netralisasi memakai antiserum spesifik. Rhinovirus berasal dari bahasa yunani rhin- yang artinya adalah hidung. Rhinovirus merupakan organisme mikroskopis yang menyerang sel-sel mukus pada hidung, merusak fungsi normal mereka serta memperbanyak diri di sana. Virus tersebut dapat bermutasi dan hingga saat ini ada sekitar 250 strain atau jenis rhinovirus. Virus ini masuk dalam Famili Picornaviridae , Genus Rhinovirus , dan Spesies Human Rhinovirus A , Human Rhinovirus B . Tanda dan Gejala

Gejala Klinis bersin, nyeri tenggorokan, sumbatan hidung, nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38oC atau common cold. Masa inkubasi rhinovirus adalah 2-4 hari. Infeksi pada manusia terbatas pada saluran pernafasan. Symptom yang predominan adalah nasal seperti obstruksi, bersin, suara parau, malaise, sakit kepala dan juga sering batuk. Tidak terjadi demam, dan biasanya penderita mendapat trakeobronkitis. Gawatnya penyakit bergantung pada banyaknya virus yang masuk. Virus mengadakan infeksi, bereplikasi di dalam sel epitel bersilia di hidung dan selama 2-5 hari pertama dari penyakitnya, virus dapat diisolasi dari sekresi faring tetapi tidak dari sekresi lain atau cairan tubuh. Sejumlah kecil sel epitel yang terkena infeksi dikeluarkan ke dalam sekresi nasal. Mekanisme dari resopon kenaikan produksi mucus kemungkinan besar terjadi akibat adanya respons dari sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi virus yaitu dengan terjadinya pembengkakan dan inflasi (peradangan) membran hidung, serta peningkatan produksi mukus. Mukus ini menangkap material yang kita hirup seperti debu, serbuk, bakteri dan virus. Pada saat mukus mengandung virus dan masuk ke dalam sel tubuh, maka seseorang akan mengalami keluhan-keluhan pilek (Sardjito, 1994). Common Cold Common cold atau disingkat CC adalah penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas. Seperti telah disebutkan penyebabnya terutama kelompok Rhinovirus. Selain menyebabkan CC, Rhinovirus dapat mengakibatkan bronhitis, radang telinga, sinusitis dan ISPA bawah seperti pneumonia. Bahkan virus ini dapat mencetuskan serangan asma. Penyakit ini hanya menulari manusia saja. Satusatunya binatang yang peka ialah simpanse (Sardjito,1994). Pertumbuhan Rhinovirus Manusia merupakan satu-satunya hospes alamiah rhinovirus. Setelah inokulasi intranasal, virus berkembang biak di nasal dan sel mukosa faring dan kemudian timbul antibody spesifik, tetapi tidak menimbulkan penyakit. Temperarur optimal bagi rhinovirus untuk berkembang adalah 33-35C. Reseptor Rhinovirus yang utama pada manusia adalah intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Rhinovirus mengambil keuntungan dari ICAM-1 untuk digunakan sebagai reseptor untuk penempelan, sehingga antibody tidak mengenalnya sebagai virus. Beberapa

tipe dari rhinovirus dapat menginfeksi kera, tetapi pada binatang ini tidak menimbulkan penyakit (Mc Coy, 2008). gambar mekanisme RV menginfeksi sel :

Imunologi dan Rhinovirus Rhinovirus mempunyai kapsid dengan 4 kelompok epitop seperti poliovirus yang mengiduksi antibody netralisasi dimana VP1 merupakan bagian antigen yang dominan. Infeksi manusia secara alam dapat menstimulasi produksi antibody netralisasi tipe-spesifik (IgM, IgA dan IgG) yang dapat memberikan resistensi terhadap reinfeksi oleh virus dari tipe yang sama. Antibody spesifik terdapat dalam sekresi nasal dan serum setelah 2-3 minggu infeksi dan kemudian akan naik setelah 4-5 minggu infeksi primer. Timbulnya respon antibody lebih besar terhadap strain M (galur yang dapat berkembang biak pada sel kera) dari pada terhadap strain H (galur yang hanya dapat berkembang pada sel manusia). Dalam grup rhinovirus setelah epidemi yang berturut-turut didapatkan galur rhinovirus baru yang mempunyai perubahan antigen atau shift (Mc Coy, 2008). Mekanisme peradangan

(Mansjoer, 2009)

Pengobatan Pengobatan untuk kasus tanpa komplikasi hanyalah istirahat cukup, minum air yang banyak, serta berkumur dengan air garam hangat. Minum air hangat yang banyak membantu lendir lebih mudah dikeluarkan. Banyak obat yang sudah dicoba untuk mencegah atau mengobati pilek, tapi selama ini belum ada yang terbukti efektif. Vitamin C dengan dosis besar pun belum terbukti efektif untuk bisa

mencegah penularan terhadap virus ini, malah dapat mengakibatkan efek samping lain seperti diare yang berbahaya bagi anak-anak dan orang tua. Antibiotika tidak dapat membunuh virus, dan hanya diberikan bila timbul komplikasi seperti sinusitis atau infeksi telinga yang dapat berkembang sebagai infeksi sekunder (Mc Coy, 2008). Bila perlu, minum obat lebih baik diberikan sesuai dengan keluhan. Parasetamol diberikan untuk mengurangi keluhan demam atau sakit kepala, nasal dekongestan untuk melegakan hidung sesaat, dan antihistamin bisa mengurangi ingus pada penderita dengan riwayat alergi. Namun perlu diingat sekali lagi bahwa obat-obat tersebut tidak akan dapat mencegah, mengobati ataupun mengurangi lamanya serangan pilek. Bahkan sebagian besar obat mengakibatkan efek samping yang juga harus diperhitungkan (Mc Coy, 2008). Komplikasi Rhinofaringitis 1. Sinusitis 2. Peradangan telinga 3. Radang tenggorokan 4. Bronchitis 5. Infeksi paru (Adams, 1997) Prognosis Rhinofaringitis Baik, jika penanganannya tepat. Buruk, apabila ditangani dengan tidak baik, dan bisa menimbulkan komplikasi atau infeksi sekunder yang lebih buruk dari sebelumnya (Adams, 1997)

BAB III

KESIMPULAN

1. Diagnosis dari kasus PBL 1 ini adalah Epistaksis Rhinopharingitis akut et causa viral (common cold)2. Rhinofaringitis adalah peradangan akibat infeksi virus di saluran pernafasan atas.

3. Mendapatkan terapi: 1. 2. 3. Anti piretik Dekongestan + antihistamin (dalam 1 sediaan) Edukasi: cukup istirahat + perbanyak cairan (sup hangat, jus buah, dsb)

4. Prognosis baik jika ditangani dengan cepat dan tepat, buruk apabila komplikasi sudah terlalu parah 5. Komplikasi Sinusitis, Peradangan telinga, Radang tenggorokan, Bronchitis dan Infeksi paru.

DAFTAR PUSTAKA Adams, George L. 1997. Boies : Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC. Aditama, T. Yoga. 1993. Patofisiologi Batuk. Jakarta : Bagian Pulmonologi FK UI, Unit Paru RS Persahabatan Djojodroto, R Darmanto. 2009. Respirologi. Jakarta : EGC Gleadle, Jonathan. 2007. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC; 2007. p. 33554. Irwin RS, Baumann MH, Bolser DC, et al. Diagnosis and management of cough executive summary: ACCP evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2006;129(1 Kuehnel. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. 4th ed Stuttgart: Thieme; 2003. p. 340-51. Legget J. Approach to fever or suspected infection in the normal host. Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine, 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007: chap 302. Mansjoer, Arif et al. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Media Aesculapius: Jakarta Munir, Derfitri et al. 2006. Epitaksis. Departemen Ilmu kesehatan THT dan Bedah Kepala Leher. FK Universitas Sumatera Utara Nelson, W.E. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. McCoy, Lori. 2008. http://www.scq.ubc.ca/rhinovirus-an-unstoppable-cause-of-thecommon-cold/ Pallin DJ. Epidemiology of epistaxis in US emergency departments, 1992 to 2001. Ann Emerg Med. 2005;46:77-81. Sardjito, R., 1994, Mikrobiologi Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta. Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC Somatri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika: Jakarta www.IvyRose.co.uk