laporan kelompok 3

2
BAB III PEMBAHASAN 3.1. Contoh Kasus Ronde Keperawatan Rumah Sakit Umum Tarutung adalah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara dan satu- satunya rumah sakit yang ada di Tapanuli Utara dengan status kelas ”B” non pendidikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia No.1809/MENKESKESSOS /SK/XII/2000, dengan jumlah tempat tidur 110 unit. Pada tahun 2003 sesuai Perda nomor 7 tahun 2003, Rumah Sakit Umum Tarutung berubah status menjadi RSU Swadana Daerah Tarutung. Status ”Swadana” sangat berpotensi menggeser rumah sakit pemerintah yang pada masa lalu hanya berorientasi pada fungsi sosial ke arah unit sosial ekonomi RSU Swadana Daerah Tarutung berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medik bahwa pada tahun 2007 pencapaian BOR 90,80%, tahun 2008 berkurang menjadi 73,00%, namun masih dalam kategori ideal sesuai dengan standart Depkes RI. Kondisi RSU Swadana Daerah Tarutung pada tahun 2008 mengalami penurunan sesuai perhitungan BOR rumah sakit sebesar 18,72% dari tahun 2007 ini diakibatkan adanya penurunan kinerja rumah sakit. Penurunan indikator kinerja RSU Swadana Daerah Tarutung sangat terpengaruh dengan kinerja pelayanan perawat, oleh karena selama 24 jam pasien rawai inap dibawah pengawasan perawat pelaksana di rumah sakit. Penurunan kinerja RSU Swadana Daerah Tarutung menimbulkan berbagai fenomena. Fenomena yang terjadi pada RSU Swadana Daerah Tarutung didapat dari komite keperawatan bahwa masih adanya keluhan pasien, keluarga pasien tentang ketidakpuasan layanan yang diperoleh dari perawat pelaksana rawat inap seperti ketepatan pemberian obat-obatan, pemberian suntikan, kehadiran petugas tidak tepat waktu dan juga perawat pelaksana rawat inap kurang senyum dan kurang perhatian kepada pasien. Kondisi seperti ini dapat menurunkan kualitas pelayanan terhadap pasien di RSU Swadana Daerah Tarutung. Menurut berita terbitan media cetak seperti: Aspirasi (20 Maret 2007), Metro Tapanuli (31 Mei 2008), Skala Indonesia (27 Agustus 2008) , Bonapasogit (Januari 2009) menerbitkan bahwa pelayanan RSU Swadana Daerah Tarutung

description

LAPORAN RONDE

Transcript of laporan kelompok 3

  • BAB III

    PEMBAHASAN

    3.1. Contoh Kasus Ronde Keperawatan

    Rumah Sakit Umum Tarutung adalah milik Pemerintah Daerah

    Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara dan satu- satunya rumah sakit yang

    ada di Tapanuli Utara dengan status kelas B non pendidikan berdasarkan Surat

    Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia

    No.1809/MENKESKESSOS /SK/XII/2000, dengan jumlah tempat tidur 110 unit.

    Pada tahun 2003 sesuai Perda nomor 7 tahun 2003, Rumah Sakit Umum

    Tarutung berubah status menjadi RSU Swadana Daerah Tarutung. Status

    Swadana sangat berpotensi menggeser rumah sakit pemerintah yang pada

    masa lalu hanya berorientasi pada fungsi sosial ke arah unit sosial ekonomi

    RSU Swadana Daerah Tarutung berdasarkan data yang diperoleh dari

    Rekam Medik bahwa pada tahun 2007 pencapaian BOR 90,80%, tahun 2008

    berkurang menjadi 73,00%, namun masih dalam kategori ideal sesuai dengan

    standart Depkes RI.

    Kondisi RSU Swadana Daerah Tarutung pada tahun 2008 mengalami

    penurunan sesuai perhitungan BOR rumah sakit sebesar 18,72% dari tahun

    2007 ini diakibatkan adanya penurunan kinerja rumah sakit. Penurunan indikator

    kinerja RSU Swadana Daerah Tarutung sangat terpengaruh dengan kinerja

    pelayanan perawat, oleh karena selama 24 jam pasien rawai inap dibawah

    pengawasan perawat pelaksana di rumah sakit.

    Penurunan kinerja RSU Swadana Daerah Tarutung menimbulkan

    berbagai fenomena. Fenomena yang terjadi pada RSU Swadana Daerah

    Tarutung didapat dari komite keperawatan bahwa masih adanya keluhan pasien,

    keluarga pasien tentang ketidakpuasan layanan yang diperoleh dari perawat

    pelaksana rawat inap seperti ketepatan pemberian obat-obatan, pemberian

    suntikan, kehadiran petugas tidak tepat waktu dan juga perawat pelaksana rawat

    inap kurang senyum dan kurang perhatian kepada pasien. Kondisi seperti ini

    dapat menurunkan kualitas pelayanan terhadap pasien di RSU Swadana Daerah

    Tarutung.

    Menurut berita terbitan media cetak seperti: Aspirasi (20 Maret 2007),

    Metro Tapanuli (31 Mei 2008), Skala Indonesia (27 Agustus 2008) , Bonapasogit

    (Januari 2009) menerbitkan bahwa pelayanan RSU Swadana Daerah Tarutung

    acHighlight

    acHighlight

  • pada tahun 2008 adanya penurunan, kondisi ini juga berdampak dari semakin

    menurunya pelayanan yang diberikan perawat pelaksana rawat inap RSU

    Swadana Daerah Tarutung. Pada sisi yang lain kualitas tenaga keperawatan

    tersebut berbanding lurus dengan tingkat pendidikan perawat yang ada, dimana

    pendidikan perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung yang

    berjumlah 60 orang belum ada yang berlatar pendidikan sarjana masih memiliki

    tingkat pendidikan diploma III, sehingga pelayanan yang profesional tidak dapat

    dicapai sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan oleh customer.

    Praktek keperawatan yang ditetapkan di RSU Swadana Daerah Tarutung

    adalah sistem penugasan dengan metode tim, namun dalam pelaksanaanya

    adalah sesuai dengan kebutuhan tatanan rawat inap. Berdasarkan kebutuhan

    tersebut maka sitem penugasan pelayanan perawatan dengan metode tim dalam

    praktek pelayanan dilakukan sesuai dengan penugasan berdasarkan shift kerja

    yang telah ditetapkan oleh RSU Swadana Daerah Tarutung, pelaksanaan ronde

    keperawatan yang tidak optimal menimbulkan ronde perawat yang shift pagi tidak

    melaporkan secara rinci perkembangan kesehatan pasien termasuk seringnya

    perawat rawat inap operan hanya dilakukan di nursing station secara administrasi

    saja berdasarkan hal ini menimbulkan perbedaan persepsi tentang kebutuhan

    pelayanan keperawatan dan pada akhirnya berdampak meningkatnya lama

    perawatan pasien (lengt of stay).

    3.2. ANALISA KASUS

    Berdasarkan kasus tersebut pihak manajemen diharapkan segera

    mengambil langkah cepat untuk merespon kondisi tersebut, hal ini mungkin

    diakibatkan kelemahan petugas perawat pelaksana rawat inap dalam pemberian

    asuhan keperawatan, pengetahuan tentang Standard Operating Procedur (SOP)

    serta perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia yang belum

    sesuai terhadap kebutuhan rumah sakit seperti sistem reward dan punishment.

    Masalah mengenai ronde keperawatan pada kasus tersebut adalah

    ketidakoptimalan mekanisme ronde khususnya pasca ronde dimana perawat

    yang shift pagi tidak melaporkan secara rinci perkembangan kesehatan pasien

    kepada perawat shift selanjutnya. Berdasarkan mekanisme ronde yang benar,

    perawat shift pagi setelah melakukan intervensi kepada klien seharusnya

    melaporkan rincian hasil tindakan meliputi laporan kondisi klien, tindakan apa

    acHighlight