Laporan Praktikum Pati Gula, Sukrokimia
-
Upload
eko-nopianto -
Category
Documents
-
view
2.086 -
download
12
Transcript of Laporan Praktikum Pati Gula, Sukrokimia
Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Jumat/ 26 Maret 2010
Pati, Gula, dan Sukrokimia Dosen : 1. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si
2. Rini Purwanti
3. Indah Yuliasih
Asisten : 1. Ahmad Dawamul Muthi
2. Irma Nopitasari
3. Vioni Derosya
APLIKASI TEPUNG KOMPOSIT, PRODUK EKSTRUDAT DAN MI
Oleh:
Firdaus Karimuddin F34070008
Eko Nopianto F34070102
Surya Ramdan Saputra F34070127
2010
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terjadinya kekurangan beras di beberapa daerah kering di Pulau Jawa,
menunjukkan pentingnya bahan pangan non beras seperti umbi-umbian dan jagung
untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok. Pengembangan aneka olahan dari aneka
tepung diharapkan akan memberikan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan nilai
sosial komoditas, pengolahan bahan pangan lokal dari aneka tepung menjadi produk
olahan seperti krupuk, kue-kue basah dan kue-kue kering dan beberapa jenis olahan
lain banyak dijumpai di pasar-pasar kota maupun di pasar lokal di daerah, Pembuatan
cookies (kue kering) dari tepung jagung komposit campuran dari tepung jagung 40%,
tepung gude 10% dan tepung kedelai 50% memiliki nilai gizi tinggi dan rasanya
dapat diterima.
Produk pangan saat ini bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Diversifikasi
pangan perlu dilakukan agar produk pangan itu sendiri mempunyai nilai tambah yang
semakin meningkat. Bahan baku produk pangan tersebut diantaranya adalah tepung,
baik tepung dari gandum maupun tepung dari singkong, selain dari tepung ada pula
produk olahan dari biji-bijian. Tepung merupakan hasil penggilingan biji-bijian atau
umbi yang mengandung pati dan mempunyai komposisi kimia yang relatif sama
dengan bahan pembuatnya.
Bahan baku tersebut mengandung pati yang mempunyai karakteristik yang
bermacam-macam sesuai dengan perlakuan yang dilakukan. Sifat inilah yang
menjadikan bahan baku yang mengandung pati banyak dimanfaatkan. Karakteristik
dan sifat pati juga yang dapat menentukan pengolahan produk dan menghasilkan
produk yang spesifik sesuai denghan perlakuan yang dialaminya. Perlakuan yang
biasa digunakan adalah pemanasan dan pembentukan bahan. Salah satu pengolahan
produk pangan berbasis bahan baku yang mengandung pati adalah pembuatan mi dan
pembuatan snack dari biji-bijian. Kedua produk pangan ini mempunyai nilai tambah
yang cukup tinggi disbanding dengan nilai bahan bakunya.
Snack food merupakan makanan ringan dikonsumsi diantara ketiga waktu
makan utama dalam sehari. Oleh karena itu makanan ringan memiliki jenis yang
sangat banyak jika ditinjau dari segi bentuk, cara pengolahan dan penyajian. proses
ekstrusi banyak digunakan dalam pengolahan makanan ringan. Akibatnya bentuk
makanan ringan dengan proses ekstrusi pun bermacam-mcam misalnya bentuk pipih,
roda, cincin topi, tangkai jamur, piringan dan lain-lain. Flavor yang digunakan juga
bermacam-macam dengan bahan baku yang juga bermacam-macam seperti jagung,
kentang, gandum dan beras. Pada proses pemasakan dengan metode ekstrusi terjadi 4
proses yaitu pencampuran, pemasakan, pembentukan dan penghembusan.
Mie adalah salah satu bentuk pangan yang sudah cukup popular, disukai
oleh berbagai kalangan masyarakat dan merupakan makanan yang tidak asing lagi
dagi masyarakat Indonesia. Mie adalah salah satu jenis makanan yang pertama kali
ditemukan di Cina dengan bahan dasar beras dan kacang-kacangan. Mie disajikan
dalam berbagai bentuk yaitu mie basah, mie kering, dan mie instan. Beberapa mie
tersebut mempunyai sifat yang berbeda tergantung dari proses pembuatan dan bahan
tambahan yang digunakan. Mie biasanya dibuat dari bahan baku terigu yang sampai
saat ini semuanya masih diimpor Indonesia, baik dalam bentuk tepung maupun dalam
bentuk biji gandum.
. Sampai saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras
atau nasi sebagai makanan pokoknya yang berfungsi utama sebagai sumber kalori. Di
lain pihak produk mie merupakan makanan yang praktis, mudah diolah serta dapat
dengan cepat disajikan dibandingkan dengan beras atau nasi. Dengan berbagai
kelebihan tersebut, mie mulai disukai dan membudaya sebagai makanan pengganti
nasi.
Membudayanya mie sebagai makanan pokok pilihan dapat mendukung
usaha penganekaragaman konsumsi pangan yang ditujukan untuk menanggulangi
masalah kurang energi dan protein dan masalah anemi gizi yang masih merupakan
masalah gizi di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kandungan gizi dari
mie terutama kandungan protein dan zat besi. Salah satu alternatif adalah dengan
memodifikasi bahan baku dalam pembuatan mie seperti penggunaan bersama antara
tepung terigu dengan tepung serealia, kacang-kacangan, umbi-umbian dan atau
sayuran.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui bagaimana aplikasi dari
tepung komposit yang ada. Selain itu, dapat mengetahui juga bagaimana pembuatan
produk ekstrudat dan mie
II. METODOLOGI
A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah tepung jagung,
tepung beras, tepung terigu protein tinggi dan rendah, tepung serealia atau umbi-
umbian, baking powder, margarin, gula pasir, susu cair, kertas roti, tapioka, grits
jagung dan beras, flavor, perasa, air, garam, telur, minyak, dan sodium fosfat.
B. Metodologi
1. Aplikasi Tepung Komposit
a. Cake Komposit
Loyang disiapkan dan diolesi dengan margarin. Kemudian, loyang dialasi
dengan kertas roti. Margarin dikocok lima menit dengan kecepatan tinggi dan
ditambahi gula sedikit demi sedikit. Kemudian, dikocok kembali lima menit hingga
terbentuk krim putih. Setelah itu, telur, yang telah dikocok, ditambahkan sedikit demi
sedikit sambil dikocok juga dan ditambahkan susu cair. Campuran tepung (terigu,
tepung umbi atau serealia, baking powder) dimasukkan dengan memakai spatula.
Kemudian, adonan tersebut dimasukkan ke dalam loyang dan dibakar pada suhu 1700
C selama 30 menit.
b. Roti Komposit
Susu, tepung serealia, dan garam dimasukkan ke dalam panci dan
dipanaskan dengan api kecil hingga membentuk pasta. Setelah itu, didinginkan pada
suhu kamar. Tepung terigu, gula, dan ragi dicampurkan dan ditambahkan air dan
adonan dari tepung serealia. Setelah itu, diaduk dan dibentuk adonan yang kalis (tidak
lengket) sekitar 15 menit. Adonan ditutup dan didiamkan selama 40 menit pada suhu
sekitar 28 – 300 C. Adonan kembali diuleni selama 20 menit dan dibentuk sesuai
dengan bentuk loyang. Adonan diinkubasi kembali pada suhu 28 – 300 C selama 40
menit. Setelah itu, adonan dibakar dalam oven kurang lebih 3 menit pada suhu 2000
C.
c. Cookies
Mentega, gula pasir, dan telur dikocok hingga lembut. Tepung dicampurkan
dan diaduk rata. Adonan didinginkan agar mudah dibentuk. Adonan disimpan
kembali agar sedikit keras. Adonan diris setebal ½ cm dan dibakar hingga matang.
2. Produk Ekstrudat
Bahan baku dipersiapkan. Untuk single crew extruder, senua bahan harus
dalam bentuk grifts. Kemudian, tiga formula disiapkan, yaitu jagung, beras, dan
jagung-beras dengan berat masing-masing 1 kg. Untuk twin screw extruder, semua
bahan harus dalam bentuk tepung minimal 60 mesh. Kemudian, tiga formula
disiapkan, yaitu tepung jagung, tepung beras, tepung jagung-tepung beras dengan
berat masing-masing 1 kg. Bahan tersebut dicampurkan dan ditambahkan flavor,
aroma, rasa, dan warna. Bentuk dan warna ekstrudat yang dihasilkan diamati.
Densitasnya diukur dan tekstur serta rasa ditentukan dengan organoleptik.
3. Produk Mi
a. Mie Berbasis Terigu
Pembuatan Mi Mentah
Bahan kimia (biang mi dan garam) dilarutkan dengan air. Telur diaduk dan
disisihkan. Kemudian, tepung terigu dan tepung tapioka diaduk. Adonan
dicampurkan selama 5-10 menit. Adonan dibentuk lembaran dengan roll hingga
elastis. Kemudian, mi dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan, dan mi
mentah dihasilkan.
Pembuatan Mi Basah
Air mendidih disiapkan. Mi mentah dimasukkan dan direbus 3 menit. Mi
tersebut ditiriskan dan ditambahkan minyak agar tidak lengket. Mi basah siap
digunakan untuk masakan.
b. Mie Berbasis non-Terigu
100 gram pati sagu dan 5 gram alum potas dicampur dengan 150 ml air
panas hingga kental.campuran tersebut dicampur dengan 900 gram pati sagu hingga
berbentuk adonan licin dengan kadar air sekitar 45-50%. Adonan tersebut dicetak
dalam bentuk lembaran dan dibentuk menjadi helaian. Helaian mi yang keluar dari
cetakan langsung direbus dalam air mendidih hingga mengapung dan dipindahkan ke
wadah berisi air dingin. Mi dilumuri dengan minyak agar tidak lengket.
c. Mi Sagu-Jagung
Bahan kering berupa tepung sagu dan jagung dicampurkan. Kemudian,
garam dan sodium karbonat dilarutkan dalam air. Te;lur dikocok dan dimasukkan ke
dalam campuran tepung. Kemudian, cairan ditambahkan hingga terbentuk adonan
yang kalis. Selanjutnya, adona dikukus selama 5 menit dan didinginkan. Adonan
dicetak dan dibentuk lembaran serta diris hingga membentuk helaian mi. Helaian mi
tersebut direbus dalam air mendidih dan ditiriskan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENGAMATAN
Rekapan Produk Tepung Komposit dan Mie
Organoleptik Tepung Komposit ( Cookies )
Skala Ordinal:
1 = Sangat tidak suka
2 = Tidak suka
3 = Netral
4 = Suka
5 = Sangat suka
Kel. 1 (Tepung Ubi jalar)
No Nama Warna RasaTekstu
rPenerimaan
Umum1 Sinta E 2 4 4 42 Yoga 4 4 3 43 Eki 3 3 2 34 Oni 4 3 4 45 Eka 5 4 4 56 Ayang 5 5 4 57 Imam 4 3 4 38 Ika 4 3 3 39 Laura 3 3 4 310 Pandu 2 4 3 311 Kyo 3 2 4 312 Rizal 3 4 2 313 Putri 4 3 4 414 Rizka 4 3 4 315 Anti 4 3 2 316 Fipo 4 4 5 417 Zuan 3 4 3 318 Nita 4 2 2 319 Yaman 4 5 5 520 Devi 4 4 4 4
21 Niar 3 5 4 422 Zafir 5 3 2 323 Andini 4 3 3 324 Herga 4 2 3 325 Daus 4 4 3 426 Adi 5 4 3 427 Rima 2 2 4 328 Shiva 4 3 3 329 Wardah 5 2 4 330 Esi 4 2 3 3 Rata-Rata 3.767 3.33 3.4 3.5 4 3 3 4
Kel. 2 (Tepung Kacang Hijau)
PanelisNilai Uji
Warna TeksturArom
a Rasa Penerimaan Umum1 5 5 5 5 52 5 5 5 5 53 5 5 5 5 54 5 5 5 5 55 5 5 5 5 56 3 4 4 5 47 4 3 4 4 48 4 3 5 4 49 3 2 3 3 310 3 3 3 3 311 3 3 4 4 412 1 2 2 2 213 3 3 4 3 314 2 2 3 2 215 4 3 3 3 316 3 3 3 4 317 4 2 4 3 318 5 4 5 4 419 2 2 3 3 320 2 2 2 2 221 2 3 3 4 322 3 2 3 3 3
23 3 1 3 2 324 3 2 3 3 325 3 3 2 2 326 2 1 3 2 227 2 3 4 4 428 3 4 4 4 429 5 2 4 3 430 3 2 3 4 431 3 3 4 4 432 4 2 3 2 3
Jumlah 107 94 116 111 112Rata-rata
3.34375 2.9375 3.625 3.46875 3.5
Kel. 2 (Tepung Kacang Hijau dan Tepung Terigu)
PanelisNilai Uji
Warna Tekstur Aroma Rasa Penerimaan Umum1 4 4 4 5 42 4 3 4 4 43 4 3 3 4 44 4 4 4 4 45 4 3 4 3 36 5 5 5 5 57 3 3 2 5 38 5 3 4 4 49 4 3 4 4 410 3 4 3 3 311 1 3 3 4 312 3 4 3 3 313 2 2 3 2 214 2 4 2 4 415 3 3 3 4 316 4 3 4 3 417 2 4 3 4 418 3 4 4 2 319 3 3 3 3 320 2 2 4 4 321 3 2 3 4 322 3 3 4 4 4
23 3 3 2 3 324 3 2 4 4 425 2 2 3 3 326 3 2 2 3 327 3 3 3 4 428 4 4 2 3 329 4 2 3 4 330 3 3 3 4 3
Jumlah 96 93 98 110 103Rata-rata 3.2 3.1 3.26667 3.66667 3.433333333
Kel. 3
Tabel. Data hasil pengujian organoleptik Cookies
PanelisCookies
Rasa Warna Tekstur Penerimaan Umum1 4 4 4 32 3 5 5 33 5 3 3 34 3 2 4 45 2 2 3 46 5 4 2 57 5 5 4 48 3 5 5 59 4 5 4 510 5 5 5 511 3 4 4 412 4 4 4 313 5 3 4 314 3 3 3 415 4 3 3 316 5 3 4 317 3 3 5 418 4 4 4 419 5 5 3 320 4 3 2 421 2 5 3 322 3 3 4 2
23 4 5 5 224 3 5 4 425 4 5 3 226 4 5 2 2
Rata-rata 3.8077 3.9615 3.6923 3.5
Kel. 4 (Tepung Ketan Hitam)
1 = sangat tidak suka 5 = suka
2 = cukup tidak suka 6 = cukup suka
3 = tidak suka 7 = sangat suka
4 = biasa
uji kekerasan dengan penetrometer yaitu 245.8
Kel. 5 (Tepung Ganyong)
Skala Ordinal:
1 = Sangat tidak suka
2 = Tidak suka
3 = Netral
Panelis Aroma Rasa Warna Tekstur Keseluruhan1 5 5 5 5 52 5 5 2 4 43 4 4 4 4 44 6 5 5 4 55 5 6 6 2 46 3 3 4 3 37 4 5 5 3 58 2 4 6 3 49 5 5 6 4 510 4 5 4 4 511 5 5 4 4 512 5 6 5 4 413 4 4 4 4 314 2 4 3 3 515 4 3 4 3 416 3 2 3 2 517 3 3 4 4 418 5 3 5 3 419 6 2 4 4 520 6 5 5 5 521 2 5 3 3 322 3 4 4 4 423 4 4 3 3 524 6 4 6 5 525 6 4 4 5 426 5 3 4 3 527 5 5 5 5 528 5 5 2 3 429 5 2 2 3 330 3 4 3 4 4
4 = Suka
5 = Sangat suka
PanelisNilai Uji
Warna
TeksturArom
aRas
aPenerimaan umum
1 3 2 3 3 32 3 1 3 4 33 3 1 4 2 34 2 1 4 3 35 2 2 4 3 26 2 2 4 4 27 3 2 3 4 28 3 2 3 2 39 3 1 3 2 310 2 1 3 3 211 3 1 4 3 212 2 2 4 3 313 3 1 3 4 214 3 1 2 4 315 2 2 2 3 216 2 2 2 4 217 3 1 3 2 318 2 2 2 3 319 2 2 4 3 220 2 2 3 2 3
Jumlah 50 31 63 61 51rata-rata 2.5 1.55 3.15 3.05 2.55
Organoleptik Produk Mie
Skala Ordinal:
1 = Sangat Tidak Suka/Sangat Tidak Kenyal/Sangat Mudah Putus
2 = Tidak Suka/Tidak Kenyal/Mudah Putus
3 = Netral/Sedang/Sedang
4 = Suka/Kenyal/Tidak Mudak Putus
5 = Sangat Suka/Sangat Kenyal/Sangat Tidak Mudah Putus
Kel 1. (Tepung Terigu)
PanelisNilai Uji
WarnaRas
aKekenyalan Elongasi
1 4 4 3 12 4 4 4 13 4 3 3 14 4 3 2 15 4 3 5 16 4 4 4 17 4 4 3 18 3 3 3 19 3 4 3 110 4 2 4 111 4 3 4 112 3 3 2 113 4 3 2 114 3 4 4 115 3 2 4 116 4 4 4 117 3 4 4 118 2 3 3 119 3 4 4 120 4 4 5 121 5 5 5 122 4 4 4 123 4 4 4 124 3 3 4 125 4 3 3 126 5 5 5 127 4 4 4 128 4 4 4 129 3 5 4 130 4 3 4 1
Jumlah 111 108 111 30rata-rata 3.7 3.6 3.7 1
Kel. 2 (Tepung Terigu + 20% Sagu)
PanelisNilai Uji
Warna Rasa Kekenyalan Elongasi1 4 3 4 42 4 4 4 33 4 4 4 34 4 3 3 35 3 3 5 26 3 4 4 27 4 4 4 48 3 4 3 29 4 3 2 410 3 4 4 311 3 4 4 312 3 3 3 213 3 3 3 214 2 3 3 215 4 3 3 216 3 4 3 217 3 2 3 318 3 4 3 419 4 3 4 220 4 4 3 421 4 3 4 322 4 3 4 323 3 2 3 424 4 3 5 425 3 3 3 326 4 3 2 427 3 4 4 328 4 2 3 229 3 4 2 230 3 3 3 3
Jumlah 103 99 102 87Rata-rata 3.43 3.3 3.4 2.9
Kel. 3
ORGANOLEPTIK PRODUK MI (KEL.3)
No Nama
Warna Rasa
Tekstur
1 Ririn 4 3 32 Bian 3 2 33 Pandu 3 2 44 Nanda 4 4 45 Yumi 3 4 46 Shiva 3 4 47 Nova 4 3 38 Fina 3 3 39 Lala 4 3 310 Lingga 4 3 311 Kartika 3 3 412 Alifah 3 4 313 Julian 3 3 414 Aprella 3 2 415 Vina 3 3 216 Huda 3 3 417 Irma 4 4 318 Ony 4 3 319 Ani 3 3 320 Dede 4 4 221 Naufal 3 3 222 Nita 2 3 323 Nurzakiyah 3 4 224 Tyas 3 3 425 Andri 4 4 326 Juan 4 4 327 Iqbal 4 4 428 Fakhri 4 4 429 Bena 2 4 330 Silmi 3 4 4 Rata-rata 3.3333 3.3333 3.2667
Kel. 4 (Sagu)
PanelisNilai Uji
Warna Rasa Tekstur Elongasi1 3 3 2 52 4 3 3 53 3 3 3 3
4 3 2 3 35 3 2 3 56 2 3 3 47 3 2 2 48 2 2 3 49 4 4 2 510 2 2 3 511 2 2 4 412 3 1 1 513 2 3 1 414 3 2 1 515 3 2 3 2
Jumlah 42 36 37 63Rata-rata
2,80 2,40 2,47 4,20
Kel. 5 (Tepung Beras)
PanelisNilai Uji
Warna Rasa Tekstur Elongasi1 2 2 2 32 2 2 3 33 2 2 2 24 2 3 2 45 2 2 2 36 2 3 2 37 2 4 4 38 2 4 4 39 2 3 3 410 2 3 4 411 2 2 3 312 2 3 3 413 3 3 4 314 2 2 4 315 2 4 2 4
Jumlah 31 42 44 49Rata-rata
2.07 2.80 2.93 3.27
Analisis Produk Mie
Jenis BahanVolume Air (ml)
Endapan yg dikeringkan
Jumlah Cooking
Loss
Cooking Loss
(%)
Bobot Mie (g)Rehidration Ratio (%)Sebelum
direbusSetelah direbus
Sebelum direbus
Setelah direbus
Tepung Terigu 2000 1780 0,06 gram 21,36 gram 11 362 595 64,36 Tepung Terigu + 20% Sagu 2000 1450 0,13 gram 37,7 gram 27,5 330 560 63,7 2000 1445 0,6 gram 173,4 gram 27,75 - - -
98% Sagu 2000 1570 3,77 gram1183,78
gram 21,5 - - - Tepung Beras 2000 1360 0,42 gram 114,24 gram 32 417,28 740,78 77,52
B. PEMBAHASAN
1. Pembuatan Produk Ekstrudat
Produk pangan saat ini bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Diversifikasi
pangan perlu dilakukan agar produk pangan itu sendiri mempunyai nilai tambah yang
semakin meningkat. Bahan baku produk pangan tersebut diantaranya adalah tepung,
baik tepung dari gandum maupun tepung dari singkong, selain dari tepung ada pula
produk olahan dari biji-bijian. Tepung merupakan hasil penggilingan biji-bijian atau
umbi yang mengandung pati dan mempunyai komposisi kimia yang relatif sama
dengan bahan pembuatnya. Bahan baku tersebut mengandung pati yang mempunyai
karakteristik yang bermacam-macam sesuai dengan perlakuan yang dilakukan. Sifat
inilah yang menjadikan bahan baku yang mengandung pati banyak dimanfaatkan.
Karakteristik dan sifat pati juga yang dapat menentukan pengolahan produk dan
menghasilkan produk yang spesifik sesuai denghan perlakuan yang dialaminya.
Perlakuan yang biasa digunakan adalah pemanasan dan pembentukan bahan. Salah
satu pengolahan produk pangan berbasis bahan baku yang mengandung pati adalah
pembuatan mi dan pembuatan snack dari biji-bijian. Kedua produk pangan ini
mempunyai nilai tambah yang cukup tinggi disbanding dengan nilai bahan bakunya.
Pengertian snack food (makanan ringan) dinyatakan sebagai makanan ringan
yang dikonsumsi diantara ketiga waktu makan utama dalam sehari. Oleh karena itu
makanan ringan memiliki jenis yang sangat banyak jika ditinjau dari segi bentuk, cara
pengolahan dan penyajian. proses ekstrusi banyak digunakan dalam pengolahan
makanan ringan. Akibatnya bentuk makanan ringan dengan proses ekstrusi pun
bermacam-mcam misalnya bentuk pipih, roda, cincin topi, tangkai jamur, piringan
dan lain-lain. Flavor yang digunakan juga bermacam-macam dengan bahan baku
yang juga bermacam-macam seperti jagung, kentang, gandum dan beras. Pada proses
pemasakan dengan metode ekstrusi terjadi 4 proses yaitu pencampuran, pemasakan,
pembentukan dan penghembusan.
Untuk membuat berbagai snack dilakukan dengan metode ekstrusi dengan
menggunakan alat yang disebut alat ekstrudat sehingga bahan pembuatan snack. Alat
untuk melakukan proses ekstruksi dinamakan ekstruder (Harper, 1981). Ekstrusi
bahan pangan itu sendiri menurut Muchtadi et al, (1988), adalah suatu proses dimana
bahan dipaksa mengalir mengalir dibawah satu atau lebih kondisi operasi seperti
pencampuran (mixing), pemanasan dan pemotongan melalui suatu cetakan yang
dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung (puff dry).
Pertama kali ekstruder dibuat secara komersil pada tahun 1959 oleh
America’s Wenger Manufacturing (Lazarus dan Renz, 1985). Sedangkan Ekstrusi itu
sendiri menurut Harper (1981), adalah suatu proses yang memaksa suatu bahan untuk
mengalir pada suatu ruangan yang sempit dan akhirnya memaksanya untuk keluar
melalui die yang sempit juga sehingga bahan mengalami beberapa satuan proses
sekaligus meliputi proses sekaligus meliputi proses pencampuran, pengadukan,
pemasakan, pengulian, pembentukan pengembangan atau pengeringan tergantung
dari desain ekstruder dan kondisi proses.
Istilah ekstrusi dapat juga diartikan sebagai suatu proses melalui suatu
bentukan khusus setelah bahan dipanaskan terlebih dahulu. Ekstrusi bahan pangan
adalah suatu proses dimana bahan dipaksa mengalir dibawah satu atau lebih kondisi
operasi seperti pencampuran (mixing), pemanasan dan pemotongan melalui suatu
cetakan serta penghembus yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang
bergelembung (puff dry) (Muchtadi et al, 1987).
Alat ekstruder dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis produk, sifat
termodinamika dan jumlah kadar air bahan yang diproses (Harper, 1981). Leach
(1965) membagi ekstruder berdasarkan sifat termodinamika dan karakteristik
fungsinya.
Pada proses ekstrusi, sebutan biopolimer ditujukan untuk membedakannya
dengan polimer plastik yang juga banyak diekstrusi. Plastik adalah polimer kimia
yang relatif homogen baik dari sifat kimia dan sifat fisiknya, sehingga pada proses
ekstrusi relatif sederhana jika dibandingkan dengan biopolimer bahan pangan.
Ekstrusi biopolimer akan sangat dipengaruhi oleh komposisi dan jenis biopolimernya
(Harper, 1981).
Dalam praktikum ini, bahan biopolimer yang diekstrusi adalah jagung, beras,
serta campuran jagung dan beras. Masing-masing bahan yang akan diekstrusi terlebih
dahulu dikecilkan ukurannya (digiling) agar mempercepat proses pembentukan
produk ekstrusi.
Dalam proses ekstrusi, bahan yang digunakan berbentuk butiran kecil dengan
diameter 1 – 3 mm. Untuk bahan yang berbentuk tepung, hasilnya kurang
memuaskan. Ukuran partikel yang terlalu halus seperti tepung, menyebabkan produk
yang dihasilkan hangus dan partikel bahan tidak mengalami pemadatan yang
sempurna sehingga kurang mengembang.
Faktor yang mempengaruhi pengembangan adalah rasio antara amilosa dan
amilopektin. Amilopektin diketahui merangsang terjadinya proses mekar (puffing),
sehingga produk ekstrusi yang berasal dari pati – patian dengan kandungan
amilopektin yang tinggi akan bersifat ringan, porous, garing dan gampang patah.
Kebalikannya, pati dengan kandungan amilosa tinggi, misalnya pati – patian yang
berasal dari umbi – umbian, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal karena
proses mekar hanya karena terjadi secara terbatas. Fungsi pengekstrusi meliputi
gelatinisasi, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan dan
penggelembungan/pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi tersebut merupakan
hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi. Pada pembuatan produk ekstrusi,
terjadi perubahan komponen dalam bahan yaitu terjadinya gelatinisasi pada pati dan
terdenaturasinya protein dalam bahan. Menurut Smith (1980), proses pemasakan
dengan metode ekstrusi adalah suatu proses yang menyebabkan air, pati dan bahan
yang mengandung protein dibuat menjadi plastis dan dimasak dalam sebuah ruangan
dengan kombinasi tekanan, panas dan gesekan mekanik. Pada proses pemasakan
dengan metode ekstrusi terjadi empat proses yaitu pencampuran, pemasakan,
pembentukan dan penghembusan (Pontoh, 1986).
Pemasakan ekstrusi merupakan proses yang menggunakan aplikasi suhu
tinggi dengan waktu yang singkat (HTST). Suhu yang tinggi dalam tabung ulir akan
menyebabkan gelatinisasi komponen pati dan denaturasi protein. Proses ini diikuti
oleh pengembangan eksoteermik ekstruder yang dibentuk pada cetakan (die).
Selanjutnya dikatakan beberapa keuntungan proses ekstrusi dengan HTST antara lain
kemampuannya memproses bahan mentah pada kadar air rendah atau tinggi dengan
desain tertentu terhadap ulir, dapat menghasilkan modifikasi pati dan modifikasi
protein serta struktur dengan sifat fungsional yang diinginkan.
Dengan proses HTST maka kerusakan termal senyawa – senyawa gizi dapat
diusahakan seminimal mungkin, terutama untuk protein dan vitamin sekaligus
berkemampuan untuk merusak senyawa anti nutrisi dan senyawa toksik secara
maksimal. Karena itu secara termodinamik, teknologi ekstrusi sangat efisien. Produk
yang dihasilkan bebas dari bakteri dan tidak ada insekta, larva, dan organisme –
organisme yang dapat bertahan hidup terhadap proses ekstrusi.
Keuntungan proses pemasakan dengan metode ekstrusi antara lain
produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih
bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, mutu produk tinggi karena proses
menggunakan suhu tinggi dengan waktu singkat sehingga kerusakan nutrien dapat
dikurangi dan pemakaian energi rendah, serta kemampuannya untuk mengolah bahan
pangan dengan cepat (Smith, 1980).
Produk ekstrusi yang dihasilkan dari praktikum ini, memiliki bentuk yang
kurang menarik dan teksturnya keras. Tekstur tersebut didapat karena berbagai factor
diantaranya adalah factor kandungan protein, dan lemak yang masih terdapat pada
tepung yang digunakan. Namun kelebihannya, adalah waktu produksi relatif singkat
yaitu kurang dari 5 menit setelah bahan baku dimasukkan ke dalam mesin ekstruder.
Lemak dan pati biasanya terdapat dalam granula biji-bijian. Selama proses ekstruksi,
lemak bersama pati akan membentuk struktur yang baru, yaitu kompleks antara
amilosa dan asam oleat. Peningkatan kandungan lemak akan menurunkan kerenyahan
produk ekstruksi. Hal ini diduga terutama oleh adanya lemak dari monogliserida dan
digliserida. Kedua jenis lemak ini berpengaruh nyata terhadap beberapa sifat fisik
produk. Adanya protein dalam bahan baku akan menyebabkan penurunan
pengembangan produk dimana penurunannya akan tergantung pada jenis dan jumlah
protein dalam bahan baku tersebut.
Adanya lemak dan minyak dalam produk-produk ekstruksi akan mengubah
tekstur, rasa dan flavor produk. Makanan ringan yang mengandung lemak antara 20-
40% akan meningkatkan penerimaan dan membuat keinginan untuk makan lebih
banyak (Harper, 1981). Selanjutnya Harper (1981) mengatakan, lemak akan
teradsorpsi ke permukaan granula pati, akibatnya akan menurunkan viskositas dan
pengembangan pati. Selain lemak, sejumlah surfaktan non ionik, beberapa
monogliserida dan asam lemak akan menghambat pengembangan granula pati.
Mekanisme penghambatannya adalah bahwa lemak akan membentuk suatu lapisan
pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam
granula. Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang makin
rendah.
Proses ekstrusi dilakukan pada suhu tinggi dan waktu cepat, karena biasanya
proses ekstrusi dilakukan pada suhu sekitar 200oC dan waktu lima sampai sepuluh
detik (Harper, 1981). Namun pada praktikum ini, mesin ekstruder yang digunakan
memerlukan pemanasan terlebih dahulu selama ± 60 menit. Sehingga waktu proses
jadi tidak secepat yang diharapkan. Tekanan pada proses ekstrusi bervariasi antara 70
sampai 800 psi atau lebih sesuai dengan keperluan. Tekanan ini dipengaruhi oleh
bentuk ulir pada ekstruder, jumlah dan tipe kepala ekstruder, kecepatan berputarnya
ulir dan arus listruk (Smith, 1980). Pada praktikum ini, tidak diamati berapa suhu dan
tekanan yang digunakan untuk proses ekstrusi yang dilakukan. Jenis ekstruder yang
digunakan dalam praktikum ini adalah ekstruder ulir tunggal. Ekstruder berulir
tunggal banyak digunakan dalam pengembangan produk baru seperti makanan
ringan, makanan bayi, makanan ternak, breakfast cereal atau produk modifikasi pati.
Gambar 1. Irisan melintang ulir
ekstruder
Selain itu, ekstruder ulir tunggal juga digunakan untuk menghasilkan produk pasta,
cookies atau permen.
Gambar 1 memperlihatkan irisan melintang ekstruder ulir tunggal.
Hauck (1985) membagi ekstruder berdasarkan jumlah ulir yang digunakan
dalam proses ekstruksi, yaitu ekstruder ulir tunggal dan ekstruder ulir ganda.
Ekstruder ulir tunggal sendiri dapat dibagi lagi menjadi empat, yaitu low shear
pembentukan, low shear pemasakan, medium shear pemasakan dan high shear
pemasakan. Ekstruder ulir ganda seperti halnya ekstruder ulir tunggal dapat dibagi
menjadi lima, yaitu berputar searah saling berkaitan, berputar searah tidak berkaitan,
berputar berlawanan saling berkaitan, berputar berlawanan tidak berkaitan dan
berbentuk kerucut berkaitan.
Struktur dan kecepatan putaran ulir sangat mempengaruhi spesifikasi produk
ekstrusi yang dihasilkan. Putaran ulir yang relatif lebih cepat akan membentuk
produk yang relatif lebih mekar. Putaran ulir yang optimum, tergantung pada model
ekstruder dan pada banyak kasus, adalah proses yang dilaksanakan pada sekitar 300
rpm (Harper, 1981).
Smith (1980) membagi ekstruder ulir tunggal menjadi tiga seperti terlihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal
Kriteria low shear medium
shear
high
shear
Kadar air produk (%)
Densitas Produk (g/l)
Suhu barrel maksimum (oC)
Tekanan barrel maksimum
(kg/cm2)
Kecepatan ulir (rpm)
Produk khas
25 – 75
320 – 800
20 – 65
6 – 63
100
Produk
pasta
produk
daging
15 – 30
160 – 510
55 – 145
21 – 42
200
Roti,
makanan
ternak
5 – 8
32 – 200
110 –
180
42 – 84
200
snack,
breakfast
cereal
Sumber : Smith (1980).
Menurut Muchtadi et al (1987), ada lima jenis pengekstrusi berulir tunggal
yang umum dipakai dalam industri pangan yaitu :
a. Pengekstrusi pasta, alat ini dipakai untuk pembentukan macaroni dan produk
serupa dari suatu adonan.
b. High pressure forming extruder, alat ini dipakai untuk memadatkan dan
membentuk adonan yang telah mengalami gelatinisasi terlebih dahulu,
menjadi produk yang membutuhkan proses lanjutan seperti misalnya
penggorengan dalam lemak sereal.
c. The low shear cooking extruder, alat ini dipakai sebagai pemasak yang
kontinu untuk adonan yang berkadar air tinggi. Hasil yang dimasak harus
diproses lebih lanjut dengan pembentukan, pengeringan dan lainnya.
d. Collet extruder, alat ini dapat mendinginkan, membuat gelembung dan
membentuk butiran – butiran kering seperti corn meal untuk produk – produk
pangan bergelembung seperti corn curl.
e. The high shear cooking extruder, cara kerja alat ini serupa dengan collet
extruder kecuali bahwa waktu tinggal (residence time) lebih lama dan
kelebihan panas dibuang dengan cara pendinginan silinder.
Bahan pangan diumpankan dari bagian pengumpan (feed hopper) masuk
kedalam laras ekstruder berdinding baja tahan karat yang diperkeras. Suatu motor
menggerakkan ulir dari pengatur gigi roda dan dorongan kebelakang mengakibatkan
bahan memasuki daerah ulir. Ketika bahan didorong sepanjang lorong laras berulir,
bahan akan mengalami pencampuran, pemanasan dan pemotongan sekaligus.
Mekanisme perubahan sifat fisiko kimiawi komponen bahan pada proses manufaktur
pangan didalam ekstruder sendiri melibatkan operasi yang rumit, yaitu bahan yang
dimasak dalam ekstruder, patinya akan mengalami gelatinisasi (disamping terjadi
pula proses modifikasi struktur proteinnya dengan bantuan proses dehidrasi dan
pemanasan) sehingga produk tersebut menjadi plastis, meleleh dan dapat dibentuk
dan direstrukturisasi (Hauck, 1985).
Hasil pemasakan proses ekstruksi ini adalah gelatinisasi pati, denaturasi
protein serta inaktifasi enzim yang terdapat dalam bahan mentah. Tingkat gelatinisasi
pati, denaturasi protein dan perubahan struktur pada proses ekstruksi tergantung pada
bahan baku dan kondisi proses. Pada proses ekstruksi komponen pati mengalami
gelatinisasi. Tingkat gelatinisasi pati selama proses ekstruksi tergantung pada asal
bahan baku dan kondisi proses ekstruksi. Gelatinisasi pati disebabkan oleh suhu,
tekanan dan gesekan. Tingkat gelatinisasi pati meningkat dengan semakin rendahnya
kadar air bahan, gesekan yang semakin tinggi, serta waktu dan suhu proses yang
semakin tinggi.
Proses ekstruksi yang menggunakan suhu tinggi juga menyebabkan protein
akan terdenaturasi. Denaturasi protein adalah suatu modifikasi dari struktur sekunder,
tertier atau kuarter molekul protein, termasuk di dalamnya pemutusan ikatan
hidrogen. Pada suhu tinggi butiran protein akan terurai dari bentuk globular menjadi
molekul yang berbentuk memanjang, hal ini disebabkan terputusnya ikatan-ikatan
ionik, disulfida, hidrogen dan Van der Wall’s (Harper, 1981). Adanya komponen
protein dalam bahan baku mempengaruhi produk yang dihasilkan, yaitu produk yang
dihasilkan semakin rendah pengembangannya.
Molekul-molekul besar protein yang terbuka akibat perlakuan panas selama
proses ekstruksi dan gesekan putaran ulir, akan saling membentuk suatu jaringan
yang kompak di dalam ruang kosong yang bersuhu tinggi. Teksturisasi protein
meliputi penyusunan kembali molekul-molekul protein menjadi massa yang berlapis
dan saling menyilang yang tahan terhadap pemanasan. Massa yang terbentuk
dipanaskan dan dipotong pada putaran awal pengekstruksi. Hal ini menyebabkan
struktur protein menjadi terbuka. Pati mempunyai peranan penting dalam proses
ekstrusi yang berfungsi sebagai pengatur densitas, mempertahankan daya awet dan
mempertahankan tekstur garing pada saat penyimpanan. Perbedaan jenis pati juga
mempengaruhi produk ekstruksi, pati dengan kandungan amilosa tinggi menghasilkan
produk ekstruksi yang lebih cerah, permukaan dan tekstur halus, elastis dan karakter
yang kompak, sedangkan pati dengan amilopektin tinggi menghasilkan produk yang
keras dan pengembangan yang lebih rendah.
Hauck, (1985) mendefenisikan pemasakan ekstrusi (extrusion cooking)
sebagai suatu proses dimana bahan – bahan berpati dan atau protein yang dibasahi
dapat mengembang (membengkak), diadoni (platisized) dan dimasakan dalam suatu
tabung (laras) dengan mengkombinasikan faktor – faktor air, tekanan, suhu dan
gesekan (shear) mekanis.
Amilopektin bersifat merangsang proses maker (puffing), sehingga hasil
ekstrusi dari pati – patian dengan amilopektin yang tinggi bersifat lebih ringan, poros,
garing dan gampang retak (renyah). Kebalikannya, akan menghasilkan produk yang
keras, pejal karena proses maker hanya terjadi secara terbatas. Amilosa membentuk
ekstruder yang ringan, tekstur dan permukaan kompak, elastis dan sticky (lengket).
Pemanasan ekstruksi akan menyebabkan protein yang larut air pecah menjadi
sub unit yang lebih kecil melalui modifikasi struktur sekunder, tertier, dan kwartener
(Leach, 1968). Faktor yang meyebabkan pemecahan ini adalah akibat terputusnya
ikatan-ikatan disufida, ionik dan ikatan van der Walls.
Harper (1981) mengatakan, molekul-molekul besar protein yang terbuka
akibat perlakuan panas selama proses ekstruksi dan gesekan putaran ulir, akan saling
membentuk suatu jaringan yang kompak di dalam ruang kosong yang bersuhu tinggi.
Teksturisasi protein meliputi penyusunan kembali molekul-molekul protein menjadi
massa yang berlapis dan saling menyilang yang tahan terhadap pemanasan. Massa
yang terbentuk dipanaskan dan dipotong pada putaran awal pengekstruksi. Hal ini
menyebabkan struktur protein menjadi terbuka (Ramsen dan Clark, 1978 di dalam
Muchtadi et al, 1988).
2. Mie
Mie merupakan produk pangan non beras yang terbuat dari tepung terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain. Selain tepung terigu, bahan
baku lainnya dalam pembuatan mie adalah air dan garam-garam seperti NaCl,
natrium karbonat, kalium karbonat atau kalium tripoliphospat. Berdasarkan kajian
preferensi konsumen terhadap produk-produk pangan non beras, terlihat bahwa mie
merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai
makanan sarapan maupun sebagai makanan selingan.
Dalam pembuatan mie, penggunaan jenis tepung merupakan salah satu faktor
yang sangat penting karena erat kaitannya dengan tekstur mie yang dihasilkan. Mutu
tepung terigu dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas proteinnya. Hanya tepung terigu
yang memiliki kadar protein dan gluten yang tinggi yang dapat menghasilkan tekstur
mie yang baik. Gluten mempunyai peranan yang sangat penting sehubungan dengan
fungsi terigu sebagai bahan dasar pembuatan mie. Gluten adalah komponen
terpenting dalam terigu yang berupa protein glutenin dan gliadin yang telah bereaksi
dengan air sehingga membentuk massa yang elastis dan ekstensibel. Reaksi tersebut
diakibatkan oleh interaksi antara gliadin yang memiliki gugus polar lebih banyak.
Tepung yang digunakan didalam praktikum adalah tepung terigu cakra
kembar, terigu merupakan tepung yang diperoleh dari penggilingan biji gandum yang
telah dibersihkan. Terigu hasil penggilingan harus bersifat mudah tercurah, kering
dan tidak boleh menggumpal bila ditekan, berwarna putih dan bebas dari kulit
partikel, tidak berbau asing seperti busuk, tidak tengik, bebas dari serangga, jamur,
tikus, kotoran dan kontaminasi asing lainnya (Sunarya, 1985).
Tepung terigu mengandung protein minimal 7 – 22 %, minimal tersusun dari
lima jenis protein yaitu albumin yang larut dalam air, globulin dan protease yang larut
dalam garam, gliadin yang larut dalam alkohol 70% dan glutenin yang larut dalam
larutan asam atau basa. Glutenin dan gliadin bila tercampur air akan membentuk
gluten (Winanrno, 1991).
Gluten merupakan suatu masa yang kohesif, viskoelastis dan dapat meregang
secara elastis. Bagian yang penting dalam struktur gluten adalah ikatan disulfida dan
ikatan ion. Reduksi pada pada ikatan gluten akan mengurangi kekuatan gluten.
Perubahan besar protein dapat terjadi dengan reduksi hanya 4 – 5 % dari total ikatan
disulfida yang ada. Selain ikatan disulfida, ikatan ion merupakan bagian yang
penting dalam interaksi antara protein gluten, sehingga mempengaruhi kekuatan
gluten. Karakteristik rheologi dari gluten dipengaruhi oleh perbandingan gliadin dan
glutenin dan hidrofobitas (ketidaklarutan dalam air) gliadin. Peningkatan jumlah
gliadin memperlemah karakteristik elastis gluten dengan mengurangi ikatan silang.
Karakteristik elastis gluten dianggap berasal dari fraksi glutelin, sedangkan
karakteristik kuat dan melekat diperoleh dari fraksi gliadin (Ruiter, 1978).
Karakteristik reologi dari gluten dipengaruhi oleh perbandingan prolamin dan
glutenin dan hidrofobisitas prolamin. Gluten merupakan protein yang tidak dapat
larut air yang membentuk sifat liat dan elastis. Sifat elastis gluten pada adonan
mengakibatkan mie tidak mudah putus pada proses pencetakan dan gelatinisasi.
Mie kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari terigu, dengan
atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang
diijinkan, berbentuk khas mie (Dewan Standarisasi Nasional,1992 didalam
Simanjuntak, 2001).Sedangkan mie basah adalah produk makanan yang terbuat dari
terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
makanan yang dijinkan, berbentuk khas mei yangtidak dikeringkan. Mie basah
merupakan mie dengan kadar air maksimal 35%.
Produk mie umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan
karbohidratnya yang relatif tinggi. Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang
diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standardisasi Nasional, 1992). Mie merupakan
produk pangan yang berasal dari Cina dan tetap popular di Asia hingga kini. Sekitar
40 % konsumsi gandum di Asia adalah mie (Hoseney dan Faubion , 1982).
Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap
pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai 52 % sehingga
daya tahan simpannya relatif singkat sekitar 40 jam pada suhu kamar. Di Indonesia,
mie basah dikenal sebagai mie kuning atau mie bakso. Pada dasarnya mie basah
dibuat dari bahan dasar terigu, air, dan garam, serta bahan tambahan kansui yang
mengandung natrium oksida dan garam alkali (memberi karakteristik mie yang
kekuningan, flavor alkali, pH yang tinggi, dan memperbaiki tekstur) (Kruger et
al.,1996). Di Jepang, campuran kansui merupakan campuran natrium atau kalium
karbonat. Penambahan biasanya 1-1.5 % dari berat terigu. Alkali bisa berbentuk
bubuk (biasa disebut soda abu) atau dalam berbentuk cairan (biasa disebut air abu).
Bubuk abu dilarutkan dalam air sebelum digunakan. Garam dapur juga ditambahkan
ke dalam adonan (0.5-1.5 % berat terigu), tergantung selera masyarakat lokal. Air
yang ditambahkan biasanya sebanyak 32-35 % dari berat terigu tergantung dari
kualitas dan jenis terigu yang digunakan. Batas maksimum penambahan air sebelum
menimbulkan masalah dalam pembentukan lembaran adalah 38 % (Kruger et
al.,1996).
Pada praktikum pembuatan mie, hal pertama yang harus dilakukan adalah
pencampuran bahan-bahan sampai rata. Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan
campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan
dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Terigu berfungsi
sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat dan sumber protein, pelarut
garam, serta pembentuk sifat kenyal gluten, semakin kenyal mie maka makin baik
kualitasnya
Kualitas mie basah menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan:
1.1 Bau
1.2 Rasa
1.3 Warna
-
Normal
Normal
Normal
2. Air % b/b 20 – 35
3. Abu (dihitung atas dasar
bahan kering)
% b/b Maks. 3
4. Protein ((N x 6.25) dihitung
atas dasar bahan kering)
% b/b Min. 3
5. Bahan Tambahan Pangan:
5.1 Boraks dan asam borat
5.2 Pewarna
5.3 Formalin
Tidak boleh ada
Sesuai SNI-0222-M dan
Peraturan Menkes. No.
722/Menkes/Per/IX/88
Tidak boleh ada
6. Cemaran Logam:
6.1 Timbal (Pb)
6.2 Tembaga (Cu)
6.3 Seng (Zn)
6.4 Raksa (Hg)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks. 1.0
Maks. 10.0
Maks. 40.0
Maks. 0.05
7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05
8. Cemaran mikroba:
8.1 Angka lempeng total
8.2 E. coli
8.3 Kapang
koloni/g
APM/g
koloni/g
Maks. 1.0 x 106
Maks. 10
Maks. 1.0 x 104
Setelah pencampuran, dilakukan proses pengadukan agar adonan menjadi
homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam proses pengadukan adalah jumlah air
yang ditambahkan, dan waktu pengadukan. Bahan-bahan tambahan jika ada seperti
garam, air abu, dan minyak goreng juga ditambahkan dalam proses pengadukan.
Dalam praktikum hanya dilakukan penambahan minyak goreng setelah perebusan.
Proses pengadukan dilakukan sampai adonan kalis, karena pada proses selanjutnya
(sheeting), banyak kerja mekanis yang dikenakan pada adonan sehingga akan
menjadikannya mie dengan kekenyalan yang baik.
Air yang berfungsi sebagai reaksi antar gluten dan karbohidrat, melarutkan
garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati akan mengembang dengan adanya air
(Chung et al, 1985 dikutip dari Mulya 1988) menyebutkan bahwa air memiliki pH
antara 6 – 9. Pada selang 4 – 8, makin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak
mudah patah karena absorpsi air meningkat dengan menigkatnya pasta.
Selain bahan-bahan tambahan, adonan juga perlu diberi bahan pendukung
lain agar konsistensi mie yang diharapkan tercapai. Bahan pendukung yang
digunakan adalah CMC dan STPP. CMC (Carboxy Methyl Cellulose) memiliki sifat
higroskopis, mudah larut dalam air, dan membentuk larutan koloid. Fungsi dasarnya
adalah untuk mengikat air atau memberikan kekentalan sehingga dapat memantapkan
komponen lainnya atau mencegah sineresis. CMC biasa digunakan dalam campuran
adonan mie basah sebagai pengembang, penstabil, dan pengawet pada mie basah.
Sedangkan sodium tripolifosfat (STPP) digunakan sebagai bahan pengikat air agar air
dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat
mengering dan mengeras. Penambahan sodium tripolifosfat dengan konsentrasi 0,1 %
sampai 0,2 % saja ke dalam formula mie diharapkan sudah cukup bagus untuk
memberikan kekenyalan. Di dalam praktikum hanya digunakan CMC sebagai bahan
tambahan.
CMC (Carboxy Methyl Cellulose) memiliki sifat higroskopis, mudah larut
dalam air, dan membentuk larutan koloid. Dalam pembuatan mie, CMC berfungsi
sebagai pengembang. Bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki
ketahanan terhadap air, dan mempertahankan keempukan selama penyimpanan. CMC
yang ditambahkan sebesar 0,5-1 % dari berat tepung. Penggunaan CMC yang
berlebihan akan menyebabkan tekstur mie yang terlalu keras dan daya rehidrasi mie
menjadi berkurang. Penambahan CMC yang sesuai akan mempengaruhi tekstur mie
yang dihasilkan.
Proses pengadukan kemudian dilanjutkan dengan pembentukan lembaran
(sheeting). Tujuan pembentukan lembaran (sheeting) adalah untuk menghaluskan
serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan
jalan melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor yang
mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antar roll. Suhu yang baik adalah
sekitar 37 oC, dimana jika kurang dari 37 oC maka adonan akan menjadi kasar dan
pecah-pecah sehingga mie mudah patah. Hasil akhir yang diharapkan adalah
lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat searah sehingga dihasilkan mie
yang elastis, kenyal, dan halus (Badrudin, 1994).
Lembaran-lembaran yang dihasilkan kemudian dipotong-potong. Proses
pemotongan lembaran bertujuan membentuk pita-pita mie dengan ukuran lebar 1-3
mm, kemudian dilanjutkan dengan pengukusan mie basah yang telah jadi.
Pengukusan pita-pita mie dengan uap air bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati
dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994). Gelatinisasi
merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga granula tersebut tidak
dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini menyebabkan
pati meleleh, kemudian akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie
yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan
mempengaruhi daya rehidrasi mie. Pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak
goreng (pemberian minyak goreng juga diberikan pada saat sebelum pengukusan)
dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain dan untuk memberi cita rasa,
serta agar mie tampak mengkilap (Mugiarti, 2001).
Menurut (Kruger et al.,1996), mie dibedakan menjadi empat berdasarkan
ukuran produk, yaitu so-men (sangat tipis, lebar 0.7-1.2 mm), hiyamughi (tipis, lebar
1.3-1.7 mm), udon (standar, lebar 1.9-3.8 mm), dan hiramen (datar, lebar 5.0-6.0
mm). Berdasarkan prosesnya, terdapat empat jenis mie, yaitu mie mentah (mie
standar yang setelah pengadonan, pembentukan lembaran dilanjutkan dengan
pemotongan tanpa proses lebih lanjut), mie kering (berasal dari mie mentah yang
melalui proses lanjut pengeringan sinar matahari atau ruang terkontrol), mie matang
(berasal dari mie mentah yang melalui proses lanjut perebusan setengah matang atau
matang sempurna), dan mie kukus (berasal dari mie mentah yang melalui proses
lanjut pengukusan).
Walaupun pada prinsipnya mie dibuat dengan cara yang sama tetapi di
pasaran terkenal dengan beberapa jenis mie, seperti mie segar/mentah (raw Chinese
noodle), mie basah (boiled noodle), mie kering (steam and fried noodle), dan mie
instant.
Pada praktikum pembuatan mie dilakukan dua jenis mie, yaitu mie berbasis
bahan terigu dan non terigu. Pada dasarnya proses pembuatan mie dari kedua bahan
ini sama, hanya saja bahan non terigu kandungan glutennya rendah sehingga perlu
ditambahkan suatu larutan yang memiliki kemampuan untuk merekatkan antar
adonan sehingga terbentuk adonan yang kalis.
Pada pembuatan mie dengan bahan dasar terigu, adonan ditambahkan CMC
yang berguna sebagai pengembang. Setelah adonan kalis dan dilakukan pemotongan
maka mie direbus didalam air yang telah dipanaskan. Pada saat pemanasan ini tekstur
mie akan menjadi lebih halus dan mengembang jika dibandingkan pada saat sebelum
direbus hal ini dikarenakan pengaruh swelling power pati yang bereaksi dengan panas
sehingga mie mengembang dan pati mengeluarkan lapisan lilin pada permukaan
sehingga tekstur mie menjadi lebih halus. Setelah perebusan mie ditambahkan
minyak goring, hal ini dilakukan untuk mencegah lengketnya lembaran mie.
Pada praktikum dilakukan beberapa uji terhadap produk mie, yaitu uji
organoleptik, besarnya cooking loss dan rehydration ratio, pada uji organoleptik
dilakukan tiga penilaian, yaitu warna, rasa, dan tekstur dengan panelis 15-30 orang.
Dari hasil uji organoleptik pada prodek mie dengan bahan dasar tepung terigu
didapatkan hasil pada warna panelis menyukai warna mie dapat dilihat nilai rata-rata
3,70. Warna mie dari bahan terigu sama dengan mie yang ada di pasaran yaitu
kuning, panelis juga cenderung menyukai rasa dari mie dengan bahan dasar terigu
dapat dilihat dari nilai rata-rata 3,60. Kekenyalan dari mie juga cukup disukai panelis
dapat dilihat dari nilai rata-rata 3,70. Pada uji elongasi didapatkan hasil mie dari
bahan dasar terigu mudah patah dapat dilihat dari nilai rata-rata yang hanya 1,00.
Elongasi dari mie dipengaruhi oleh kandungan gluten bahan yang digunakan,
semakin tinggi kandungan gluten maka elongasi dari mie akan semakin baik. Bahan
terigu yang digunakan pada pembuatan ini dapat dikatakan memiliki kandungan
gluten yang rendah. Dari bahan 362 gram mie diketahui pada saat perebusan
mengalami cooking loss sebesar 21,36 gram atau 11% dan nilai rehydration ratio
sebesar 64,36%.
Pada pembuatan mie dengan bahan dasar terigu + 20% sagu didapatkan hasil
panelis cenderung menyukai warna mie dapat dilihat nilai rata2 yang mencapai 3,43
nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan mie terigu karena pengaruh 20% sagu
yang mempengaruhi warna dari mie, pada uji rasa pengaruh 20% sagu tidak terlalu
mempengaruhi rasa mie dapat dilihat nilai rata-rata sebesar 3,3. Panelis juga
cenderung menyukai kekenyalan mie dengan nilai rata-rata 3,4. Elongasi mie terigu
sagu lebih besar dibandingkan mie terigu dapat dilihat dari nilai elongasi sebesar 2,9.
Pada saat perebusan mie mengalami cooking loss sebesar 37,7% atau sebesar 27,5
gram sedangkan nilai rehydration ratio sebesar 63,7%.
Pada mie dengan bahan dasar sagu didapatkan hasil panelis cenderung tidak
menyukai mie dengan bahan dasar sagu dapat dilihat dari nilai rata-rata warna 2,80,
rasa 2,40, tekstur 2,43, dan nilai elongasi 4,2. Rendahnya nilai warna dapat
dikarenakan masing masing panelis cendrung dudah mendoktrin bahwa mie yang
menarik itu berwarna kuning, sedangkan mie dari sagu berwarna putih hamper
bening. Nilai elongasi yang mencapai 4,2 menandakan penggunaan alum potas
sebagai pengganti gluten sukses. Nilai cooking loss dari mie sagu mencapai 21,5%.
Hasil uji organoleptik mie dengan tepung beras adalah 2,07 untuk warna, 2,80
untuk rasa, 2,93 untuk tekstur, dan nilai elongasi 3,27. Pada saat perebusan mie
tepung beras mengalami cooking loss sebesar 32% atau 114,24 gram.
3. Aplikasi Tepung Komposit
Pengembangan aneka olahan dari aneka tepung diharapkan akan
memberikan nilai tambah ekonomi dan meningkatkan nilai sosial komoditas,
pengolahan bahan pangan lokal dari aneka tepung menjadi produk olahan seperti
krupuk, kue-kue basah dan kue-kue kering dan beberapa jenis olahan lain banyak
dijumpai di pasar-pasar kota maupun di pasar lokal di daerah (Roestamsyah,
dkk.,1989).
Secara komersial, bentuk tepung mempunyai prospek yang baik untuk
dikembangkan dalam sistem agroindustri, seperti tepung komposit. (Damardjati,
et.al., 1993).
Berdasarkan data dari uji organoleptik di atas, cookies yang terbuat dari ubi
jalar merupakan cookies paling disukai oleh panelis. Hal ini didasarkan pada nilai
rata-rata cookies dari ubi jalar, yaitu 4. Ini adalah nilai tertinggi bila dibandingkan
dengan cookies yang dibuat dari tepung-tepung lain yang telah diujikan.
Pembuatan cookies (kue kering) dari tepung jagung komposit campuran dari
tepung jagung 40%, tepung gude 10% dan tepung kedelai 50% memiliki nilai gizi
tinggi dan rasanya dapat diterima (Antarlina dan Utomo, 1991).
IV. KESIMPULAN
Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Mie
basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan
dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai 52 % sehingga daya tahan
simpannya relatif singkat sekitar 40 jam pada suhu kamar. Proses pembuatan mie
basah meliputi tahapan pencampuran tepung terigu, garam, air, dan bahan tambahan
lain, dilanjutkan dengan pembentukan lembaran, pencetakan, dan perebusan selama 2
menit. Salah satu komponen penting pada dalam pembuatan adalah perekat. Perekat
bias diperoleh dari bahan itu sendiri (gluten) atau menambahkan alum potas, dari
praktikum dapat diambil kesimpulan mie dari tepung terigu lebih disukai oleh panelis
baik dari warna, rasa, dan tekstur. Untuk meningkatkan kekenyalan dari mie bias
digunakan CMC.
Untuk membuat berbagai snack dilakukan dengan metode ekstrusi dengan
menggunakan alat yang disebut alat ekstrudat sehingga bahan pembuatan snack. Alat
untuk melakukan proses ekstruksi dinamakan ekstruder. Faktor yang mempengaruhi
pengembangan adalah rasio antara amilosa dan amilopektin. Amilopektin diketahui
merangsang terjadinya proses mekar (puffing). Keuntungan proses pemasakan dengan
metode ekstrusi antara lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk
produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, mutu
produk tinggi
Pada aplikasi tepung komposit, cookies yang terbuat dari ubi jalar merupakan
cookies paling disukai oleh panelis. Hal ini didasarkan pada nilai rata-rata cookies
dari ubi jalar, yaitu 4. Ini adalah nilai tertinggi bila dibandingkan dengan cookies
yang dibuat dari tepung-tepung lain yang telah diujikan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mie Basah. SNI-01 2987-1992. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta.
Badrudin, C. 1994. Modifikasi tepung ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sebagai
bahan pembentuk mie kering. Skripsi. Fakultas teknologi Pertanian. IPB,
Bogor.
Damarjati ,D.S., S.Widowati dan Suismono. 1993 . Sistem pengembangan
agroindustri tepung kasava di pedesaan (studi kasus di kabupaten
Ponorogo) disampaikan pada symposium penelitian tanaman pangan III
Bogor.
Hoseney, R.C. dan J.M. faubion. 1982. HTST Extrusion Cooking of Wheat and
Flour: Effect of Moisture and Flour Type on Extrudate Properties. J. Cereal
Chemistry 59(6):329-333.
Krueger, J. E et al. 1996. Pasta and Noodle Technology. AACC Publication,
Minnesota.
Mugiarti. 2001. Mempelajari pengaruh substitusi tepung kedelai pada pembuatan mie
basah. Skripsi. Fakultas teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Roestamsyah, Barizi dan Susanto, D., 1989. Food Comsumption Pattern Of Eleven
Ethnic Groups In Indonesia. Proceeding Of The 7th Asean Workshop On
Food Habits. Penang. Malaysia.
Sri Satya Antarlina, Indra Sudaryono, dan Siti Dewi Indrasari. 1998. Tetap Lezat
Dengan Tepung Ubijalar. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan Dan
Umbi-umbian. Malang.
Widowati ,S dan D.S. Damarjati. 1993. Tepung komposit sebagai alternatif
difersifikasi produk untuk mempertahankan swasembada pangan dalam
Syam, Hermanto, A. Musadad dan Sunihardi. (eda) . Pros. Simp. Tan.
Pangan III. Kinerja Penelitian Tan Pangan .
Winarno, F. G. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah pada Seminar
Sehari Serba Mie. IPB, Bogor.
Yustiareni, E. 2000. Kajian substitusi terigu oleh tepung garut dan penambahan
tepung kedelai dalam pembuatan mie tepung. Skripsi. Fakultas teknologi
Pertanian. IPB, Bogor.