BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Teori Hemodinamik.
1.1 Defenisi Hemodinamik
Hemodinamik adalah pemeriksaan aspek fisik sirkulasi darah, fungsi
jantung dan karakterisitik fisiologis vaskular perifer (Mosby 1998, dalam
Jevon dan Ewens 2009). Pemantauan Hemodinamik dapat dikelompokkan
menjadi noninvasif, invasif, dan turunan. Pengukuran hemodinamik penting
untuk menegakkan diagnosis yang tepat, menentukan terapi yang sesuai, dan
pemantauan respons terhadap terapi yang diberikan (gomersall dan Oh 1997,
dalam Jevon dan Ewens 2009), pengukuran hemodinamik ini terutama dapat
membantu untuk mengenali syok sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan
tindakan yang tepat terhadap bantuan sirkulasi (Hinds dan Watson 1999,
dalam Jevon dan Ewens 2009).
1.2 Tujuan Pemantauan Hemodinamik
Tujuan pemantauan hemodinamik adalah untuk mendeteksi,
mengidentifikasi kelainan fisiologis secara dini dan memantau pengobatan
yang diberikan guna mendapatkan informasi keseimbangan homeostatik
tubuh. Pemantauan hemodinamik bukan tindakan terapeutik tetapi hanya
memberikan informasi kepada klinisi dan informasi tersebut perlu disesuaikan
dengan penilaian klinis pasien agar dapat memberikan penanganan yang
Universitas Sumatera Utara
optimal. Dasar dari pemantauan hemodinamik adalah perfusi jaringan yang
adekuat, seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang
dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan elektro
kimiawi sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamik berupa
gangguan fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat
akan jatuh ke dalam gagal fungsi organ multipel (Erniody, 2008).
1.3 Metode Non Invasif pada Pemantauan Hemodinamik
Menurut (jevon dan ewens, 2009):
1.3.1 Penilaian Laju Pernapasan
Laju pernafasan merupakan indikator awal yang signiikan dari disfungsi
selluler. Penilaian ini merupakan indikator fisiologis yang sensitif dan harus
dipantau dan direkam secara teratur. Laju dan kedalaman pernafasan pada
awalnya meningkat sebagai respons terhadap hipoksia selluler.
a. Frekuensi Pernapasan
- Normal dewasa Respiratory Rate (RR) adalah 12-20 kali / menit.
- RR harus dihitung selama 30 detik.
- Jika RR pasien berada di luar parameter RR dewasa normal maka RR harus
dihitung selama satu menit penuh untuk memastikan akurasi.
- RR harus dihitung sambil meraba nadi radial pasien sehingga pasien tidak
sadar bahwa Anda sedang mengamati mereka.
Universitas Sumatera Utara
- Panggilan Darurat Klinik harus dilakukan jika kebutuhan oksigen meningkat
untuk mempertahankan laju pernapasan pasien.
b. Saturasi Oksigen
- Pulse oximetry mengukur saturasi oksigen dalam darah pasien. Perubahan
saturasi oksigen adalah tanda akhir dari gangguan pernapasan. Awalnya tubuh
akan mencoba dan mengkompensasi hipoksia dengan meningkatkan laju dan
kedalaman pernapasan. Pada saat saturasi oksigen menurun pasien biasanya
sangat terganggu.
- Saturasi oksigen normal adalah antara 95-100%.
- Saturasi oksigen <90% berkorelasi dengan kadar oksigen darah yang sangat
rendah dan membutuhkan tinjauan medis yang mendesak. Jika saturasi oksigen
pasien Anda rendah Anda biasanya akan melihat tanda-tanda lain bahwa pasien
sesak napas seperti peningkatan laju pernapasan dan usaha.
- Panggilan Darurat Klinik harus dilakukan jika kebutuhan oksigen meningkat
untuk mempertahankan saturasi oksigen.
1.3.2 Penilaian Denyut EKG
Denyut yang cepat, lemah dan bergelombang merupakan tanda khas dari
syok. Denyut yang memantul penuh atau menusuk mungkin merupakan tanda
dari anemia, blok jantung, atau tahap awal syok septik. Perbedaan antara
denyut sentral dan denyut distal meungkin disebabkan oleh penurunan curah
jantung dan juga suhu sekitarnya yang dingin. Pematauan EKG merupakan
Universitas Sumatera Utara
metode noninvasif yang sangat berharga dan memantau denyut jantung secara
kontinu. Pemantauan ini dapat memberikan informasi kepada praktisi terhadap
tanda-tanda awal penurunan curah jantung.
1.3.3 Penilaian Haluaran Urin
Urin yang keluar dari tubuh secara tidak langsung memberikan petunjuk
mengenai curah jantung. Pada orang sehat, 25% curah jantung memberikan
perfusi ke ginjal. Ketika perfusi ginjal adekuat, maka urin yang keluar
harusnya lebih dari 0,5 mL/kg/jam. Menurunnya urin yang keluar dari tubuh
mungkin merupakan tanda awal dari syok hipovolemik karena ketika curah
jantung menurun, maka perfusi ginjal juga akan menurun. Jika urin yang
keluar dari tubuh kurang dari 500 mL/hari, maka ginjal tidak mampu
mengekskresikan sisa-sisa metabolisme tubuh, dan jika terjadi dalam waktu
yang lama bisa menyebabkan uremia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.
Pada pasien kritis, gagal ginjal akut biasanya disebabkan oleh perfusi ginjal
yang tidak adekuat yaitu kegagalan prarenal. Apabila diuretik telah diberikan,
misalnya furosemid, maka urin yang keluar dari tubuh tidak dapat membantu
penilain curah jantung. Jika pasien penggunakan kateter, maka pastikan selang
kateter tidak tersumbat atau terpelintir.
1.3.4 Pengukuran Tekanan Darah Arterial
Tekanan darah arterial (arterial blood pressure, ABP) adalah gaya yang
ditimbulkan oleh volume darah yang bersirkulasi pada dinding arteri.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan pada curah jantung atau resistensi perifer dapat mempengaruhi
tekanan darah. Pasien dengan curah jatung yang rendah dapat
mempertahankan tekanan darah normalnya melaui vasokontriksi, sedangkan
pasien dengan vasodilatasi mungkin mengalami hipotensi walaupun curah
jantungnya tinggi, misanya pada sepsis. Tekanan arterial rata-rata (mean
arterial presure, MAP) merupakan hasil pembacaan tekanan rata-rata didalam
sistem arterial juga berfungsi sebagai indikator yang bermanfaat karena dapat
memperkirakan perfusi menuju organ-organ yang esensial seperti ginjal.
Banyak faktor yang mempengaruhi tekanan darah, misalnya nikotin, ansietas,
nyeri, posisi pasien, obat-obatan, dan latihan fisik. Keakuratan pengukuran
tekanan darah juga hal yang sering terlupakan. Faktor yang akurat dalam
pengukuran terkanan darah adalah lebar manset dan posisi lengan. Manset
yang terlalu sempit akan menghasilkan pembacaan tekanan darah yang tinggi
palsu, sedangkan jika manset yang terlalu lebar akan menghasilkan
pembacaan tekanan darah yang rendah palsu. European standart
merekomendasikan lebar manset sebaiknya 40%, dan panjangnya 80-100%
dari lingkar ekstremitas. Posisi lengan harus ditopang pada posisi horizontal
setinggi jantung. Pengaturan posisi yang tidak benar selama mengukur
tekanan darah dapat menyebabkan kesalahan sebesar 10%. Penilaian darah
arterial dapat dilihat melalui denyut nadi, dan tekanan darah (jevon dan ewens,
2009).
a. Denyut Nadi
Universitas Sumatera Utara
- Denyut nadi harus diukur dengan meraba nadi radial pasien.
- Jika Anda tidak dapat mengakses pulsa radial pasien, situs lain dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
- Nadi radial pasien harus dinilai untuk tingkat, irama dan amplitudo (kekuatan).
- Denyut nadi harus dihitung selama 30 detik atau lebih (1 menit) jika ritme tidak
teratur.
- Denyut nadi normal untuk orang dewasa adalah 60-100 bpm.
- Denyut nadi harus dihitung ketika pasien sedang beristirahat (saat istirahat =
tidak ada aktivitas fisik selama 20 menit).
(Sydney South West Area Health Service, 2010)
b. Tekanan Darah
- Dewasa Optimal BP harus <130 mmHg sistolik dan <85mmHg diastolik.
- The sistolik dewasa Tekanan Darah (SBP) harus lebih besar dari 90mmHg. Jika
SBP adalah <90mmHg yang RPAH Clinical Sistem Tanggap Darurat harus
diaktifkan.
- Jika SBP adalah> 200mmHg yang RPAH Clinical Sistem Tanggap Darurat
harus diaktifkan.
- Tekanan nadi dewasa normal (perbedaan antara SBP dan Tekanan Darah
Diastolik (DBP)) adalah antara 30 - 50 mmHg.
(Sydney South West Area Health Service, 2010)
1.3.5 Penilaian Suhu tubuh
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan suhu tubuh dapat menimbulkan kehilangan cairan dan elektrolit.
Dehidrasi hipernatremia (peningkatan Natrium) dapat meningkatkan peningkatan
suhu. Penurunan suhu tubuh dapat diakibatkan oleh hipovolemia, pada
kekurangan cairan yang berat, suhu rektal dapat turun sampai 35 C (Horne dan
Swearingen, 2001).
- Suhu yang akan dinilai sesuai dengan kondisi pasien, alasan untuk masuk atau
sesuai pedoman kebijakan lokal / lainnya.
- Suhu dewasa normal adalah antara 36,5 ° dan 37,5 ° C.
- Minimal, suhu yang akan dinilai dua kali sehari.
(Sydney South West Area Health Service, 2010)
1.4 Prinsip Pemantauan Dengan Transduser
1.4.1 Prinsip-Prinsip Pemantauan Tekanan Vena Sentral
Tekanan vena sentral (central vemous pressure, CVP) mencerminkan tekanan
pengisian atrium kanan atau preload ventrikel kanan dan bergantung pada volume
darah, tonus vaskular, dan fungsi jantung. CVP normal adalah 0-8 mmHg. Hasil
pembacaan CVP yang rendah biasanya menunjukkan hipovolemia, sedangkan
hasil pembacaan CVP yang tinggi memiliki berbagai penyebab, meliputi
hipervolemia, gagal jantung, dan embolisme paru (Jevon dan Ewens, 2009).
1. Indikasi pemakaian kateter vena sentral
Berbagai indikasi untuk pemakaian kateter vena sentral adalah:
1. Resusitasi cairan
2. Pemberian obat can cairan
Universitas Sumatera Utara
3. Pemberian makan secara parenteral.
4. Pengukuran tekanan vena sentral
5. Akses vena yang buruk
6. Pacu jantung
2. Metode pemantauan CVP
Terdapat dua pemantauan CVP:
- Sistem manometer: memungkinkan permbacaan intermitten dan
kurang akurat dibandingkan sistem transduser dan lebih jarang
digunakan.
- Sistem transduser: memungkinkan pembacaan secara kontinu yang
ditampilkan di monitor.
3. Bentuk Gelombang CVP
Bentuk gelombang CVP mencerminkan perubahan-perubahan pada
tekanan atrium kanan selama siklus jantung.
- Gelombang A: kontraksi atrium kanan (gelombang P pada EKG). Jika
kelombang A naik, maka pasien mungkin mengalami kegagalan
ventrikel kanan dan stenosis trikuspid.
- Gelombang C: penutupan katup trikuspid (mengikuti komplek QRS
pada EKG). Jarak dari A-C harus berhubungan dengan PR pada EKG.
- Gelombang V: tekanan yang terjadi pada atrium kanan selama
kontrakasi ventrikel, walaupun katup trikuspid telah tertutup (bagian
Universitas Sumatera Utara
akhir gelombang T pada EKG). Jika gelombvang V naik, maka pasien
mungkin memiliki penyakit katup trikuspid.
4. Pengukuran CVP Normal
Pemantauan CVP secara normal menunjukkan pengukuran sebagai
berikut:
- 5- 10 mmHg mid-aksila
- 7-14 mmH2O mid-aksila
1.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perfusi Jaringan
1.5.1 Curah Jantung
Curah jantung merupakan jumlah darah yang diejeksikan dari ventrikel
kiri dalam satu menit. Pada saat istirahat, jumlahnya sekitar 5000 ml.
Curah jantung diteentukan oleh denyut jantung dan isi sekuncup. Denyut
jantung meliputi aktivitas baroreseptor, efek bainbridge, pireksia, pusat-
pusat yang lebih tinggi, tekanan intrakranial, kadar oksigen dan karbon
dioksida dalam darah. Sekuncup merupakan jumlah darah yang
diejeksikan dari ventrikel kiri dalam satu kontraksi. Saat istirahat
jumlahnya sekitar 70 ml. Isi sekuncup dipengaruhi oleh denyut jantung,
kontraktilitas miokard, preload, dan afterload.
1.5.2 Resistensi perifer
Universitas Sumatera Utara
Resistensi perifer adalah resistensi terhadap aliran darah yang ditentukan
oleh tonus susunan otot vaskular dan diameter pembuluh darah. Otot polos
didalam arteriol dikontrol oleh pusat vasomotor di medulla. Otot ini
berada dalam keadaan kontraksi parsial yang disebabkan oleh aktivitas
saraf simpatis secara kontinu. Peningkatan aktivitas vasomotor
menyebabkan vasokontriksi arteriol sehingga terjadi peningkatan resistensi
perifer. Jika curah jantung tetap konstan, maka tekanan darah akan
meningkat, begitu juga sebaliknya, penurunan aktivitas vasomotor
menyebabkan vasodilatasi dan penurunan pada resistensi perifer.
2 Teori pasca bedah
2.1 Defenisi
Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan teknik
invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani
melalui sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Sedangkan
Pasca pembedahan adalah: suatu keadaan dimana pasien telah dilakukan setelah
pembedahan, umumnya efek pembedahan masih terasa hingga beberapa jam setelah
pembedahan (Susetyowati, 2010).
2.2 Pengkajian Pasca Bedah
Pengkajian Pasca Bedah segera dalam (Brunner dan Suddarth, 2002):
1. Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang dilakukan.
2. Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan napas dan tanda-tanda vital.
Universitas Sumatera Utara
3. Anestetik dan medikasi lain digunakan (misalnya: narkotik, relaksan otot,
dan antibiotik).
4. Segala masalah yang terjadi dalam ruangan operasi yang mungkin
mempengaruhi perawatan pasca bedah.
5. Patologi yang dihadapi (jika: malignansi, apakah pasien atau keluarga sudah
diberitahu)’
6. Cairan yang diberikan, kehilangan darah dan pergantian ciaran.
7. Segala selang, drain, kateter, atau alat bantu pendukung lainnya.
8. Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli anestesi yang akan
diberitahu.
2.3 Komplikasi Pasca Bedah
Menurut (Brunner dan Suddarth, 2002), kompkliasi dari pasca bedah adalah:
2.3.1 Syok
Syok adalah komplikasi pasca bedah yang paling serius. Dimaniestasikan
dengan tidak memadainya oksigenasi selular serta tidak mampu untuk
mengekskresikan produk sampah metabolisme. Syok yang sering terjadi pada
pasien pasca pembedahan adalah syok hipovolemik dan syok neurogenik.
2.3.2 Hemoragi
Hemoragi dikelompokkan menjadi 3 yaitu: Primer, Intermediari, dan
Sekunder. Hemoragi Primer terjadi pada saat pembedahan. Hemoragi intermediari
terjadi selama beberapa jam setelah pembedahan. Ketikan kenaikan tekanan darah
Universitas Sumatera Utara
ketingkat normalnya. Hemoragi sekunder terjadi waktu setelah pembedahan bila
ligatur slip karena pembuluh darah tidak terikat dengan baik atau menjadi
terinfeksi atau mengalami erosi selang drainase.
2.3.3 Trombosis Vena Profunda (TVP)
TVP adalah trombosis pada vena yang letaknya dalam dan bukan
superfisial. Komplikasi serius dari TVP adalah embolisme pulmonari dan
sindrome pascaflebitis.
2.3.4 Embolisme Pulmonal
Suatu embolus adalah benda asing(bekuan darah, udara, lemak) yang
terlepas dari tempat asalnya dan terbawa disepanjang aliran tubuh. Bahaya dari
embolisme pulmonal dapat meyebabkan serangan yang mendadak dan tiba-tiba,
neyri sperti ditusuk-tusuk.
2.3.5 Komplikasi Pernafasan
Komplikasi pernapasan yang mungki timbul adalah hipoksemia yang
mungkin tidak terdeteksi, atelektatis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia
lobaris, kongesti pneumonia hipostatik, pleurisi, dan superinfeksi.
2.3.6 Retensi Urin
Retensi urin dapat terjadi setelah prosedur pembedahan, namun retensi yang
paling sering terjadi pada bagian rektum, anus, dan vagina setelah oembedahan
Universitas Sumatera Utara
pada bagian abdomen bawah. Penyebab terjadinya retensi diduga adalah spasme
springter kandung kemih.
2.3.7 Komplikasi Gastrointestinal
Pembedahan pada traktus gastrointestinal sering kali menganggu proses
fisiologi normal pencernaan dan penyerapan. Komplikasi yang timbul dari
gangguan ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk, tergantung letak dan luasnya
pembedahan.
2.3.8 Psikosis Pasca Bedah.
Psikosis pasca bedah (abnormalitas mental) baik fisiologis maupun
psikologis ketidak seimbangan cairan dan elektrolit dikenal sebagai faktor fisik
stres kerusakan sistem saraf pusat pasca bedah. Faktor emosional seperti
ketakutan, nyeri dan disorientasi dapat menunjang depresi pasca pembedahan dan
ansietas.
2.3.9 Delirium
Delirium pasca bedah terjadi kadang-kadang pada beberapa kelompok
pasien kelompok pasien. Jenis delirium yang sering terjadi adalah delirium toksik,
terumatik, dan putus alkohol.
2.4 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada Pra pembedahan,
pembedahan, dan pasca pembedahan.
Universitas Sumatera Utara
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang
umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor pra
pembedahan, pembedahan, dan pasca pembedahan.
2.4.1 Faktor Pra Pembedahan
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh
stres akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek
diuresis osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan
elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit
dari traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita
demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
Universitas Sumatera Utara
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.
2.4.2 Faktor Saat Pembedahan
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia
preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan
vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan
cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka
operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
2.4.3 Faktor Pasca Pembedahan
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif
Universitas Sumatera Utara