Laporan Nusantara Februari 2015
-
Upload
anang-nugroho-triatmaja -
Category
Documents
-
view
19 -
download
1
description
Transcript of Laporan Nusantara Februari 2015
-
Februari 2015
VOLUME 10 NOMOR 1
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 1
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553
Daftar Isi 3
Kata Pengantar 5
Bagian I Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah 7
Bagian II Perekonomian Sumatera 13
Bagian III Perekonomian Jawa 49
Bagian IV Perekonomian Kalimantan 99
Bagian V Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Bagian V Isu Khusus Daerah 139
Isu Khusus 1: Strategi Pembangunan Infrastruktur Daerah
Isu Khusus 2: Agenda Pembangunan Maritim
139
144
147
150
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 1
Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek dalam proses perumusan kebijakan, termasuk berbagai
dinamika ekonomi dan isu terkini dalam perspektif kedaerahan. Pembahasan menyeluruh mengenai
perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara
periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah
di seluruh Indonesia1 dan/atau Kepala Kantor Perwakilan BI di daerah. Hasil dari pembahasan dimaksud
menjadi bagian penting dalam melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi
dengan berbagai aspek risiko yang berkembang.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan IV 2014 menunjukkan tanda-
tanda pemulihan dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,01%, meningkat dari 4,92% pada triwulan III
2014. Perbaikan kinerja ekonomi di Jawa yang didukung oleh membaiknya aktivitas di sektor industri
pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan perekonomian nasional. Selain itu, membaiknya
perekonomian nasional juga ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Kalimantan dan stabilnya perekonomian
Sumatera. Sementara di KTI, pertumbuhan perekonomian masih tertahan karena kontraksi kinerja
pertambangan yang terjadi di beberapa daerah, kecuali beberapa provinsi di Sulawesi yang tumbuh cukup
tinggi didukung oleh kinerja sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Secara keseluruhan tahun 2014,
perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,03%, lebih rendah
dibandingkan tahun 2013 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi
akibat ketidakpastian dinamika perekonomian global serta ketergantungan yang tinggi sebagian besar wilayah
di Indonesia terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya pada 2014 masih belum membaik.
Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan
kinerja perekonomian masih akan berlanjut meskipun masih dibayangi berbagai risiko, baik dari sisi global
maupun domestik. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera yang ditopang oleh
masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Jawa. Perekonomian di KTI akan didorong oleh perbaikan aktivitas
pertambangan seiring dengan ekspor mineral yang dapat dilakukan kembali. Sementara itu, perekonomian
Jawa masih didukung oleh perbaikan sektor industri pengolahan seiring dengan perbaikan permintaan ekspor
manufaktur. Di sisi lain, perekonomian di Kalimantan diperkirakan cenderung melambat karena terbatasnya
ekspor batubara. Untuk keseluruhan tahun 2015, perbaikan ekonomi nasional diperkirakan terus berlanjut
sebagaimana tercermin pada agregasi prakiraan pertumbuhan ekonomi daerah yang tumbuh dikisaran 5,4-
5,8%, lebih tinggi dibanding tahun 2014. Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber
dari langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan infrastruktur yang
diperkirakan akan mampu mengakselerasi investasi dan belanja pemerintah pada tahun 2015.
Di sisi inflasi, laju inflasi pada triwulan IV-2014 meningkat signifikan yakni tercatat sebesar 8,36% (yoy) pada
Desember 2014, dibanding periode September 2014 yang sebesar 4,53% (yoy). Peningkatan inflasi merupakan
dampak dari implementasi kebijakan reformasi energi pada November 2014 dan berkurangnya pasokan
komoditas cabai merah dan beras. Kendala pasokan akibat pergeseran masa panen dan faktor cuaca yang
menghambat produksi dan distribusi mengakibatkan kenaikan harga cabai merah dan beras di sejumlah
daerah melebihi rata-rata tiga tahun terakhir. Peningkatan inflasi terbesar terjadi di wilayah Sumatera, Jakarta
dan Jawa yang melebihi 8%. Namun, perkembangan inflasi sepanjang 2014 secara umum relatif terkendali
dibandingkan tahun 2013. Hal ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014
dibanding tahun 2013 yang sebesar 8,38%.
Memasuki tahun 2015, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di sebagian
besar daerah. Tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih cenderung rendah
1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 2
seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi BBM disertai prospek
berlanjutnya penurunan harga minyak di pasar internasional dan mulai masuknya masa panen di berbagai
daerah sentra produksi pangan. Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat
masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%1%. Kondisi ini didukung oleh prospek
produksi pangan yang diperkirakan mampu mencatat surplus, kondisi curah hujan yang relatif stabil serta tren
penurunan harga BBM. Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan
tekanan inflasi di 2015 khususnya terkait dengan kesinambungan jumlah pasokan bahan pangan antar waktu
di tengah estimasi surplus pangan secara tahunan. Mempertimbangkan risiko tersebut, ke depan upaya
pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan untuk meminimalkan dampak dari kebijakan administered
prices, pengelolaan pasokan pangan serta berbagai langkah kebijakan yang perlu ditempuh untuk menjaga
ekspektasi masyarakat agar tetap positif.
Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam
buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat isu khusus terkait dengan
agenda pembangunan infrastruktur nasional dan agenda kemaritiman yang menjadi prioritas agenda
pembangunan di era Kabinet Kerja.
Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh beberapa satuan kerja di Bank Indonesia, yaitu
Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter, Departemen Regional I (Sumatera), Departemen Regional II (Jawa),
Departemen Regional III (Kalimantan), dan Departemen Regional IV (Sulampua-Bali-Nustra). Akhir kata, kami
berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati
ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 20 Februari 2015
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 3
PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH
Tanda-tanda pemulihan ekonomi nasional mulai tampak pada di triwulan IV 2014 sebagaimana terindikasi
dari realisasi pertumbuhan ekonomi yang sedikit meningkat dari 4,92% menjadi 5,01%1, terutama didorong
oleh perbaikan kinerja ekonomi Jawa. Perbaikan kinerja ekonomi berbagai daerah di Jawa didorong oleh
membaiknya aktivitas di sektor industri pengolahan sejalan dengan membaiknya kinerja ekspor manufaktur.
Perbaikan kinerja ekonomi juga terjadi di Kalimantan seiring dengan peningkatan aktivitas di sektor
pertambangan meski masih pada level yang rendah karena harga komoditas ekspor yang masih rendah.
Sementara itu, kinerja ekonomi berbagai daerah di Sumatera secara agregat mulai tumbuh stabil ditopang oleh
kinerja perkebunan yang membaik. Sementara itu, kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah timur Indonesia
secara agregat masih tertahan karena kontraksi kinerja pertambangan di beberapa daerah di wilayah timur
Indonesia, seperti di Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Meski demikian, capaian
pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah di Sulawesi secara umum masih cukup tinggi. Sulawesi Barat
bahkan dapat mencatat angka pertumbuhan hingga 10,9%, diikuti oleh Sulawesi Tengah (9,5% dan Gorontalo
(8,2%) didukung oleh kinerja sektor pertanian yang cenderung tumbuh meningkat.
Sumber : BPS, diolah
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 2014
Secara keseluruhan, pada tahun 2014 perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun
sebelumnya. Perekonomian Indonesia pada tahun 2014 tumbuh sebesar 5,03%, lebih rendah dibandingkan
tahun 2013 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi dari dinamika
perekonomian global yang masih diwarnai ketidakpastian yang tinggi. Selain itu, penyesuaian terhadap
1 Badan Pusat Statistik (BPS) mulai menggunakan tahun dasar 2010 dalam menghitung pertumbuhan ekonomi terhitung sejak rilis
pertumbuhan ekonomi Triwulan IV 2014 pada tanggal 5 Februari 2015.
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 4
penerapan kebijakan pengendalian ekspor mineral yang diterapkan pada awal tahun 2015 memerlukan proses
konsolidasi perekonomian daerah-daerah yang menjadi basis produksi tambang mineral. Melambatnya
perekonomian di berbagai daerah juga terkait dengan masih tingginya ketergantungan Sumatera, Kalimantan,
dan beberapa daerah di KTI terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya masih menurun. Beberapa
daerah yang menunjukkan perlambatan ekonomi akibat terbatasnya kinerja sektor berbasis sumber daya alam
(SDA) antara lain Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua. Di tengah melambatnya kinerja ekonomi
di daerah-daerah basis produksi SDA, kinerja daerah yang mengandalkan kinerja manufaktur seperti Jawa dan
Jakarta, serta beberapa daerah di Sulawesi masih relatif tumbuh kuat sehingga dapat menahan perlambatan
ekonomi lebih lanjut.
Sumber : BPS, diolah *Berdasarkan Tahun Dasar 2000
Gambar I.2. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah 2014
Sejalan dengan perekonomian nasional yang mulai pulih, laju perlambatan kredit di wilayah Jawa, Jakarta,
dan Sumatera pada triwulan IV-2014 tidak setajam triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit di berbagai
daerah di Kalimantan secara agregat bahkan terindikasi mulai meningkat. Pertumbuhan penyaluran kredit di
Jawa sebesar 14,73%, tergolong cukup tinggi dibandingkan wilayah lain, mengkonfirmasi kondisi
perekonomian Jawa yang relatif masih terjaga. Sementara itu, penyaluran kredit di Jakarta dan Sumatera pada
2014 masing-masing tumbuh sebesar 9,39%, dan 9,43%. Penyaluran kredit di Kalimantan tumbuh 9,69%, lebih
tinggi dari triwulan III-2014 yang tumbuh 6,85% (yoy). Secara keseluruhan 2014 laju pertumbuhan kredit di
semua wilayah masih melambat, namun disertai dengan tingkat non performing loans (NPL) yang relatif
rendah pada kisaran 1,6% - 3,0%. Secara triwulanan, terdapat indikasi perbaikan risiko kredit, terlihat dari
menurunnya persentase NPL di berbagai daerah dibandingkan dengan kondisi di triwulan III-2014. Namun,
perkembangan harga komoditas di pasar global yang masih cenderung turun perlu diwaspadai sebagai sumber
kerentanan kredit di daerah, khususnya bagi daerah yang perekonomiannya ditopang oleh kinerja komoditas
sumber daya alam (SDA).
Arah perbaikan kinerja perekonomian juga tercermin dari transaksi keuangan melalui sistem pembayaran
non tunai. Sepanjang triwulan IV 2014, transaksi pembayaran yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross
Settlement (RTGS) rata-rata sebesar Rp10,42 ribu triliun per bulan, lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi
RTGS pada periode triwulan sebelumnya yang sebesar Rp8,75 ribu triliun per bulan. Peningkatan aktivitas
transaksi keuangan ini diperkirakan berasal dari perbaikan kinerja sektor manufaktur dan pertanian yang
sedang berlangsung secara gradual.
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 5
Di sisi inflasi, setelah cenderung menurun hingga akhir triwulan III 2014, laju inflasi pada triwulan IV-2014
meningkat signifikan sebagai dampak implementasi kebijakan kenaikan harga BBM pada November 20142.
Pada akhir tahun 2014, inflasi tercatat sebesar 8,36% (yoy) naik dibanding periode September 2014 yang
tercatat sebesar 4,53% (yoy). Tekanan kenaikan inflasi paling tinggi tercatat dialami oleh beberapa daerah di
Sumatera - Sumatera Barat bahkan merupakan daerah dengan inflasi tertinggi secara nasional - dan wilayah
Sulampua-Balnustra seperti di Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Dampak kenaikan harga BBM terhadap
kenaikan tarif angkutan, harga komponen kendaraan dan biaya jasa pemeliharaan kendaraan di Sulawesi Utara
dan Maluku Utara lebih besar daripada di daerah-daerah lain. Selain itu, kenaikan inflasi dipicu oleh tekanan
kenaikan harga beberapa komoditas pangan strategis dan sejumlah komoditas pada kelompok inti. Tekanan
kenaikan harga cabai dan beras di sejumlah daerah bahkan cenderung melebihi rata-rata tiga tahun terakhir.
Kondisi ini timbul sebagai dampak rambatan dari kenaikan harga BBM, kendala pasokan karena pergeseran
masa panen, dan faktor cuaca yang menghambat produksi dan distribusi.
Namun, perkembangan inflasi sepanjang 2014 secara umum relatif terkendali dibandingkan tahun 2013. Hal
ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014 (8,36%) dibanding tahun 2013 (8,38%).
Relatif lebih terkendalinya inflasi tidak terlepas dari bauran kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia,
disertai intensifnya koordinasi kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam memitigasi risiko inflasi
yang timbul sepanjang 2014. Peran aktif daerah semakin kuat dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan
masyarakat khususnya melalui upaya memperkuat sisi produksi pangan dan menjaga kelancaran distribusi.
Berbagai rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) mulai menyentuh
persoalan struktural yang perlu diatasi segera untuk lebih menjaminnya stabilitas harga seperti masalah tata
niaga produk pangan dan upaya memperluas akses pasar melalui penguatan kerjasama perdagangan antara
daerah.
Gambar I.3. Peta Inflasi Daerah, Januari 2015
2 Keputusan Menteri ESDM No. 34.PM/11/MEM/2014 tanggal 17 November 2014 tentang Penyesuaian Harga Jual Eceran BBM Bersubsidi,
dengan rincian harga bensin premium dari Rp6.500 per liter menjadi Rp8.500 per liter dan minyak solar dari Rp5.500 per liter menjadi Rp7.500 per liter.
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 6
Memasuki tahun 2015, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di
sebagian besar daerah. Koreksi harga terjadi sebagai dampak dari kembali dilakukannya penyesuaian
kebijakan subsidi BBM yang diikuti dengan penurunan harga jual BBM3. Kebijakan ini selanjutnya diikuti
adanya penurunan tarif angkutan di berbagai daerah4 - meski belum seluruh daerah menerapkan penurunan
tarif angkutan. Selain itu, beberapa daerah sentra produksi mulai memasuki masa panen, khususnya untuk
komoditas aneka bumbu, sehingga berdampak pada relatif minimalnya tekanan inflasi pangan. Meski
demikian, beberapa daerah di Kalimantan, Maluku, NTT dan Kepulauan Bangka Belitung mencatat inflasi yang
lebih tinggi dibanding daerah lainnya.
PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN
Prospek Ekonomi Daerah
Pada triwulan I 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan kinerja
perekonomian masih akan berlanjut. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera,
disertai masih relatif stabilnya perekonomian Jawa. Sementara itu, perekonomian Kalimantan diperkirakan
kembali tumbuh melambat karena masih lemahnya indikasi perbaikan permintaan ekspor batubara - terutama
dari Tiongkok - serta harga jual yang masih rendah. Potensi meningkatnya kinerja ekonomi KTI didorong oleh
aktivitas pertambangan yang diperkirakan meningkat seiring dengan aktivitas ekspor mineral yang kembali
dapat dilakukan khususnya di Papua dan NTB. Sementara itu, membaiknya perekonomian Sumatera
bersumber dari meningkatnya aktivitas perkebunan didukung adanya perbaikan harga. Kinerja ekonomi Jawa
yang stabil ditopang oleh ekspor manufaktur yang masih akan meningkat seiring dengan semakin solidnya
prospek perbaikan ekonomi Amerika Serikat.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan I 2015*
* Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
3 Peraturan Menteri ESDM No.4 Tahun 2015 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
4 Kementerian Perhubungan menerbitkan Surat Edaran No.1 Tahun 2015 kepada seluruh Kepala Daerah tentang Penyesuaian Tarif
Angkutan Umum Kelas Ekonomi.
Tendensi
KawasanAsesmen
Tendensi
JakartaAsesmen
Tendensi
KawasanAsesmen
Tendensi
KawasanAsesmen
Pertumbuhan
Ekonomi
Konsumsi RT
Ekpektasi konsumen turun, SPE turun,
penjualan kendaraan bermotor
terbatas (liaison )
Kenaikan gaji sektor swasta dan
optimisme peningkatan lapangan
kerja pasca terbentuknya
pemerintahan baru.
Ekspektasi konsumsi menurun Tingkat pendapatan di sektor utama
meningkat, tekanan harga berkurang,
penjualan eceran tumbuh lebih tinggi
Konsumsi
Pemerintah
Simpanan pada akhir 2014 masih
tinggi shg diperkirakan akan
dilakukan di awal tahun 2015
Efisiensi belanja rutin pemerintah,
mis: biaya rapat, perjalanan dinas &
belanja pegawai.
Penyaluran DBH lebih baik Adanya indikasi percepatan proyek
pemerintah yg melalui proses
pelelangan dan proyek pekerjaan
umum, apalagi estimasi penyerapan
anggaran di akhir tahun 2014 belum
optimal
Investasi (PMTB)
Perbaikan kegiatan usaha (SKDU),
PMDN hingga triwulan IV tumbuh
tinggi
Didominasi investasi non bangunan
(mesin), tindak lanjut transisi
industri ke semi otomatis. Investasi
bangunan didominasi belanja
infrastruktur pemerintah.
Perbaikan iklim investasi Selesainya proyek beberapa smelter
yang sudah beroperasi serta
optimalisasi kapasitas terpasang
para pelaku usaha
Ekspor LN
Diperkirakan sejalan perbaikan
industri pengolahan.
Ditopang oleh komoditas ekspor
utama seperti produk tekstil, kimia,
dan produk makanan dan minuman
Penurunan volume ekspor hasil
tambang energi (batubara & migas),
ekspor karet dan CPO tertahan
Ijin ekspor yang telah dikantongi
mendorong ekspor tembaga tumbuh
signifikan
Impor LN
Impor meningkat. Kenaikan belanja impor mesin
(swasta) & alat angkutan
(pemerintah). Impor bahan baku
meningkat seiring peningkatan
produksi sektor industri dan belanja
infrastruktur pemerintah.
Turunnya permintaan bahan
penolong tambang
Import content meningkat untuk
mendukung kegiatan ekspor dan
menguatnya konsumsi
SUMATERA JAWA & JAKARTA TIMUR INDONESIAKALIMANTAN
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 7
Indikasi pemulihan ekonomi di berbagai daerah pada awal tahun 2015 diperkirakan terus berlanjut sehingga
perekonomian daerah untuk keseluruhan tahun 2015 secara agregat diprakirakan tumbuh di kisaran 5,4-
58%, lebih tinggi dibanding tahun 2014. Semakin solidnya prospek pemulihan ekonomi di AS diperkirakan
memberi dampak yang positif bagi kinerja ekspor manufaktur, terutama dari Jawa. Meski perlu tetap dicermati
imbas dari perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Selain itu, meningkatnya kinerja sektor manufaktur Jawa juga didukung oleh kembali menggeliatnya
perdagangan antardaerah, seiring dengan membaiknya perekonomian berbagai daerah di timur Indonesia.
Prakiraan meningkatnya kinerja perekonomian Kalimantan dan berbagai daerah di wilayah timur Indonesia
lebih banyak ditopang oleh kembali dapat dilakukannya ekspor mineral dan mulai beroperasinya beberapa
smelter. Meski demikian, prospek harga komoditas di pasar global yang masih cenderung rendah sebagai
imbas dari melambatnya ekonomi Tiongkok merupakan risiko bagi masih terbatasnya peningkatan ekonomi
Kalimantan dan wilayah timur Indonesia.
Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber dari langkah strategis pemerintah
untuk menempuh beberapa agenda pembangunan. Pada awal tahun 2015, pemerintah telah menetapkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 sebagai tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, prioritas
pembangunan diarahkan antara lain pada kedaulatan pangan, kedaulatan energi, penguatan konektivitas,
serta pengembangan maritim dan kelautan. Dalam kerangka agenda pembangunan tersebut, pemerintah akan
mempercepat pembangunan infrastruktur di berbagai daerah yang akan mulai diinisiasi pada tahun 2015.
Untuk mendukung hal tersebut, sebagai langkah awal, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian
alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 2015 yang sebagian besar ditujukan bagi pelaksanaan program
prioritas melalui peningkatan belanja infrastruktur serta peningkatan transfer daerah.
Dari sisi inflasi, tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih cenderung
rendah. Gambaran rendahnya inflasi yang terjadi di awal tahun 2015 berpotensi akan berlanjut sepanjang
triwulan I 2015. Kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi dan penerapan harga BBM
pada awal Januari disertai prospek berlanjutnya penurunan harga minyak merupakan faktor utama yang akan
menyebabkan minimalnya tekanan inflasi. Rendahnya inflasi juga dipengaruhi oleh penurunan tarif angkutan
meski penurunan tarif yang terjadi terindikasi cenderung lebih rendah dibanding pada saat terjadinya kenaikan
November 2014 (downward rigidity)5. Selain itu, mulai masuknya masa panen di berbagai daerah sentra
produksi diperkirakan turut berdampak bagi minimalnya tekanan inflasi pangan di triwulan I 2015.
Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran
sasaran inflasi nasional sebesar 4%1%. Prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang secara umum masih
berada di bawah tingkat potensialnya mengindikasikan tekanan dari sisi permintaan diprakirakan masih
moderat. Prospek produksi pangan, khususnya beras, secara tahunan diprakirakan akan mencatat surplus.
Kondisi curah hujan yang relatif stabil dan merata sepanjang tahun, didukung dengan intensifnya kebijakan
pemerintah untuk mengamankan capaian produksi pangan di 2015 diyakini dapat meminimalkan tekanan
inflasi pangan. Potensi kenaikan produksi beras di tahun 2015 terutama dikontribusi oleh kenaikan produksi di
Jawa dan Sumatera. Selain itu, minimalnya tekanan inflasi didukung prakiraan masih cukup rendahnya harga
komoditas di pasar global, khususnya tren penurunan harga BBM.
Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan tekanan inflasi di 2015.
Kesinambungan pasokan beberapa komoditas pangan seperti daging sapi dan bawang putih masih akan
terbatas, serta pengaruh pola musiman pada sistem pertanian nasional sehingga mengganggu kestabilan
pasokan antar waktu. Prognosa sementara mengindikasikan defisit beras dapat terjadi pada Januari, Mei,
5 Besaran rata-rata penurunan tarif angkutan yang telah ditetapkan hingga akhir Januari 2015, tercatat penurunan yang terjadi secara
rata-rata tertimbang lebih lebih rendah (7,8%) dibanding kenaikannya pada bulan November 2014 lalu (29,1%).
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 8
September dan triwulan IV 2015 sebagaimana periode yang sama tahun 2014. Mundurnya panen raya karena
musim kemarau yang terjadi pada akhir 2014 diperkirakan masih akan memengaruhi perkembangan harga
beras setidaknya sampai April 2015. Sama halnya dengan beras, meski produksi aneka cabai dan bawang
merah secara tahunan memadai, namun kestabilan pasokan setiap periode masih sangat rentan. Selain itu,
permasalahan struktur pasar yang terjadi pada perdagangan komoditas pertanian mengakibatkan kebijakan
penetapan harga referensi sebagai acuan pembentukan harga di tingkat konsumen relatif belum efektif,
khususnya pada komoditas cabai dan daging sapi. Beberapa risiko di atas akan memberikan dampak yang
semakin besar apabila tidak ditunjang dengan kelancaran distribusi pangan terutama untuk Kawasan Timur
Indonesia yang sangat mengandalkan konektivitas jalur pelayaran.
Mempertimbangkan berbagai risiko tersebut, Bank Indonesia bersama pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun daerah, melalui TPI dan TPID akan meningkatkan koordinasi pengendalian inflasi yang difokuskan
pada upaya meminimalkan dampak kebijakan administered prices, pengelolaan pasokan pangan serta
menjaga ekspektasi masyarakat agar tetap positif. Di tingkat daerah, TPID diarahkan untuk memperkuat
sinergi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan perwakilan instansi vertikal, untuk mendukung
agenda pemerintah dalam membangun ketahanan dan kemandirian pangan melalui penguatan infrastruktur
pertanian. Oleh karena itu, program pengendalian inflasi daerah pada 2015 secara umum di seluruh wilayah
ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pertanian, pengelolaan stok pangan di setiap daerah, serta
percepatan implementasi kerja sama perdagangan antar daerah dalam rangka mendorong peningkatan
efisiensi struktur tata niaga pangan didukung dengan ketersediaan data dan informasi pangan secara
terintegrasi.
Risiko dan Tantangan Ke Depan
Optimisme perbaikan kondisi perekonomian di tahun 2015 menghadapi beberapa risiko yang dapat
memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah, yakni: (i) risiko terkait lambannya
perbaikan ekonomi global akibat risiko memburuknya perekonomian Tiongkok, Euro Area, dan Jepang masih
cukup besar; (ii) risiko penurunan harga komoditas ekspor sehingga menekan pendapatan ekspor daerah; (iii)
risiko terkait kemampuan dan kapasitas pemerintah pusat maupun daerah dalam implementasi percepatan
pembangunan infrastruktur. Sementara itu, risiko yang tekait inflasi diperkirakan lebih didominasi oleh risiko
yang bersifat downside risk, antara lain yaitu prospek harga komoditas yang diperkirakan masih rendah,
potensi daya beli masyarakat yang diperkirakan terbatas terkait masih rendahnya pendapatan ekspor karena
faktor harga komoditas yang rendah, dan implementasi berbagai program ketahanan pangan oleh pemerintah
yang bertujuan untuk meningkatkan produksi bahan pangan.
Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut, diperlukan strategi kebijakan yang terintegrasi dan koordinasi yang
intensif, khususnya mengingat risiko yang terindentifikasi mencakup lingkup implementasi di tingkat daerah.
Urgensi percepatan implementasi pembangunan infrastruktur perlu disuarakan lebih intens agar seluruh
daerah yang terlibat didalamnya memilki prioritas dan tingkat kepentingan yang setara sehingga akselerasi
pembangunan dapat dilakukan. Di tingkat nasional, urgensi akan pentingnya pembangunan infrastruktur yang
komprehensif telah digambarkan melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Fakta di
lapangan mengenai kondisi ekonomi berbiaya tinggi di Indonesia di tengah melimpahnya kekayaan SDA
mengindikasikan manajemen sumber daya yang belum optimal dan berujung pada rendahnya peringkat
Indonesia dalam berbagai penilai peringkat daya saing ekonomi. Maka dari itu, pembangunan infrastruktur
khususnya yang terkait dengan konektivitas menjadi tulang punggung utama bagi efisiensi kegiatan ekonomi
sekaligus kunci quick wins untuk memacu daya saing Indonesia6. Jika dikaitkan dengan kondisi geografis
Indonesia dengan wilayah kelautan yang mendominasi, maka pembangunan konektivitas antar daerah menjadi
hal yang mendesak khususnya bila dikaitkan dengan semangat untuk meminimalisir ketimpangan ekonomi
antar wilayah. Selain konektivitas, fokus agenda pembangunan Kabinet Kerja juga diarahkan pada
6 Lihat Isu Khusus 1. Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur.
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 9
pengembangan kemaritiman antara lain melalui optimalisasi sumber daya yang terkandung didalam wilayah
kelautan Indonesia guna mendongkrak kinerja ekonomi nasional sekaligus mengurangi kesenjangan antar
wilayah7.
Dalam rangka memberikan dukungan yang konstruktif khususnya bagi implementasi pembangunan
infrastruktur dan pengembangan ekonomi daerah secara umum, Bank Indonesia akan berupaya meningkatkan
perannya yang difokuskan pada: (a) mendorong dilakukannya reformasi struktural di daerah melalui
pembenahan enabling factors dan memantau implementasi agenda pembangunan ekonomi daerah sesuai
RPJMN 2015-2019; (b) mendorong transaksi non-tunai dan layanan keuangan digital (LKD) yang lebih luas
sebagai upaya untuk memperkuat efisiensi perekonomian nasional dan daerah, serta inklusi keuangan; (c)
mengupayakan keterkaitan antara program pengembangan UMKM dan layanan keuangan digital (LKD) Bank
Indonesia dengan upaya mendukung stabilisasi harga pangan dan agenda pembangunan sektor unggulan;
serta (d) melakukan applied research (kajian strategis) untuk mengidentifikasi lebih dalam permasalahan
pembangunan di daerah.
7 Lihat Isu Khusus 2. Agenda Pembangunan Maritim.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala
Departemen Regional pada 13 Februari 2015 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik
untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah
sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia
-
L a p o r a n N u s a n t a r a
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Sumatera1 secara agregat terindikasi tumbuh membaik pada triwulan IV 2014 sebesar 4,37%
(yoy), terutama ditopang oleh konsumsi swasta maupun pemerintah yang tumbuh cukup tinggi. Di sisi lain,
kinerja ekspor dan investasi masih terbatas. Laju perekonomian tertinggi tercatat di Provinsi Kepulauan Riau,
Jambi, dan Sumatera Selatan masing-masing sebesar 7,77%, 7,52%, dan 5,96%. Secara sektoral, pertumbuhan
ekonomi terutama didukung oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Di sektor tersebut optimisme
mulai muncul di perkebunan sawit, yang tercermin dari perbaikan harga minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO)
dan di pertanian tanaman bahan pangan, yang tercermin dari peningkatan produksi pada periode triwulan IV
2014.
Secara keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Sumatera melambat dibandingkan dengan tahun
2013. Perekonomian Sumatera tercatat tumbuh sebesar 4,66 %, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang
sebesar 5,01%. Perlambatan ini terutama bersumber dari menurunnya kinerja ekspor, terutama ekspor yang
berbasis komoditas perkebunan, karena rendahnya harga di pasar global. Hal ini berdampak pada melemahnya
pendapatan ekspor sehingga menekan konsumsi secara keseluruhan. Selain itu, melambatnya ekonomi
Sumatera juga dipengaruhi oleh produksi minyak dan gas (migas) yang terus mengalami penurunan, seperti
gas di Aceh dan minyak bumi di Riau. Perlambatan ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi wilayah
Sumatera, kecuali Kepulauan Riau dan Jambi.
Perekonomian Sumatera pada triwulan I 2015 diperkirakan mengalami perbaikan. Pada periode tersebut,
pertumbuhan ekonomi Sumatera diperkirakan mencapai 4,2-4,7% (yoy). Pertumbuhan perekonomian
Sumatera tersebut akan didukung oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Peningkatan diperkirakan akan
didorong oleh perbaikan kinerja sektor utama Sumatera, yaitu sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.
Perbaikan di sektor tersebut akan memberikan dampak positif bagi industri yang mengolah hasil-hasil dari
sektor tersebut, terutama industri pengolahan komoditas perkebunan, seperti industri CPO. Selain itu,
penggunaan teknologi injeksi kimia di sektor pertambangan diperkirakan dapat menahan laju penurunan
lifting minyak, terutama di Provinsi Riau. Untuk keseluruhan tahun 2015, ekonomi Sumatera diperkirakan akan
tumbuh lebih optimis dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu diperkirakan akan tumbuh di kisaran 4,6-5,1%,
didorong oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan dan masih tingginya pertumbuhan sektor
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Konsumsi swasta Sumatera tumbuh terbatas pada triwulan IV 2014, namun masih pada level yang tinggi.
Secara keseluruhan tahun 2014, konsumsi swasta mengalami perlambatan akibat harga komoditas yang belum
membaik, seperti yang terjadi pada komoditas karet. Adanya berbagai kebijakan administered prices, terutama
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjelang akhir tahun, menekan daya beli masyarakat.
Menurunnya daya beli masyarakat tercermin dari melambatnya penghimpunan dana masyarakat di
perbankan, yang mengindikasikan bahwa masyarakat mulai menggunakan simpanan untuk memenuhi
1 Data pertumbuhan menggunakan tahun dasar 2010, berbasis SNA 2008, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 5 Februari
2015.
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
kebutuhan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)3 di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Lampung
mengindikasi level keyakinan masyarakat terhadap perekonomian pada akhir tahun 2014 mengalami
penurunan.
Perlambatan konsumsi swasta diperkirakan masih akan berlanjut hingga triwulan I 2015. Pola musiman
menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat relatif melambat pascaperayaan keagamaan dan akhir tahun.
Selain itu, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya aktivitas belanja masyarakat pada
triwulan I 2015 juga diperkirakan lebih rendah. Hal ini disebabkan karena berbagai kegiatan masyarakat terkait
dengan Pemilu, tidak lagi terjadi pada periode ini. Beberapa indikator hasil survei juga mengonfirmasi
pelemahan konsumsi swasta. Survei Penjualan Eceran menunjukkan Indeks Penjualan Eceran4 yang masih
mengalami kontraksi hingga Januari 2015 (Grafik II.1). Hal tersebut menunjukkan menurunnya kegiatan
belanja masyarakat. Selain itu, survei konsumen di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Lampung menunjukkan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang lebih
rendah, yaitu dari 123,09 pada triwulan IV 2014, menjadi 122,31 pada Januari 2015 (Grafik II.2).
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
0
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I II III IV Jan
2012 2013 2014 2015
%yoyIndeks Indeks SPE Pertumbuhan (Skala Kanan)
90
100
110
120
130
140
I II III IV I II III IV I II III IV I*
2012 2013 2014 2015
IKK IKE IEK
Sumber : Survei Konsumen, Bank Indonesia
* hingga Januari 2015 Grafik II.1. Perkembangan Survei Penjualan Eceran Grafik II.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah pada triwulan IV 2014 mengalami pertumbuhan positif dan membuat capaian
keseluruhan tahun 2014 mengalami peningkatan. Posisi simpanan pemda di bank pada triwulan IV 2014 yang
lebih rendah dari triwulan sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan belanja pemda pada periode
tersebut (Grafik II.3). Meski demikian, pertumbuhan konsumsi pemerintah tersebut relatif masih terbatas,
ditandai dengan posisi simpanan pada akhir tahun 2014 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013
lalu, yang mengalami kontraksi sebesar 14,3% (yoy). Lebih tingginya simpanan tahun ini dibandingkan dengan
tahun sebelumnya mengindikasikan bahwa persentase realisasi belanja pemerintah daerah pada tahun ini
lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan akan mengalami perbaikan pada triwulan I 2015. Perbaikan
tersebut akan ditopang oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Komitmen beberapa pemerintah
kota/kabupaten untuk mempercepat proses pelelangan, seperti yang terjadi di provinsi Riau, Sumatera Barat,
dan Sumatera Selatan, menjadi faktor pendukung meningkatnya konsumsi pemerintah. Pada tahun
sebelumnya proses pelelangan baru dilaksanakan setelah bulan Maret, sehingga pelaksanaan proyek banyak
yang baru dimulai setelah memasuki triwulan II. Percepatan proses lelang tersebut akan mendorong capaian
3 Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera.
4 Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan di Sumatera Utara.
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
konsumsi Pemerintah pada triwulan I 2015 yang lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan
kondisi tersebut, pertumbuhan konsumsi pemerintah akan menjadi salah satu sumber pendorong ekonomi
Sumatera.
Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera
di Bank Umum Grafik II.4. Perkembangan Jenis Simpanan Pemda Sumatera di
Bank Umum
Investasi
Perbaikan investasi pada triwulan IV 2014 pasca-Pemilihan Umum diperkirakan masih minimal. Kondisi
tersebut menyebabkan investasi Sumatera selama tahun 2014 melambat dibandingkan dengan tahun 2013.
Dari sisi pembiayaan, dorongan terhadap investasi juga terbatas, sebagaimana tercermin dari rendahnya
pertumbuhan kredit investasi di Sumatera. Pertumbuhan kredit investasi di Sumatera tercatat sebesar 5,39%
(yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 8,81% (yoy), dan dari periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar 37,80% (yoy). Melambatnya investasi juga ditunjukkan oleh lebih rendahnya realisasi
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 2014 dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (Grafik II.6). Investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Pemda)
diperkirakan juga masih terbatas, yang ditandai dengan tingginya simpanan Pemda di bank umum pada
triwulan IV 2014. Adanya kenaikan harga BBM bersubsidi pada November 2014 telah menyebabkan pelaku
usaha bersikap wait and see (menunggu) atas kebijakan energi lanjutan yang akan dilakukan.
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal dan BI, diolah Grafik II.5. Konsumsi Semen Sumatera Grafik II.6. Perkembangan PMA dan PMDN serta Penyaluran
Kredit Investasi Perbankan Sumatera
Pada triwulan I 2015, investasi diperkirakan akan sedikit mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil liaison,
beberapa perusahaan swasta berencana melakukan peningkatan kapasitas seperti perluasan pabrik,
penambahan mesin baru dan peningkatan kapasitas pelabuhan di Lampung, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka
Belitung. Dari sisi investasi bangunan, perbaikan investasi tercermin dari masih meningkatnya konsumsi
-50.00
-40.00
-30.00
-20.00
-10.00
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013 2014
%yoyRp Triliun
Simpanan Pemda gSimpanan Pemda (Skala Kanan)
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013 2014
%yoy
TabunganDeposito
Giro
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
%yoyJuta Ton Konsumsi Semen gKonsumsi Semen (Skala Kanan)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
-200
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013 2014
%yoy
PMA
PMDN
%yoy
Kredit Investasi
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
semen di Sumatera (Grafik II.5). Selain itu, komitmen pemerintah daerah untuk memperbaiki iklim investasi,
memberikan optimisme bagi kegiatan investasi.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor Sumatera pada triwulan IV 2014 menunjukkan perlambatan dari sisi nilai, namun sedikit
mengalami peningkatan dari sisi volume (Grafik II.7). Ekspor Sumatera pada triwulan IV 2014 tercatat senilai
USD 10,7 miliar atau mengalami kontraksi sebesar 10,1% (yoy). Kontraksi ini terjadi hampir di seluruh provinsi
di Sumatera, kecuali Aceh dan Jambi. Berdasarkan komoditasnya, penurunan ekspor terjadi di seluruh
komoditas utama seperti karet, kelapa sawit dan batubara (Grafik II.8). Untuk keseluruhan tahun 2014, ekspor
Sumatera tercatat USD 42,8 miliar, turun 3,7% (yoy) lebih dalam dibandingkan dengan tahun 2013. Penurunan
paling dalam terjadi pada komoditas karet dan kopi, sementara komoditas kelapa sawit dan CPO relatif
mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun 2013.
Ekspor Sumatera pada triwulan I 2015 diperkirakan akan meningkat, seiring dengan perbaikan perekonomian
negara mitra dagang yaitu Amerika Serikat (AS). Komoditas ekspor Sumatera yang ditujukan ke pasar AS
terutama karet dan kopi. Selain itu, adanya harapan perbaikan harga komoditas karet, memberikan dorongan
positif bagi kegiatan pengolahan karet (crumb rubber). Di samping itu, adanya bencana banjir di Malaysia
diperkirakan akan menciptakan peluang pemasaran komoditas perkebunan dari Sumatera Barat, Riau, dan
Jambi.
Grafik II.7. Perkembangan Ekspor Impor Sumatera Grafik II.8. Perkembangan Ekspor Komoditas Utama
Impor
Sementara itu, impor Sumatera juga mengalami penurunan pada triwulan IV 2014 (Grafik II.10). Penurunan
terutama terjadi pada komoditas barang modal dan bahan baku (Grafik II.9). Di sisi lain, pertumbuhan impor
barang konsumsi terus mengalami peningkatan, seiring dengan kinerja konsumsi rumah tangga yang masih
tumbuh tinggi, diikuti dengan masih meningkatnya kredit konsumsi. Dengan capaian tersebut, pertumbuhan
impor keseluruhan tahun 2014 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013.
Pada triwulan I 2015, impor Sumatera diperkirakan tumbuh meningkat, sejalan dengan perkiraan peningkatan
investasi, terutama investasi nonbangunan. Kegiatan penambahan/perluasan kapasitas pabrik dan
penambahan mesin baru akan mendorong impor barang modal di Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan
Sumatera Barat. Selain itu, konsumsi pupuk di sektor perkebunan diperkirakan bertambah, sehingga
mendorong kebutuhan impor pupuk, terutama di Provinsi Sumatera Barat dan Riau.
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013 2014
%yoyUSD Juta Nilai Ekspor Nilai Impor
gEkspor (Skala Kanan) gImpor (Skala Kanan)
-100
-50
0
50
100
150
200
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013 2014
%yoyKaret CPO Batubara
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
Grafik II.9. Perkembangan Nilai Impor Sumatera Berdasarkan Jenis
Grafik II.10. Perkembangan Nilai dan Volume Impor Sumatera
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan IV 2014 tercatat cukup baik, sehingga secara
keseluruhan tahun 2014, sektor ini masih mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan di sektor pertanian
yang cukup tinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung. Dari sisi
komoditas, perbaikan kinerja terutama didorong oleh peningkatan pertumbuhan tanaman bahan makanan,
seperti yang terjadi di provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung. Selain itu, perbaikan juga terjadi pada
produksi kelapa sawit, yang didorong oleh harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi di Provinsi Riau
(Grafik II.11) dan Sumatera Utara. Sebaliknya, kinerja karet belum menunjukkan perbaikan, seperti tercermin
pada produksi karet yang terus turun di Sumatera Selatan (Grafik II.12), Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan I 2015 diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi,
terutama di provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Hal ini terkonfirmasi dari Indeks Perkiraan
Kegiatan Usaha6
yang meningkat dari 1,76 menjadi 2,72 (Grafik II.13). Perbaikan kinerja terjadi pada komoditas
kelapa sawit, terutama di Riau, seiring dengan harga yang mengalami perbaikan, dan komoditas beras di
beberapa sentra produksi di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Bengkulu, yang diperkirakan memasuki
masa panen.
Sumber: Dinas Perkebunan Riau Sumber : Gapkindo
Grafik II.11. Harga TBS Riau Grafik II.12. Produksi Karet Sumatera Selatan
6 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh seluruh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera.
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015
%yoyRp/kgHarga TBS % Kenaikan (Sumbu Kanan)
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
-
50
100
150
200
250
300
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013 2014
Ribu Ton Produksi Karet
gProduksi Karet (Skala Kanan)%yoy
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
%yoy Total Barang Konsumsi
Barang Modal Bahan Baku
(40)
(30)
(20)
(10)
-
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013 2014
%yoy Pertumbuhan Nilai Impor
Pertumbuhan Volume Impor
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan IV 2014 mengalami pertumbuhan negatif, sehingga untuk
keseluruhan tahun 2014 kinerja sektor ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Kegiatan di sektor
pertambangan dan penggalian didominasi oleh produksi minyak bumi di Provinsi Riau. Berdasarkan informasi
liaison, lifting minyak bumi di Riau terus mengalami penurunan dan kondisi sumur yang ada memiliki
produktivitas yang terus menurun. Berdasarkan informasi dari kontak liaison, penurunan lifting minyak secara
normal tercatat sebesar 18%-19% per tahun. Namun, penurunan tersebut dapat ditahan dengan teknologi
injeksi kimia, sehingga penurunan selama tahun 2014 diperkirakan hanya 5%-6%. Sementara itu, data
perkiraan produksi batubara di provinsi Sumatera Selatan (Grafik II.14) serta data produksi bijih dan logam
timah di provinsi Bangka Belitung, pada akhir tahun 2014, menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2013, sehingga diperkirakan dapat menahan pertumbuhan laju penurunan sektor pertambangan
nonmigas di Sumatera.
Pada triwulan I 2015 sektor pertambangan diperkirakan masih mengalami kontraksi, namun tidak sedalam
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor pertambangan pada periode ini diperkirakan mengalami
pertumbuhan -0,35% (yoy). Kondisi ini juga tercermin dari Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha sektor
pertambangan, yang juga menunjukkan perbaikan walaupun masih mengalami kontraksi (Grafik II.13).
Perbaikan di sektor pertambangan ditunjukkan oleh komoditas batubara di Sumatera Selatan, yang didorong
oleh meningkatnya penjualan domestik. Namun, dari sisi ekspor, kinerja batubara menghadapi sejumlah
tantangan jangka pendek akibat pemberlakuan kewajiban menggunakan cara pembayaran Letter of Credit
(L/C) bagi para eksportir barang tertentu.7 Sementara itu, pertumbuhan negatif, yang masih berlanjut di sektor
pertambangan, tidak terlepas dari produksi lifting minyak di Riau yang terus mengalami penurunan.
Sumber : McCloskey Sumber : McCloskey
Grafik II.13. Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha Sektor Pertanian dan Pertambangan Sumatera
Grafik II.14. Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan
Sektor Industri Pengolahan
Sejalan dengan sektor pertanian, kinerja industri pengolahan, khususnya pengolahan karet dan CPO, pada
triwulan IV 2014 memberikan kontribusi positif pada perekonomian Sumatera. Namun, capaian tersebut
belum cukup mengangkat kinerja tahun 2014 secara keseluruhan setinggi perkiraan sebelumnya. Harga CPO
internasional hingga bulan Desember 2014 masih mengalami penurunan 21,17% (yoy) atau sebesar USD 624,5
USD/mt (Grafik II.15). Sementara itu, harga karet internasional turun lebih dalam yaitu hingga 29,66% (yoy)
atau sebesar USD 185,29 cent/kg (Grafik II.16). Harga kedua komoditas tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan harga tahun 2013. Kondisi harga yang terus menurun tidak mendorong daya tarik dalam berproduksi.
7 Peraturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2015 Tentang Ketentuan Penggunaan Letter of Credit untuk Ekspor
Barang Tertentu untuk mendorong optimalisasi dan akurasi perolehan devisa hasil ekspor khususnya hasil ekspor komoditas Sumber Daya
Alam.
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015
Indeks Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan danPerikanan
Pertambangan
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2012 2013 2014
%yoykt Produksi Batubara gProduksi Batubara (Skala Kanan)
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
Hal ini terkonfirmasi dari hasil liaison, yang menunjukkan bahwa kapasitas utilisasi perusahaan penghasil CPO
hanya berkisar 50% -54%, lebih rendah dari kapasitas periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai
55% 80%.
Kinerja industri pengolahan diperkirakan akan mengalami peningkatan pada triwulan I 2015. Perbaikan kinerja
sektor industri pengolahan diperkirakan akan terjadi di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung,
Sumatera Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung. Walaupun masih dalam tren yang menurun, laju penurunan
harga karet tidak sedalam periode sebelumnya, sehingga terdapat optimisme perbaikan harga di masa
mendatang bagi industri pengolahan karet di Jambi. Adanya potensi perbaikan harga terlihat dari Indeks Harga
Jual Komoditas industri pengolahan pada triwulan mendatang yang meningkat dari 1,65% menjadi 3,80%.
Meski demikian, lemahnya pengelolaan perkebunan karet dan adanya masalah mendasar pada tata niaga dan
hulu karet, membuat pertumbuhan karet diperkirakan masih akan terbatas. Industri pengolahan makanan dan
minuman, khususnya kopi di Lampung dan Sumatera Utara, diperkirakan akan mengalami peningkatan, seiring
dengan perbaikan permintaan dari negara mitra dagang Amerika, India dan Eropa. Industri pengolahan gula di
Sumatera Utara juga diperkirakan meningkat pascadibukanya keran impor gula rafinasi pada akhir tahun 2014.
Sementara itu, volume ekspor CPO diperkirakan masih akan terus mengalami pertumbuhan positif dan
mendorong industri pengolahan kelapa sawit di Sumatera Barat dan Riau.
Sumber : Bloomberg Sumber : Bloomberg
Grafik II.15. Perkembangan Harga CPO Internasional Grafik II.16. Perkembangan Harga Karet Internasional
LAJU INFLASI
Inflasi Sumatera pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 8,62% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya
(4,64%; yoy). Realisasi inflasi tersebut berada di atas realisasi inflasi nasional (8,36%,yoy) (Grafik II.17).
Berdasarkan disagegrasi inflasi, peningkatan inflasi tertinggi dialami oleh komoditas yang tergabung dalam
kelompok administered prices diikuti dengan volatile foods (Grafik II.18). Meningkatnya inflasi administered
prices disebabkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi yakni bensin dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 serta solar
dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Kondisi ini kemudian diikuti dengan meningkatnya tarif angkutan dalam kota
dan antarkota dengan rata-rata Sumatera mencapai masing-masing 28% dan 20%. Sementara itu, peningkatan
inflasi volatile food disebabkan oleh meningkatnya harga bumbu-bumbuan terutama cabai merah sebesar
137%. Turunnya produksi cabai merah, di tengah tingginya permintaan, terkait banyaknya kegiatan pada akhir
tahun, menjadi penyebab meningkatnya harga komoditas ini.
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah
Grafik II.17. Inflasi Nasional dan Sumatera di Sumatera Grafik II.18. Disagregasi inflasi Sumatera
Berdasarkan provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat (11,57%; yoy) diikuti dengan Provinsi
Bengkulu (10,85%; yoy), sementara inflasi terendah terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (7,59%; yoy) (Grafik
II.19). Tingginya inflasi di Sumatera Barat disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas bumbu-bumbuan,
terutama cabai merah. Dalam empat bulan terakhir tahun 2014, harga cabai merah meningkat hampir
mencapai tiga kali lipat. Meskipun Sumatera Barat merupakan salah satu sentra produksi cabai merah di
Sumatera, tingginya konsumsi komoditas ini, baik untuk rumah tangga maupun hotel dan restoran serta
tingginya permintaan dari luar provinsi, menyebabkan harga di dalam provinsi turut meningkat. Kondisi yang
sama juga terjadi di Bengkulu, yaitu sumbangan inflasi terbesar berasal dari meningkatnya harga komoditas
cabai merah yang mencapai 225% dalam empat bulan terakhir. Di sisi lain, inflasi di Kepulauan Riau relatif
terjaga. Hal ini disebabkan oleh relatif stabilnya harga kelompok bahan makanan di provinsi ini, yang didukung
oleh memadainya pasokan.
Tekanan inflasi pada triwulan I 2015 menurun, sejalan dengan menurunnya harga komoditas yang tergabung
dalam kelompok administered prices dan volatile food. Kondisi tersebut tercermin dari menurunnya laju inflasi
pada Januari 2015 menjadi sebesar 6,63% (yoy) dari akhir tahun 2014 sebesar 8,62% (yoy). Turunnya harga
minyak dunia, yang diikuti dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM bersubsidi dalam dua
tahap yakni pada tanggal 1 dan 19 Januari 2015, menyebabkan turunnya inflasi kekompok administered prices.
Sampai dengan bulan Februari 2015, harga bensin terjaga di level Rp6.600 dan solar di level Rp6.400.
Penurunan harga BBM bersubsidi kemudian diikuti dengan keputusan pemerintah untuk mewajibkan
penurunan harga tarif angkutan minimum sebesar 5% 15% oleh Organda. Namun, dari 23 kota yang menjadi
basis penghitungan inflasi di Sumatera, belum semua kota melakukan penyesuaian penurunan tarif secara
langsung pada bulan Januari. Beberapa kota yang sudah melakukan penyesuaian, baik untuk tarif angkutan
dalam kota maupun luar kota pada bulan Januari 2015 adalah Meulaboh, Banda Aceh, Lhoksumawe, Medan,
Padang Sidempuan, Palembang, Lubuk Linggau, dan Bandar Lampung. Penurunan Tarif angkutan tersebut rata-
rata 3% 10% untuk tarif angkutan dalam kota dan 5% - 15% untuk tarif angkutan luar kota (Grafik II.20).
Penurunan tersebut, masih lebih rendah dari kenaikan pada saat terjadi peningkatan harga BBM bersubsidi
tahun lalu, yang secara rata-rata lebih dari 20%. Berdasarkan quick survey yang dilakukan, kondisi ini
disebabkan oleh adanya biaya pembelian spare part yang juga cenderung meningkat. Dengan perilaku ini
masih terdapat selisih perubahan tarif angkutan sebesar 0,30% akibat perubahan kebijakan tersebut.
Menurunnya harga BBM juga memicu optimisme ekspektasi masyarakat terhadap penurunan harga barang.
Dengan harga BBM yang lebih rendah, diharapkan akan menurunan biaya produksi, yang selanjutnya
ditransmisikan ke harga barang akhir.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
I II III IV I II III IV I II III IV Jan
2012 2013 2014 2015
Inflasi Sumatera
Inflasi Nasional
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
I II III IV I II III IV I II III IV 1
2012 2013 2014 2015
IHK Umum Core
Volatile Foods Adm. Prices%yoy
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah
Grafik II.19. Inflasi Provinsi di Sumatera Grafik II.20. Penuruan Tarif Angkutan Januari 2015
Faktor risiko yang perlu menjadi perhatian selanjutnya adalah dampak penyesuaian harga yang asimetris
terhadap perubahan harga BBM. Berdasarkan quick survey yang dilakukan kepada 88 perusahaan8 di
Sumatera mengenai perilaku apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga BBM, 35% pengusaha
menyatakan akan meningkatkan harga ketika terjadi kenaikan BBM dengan rata-rata kenaikan 6%. Sementara
itu, jika terjadi penurunan harga BBM, hanya 16% pengusaha yang akan menurunkan harga jual dengan rata-
rata penurunan hanya 3,5%. Namun, mayoritas pengusaha masih tidak melakukan penyesuaian harga secara
langsung ketika terjadi perubahan harga BBM. Sebagian besar pengusaha lebih memilih untuk efisiensi,
meningkatkan pemasaran dan pengalihan energi terlebih dahulu ketika terjadi perubahan harga BBM.
Faktor risiko inflasi lain muncul sebagai dampak dari penerapan Peraturan Gubernur No. 59 tahun 2014
Provinsi Lampung, tentang Pengendalian Distribusi Produk Impor mulai awal Januari 2015. Peraturan tersebut
dikenakan pada komoditas gula, beras, kopi, jagung dan daging sapi, yang merupakan komoditas utama yang
dihasilkan Lampung. Berdasarkan peraturan tersebut, memasukkan komoditas-komoditas tersebut dari luar
Lampung harus mendapat izin dari Gubernur. Dengan adanya peraturan tersebut pasokan gula, beras, kopi,
jagung dan daging sapi di Lampung sangat bergantung pada kemampuan produksi lokal. Peraturan ini, di sisi
lain, bertujuan untuk melindungi produk komoditas lokal, di sisi lain bila kemampuan lokal tidak memadai,
berpotensi memicu inflasi pangan.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Disepanjang tahun 2014, koodinasi pengendalian inflasi di Sumatera terus diperkuat sisi kelembagaannya
melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah di 10 provinsi serta 115 kabupaten/kota. Kegiatan
pengendalian inflasi di berbagai daerah di Sumatera difokuskan pada tiga hal utama yakni memperluas akses
informasi harga kepada masyarakat, memperkuat kapasitas produksi pangan melalui pengembangan klaster,
dan memperkuat kerjasama antar daerah. Ketiga fokus pengendalian inflasi di Sumatera tersebut dilakukan
melalui beberapa program kegiatan antara lain :
1. Transparansi harga melalui pembentukan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis)
Sampai dengan tahun 2014, provinsi yang telah memiliki PIHPS berupa papan harga elektronik adalah
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Aceh dan Jambi. Sementara itu,
8 Perusahaan yang menjadi responden adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan
-
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00Tw III-2014 Tw IV-2014 Tw I-2015
%yoy
Tw III-2014 Sumatera 4,64%
Tw I-2015 Sumatera 6,63%
Tw IV-2014 Sumatera 8,62%
7.33
4.42
9.12
3.86
5.316.04
12.50
9.40
8.21
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
Lhoksumawe Medan P. Sidempuan Palembang LubukLinggau
BandarLampung
Tarif Angkutan Dalam Kota Tarif Angkutan Luar Kota
%yoy
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
pengembangan PIHPS berupa website, yang memuat harga komoditas utama, telah dibentuk di Sumatera
Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Pada tahun 2015, PIHPS provinsi akan diintegrasikan dengan PIHPS
nasional. Dengan integrasi tersebut, nantinya, masyarakat dapat memperoleh informasi harga pangan di
provinsi-provinsi lainnya di luar Sumatera.
2. Pengembangan klaster ketahanan pangan
Dalam upaya untuk mengendalikan inflasi dari sisi supply, Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah telah
mengembangkan klaster pertanian, terutama untuk komoditas penyumbang inflasi utama seperti cabai
merah, padi, daging sapi, dan perikanan. Pada tahun 2015, pengembangan klaster pertanian akan
dilanjutkan dengan penambahan lokasi baru serta peningkatan kualitas klaster melalui program inklusi
keuangan.
3. Kerjasama antardaerah
Program TPID kerjasama antardaerah telah dilaksanakan oleh Provinsi Lampung melalui kerjasama dengan
DKI Jakarta untuk komoditas beras, daging ayam, daging sapi, dan pisang. Pada tahun 2015, kerjasama
antardaerah akan lebih ditingkatkan dengan menambah komoditas strategis lainnya.
Menghadapi berbagai risiko inflasi ke depan, TPID di Sumatera akan lebih memfokuskan kegiatan
pengendalian inflasi pada beberapa hal berikut :
1. Melanjutkan penguatan aspek kelembagaan TPID melalui :
a. penyusunan roadmap pengendalian inflasi yang disepakati dari nasional sampai dengan
kabupaten/kota,
b. percepatan pendirian TPID di setiap Kabupaten/Kota di Sumatera.
2. Mendorong terjaganya keseimbangan kapasitas produksi, khususnya untuk komoditas pangan dengan
permintaan produk-produk pertanian melalui :
a. pembangunan sistem pola, waktu dan lokasi penanaman produk-produk pertanian.
b. pembangunan sentra-sentra produksi pertanian (termasuk perikanan).
c. pelipatgandaan jumlah petani pakar dan klaster ketahanan pangan.
d. pengembangan terminal agribisnis untuk penjualan produk pertanian bersama.
e. penyempurnaan neraca pangan Sumatera.
f. pengembangan industri agribisnis di dekat sentra-sentra produksi bahan pangan untuk menjamin
keberlanjutan absorpsi produk bahan pangan, khususnya pada saat surplus produksi
g. peningkatan produktivitas pangan melalui penelitian, pendampingan dan pelatihan
3. Memberi subsidi kepada sektor transportasi publik oleh pemerintah daerah untuk mengendalikan
dampak inflasi dari kenaikan biaya transpotasi.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Perlambatan kredit Bank Umum kepada sektor korporasi pada triwulan IV 2014 masih berlanjut, sejalan
dengan perlambatan ekonomi di wilayah Sumatera. Pada triwulan IV 2014, kredit sektor korporasi tumbuh
8,73% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 10,91% (yoy) (Grafik II.21).
Penurunan laju pertumbuhan kredit korporasi terutama terjadi pada sektor utama, yaitu sektor pertanian,
sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan (Grafik II.22). Menurunnya harga jual komoditas utama
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
seperti CPO dan karet meningkatkan risiko pelaku usaha di sektor pertanian, perdagangan dan industri
pengolahan yang terkait dengan komoditas-komoditas tersebut.
Berdasarkan provinsi, pertumbuhan kredit korporasi terendah dialami oleh Aceh dan Kepulauan Riau. Kredit di
kedua provinsi tersebut tumbuh negatif masing-masing 1,53% (yoy) dan 0,25% (yoy) (Grafik II.23).
Menurunnya penyaluran kredit industri pengolahan di Aceh dan kredit konstruksi di Kepulauan Riau menjadi
penyebab utama penurunan tersebut. Sementara itu, beberapa provinsi yang masih menunjukkan peningkatan
pertumbuhan kredit korporasi yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau.
Grafik II.21. Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera Grafik II.22. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera
Dari sisi kualitas kredit, kinerja kredit kepada korporasi relatif masih cukup baik. Hal ini terlihat dari tingkat non
performing loan (NPL) yang masih dalam batas aman (di bawah 5%). NPL kredit korporasi menunjukkan tren
penurunan yakni dari 2,84% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 2,59% (yoy) (Grafik II.3.23). Nilai NPL tersebut
juga lebih rendah dari rata-rata tiga tahun terakhir sebesar 2,94% (yoy). Sejalan dengan hal tersebut, kualitas
kredit kepada tiga sektor utama relatif masih terjaga, (NPL di bawah 5%), bahkan pada triwulan IV 2014 NPL
lebih rendah dibandingkan dengan triwulan lalu, di tengah menurunnya penyaluran kredit pada sektor-sektor
tersebut (Grafik II.24). Demikian halnya dengan NPL disektor perdagangan yang cenderung lebih tinggi
dibanding dengan kredit pada sektor lainnya, namun pada akhir triwulan IV 2014 telah menunjukkan adanya
perbaikan.
Grafik II.23. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Korporasi
Provinsi Grafik II.24. Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Penyaluran kredit konsumsi oleh bank umum tumbuh meningkat, yakni dari 9,73% (yoy) pada triwulan III 2014
menjadi 10,87% (yoy) pada triwulan IV 2014. Berdasarkan peruntukannya, mayoritas kredit sektor rumah
tangga ditujukan untuk kredit multiguna (43,57%) diikuti dengan kredit kepemilikan rumah, apartemen dan
10.91
8.73
0
5
10
15
20
25
30
35
0
50
100
150
200
250
300
350
400
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
Rp TriliunKredit Sektoral gKredit (Skala Kanan)
%yoy
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
%yoy gKredit Lapangan Usaha gPertanian
gIndustri Pengolahan gPHR
-10.00
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00 %yoy Tw I-2014 Tw II-2014 Tw III-2014 Tw IV-2014
3.05
1.76
1.24
4.08
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
%
PHR
Sektoral
Pertanian
Industri Pengolahan
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
rukan (26,91%) serta kredit kendaraan bermotor (13,03%) (Grafik II. 25). Dibandingkan dengan pertumbuhan
pada triwulan III 2014, penyaluran kredit multiguna dan kendaraan bermotor masih menunjukkan percepatan
pertumbuhan yakni masing-masing 31,47% dan 24,82%. Di sisi lain, kredit kepemilikan rumah cenderung
melambat, yaitu tumbuh 7,31%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya 7,94% (Grafik II.26). Berdasarkan
provinsi, penyaluran kredit rumah tangga di sebagian besar provinsi masih menunjukkan peningkatan
pertumbuhan, dengan pertumbuhan tertinggi di provinsi Bengkulu (Grafik II.27). Adapun penyaluran kredit
rumah tangga terbesar di provinsi Sumatera Utara yang mencapai 23,11% dari total kredi rumah tangga
Sumatera.
Grafik II.25. Pangsa Kredit Rumah Tangga Grafik II.26. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera
Kualitas kredit sektor rumah tangga masih terjaga, dengan angka NPL yang relatif rendah dan menurun. NPL
kredit rumah tangga pada triwulan IV 2014 tercatat 1,62%, lebih rendah dari 1,81% pada triwulan III 2014.
Berdasarkan jenisnya, NPL yang tertinggi berasal dari peyaluran kredit untuk perumahan atau apartemen yakni
sebesar 3,40%. NPL tersebut lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 3,82%. Sementara itu, NPL
penyaluran kredit kepada kendaraan bermotor dan multiguna relatif rendah yakni masing-masing 1,18% dan
0,94% (Grafik II.28).
Grafik II.27. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Rumah Tangga
Provinsi Grafik II.28. NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Penyaluran kredit kepada UMKM di Sumatera pada triwulan IV 2014 mencapai 27,61% dari total kredit
Sumatera, dengan pertumbuhan kredit mencapai 13,49% (yoy). Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari
pertumbuhan total kredit yang sebesar 9,43%. Namun, bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
tumbuh sebesar 15,68% (yoy), pertumbuhan tersebut melambat. Dari sisi sektoral, kredit UMKM mayoritas
disalurkan kepada sektor perdagangan sebesar 51,3%, diikuti dengan sektor pertanian sebesar 20,4%, dan
KPR KPA Rukan27%
KKB13%
Multiguna44%
Lainnya16%
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
%yoy
g. Multiguna
g. KPR, KPA, Rukang. Kredit RT
g. KKB
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00 %yoyTw I-2014 Tw II-2014 Tw III-2014 Tw IV-2014
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
NPL Multiguna
NPL KPR, KPA, Rukan
NPL Kredit RT
NPL KKB
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
sektor industri pengolahan sebesar 6,6%. Perlambatan penyaluran kredit terutama terjadi di sektor pertanian
dan industri pengolahan, sementara sektor perdagangan masih relatif stabil, yaitu tumbuh sebesar 9,9% (yoy).
Berdasarkan provinsi, penyaluran kredit UMKM terbesar ditujukan ke provinsi Sumatera Barat dengan pangsa
sebesar 33,83%, diikuti dengan Bengkulu sebesar 32,02%
Berdasarkan kualitasnya, penyaluran kredit UMKM cenderung memiliki NPL yang relatif tinggi yakni mencapai
5,27%, meski membaik dari triwulan sebelumnya sebesar 5,63%. Dari sisi lapangan usaha, NPL kredit kepada
UMKM yang tercatat tinggi yaitu sektor konstruksi dan perdagangan. Berdasarkan provinsi, kualitas kredit
UMKM terbaik dialami oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan NPL sebesar 3,74%, sementara
terburuk dialami oleh Provinsi Aceh dengan NPL mencapai 11,56%.
Grafik II.29. Perkembangan Kredit UMKM Sumatera Grafik II.30. Pangsa Sektor Utama Kredit UMKM Sumatera
Kinerja Sistem Pembayaran
Transaksi perbankan di wilayah Sumatera melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada
triwulan IV 2014 mengalami peningkatan secara nilai, namun dari sisi volume transaksi mengalami penurunan.
Secara nilai, transaksi RTGS pada triwulan IV 2014 tumbuh 32,04% (yoy), menjadi Rp816 triliun, lebih besar
dibandingkan dengan triwulan III yang hanya tumbuh sebesar 13,88% (yoy). Sementara itu, volume transaksi
RTGS pada triwulan IV 2014 turun sebesar 2,84% (yoy). Penurunan transaksi RTGS tersebut terkait dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengharuskan transaksi bernilai di bawah 100 juta menggunakan Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
Tabel II.1. Perkembangan Transaksi RTGS Sumatera
Tabel II.2. Perkembangan Transaksi Kliring Sumatera
0
5
10
15
20
25
30
0
20
40
60
80
100
120
140
160
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
Rp Triliun Kredit UMKM g. Kredit UMKM
NPL Kredit UMKM
%
Pertanian20.41%
Industri6.57%
Konstruksi5.67%
PHR51.32%
Laiinnya16.03%
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
Transaksi pembayaran melalui kliring pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan baik volume maupun nilai
transaksi. Secara nilai, transaksi kliring tumbuh sebesar 9,72% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan
III yang hanya 6,51% (yoy), dengan total transaksi kliring mencapai Rp.72,1 Triliun. Sementara itu, volume
kliring meningkat signifikan sebesar 23,67% (yoy) pada triwulan IV 2014 dibandingkan dengan triwulan III 2014
yang hanya tumbuh sebesar 5,79%. Peningkatan ini merupakan akibat dari diberlakukannya ketentuan Bank
Indonesia yang mengharuskan transaksi keuangan di bawah 100 juta menggunakan SKNBI dan meningkatnya
transaksi masyarakat pada masa liburan akhir tahun.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Perkembangan aliran uang kartal di wilayah Sumatera pada triwulan IV 2014 secara umum mengalami net
outflows. Jumlah uang yang keluar dari Bank Indonesia (outflow) selama triwulan IV 2014 mencapai Rp23,98
triliun dengan jumlah uang yang masuk (inflow) Rp14,49 triliun. Untuk tahun 2014, net outflow terjadi hampir
di seluruh provinsi Sumatera kecuali Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. Hal ini berhubungan
dengan kegiatan perdagangan yang tinggi di ketiga provinsi tersebut. Perkembangan peredaran uang palsu di
Sumatera pada tahun 2014 mengalami penurunan 20,45% (yoy) dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Total peredaran uang palsu pada tahun 2014 berjumlah 7827 lembar atau 6,41% dari total peredaran uang
palsu Nasional. Dalam menanggulangi peredaran uang palsu, Bank Indonesia senantiasa melakukan sosialisasi
ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat, melalui sekolah, universitas, pemerintah daerah, dan
sebagainya. Selain itu, Bank Indonesia juga secara rutin melakukan kas keliling untuk menjangkau seluruh
wilayah Indonesia, seperti yang dilakukan
Grafik II.31. Perkembangan Inflow dan Outflow Sumatera
(2014) Grafik II.32. Perkembangan Uang Palsu
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan mengalami perbaikan. Ekonomi
Sumatera diperkirakan tumbuh 4,6% - 5,1% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2014.
Peningkatan diperkirakan terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera kecuali Riau dan Jambi. Hal tersebut
didukung oleh berbagai rencana infrastruktur yang akan dilaksanakan pada tahun 2015, sehingga investasi
diperkirakan akan meningkat. Adanya pengalihan subsidi BBM ke berbagai proyek seperti bangun desa, irigasi,
dan waduk juga diperkirakan akan mendorong kegiatan investasi dan konsumsi Pemerintah. Optimisme
perbaikan ekonomi negara mitra dagang dan harga komoditas internasional diperkirakan juga akan
mendorong kegiatan ekspor Sumatera.
-10
-5
0
5
10
15
20
25
Aceh Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Babel Lampung Bengkulu
Rp TriliunInflow Outflow Net Inflow (Outflow)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2013 2014
lembar
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi diperkirakan akan didorong oleh sektor industri pengolahan; dan sektor
perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor yang masih tumbuh tinggi. Berbagai
pengembangan infrastruktur jalan maupun pelabuhan diperkirakan akan mendorong aktivitas sektor industri
pengolahan lebih tinggi. Selain itu, kegiatan perdagangan di kawasan Sumatera juga diperkirakan akan terus
mengalami pertumbuhan akibat konsumsi rumah tangga yang masih relatif tinggi,
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan mendukung pencapaian target sasaran inflasi
nasional 41%. Inflasi Sumatera diperkirakan berada pada kisaran 3,9% - 4,4% (yoy), sejalan dengan
menurunnya harga minyak dunia. Tren penurunan harga minyak dunia akan menurunkan tekanan harga pada
kelompok Administered Prices seperti harga bahan bakar rumah tangga dan tarif transportasi.
Menurunnya biaya produksi, akan menurunkan tekanan harga secara umum. Dengan harga minyak dunia yang
cenderung turun, dan kenaikan UMP yang tidak setinggi tahun sebelumnya, memengaruhi biaya produksi yang
menjadi relatif lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan menurunkan harga jual barang atau jasa. Selain
itu, sentimen penurunan harga jual barang dan jasa akan menjaga ekspektasi masyarakat. Di sisi lain, harga
komoditas yang masih cenderung rendah, akan menahan tingkat konsumsi masyarakat. Hal ini akan menekan
inflasi khususnya kelompok inti (core).
Faktor lain yang diperkirakan mampu menahan laju inflasi pada tahun 2015 adalah faktor iklim, yang
diperkirakan oleh BMKG lebih kondusif dibandingkan dengan tahun 2014. Sehingga produksi bahan pangan di
Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara diperkirakan meningkat dari
tahun sebelumnya. Dengan kondisi ini supply pasokan, terutama, bahan pangan akan lebih terjamin.
Selanjutnya, ketersediaan pasokan pangan yang lebih baik diperkirakan akan cukup menahan laju inflasi pada
kelompok volatile food.
Beberapa faktor yang dapat memperbesar inflasi pada tahun 2015 adalah, penyesuaian tarif Listrik, dan
kenaikan tarif pembuatan SIM. Selain itu, potensi risiko dari kenaikan imported inflation masih perlu dicermati
dampaknya pada prospek inflasi Sumatera secara keseluruhan. Menghadapi risiko ini, seluruh TPID di seluruh
provinsi Sumatera telah merancang roadmap jangka pendek dan jangka panjang terkait penanganan inflasi
daerah yang diharapkan dapat menekan risiko peningkatan inflasi di Sumatera.
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
Kondisi Perekonomian Kabupaten dan Kota di Sumatera
Latar belakang isu regional ini adalah adanya dugaan bahwa pertumbuhan ekonomi Sumatera selama ini lebih
banyak terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan yang sebagian besar berlokasi di pantai timur Sumatera.
Hal ini mendorong perlunya asesmen singkat untuk mengidentifikasi symptom awal terjadinya ketimpangan
perekonomian antarkabupaten dan kota di Sumatera. Pendekatan yang diambil dalam menerjemahkan
ketimpangan adalah dengan menggunakan angka Williamson Index9 setiap kabupaten atau kota se-Sumatera.
Beberapa variabel yang digunakan untuk lebih memahami ketimpangan perekonomian ini yaitu tingkat
kapasitas perekonomian, kapasitas fiskal serta tingkat kemiskinan. Kapasitas perekonomian diterjemahkan
sebagai besaran pendapatan per kapita kabupaten atau kota yang bersangkutan. Sementara kemampuan fiskal
didekati dari dua sisi yaitu dari sisi kemampuan APBD mendukung perekonomian serta sisi kemampuan PAD
mendukung perekonomian daerah. Digunakannya APBD dan PAD sebagai variabel terpisah dimaksudkan untuk
lebih mendalami kemampuan fiskal genuine suatu Kabupaten/Kota mengingat di dalam APBD masih
terkandung Dana Alokasi yang bersumber dari pemerintah pusat.
Sumber: WorldBank-diolah Sumber: WorldBank-diolah Grafik II.33. Wlliamson Index berdasarkan PDRB Per Kapita Grafik II.34. Wlliamson Index berdasarkan APBD Per Kapita
Angka Williamson Index berdasarkan PDRB per kapita mengonfirmasi hipotesis awal bahwa pertumbuhan
ekonomi di Sumatera hanya terpusat pada daerah-daerah yang selama ini telah dikenal sebagai pusat
pertumbuhan, baik karena kondisi infrastrukturnya yang memadai maupun karena kandungan sumber daya
alamnya. Berdasarkan hasil pemetaan, Kabupaten Bengkalis, Rokan dan Siak serta Batam, Medan dan Padang
tercatat sebagai Kabupaten/Kota dengan PDRB perkapita jauh di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna hijau
tua). Seluruh Kabupaten/Kota tersebut berlokasi di pantai timur Sumatera, kecuali Kota Padang. Sementara
9 Williamson Index digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan perekonomian (pendapatan per kapita, fiskal) suatu wilayah pada
waktu tertentu. Perhitungan indeks ini adalah jika mendekati 1 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah sangat timpang dengan
wilayah lainnya sebaliknya jika mendekati 0 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah relatif merata dibandingkan wilayah lainnya.
0 - 0,05
0,05 - 0,15
> 0,15
Indeks Vw
0 - 0,05
0,05 - 0,15
> 0,15
Indeks Vw
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
Kabupaten/Kota lainnya yang juga memiliki PDRB per kapita sedikit di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna
hijau muda) juga berlokasi di pantai timur Sumatera.
Dari pemetaan sisi kapasitas fiskal Kabupaten/Kota dalam mendukung perekonomian juga terkonfirmasi
bahwa perekonomian Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
perekonomian Kabupaten/Kota di pantai barat Sumatera. Hal ini tercermin dari banyaknya Kabupaten/Kota di
pantai timur Sumatera yang memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata kapasitas fiskal kabupaten/Kota di
Sumatera. Selain itu, variabel ini juga dapat menunjukkan indikasi pengelolaan anggaran Kabupaten/kota.
Sebagai contoh pada beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan
memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata (warna hijau tua), namun memiliki PDRB per kapita di bawah rata-
rata. Begitu pun sebaliknya, beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki kapasitas fiskal di bawah rata-rata
namun memiliki PDRB per kapita di atas rata-rata seperti misalnya Kota Banda Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Sama halnya dengan Williamson index berdasarkan APBD, Williamson index berdasarkan PAD juga
mengonfirmasi lebih tingginya kapasitas fiskal asli Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera. Perbandingan
Williamson index berdasarkan PDRB per kapita dan PAD semakin menunjukkan banyaknya Kabupaten/Kota
dengan PAD di atas rata-rata PAD Sumatera, namun kurang optimal dalam mengelola kapasitas fiskal.
Meskipun demikian, jika dilihat dari sebaran tingkat kemiskinannya, sebagaimana Grafik II.36, hanya
Kabupaten/Kota di propinsi NAD dan sebagian Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung
yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata (warna kuning pastel) tingkat kemiskinan Kabupaten/Kota
se-Sumatera.
Sumber: WorldBank-diolah Sumber: WorldBank-diolah
Grafik II.35. Wlliamson Index berdasarkan PAD Per Kapita Grafik II.36. Sebaran tingkat kemiskinan
Mengingat pola pertumbuhan di regional Sumatera terpusat di beberapa lokasi di pantai timur, maka perlu
untuk mempertimbangkan penciptaan pusat pertumbuhan baru atau pemanfaatan pusat pertumbuhan
existing di pantai Barat Sumatera seperti halnya Kota Padang untuk dapat lebih mengurangi kesenjangan
perekonomian antar Kabupaten/Kota di Sumatera.
0 - 0,05
0,05 - 0,20
> 0,20
Indeks Vw
0 - 12%
12 - 15%
> 15%
Tingkat Kemiskinan
-
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
Potensi Pengembangan Perekonomian Pantai Barat Sumatera
Implikasi dari ketimpangan perekonomian di Sumatera adalah diperlukannya pusat-pusat pertumbuhan baru
di Sumatera, khususnya di wilayah pantai barat Sumatera. Berdasarkan identifikasi terkini pada Desember
2014, 24% dari total nilai ekspor Sumatera bertujuan ke negara-negara di tepi Samudera Hindia dan 20,70%
dari total ekspor ke negara-negara anggota IORA (Indian Ocean Rim Association). Adapun produk ekspor
Sumatera ke negara tersebut antara lain karet remah (crumb rubber), CPO, dan kelompok kopi, teh, dan
bumbu-bumbuan.
Saat ini mitra dagang utama Sumatera adalah Jepang, USA dan Korea. Data World Trade Organization
menunjukkan bahwa negara-negara tersebut saat ini sedang mengalami stagnasi ataupun perlambatan dalam
perdagangan mereka. Sementara itu, perdagangan negara lainnya seperti India, Turki dan United Arab
Emirates terus tumbuh. Kondisi ini melahirkan peluang bagi Sumatera untuk mendiversifikasi pasar ekspornya.
Dengan keunggulan posisi geografis Sumatera, khususnya pantai barat yang berbatasan langsung dengan
Samudera Hindia, potensi diversifikasi ke negara-negara di tepi Samudera Hindia dapat menjadi salah satu
peluang. Saat ini 50% lalu lintas kargo curah serta dua pertiga pengapalan minyak dunia melalui Samudera
Hindia. Selain itu, posisi Indonesia yang mendapat giliran sebagai ketua IORA pada akhir tahun 2015 juga dapat
mendorong implementasi penguatan transportasi kelautan, perikanan dan Preferential Tariff Aggreement
(PTA) yang merupakan fokus utama organisasi ini. Potensi infrastruktur yang telah dimiliki, yaitu pelabuhan
Teluk Bayur dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus di Sumatera Barat juga dapat dioptimalkan.
Pelabuhan Teluk Bayur saat ini masih under capacity