Laporan Mitben Yuanita

35
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN MITIGASI BENCANA PENGAMATAN DESA BEDONO, DEMAK Disusun Oleh : YUANITA SAFITRI 26020213140095 OSEANOGRAFI-B PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

description

mitigasi bencana

Transcript of Laporan Mitben Yuanita

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

MITIGASI BENCANAPENGAMATAN DESA BEDONO, DEMAK

Disusun Oleh :

YUANITA SAFITRI

26020213140095

OSEANOGRAFI-BPROGRAM STUDI OSEANOGRAFI

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Rob dan banjir masih menjadi ancaman bagi warga Kota Semarang, khususnya di wilayah bawah. Website Semarang Kota menyebutkan, di beberapa wilayah, ancaman banjir dan rob selalu datang hampir tiap tahun. Beberapa wilayah yang dimaksud diantaranya adalah Kecamatan Tugu, Wilayah Studi, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Timur, Pedurungan, Gayamsari dan Kecamatan Genuk. Rob di Semarang berdasarkan hasil studi lebih disebabkan oleh penurunan tanah yang terjadi setiap tahunnya yang rata-rata 5-9 cm per tahun di Semarang bagian bawah, bukan karena kenaikan air laut (www.Bintari.org). Sebagai contoh dari fenomena penurunan muka tanah ini adalah diketahui bahwa ketinggian rata-rata di wilayah Kota Lama berkisar antara 0,5 1 m di atas permukaan air laut dengan kelerengan yang sangat kecil yaitu 0-2 %. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi di Kawasan Kota Lama secara umum relatif datar. Dan selalu mengalami penurunan tanah/ land subsidence sebesar 8-9 cm/tahun (Bappeda Kota Semarang, 2006). Pakar Hidrologi Undip, Nelwan menuturkan, upaya pemerintah untuk mengatasi genangan banjir di Kota Semarang dirasa belum optimal. Artinya, rencana untuk membuat saluran baru memang suatu yang perlu didukung, misalnya mengalirkan air hujan untuk ditampung di kolam retensi kemudian dibawa ke laut. Akan tetapi, fungsi rumah pompa harus mutlak dimaksimalkan. Kondisi ini karena penyebab banjir itu tidak semata masalah drainase, tetapi juga muka tanah di Semarang sudah berada di bawah air pasang laut.

1.2 TujuanTujuan yang ingin dicapai dalam pengerjaan laporan ini adalah sebagai berikut.1. Mahasiswa mengetahui nilai potensi bahaya, kerentanan dan resiko pada suatu wilayah pengamatan. 2. Mahasiswa melakukan analisa dengan strategi adaptasi dan mitigasi yang efektif dalam menjawab permasalahan bencana suatu wilayah pengamatan.

1.3 ManfaatManfaat yang akan didapat dari hasil pengerjaan laporan ini adalah sebagai berikut. 1. Mahasiswa dapat mengetahui nilai potensi bahaya, kerentanan dan resiko pada suatu wilayah pengamatan. 2. Mahasiswa dapat memberikan hasil analisa dengan strategi adaptasi dan mitigasi yang efektif dalam menjawab permasalahan bencana suatu wilayah pengamatan.II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Wilayah Pesisir dan PantaiPesisir merupakan area di darat yang dipengaruhi oleh proses ekosistem yang ada di laut, misalnya angin yang membawa butiran air yang mengandung garam tinggi dan sampai atau jatuh di daerah darat. Batas peisisir hanya sampai garis pesisir. Garis pesisir (coastline) adalah batas antara darat dan air, di mana permukaan airnya terjadi pada saat pasang tertinggi perlu diketahui dengan tepat kedudukannya dalam pembangunan pelabuhan, sebab kedudukan batas jangka panjang keadaannya relatif tetap. Tetapi bila dalam pembangunan pelabuhan tidak diketahui atau tidak ditetapkan terlebih dahulu garis batas pantai ini, akan sangat membahayakan dan bahkan dapat menggagalkan kegiatan pembangunan pelabuhan. Hal ini disebabkan batas garis pantai (shore line) tidak tetap dan terus bergerak dari waktu ke waktu (Fandeli, 2011).

Sejalan dengan itu Triatmodjo (1999) berpendapat bahwa pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sedang pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, di mana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem sangat unik karena di tempat ini tiga komponen planit bumi bertemu; hidrosfir, litosfir dan biosfir (Pallewatta dalam Rositasari et al., 2011). Keunikan lain dari kawasan ini adalah terdapatnya beberapa habitat yang sangat produktif seperti estuari, laguna, lahan basah dan karang tepi (Clark dalam Rositasari et al., 2011). Keunikan kawasan ini menghasilkan berbagai sektor bernilai komesial tinggi, seperti pangan, pemukiman, parawisata, perikanan dan industri. Sejalan dengan itu Hakim et al., (2013), menyatakan wilayah pesisir sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia seperti: pusat pemerintahan, pemukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian dan pariwisata.

Pemanfaatan wilayah pesisir yang terus berlanjur berakibat pada bertambahnya kebutuhan lahan dan prasarana lainnya, sehingga mengakibatkan timbulnya masalah-masalah baru seperti abrasi pantai, sedimentasi dan pendangkalan muara sungai, penurunan tanah dan intrusi air asin serta pencemaran lingkungan. Selain itu, wilayah pesisir sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan muka laut (sea level rise) dan variabilitas musiman (El Nio, gelombang badai dan kejadian ekstrim laut lainnya), wilayah pesisir juga rentan terhadap aktivitas manusia baik di darat maupun di laut, sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Hakim et al., 2013).

Gambar 2.1 Definisi dan Batasan Pantai (Triatmodjo, 1999).

2.2 Gambaran Umum Kota SemarangKota Semarang merupakan salah satu kota yang terletak di pesisir Laut Utara Jawa. Secara geografis terletak pada 65552.5 LS - 65845 LS dan 1101718 BT 1102925 BT memiliki panjang garis pantai 36.6 km, dengan luas wilayah daratan pesisir: 9,111.28 ha (47.6%), luas wilayah perairan: 10,048.80 ha (52.4%) (Bappeda Kota Semarang dalam Hakim et al., 2013). Pemanfaatan wilayah pesisir Kota Semarang sangat beragam, mulai dari pemanfaatan pesisir sebagai wilayah perumahan modern, permukiman, kawasan terbuka hijau hingga pemanfaatan sebagai lahan tambak oleh msayarakat pesisir, hal ini akan menyebabkan adanya intervensi manusia maupun terhadap kondisi pesisir, seperti terjadinya reklamasi untuk memenuhi kebutuhan perumahan, maupun wahana rekreasi maupun adanya penggundulan mangrove sebagai pembukaan tambak baru (Hakim et al., 2013).Secara topografis Kota Semarang terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai, dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan dan tonjolan. Daerah pantai 65,22% wilayahnya adalah dataran dengan kemiringan 25% dan 37,78 % merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan 15-40%. Wilayah Kota Semarang berada pada ketinggian antara 0 sampai dengan 348,00 meter dpl (di atas permukaan air laut) (Pemerintah Kota Semarang, 2010). Kondisi lingkungan Kota Semarang telah mengalami penurunan kualitas, angka pasang surut dari tahun 1991 setinggi 0,87 m, menjadi 0,97 m pada tahun 1994 (laporan dari JICA Japan International Corporation Agency dalam Pemerintah Kota Semarang, 2010). Kenaikan tinggi pasang surut ini berdampak pada rob di kawasan Semarang Utara, Semarang Tengah dan Genuk. Kawasan pantai yang terkena rob khususnya di Kecamatan Semarang Utara dan Semarang Tengah dipengaruhi oleh adanya penurunan muka tanah dengan laju 2 8 cm/tahun (Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan), seperti misalnya di Kelurahan Panggung Lor, Panggung Kidul, Kawasan Tawang/Kota Lama sampai ke Kawasan Tanjung Mas (Pemerintah Kota Semarang, 2010).2.3 Kerentanan Wilayah PesisirDalam prespektif oseanografi, wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rawan terhadap perubahan iklim. Banjir pasang (penggenangan), banjir, abrasi/erosi dan intrusi air laut adalah beberapa aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang akan menimbulkan kerugian (Rositasari et al., 2011).

Kerentanan atau vulnerability telah muncul sebagai suatu konsep sentral dalam memahami akibat bencana alam serta untuk mengembangkan strategi pengelolaan risiko bencana. Definisi secara umum kerentanan adalah tingkatan suatu sistem yang mudah terkena atau tidak mampu menanggulangi bencana. Triutomo et al. dalam Wahyudi et al. (2009) mendefinisikan kerentanan sebagai kondisi suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi bencana. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari aspek fisik, sosial kependudukan dan ekonomi. Kerentanan fisik menggambarkan suatu kondisi fisik yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu (Wahyudi et al., 2009).Menurut Kaiser dalam Febriansyah et al. (2012), kerentanan pantai adalah suatu kondisi yang menggambarkan keadaan susceptibility (mudah terkena) dari suatu sistem alami serta keadaan sosial pantai (manusia, kelompok atau komunitas) terhadap bencana pantai. Ditambahkan oleh Wahyudi dalam Rupang et al. (2014), bahwa penilaian kerentanan pantai merupakan prerekues yang penting dalam menentukan daerah yang berisiko tinggi, mengapa mereka berada dalam risiko serta bagaimana cara mengurangi tingkat risiko tersebut.Secara umum kondisi atau tingkat kerusakan yang terjadi akan bergantung pada tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi air. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kota-kota besar yang mayoritas berada di kawasan tepi air, gangguan terhadap kawasan tepi air yang salah satunya dapat diakibatkan oleh adanya kenaikan permukaan air laut dapat memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian diperlukan adanya upaya untuk mengantisipasi dampak negatif yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kenaikan permukaan air laut (Suprijanto, 2003).2.4 Indeks Kerentanan Pesisir (IKP)Evaluasi kerentanan pesisir sangat diperlukan dalam kerangka kerja dari evaluasi terhadap pengaruh dan kemungkinan dari respon terkait fenomena perubahan yang terjadi. Evaluasi yang dilakukan meliputi sensitivitas wilayah pantai terhadap kenaikan muka air laut dan peran penting wilayah pesisir dalam segi sosial, ekonomi dan ekologi. Berbagai macam metode evaluasi kerentanan pantai dilakukan dengan berdasarkan pendekatan indeks. Salah satu metode yang biasa dilakukan untuk evaluasi kerentanan fisik seperti erosi dan atau inundasi adalah menggunakan indeks kerentanan pesisir (Sulma et al., 2012). Secara umum, penerapan metode IKP (Indeks Kerentanan Pesisir) merupakan pendekatan sederhana dalam menyediakan dasar skala penilaian terhadap perubahan fisik pantai yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wilayah yang memiliki resiko tinggi. Metode ini telah digunakan dalam program evaluasi nasional kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka air laut di Amerika Serikat dan evaluasi kerentanan pesisir di Indonesia (Sulma et al., 2012).

Sebagian besar evaluasi tingkat kerentanan pantai khususnya di wilayah pesisir di kota-kota besar di Indonesia hanya berdasarkan kriteria IKP yang sama untuk keadaan lapangan yang berbeda. Penerapan metode yang demikian menyebabkan output yang dihasilkan tidak mewakili keadaan sesungguhnya di lokasi penelitian. Sehingga perlu dilakukan standarisasi variabel dan indeks kerentanan yang spesifik untuk wilayah pesisir yang di evaluasi (Sulma et al., 2012). Menurut Prawiradisastra (2011), kerentanan suatu daerah terhadap bencana dapat dilihat dari beberapa parameter. Kerentanan dilihat dari 3 parameter utama, yaitu:

a. Kepadatan penduduk; semakin besar kepadatan penduduk maka kerentanan suatu daerah dikatakan semakin besar. Apabila suatu bencana terjadi pada daerah berpenduduk padat maka peluang jatuhnya korban lebih besar, dibandingkan pada daerah berpenduduk jarang. b. Penggunaan lahan; jenis penggunaan lahan yang dianggap mempunyai tingkat risiko tinggi adalah kawasan permukiman atau kawasan terbangun. Apabila bencana terjadi pada kawasan terbangun maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian akibat kerusakan bangunan atau fasilitas permukiman lainnya. c. Distribusi infrastruktur; obyek-obyek vital seperti pasar, bandar udara, pelabuhan, pembangkit listrik dan bendungan serta instalasi air bersih merupakan beberapa contoh obyek vital yang harus dipelihara dari kerusakan akibat bencana alam. Kerusakan obyek-obyek vital ini akan berdampak pada menurunnya tingkat pelayanan kebutuhan masyarakat.Namun dalam beberapa penelitian, indeks kerentanan pantai diukur dengan menggunakan enam variabel, yaitu: 1) Geomorfologi; 2) Perubahan garis pantai; 3) Kemiringan pantai; 4) Perubahan elevasi muka air relatif; 5) Rata-rata tinggi gelombang; dan 6) Rata-rata kisaran pasang surut (Firmansyah et al., 2012; Rupang et al., 2014).

2.5 Variabel-variabel Kerentanan PesisirTelah disebutkan sebelumnya mengenai beberapa variabel yang mempengaruhi indeks kerentanan pantai. Berikut ini adalah variabel yang digunakan untuk menghitung nilai indeks kerentanan pantai:

2.5.1 GeomorfologiPengamatan geomorfologi pantai dilakukan dengan metode visual, yaitu pengamatan yang dilakukan dengan melihat langsung kondisi yang sebenarnya di lapangan terhadap obyek kajian dalam hal ini adalah geomorfologi pantai (Firmansyah et al., 2012).

Proses geomorfologi merupakan proses alami yang berlangsung pada permukaan bumi sehingga terjadi perubahan bentuk lahan di permukaan bumi. Perubahan bentuk lahan tersebut menghasilkan bentukan pada permukaan bumi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan demikian akan mempunyai susunan dan karakteristik fisik serta visual yang berbeda pula. Perbedaan tersebut dapat diidentifikasi secara jelas melalui karakteristik relief/morfologi, struktur/litologi, dan proses-proses geomorfologi (Rupang et al., 2014).Ditambahkan oleh Triatmodjo (1999), bahwa bentuk profil pantai sangat dipengaruhi oleh serangan gelombang, sifat-sifat sedimen seperti rapat massa dan tahanan terhadap erosi, ukuran dan bentuk partikel, kondisi gelombang dan arus serta bathimetri pantai.

2.5.2 Perubahan Garis PantaiLaju perubahan garis pantai dapat diartikan sebagai profil suatu garis pantai dalam proses kestabilannya (maju atau mundur) setiap tahun. Dalam metode penentuan laju perubahan posisi suatu garis pantai menurut suatu rentang waktu, laju perubahan garis pantai diekspresikan sebagai jarah dari suatu posisi garis pantai mengalami perpindahan dalam tiap tahun (Himmelstoss dalam Rupang et al., 2014).

Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh aktivitas manusia seperti pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat merubah keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan. Dengan curah hujan yang dengan intensitas tinggi juga dapat mempengaruhi peruhan garis pantai. Di sepanjang kawasan pantai terdapat segmen-segmen pantai yang mengalami erosi, disamping ada bagian-bagian yang mengalami akresi/sedimentasi dan segmen yang stabil (Tarigan, 2007).

Perubahan garis pantai berupa abrasi lebih dari 2m/tahun memiliki nilai kerentanan sangat tinggi, sedangkan perubahan garis pantai akibat akresi lebih dari 2 m/tahun memiliki nilai kerentanan sangat rendah. Akresi akan menambah luasan dari daratan karena garis pantai yang semakin maju menuju ke arah laut sedangkan abrasi akan mengurangi luasan dari daratan (Amandangi dalam Rupang et a., 2014).2.5.3 Kemiringan Pantai

Menurut Rochmanto dan Franscles (2012), berdasarkan pembagian sudut lereng maka diperoleh beberapa klasifikasi, yaitu sebagai berikut:

1. 61-90, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang terjal;2. 31-60, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang sedang; 3. 0-30, diinterpretasikan sebagai daerah dengan morfologi yang landai.Sejalan dengan itu Arsyad dalam Rupang et al. (2014), bahwa kemiringan lereng menunjukan besarnya sudut lereng dalam persen atau derajat. Dua titik yang berjarak horizontal 100 meter yang mempunyai selisih tinggi 10 meter membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45 derajat. Selain dari memperbesar jumlah aliran permukaan, semakin curamnya lereng juga memperbesar energi angkut air. Jika kemiringan lereng semakin besar, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan akan semakin banyak. Hal ini disebabkan gaya berat yang semakin besar sejalan dengan semakin miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal, sehingga lapisan tanah atas yang tererosi akan semakin banyak. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam, maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2,0-2,5 kali lebih banyak.1. Perubahan Elevasi Muka Air Laut Relatif

Perubahan elevasi muka air laut relatif dapat disebabkan akibat adanya kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah. Kenaikan muka air laut atau sea level rise adalah fenomena naiknya muka air laut sebagai akibat dari perubahan iklim yang merupakan isu penting saat ini (Sihombing et al., 2012). Selama 30 tahun terakhir ini, pemanasan global telah menyebabkan lapisan es di laut Artik di Kutub Utara menipis sebesar 40 persen. Di Antartika, lapisan es juga ikut mencari dengan tingkat yang sangat cepat akibat pemanasan global. Saat atmosfer mulai menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan ikut menghangat, sehingga volumenya akan membesar dengan mencairnya es di kutub Utara dan Selatan. Akibatnya adalah naiknya tinggi permukaan laut dan lebih banyak volume air di laut (Rusbiantoro, 2008).

Gambar 2.2 Grafik Kenaikan Permukaan Air Laut (Pearce, 2003 dalam Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Menurut Diposaptono dalam Suhelmi (2013), bahwa dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan muka air laut adalah sebagai berikut: 1) Peningkatan frekuensi dan intensitas banjir; 2) Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove; 3) Perluasan intrusi air laut; 4) Peningkatan ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir; dan 5) Berkurang luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.Menurut Meiviana et al. dalam Kodoatie dan Sjarief (2010), untuk wilayah Indonesia, adapun daerah-daerah pesisir yang termasuk rawan akan dampak kenaikan muka air laut antara lain sebagai berikut:

a. Pantai Utara Jawa, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Antara Tahun 1925-1989, kenaikan muka air laut yang telah terjadi di Jakarta (4,38 mm/tahun), Semarang (9,27 mm/tahun) dan Surabaya (5,47 mm/tahun);

b. Pantai Timur Sumatera;

c. Pantai Selatan, Timur dan Barat Kalimantan;

d. Pantai Barat Sulawesi;

e. Daerah rawa di Irian Jaya yang terletak di pantai Barat dan Selatan.Menurut Suhelmi (2013), penurunan muka tanah (land subsidence) adalah fenomena alami yang terjadi karena adanya konsolodasi tanah akibat dari pematangan lapisan tanah yang masih muda. Penurunan muka tanah yang terjadi saat musim hujan bersinergi dengan banjir rob menjadikan wilayah genangan semakin luas. Ditambahkan oleh Abidin et al. dalam Anggraini et al. (2012), bahwa penurunan muka tanah disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan, semakin meningkatnya bangunan baik industri maupun pemukiman dan akibat konsolidasi alami tanah aluvial. Penurunan muka tanah yang terjadi membuat kenaikan muka air laut yang terjadi seolah-olah lebih besar sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar.2. Rata-rata Tinggi Gelombang

Pada hakekatnya fenomena gelombang laut menggambarkan transmisi dari energi dan momentum. Gelombang laut selalu menimbulkan sebuah ayunan air yang bergerak tanpa henti-hentinya pada lapisan permukaan laut dan jarang dalam keadaan sama sekali diam. Hembusan angin sepoi-sepoi pada cuaca yang tenang sekalipun sudah cukup untuk dapat menimbulkan riak gelombang. Sebaliknya dalam keadaan di mana badai yang besar dapat menimbulkan suatu gelombang besar yang dapat mengakibatkan suatu kerusakan di daerah pantai (Aziz, 2006).

Gelombang laut pada umumnya timbul oleh pengaruh angin, walaupun masih ada faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan gelombang di laut seperti aktifitas seismik di dasar laut (gempa), letusan gunung api, gerakan kapal, gaya tarik benda angkasa (bulan dan matahari) (Nining dalam Aziz, 2006). Gelombang laut dapat juga terjadi di lapisan dalam (pada bidang antara dari dua lapisan air yang mempunyai densitas berbeda). Gelombang ini disebut gelombang dalam (internal waves) (Aziz, 2006).

Gambar 2.3. Profil Gelombang Laut (Aziz, 2006)

Apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan diurutkan dari nilai tertinggi ke terendah atau sebaliknya, maka akan dapat ditentukan tinggi gelombang signifikan (Significant wave height, SWH) yaitu rata-rata tinggi gelombang dari sepertiga gelombang laut tertinggi. Nilai tinggi gelombang dalam kerentanan pantai dapat mempengaruhi perubahan garis pantai dan kondisi geomorfologi daerah tersebut (Triatmodjo dalam Rupang et al., 2014).3. Pasang Surut

Pasang surut merupakan fenomena naik turunnya muka laut secara periodik yang terjadi di seluruh belahan bumi akibat adanya gaya pembangkit pasng surut yang utamanya berasal dari matahari dan bulan (Douglas, 2001 dalam Ismail dan Taofiqurohman, 2012). Ditambahkan oleh Aziz (2006), bahwa pasang surut adalah perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya yang diakibatkan aksi gravitasi benda-benda angkasa di luat materi itu berada.

Pasang surut dalam keadaan tertinggi pada saat Bulan sedang purnama atau baru, dan waktu-waktu pasang surut yang tinggi pada lokasi tertentu dapat diperkirakan berhubungan dengan posisi Bulan di langit. Karena pergerakan relatif Bumi, Matahari dan Bulan cukup rumit, maka mengakibatkan pengaruh mereka akan peristiwa pasang surut menghasilkan pengaruh mereka akan peristiwa pasang surut menghasilkan pola-pola kompleks yang sama. Meskipun begitu, jarak gaya-gaya yang ditimbulkan oleh pasang surut dapat dirumuskan dengan tepat, walaupun respon lautan atas gaya-gaya ini dimodifikasi oleh efek-efek permanen topografi dan efek sementara dari pola-pola cuaca (Supangat dan Susanna, 2004).

Kisaran pasang surut rata-rata berkontribusi dalam bahaya penggenangan pantai dimana pasut menghasilkan perubahan permukaan secara rutin sepanjang pantai. Oleh karena itu, pasang surut mempunyai arti penting dalam kerentanan pantai. Konsentrasi dan posisi sedimen tersuspensi sangat tergantung pada variasi tinggi pasang surut dan debit sungai. Selain itu, pasang surut juga dapat menyebabkan intrusi air asin sampai ke daratan (Triatmodjo dalam Rupang et al., 2014).Gambar 2.4 Sebaran Pasang Surut di Perairan Indonesia dan Sekitarnya (Triatmodjo, 1999).

III. MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Waktu dan Tempat pelaksanaan survey lapangan :

Hari, Tanggal : 8 Juni 2015Waktu

: 15.30 selesai

Tempat: Desa Bedono, Demak3.2 Metode

Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah menganalisa kenaikan paras muka air laut pada wilayah tersebut dengan mengetahui: Potensi Bahaya, Potensi Kerentanan Pantai, dan Resiko yang akan terjadi.3.2.1 Potensi Bahaya

Tabel 1. Analisa Potensi Bahaya (Variabel variable yang digunakan dalam perhitungan Potensi Bahaya)

Tabel 2. Kelas Potensi Bahaya

Variabel variable yang digunakan dalam menganalisa potensi bahaya suatu daerah antara lain :

a. Geomorfologi Pantai

Potensi bahaya suatu daerah pantai dapat dilihat dari bentuk dari pantai tersebut. Dimana pantai dengan kondisi geomorfologi berpasir, berteluk, berlumpur, dan rawa payau memiliki potensi bahaya yang paling tinggi. Kemudian untuk daerah estuary, laguna dan pantai berkerikil memiliki potensi bahaya sedang. Dan untuk pantai berbatu dan bertebing memiliki potensi bahaya yang rendah.

b. Besarnya Erosi pada garis pantai

Jika besarnya erosi adalah lebih kecil daripada -1m/tahun maka potensi bahaya yang mungkin akan dialami oleh pantai tersebut dapat dibilang cukup tinggi.

c. Kemiringan Pantai

Semakin kecil Presentasi suatu kemiringan pantai maka potensi bahayanya akan semakin tinggi.

d. Perubahan elevasi muka air relatif

Semakin tinggi perubahan elevasi muka airnya maka akan semakin besar juga potensi bahaya yang akan terjadi.

e. Rata-rata tinggi gelombang.

Semakin besar tinggi gelombang yang ada maka akan semakin besar pula potensi bahaya yang akan terjadi.

f. Rata-rata kisaran pasang surut

Semakin kecil rata-rata kisaran pasang surut, maka semakin besar potensi bahaya yang akan terjadi.

3.2.2 Analisa Kerentanan Pantai

Tabel 3. Analisa Kerentanan Pantai (Variabel-variabel yang digunakan dalam menganalisa kerentanan pantai)

Tabel 4. Kelas Kerentanan

3.3.3 Analisa Resiko

Resiko dari bahaya yang akan terjadi dapat dianalisa dengan cara menghitung besarnya parameter resiko yang akan terjadi dengan:

Tabel 3. Tabel Kelas Resiko

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil

4.1.1 Analisis Potensi Bahaya

Klasifikasi Potensi Bahaya :

Kelas Potensi Bahaya

KelasDeskripsi

0.1-1.0Rendah

1.1-2.0Sedang

2.1-3.0Tinggi

4.1.2 Analisis Kerentanan Pantai

Variabel-variabel yang digunakan dalam perhitungan kerentanan pantai :Klasifikasi Potensi Bahaya :4.1.3 Analisa resiko

Klasifikasi yang digunakan dalam analisis potensi bahaya :

4.2 PembahasanBerdasarkan data variable-variable yang yang digunakan untuk memperhitungkan potensi bahaya di desa Bedono, Demak didapat kelas 2 dengan deskripsi sedang yang diartikan sebagai wilayah yang peluang berpotensi bahaya akibat abrasi dan banjir rob merupakan sedang. Dari analisa kerentanan pantai dan dari variable-variable yang bepengaruh didalamnya seperti nilai dampak dari apabila potensi bahayanya terjadi didapat kelas 3 dengan deskripsi tinggi, yang artinya apabila terjadi bencana di daerah tersebut maka akan terjadi kerentanan atau kerugian terjadi di desa Bedono akan tinggi. Pada analisa resiko yang didapat dari analisa potensi bahaya dan analisa kerentanan pantai didapatkan nilai resikonya sebesar 1,73 dengan deskripsi tinggi, yang artinya apabila penduduk membuat pemukiman atau bangunan di daerah Kaligawe resiko yang akan didapat dari bahaya banjir rob dan abrasi akan tinggi sebaiknya tidak membangun pemukiman atau bangunan di daerah Bedono, Demak.Kawasan Pantai Utara terutama daerah Bedono, Demak merupakan kawasan yang didominasi oleh penggunaan lahan permukiman, pertambakan, dan jalan raya. Oleh sebab itu dalam merumuskan upaya mitigasi dan daptasi ini akan dirumuskan per pernggunaan lahan dalam mengurangi faktor kerentanan banjir rob.Berikut adaptasi yang dapat dilakukan di daerah Bedono, Demak antara lain:1. Membangun tanggul

2. Membangun pintu air dan rumah pompa

3. Penyediaan konsep rumah panggung

4. Penataan bangunan di sekitar pantai 5. Pembangunan Jalan Raya di Bedono yang berkontruksi anti rob Terkait dengan kondisi masyarakat di desa Bedono Demak, berikut ini merupakan upaya mitigasi yang ditujukan kepada masyarakat dalam menghadapi dampak banjir rob :1. Pembentukan organisasi pemerintah dan non pemerintah terkait bencana, seperti pembentukan komunitas masyarakat siaga bencana dan pembentukan kelompok kerja yang beranggotakan dinas dan instansi terkait dalam merencanakan upaya penanggulangan bencana banjir rob.2. Penyediaan peta bahaya dan risiko kenaikan permukaan laut 3. Tidak diizinkan adanya aktivitas terbangun kecuali untuk kepentingan pengamanan dan perlindungan pantai.4. Diizinkan terbatas untuk membangun sarana pemantauan bencana.5. Diizinkan rekayasa teknis pada lokasi tertentu untuk mengurangi abrasi.V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan1. Analisa nilai potensi bahaya, kerentanan dan pantai pada wilayah Kaligawe, Semarang yaitu berturut-turut 2, 3, dan 1,73.2. Berikut mitigasi dan strategi adaptasi pada wilayah Jalan Raya Kaligawe, Semarang yaitu membangun kontruksi jalan raya anti banjir rob, membangun tanggul, membangun pintu air dan rumah pompa, penyediaan konsep rumah panggung, penataan bangunan disekitar pantai, pembentukan organisasi pemerintah dan non pemerintah terkait bencana rob dan penyediaan peta bahaya resiko kenaikan permukaan laut.5.2 SaranPada saat praktikum lebih baik diarahkan oleh dosen atupun asisten agar tidak terjadi kesalahan dalam praktikum.DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, N., Trisakti, B. dan Soesilo, T. E. B. 2012. Pemanfaatan Data Satelit Untuk Analisis Potensi Genangan dan Dampak Kerusakan Akibat Kenaikan Muka Air Laut (Application of Sattelite Data to Analyze Inundation Potential and The Impact of Sea Level Rise). Jurnal Penginderaan Jauh, 9(2), 140-151.

Aziz, F. M. 2006. Gerak Air di Laut. Oseana, 31(4): 9-21.

Fandeli, C. 2011. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Pembangunan Pelabuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 211.

Febriansyah, I., Anugroho, A. D. S. dan Helmi, M. 2012. Kajian Kerentanan Pantai di Pesisir Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Oseanografi, 1(2), 139-148.

Hakim, B. A., Suharyanto dan Hidajat, W. K. 2013. Pengaruh Kenaikan Muka Air Laut Pada Efektivitas Bangunan Untuk Perlindungan Pantai Kota Semarang. Buletin Oseanografi Marina, 2, 81-93.

Kodoatie, R. J. dan Sjarief, R. 2010. Tata Ruang Air. Andi Offset, Yogyakarta, 536.

Pemerintah Kota Semarang. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Semarang Tahun 2005-2025.

Prawiradisastra, S. Analisis Kerawanan dan Kerentanan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami untuk Perencanaan Wilayah di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 13(2), 103-109.

Rochmanto, B. dan Franscles, S. A. 2012. Karakteristik Morfologi Pantai Mallusetasi Berdasarkan Data Spasial Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Teknik Geologi, 6.Rositasari, R., Setiawan, W. B., Supriadi, I. H., Hasanuddin dan Prayuda, B. 2011. Kajian dan Prediksi Kerentanan Pesisir Terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus di Pesisir Cirebon. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 3(1), 52-64.

Rupang, E., Sakka dan Paharuddin. 2014. Analisis Kerentanan Pantai Berdasarkan Paramter Fisik. Rusbiantoro, D. 2008. Global Warming For Beginner: Pengantar Komprehensif Tentang Pemanasan Global. Niaga Swadaya, 114.

Sihombing, W. H., Suntoyo dan Sambhodo, K. 2012. Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Jurnal Teknik ITS, 1, 166-169.

Suhelmi, I. R. 2013. Pemetaan Kapasitas Adaptif Wilayah Pesisir Semarang Dalam Menghadapi Genangan Akibat Kenaikan Muka Air Laut dan Perubahan Iklim. Forum Geografi, 27(1), 81-92.

Sulma, S., Kusratmoko, E. dan Saraswati, R. 2012. Coastal Physical Vulnerability ofSurabaya and Its Surrounding Area to Sea Level Rise. Makara, 16(2), 163-170.

Supangat, A. dan Susanna. 2004. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Kelautan dan Perikanan, 273.

Suprijanto, I. 2003. Kerentanan Kawasan Tepi Air Terhadap Kenaikan Permukaan Air Laut Kasus Kawasan Tepi Air Kota Surabaya. Dimensi Teknik Arsitektur, 31(1), 28-37.

Tahir, A., Boer, M., Susilo, S. B. dan Jaya, I. 2009. Indeks Kerentanan Pulau-pulau Kecil: Kasus Pulau Barrang Lompo-Makasar. 14(4), 183-188.

Tarigan, M. S. 2007. Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane, Provinsi Banten, 11(1), 49-55.

Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta, 362.