Laporan Kasus Radiology

38
LAPORAN KASUS IDENTITAS Nama : Ny. K Usia : 57 thn Jenis Kelamin : Wanita Alamat : Banjar Dokter yg merawat : Dr. Abdul Hamid, Sp.B ANAMSESIS Keluhan Utama : Sakit perut bagian ulu hati sejak 2 hari SMRS Keluhan Tambahan : Nyeri menjalar bagian perut kanan, sampai ke belakang, timbul tiba-tiba, demam, kadang- kadang disertai mual dan muntah. R. Penyakit Sekarang : Os mengeluh nyeri perut bagian ulu hati sejak 2 hari SMRS, keluhan ini timbul tiba- tiba. Nyeri menjalar ke bagian perut kanan atas sampai ke belakang. Nyeri seperti diremas-remas dan terasa seperti terbakar. Keluhan ini disertai dengan demam saat nyeri hebat ini. Os juga mengatakan saat nyeri pasien mengeluh mual-mual dan muntah. Keluhan seperti ini pernah di alami pasien tetapi tidak terlalu parah seperti ini. R. Penyakit Dahulu : Os pernh mengalami hal serupa. DM (-) Hipertensi (+) R. Penyakit Keluarga : TB Paru (-), DM (-) Hipertensi (+) ayah OS. 1

Transcript of Laporan Kasus Radiology

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : Ny. K

Usia : 57 thn

Jenis Kelamin : Wanita

Alamat : Banjar

Dokter yg merawat : Dr. Abdul Hamid, Sp.B

ANAMSESIS

Keluhan Utama : Sakit perut bagian ulu hati sejak 2 hari SMRS

Keluhan Tambahan : Nyeri menjalar bagian perut kanan, sampai ke belakang, timbul tiba-tiba, demam, kadang-kadang disertai mual dan muntah.

R. Penyakit Sekarang : Os mengeluh nyeri perut bagian ulu hati sejak 2 hari SMRS, keluhan ini timbul tiba-tiba. Nyeri menjalar ke bagian perut kanan atas sampai ke belakang. Nyeri seperti diremas-remas dan terasa seperti terbakar. Keluhan ini disertai dengan demam saat nyeri hebat ini. Os juga mengatakan saat nyeri pasien mengeluh mual-mual dan muntah. Keluhan seperti ini pernah di alami pasien tetapi tidak terlalu parah seperti ini.

R. Penyakit Dahulu : Os pernh mengalami hal serupa. DM (-) Hipertensi (+)

R. Penyakit Keluarga : TB Paru (-), DM (-) Hipertensi (+) ayah OS.

R. Psikososial : Os mengaku suka memakan makanan yang berlemak, gorengan dan yang bersantan.

R. Alergi : Disangkal

R. Pengobatan : saat sakit ini pasien belum pernah berobat.

1

STATUS GENERALISATA

Keadaan Umum : sakit sedang

Kesadaran : composmentis

Status Gizi (tidak dilakukan)

BB : -

TB : -

Tanda Vital

Suhu :tidak dilakukan

Nadi : 88 x / menit

Nafas : 20 x / menit

TD : 120 /80 mmHg

Kepala : Tidak dilakukan

Mata : Konjungtiva anemis - /- , sclera ikterik - /-

Telinga : serumen (-) normal

Hidung : secret (-) septum deviasi (-) normal

Mulut : lidah bersih (+) bibir pucat (-)

Leher : pembesaran kelenjar (-)

Thorax

Paru

Inspeksi : retraksi (-), otot nafas tambahan (-), bentuk dada normochest

Palpasi : vocal fremitus ki = ka, nyeri tekan (-)

Perkusi : sonor disemua lapang paru.

Auskultasi : vesikuler +/+ , wheezing -/- , ronki -/-

2

Jantung : BJ I&II dalam batas normal

Abdomen

Inspeksi : pembesaran (-), spider navi (-),

Auskultasi : bising usus (+), normal

Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Ekstremitas

Atas : RCT <2” , akral hangat, udem (-), tonus otot 5

Bawah : RCT <2” , akral hangat, udem (-), tonus otot 5

RESUME

Ny. K mengeluh nyeri abdomen bagian epigastrium sejak 2 hari SMRS, nyeri tiba-tiba, menjalar ke bagian perut kanan sampai belakang. Nyeri seperti diremas-remas, keluhan disertai demam (+), mual (+) dan muntah (+). Riwayat psikososial Os sering mengkonsumsi makanan yang berlemak seperti gorengan dan bersantan. Dahulu Os pernah sakit seperti ini tetapi tidak terlalu parah.

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan USG Abdomen

3

Hasil USG Abdomen :

A. Hepar : tidak membesar, gema parenkim homogeny rata, massa (-)

B. V.Porta/hepatica : tidak melebar, Kt. Empedu : Besar, normal, dinding tidak menebal, tampak bayangan hiperechoic 1,5cm

C. Biliaris Intra/ekstrahepatal : tidak melebar

D. Limpa : Tidak membesar, parenkhim homogeny rata, massa (-)

E. V. Lienalis : tidak melebar

F. Pancreas : Besar dan gema Parenkhim normal, klasifikasi (-)

G. D. Pankreatikus : tidak melebar

H. Paraaorta/parailaka : tidak nampak nodul hipo/hiperechoic

I. Ginjal : Besar dan kontur kedua ginjal normal, gema parankhim agak kasar,pelvokalises tidak melebar, batu (-)

J. Kantung kemih : besar normal, dinding tidak menebal, massa/batu (-)

Kesan : Menyokong Kolelithiasis

Tidak tampak tanda-tanda kolesistitis

WORKING DIAGNOSIS

Kolelithiasis

4

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Kolestatis

kolesistitis

R. Pemeriksaan Penunjang

R. Terapi

Medika Mentosa

Non-Medika Mentosa

Prognosis : Dubia et bonam

5

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta

orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung

empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria.

Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum

ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara

kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang

lain.

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka banyak

penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah

kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang

invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas.

Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu

menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita

batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar

bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).

PEMBAHASAN

2. Defenisi

Cholelithiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin

terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus

(choledocholithiasis).

Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana

terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran,bentuk

dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40

tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet

tinggi lemak dan genetik.

6

Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis

dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu

merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk

di dalam kandung empedu.

Gambar 1: Batu dalam kandung empedu.

2.2 Anatomi

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada

permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan

dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi

fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir

inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung

rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,

belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum

minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus.

Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan

collum dengan permukaan visceral hati.

7

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan.

Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil

dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum

vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang

perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung

empedu berasal dari plexus coeliacus.

Gambar 2: Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.

2.3 Fisiologi Saluran Empedu

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica

fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini,

mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan.

Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga

mempunyai banyak mikrovilli.

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan

ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian

keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus

biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung

8

empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum

disalurkan ke duodenum.

Gambar 3: Posisi anatomis dari vesica fellea dan organ sekitarnya.

Pengosongan Kandung Empedu

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.

Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak

menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon

kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat

yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula

relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum.

Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam

usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua

aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu:

a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan

merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini

yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.

b) Neurogen:

9

Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan

lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari

kandung empedu.

Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan

mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu

lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal

memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

Komposisi Cairan Empedu

Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit -   -  

a. Garam Empedu

Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu :

Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.

Fungsi garam empedu adalah:

10

o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam

makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-

partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang

larut dalam lemak.

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus

dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu

dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya

akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu

tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah

tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan

terganggu.

b. Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme

bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera

berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.

Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide.

Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka

bilirubin yang terbentuk sangat banyak.

2.4 Klasifikasi

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan

atas 3 (tiga) golongan, yaitu:

a) Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.

b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung

kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.

11

c) Batu pigmen hitam

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan

sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

2.5 Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan

usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain

di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan

ultrasonografi.

2.6 Etiologi/Faktor Resiko

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin

banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya

kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan

pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi

kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga

meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon

(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan

aktivitas pengosongan kandung empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang

dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan

orang degan usia yang lebih muda.

c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk

terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam

kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi

kontraksi/ pengosongan kandung empedu.12

d. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi

gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat

menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn

dengan tanpa riwayat keluarga.

f. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini

mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,

diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk

berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko

untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

2.7 Manifestasi Klinis

Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi

menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari

yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.

Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier

yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula

disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy

positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan

(bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran

empedu ekstra hepatic.

13

Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini

berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik

bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.

Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 – 60

menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke

abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina

pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum

pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.

Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi

yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis,

koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik

dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit

penanganannya dan dapat berakibat fatal.

Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini

timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. 

Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering

mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan dan

fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis,

panleneatitis dan kolongitis. 

Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus

(koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran empedu

(koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit

diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata. 

Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan

gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut

dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap

berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi

penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

14

Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi

2.8 Patofisiologi

2.8.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu

Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang terbesar yang

terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo Maki tahun 1995 sebagai

berikut:

a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai:

Batu Kolesterol Murni

Batu Kombinasi

Batu Campuran (Mixed Stone)

b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya

paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:

Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium

Batu pigmen murni

c) Batu empedu lain yang jarang

Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:

Batu Kolesterol

Batu Campuran (Mixed Stone)

Batu Pigmen.

15

Batu Kolesterol

Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:

a. Fase Supersaturasi

Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak

larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle

yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan

menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio

kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 :

20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif

tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan

mengendap.

Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:

Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan

lecithin jauh lebih banyak.

Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi

supersaturasi.

Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).

Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.

Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan

ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi

enterohepatik).

Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar

chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan

batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain

menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.

b. Fase Pembentukan inti batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu

heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang

lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol

sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.

16

c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar

Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa

berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung

empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk

akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu

lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti

batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,

pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal

vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik.

Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat

kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar. 

Batu bilirubin/Batu pigmen

Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:

a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).

b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:

a. Saturasi bilirubin

Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit

yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan

infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi

unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b

glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal

cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja

glukuronidase.

b. Pembentukan inti batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh

bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55

17

% batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris

lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah

dari cacing tambang.

2.8.2 Patofisiologi Umum

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan

pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu

empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu

yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana

mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah

keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan

konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam

kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam

menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh

substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus

untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian

lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu.

Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi

pembentukan batu empedu empedu.

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:

a. Asimtomatik

b. Obstruksi duktus sistikus

c. Kolik bilier

d. Kolesistitis akut

Empiema

Perikolesistitis

18

Perforasi

e. Kolesistitis kronis

Hidrop kandung empedu

Empiema kandung empedu

Fistel kolesistoenterik

Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/

menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu

terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi.

Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel,

bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu

dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu

fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis

akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat

sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi

kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi

dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap

asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus

juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel

kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit

saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.

2.10 Diagnosis

2.10.1 Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang

mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.

19

Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas

atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari

15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan

perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai

mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang

setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah

pada waktu menarik nafas dalam.

2.10.2 Pemeriksaan Fisik

Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti

kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,

empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri

tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda

Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas

panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan

pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

Batu saluran empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba

hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3

mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat,

akan timbul ikterus klinis.

2.10.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada

pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.

Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum

akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi

20

mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali

serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap

kali terjadi serangan akut.

b. Pemeriksaan radiologis

Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya

sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung

empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat

dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar

atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di

kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura

hepatica.

Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis

21

Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik

maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu

yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun

sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi

karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa

nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi

biasa.

Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis

Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif

murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat

dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus

paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan

hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.

Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung

empedu.

22

Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis

2.11 Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-

timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak.

Pilihan penatalaksanaak antara lain:

a) Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis

simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus

biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur

ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik

biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

b) Kolesistektomi laparaskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.

Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan

prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus

koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional

adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien

dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang

belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden 23

komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering

selama kolesistektomi laparaskopi.

Gambar 8: Tindakan kolesistektomi

c) Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka

kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan

manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam

xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara

lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50%

pasien.

d) Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-butil-

eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah

terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini

invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5

tahun).

e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini

memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar

dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

24

f) Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat

tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien

yang sakitnya kritis.

2.12 Terapi

Ranitidin

Komposisi: Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml

injeksi.

Indikasi: Ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina, ulkus

duodenum, hiperekresi asam lambung (Dalam kasus kolelitiasis ranitidin dapat

mengatasi rasa mual dan muntah / anti emetik).

Perhatian: Pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma

lambung, dan tidak dianjurkan untuk wanita hamil.

Buscopan (analgetik /anti nyeri)

Komposisi: Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi.

Indikasi: Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih wanita.

Kontraindikasi: Glaukoma hipertrofiprostat.

Buscopan Plus

Komposisi: Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg.

Indikasi: Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik pada

saluran uriner, bilier, dan organ genital wanita.

NaCl

NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida yang dimana kandungan

osmolalitasnya sama dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh.

NaCl 3 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida tetapi kandungan

osmolalitasnya lebih tinggi dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh.

25

2.13 Penatalaksanaan Diet

Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak

yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga

klien dianjurkan/dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi

terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat

diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah yang dimasak, nasi

ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi/teh.

26

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2001. Keperawatan medikal bedah vol 2. Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.

Dorland, W. 2002. Kamus kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.

http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/25/kolelitiasis-gallbladder-stones/. Diakses tanggal 4 Oktober 2009.

Husadha, Yast. 1996. Buku ajar ilmu penyakit dalam: fisiologi dan pemeriksaan biokimiawi hati. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

ISFI. 2008. ISO Indonesia. Volume 43 – 2008. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.

Lesmana, L. 2000. Batu empedu. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mansjoer, A. 1999. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FKUI

Schwartz S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip ilmu bedah (principles of surgery). Edisi 6. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.

27