Laporan Kasus Radiology
-
Upload
gayuh-prastya -
Category
Documents
-
view
125 -
download
3
Transcript of Laporan Kasus Radiology
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Ny. K
Usia : 57 thn
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Banjar
Dokter yg merawat : Dr. Abdul Hamid, Sp.B
ANAMSESIS
Keluhan Utama : Sakit perut bagian ulu hati sejak 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan : Nyeri menjalar bagian perut kanan, sampai ke belakang, timbul tiba-tiba, demam, kadang-kadang disertai mual dan muntah.
R. Penyakit Sekarang : Os mengeluh nyeri perut bagian ulu hati sejak 2 hari SMRS, keluhan ini timbul tiba-tiba. Nyeri menjalar ke bagian perut kanan atas sampai ke belakang. Nyeri seperti diremas-remas dan terasa seperti terbakar. Keluhan ini disertai dengan demam saat nyeri hebat ini. Os juga mengatakan saat nyeri pasien mengeluh mual-mual dan muntah. Keluhan seperti ini pernah di alami pasien tetapi tidak terlalu parah seperti ini.
R. Penyakit Dahulu : Os pernh mengalami hal serupa. DM (-) Hipertensi (+)
R. Penyakit Keluarga : TB Paru (-), DM (-) Hipertensi (+) ayah OS.
R. Psikososial : Os mengaku suka memakan makanan yang berlemak, gorengan dan yang bersantan.
R. Alergi : Disangkal
R. Pengobatan : saat sakit ini pasien belum pernah berobat.
1
STATUS GENERALISATA
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Status Gizi (tidak dilakukan)
BB : -
TB : -
Tanda Vital
Suhu :tidak dilakukan
Nadi : 88 x / menit
Nafas : 20 x / menit
TD : 120 /80 mmHg
Kepala : Tidak dilakukan
Mata : Konjungtiva anemis - /- , sclera ikterik - /-
Telinga : serumen (-) normal
Hidung : secret (-) septum deviasi (-) normal
Mulut : lidah bersih (+) bibir pucat (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-)
Thorax
Paru
Inspeksi : retraksi (-), otot nafas tambahan (-), bentuk dada normochest
Palpasi : vocal fremitus ki = ka, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor disemua lapang paru.
Auskultasi : vesikuler +/+ , wheezing -/- , ronki -/-
2
Jantung : BJ I&II dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : pembesaran (-), spider navi (-),
Auskultasi : bising usus (+), normal
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Ekstremitas
Atas : RCT <2” , akral hangat, udem (-), tonus otot 5
Bawah : RCT <2” , akral hangat, udem (-), tonus otot 5
RESUME
Ny. K mengeluh nyeri abdomen bagian epigastrium sejak 2 hari SMRS, nyeri tiba-tiba, menjalar ke bagian perut kanan sampai belakang. Nyeri seperti diremas-remas, keluhan disertai demam (+), mual (+) dan muntah (+). Riwayat psikososial Os sering mengkonsumsi makanan yang berlemak seperti gorengan dan bersantan. Dahulu Os pernah sakit seperti ini tetapi tidak terlalu parah.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan USG Abdomen
3
Hasil USG Abdomen :
A. Hepar : tidak membesar, gema parenkim homogeny rata, massa (-)
B. V.Porta/hepatica : tidak melebar, Kt. Empedu : Besar, normal, dinding tidak menebal, tampak bayangan hiperechoic 1,5cm
C. Biliaris Intra/ekstrahepatal : tidak melebar
D. Limpa : Tidak membesar, parenkhim homogeny rata, massa (-)
E. V. Lienalis : tidak melebar
F. Pancreas : Besar dan gema Parenkhim normal, klasifikasi (-)
G. D. Pankreatikus : tidak melebar
H. Paraaorta/parailaka : tidak nampak nodul hipo/hiperechoic
I. Ginjal : Besar dan kontur kedua ginjal normal, gema parankhim agak kasar,pelvokalises tidak melebar, batu (-)
J. Kantung kemih : besar normal, dinding tidak menebal, massa/batu (-)
Kesan : Menyokong Kolelithiasis
Tidak tampak tanda-tanda kolesistitis
WORKING DIAGNOSIS
Kolelithiasis
4
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Kolestatis
kolesistitis
R. Pemeriksaan Penunjang
R. Terapi
Medika Mentosa
Non-Medika Mentosa
Prognosis : Dubia et bonam
5
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta
orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung
empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum
ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara
kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang
lain.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka banyak
penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang
invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas.
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita
batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar
bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).
PEMBAHASAN
2. Defenisi
Cholelithiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin
terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus
(choledocholithiasis).
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran,bentuk
dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40
tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet
tinggi lemak dan genetik.
6
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk
di dalam kandung empedu.
Gambar 1: Batu dalam kandung empedu.
2.2 Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan
dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir
inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum
minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus.
Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan
collum dengan permukaan visceral hati.
7
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan.
Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil
dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung
empedu berasal dari plexus coeliacus.
Gambar 2: Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.
2.3 Fisiologi Saluran Empedu
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica
fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini,
mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan.
Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga
mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan
ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian
keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus
biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung
8
empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.
Gambar 3: Posisi anatomis dari vesica fellea dan organ sekitarnya.
Pengosongan Kandung Empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon
kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat
yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula
relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum.
Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam
usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua
aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu:
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini
yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen:
9
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari
kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan
mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
Komposisi Cairan Empedu
Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit - -
a. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu :
Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
10
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam
makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-
partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang
larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus
dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu
dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya
akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu
tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan
terganggu.
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme
bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera
berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.
Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide.
Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yang terbentuk sangat banyak.
2.4 Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan
atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.
b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
11
c) Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan
sisa zat hitam yang tak terekstraksi.
2.5 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan
usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain
di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan
ultrasonografi.
2.6 Etiologi/Faktor Resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan
aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.12
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn
dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko
untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
2.7 Manifestasi Klinis
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari
yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier
yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula
disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy
positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan
(bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatic.
13
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini
berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik
bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 – 60
menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke
abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina
pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum
pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis,
koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik
dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit
penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini
timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan dan
fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis,
panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus
(koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit
diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan
gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut
dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap
berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi
penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.
14
Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi
2.8 Patofisiologi
2.8.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang terbesar yang
terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo Maki tahun 1995 sebagai
berikut:
a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai:
Batu Kolesterol Murni
Batu Kombinasi
Batu Campuran (Mixed Stone)
b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya
paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:
Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium
Batu pigmen murni
c) Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:
Batu Kolesterol
Batu Campuran (Mixed Stone)
Batu Pigmen.
15
Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak
larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle
yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan
menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio
kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 :
20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif
tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan
mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
16
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa
berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung
empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk
akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu
lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti
batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,
pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal
vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik.
Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat
kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
Batu bilirubin/Batu pigmen
Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit
yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan
infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi
unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh
bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55
17
% batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah
dari cacing tambang.
2.8.2 Patofisiologi Umum
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu
yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah
keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam
menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh
substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus
untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian
lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu.
Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi
pembentukan batu empedu empedu.
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:
a. Asimtomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut
Empiema
Perikolesistitis
18
Perforasi
e. Kolesistitis kronis
Hidrop kandung empedu
Empiema kandung empedu
Fistel kolesistoenterik
Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu
terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi.
Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel,
bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu
fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis
akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
2.10 Diagnosis
2.10.1 Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
19
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.
2.10.2 Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri
tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda
Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3
mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat,
akan timbul ikterus klinis.
2.10.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
20
mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap
kali terjadi serangan akut.
b. Pemeriksaan radiologis
Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatica.
Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis
21
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi
biasa.
Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.
22
Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis
2.11 Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-
timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak.
Pilihan penatalaksanaak antara lain:
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden 23
komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laparaskopi.
Gambar 8: Tindakan kolesistektomi
c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka
kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan
manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam
xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara
lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50%
pasien.
d) Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-butil-
eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah
terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5
tahun).
e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
24
f) Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat
tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien
yang sakitnya kritis.
2.12 Terapi
Ranitidin
Komposisi: Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml
injeksi.
Indikasi: Ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina, ulkus
duodenum, hiperekresi asam lambung (Dalam kasus kolelitiasis ranitidin dapat
mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik).
Perhatian: Pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma
lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
Buscopan (analgetik /anti nyeri)
Komposisi: Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi.
Indikasi: Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih wanita.
Kontraindikasi: Glaukoma hipertrofiprostat.
Buscopan Plus
Komposisi: Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg.
Indikasi: Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik pada
saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.
NaCl
NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida yang dimana kandungan
osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh.
NaCl 3 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida tetapi kandungan
osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh.
25
2.13 Penatalaksanaan Diet
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga
klien dianjurkan/dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi
terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat
diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi
ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.
26
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. 2001. Keperawatan medikal bedah vol 2. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.
Dorland, W. 2002. Kamus kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.
http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/25/kolelitiasis-gallbladder-stones/. Diakses tanggal 4 Oktober 2009.
Husadha, Yast. 1996. Buku ajar ilmu penyakit dalam: fisiologi dan pemeriksaan biokimiawi hati. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
ISFI. 2008. ISO Indonesia. Volume 43 – 2008. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
Lesmana, L. 2000. Batu empedu. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, A. 1999. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FKUI
Schwartz S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip ilmu bedah (principles of surgery). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
27