LAPORAN PENELITIAN HIBAH BESAING - repositori.unud.ac.id · laporan penelitian hibah besaing...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN HIBAH BESAING - repositori.unud.ac.id · laporan penelitian hibah besaing...
LAPORAN PENELITIAN
HIBAH BESAING
IDENTIFIKASI BAKTERI PENGHAMBAT Aspergillus flavus DARI RIZOSFER
TANAMAN JAGUNG DAN UJI METABOLIT SEKUNDER TERHADAP
DEGRADASI AFLATOKSIN B1.
OLEH
IR. AGUS SELAMET DUNIAJI, MSi
NIDN. 0016085707
WAYAN WISANIYASA, STP. MP
NIDN. 0013047101
NI NYOMAN PUSPAWATI, STP.MSi
NIDN. 0010057901
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2015
Bidang Ilmu
Ketahanan Pangan
2
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Hyang Widdhi Wsa
karna atas rahmat dan karuniaNya laporan penelitian dengan judul Identifikasi Bakteri
Penghambat Aspergillus flavus dari Rizosfer Tanaman Jagung dan Uji Metabolit Sekunder
Terhadap Degradasi Aflatoksin B1 dapat kami selesaikan sesuai dengan yang
direncanakan.
Laporan ini merupakan hasil penelitian yang penulis laksanakan dengan Tim
peneliti yang berlangsung selama 12 bulan. Dalam melaksanakan penelitian ini berbagai
sarana dan fasilitas telah penulis dapatkan utamanya dari Fakultas Teknologi Pertanian,
Laboratorium Biopestisida Fakultas Pertanian Unud, Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Universitas Udayana serta Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Riset dan
Teknologi RI.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih
yang setinggi-tingginya Kepada :
1. Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana,
2. Kepala Laboratorium Biopestisida Fakultas Pertanian Unud,
3. Ketua Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
4. Rektor Universitas Udayana
5. Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian RISTEK RI
Atas bantuan pendanaan, fasilitas laboratorium, sarana dan dukungan moril sehingga
penelitian dan laporan ini dapat penulis selesaikan.
Penulis sangat menyadari hasil penelitian ini dan laporan ini masih terus
diperlukan perbaikan dan penelitian lanjutan, oleh karnanya penulis memerlukan koreksi
para pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan hasil penelitian ini.
Bukit-Jimbaran,........ Juni 2015
3
RINGKASAN PENELTIAN
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan metabolit skunder toksik yang diproduksi oleh
Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Kontaminasi kedua spesies kapang ini sering
ditemukan pada jenis komoditi kacang-kacangan dan serealea seperti kacang tanah,
jagung, gandum, barley dan beras pada pra panen maupun pasca panen. Makanan olahan
dari bahan makanan tersebut juga sangat rentan terkontaminasi kedua kapang ini mulai
dari penyiapan bahan baku, penyimpanan, pengolahan, pemasaran hingga sampai pada
konsumen (Lopez-Garcia et al., 2001).
Penelitian in dilakukan dengan mengambil sampel dari rhizosfer tanaman jagung
di beberapa petak sawah petani secara acak di daerah Sanur (RjS), Padanggalak (RjP),
Renon (RjR), Kesiman (RjK) dan Ketewel (RjW). Sampel masing – masing diambil
sebanyak 10 – 20 g dari rhizosfer tanaman jagung dan di bawa ke laboratorium untuk
dilakukan tahapan isolasi mikroba dan pemisahan bakteri sebagai mikroba uji untuk
melawan A. flavus.
Bakteri hasil isolasi di uji daya hambatnya dengan metode duel culture pada
media PDA. Identifikasi bakteri terpilih antara lain pewarnaan Gram, Pengamatan
morfologi bakteri dibawah mikroskop, Uji Katalase (Fardiaz, 1993). Identifikasi bakteri
dilakukan dengan Oxoid Microbact GNB Kit.
Hasil Penelitian menunjukan bahwa ditemukan 14 jenis bakteri dari hizosfer
tanaman jagung yang berpotensi dapat melawan A. flavus. Isolat bakteri tersebut setelah
dilakukan uji daya hambat ditemukan persentase daya hambat berkisar antara 44.00-
97.00 persen Hasil identifikasi ditemukan 3 isolat bakteri yang memiliki persetase daya
hambat tertinggi diantaranya adalah Klibsiella pneumonia, Eterobacter gergoviae dan E.
agglomerans. persentase daya hambat Klibsiella pneumonia, Eterobacter gergoviae dan
E. agglomerans melawan A. flavus masing-masing adalah 97.00 persen, 85.00 persen dan
87.00 persen.
Keywords: Aspergillus flavus, Identifikasi, rhizosfer jagung dan Aflatoksin B1
4
DAFTAR ISI
Judul halaman
Halaman Pengsahan ....................................................... i
Prakata ....................................................... ii
Ringkasan Penelitian ........................................................ iii
Daftar Isi ........................................................ iv
Daftar Tabel ........................................................ v
Daftar Gambar ........................................................ vi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................ 1
1.2. Tujuan Khusus ......................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Kontaminan Aspergullus sp ............................................. 6
2.2.. Aflatoksin ......................................................... 8
2.3..Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Aflatoksin ....... 11
2.4. Pengendalian dan detoksifikasi Aflatoksin ............................. 14
BAB III. METODE PENELITIAN 15
3.1. Tempat Penelitian ............................................. 17
3.2. Metode Penelitian ............................................ 18
3.2.1. Isolasi Bakteri dari rhizosfer Tanaman Jagung ........................ 18
3.2.2. Uji Daya Hambat Isolat Bakteri melawan A. flavus ............... 19
3.2.3. Identifikasi bakteri terpilih yang potensial
Melawan A. flavus ................................................ 21
BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................... 22
4.1. Isolat Bakteri dari Rhizosfer Tanaman Jagung ....................... 22
4.2. Daya Hambat Isolat Bakteri Melawan A. flavus ....................... 25
4.3. Uji Pengecatan Gram ............................................... 26
4.4. Uji Morfologi .............................................. 28
4.5. Uji Katalase .............................................. 30
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN ............................................. 31
5.2. SARAN ................................. 32
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
5
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan metabolit skunder toksik yang diproduksi oleh
Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Kontaminasi kedua spesies kapang ini sering
ditemukan pada jenis komoditi kacang-kacangan dan serealea seperti kacang tanah,
jagung, gandum, barley dan beras pada pra panen maupun pasca panen. Makanan olahan
dari bahan makanan tersebut juga sangat rentan terkontaminasi kedua kapang ini mulai
dari penyiapan bahan baku, penyimpanan, pengolahan, pemasaran hingga sampai pada
konsumen (Lopez-Garcia et al., 2001).
Secara alami sulit untuk memberantas kapang penghasil aflatoksin di lapangan,
karena pemberantasan hanya akan merusak ekosistem (Aibara, 1978). Penggunaan bahan
kimia untuk detoksifikasi harus dalam batasan yang dipersyaratkan dan tidak boleh ada
residu toksik serta penurunan nilai nutrisi. Bakole (1998) menyatakan dekontaminasi
aflatoksin pra dan pasca panen dengan tujuan detoksifikasi dapat dilakukan dengan
pemberian garam-garam amonium untuk mencegah resiko terhadap kesehatan.
Penelitian penggunaan bahan kimia dengan amonia untuk mengurangi aflatoksin
dilaporkan oleh Saad (2001) membuktikan bahwa proses amoniasi efektif untuk
detoksifikasi aflatoksin yang mengakibatkan hidrolisis pada cincin lacton dan
mengkonversi aflatoksin B1 menjadi sejumlah metabolit yang menurun toksisitasnya.
Penggunaan solven seperti aseton, heksana dan air dapat mengurangi kadar aflatoksin
pada kacang tanah dan tepung kacang tanah, tetapi komponen lain yang terlarut dalam
minyak ikut mengalami pengurangan. Penurunan kadar aflatoksin menggunakan solven
aseton dan air mencapai 0,03 ppm pada biji kapas dan kacang tanah (Herman. and
Walker. 2001).
Penggunaan Kalsium hidroksida pada komoditi berminyak umumnya untuk
mengurangi gum, asam lemak bebas dan pigmen yang larut dalam basa (Lopez-Garcia et
al., 2001). Penggunaan agen alkali seperti Kalsium hidroksida dapat menurunkan
aflatoksin pada kopra, kacang tanah dan tepung biji kapas (Heathcote dan Hibbert, 1978).
Duniaji dkk (2009) menyatakan pemberian kalsium hidroksida 0,8% dalam perendaman
kacang tanah selama 3 jam dapat menurunankan populasi Aspergillus flavus sebesar
6
99,9%. Hasil penelitian Duniaji dan Subarjiati (2002) juga menunjukkan terjadinya
penurunan kadar aflatoksin B1 pada biji kacang tanah yang direndam dengan kalsium
hidroksida yaitu dari 50,10 ppb menjadi 20,08 ppb atau penurunan hampir mencapai
110%.
Menurut Albert (2006) penurunan aflatoksin B1 dapat dilakukan secara biologis
yaitu menggunakan bakteri Rhodococcus erythropolis. Dengan menggunakan ekstrak
dari bakteri ini sehingga aflatoksin B1 tedegradasi secara enzimatis. Sementara Duniaji et
al (2009) menyatakan penggunaan ekstrak bawang putih pada pelarut air mampu
menekan pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin B1.
Upaya pencegahaan dan degradasi aflatoksin B1 yang diproduksi oleh A. flavus
dengan memanfaatkan ekstrak metabolit skunder bakteri akan dapat memperkecil resiko
kerusakan nutrisi dan resiko kesehatan serta efek samping penggunaanya. Ekstrak
metabolit skunder bakteri pendegradasi aflatoksin B1 diharapkan dapat menghasilkan
biokompetitif yang ramah lingkungan dan bermanfaat dalam dunia kesehatan, sehingga
upaya pencegahan paparan aflatoksin B1 pada bahan dan produk pertanian dapat di
aplikasikan untuk pengembangan ketahanan pangan secara berkelanjutan.
7
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1. Kontaminan Aspergullus sp.
Aspergillus tersebar secara luas dan banyak diantaranya menyebabkan kerusakan
pada bahan pangan tetapi ada juga yang bermanfaat bagi manusia. Kapang Aspergillus
ada yang mampu tumbuh pada bahan yang mengandung kadar gula dan garam yang
tinggi dan juga kebanyakan bahan makanan mengandung kadar air walaupun dalam
kadar yang rendah. Konidia dari jenis kapang ini beberapa diantaranya ke hijau- hijauan
dan askosporanya terdapat dalam askos (kantong spora) pada perithesia yang berwarna
hijau sampai kemerah- merahan. ( Frazier, 1967).
A. flavus – oryzae merupakan kelompok kapang yang bayak digunakan dalam
proses pembuatan beberapa macam makanan di negara negara Asia. Kapang ini juga
dapat membentuk enzim tetapi beberapa diantaranya menyebabkan kerusakan pada bahan
pangan. Aspergillus memiliki miselium bersekat dan bercabang, konidiophoranya ada
yang bersepta tetapi ada pula yang tidak bersepta merupakan perpanjangan dari sel kaki (
foot cell). Pada ujung konidiophora membesar terbentuk visikel. Pada visikel ini tumbuh
sterigmata dan dari sterigmata ini terbentuk konidia. Deretan konidia umumnya ada yang
berwarna hijau, coklat, atau hitam. Beberapa diantaranya tumbuh dengan baik pada suhu
37 0C atau ada pula yang dapat tumbuh pada suhu yang lebih tinggi ( Frazier, 1967).
A. flavus maupun A. parasiticus pertumbuhan maksimal terjadi pada suhu 33 0C,
pH 5,0 dan aw nya 0,99. Pada suhu 15oC dapat tumbuh dengan baik apabila aw nya 0,95,
dan tidak akan tumbuh apbila aw nya 0,90. Suhu optimun untuk pembentukan toksin
adalah antara 24 dan 28 0C ( Jay, 1992). Menurut Kuswanto dan Sudarmadji (1988)
semenjak dalam tanah, selama pengeringan dan penyimpanan dapat ditumbuhi oleh
kapang A. flavus dan A.parasiticus. Habitat yang sesuai untuk pertumbuhan kedua
kapang ini adalah kadar air 14 – 30 % dan suhu antara 21 – 38 0C. Dalam kondisi
penyimpanan tertutup dan aerasi kurang mendorong pertumbuhan jamur ini.
2.2.. Aflatoksin
Tahun 1998, Badan Internasional Riset kanker (IARC) menyatakan bahwa
aflatoksin B1 sebagai penyebab karsinogenik dan hepatotoksik serta diklasifikasikan
8
sebagai karsinogen urutan pertama pada manusia. Hal ini disebabkan karena sifat
karsinogen dan mutagenik aflatoksin yang menghasilkan formasi reaksi epoksida pada
posisi 8,9 cicin furan dan ikatan kovalen dengan asam nucleat. Akibat formasi ini dapat
menyebabkan kemunduran immuno (kekebalan) tubuh hewan maupun manusia.
Negara maju seperti Amerika, jepang dan negara-negara eropa telah
mensyaratkan 0 ppb aflatoksin B1 pada bahan pertanian dan makanan yang
diperdagangkan. Standar Nasional Indonesia belum mengeluarkan persyaratan tentang
batasan aflatoksin pada bahan pertanian dan makanan. Hal ini disamping
mengkhawatirkan penolakan ekspor bahan pertanian dan makanan, juga membahayakan
kesehatan masyarakat Indonesia. USFDA mensyaratkan kandungan aflatoksin (general)
maksimum 20 ug/kg ( 20 ppb) untuk semua bahan makanan dan makanan.
Aflatoksin merupakan metabolit skunder toksik yang dihasilkan oleh A. flavus
dan A. parasiticus. Aflatoksin dapat digolongkan menjadi aflatoksin B (flouresen biru)
dan Aflatoksin G (flouresen hijau) serta derivatnya. Jenis-jenis aflatoksin antara lain
aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Heathcote dan Hiebbert (1978), menyatakan aflatoksin B1
mengandung cicin siklopentenon, sedangkan aflatoksin G1 mengandung cicin lakton
tidak jenuh (Gambar 1). Cincin siklopentenon pada Aflatoksin B1 dan cicin lakton pada
G1 berbeda pada sistem kaumarin dengan model senyawa 5,7-dimetkosiklopentenon (2,3)
kaumarin. Sifat fisikokimia aflatoksin disajikan pada Tabel 1.
Aflatoksin memiliki titik lebur antara 246-2990C, sehingga tidak rusak selama
proses pemasakan. Aflatoksin juga tidak terurai dalam sistem pencernaan manusia dan
hewan, sehingga akumulasi paparan aflatoksin pada jangka panjang dapat menyebabkan
penyakit kronis.. Makanan terkontaminasi aflatoksin pada kadar rendah apabila
dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker hati dan ginjal pada hewan
dan manusia (FAO, 1997).
Penyakit akut akibat mengkonsumsi jagung terkontaminasi aflatoksin 0,25 – 15
mg/kg pada manusia pernah terjadi di India tahun 1974, dari 379 orang yang terjangkit,
108 meninggal dunia. Kejadian fatal akibat aflatoksikosis juga terjadi di Kenya tahun
1982, hasil survey di 20 rumah sakit menunjukan 60% angka kematian, diperkirakan
setiap hari aflatoksin yang dikonsumsi 38 ug/kg berat badan (Chinaputi, 2003). Media
9
Kompas memberitakan di Malyasia tahun 2000 terjadi kematian 12 anak akibat
mengkonsumsi kacang tanah yang terpapar aflatoksin B1.
Tabel 1. Jenis dan sifat fisikokimia aflatoksin
Jenis
aflatoksin
Rumus
molekul
Berat
molekul
Panjang
Gelomb
ang
Titik lebur
B1
B2
G1
G2
M1
M2
C17 H12 O6
C17 H14 O6
C 17 H12 O7
C17 H14 O7
C17 H12 O7
C17 H12 O7
312
314
328
330
328
330
425
425
450
450
425
425
276oC
280 – 289oC
244 – 246oC
237 – 240oC
299oC
293oC
Sumber : Heathcote dan Hibbert (1978); Saad (2001).
Aflatoksin B2 dan G2 merupakan dehidrasi aflatoksin B1 dan G1, sedangkan
aflatoksin M1 dan M2 merupakan derivat hidroksilasi dari aflatoksin B1 dan B2.
Aflatoksin B1 memiliki sifat paling beracun dan mengakibatkan hepatotoksik dan
karsinogenik pada hewan dan manusia (FAO, 1997).
2.3..Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Aflatoksin
Pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin dipengaruhi oleh interaksi antara
kapang, tanaman inang dan lingkungan. Kombinasi dari faktor-faktor ini menentukan
infestasi dan jumlah koloni pada substrat, tipe dan jumlah aflatoksin yang dihasilkan
(Saad, 2001). Bankole (1998) melaporkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
produksi aflatoksin di antaranya adalah komposisi substrat, keasaman, waktu inkubasi,
suhu, oksigen, kadar air dan kelembaban.
Substrat alami yang cocok untuk pertumbuhan kapang A. flavus dan
A. parasiticus dalam pembentukan aflatoksin adalah kacang tanah dan seralia seperti
barlei, jagung, biji kapas, beras, gandum dan produk olahannya (Goto, dkk., 1999;
Kurata, 1978). Aibara (1978) melaporkan bahwa konsentrasi aflatoksin pada kacang
tanah dan seralia di beberapa negara seperti Brazil, Uganda, Afrika Utara, Amerika
Serikat dan India lebih dari 1 ppm. Goto dkk. (1999) meneliti kontaminasi aflatoksin
pada beberapa komoditi pertanian di Jawa dan Bali. Hasil penelitian ini menunjukan
10
bahwa kacang tanah paling tinggi terkontaminasi aflatoksin dibandingkan komoditi
lainnya dengan konsentrasi aflatoksin 6 ppm
Heathcote dan Hibbert (1978) menyatakan produksi aflatoksin dari A. flavus dan
A. parasiticus pada media Czapek dox ditambahkan glukosa amonium nitrat (GAN) dan
mineral seperti Seng 0,4 g/liter dapat memproduksi aflatoksin secara maksimum.
Sumber karbon dari glukosa dan sukrosa yang diperlukan oleh kedua kapang ini untuk
memproduksi aflatoksin dua kali lebih banyak dibandingkan dengan sumber karbon
lainnya seperti fruktosa.
Peranan mineral seperti magnesium, molibdenum, seng dan besi cukuppenting.
Pengurangan magnesium dan seng mengakibatkan produksi aflatoksin berhenti
(Heathcote dan Hibbert, 1978). Substrat lain seperti asam amino aspartat, glisin, glutamat
dan nitrogen merupakan suplemen yang cocok untuk produksi aflatoksin secara optimum.
Heathcote dan Hibbert (1978) menyatakan penyinaran menunda pem-bentukan
aflatoksin, sebaliknya tanpa penyinaran terjadi peningkatan aflatoksin pada suhu 24o C
dengan pH awal 4.0. Produksi toksin pada medium Czapek dox agar meningkat 26 kali
pada pH awal 4.0 dibandingkan pada pH awal 7.0.
Suhu optimum untuk produksi toksin oleh A. flavus adalah 25oC, sedangkan A.
parasiticus pada suhu 25oC – 30oC dengan masa inkubasi 7-15 hari. Penurunan suhu dari
28oC menjadi 15oC menyebabkan penurunan aflatoksin secara cepat, sedangkan pada
suhu 8oC tidak terjadi pembentukan aflatoksin dan sedikit terdeteksi pada suhu 37 oC
(Heathcote dan Hibbert, 1978)
Kelembaban merupakan faktor penting bagi pertumbuhan A. flavus dan A.
parasiticus serta produksi aflatoksin. Kelembaban relatif (RH) optimum untuk kapang
adalah 85% atau lebih besar (Fardiaz, 1989). Heathcote dan Hibbert (1978) menyatakan
RH terendah untuk pembentukan aflatoksin adalah 83%, dengan hasil meningkat di atas
RH tersebut sampai RH 99% dan peningkatan secara nyata terjadi pada RH 97-99% pada
suhu 25-30oC
Tanaman kacang tanah dan jagung di lapangan yang stres akibat kekeringan, suhu
tinggi dan kerusakan akibat serangga pada umumnya menentukan infestasi kapang dan
11
produksi aflatoksin. Disamping itu pertumbuhan tanaman yang miskin unsur hara,
kerapatan tanaman tinggi, kompetisi dengan tanaman liar serta pertumbuhan kapang dan
bakteri lain mempengaruhi infestasi kapang dan produksi aflatoksin (Saad, 2001).
2.4. Pengendalian dan detoksifikasi Aflatoksin
Aibara (1978) menyatakan secara alami sulit untuk memberantas kapang
penghasil aflatoksin di lapangan, karena pemberantasan hanya akan merusak ekosistem.
Strategi pengendalian secara umum pada saat pra panen adalah dengan mengelola
serangan insekta, rotasi tanaman dan residu tanaman serta mengelola kondisi tanah dan
pengairan (Lopez-Garcia et al, 2001). Faktor penting yang harus diperhatikan pada saat
panen adalah waktu panen, sortasi dan pengeringan (Winarno, 1987), sedangkan strategi
pengendalian pasca panen dan dekontaminasi mikotoksin dapat dilakukan dengan cara
fisika, inaktivasi secara kimia dan cara biologis (Larson, E. 2001).
Penggunaan bahan kimia untuk detoksifikasi harus dalam batasan yang
dipersyaratkan dan tidak boleh ada residu toksik serta penurunan nilai nutrisi. Bakole
(1998) menyatakan dekontaminasi aflatoksin pra dan pasca panen dengan tujuan
detoksifikasi dapat dilakukan dengan pemberian garam-garam amonium untuk mencegah
resiko terhadap kesehatan. Penelitian penggunaan bahan kimia dengan amonia juga
dilaporkan oleh Saad (2001) yang membuktikan bahwa proses amoniasi merupakan
metode efektif untuk detoksifikasi aflatoksin yang mengakibatkan hidrolisis pada cincin
lacton dan mengkonversi aflatoksin B1 menjadi sejumlah metabolit yang menurun
toksisitasnya. Ada tiga tipe bahan kimia yang dipergunakan sebagai inaktivator yaitu
agen pengoksidasi, asam dan basa (Heathcote dan Hibbert, 1978). Aflatoksin memiliki
ikatan rangkap terminal pada cicin dihidrofuran seperti aflatoksin B1, G1 dan M1,
sedangkan aflatoksin B2, G2 dan M2 tidak memiliki ikatan rangkap sehingga lebih resisten
terhadap oksidasi.
Penggunaan solven seperti aseton, heksana dan air dapat mengurangi kadar
aflatoksin pada kacang tanah dan tepung kacang tanah, tetapi komponen lain yang
terlarut dalam minyak ikut mengalami pengurangan. Penurunan kadar aflatoksin
mencapai 0,03 ppm menggunakan solven aseton dan air pada biji kapas dan kacang tanah
(Herman. and Walker. 2001).
12
Ozon, O2 dan H2O2 merupakan agen detoksifikasi aflatoksin. Deozonisasi
merusak aflatoksin B1 dan aflatoksin G1 pada suhu 100oC selama 1 jam dan tidak
menurunkan aflatoksin B2a. Asam amino lisin dan nilai ratio efisiensi protein (PER) juga
tereduksi. Agen pengoksidasi yang baik untuk semua jenis aflatoksin adalah H2O2
(Lopez-Garcia, et al, 2001). Heathcote dan Hibbert (1978) memperlakukan cairan
suspensi pada kernel kacang tanah yang mengandung 90 ppm aflatoksin dengan 6% H2O2
pada pH 9.5 selama 30 menit pada suhu 80oC. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
97% toksin dirusak dan kernel kacang tanah tersebut setelah diberikan pada itik tidak
beracun.
Penggunaan basa organik dan anorganik cukup efisien dan tidak mahal untuk
mengurangi kadar aflatoksin yang mengkontaminasi berbagai komoditi pertanian.
Penggunaan Kalsium hidroksida pada komoditi berminyak umumnya untuk mengurangi
gum, asam lemak bebas dan pigmen yang larut dalam basa (Lopez-Garcia et al., 2001).
Penggunaan agen alkali seperti Kalsium hidroksida juga dapat menurunkan aflatoksin
pada kopra, kacang tanah dan tepung biji kapas (Heathcote dan Hibbert, 1978). Duniaji
dkk (2003) menyatakan pemberian kalsium hidroksida 0,8% dalam perendaman kacang
tanah selama 3 jam dapat menurunankan populasi Aspergillus flavus sebesar 99, 9
%.Hasil penelitian Duniaji dan Subarjiati (2002) juga menunjukkan terjadinya penurunan
kadar aflatoksin B1 pada biji kacang tanah yang direndam dengan kalsium hidroksida
yaitu dari 50,10 ppb menjadi 20,08 ppb atau penurunan hampir mencapai 110%.
Keracunan aflatoksin pada beberapa hewan dapat dicegah dengan menggunakan
adsorban NovaSil atau “hidrated sodium calcium Aluminosilicate” (HSCAS) yang
mempunyai kapasitas dan afinitas tinggi untuk menurunkan aktifitas biologi aflatoksin.
Granula karbon aktif, tanah liat dan zeolit juga mampu mengikat aflatoksin yang
melewati gastro Intestinal (GI) pada saluran makanan (Lopez-Garcia, et al., 2001; Saad,
2001).
Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi A. flavus dan
kontaminasi aflatoksin adalah 1). Penggunaan varietas yang tahan Aspergillus flavus. 2).
Manipulasi lingkungan tumbuh, 3). Pengairan pada stadium produktif, 4). Inokulum
bakteri asam laktat (L.delbruekii beijerinck, L. fermentum beijerinck) mampu menekan
13
pertumbuhan aspergillus flavus dan menurunkan aflatoksin B1 secara kuantitatif
(Lunggani, 2002)
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan di dalam pengendalian aflatoksin
adalah (1) mencegah serangan kapang dengan mengendalikan kontaminasi tanaman di
lapangan, pengendalian cara panen, penyimpanan dan sortasi tanaman terkontaminasi, (2)
detoksifikasi pada makanan melalui ekstraksi toksin dan destruksi toksin. Destruksi
toksin antara lain dengan perlakuan panas, biologi dan kimiawi (Bankole and Adebanjo,
2003b).
Aflatoksin diketahui tidak terdegradasi selama fermentasi, tetapi tidak ditemukan
toksin pada fraksi alkohol setelah dilakukan destilasi. Aflatoksin ditemukan
terkonsentrasi pada bagian biji yang tersisa sebagai limbah (Lopez-Garcia, et al., 2001).
Lopez-Garcia dan Park (1998) melaporkan bahwa beberapa khamir ditemukan efektif
merusak mikotoksin, sedangkan Heathcote dan Hibbert (1978) melaporkan penemuan
Ciegler et al. (1966) yang menguji 1000 mikrobia seperti kapang, bakteri, khamir,
aktinomycetes dan algae terhadap kemampuannya mendegradsi aflatoksin B1 dan
aflatoksin G1, yang menemukan satu strain bakteri yaitu Flavobacterium aurantiacum
(N.R.R.L.-B.184) yang dapat mengurangi kadar aflatoksin dalam susu, minyak jagung,
mentega, kacang tanah, jagung dan kedele.
Menurut Albert (2006) penurunan aflatoksin B1 dapat dilakukan secara biologis
yaitu menggunakan bakteri Rhodococcus erythropolis. Dengan menggunakan ekstrak
dari bakteri ini sehingga aflatoksin B1 tedegradasi secara enzimatis.. Variasi suhu
memasak ternyata mampu menurunkan kontaminasi aflatoksin pada beras (Hwang,
2005). Sementara Duniaji et al (2009) menyatakan penggunaan ekstrak bawang putih
pada berbagai pelarut mampu menekan pertumbuhan A. flavus dan produksin aflatoksin
B1.
Dekontaminasi atau detoksifikasi bahan pangan terkontaminasi dapat dilakukan
dengan merusak atau memodifikasi mikotoksin sedemikian rupa sehingga terjadi
penurunan sifat racunnya. Bahan kimia yang sering digunakan diantaranya dari golongan
asam, reagen oksidatif, garam dan basa (amonia, Kalsium hidroksida). Kalsium
14
hidroksida merupakan basa kuat, beberapa bahan kimia yang bersifat basa dapat bereaksi
memecah ( mendegradasi ) aflatoksin secara efektif
Jangka panjang penelitian ini adalah untuk memperoleh bakteri antagonis
indigenus dan bahan biokompetitif yang dihasilkan dalam menghambat pertumbuhan A.
flavus dan mampu menguraikan sifat racun/detoksifikasi aflatoksin B1 yang berpotensi
sebagai penyebab kanker hati maupun ginjal. Penelitian pendukung dan sekuen penelitian
yang sudah dan akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tahun Penelitian Luaran
2002 Isolasi A. flavus dan A.parasiticus serta
deteksi aflatoksin pada makanan
Publikasi pada proseding
Fitopatologi Kedokteran
Cabang Denpasar dengan
Fakultas Kedokteran Unud
2003 Deteksi aflatoksin B1 pada kacang tanah
dengan Metode Enzym Linked
Immunosorbant Assay
Publikasi pada Proseding
Patpi kerjasama dengan
Universitas Brawijaya
Malang
2004 Pengaruh suhu dan masa inkubasi
terhadap pertumbuhan dan produksi
aflatoksin B1
Pola pertumbuhan kapang
dan produksi aflatoksin pada
berbagai suhu dan waktu
penyimpanan.
2009 Reduksi aflatoksin B1 dengan Kalsium
Hidroksida.
Publikasi pada Jurnal Jurnal
Ilmu-ilmu Pertanian. Vol 28.
N0. 1 Maret 2009
2009 Pengaruh ekstrak bawang putih pada
berbagai jenis pelarut terhadap
pertumbuhan A. flavus dan produksi
aflatoksin B1.
Proseding In the International
conference “Biotechnology for
a Sustainable Future” 15-16
Sep 2009 Udayana University
2009 Detection of aflatoxin B1-Induced Cancer
in several fried peanut products.
“3rd Internaional Workshop
on Food Functional Clinical
Research” 19 Sept 2009
2011 Potensi Aspergillus parasiticus dalam
Memproduksi Aflatoksin B1 Pada
Tepung Maizena Selama Penyimpanan
Prosseding in Internasional
Conference of Biotechnology
and Revegetation Universitas
Udayana September 2011
2012-
2014
Detoksifikasi aflatoksin B1 dengan
memanfaatkan mikroba antagonis
indigenus yang diisolasi dari media
tumbuh
Agen hayati (bakteri
antagonis) penghambat A.
favus.
Pengembangan kultur bakteri
indigenus (Jurnal Agritech
UGM)
2015 Identifikasi Bakteri Penghambat Proses jurnal Internasional
15
Aspergillus flavus dari rizosfer tanaman
Jagung dan Uji metabolit skunder
terhadap degradasi Aflatoksin B1.
pada J.Microbilogy and J.
Biosience and Biotechnology.
2016-
2017
Pengembangan kultur bakteri uji dan
ekstrak metabolit biokompetitif
(antibiotik) secara invitro dan in vivo
Produk bakteri potensial dan
pemeliharaannya.
Produk bahan aktif
(antbioik/ensim)
pendetoksifikasi AFB1
(Proses mendapatkan HAKI)
2018 Uji aktivitas Metabolit biokompetitif
(ensim) dalam menhambat pembentukan
sel kanker yang diakibatkan AFB1 pada
hewan coba (tikius)
Pencegahan penyakit kanker
akibat AFB1 dengan ensim.
(Proses mendapatkan HAKI)
Luaran penelitian ini adalah :
1. Memperoleh ekstrak metabolit skunder dari bakteri yang potensial sebagai
pendegradasi aflatoksin B1
2. Publikasi ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi (PATPI dan PERMI) dan
mendesiminasikan hasil penelitian ini kepada masyarakat.
3. Bahan Ajar
4. Memperoleh HKI
16
BAB III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini direncanakan selama tiga (3) tahun dengan tahapan dan target
penelitian sebagai berikut:
3.1. Tempat Penelitian
1. Lab. Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
2. Lab. Bioindustri Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
3. Lab. Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana.
4. Lab, Biokimi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali
3.2. Metode Penelitian
Penelitian in dilakukan dengan mengambil sampel dari rhizosfer tanaman jagung di
sawah petani secara acak di daerah Sanur (RjS), Padanggalak (RjP), Renon (RjR),
Kesiman (RjK) dan Ketewel (RjW), dimana masing – masing sampel yang telah
ditentukan selanjutnya diambil 10 – 20 g sampel rhizosfer tanaman jagung dan di bawa
ke laboratorium analisis mikrobiologi untuk dilakukan isolasi bakteri yang memiliki
potensi sebagai penghambat A. flavus.
Produk metabolit
skunder
pendegradasi
AFB1
Isolasi bakteri dari
rizosfer jagung
Metode tuang dan metode
sebar
Inokulasi,
pemurnian,
peremajaan
Identifikasi,
makroskopis, mikroskopis
dan uji
fisiologis
Uji daya hambat
thp A. flavus
Isolate bakteri Uji
Metode
sumur difusi
Ekstraksi
metabolit
skunder
Bakteri terpilih
Uji daya hambat
thp A. flavus
Metode
sumur
difusi, MIC
dan LD 50
Metode SDS-
PAGE
Karakterisasi
Pofile protein
metabolit
Tahun I
TH II
Uji in vivo
metabolit thp A.flavus pd
jagung
Waktu
penyimpanan
TH
III
17
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dengan cara menampilkan data hasil
penelitian yang disajikan dalam bentuk grafik dan table.
3.2.1. Isolasi Bakteri Antagonis dari rhizoser Tanaman Jagung.
Sampel tanah dari beberapa rhizosfer tanaman jagung (10 g) diambil secara acak
dan dilarutkan dalam air steril 90 ml sampai homogen. Suspensi ini kemudian diencerkan
secara berseri dari 10-2s.d. 10-5. Suspensi dari pengenceran 10-4 dan. 10-5 diambil
sebanyak 1 ml dan diinokulasikan dengan triple layer agar. Agar-air 2% yang telah
disterilkan dituangkan sebanyak 5 ml ke dalam cawan Petri steril (lapis I), kemudian 1 ml
suspensi hasil pengenceran 10-4 dan. 10-5 masing-masing sebayak 1 ml dicampur dengan
5 ml agar-air 2% steril. Kemudian dituangkan diatas lapis I dan lapis II diinkubasikan
pada suhu kamar selama 3-4 hari. Suspensi Aspergillus flavus dipipet sebanyak 1 ml
dicampur dengan 5 ml media potato dextrose agar (PDA) steril kemudian dituangkan
diatas lapis II. Biakan ini diinkubasi pada suhu kamar selama 4-5 hari. Bakteri yang
tumbuh dengan memperlihatkan zona hambatan diisolasi dan ditumbuhkan pada media
PDA dan selanjutnya diuji dengan metode duel culture.
3.2.2. Uji Aktivitas Bakteri terhadap A. flavus secara in vitro
Isolat A. flavus diambil dengan coke borer (diameter 5 mm) kemudian
ditumbuhkan pada media PDA pada cawan petri berhadap-hadapan dengan bakteri
terpilih dengan jarak ± 3 cm. Biakan ini diinkubasi pada suhu kamar selama 5 hari pada
tempat gelap. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai pertumbuhan koloni patogen
terhenti. Daya hambat masing-masing isolat bakteri terpilih tersebut diukur dengan
membandingkan luas perlakuan control
Luas koloni control – koloni perlakuan
Daya hambat = x 100%
Luas koloni kontrol
1.2.3. Identifikasi bakteri terpilih yang potensial sebagai penghambat A. flavus
1. Pewarnaan Gram (Fardiaz, 1993 dalam Dewata, 2010)
Pewarnaaan Gram bertujuan untuk membedakan bakteri Gram positif dan Gram
negatif yang disebabkan oleh perbedaan dalam lapisan dinding selnya. Pada bakteri
18
Gram positif, 90% dari dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan sedangkan
pada bakteri Gram negatif hanya 5-20% dari dinding selnya terdiri dari
peptidoglikan.
Satu jarum ose isolat diteteskan pada gelas objek kemudian difiksasi diatas nyala
api. Diteteskan kristal violet dan didiamkan selama 2 menit lalu dibilas dengan air
mengalir dengan posisi miring. Selanjutnya ditetesi dengan larutan lugol dan
didiamkan selama 1 menit lalu dibilas dengan air mengalir pada posisi miring.
Diteteskan alkohol 95% untuk menghilangkan warna dan dibilas dengan air
mengalir. Ditetesi dengan larutan safranin dan didiamkan selama 5 detik lalu dibilas
kembali dengan air mengalir dengan posisi miring dan dikeringkan.
2. Pengamatan Morfologi Bakteri (Fardiaz, 1993 dalam Dewata, 2010)
Setelah dilakukan pewarnaan Gram dilanjutkan dengan pengamatan morfologi
bakteri dibawah mikroskop. Gelas objek tersebut diamati dibawah mikroskop cahaya
dengan pembesaran 1000 kali. Apabila sel-sel bakteri tersebut berwarna ungu
kebiruan disebut bakteri Gram positif dan bila ungu kemerahan atau merah muda
disebut bakteri Gram negatif. Selain itu, diamati bentuk dari sel apakah berbentuk
batang atau bulat.
3. Uji Katalase (Fardiaz, 1993 dalam Dewata, 2010)
Pengujian katalase dilakukan dengan meneteskan larutan H2O2 3% diatas gelas objek,
kemudian sebanyak 1 ose isolat diteteskan diatasnya. Hasil pengujian negatif ditandai
dengan tidak adanya gelembung gas.
4. Identifikasi Bakteri dengan Oxoid Microbact GNB Kit
Bakteri yang akan digunakan untuk identifikasi terlebih dahulu di murnikan ke dalam
media NA dan dibiakkan selama 24 jam. Identifikasi bakteri dilakukan dengan Oxoid
Microbact GNB Kit. Prosedur kerja untuk identifikasi isolat bakteri tersebut adalah:
1. Diambil 1 koloni bakteri yang berumur 24 jam dan larutkan kedalam 3
1. ml larutan saline
2. Ditambahkan 100μl suspensi bakteri ke setiap lubang pada Microplate
3. Ditambahkan 2 tetes Mineral Oil ke lubang-lubang yang berwarna hitam
4. Ditutup seal dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35°C
19
5. Dilakukan pemindahan dan tambahkan reagen indole pada well no.8/12A
sebanyak 2 tetes dan amati setelah 2 menit, reagen VP pada well no.10/12A
sebanyak 1 tetes pada masing-masing VP I dan VP II dan amati setelah 15 – 30
menit, reagen TDA pada well no.12/12A sebanyak 1 tetes dan diamati segera
setelah diteteskan, dan tambahkan reagen nitrate pada well no.7/12A apabila
ONPG positif.
6. Perubahan warna diamati dan catat skor berdasarkan perubahan warna tersebut
7. Dimasukkan nilai / skor tersebut pada program Software Microbact 2000 dan
8. Dilakukan pencatatan terhadap identitas bakteri tersebut.
20
IV. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
4.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengisolasi Bakteri dari Rhizosfer Tanaman Jagung yang memiliki potensi
sebagai penghambat pertumbuhan A. flavus
2. Menguji daya hambat isolat bakteri hasil isolasi dari Rhizosfer Tanaman
Jagung terhadap pertumbuhan A. flavus
3. Melakukan identifikasi terhadap isolat bakteri terpilih yang paling potensial
sebagai penghambat A. flavus secara mikroskopis dan uji fisiologis
4. Memperoleh isolat bakteri unggul sebagai penghambat pertumbuhan A. flavus.
4.2. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini memberi manfaat dalam pengembangan IPTEKS di bidang
mikrobiologi dan Bioteknologi dalam pemanfaatan jasa mikroba dan
metabolitnya untuk mengendalikan cemaran mikroba patogen dan toksin yang
di hasilkan.
2. Penelitian ini dapat memberi manfaat di bidang IPTEKS sebagai solusi
pengendalian menggunakan bahan kimia dengan kemungkinan munculnya
residu bahan kimia dan pengendalian secara hayati yang ramah lingkungan yang
efektif dan efisien.
.
21
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Isolat Bakteri dari Rhizosfer Tanaman Jagung
Hasil penelitian menunjukankan bahwa ditemukan 14 jenis bakteri yang dapat
diisolasi dari rhizosfer tanaman jagung di beberapa lokasi budidaya jagung seperti Lokasi
Sanur (RJS), Lokasi Padanggalak (RJP), Lokasi Renon (RJR), Lokasi Kesiman (RJK), dan
Lokasi Ketewel (RJW). Pada Gambar 1 disajikan hasil isolasi bakteri dari rhizosfer
tanaman jagung.
Gambar 1. Isolasi Bakteri dari Rhizosfer Tanaman Jagung.
Bakteri hasil isolasi selanjutnya dikelompokan berdasarkan bentuk, dan ukuran
koloni dan selanjutnya dimurnikan. Hasil penelitian ditemukan sebanyak 14 jenis isolat
bakteri. Beberapa isolat bakteri yang diisolasi dari rhizosfer tanaman jagung disajikan pada
Gambar 2.
RJS RJP RJR RJK RJW
Gambar 2. Isolat Bakteri dari Rhizosfer Tanaman Jagung. RjS = Isolat bakteri rhizosfer
lokasi lokasi Sanur, RjP = Isolat bakteri rhizosfer lokasi Padanggalak, RjR =Isolat bakteri
rhizosfer lokasi Renon, RjK=Isolat bakteri rhizosfer lokasi Kesiman, RjW = Isolat bakteri
rhizosfer lokasi Ketewel
5.2. Daya Hambat Isolat Bakteri Terhadap A. flavus
Hasil penelitian menunjukan bahwa bakteri terpilih hasil isolasi dari rhizosfer
tanaman jagung setelah dilakukan uji duel kultur terhadap A.flavus ditemukan 14 jenis
22
isolat bakteri yang berpotensi sebagai penghambat A. flavus. Daya hambat isolat bakteri ini
bervariasi dalam melawan A. flavus dengan mengukur data zona hambatan sehingga
dihasilkan data persentase hambatan. Pada Tabel 1 dan Gambar 3 dapat dilihat persentase
daya hambat masing-masing isolat bakteri melawan A. flavus.
Tabel 1. Persentase daya hambat isolat Bakteri dari rhizosfer Tanaman Jagung
melawan A. flavus.
No Isolat akteri Daya Hambat (%)
1 RjS1 85.00
2 RjS2 97.00
3 RjS3 83.00
4 RjP1 84.25
5 RjP2 84.50
6 RjP3 87.00
7 RjR1 53.00
8 RjR2 66.40
9 RjR3 67.00
10 RjK1 44.00
11 RjK2 64.56
12 RjW1 53.30
13 RjW2 65.00
14 RjW3 66.50
23
Gambar 3. Daya hambat masing-masing Isolat Bakteri dari Rhizosfer Tanaman Jagung
5.3. Identifikasi Isolat Bakteri Terpilih
Hasil penelitian menunjukan bahwa ditemukan tiga isolat bakteri terpilih yang
potensial dalam mengendalikan pertumbuhan A. flavus. Ke tiga isolat tersebut termasuk
gram negative, dan katalase positif. Hasil identifikasi menggunakan mikrotab test kit
menunjukan bahwa ketiga isolat masing-masing isolat RJS1, RJS2 dan RJP3 memiliki
karakteristik seperti pada Tabel 2,3 dan Tabel 4.
Tabel 2. Karakteristik Isolat RJS1 dari rhizosfer Tanaman Jagung
Reaksi oksi
dase
Motili
ty
Nitra
t
Lisin Orni
tin
H2S Gluko
sa
Manit
ol
Xyolo
sa
ONP
G
Indole Urea
se
VP Sitr
at
TDA
Hasil 4 2 1 4 2 0 0 0 1 4 0 1 4 2 0
Index reaksi 4 2 1 4 2 1 4 2 1 4 2 1 4 2 1
Jumlah
reksi positif
7 6 1 5 6
KONTROL RJS1 RJS2 RJS3 KONTROL
RJP1 KONTROL
RJP3 KONTROL
RJP2 KONTROL
RJK1 KONTROL
RJK2 KONTROL
RJW1 KONTROL
RJW2 KONTROL
KRJW3 KONTROL
KRJR3 KONTROL
RJR2 RJR1
24
Tabel 2 menunjukan bahwa hasil identifikasi isolat RJS1 dari rhizosfer tanaman
jagung dengan kode 76156 teridentifikasi spesies yang ditemukan adalah Enterobakter
gergoviae dengan percentase probability 98.01 persen.
Tabel 3. Karakteristik Isolat RJS2 dari rhizosfer Tanaman Jagung
Reaksi oksi
dase
Motili
ty
Nitra
t
Lisin Orni
tin
H2S Gluko
sa
Manit
ol
Xyolo
sa
ONP
G
Indole Urea
se
VP Sitr
at
TDA
Hasil 4 0 1 4 0 1 4 0 1 4 0 0
Index reaksi 4 2 1 4 2 1 4 2 1 4 2 1 4 2 1
Jumlah
reksi positif
5 5 5 4
Tabel 3 menunjukan bahwa hasil identifikasi isolat RJS2 dari rhizosfer tanaman
jagung dengan kode 5554 teridentifikasi spesies yang ditemukan adalah Klebsiella
pneumonia dengan percentase probability sebesar 94.57 persen.
Tabel 4. Karakteristik Isolat RJP3 dari rhizosfer Tanaman Jagung
Reaksi oksi
dase
Motili
ty
Nitra
t
Lisin Orni
tin
H2S Gluko
sa
Manit
ol
Xyolo
sa
ONP
G
Indole Urea
se
VP Sitr
at
TDA
Hasil 0 0 0 0 0 1 4 0 1 4 2 1
Index reaksi 4 2 1 4 2 1 4 2 1 4 2 1 4 2 1
Jumlah
reksi positif
0 1 5 7
Tabel 4 menunjukan bahwa hasil identifikasi isolat RJP3 dari rhizosfer tanaman
jagung dengan kode 0157 teridentifikasi spesies yang ditemukan adalah Enterobakter
agglomerans dengan percentase probability sebesar 93.35 persen.
25
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil Penelitian menunjukan bahwa ditemukan 14 jenis bakteri dari hizosfer
tanaman jagung yang berpotensi dapat melawan A. flavus. Isolat bakteri tersebut setelah
dilakukan uji daya hambat ditemukan persentase daya hambat berkisar antara 44.00-
97.00 persen Hasil identifikasi ditemukan 3 isolat bakteri yang memiliki persetase daya
hambat tertinggi diantaranya adalah Klibsiella pneumonia, Eterobacter gergoviae dan E.
agglomerans. persentase daya hambat Klibsiella pneumonia, Eterobacter gergoviae dan
E. agglomerans melawan A. flavus masing-masing adalah 97.00 persen, 85.00 persen dan
87.00 persen
26
DAFTAR PUSTAKA
Albert, J.F. 2006. Biological degradation of aflatoxin B1 by Rhodococcus erythropolis.
www.elsevier.com/locate/ijfoodmicro
Aibara, K.I. 1978. Aflatoksin Investigation Traditional Food and Imported Food Stuff in
Japan. National Institute of Health, Kamihasashi, Shigawa Tokyo Japan.
Kendansha Ltd Japan. 276 p
Bankole, S.A.1998. Postharvest Fangal deterioration of Melon seeds and its Control. PhD
Thesis, University of Ibadan, Ibadan, Nigeria (p.219)
Bankole, S.A and Adebanjo.A. 2003a. Mycotoxin Contamination of Food in West
Afrika: Current Situation and possibilities of Controlling it. Journal of
Biotechnology, 2(9), 254-263
Bankole, S.A and Adebanjo. A. 2003b. Aflatoxin Contamination of dried Yam Chips
Marketed in Nigeria. Tropical Science, 43(3/4), 201-203.
Bankole, S.A. and Mabekoje, O.O. 2004. Occurent of aflatoxins and Fumonisins in
Preharvest Maize from sourtwestern Nigeria. Food additive and Contaminants,
21, 251-255.
Boutrip, E. 1977. Prevention of Mycotoxin in Pitachios. Dvision Food qualitya and
Standards Service. FAO Food and Nutrition, Pitachios ’97 Conference, Rome,
Italy. Pp 1-12.
Chinaphuti, A. 2003. Aflatoxins in Peanuts and Peanuts Product. Workshop on Handling
and Measurement of The Quality of Peanut and Peanut Products Held by
Katsersart University, CRSP and USAID in Bangkok Thailand (2003)
Cole, R.J. and J.W. Dorner. 1999. Biologycal Control of Aflatoxin and
CyclopiazonicAcid of Peanuts. Proceeding of International Symposium of
Mycotoxicology 99. Chiba Japan. Pp 70-73
Duniaji, A.S., D.N.Suprapta dan N. Arya. 2002. Isolasi Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus serta Deteksi Aflatoksin Pada Beberapa Jenis Makanan yang
Dipasarkan Di Kota Denpasar. Symposium Patologi. Perhimpunan Patobiologi
Cabang Bali.
Duniaji, A.S dan Subarjiati, I. 2002. Deteksi Aflatoksin dengan Menggunakan Metode
Enzym Linked Immunosorbant Assay (ELISA) Disajikan pada Seminar PATPI
bekerjasama dengan Universitas Brawijaya Malang.
Duniaji A.S, I G P Tengah, O. Pardita. 2009. The influence of garlic extract in various
solvent on the growth of Aspergillus flavus and production of aflatoxin B1.. In the
International conference “Biotechnoly for a Sustainable Future” 15-16 Sep 2009
Udayana University
Duniaji.A.S.. 2009. Pemberian kalsium hidroksida sebagai penghambat pertumbuhan
Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin B1. J.Agritrop (Ilmu-ilmu Pertanian)
Vol 28.(1) hal 46-50
Duniaji, A.S. 2009. Detection of aflatoxin B1-Induced Cancer in several fried peanut
products. “3rd Internaional Workshop on Food Functional Clinical Research” 19
Sept 2009
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Depdikbud. Dikti., PAU. Pangan dan Gisi IPB
Bogor. 249 hal.
27
FAO. 1997. WorldwideRegulation for Mycotoxins for 1995. A Confendium Food and
Nutrition Paper No. 64 Rome. Pp 1-15.
Fenema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker. Inc. New York.
Frazier, W.C. 1967. Food Mycrobiology. Tata MC.Grw. Hill. Publishing Company Ltd.
Bombay-New Delhi.
Goto, T., E.G Erlina, A.S. Satya, S.U. Julius, Y. Ito and S. Nikkami. 1999. Aflatoxin
Contamination ang Fungi Isolated from Indonesia Agriculture Commodities.
Japan International research Centre Ag. Science, Tsukuba Japan. Pp. 211-215.
Heathcote, J.G. dan J.R. Hibbert. 1978. Aflatoxin : Chemical and Biological Aspect.
Elsivier. Scientific PublishingCompany. Amsterdam-Oxford. New York p 3-179.
Herman, J.L. and R. Walker. 2001. Risk Analysis of Mycotoxins by The Joint
FAO/WHO Expert Committee on Food Additive (JECFA). International Program
on Chemical Safety, World Health Organization, Genewa, Switzerland. Pp. 1-12.
Hwang, J.H.2005. Reduction of Aflatoxin B1 contamination in wheat by various cooking.
www.elsevier.com/locate/foodchem.
Jay. JM. 1992. Modern Food Microbiology. Fourth Edition. Chapman
and Hall, Wayne State University
King, A.D., A.D. Hocking and J.L. Pitt. 1979. Dichloran Rose engal Chlorampenicol
Medium for Enumeration and Isolationof Mold from Food.
Appl.Environ.Microbial. 37 : 959-964.
Kurata, H. 1978. Current Scope of Mycotoxin Reserch from The Viewpoint of Food
Mycology. National Institute of Higiene Science, Kamiyoga, Setangu-ku Tokyo
Japan. KendanshaLtd. Japan. Pp 14-54.
Kuswantoro, K. dan S. Sudarmadji. 1988. Proses-proses Mikrobiologi Pangan. PAU
Pangan dan Gizi-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lopez-Garcia, R., D.L.Park and T.D. Philips. 2001. Integrated Mycotoxin Management
Syatem. Dept of Food Science, Louciana state University, Bottom Rouge,
LousianaUnited State. Pp 1-16.
Larson, E. 2001. Minimizing Aflatoxin in Corn. Extention Corn Specialist. Missisipi
State University. Pp 1-15.
Lunggani, A.T. 2002. Kemampuan bakteri asam laktat (L. delbruekii, L. fermentum, L.
flantarum orla jensen) dalam menghambat pertumbuhan dan produksi aflatoksin
B1 dari Aspergillus flavus (Cited 2006 Nop) Available : http//jbptitbpp-gdl-s2-
2002-arina-1679-asam-ITB central Library-GDL.
Maggon,KK; SK Gupta and TA. Venkitasubramanian. 1997. Bioshynthesis of Aflatoxin.
Bacteriological Review p 822-855. Departement of Biochemistry, Vallabhbhai,
Vatel hes Institute, University of Delhi India
Makfoeld, D. 1997. Mikotoksin Pangan, Penerbit Kanisius, PAU pangan dan Gizi
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Mucke, W and C. Lemmen. 1999. Schimelpilze : Vorkommen Gesuheitsgefahren,
Schutzmabnahmen. Veternarmedizinishe Universitat Wein, Universitat Bibiothek.
163p.
Mislivec, P.B., L.R. Benchad and M.A. Cousin. 1999. Yeast and Mold. Confendium of
Methods for The Microbiological Examination of Food. Third Ed. American
Public health Association Washington. 818p.
28
Retno Kawuri. 2012. Pemanfaatan Streptomyces Thermocarboxydus untuk
mengendalikan penyebab penyakit busuk daun pada lidah buaya di Bali. Program
Doktor Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar. 104 hal.
Saad, N. 2001. Aflatoxin Occurred and Health Risk. An Undergraduate Student Cornell
University For The AS625 Class. Animal Science at Cornell University. Pp 1-10.
Weil; C, S, 1975. Tables for confenient calculation of median effective dose ldso or edso
end intruction in their use biometrie; p 249-263.