LAPORAN KASUS.docx

27
LAPORAN KASUS SPINAL SYOK SINDROM PADA FRAKTUR CERVIKAL IDENTITAS PASIEN Nama : Tuan S Umur : 38 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Maros Pekerjaan : Pegawai bosowa Tanggal masuk: 16 Juli 2012 No RM : 559809 ANAMNESIS Keluhan Utama : luka pada kepala Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit akibat kecelakaan kerja. Pasien yang sedang bekerja di pabrik tiba- tiba terjatuh dari ketinggian 6 meter dengan kepala membentur tanah. Riwayat pingsan (-), muntah (-). Pasien juga tidak bisa menggerakkan keempat anggota gerak. Riwayat penanganan sebelumnya di Rumah sakit Bosowa Maros. Riwayat Penyakit Terdahulu : Riwayat asma (-), riwayat alergi (-),riwayat penyakit komorbid lainnya (-), riwayat operasi sebelumnya (-). 1

Transcript of LAPORAN KASUS.docx

Page 1: LAPORAN KASUS.docx

LAPORAN KASUS

SPINAL SYOK SINDROM PADA FRAKTUR CERVIKAL

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tuan S

Umur : 38 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Maros

Pekerjaan : Pegawai bosowa

Tanggal masuk: 16 Juli 2012

No RM : 559809

ANAMNESIS

Keluhan Utama : luka pada kepala

Anamnesis Terpimpin :

Dialami sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit akibat kecelakaan kerja. Pasien yang

sedang bekerja di pabrik tiba-tiba terjatuh dari ketinggian 6 meter dengan kepala

membentur tanah. Riwayat pingsan (-), muntah (-). Pasien juga tidak bisa menggerakkan

keempat anggota gerak. Riwayat penanganan sebelumnya di Rumah sakit Bosowa Maros.

Riwayat Penyakit Terdahulu :

Riwayat asma (-), riwayat alergi (-),riwayat penyakit komorbid lainnya (-), riwayat

operasi sebelumnya (-).

1

Page 2: LAPORAN KASUS.docx

PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey (16 Juli 2012)

A (Airway and Cervical Spine Control) :

Patent

B (Breathing and Ventilation) :

RR 20x/menit, BP vesikuler, sonor kiri=kanan, BT (-), tipe pernapasan abdominal

C(Circulation and Bleeding Control) :

TD 110/70 mmHg, Nadi 88x/menit, reguler, kuat angkat

D (Disability and Neurological condition) :

GCS 15= E4M6V5, pupil isokhor, RCL +/+

E (Exposure) :

afebris

Secondary survey (16 Juli 2012):

Regio frontofasial Dextra

I : tampak luka robek ukuran 6x0,5 cm, aktif bleeding (-)

P : NT (+), krepitasi (-)

Orbita Dextra

I : tampak udem, hematom, perdarahan aktif (-)

P : NT (+)

Regio vertebra

I : deformitas (+), udem (+), luka (-)

P : NT (+) pada VC4-5

Status neurologis

Motorik: Kekuatan 0 0

0 0

Sensorik: Hipestesi C3

2

Page 3: LAPORAN KASUS.docx

Rectal Touche: spinchter mencekik, mukosa licin, ampulla kosong, handscoen terlihat feses,

BCR (+)

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

X-Ray cervical lateral: Fraktur processus spinosum VC4

CT-Scan kepala: Brain widow: wnl , Bone widow: wnl

CT-Scan cervical sentrasi C1-Th1: Fraktur processus spinosum Vertebra C4-5

LABORATORIUM

16 Juli 2012

RBC: 11,5x106/uL WBC: 10,74x103/uL

HGB: 11,5 g/dl Ureum: 18mg/dL

HCT: 34,3% Kreatinin: 0,9mg/dl

Trombosit: 330x103/uL SGOT: 26 U/L

PT: 12,8 detik SGPT: 22 U/L

aPTT: 27,6 detik Albumin: 2,9mg/dL

Natrium: 143 mmol GDS: 91mg/dL

Kalium: 3,97 mmol BT: 3’30”

Klorida: 103 mmol CT: 9’30”

.

3

Page 4: LAPORAN KASUS.docx

DIAGNOSIS

Tetraplegi et causa spinal syok sindrome

PENANGANAN DI IRD

• Head up 30o

• Pemasangan neck collar, in line position

• Berikan oksigen : 10 liter/menit via NRM

• Pemasangan satu iv line dengan abbocath no. 18 G dan transfusi set serta berikan cairan RL

28 tetes per menit

• Pasang kateter urine

• Pasang monitor hemodinamik dan saturasi oksigen

• Injeksi ketorolac 1gr/8jam/iv, injeksi ranitidine 1 gr/8jam/iv, injeksi piracetam 3gr/8jam/iv,

injeksi metilprednisolon 1 ampul/24 jam.

FOLLOW UP

25/7/2012 (ICU hari I)

B1 : Napas kontrol, throacoabdominal, RR 26 x/menit, ronkhi +/+, wheezing -/-, SpO2 98% , rawat ventilator mode pvc via ETT

B2 : TD : 118/62 mmHg, HR : 72 x/menit, reguler, BJ I/II murni reguler

B3 : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokhor, RCL +/+

B4 : Urin per kateter produksi 60cc/jam

B5 : peristaltik (+), NGT terpasang

B6 : Fraktur (+), tetraparese

D/ Tetraparese ec spinal chord injury VC3-4

R/ Awasi tanda vital, balance cairan

O2 via ETT dengan ventilator

IVFD RL 1500cc/24 jam

F: alirkan NGT

4

Page 5: LAPORAN KASUS.docx

A: fentanyl 30 mcg/jam/sp

S: -

T:

H: in line position

U: ozid 40mg/24 jam/iv

G: target GDS 120-160 gr/dL

31/ 7/ 2012

Foto thorax PA: Pneumoniae lobus Dextra, terpasang CVC dan tracheal tube

R/ Trakheostomi

5

Page 6: LAPORAN KASUS.docx

DISKUSI

I. PENDAHULUAN

Spinal syok sindrom adalah kegagalan sementara medulla spinalis yang terjadi beberapa

saat setelah terjadi cedera. Semua bagian medulla spinalis walaupun tanpa kerusakan struktural

tidak dapat berfungsi. Di bawah tingkat cedera, otot flaccid, hilangnya reflex fisiologis, hilang

atau berkurangnya reaksi sensorik. Kondisi ini disebut sebagai “blackout effect”, terjadi karena

cedera pada medulla spinalis menyebabkan kehilangan total fungsi medulla spinalis sesuai

dengan tingkat cedera yang terjadi.1,2

Spinal syok sindrom terjadi selama beberapa hari, dan selama kondisi ini terjadi sulit

untuk menentukan tingkat pasti dari cedera pada medulla spinalis. Setelah beberapa hari akan

terjadi beberapa perbaikan neurologis. Setelah diketahui di mana tingkat cedera pada medulla

spinalis, maka disebut sebagai Spinal cord injury. 1

Terdapat tiga mekanisme dasar terjadinya cedera pada medulla spinalis, yaitu

traksi/avulsi, cedera langsung, misalnya trauma benda tajam seperti pisau dan senjata api, dan

6

Page 7: LAPORAN KASUS.docx

cedera tidak langsung, yang merupakan mekanisme yang paling sering terjadi. Hal ini terjadi bila

jatuh dari ketinggian dan menyebabkan kolumna vertebralis rusak pada sumbu vertikal, atau

pergerakan yang kasar pada leher dengan tenaga yang besar.2

II. ANATOMI

Medulla spinalis memanjang dari foramen magnum sampai batas bawah VL1. Di bawah

VL1 terdapat cauda equina. Setiap otot diinervasi oleh tingkat tertentu dari Medulla spinalis dan

nervus spinalis yang berhubungan. Otot dan nervus membentuk sebuah myotome seperti yang

ditunjukkan pada gambar berikut. Vertebra C3-5 menginervasi diafragma melalui nervus

phrenicus1,2

7

Gambar 1. Myotome1

Page 8: LAPORAN KASUS.docx

Setiap bagian kulit dipersarafi oleh bagian tertentu dari medulla spinalis yang disebut

dermatom. Cedera yang menimbulkan kerusakan pada medulla spinalis akan menimbulkan

hipoestesi atau anestesi di bawah level cedera, tergantung dari kerusakan yang terjadi.1

III. KLASIFIKASI

8

Gambar 2. Nervus spinalis yang menyuplai otot-otot pernapasan1

Gambar 3. Dermatom1

Page 9: LAPORAN KASUS.docx

Spinal syok sindrom merupakan bentuk akut dari spinal cord injury. Spinl cord injury

diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan fungsi motorik dan sensorik yang tersisa di bawah level

cedera.1,2,3

Inkomplit

Disebut cedera inkomplit bila masih terdapat pergerakan atau reaksi sensorik di bawah

level cedera. Kerusakan pada medulla spinalis tidak terjadi secara menyeluruh sehingga

beberapa impuls yang memasuki medulla spinalis masih dapat diterima. Perbaikan dan

kesembuhan akan lebih baik.

Cedera komplit terjadi bila tidak ada pergerakan atau reaksi sensorik di bawah level

cedera atau di region genitalia. Hal ini terjadi karena kerusakan terjadi pada seluruh

bagian medulla spinalis. Kemungkinan untuk sembuh pada cedera komplit lebih rendah.

Dua faktor yang menentukan cedera komplit atau inkomplit adalah adanya voluntary rectal

sphincter tone dan perianal sensation. Untuk mengecek voluntary rectal sphincter tone, lakukan

rectal touch dan mintalah pasien untuk squeeze down, yaitu gerakan mencoba mencegah

keluarnya feses. Jika pasien bisa melakukan gerakan ini maka merupakan pertanda cedera

inkomplit. Untuk mengecek perianal sensation, cek sensasi nyeri pada arah jam tiga dan jam

Sembilan. Bila pasien masih merasakan nyeri pada lokasi ini, maka cedera yang terjadi adalah

cedera inkomplit.3,4

IV. PATOFISIOLOGI

Spinal cord injury dapat terjadi karena adanya tekanan pada medulla spinalis atau bila

suplai darah yang membawa oksigen ke medulla spinalis terputus lebih dari 15 menit. Pada

kebanyakan kasus, kerusakan medulla spinalis terjadi melalui kombinasi kedua faktor ini. Pada

kecelakaan yang menyebabkan spinal cord injury, kolumna vertebra dapat mengalami dislokasi

maupun fraktur. Fragmen tulang yang hancur menekan medulla spinalis atau medulla spinalis

terentang melintasi tulang yang mengalami dislokasi.1,5

V. MANIFESTASI KLINIS

Setiap pasien dengan trauma tumpul di atas klavikula, cedera kepala, dan kesadaran

menurun harus dipertimbangkan mengalami cedera cervikal hingga dapat dibuktikan

9

Page 10: LAPORAN KASUS.docx

kemungkinan yang lain. Setiap pasien yang jatuh dari ketinggian atau mengalami kecelakaan

dengan kecepatan tinggi harus dipikirkan mengalami cedera tulang belakang.2

Gejala spinal cord injury tergantung pada lokasi cedera dan seberapa berat cedera yang

terjadi, semakin tinggi lokasi cedera maka semakin besar pengaruhnya kepada pasien. Cedera

komplit pada area thorax menimbulkan paraplegia, yaitu motorik pada lengan masih baik, tapi

pada tungkai bawah tidak ada. Cedera komplit pada regio cervical menimbulkan tetraplegi yaitu

motorik pada lengan maupun tungkai tidak ada. Cedera komplit pada C1-C4 menyebabkan

pasien tidak dapat bernapas sehingga membutuhkan ventilasi mekanik. Gejala lain yang timbul

pada spinal cord injury adalah nyeri pada lokasi cedera, kekakuan pada lengan atau tungkai,

hilangnya control saluran cerna, dan disfungsi seksual.5

VI. DIAGNOSIS

A. Pemeriksaan Fisik

Diagnosis spinal cord injury ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan radiologi.

Pemeriksaan fisik pada kepala dan wajah untuk melihat ada luka atau memar yang bisa

mengindikasikan terjadinya trauma tidak langsung pada vertebra cervikal. Inspeksi pada leher

untuk melihat adanya deformitas, memar, atau luka tusuk. Tulang dan jaringan lunak dipalpasi

untuk menilai adanya peningkatan jarak antara processus spinosus, yang memberi kesan

instabilitas akibat kerusakan pada kolumna posterior. Selama pemeriksaan pastikan vertebra

cervical tidak bergerak karena dapat meningkatkan resiko terjadinya cedera pada medulla

spinalis.2

Pada pasien dilakukan log-rolled untuk menghindari pergerakan pada columna vertebra.

Bagian belakang diinspeksi untuk melihat deformitas, luka tusuk, hematoma, atau luka memar.

Tulang dan jaringan lunak dipalpasi. Pemeriksaan neurologis harus dilakukan pada beberapa

kasus, dan harus diulangi beberapa kali. Setiap dermatom, myotome, dan reflex diperiksa.1,2

10

Page 11: LAPORAN KASUS.docx

B. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan X-Ray pada vertebra harus dilakukan pada semua korban kecelakaan yang

mengeluh nyeri atau kaku pada leher, belakang, atau mengalami parestesia perifer, semua pasien

dengan trauma kepala. Pasien dengan kesadaran menurun harus dilakukan x-ray pada vertebra.

VII. PENATALAKSANAAN

PRIMARY SURVEY

A: Airway dengan cervikal spine control

1. Penilaian

a. Mengenal patensi airway

b. Penilaian cepat adanya obstruksi

Jika pasien sadar : Dengarkan suara yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau

tidak. Jika pasien tidak sadar : Look ; lihat ada sumbatan airway atau tidak, Listen ; suara-

suara nafas, Feel ; hembusan nafas pasien. Obstruksi terbagi menjadi 2, yaitu :

Obstruksi airway total : yaitu penghambatan jalan nafas secara total, biasanya

karena tersedak. Jika pasien tidak sadar, bisa terjadi sianosis, dan resistensi

terhadap nafas buatan. Jika pasien sadar, pasien akan terlihat berusaha bernafas dan

memegang lehernya dalam keadaan sangat gelisah, bisa ditemukan sianosis.

Obstruksi airway parsial : yaitu penghambatan jalan nafas karena:

11

Gambar4. Immobilisasi cervikal Gambar5. Teknik log-rolled

Page 12: LAPORAN KASUS.docx

- Cairan seperti darah, cairan serosa. Terdengar bunyi ‘gurgling’ atau seperti orang

berkumur-kumur.

- Lidah jatuh ke belakang, terdengar bunyi ‘snoring’ atau seperti orang mengorok.

- Penyempitan laring/trakea. Biasanya karena edema di daerah leher. Terdengar

bunyi ‘crowing/stridor’ atau bunyi high pitched karena penyempitan tersebut.

2. Pengelolaan airway

Bila penderita mengalami penurunan kesadaran maka pangkal lidah kemungkinan

akan jatuh ke belakang dan menyumbat hipofaring. Sumbatan seperti ini dapat segera

diatasi dengan melakukan hiperekstensi (ditengadahkan), tetapi tindakan ini tidak

diperbolehkan pada penderita trauma yang dicurigai mengelami fraktur servikal (patah

tulang leher). pada penderita trauma dengan kecurigaan patah tulang leher maka dapat

diatasi dengan melakukan pengangkatan dagu (Chin lift maneuver) atau dengan

mendorong rahang bawah kearah depan (jaw thrust maneuver). Airway (jalan napas

selanjutnya dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway (atau di rumah sakit

terkenan dengan gudel) atau dengan menggunakan nasopharyngeal airway.

Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka jalan napas dapat

menyebabkan atau memperburuk cedera servikal dan spinal. oleh karena itu selama

melakukan tindakan harus selalu menjaga kestabilan leher pada posisi segaris (In line

immobilization) dengan fiksasi kepala atau menggunakan Neck Collar (bidai leher).

Oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi yang adekuat dapat meminimalkan cedera sekunder

pada medulla spinalis. Prinsipnya adalah bila terdapat kemungkinan cedera spinal pada

pasien trauma, tulang belakang harus diimobilisasi hingga cedera spinal dapat

disingkirkan melalui pemeriksaan klinis dan radiologis.

a. Melakukan triple airway manuever (chin-lift, head tilt, dan jaw thrust)

Jaw Thrust

12

Page 13: LAPORAN KASUS.docx

Gambar 6. Teknik jaw thrust

Chin Lift

Gambar 7. Head tilt dan Chin lift.

b. Membersihkan airway dari benda asing

Bila sumbatan tetap terjadi walaupun telah dilakukan ekstensi kepala, pembukaan

mulut dan pendorongan mandibula dan dicurigai adanya benda asing di jalan nafas

atas, maka mulut harus dibuka dengan paksa dan dibersihkan dari benda asing baik

secara manual dengan menggunakan jari (finger sweep) serta memiringkan kepala

(log roll) atau dengan alat penghisap (suctioning).

13

Page 14: LAPORAN KASUS.docx

Gambar 8. Mengorek keluar benda asing pada rongga mulut

c. Memasang pipa nasofaring atau orofaringeal

Nasopharyngeal tube (bila masih ada refleks muntah). Ukuran dinilai dengan diameter

sesuai dengan jari kelingking kanan pasien.

Gambar 9. Nasotracheal tube.

Oropharyngeal tube (guedel).

Pemasangan guedel bertujuan untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka &

menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan

nafas pada orang tidak sadar dengan GCS <8 (refleks muntah menurun/tidak ada).

Ukuran ditentukan dari sudut bibir ke tragus/submental ke angulus mandibula.

Gambar 10. Oropharyngeal tube.

d. Memasang airway definitif

14

Page 15: LAPORAN KASUS.docx

Pipa Endotrakea (Endotracheal tube)

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,

mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,

oksigenasi dan pengisapan. Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea.

Besar trakea tergantung pada umur. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung

pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm)

= 4 + ¼ umur (tahun).

Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya

dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari

ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis

subglotis.

Gambar 11. Endotracheal tube.

B: Breathing : ventilasi dan oksigenasi

1. Penilaian

a. Bebaskan leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala

b. Tentukan laju dan dalamnya pernafasan

c. Inspeksi dan palpasi untuk mengetahui adanya deviasi trakea, ekspansi thoraks simetris atau tidak simetris, pemakaian otot tambahan, dan tanda-tanda cedera lainnya

d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor

15

Page 16: LAPORAN KASUS.docx

e. Auskultasi toraks bilateral.

2. Pengelolaan

a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi

Alat bantuan nafas :

BVM (Bag-Valve-Mask) : 21 %

Nasal canule/nasal pronk : 24 – 32% (Oxygen flow rate 1 – 4 L)

Simple Mask : 40 – 60% (Oxygen flow rate 6 – 8 L)

BVM + sumber O2 : 40 – 60% (Oxygen flow rate 6 – 8 L)

Simple Mask + Reservoir : 60 – 80% (Oxygen flow rate 8 – 10 L)

Jackson-Rees : 100% (Oxygen flow rate >10 L)

BVM + Reservoir + sumber O2 : 100% (Oxygen flow rate >10 L)

C : Circulation: kontrol perdarahan

1. Penilaian

a. Dapat mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal

b. Mengetahui sumber perdarahan internal

c. Nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan

d. Tekanan darah

e. Warna kulit

2. Pengelolaan

a. Tekanan langsung pada tempat perdarahan eksternal

b. Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah, serta konsultasi bedah

c. Memasang 2 kateter IV ukuran besar

d. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, golongan darah dan cross match, dan analisis gas darah

e. Memberikan resusitasi cairan

g. Cegah hipotermi

16

Page 17: LAPORAN KASUS.docx

D : Disability: pemeriksaan neurologis singkat

1. Tentukan tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS

2. Nilai pupil, besarnya, isokor dan refleks cahaya

E : Exposure/ Environment : cegah hipotermia

SECONDARY SURVEY

B1 : Breath (napas): sistem respirasi

a. Pola nafas

b. Tanda-tanda obstruksi

c. Pernafasan cuping hidung

d. Frekuensi nafas

e. Pergerakan rongga dada à simetris/tidak

f. Suara nafas tambahan à (-) pada obstruksi total

g. Udara nafas yang keluar dari hidung

h. Sianosis pada ekstremitas

i. Auskultasi à wheezing, ronki

j. Pasien sadar à tanyakan adakah keluhan pernafasan :

Tidak ada tanda obstruksi à cukup berikan O2

Tanda-tanda obstruksi (+) à Terapi sesuai kondisi (pada pasien trauma dilakukan

triple airway manuever dan pada pasien non trauma seperti asma bronchial diberikan

obat-obatan)

B2 : Blood (darah): sistem kardiovaskuler

a. Tekanan darah

b. Nadi

c. Perfusi perifer

d. Status hidrasi (hipotermi – syok)

e. Kadar Hb

B3 : Brain (otak) à sistem SSP

a. Menilai kesadaran pasien

17

Page 18: LAPORAN KASUS.docx

b. Dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale)

c. Perhatikan gejala kenaikan tekanan intrakranial (mual, muntah dan penurunan kesadaran)

B4 : Bladder (kandung kemih): sistem urogenitalis

a. Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urin à mencerminkan kadar elektrolit

b. Untuk menilai :

1. Apakah pasien masih dehidrasi

2. Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi àacute renal failure, transfusi hemolisis

B5 : Bowel (usus): sistem gastrointestinalis

a. Tanda-tanda dilatasi lambung

b. Tanda-tanda cairan bebas

c. Distensi abdomen

d. Perdarahan lambung postoperasi

e. Obstruksi à hipoperistaltik, gangguan organ lain, misalnya : hepar, lien, pankreas

f. Dilatasi usus halus

B6 : Bone (tulang): sistem muskuloskeletal

a. Tanda-tanda sianosis

b. Perdarahan postoperasi

c. Gangguan neurologis à gerakan ekstremitas

2. Jalan Nafas Dan Ventilasi

1. Intubasi endotrakea

Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan nafas dan memastikan

bahwa ventilasi sudah adekuat. tekanan pada krikoid dan stabilisasi in-line terhadap

tulang servikal dilakukan selama digunakan laringoskop dan intubasi. Indikasi melakukan

intubasi adalah pasien apneu pada gagal napas, pasien dengan obstruksi jalan napas di

mana penatalaksanaan jalan napas dasar tidak adekuat, pasien memerlukan bantuan

pernapasan invasive untuk kegagalan oksigenasi dan ventilasi, dan pada pasien dengan

jalan napas masih baik, tapi diprediksi terdapat kemungkinan terjadi obstruksi jalan

napas, aspirasi, dan kegagalan ventilasi. 5

2. Ventilasi mekanik

18

Page 19: LAPORAN KASUS.docx

Selain berperan sebagai pendukung pada pasien yang akan menjalani prosedur operatif,

bantuan ventilasi mekanik diindikasikan bila ventilasi spontan tidak memadai untuk

mempertahankan hidup. Indikasi ventilasi mekanik adalah: Hipoventilasi, kerja nafas

tinggi, hemodinamik yang membahayakan, cardiorespiratory arrest, syok refrakter,

peningkatan tekanan intra cranial, Flail chest.6

VIII. KESIMPULAN

Spinal syok sindrom adalah kegagalan sementara medulla spinalis yang terjadi beberapa

saat setelah terjadi cedera. Semua bagian medulla spinalis walaupun tanpa kerusakan struktural

tidak dapat berfungsi. Di bawah tingkat cedera, otot flaccid, hilangnya reflex fisiologis, hilang

atau berkurangnya reaksi sensorik.1,2

Spinal syok sindrom merupakan bentuk akut dari spinal cord injury. Spinl cord injury

diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan fungsi motorik dan sensorik yang tersisa di bawah level

cedera, yaitu komplit dan inkomplit. Manifestasi klinis tergantung pada lokasi cedera dan

seberapa berat cedera yang terjadi, semakin tinggi lokasi cedera maka semakin besar

pengaruhnya kepada pasien.1,2,3

Penatalaksanaan pasien dengan spinal syok sindrom pada trauma cervical meliputi

primary survey dan secondary survey. Primary survey terdiri dari airway, breathing, circulation,

disability, dan environment di mana proteksi airway dengan cervical spine conrol diutamakan

sebab cedera pada vertebra cervical dapat menimbulkan masalah pada jalan napas dan dapat

menimbulkan terjadinya cedera sekunder pada medulla spinalis.

19

Page 20: LAPORAN KASUS.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Geraghty T, ed. Handbook of Spinal Cord Injury. 2nd ed. Queensland: Spinal Cord Injury

Service; 2001.

2. Solomon L, Warwick D, eds. Apley’s System of Orthopaedics and Fracture. 9th ed. United

Kingdom: Hodder Amold Publishing; 2010.

3. Khanna Jay, ed. Spinal Cord Injury. Maryland: The John Hopkins Medical Institutions; 2012.

4. Rose S, ed. Case Study: Spinal Cord Injury. [serial online]. 2007. [cited 22nd August 2012].

Available from: URL/http.www.REACHair.com

20

Page 21: LAPORAN KASUS.docx

5. Parke Tim, Graham C, eds. Indications for Intubation, in: Benger J, Nolan J, eds. Emergency

Airway Management. United States of America: Cambridge University Press, 2009. P 41-49.

6. Hasan A . The Indications for Mechanical Ventilation. In Understanding Mechanical

Ventilation, 2th Edition.London : Springer. 2010 p 9-16

 

21