LAPORAN KASUS.docx
-
Upload
gabriella-tandipayuk -
Category
Documents
-
view
119 -
download
10
Transcript of LAPORAN KASUS.docx
LAPORAN KASUS
SPINAL SYOK SINDROM PADA FRAKTUR CERVIKAL
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tuan S
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Maros
Pekerjaan : Pegawai bosowa
Tanggal masuk: 16 Juli 2012
No RM : 559809
ANAMNESIS
Keluhan Utama : luka pada kepala
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit akibat kecelakaan kerja. Pasien yang
sedang bekerja di pabrik tiba-tiba terjatuh dari ketinggian 6 meter dengan kepala
membentur tanah. Riwayat pingsan (-), muntah (-). Pasien juga tidak bisa menggerakkan
keempat anggota gerak. Riwayat penanganan sebelumnya di Rumah sakit Bosowa Maros.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Riwayat asma (-), riwayat alergi (-),riwayat penyakit komorbid lainnya (-), riwayat
operasi sebelumnya (-).
1
PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey (16 Juli 2012)
A (Airway and Cervical Spine Control) :
Patent
B (Breathing and Ventilation) :
RR 20x/menit, BP vesikuler, sonor kiri=kanan, BT (-), tipe pernapasan abdominal
C(Circulation and Bleeding Control) :
TD 110/70 mmHg, Nadi 88x/menit, reguler, kuat angkat
D (Disability and Neurological condition) :
GCS 15= E4M6V5, pupil isokhor, RCL +/+
E (Exposure) :
afebris
Secondary survey (16 Juli 2012):
Regio frontofasial Dextra
I : tampak luka robek ukuran 6x0,5 cm, aktif bleeding (-)
P : NT (+), krepitasi (-)
Orbita Dextra
I : tampak udem, hematom, perdarahan aktif (-)
P : NT (+)
Regio vertebra
I : deformitas (+), udem (+), luka (-)
P : NT (+) pada VC4-5
Status neurologis
Motorik: Kekuatan 0 0
0 0
Sensorik: Hipestesi C3
2
Rectal Touche: spinchter mencekik, mukosa licin, ampulla kosong, handscoen terlihat feses,
BCR (+)
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
X-Ray cervical lateral: Fraktur processus spinosum VC4
CT-Scan kepala: Brain widow: wnl , Bone widow: wnl
CT-Scan cervical sentrasi C1-Th1: Fraktur processus spinosum Vertebra C4-5
LABORATORIUM
16 Juli 2012
RBC: 11,5x106/uL WBC: 10,74x103/uL
HGB: 11,5 g/dl Ureum: 18mg/dL
HCT: 34,3% Kreatinin: 0,9mg/dl
Trombosit: 330x103/uL SGOT: 26 U/L
PT: 12,8 detik SGPT: 22 U/L
aPTT: 27,6 detik Albumin: 2,9mg/dL
Natrium: 143 mmol GDS: 91mg/dL
Kalium: 3,97 mmol BT: 3’30”
Klorida: 103 mmol CT: 9’30”
.
3
DIAGNOSIS
Tetraplegi et causa spinal syok sindrome
PENANGANAN DI IRD
• Head up 30o
• Pemasangan neck collar, in line position
• Berikan oksigen : 10 liter/menit via NRM
• Pemasangan satu iv line dengan abbocath no. 18 G dan transfusi set serta berikan cairan RL
28 tetes per menit
• Pasang kateter urine
• Pasang monitor hemodinamik dan saturasi oksigen
• Injeksi ketorolac 1gr/8jam/iv, injeksi ranitidine 1 gr/8jam/iv, injeksi piracetam 3gr/8jam/iv,
injeksi metilprednisolon 1 ampul/24 jam.
FOLLOW UP
25/7/2012 (ICU hari I)
B1 : Napas kontrol, throacoabdominal, RR 26 x/menit, ronkhi +/+, wheezing -/-, SpO2 98% , rawat ventilator mode pvc via ETT
B2 : TD : 118/62 mmHg, HR : 72 x/menit, reguler, BJ I/II murni reguler
B3 : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokhor, RCL +/+
B4 : Urin per kateter produksi 60cc/jam
B5 : peristaltik (+), NGT terpasang
B6 : Fraktur (+), tetraparese
D/ Tetraparese ec spinal chord injury VC3-4
R/ Awasi tanda vital, balance cairan
O2 via ETT dengan ventilator
IVFD RL 1500cc/24 jam
F: alirkan NGT
4
A: fentanyl 30 mcg/jam/sp
S: -
T:
H: in line position
U: ozid 40mg/24 jam/iv
G: target GDS 120-160 gr/dL
31/ 7/ 2012
Foto thorax PA: Pneumoniae lobus Dextra, terpasang CVC dan tracheal tube
R/ Trakheostomi
5
DISKUSI
I. PENDAHULUAN
Spinal syok sindrom adalah kegagalan sementara medulla spinalis yang terjadi beberapa
saat setelah terjadi cedera. Semua bagian medulla spinalis walaupun tanpa kerusakan struktural
tidak dapat berfungsi. Di bawah tingkat cedera, otot flaccid, hilangnya reflex fisiologis, hilang
atau berkurangnya reaksi sensorik. Kondisi ini disebut sebagai “blackout effect”, terjadi karena
cedera pada medulla spinalis menyebabkan kehilangan total fungsi medulla spinalis sesuai
dengan tingkat cedera yang terjadi.1,2
Spinal syok sindrom terjadi selama beberapa hari, dan selama kondisi ini terjadi sulit
untuk menentukan tingkat pasti dari cedera pada medulla spinalis. Setelah beberapa hari akan
terjadi beberapa perbaikan neurologis. Setelah diketahui di mana tingkat cedera pada medulla
spinalis, maka disebut sebagai Spinal cord injury. 1
Terdapat tiga mekanisme dasar terjadinya cedera pada medulla spinalis, yaitu
traksi/avulsi, cedera langsung, misalnya trauma benda tajam seperti pisau dan senjata api, dan
6
cedera tidak langsung, yang merupakan mekanisme yang paling sering terjadi. Hal ini terjadi bila
jatuh dari ketinggian dan menyebabkan kolumna vertebralis rusak pada sumbu vertikal, atau
pergerakan yang kasar pada leher dengan tenaga yang besar.2
II. ANATOMI
Medulla spinalis memanjang dari foramen magnum sampai batas bawah VL1. Di bawah
VL1 terdapat cauda equina. Setiap otot diinervasi oleh tingkat tertentu dari Medulla spinalis dan
nervus spinalis yang berhubungan. Otot dan nervus membentuk sebuah myotome seperti yang
ditunjukkan pada gambar berikut. Vertebra C3-5 menginervasi diafragma melalui nervus
phrenicus1,2
7
Gambar 1. Myotome1
Setiap bagian kulit dipersarafi oleh bagian tertentu dari medulla spinalis yang disebut
dermatom. Cedera yang menimbulkan kerusakan pada medulla spinalis akan menimbulkan
hipoestesi atau anestesi di bawah level cedera, tergantung dari kerusakan yang terjadi.1
III. KLASIFIKASI
8
Gambar 2. Nervus spinalis yang menyuplai otot-otot pernapasan1
Gambar 3. Dermatom1
Spinal syok sindrom merupakan bentuk akut dari spinal cord injury. Spinl cord injury
diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan fungsi motorik dan sensorik yang tersisa di bawah level
cedera.1,2,3
Inkomplit
Disebut cedera inkomplit bila masih terdapat pergerakan atau reaksi sensorik di bawah
level cedera. Kerusakan pada medulla spinalis tidak terjadi secara menyeluruh sehingga
beberapa impuls yang memasuki medulla spinalis masih dapat diterima. Perbaikan dan
kesembuhan akan lebih baik.
Cedera komplit terjadi bila tidak ada pergerakan atau reaksi sensorik di bawah level
cedera atau di region genitalia. Hal ini terjadi karena kerusakan terjadi pada seluruh
bagian medulla spinalis. Kemungkinan untuk sembuh pada cedera komplit lebih rendah.
Dua faktor yang menentukan cedera komplit atau inkomplit adalah adanya voluntary rectal
sphincter tone dan perianal sensation. Untuk mengecek voluntary rectal sphincter tone, lakukan
rectal touch dan mintalah pasien untuk squeeze down, yaitu gerakan mencoba mencegah
keluarnya feses. Jika pasien bisa melakukan gerakan ini maka merupakan pertanda cedera
inkomplit. Untuk mengecek perianal sensation, cek sensasi nyeri pada arah jam tiga dan jam
Sembilan. Bila pasien masih merasakan nyeri pada lokasi ini, maka cedera yang terjadi adalah
cedera inkomplit.3,4
IV. PATOFISIOLOGI
Spinal cord injury dapat terjadi karena adanya tekanan pada medulla spinalis atau bila
suplai darah yang membawa oksigen ke medulla spinalis terputus lebih dari 15 menit. Pada
kebanyakan kasus, kerusakan medulla spinalis terjadi melalui kombinasi kedua faktor ini. Pada
kecelakaan yang menyebabkan spinal cord injury, kolumna vertebra dapat mengalami dislokasi
maupun fraktur. Fragmen tulang yang hancur menekan medulla spinalis atau medulla spinalis
terentang melintasi tulang yang mengalami dislokasi.1,5
V. MANIFESTASI KLINIS
Setiap pasien dengan trauma tumpul di atas klavikula, cedera kepala, dan kesadaran
menurun harus dipertimbangkan mengalami cedera cervikal hingga dapat dibuktikan
9
kemungkinan yang lain. Setiap pasien yang jatuh dari ketinggian atau mengalami kecelakaan
dengan kecepatan tinggi harus dipikirkan mengalami cedera tulang belakang.2
Gejala spinal cord injury tergantung pada lokasi cedera dan seberapa berat cedera yang
terjadi, semakin tinggi lokasi cedera maka semakin besar pengaruhnya kepada pasien. Cedera
komplit pada area thorax menimbulkan paraplegia, yaitu motorik pada lengan masih baik, tapi
pada tungkai bawah tidak ada. Cedera komplit pada regio cervical menimbulkan tetraplegi yaitu
motorik pada lengan maupun tungkai tidak ada. Cedera komplit pada C1-C4 menyebabkan
pasien tidak dapat bernapas sehingga membutuhkan ventilasi mekanik. Gejala lain yang timbul
pada spinal cord injury adalah nyeri pada lokasi cedera, kekakuan pada lengan atau tungkai,
hilangnya control saluran cerna, dan disfungsi seksual.5
VI. DIAGNOSIS
A. Pemeriksaan Fisik
Diagnosis spinal cord injury ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan radiologi.
Pemeriksaan fisik pada kepala dan wajah untuk melihat ada luka atau memar yang bisa
mengindikasikan terjadinya trauma tidak langsung pada vertebra cervikal. Inspeksi pada leher
untuk melihat adanya deformitas, memar, atau luka tusuk. Tulang dan jaringan lunak dipalpasi
untuk menilai adanya peningkatan jarak antara processus spinosus, yang memberi kesan
instabilitas akibat kerusakan pada kolumna posterior. Selama pemeriksaan pastikan vertebra
cervical tidak bergerak karena dapat meningkatkan resiko terjadinya cedera pada medulla
spinalis.2
Pada pasien dilakukan log-rolled untuk menghindari pergerakan pada columna vertebra.
Bagian belakang diinspeksi untuk melihat deformitas, luka tusuk, hematoma, atau luka memar.
Tulang dan jaringan lunak dipalpasi. Pemeriksaan neurologis harus dilakukan pada beberapa
kasus, dan harus diulangi beberapa kali. Setiap dermatom, myotome, dan reflex diperiksa.1,2
10
B. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan X-Ray pada vertebra harus dilakukan pada semua korban kecelakaan yang
mengeluh nyeri atau kaku pada leher, belakang, atau mengalami parestesia perifer, semua pasien
dengan trauma kepala. Pasien dengan kesadaran menurun harus dilakukan x-ray pada vertebra.
VII. PENATALAKSANAAN
PRIMARY SURVEY
A: Airway dengan cervikal spine control
1. Penilaian
a. Mengenal patensi airway
b. Penilaian cepat adanya obstruksi
Jika pasien sadar : Dengarkan suara yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau
tidak. Jika pasien tidak sadar : Look ; lihat ada sumbatan airway atau tidak, Listen ; suara-
suara nafas, Feel ; hembusan nafas pasien. Obstruksi terbagi menjadi 2, yaitu :
Obstruksi airway total : yaitu penghambatan jalan nafas secara total, biasanya
karena tersedak. Jika pasien tidak sadar, bisa terjadi sianosis, dan resistensi
terhadap nafas buatan. Jika pasien sadar, pasien akan terlihat berusaha bernafas dan
memegang lehernya dalam keadaan sangat gelisah, bisa ditemukan sianosis.
Obstruksi airway parsial : yaitu penghambatan jalan nafas karena:
11
Gambar4. Immobilisasi cervikal Gambar5. Teknik log-rolled
- Cairan seperti darah, cairan serosa. Terdengar bunyi ‘gurgling’ atau seperti orang
berkumur-kumur.
- Lidah jatuh ke belakang, terdengar bunyi ‘snoring’ atau seperti orang mengorok.
- Penyempitan laring/trakea. Biasanya karena edema di daerah leher. Terdengar
bunyi ‘crowing/stridor’ atau bunyi high pitched karena penyempitan tersebut.
2. Pengelolaan airway
Bila penderita mengalami penurunan kesadaran maka pangkal lidah kemungkinan
akan jatuh ke belakang dan menyumbat hipofaring. Sumbatan seperti ini dapat segera
diatasi dengan melakukan hiperekstensi (ditengadahkan), tetapi tindakan ini tidak
diperbolehkan pada penderita trauma yang dicurigai mengelami fraktur servikal (patah
tulang leher). pada penderita trauma dengan kecurigaan patah tulang leher maka dapat
diatasi dengan melakukan pengangkatan dagu (Chin lift maneuver) atau dengan
mendorong rahang bawah kearah depan (jaw thrust maneuver). Airway (jalan napas
selanjutnya dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway (atau di rumah sakit
terkenan dengan gudel) atau dengan menggunakan nasopharyngeal airway.
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka jalan napas dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera servikal dan spinal. oleh karena itu selama
melakukan tindakan harus selalu menjaga kestabilan leher pada posisi segaris (In line
immobilization) dengan fiksasi kepala atau menggunakan Neck Collar (bidai leher).
Oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi yang adekuat dapat meminimalkan cedera sekunder
pada medulla spinalis. Prinsipnya adalah bila terdapat kemungkinan cedera spinal pada
pasien trauma, tulang belakang harus diimobilisasi hingga cedera spinal dapat
disingkirkan melalui pemeriksaan klinis dan radiologis.
a. Melakukan triple airway manuever (chin-lift, head tilt, dan jaw thrust)
Jaw Thrust
12
Gambar 6. Teknik jaw thrust
Chin Lift
Gambar 7. Head tilt dan Chin lift.
b. Membersihkan airway dari benda asing
Bila sumbatan tetap terjadi walaupun telah dilakukan ekstensi kepala, pembukaan
mulut dan pendorongan mandibula dan dicurigai adanya benda asing di jalan nafas
atas, maka mulut harus dibuka dengan paksa dan dibersihkan dari benda asing baik
secara manual dengan menggunakan jari (finger sweep) serta memiringkan kepala
(log roll) atau dengan alat penghisap (suctioning).
13
Gambar 8. Mengorek keluar benda asing pada rongga mulut
c. Memasang pipa nasofaring atau orofaringeal
Nasopharyngeal tube (bila masih ada refleks muntah). Ukuran dinilai dengan diameter
sesuai dengan jari kelingking kanan pasien.
Gambar 9. Nasotracheal tube.
Oropharyngeal tube (guedel).
Pemasangan guedel bertujuan untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka &
menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan
nafas pada orang tidak sadar dengan GCS <8 (refleks muntah menurun/tidak ada).
Ukuran ditentukan dari sudut bibir ke tragus/submental ke angulus mandibula.
Gambar 10. Oropharyngeal tube.
d. Memasang airway definitif
14
Pipa Endotrakea (Endotracheal tube)
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan. Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea.
Besar trakea tergantung pada umur. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung
pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm)
= 4 + ¼ umur (tahun).
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari
ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis
subglotis.
Gambar 11. Endotracheal tube.
B: Breathing : ventilasi dan oksigenasi
1. Penilaian
a. Bebaskan leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala
b. Tentukan laju dan dalamnya pernafasan
c. Inspeksi dan palpasi untuk mengetahui adanya deviasi trakea, ekspansi thoraks simetris atau tidak simetris, pemakaian otot tambahan, dan tanda-tanda cedera lainnya
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
15
e. Auskultasi toraks bilateral.
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
Alat bantuan nafas :
BVM (Bag-Valve-Mask) : 21 %
Nasal canule/nasal pronk : 24 – 32% (Oxygen flow rate 1 – 4 L)
Simple Mask : 40 – 60% (Oxygen flow rate 6 – 8 L)
BVM + sumber O2 : 40 – 60% (Oxygen flow rate 6 – 8 L)
Simple Mask + Reservoir : 60 – 80% (Oxygen flow rate 8 – 10 L)
Jackson-Rees : 100% (Oxygen flow rate >10 L)
BVM + Reservoir + sumber O2 : 100% (Oxygen flow rate >10 L)
C : Circulation: kontrol perdarahan
1. Penilaian
a. Dapat mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan
d. Tekanan darah
e. Warna kulit
2. Pengelolaan
a. Tekanan langsung pada tempat perdarahan eksternal
b. Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah, serta konsultasi bedah
c. Memasang 2 kateter IV ukuran besar
d. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, golongan darah dan cross match, dan analisis gas darah
e. Memberikan resusitasi cairan
g. Cegah hipotermi
16
D : Disability: pemeriksaan neurologis singkat
1. Tentukan tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS
2. Nilai pupil, besarnya, isokor dan refleks cahaya
E : Exposure/ Environment : cegah hipotermia
SECONDARY SURVEY
B1 : Breath (napas): sistem respirasi
a. Pola nafas
b. Tanda-tanda obstruksi
c. Pernafasan cuping hidung
d. Frekuensi nafas
e. Pergerakan rongga dada à simetris/tidak
f. Suara nafas tambahan à (-) pada obstruksi total
g. Udara nafas yang keluar dari hidung
h. Sianosis pada ekstremitas
i. Auskultasi à wheezing, ronki
j. Pasien sadar à tanyakan adakah keluhan pernafasan :
Tidak ada tanda obstruksi à cukup berikan O2
Tanda-tanda obstruksi (+) à Terapi sesuai kondisi (pada pasien trauma dilakukan
triple airway manuever dan pada pasien non trauma seperti asma bronchial diberikan
obat-obatan)
B2 : Blood (darah): sistem kardiovaskuler
a. Tekanan darah
b. Nadi
c. Perfusi perifer
d. Status hidrasi (hipotermi – syok)
e. Kadar Hb
B3 : Brain (otak) à sistem SSP
a. Menilai kesadaran pasien
17
b. Dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
c. Perhatikan gejala kenaikan tekanan intrakranial (mual, muntah dan penurunan kesadaran)
B4 : Bladder (kandung kemih): sistem urogenitalis
a. Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urin à mencerminkan kadar elektrolit
b. Untuk menilai :
1. Apakah pasien masih dehidrasi
2. Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi àacute renal failure, transfusi hemolisis
B5 : Bowel (usus): sistem gastrointestinalis
a. Tanda-tanda dilatasi lambung
b. Tanda-tanda cairan bebas
c. Distensi abdomen
d. Perdarahan lambung postoperasi
e. Obstruksi à hipoperistaltik, gangguan organ lain, misalnya : hepar, lien, pankreas
f. Dilatasi usus halus
B6 : Bone (tulang): sistem muskuloskeletal
a. Tanda-tanda sianosis
b. Perdarahan postoperasi
c. Gangguan neurologis à gerakan ekstremitas
2. Jalan Nafas Dan Ventilasi
1. Intubasi endotrakea
Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan nafas dan memastikan
bahwa ventilasi sudah adekuat. tekanan pada krikoid dan stabilisasi in-line terhadap
tulang servikal dilakukan selama digunakan laringoskop dan intubasi. Indikasi melakukan
intubasi adalah pasien apneu pada gagal napas, pasien dengan obstruksi jalan napas di
mana penatalaksanaan jalan napas dasar tidak adekuat, pasien memerlukan bantuan
pernapasan invasive untuk kegagalan oksigenasi dan ventilasi, dan pada pasien dengan
jalan napas masih baik, tapi diprediksi terdapat kemungkinan terjadi obstruksi jalan
napas, aspirasi, dan kegagalan ventilasi. 5
2. Ventilasi mekanik
18
Selain berperan sebagai pendukung pada pasien yang akan menjalani prosedur operatif,
bantuan ventilasi mekanik diindikasikan bila ventilasi spontan tidak memadai untuk
mempertahankan hidup. Indikasi ventilasi mekanik adalah: Hipoventilasi, kerja nafas
tinggi, hemodinamik yang membahayakan, cardiorespiratory arrest, syok refrakter,
peningkatan tekanan intra cranial, Flail chest.6
VIII. KESIMPULAN
Spinal syok sindrom adalah kegagalan sementara medulla spinalis yang terjadi beberapa
saat setelah terjadi cedera. Semua bagian medulla spinalis walaupun tanpa kerusakan struktural
tidak dapat berfungsi. Di bawah tingkat cedera, otot flaccid, hilangnya reflex fisiologis, hilang
atau berkurangnya reaksi sensorik.1,2
Spinal syok sindrom merupakan bentuk akut dari spinal cord injury. Spinl cord injury
diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan fungsi motorik dan sensorik yang tersisa di bawah level
cedera, yaitu komplit dan inkomplit. Manifestasi klinis tergantung pada lokasi cedera dan
seberapa berat cedera yang terjadi, semakin tinggi lokasi cedera maka semakin besar
pengaruhnya kepada pasien.1,2,3
Penatalaksanaan pasien dengan spinal syok sindrom pada trauma cervical meliputi
primary survey dan secondary survey. Primary survey terdiri dari airway, breathing, circulation,
disability, dan environment di mana proteksi airway dengan cervical spine conrol diutamakan
sebab cedera pada vertebra cervical dapat menimbulkan masalah pada jalan napas dan dapat
menimbulkan terjadinya cedera sekunder pada medulla spinalis.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Geraghty T, ed. Handbook of Spinal Cord Injury. 2nd ed. Queensland: Spinal Cord Injury
Service; 2001.
2. Solomon L, Warwick D, eds. Apley’s System of Orthopaedics and Fracture. 9th ed. United
Kingdom: Hodder Amold Publishing; 2010.
3. Khanna Jay, ed. Spinal Cord Injury. Maryland: The John Hopkins Medical Institutions; 2012.
4. Rose S, ed. Case Study: Spinal Cord Injury. [serial online]. 2007. [cited 22nd August 2012].
Available from: URL/http.www.REACHair.com
20
5. Parke Tim, Graham C, eds. Indications for Intubation, in: Benger J, Nolan J, eds. Emergency
Airway Management. United States of America: Cambridge University Press, 2009. P 41-49.
6. Hasan A . The Indications for Mechanical Ventilation. In Understanding Mechanical
Ventilation, 2th Edition.London : Springer. 2010 p 9-16
21