Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

54
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan farmasi klinis di rumah sakit sangat diperlukan untuk memberikan jaminan pengobatan yang rasional kepada pasien. Penggunaan obat dikatakan rasional jika obat yang digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan pemilihan obat yang tepat (jenis, sediaan, dosis, rute, waktu dan lama pemberian), mempertimbangkan manfaat dan resiko dari obat yang digunakan. Terapi menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Pada sekarang ini tugas dari seorang farmasis tidak hanya sekedar meyediakan obat namun juga memberikan informasi mengenai obat kepada pasien. Hal ini dinamakan sebagai asuhan kefarmasian yang bersifat patient oriented yang pada awalnya adalah drug oriented. Tujuan dari asuhan kefarmasian ini adalah meningkatkan kualitas hidup pasien dimana hal ini dilakukan melalui beberapa pelayanan kefarmasian yang mana tidak hanya mencakup terapi obat (penyediaan obat saja) tetapi yaitu pengambilan keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan obat pada seorang pasien, penilaian kerasionalan penggunaan obat 1

description

laporan PTO

Transcript of Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Page 1: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan farmasi klinis di rumah sakit sangat diperlukan untuk

memberikan jaminan pengobatan yang rasional kepada pasien. Penggunaan obat

dikatakan rasional jika obat yang digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan

pemilihan obat yang tepat (jenis, sediaan, dosis, rute, waktu dan lama

pemberian), mempertimbangkan manfaat dan resiko dari obat yang digunakan.

Terapi menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau

mempertahankan hidup pasien.

Pada sekarang ini tugas dari seorang farmasis tidak hanya sekedar

meyediakan obat namun juga memberikan informasi mengenai obat kepada

pasien. Hal ini dinamakan sebagai asuhan kefarmasian yang bersifat patient

oriented yang pada awalnya adalah drug oriented. Tujuan dari asuhan

kefarmasian ini adalah meningkatkan kualitas hidup pasien dimana hal ini

dilakukan melalui beberapa pelayanan kefarmasian yang mana tidak hanya

mencakup terapi obat (penyediaan obat saja) tetapi yaitu pengambilan keputusan

untuk menggunakan atau tidak menggunakan obat pada seorang pasien,

penilaian kerasionalan penggunaan obat mengenai dosis, rute, dan metode

pemberian, pemantauan terapi obat, penyediaan informasi obat, dan pemberian

konseling kepada pasien.

Pharmaceutical care adalah tanggung jawab langsung seorang apoteker

pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan

mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien.

Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tetapi juga keputusan

penggunaan obat pada pasien.

Konsep asuhan kefarmasian menjadi penting karena meningkatnya biaya

kesehatan dan adverse drug reactions dari obat-obat yang diresepkan. Obat

menjadi lebih mahal, penggunaanya meningkat, biaya kesalahan penggunaan

1

Page 2: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

obat (drug misuse) meningkat, dan efek samping obat. Asuhan kefarmasian

adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab farmasis yang dapat menjamin

terapi optimal terhadap pasien secara individu sehingga pasien membaik dan

kualitas hidupnya meningkat.

Asuhan kefarmasian memiliki fungsi sangat penting dalam kaitannya

dengan terapi obat diantaranya, mengidentifikasi secara aktual dan potensial

masalah yang berhubungan dengan obat, menyelesaikan masalah yang

berhubungan dengan obat dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan

dengan obat. Dengan adanya asuhan kefarmasian, juga sangat bermanfaat dalam

dunia kesehatan diantaranya mendapat pengalaman yang lebih efisien

memantau terapi obat, memperbaiki komunikasi dan interaksi antara farmasis

dengan profesi kesehatan lainnya, membuat dokumentasi kaitan dengan terapi

obat, dapat mengidentifikasi, menyelesaian dan pencegahan masalah yang

berkaitan dengan obat dan jaminan mutu dalam layanan farmasi secara

keseluruhan.

Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai resiko mengalami

masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons

pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat,

Penggunaan obat yang tidak perlu, penggunaan obat-obatan yang berlebihan

dengan indikasi yang tidak sesuai dengan gejala pasien atau disebut juga dengan

polifarmasi. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan pemantauan terapi

obat untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak

dikehendaki.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui keefektifan dan rasionalitas penggunaan obat pada pasien

kejang demam di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo yang

berada di Pulau Laut.

2. Memberikan rekomendasi pengobatan yang tepat pada pasien.

2

Page 3: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masalah Terkait Obat (DRPs)

2.1.1 Definisi Masalah Terkait Obat (DRPs)

Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait

obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang

secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan

(Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).

2.1.2 Klasifikasi Masalah Terkait Obat (DRPs)

Berdasarkan Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification

V5.01) yang termasuk masalah terkait obat adalah sebagai berikut

(Pharmaceutical Care Network Europe., 2006):

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug

Reaction/ADR)

Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek

samping atau toksisitas.

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau

akan memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk

penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat

diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai,

kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan

untuk indikasi yang jelas.

3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis

yang lebih besar atau lebih kecil daripada yang dibutuhkannya.

3

Page 4: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration

problem)

Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak

memberikan/tidak menggunakan obat sama sekali atau

memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.

5. Interaksi obat (Interaction)

Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan

yang bermanifestasi atau potensial.

6. Masalah lainnya (Others)

Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi,

kesadaran yang kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan

yang tidak jelas (memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi

yang tidak diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.

2.2 Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup

kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional untuk

pasien. Kegiatan PTO ini meliputi: pengkajian pemilihan obat, dosis, cara

pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan

rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus

dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode

tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui.

2.3 Penatalaksanaan Pemantauan Terapi Obat

2.3.1 Seleksi Pasien

Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh pasien.

Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah pasien,

maka perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi dapat

dilakukan berdasarkan:

4

Page 5: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

1. Kondisi Pasien

Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga

menerima polifarmasi.

Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.

Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.

Pasien geriatri dan pediatri.

Pasien hamil dan menyusui.

Pasien dengan perawatan intensif.

2. Obat

a. Jenis Obat

Pasien yang menerima obat dengan risiko tinggi seperti:

i. Obat dengan indeks terapi sempit (contoh:digoxin,fenitoin).

ii. Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan

hepatotoksik (contoh: OAT).

iii. Sitostatika (contoh: metotreksat).

iv. Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin).

v. Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh :

metoklopramid, AINS).

vi. Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin).

b. Kompleksitas Regimen

i. Polifarmasi.

ii. Variasi rute pemberian.

iii. Variasi aturan pakai.

iv. Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi)

2.3.2 Pengumpulan Data Pasien

Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data

tersebut dapat diperoleh dari:

a. Rekam medik.

5

Page 6: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

b. Profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat.

c. Wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan

lain.

Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai

pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang dapat

diperoleh dari rekam medik, antara lain: data demografi pasien, keluhan utama,

riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan

obat, riwayat keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium,

diagnostik, diagnosis dan terapi.

2.3.3 Identifikasi Masalah Terkait

Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya

masalah terkait obat. Masalah terkait obat menurut Hepler dan

Strand dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Ada indikasi tetapi tidak dilakukan terapi

Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi

obat tetapi tidak diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua

keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan obat.

b. Pemberian obat tanpa indikasi

Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.

c. Pemilihan obat yang tidak tepat

Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya

(bukan merupakan pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, dan

kontra indikasi.

d. Dosis terlalu tinggi

e. Dosis terlalu rendah

f. Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)

g. Interaksi obat

6

Page 7: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

h. Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab

Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain:

masalah ekonomi, obat tidak tersedia, ketidak patuhan pasien, dan

kelalaian petugas.

Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi

pasien, dan menentukan masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi

akan terjadi. Masalah yang perlu penyelesaian segera harus

diprioritaskan.

2.3.4 Rekomendasi Terapi

Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup

pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi).

b. Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri).

c. Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal).

d. Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi antara

lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis). Pilihan

terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan: efikasi,

keamanan, biaya, regimen yang mudah dipatuhi.

2.3.5 Rencana Pemantauan

Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan

perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan

meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana

pemantauan perlu menetapkan langkah-langkah:

1. Menetapkan parameter farmakoterapi

7

Page 8: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih parameter

pemantauan, antara lain:

a. Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari

allopurinol, aminoglikosida). Obat dengan indeks terapi sempit

yang harus diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoxin).

b. Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen.

c. Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsiginjal

pada pasien geriatri mencapai 40%).

d. Efisiensi pemeriksaan laboratorium.

Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium

dalam darah untuk penggunaan furosemide dan digoxin secara

bersamaan).

Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yangtersedia).

Biaya pemantauan.

2. Menetapkan sasaran terapi (end point )

Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai atau gambaran

normal atau yang disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila

menentukan sasaran terapi yang diinginkan, apoteker harus

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan

diderita pasien (contoh: perbedaan kadar teofilin pada pasien

Penyakit Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan asma).

b. Karakteristik obat

Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian

akan mempengaruhi sasaran terapi yang diinginkan (contoh:

perbedaan penurunan kadar gula darah pada pemberian insulin dan

anti diabetes oral).

c. Efikasi dan toksisitas.

3. Menetapkan frekuensi pemantauan

8

Page 9: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan

penyakit dan risiko yang berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh

pasien yang menerima obat kanker harus dipantau lebih sering dan

berkala dibanding pasien yang menerima aspirin. Pasien dengan

kondisi relatif stabil tidak memerlukan pemantauan yang sering.

Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara

lain:

a. Kebutuhan khusus dari pasien

Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi

ginjal.

b. Karakteristik obat pasien

Contoh: pasien yang menerima warfarin.

c. Biaya dan kepraktisan pemantauan.

d. Permintaan tenaga kesehatan lain.

Data pasien yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO,

tetapi pada kenyataannya data penting terukur sering tidak ditemukan

sehingga PTO tidak dapat dilakukan dengan baik. Hal tersebut

menyebabkan penggunaan data subyektif sebagai dasar PTO. Jika

parameter pemantauan tidak dapat digantikan dengan data subyektif

maka harus diupayakan adanya data tambahan. Proses selanjutnya

adalah menilai keberhasilan atau kegagalan mencapai sasaran terapi.

Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter klinis sesuai

dengan sasaran terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak

tercapai, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan mencapai

sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara lain: kegagalan

menerima terapi, perubahan fisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi

pasien, dan gagal terapi.

Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO

adalah Subjective Objective Assessment Planning (SOAP).

9

Page 10: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

S : Subjective

Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Contoh :

pusing, mual, nyeri, sesak nafas.

O : Objective

Data objektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan.

Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu

tubuh, denyut nadi, kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan

laboratorium dan diagnostik.

A : Assessement

Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk

menilai keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak

dikehendaki dan kemungkinan adanya masalah baru terkait obat.

P : Plans

Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun

rencana yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah.

Rekomendasi yang dapat diberikan:

Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat,

memodifikasi dosis atau interval pemberian, merubah rute

pemberian.

Mengedukasi pasien.

Pemeriksaan laboratorium.

Perubahan pola makan atau penggunaan nutrisi parenteral/enteral.

Pemeriksaan parameter klinis lebih sering.

2.3.6 Tindak Lanjut

Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat

oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait.

Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan

pencapaian tujuan terapi. Informasi dari dokter tentang kondisi pasien yang

menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target terapi yang optimal.

10

Page 11: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan

untuk mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru.

Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidak patuhan pasien dan

kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut pasien harus mendapatkan

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat

sebaiknya:

1. Tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga

kesehatan lain.

2. Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat.

3. Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.

2.3.7 Dokumentasi

Setiap langkah kegiatan pemantauan terapi obat yang dilakukan harus di

dokumentasikan. Hal ini penting karena berkaitan dengan bukti otentik

pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan

akuntabilitas atau pertanggungjawaban, evaluasi pelayanan, pendidikan dan

penelitian. Sistimatika pendokumentasian harus dibuat sedemikian rupa

sehingga mudah untuk penelusuran kembali. Pendokumentasian dapat dilakukan

berdasarkan nomor rekam medik, nama pasien, penyakit, ruangan dan usia. Data

dapat didokumentasikan secara manual, elektronik atau keduanya. Data bersifat

rahasia dan disimpan dengan rentang waktu sesuai kebutuhan. Sesuai dengan

etik penelitian, untuk publikasi hasil penelitian identitas pasien harus

disamarkan.

2.4 Kejang Demam

2.4.1 Definisi dan Klasifikasi Kejang Demam

Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan

sampai dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan

adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intrakranial. Kejang demam

di bagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang

demam kompleks.

11

Page 12: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Tabel 2.1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks

No. Klinis KD sederhana KD kompleks

1 Durasi < 15 menit ≥15 menit

2 Tipe kejang Umum Umum/fokal

3 Berulang dalam satu episode 1 kali >1 kali

4 Defisit neurologis - ±

5 Riwayat keluarga kejang demam ± ±

6 Riwayat keluarga tanpa kejang

demam

± ±

7 Abnormalitas neurologis sebelumnya ± ±

Sebagian besar (63%) kejang demam berupa kejang demam sederhana dan

35% berupa kejang demam kompleks.

2.4.2 Epidemiologi Kejang Demam

Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang

demam tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada

waktu anak berusia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun. Menurut The American

Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bangkitan kejang demam 6 bulan.

Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak.

Berkisar 2%-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan

kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia

di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia

antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam

tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

Di berbagai negara insiden dan prevalensi kejang demam berbeda. Di

Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia

prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan

di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di

kepulauan Mariana (Guam), telah dilaporkan insidensi kejang demam yang lebih

12

Page 13: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

besar, rnencapai 14%. Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat

benigna. Angka kematian hanya 0,64 % - 0,75 %. Sebagian besar penderita kejang

demam sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi epilepsi sebanyak

2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara bermakna mengalami

gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.

2.4.3 Patofisiologi Kejang Demam

Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan

listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron

tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.

Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial

membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.

Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan

istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran

ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran

ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+ dan Ca+

+. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan

mengakibatkan menurunnya potensial membran. Penurunan potensial membran

ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat,

sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah,

perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion

Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.

Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon

lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang

tetap (firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat

secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi.

Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan

perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah

selesai, maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara

Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme

pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.

13

Page 14: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K

misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada

kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan

hipomagnesemia.

c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan

dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang

berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan

menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan

bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan

demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan

lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan

ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan

menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf

meningkat.

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,

jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan

menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin

bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa

hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktivitas motorik dan

hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena

kegagalan metabolisme di otak.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum

matang/immatur.

b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan

gangguan permiabilitas membran sel.

14

Page 15: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan

CO2 yang akan merusak neuron.

d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan

kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan

pengaliran ion-ion keluar masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan

meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)

biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya

kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat

(disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan

selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di

atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi

hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.

2.4.4 Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu:

demam, usia, dan riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat

pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor

perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara

lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).

a. Faktor demam

Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8°C

aksila atau di atas 38,3°C rectal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab,

tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor

utama timbulnya kejang demam berulang. Demam yang disebabkan oleh infeksi

virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam.

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang

kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada

kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu

tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15%,

sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan

15

Page 16: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan

hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus

Kreb normal, satu molekul glukose akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada

keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molekul glukosa

hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan

kekurangan energi, hal ini akan menggangu fungsi normal pompa Na+ dan

reuptake asam glutamat oleh sel. Ke dua hal tersebut mengakibatkan masuknya

ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel.

Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan

permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan

masuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah

dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan

benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan

ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron

sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat

merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa demam

mempunyai peranan untuk terjadi perubahan potensial membran dan

menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang.

Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul bangkitan kejang

demam. Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh

berkisar 38,9°C-39,9°C (40-56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh

37°C-38,9°C sebanyak 11% penderita dan sebanyak 20 % penderita kejang

demam terjadi pada suhu tubuh di atas 40°C. Tidak diketahui secara pasti saat

timbul bangkitan kejang, apakah pada waktu terjadi kenaikan suhu tubuh

ataukah pada waktu demam sedang berlangsung. Kesimpulan dan berbagai basil

penelitian dan percobaan binatang menyimpulkan bahwa kejang terjadi

tergantung dari kecepatan waktu antara mulai timbul demam sampai mencapai

suhu puncak (onset) dan tinggiya suhu tubuh. Setiap kenaikan suhu 0,3°C secara

cepat akan menimbulkan discharge di daerah oksipital. Ada discharge di daerah

oksipital dapat dilihat dari hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhu tubuh

menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat dan menurunkan kadar glutamine

16

Page 17: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan

kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam glutamat

dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator.

Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh

mendadak. Kesimpulan dan uraian tersebut di atas menunjukkan apabila kejang

demam pertama terjadi pada kenaikan suhu tidak mendadak dengan puncak

tidak terlalu tinggi (berkisar 38°C - 40°C) serta jarak waktu antara mulai demam

sampai timbul bangkitan kejang singkat (kurang dari satu jam), merupakan

indikator bahwa penderita tersebut mempunyai nilai ambang terhadap kejang

rendah. Nilai ambang kejang rendah merupakan faktor risiko untuk terjadi

bangkitan kejang demam.

b. Faktor usia

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi 2)

perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi neural, 5)

organisasi, dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai

fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan

mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun pertama paska natal. Sehingga

kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai

mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila

mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi. Fase

perkembangan organisasi meliputi 1) diferensiasi dan pemantapan neuron pada

subplate, 2) Pencocokan, orientasi, pemantapan dan peletakan neuron pada

korteks, 3) Pembentukan cabang neurit dan denrit, 4) pemantapan kontak di

sinapsis, 5) kematian sel terprogram 6) proliferasi dan diferensiasi sel. Pada fase

proses diferensiasi dan pemantapan neuron di subplate. terjadi diferensiasi

neurotransmiter eksitator dan inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator

lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada fase proses pembentukan cabang-

cabang akson (neurit dan denrit), terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak

terpakai. Sinapsis yang dieliminasi berkisar 40 %. Proses ini disebut proses

regresif. Proses tersebut terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila pada masa

proses regresif terjadi bangkitan kejang demam dapat mengakibatkan trauma

pada sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi proses regresif. Apabila

17

Page 18: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

pada fase organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang demam

berulang akan mengakibatkan aberrant plasticity, yaitu terjadi penurunan fungsi

GABA-ergic dan desensitisasi reseptor GABA serta sensitisasi reseptor

eksitator. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat

sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai

inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan

dibanding inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan

neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum

matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus

berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.

Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah

sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan usia, meningkatkan

eksitabilitas neuron. Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang

mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah

matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental window dan rentan

terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibanding inhibitor,

sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat

serangan bangkitan kejang demam pada usia awal masa developmental window

mempunyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural dibanding anak yang

mendapat serangan kejang demam pada usia akhir masa developmental window

. Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak fase eksitabilitas

akan mudah terjadi bangkitan kejang. Developmental window merupakan masa

perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia kurang dari 2

tahun.

Arnold (2000) dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa

sebanyak 4% anak akan mengalami demam kejang, terjadi dalam satu kelompok

usia antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun dengan demam tanpa infeksi

intrakranial, sebagian besar (90%) kasus terjadi pada anak antara usia 6 bulan

sampai dengan 5 tahun dengan kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai

dengan 24 bulan, faktor riwayat keluarga yang positif kejang demam sebanyak

25% dari anak yang mengalami kejang demam. Sepertiga anak akan mengalami

kejang demam, 15% atau lebih akan mengalami kejang demam yang berulang.

18

Page 19: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Faktor resiko yang paling penting adalah usia, sebanyak 50% anak mengalami

kejang demam yang berulang pada usia kurang dari 1 tahun dibandingkan

dengan hanya 20% anak pada usia lebih dari 3 tahun.

Di Mario dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa sebagian

besar kejadian kejang yang dialami oleh anak adalah kejang demam, sebanyak

4% sampai dengan 5% anak pada usia kurang dari 5 tahun yang terjadi di

Amerika dan Eropa. Di negara lain, frekuensi kejang demam dapat lebih tinggi

antara 10% sampai dengan 15%. Penelitian yang dilakukan oleh Talebian

terhadap 100 anak yang mengalami kejang demam pada usia kurang dari 5

tahun mengidentifikasikan bahwa usia anak kurang dari 1 tahun positif

mengalami kejang demam sebanyak 6 anak (54,55%), pada usia antara 1 sampai

dengan 5 tahun positif kejang demam sebanyak 6 anak (15,38%).

c. Faktor riwayat keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan

kejang demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan

paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar

60% -80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah

menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang

demam sebesar 20%-22%. Dan apabila ke dua orang tua penderita tersebut

mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi

bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya apabila

kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pemah menderita kejang demam

maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih

banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27 % berbanding 7%.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bethune et. al di Halifax,

Nova Scosia, Canada mengemukakan bahwa 17% kejadian kejang demam

dipengaruhi oleh faktor keturunan. Hal ini juga di dukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Talebian et. al yang memperoleh hasil bahwa sebesar 42,1%

kejadian kejang demam pada bayi disebabkan oleh riwayat keluarga yang juga

positif kejang demam. Demikian pula diungkapkan oleh Annergers et. al (1987)

pada hasil penelitian yang dilakukannya di Minnesota Amerika pada 687 anak,

dapat dibuktikan bahwa riwayat keluarga kejang demam memicu terjadinya

19

Page 20: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

kejang demam pada anak. Hasil penelitian dewasa ini menunjukkan adanya

pengaruh faktor riwayat keluarga pada insiden kejang demam. Hal ini

dimungkinkan dengan terjadinya frekuensi kejang demam yang meningkat pada

anggota keluarga penderita dengan kejang demam.

2.4.5 Penatalaksanaan Kejang Demam

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien

datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang

paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara

intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan

dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis

maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah

diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal

adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat

badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau

diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis

7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang

demam).

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari

jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor

risikonya.

Pemberian obat pada saat demam

a. Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko

terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia

sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis

parasetamol yang digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari

dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3-4 kali sehari.

Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye

terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam

asetilsalisilat tidak dianjurkan.

b. Antikonvulsan

20

Page 21: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam

menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula

dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5°C. Dosis

tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup

berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat

demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam

21

Page 22: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

BAB III

DATA PENGAMATAN

3.1 Data Pasien

Rekam Medik : 093065

Nama : An. NA

Umur : 2,5 tahun

Berat Badan : 11 kg

Tinggi Badan : -

Agama : Islam

Alamat : Jl. Danau Ranau Raya, Kota Depok

Masuk RS : 21 Maret 2014

Ruangan :P. Laut

3.2 Anamnesis Pasien

Keluhan Utama : Demam

Keluhan Tambahan : Batuk, pilek, kejang

Riwayat Penyakit Sekarang : Demam timbul tiba-tiba, setelah satu hari tak

kunjung turun disertai kejang.

3.3 Pemeriksaan Umum

Keadaan Tss

Kesadaran Compus mentis

Tekanan darah -

Nadi 110x/menit

Suhu 38,5°C

Pernapasan 20x/menit

22

Page 23: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

3.4 Data Laboratorium

3.4.1 Data Laboratorim 20 Maret 2014

Hasil Laboratorium

No. Pemeriksaan lab Normal Hasil

1 Leukosit 5000-10000/µl 9900

2 Eritrosit 4,5- 5,5 juta/mm3 4,88

3Hemoglobin

P :14-16gr/dL

W : 12-16 gr/dL12,1

4Hematokrit

% P : 43-51

%W : 38-4637

5 Trombosit 150 ribu-400 ribu/mm3

282 ri

bu

3.4.2 Data laboratorium 21 Maret 2014

Hasil Laboratorium

No. Pemeriksaan lab Normal Hasil

1 Leukosit 5000-10000/µl 8600

2 Eritrosit 4,5- 5,5 juta/mm3 4,72

3Hemoglobin

P :14-16gr/dL

W : 12-16 gr/dL11,6

4Hematokrit

% P : 43-51

%W : 38-4636

5 Trombosit

150 ribu-400

ribu/mm3

286 rib

u

23

Page 24: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

3.5 Data Rekam Medis

21 Maret 2014

S Demam tinggi, kejang, pilek, batuk

O

TD : -

Nadi : 110x/menit

Suhu : 37,4OC

Pernafasan : 20x/menit

Kesadaran : compus mentis

Pemeriksaan Kimia Laboratorium

A Obs. Febris

Kejang demam sederhana

Faringitis akut

P Infus RL 10 tetes/menit

Injeksi Ceftriaxone 1x1gr

Paracetamol 20 mg

Diazepam 2 mg

Luminal 2x20 mg

Stesolid - rectal (bila kejang)

22 Maret 2014

S Lemah, Batuk, pilek

TD : -

24

Page 25: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

O Nadi : 120x/menit

Suhu : 37,1OC

Pernafasan : 20x/menit

Kesadaran : compus mentis

Pemeriksaan Kimia Laboratorium

A Obs. Febris

Faringitis akut

P Infus RL 10 tetes/menit

Injeksi Ceftriaxone 1x1gr

Paracetamol 20 mg

Diazepam 2 mg

Luminal 2x20 mg

23 Maret 2014

S Tidak demam, pilek, batuk

O

TD : -

Nadi : 120x/menit

Suhu : 36OC

25

Page 26: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Pernafasan : 20x/menit

Kesadaran : compus mentis

Pemeriksaan Kimia Laboratorium

A Masalah teratasi

P Intervensi dihentikan

3.6 Grafik suhu tubuh

20-03-14 21-03-14 22-03-14 23-03-1434.535

35.536

36.537

37.538

38.539 38.5

37.437.1

36

Grafik Suhu

Suhu

tanggal pemeriksaan

Suhu tubuh

26

Page 27: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

3.7 Rekapitulasi Pemberian Obat Pasien

No. TERAPI

NAMA & DOSIS

OBAT

Regimen

21/3/2014 22/3/2014 23/3/2014

Pagi Si So Malam Pagi Si So Malam Pagi Si Sore Malam

CAIRAN INFUS

& DLL

1 Ringer Laktat 10 tts √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - -

OBAT INJEKSI

1 Ceftriaxone 1x1 gr √ √ -

OBAT ORAL

1 Paracetamol3x120

mg√ √ √ √ √ √ √

2 Diazepam 3x2 mg √ √ √ √ √ √ √

3 Luminal 2x20 mg √ √ √ √

27

Page 28: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

3.8 Informasi Obat (MIMS, ISO)

1. Paracetamol

Indikasi : meringankan rasa sakit kepala, sakit gigi, nyeri

setelah operasi, menurunkan demam, antipiretik

dan analgesik.

Mekanisme Kerja : menghambat sintesis prostaglandin pada ssp.

Peringatan : hati-hati pada pasien dengan gangguan gagal

ginjal dan penggunaan jangka panjang pada

pasien anemia.

Kontraindikasi : hipersensitifitas pada paracetamol dan penderita

gangguan fungsi hati.

Efek samping : dosis tinggi menyebabkan kerusakan fungsi hati.

Dosis : <1 tahun 60-120 mg, 1-5 tahun 120 mg-250 mg,

6-12 tahun 250-500 mg, >12 tahun maks 4 gram

sehari.

Interaksi obat : resin penukar anion : kolesteramin menurunkan

aborpsi paracetamol; antikoagulan: penggunaan

PCT secara rutin dalam waktu yang lama mungkin

meningkatkan warfarin.

2. Diazepam

Indikasi : pemakaian jangka pendek pada ansietas atau

insomnia, tambahan pada putus alkohol akut,

status epileptikus, kejang demam dan spasme otot.

Peringatan : dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau

mengoperasi kan mesin, hamil, menyusui, bayi

premature, penyakit hepar dan ginjal, kurangi

dosis pada usia lanjut dan debil, hindari

pemakaian jangka panjang, peringatan khusus

untuk injeksi iv, porfiria.

Kontraindikasi : depresi pernapasan, gangguan hepar berat,

miastenia gravia, insufisiensi pulmoner akut,

28

Page 29: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

kondisi fobia dan obsesi, psikosis kronik,

serangan asma akut, trisemester pertama

kehamilan, tidak boleh digunakan sendiri pada

kondisi depresi atau ansietas dengan depresi.

Efek samping : mengantuk, kelemahan otot, ataksia, reaksi

paradoksikal dalam agresi, gangguan mental,

amnesia, ketergantungan, depresi pernapasan,

kepala terasa ringan hari berikutnya, bingung.

Dosis : oral 2-5mg 3x/hari; inj 5-10 mg IM/IV.

Interaksi obat : kadar plasmasebagian benzodiazpin dinaikkan

oleh fluvoksamin.

3. Ceftriaxone

Indikasi : infeksi gram positif dan negatif pada saluran

napas bawah, saluran kemih, infeksi gonoreal,

kulit, infeksi tulang dan jaringan.

Peringatan : pasien gangguan fungsi ginjal, gangguan sintesa

vitamin K atau mendapat asupan vitamin K

rendah

Kontraindikasi : hipersensitivitas terhadap sefalosporin dan

penisilin, riwayat anafilaksis.

Efek samping : gangguan saluran cerna, reaksi hipersensitivitas,

sakit kepala, nyeri pada tempat injeksi

Dosis : dewasa dan anak >12 tahun sehari 1x1-2 gr

secara IV, dapat dinaikkan sampai 4 gr sehari dgn

interval 12 jam; bayi s/d 14 hari : sehari 1x20-

50mg/kg BB. Bayi 15 hari s/d 12 thn : sehari 1x

20-80 mg/kgBB.

Interaksi obat : aminoglikosida, diuretik.

29

Page 30: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

4. Luminal (Phenobarbital)

Cara Kerja Obat: Fenobarbital adalah antikonvulsan turunan

barbiturat yang efektif dalam mengatasi epilepsi

pada dosis subhipnotis. Mekanisme kerja

menghambat kejang kemungkinan melibatkan

potensiasi penghambatan sinaps melalui suatu kerja

pada reseptor GABA, rekaman intrasel neuron

korteks atau spinalis kordata mencit menunjukkan

bahwa fenobarbital meningkatkan respons terhadap

GABA yang diberikan secara iontoforetik. Efek ini

telah teramati pada konsentrasi fenobarbital yang

sesuai secara terapeutik. Analisis saluran tunggal

pada out patch bagian luar yang diisolasi dari

neuron spinalis kordata mencit menunjukkan bahwa

fenobarbital meningkatkan arus yang diperantarai

reseptor GABA dengan meningkatkan durasi

ledakan arus yang diperantarai reseptor GABA

tanpa merubah frekuensi ledakan. Pada kadar yang

melebihi konsentrasi terapeutik, fenobarbital juga

membatasi perangsangan berulang terus menerus;

ini mendasari beberapa efek kejang fenobarbital

pada konsentrasi yang lebih tinggi yang tercapai

selama terapi status epileptikus.

Indikasi :Kejang umum tonik-klonik; kejang parsial; kejang

pada neonatus; kejang demam; status epileptikus.

pengelolaan insomnia jangka pendek, meredakan

kecemasan dan ketegangan, meredakan gejala

epilepsi

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap barbiturat atau komponen

sediaan, gangguan hati yang jelas, dispnea,

obstruksi saluran nafas, porfiria, hamil.

30

Page 31: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

Dosis : Kejang umum tonik-klonik, kejang parsial, per

oral, DEWASA 60-180 mg saat malam; ANAK

sampai 8 mg/kg sehari; Kejang demam, per oral,

ANAK sampai 8 mg/kg sehari; Kejang neonatal,

injeksi intravena (larutkan 1:10 dengan air untuk

injeksi), neonatus 5-10 mg/kg tiap 20-30 menit

sampai konsentrasi plasma 40 mg/liter. Status

epileptikus, injeksi intravena (larutkan 1: 10 dengan

air untuk injeksi), DEWASA 10 mg/kg dengan

kecepatan tidak lebih dari 100 mg/menit (sampai

dosis maksimal 1 g); ANAK 5-10 mg/kg dengan

kecepatan tidak lebih dari 30 mg/menit.

Peringatan dan Perhatian:  Usia lanjut, lemah-tidak berdaya, anak

(dapat menyebabkan perubahan perilaku), gangguan

fungsi ginjal atau fungsi hati, depresi napas (hindari

jika berat), hindari penghentian mendadak, dapat

menggangu kemampuan melakukan tugas terampil,

contoh mengoperasikan mesin, menyetir.

Efek Samping  :Mengantuk, kelelahan, depresi mental, ataksia dan

alergi kulit, bingung pada orang dewasa dan

hiperkinesia pada anak; anemia megaloblastik(dapat

diterapi dengan asam folat)

31

Page 32: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

BAB IV

PEMBAHASAN

Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup

kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional untuk

pasien. Kegiatan PTO ini meliputi: pengkajian pemilihan obat, dosis, cara

pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan

rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus

dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode

tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui.

Dalam pemantauan terapi obat dilakukan identifikasi masalah terkait obat

dimana kegiatan tersebut meliputi ada indikasi penyakit tetapi tidak dilakukan

terapi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah,

reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan interaksi obat. Setelah hal

tersebut dikaji kemudian dilakukan rekomendasi terapi sehingga pelaksanaan

terapi bisa berjalan efektif.

Pada hari Kamis, 20 Maret 2014 pasien masuk UGD dengan keluhan

demam disertai kejang, batuk, pilek. Kemudian dilakukan pemeriksaan suhu

tubuh dan kondisi vital lainnya, setelah itu diberikan penanganan dengan

pemberian proris syrup dan stesolid rectal apabila timbul kejang lagi, diagnosa

yang diberikan adalah obs. febris.

Pada tanggal 21 Maret, pasien tersebut masuk ke dalam rawat inap Pulau

Laut, hasil laboratorium pasien tersebut menunjukkan kadar hemoglobin dan

hematokrit yang berada dibawah batas normal. Penatalaksanaan yang dilakukan di

Pulau Laut adalah pemberian infus RL, injeksi ceftriaxone, paracetamol,

diazepam dan luminal. Pemberian injeksi ceftriaxone dilakukan pada pagi hari,

alasan digunakannya antibiotik dalam penatalaksanaan ini dimungkinkan karena

febris yang timbul pada pasien belum jelas penyebabnya maka dari itu pemberian

antibiotik spektrum luas diharapkan mampu mengobati demam yang sebagian

besar pada anak disebabkan karena infeksi. Paracetamol diberikan dalam

campuran bersama diazepam menimbulkan interaksi yaitu diazepam akan

32

Page 33: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

menurunkan kadar paracetamol dengan meningkatkan metabolisme paracetamol.

Interaksi tersebut merupakan interaksi minor yang tidak terlalu signifikan.

Pada tanggal 22 Maret 2014, kondisi pasien sudah mulai membaik, suhu

tubuh turun dan sudah tidak timbul demam, namun pasien masih tidak memiliki

napsu makan maka dari itu infus RL dilanjutkan.

Pada tanggal 23 Maret 2014, pasien sudah tidak demam dan napsu makan

sudah kembali normal. Masalah teratasi dan intervensi dihentikan.

Penggunaan obat-obatan pada pasien ini sudah tepat karena pemberian

dilakukan berdasarkan petunjuk pengobatan dari penyakit. Selain itu dosis yang

digunakan juga sudah tepat (MIMS, ISO). Kalaupun ada interaksi pada obat-

obatan yang digunakan, interaksi ini tidak mengharuskan untuk dihindari

pemakaian obat-obatannya melainkan cukup dipantau dari efek yang dihasilkan

atau pemakaian dosisnya saja sehingga penggunaannya tetap aman, efektif,

efisien, serta rasional (Stockley,1994).

33

Page 34: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dilihat dari pemantauan terapi obat pada pasien di Pulau Laut ini,

penatalaksanaan yang dilakukan telah tepat.

Adanya interaksi antara diazepam dan parasetamol merupakan

interaksi minor yang tidak terlalu signifikan.

Penatalaksanaan kejang demam secara cepat dapat dengan

menggunakan stesolid rectal.

Tidak ada perubahan penggunaan obat dalam kasus ini, hanya

perlu dipantau efek dan dosis yang digunakan.

5.2 Saran

Penggunaan diazepam dan paracetamol dipantau efeknya dan

diberi jeda penggunaan untuk mengurangi terjadinya interaksi.

Dilakukannya pemberian informasi terhadap penanganan kejang

demam secara tepat terhadap orang tua pasien.

34

Page 35: Laporan Pemantauan Terapi Obat Hanny

DAFTAR PUSTAKA

Berg AT, Shinnar S. Complex Febrile Seizures. Epilepsia 1996; 37 (2): 126.

Berman RE, Kliegman RM Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. 16 ed.

Philadelphia: WB Saunders Co 2000: 1818-19.

Commission on Epidemiology and Prognosis. International League Against

Epilepsy. Guidelines for epidemiologic studies on epilepsy. Epilepsia

1993; 34: 592-93.

Gunawan., Sulistia G. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi V. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik UI., Jakarta.

Hirtz G D. Febrile Seizure. Pediatrics in Review 1997; 18( 1): 5-8.

ISO Indonesia Volume 47 tahun 2012-2013.

Knudsen FU. Febrile Seizures : Treatment and Prognosis. Epilepsia 2000; 41(1):

2-9.

MIMS Indonesia Edisi 11 tahun 2011/2012.

Okusiaa A, Ishiguro Y, Sofue A, Suzuki Y, Maruyama K, Kubota T. Treatment

and outcome in patients with febrile convulsion associated with

epileptiform discharges on electroencephalography. Brain & Dev 2004;

26: 241-44.

Seki T, Hara M. Clinical aspects of Febrile Convulsions. Asian Med Journal

1993; 36( 10): 533-43.

Stockley, I.H., Drug Interactions, University of Nottingham Medica lSchool,

Nottingham, 1994.FVDCVB

Verity C M, Greenwood R, Golding J. Long term intellectual and behavioral

outcomes of children with febrile convulsions. N Engl J Med 1998; 338:

1723-28.

35