Laporan Kasus OMSK

50
LAPORAN KASUS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) Disusun oleh : Adisti Zakyatunnisa 030.10.006 Bela Amanda Putri 030.10.050 M. Wahyu Setiani 030.10.197 Sarah Margareth F. 030.10.070 Pembimbing : Dr. Satria Nugraha W, SpTHT-KL 1

description

jiih

Transcript of Laporan Kasus OMSK

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

(OMSK)

Disusun oleh :

Adisti Zakyatunnisa 030.10.006

Bela Amanda Putri 030.10.050

M. Wahyu Setiani 030.10.197

Sarah Margareth F. 030.10.070

Pembimbing :

Dr. Satria Nugraha W, SpTHT-KL

KEPANITERAAN KLINIK THT-KL RSUD KOTA BEKASIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. TRISAKTI

PERIODE 25 MEI 2015 – 27 JUNI 2015

1

LEMBAR PERSETUJUAN

Presentasi laporan kasus dengan judul

“Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)”

Oleh

Adisti Zakyatunnisa 030.10.006

Bela Amanda Putri 030.10.050

M. Wahyu Setiani 030.10.197

Sarah Margareth F. 030.10.070

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan

kepaniteraan klinik Ilmu THT-KL di RSUD Kota Bekasi periode 25 Mei – 27 Juni

2015.

Bekasi, Juni 2015

dr. Satria Nugraha W, Sp. THT-KL

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

kesempatan dariNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Laporan kasus ini

disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik THT-KL di RSUD Kota Bekasi.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Satria

Nugraha W, Sp. THT-KL yang telah membimbing penulis dalam mengerjakan

laporan kasus ini, serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penulis selama

di kepaniteraan klinik Ilmu THT-KL di RSUD Kota Bekasi.

Tak lupa juga ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman

seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi

dukungan dan bantuan kepada penulis. Dengan penuh kesadaran dari penulis,

meskipun telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan laporan kasus

ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan

kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan

semoga laporan kasus ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Bekasi, Juni 2015

Penulis

3

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… ...ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………...…....iii

BAB I PENDAHULUAN……………………….…………………………………. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………2

2.1 Anatomi Telinga…………………………………………………………...……...2

2.2 Anatomi Telinga Tengah//………………………………………………………...3

2.3 Definisi……………………………………...……………………………………11

2.4 Epidemiologi……………………………………………………………………..11

2.5 Klasifikasi………………………………………...………………………………12

2.6 Etiologi……………………………………………..…………………………….13

2.7 Faktor Risiko……………………………………….…………………………….13

2.8 Patogenesis………………………………………….……………………………13

2.9 Kolesteatoma……………………………………….…………………………….15

2.10 Manifestasi Klinis……………………………....…………………………….16

2.11 Diagnosis…………………………………………….………………………….18

2.12 Penatalaksanaan…………………………………………………...……………20

2.13 Komplikasi……………………………………………………………. ……..21

2.14 Prognosis……………………………………………. . ………………………..22

BAB III LAPORAN KASUS……………………………………………………….22

3.1 Identitas Pasien…………………………………………………………………23

3.2 Anamnesis………………………………………………………………………23

3.3 Pemeriksaan Fisik………………………………………………………………24

3.4 Resume………………………………………………………………………….28

3.5 Diagnosis Kerja…………………………………………………………………28

3.6 Penatalaksanaan…………………………………………………………………28

3.7 Prognosis………………………………………………………………………..28

BAB IV PEMBAHASAN…………….………………………………………….. 29

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 31

4

BAB I

PENDAHULUAN

Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan

perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus

atau hilang timbul. Sekret mungkin encer, atau kental, bening atau berupa nanah.

Penyakit ini biasanya dimulai pada anak sebagai perforasi membran timpani spontan

yang disebabkan oleh infeksi akut telinga tengah (dikenal sebagai otitis media akut)

atau sebagai sebuah sekuel dari bentuk otitis media yang lebih berat.1

Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit THT yang paling banyak

ditemukan di negara sedang berkembang. Secara umum, insiden OMSK dipengaruhi

oleh ras dan faktor sosioekonomi. Prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan

termasuk dalam klasifikasi tinggi dibandingkan dengan beberapa negara

lain.Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran

oleh Departemen Kesehatan R.I tahun 1994-1996, angka kesakitan (morbiditas)

Telinga, Hidung, dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6% dengan

prevalensi morbiditas tertinggi pada kasus telinga dan gangguan pendengaran yaitu

sebesar 38,6% dan prevalensi otitis media supuratif kronis antara 2,1-5,2%.2

Otitis media supuratif kronik dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu OMSK tipe

aman (tipe mukosa = tipe benigna) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe

maligna). Pada tipe bahaya, terdapat resiko terjadinya komplikasi ke dalam tulang

temporal dan ke intrakranial yang dapat berakibat fatal.1,3,4

Komplikasi ke intrakranial merupakan penyebab utama kematian pada OMSK di

negara sedang berkembang, yang sebagian besar kasus terjadi karena penderita

mengabaikan keluhan telinga berair. Kematian terjadi pada 18,6 % kasus OMSK

dengan komplikasi intrakranial seperti meningitis.2

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar

terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membrane timpani. Daun telinga

terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan

rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam

rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 – 3 cm. Pada sepertiga bagian

luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut.1

Telinga tengah terdiri dari membrane timpani, tulang-tulang pendengaran dan

tuba eustachius. Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua

setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis.

Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala

timpani dengan skala vestibule.1

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Manusia (Bhaat RA et al. Ear Anatomy)

2.2 Anatomi Telinga Tengah

6

Telinga tengah berbentuk kubus dengan1,5 :

- Batas luar : membran timpani

- Batas depan : tuba eustachius

- Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

- Batas belakang: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

- Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)

- Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis

horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, (oval window), tingkap bundar

(round window) dan promontorium.

Fungsi utama dari telinga tengah adalah konduksi dari suara melalui penyampaian

gelombang suara di udara yang dikumpulkan aurikula ke cairan di telinga tengah.

Telinga tengah terletak di bagian kaku dari tulang temporal dan terisi uadara sekunder

untuk menghubungkan dengan nasofaring melalui tuba eustachius.

2.2.1 Membran Timpani

Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan memisahkan

liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang vertikal rata-

rata 9-10 mm dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, ketebalannya rata-rata

0,1 mm.1,5

Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi

miring yang arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan membuat sudut 450 dari

dataran sagital dan horizontal. Membran timpani menyerupai kerucut, di mana bagian

puncak dari kerucut menonjol ke arah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo.

Dari umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya (cone of light)5.

Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu5 :

1. Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.

2. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.

3. Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan

mukosum.

Lamina propria terdiri dari dua lapisan anyaman penyabung elastis yaitu5:

1. Bagian dalam sirkuler.

2. Bagian luar radier .

Secara anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian5 :

7

1. Pars tensa

Merupakan bagian terbesar dari membran timpani, yaitu suatu permukaan yang

tegang dan bergetar, pinggirnya menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada

sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.

2. Pars flaksid atau membran Shrapnell,

Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksid dibatasi

oleh 2 lipatan yaitu :

1. Plika maleolaris anterior (lipatan muka).

2. Plika maleolaris posterior (lipatan belakang).

Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang dan dinamakan

sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini dan bagian

ini disebut insisura timpanika (Rivini). Permukaan luar dari membran timpani disarafi

oleh cabang n. Aurikulo temporalis dari nervus mandibula dan nervus vagus.

Permukaan dalam disarafi oleh n. timpani cabang dari nervus glosofaringeal. Aliran

darah membran timpani berasal dari permukaan luar dan dalam. Pembuluh-pembuluh

epidermal berasal dari aurikula yang dalam cabangdari arteri maksilaris interna.

Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh timpani anterior cabang dari arteri

maksilaris interna dan oleh stylomastoid cabang dari arteri aurikula posterior5.

Gambar 2.2 Membran Timpani (Bhaat RA et al. Ear Anatomy)

2.1.2 Kavum Timpani

8

Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal bentuknya

bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15mm,

sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu :

bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding

posterior.1,5

A. Atap kavum timpani

Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen

timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus temporalis dari otak.

Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal dan sebagian lagi oleh

skuama dan garis sutura petroskuama. Dinding ini hanya dibatasi oleh tulang yang

tipis atau ada kalanya tidak ada tulang sama sekali (dehisensi).

B. Lantai kavum timpani

Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus

jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum timpani mudah

merembet ke bulbus vena jugularis.5

C. Dinding medial.

Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga

merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpanum

menonjol kearah kavum timpani, yang disebut promontorium Tonjolan ini oleh

karena di dalamnya terdapat koklea. Didalam promontorium terdapat beberapa

saluran-saluran yang berisi saraf-saraf yang membentuk pleksus timpanikus. Di

belakang dan atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau foramen ovale (oval

window), bentuknya seperti ginjal dan berhubungan pada kavum timpani dengan

vestibulum, dan ditutupi oleh telapak kaki stapes dan diperkuat oleh ligamentum

anularis. Foramen ovale berukuran 3,25 mm x 1,75 mm. Di atas fenestra vestibuli,

sebagai tempat jalannya nervus fasialis. Kanalis ini di dalam kavum timpani tipis

sekali atau tidak ada tulang sama sekali (dehisensi). Fenestra koklea atau foramen

rotundum (round window), ditutupi oleh suatu membran yang tipis yaitu membran

timpani sekunder, terletak di belakang bawah. Foramen rotundum ini berukuran 1,5

mm x 1,3 mm pada bagian anterior dan posterior 1,6 mm.5

Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu sama lain

pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam yaitu sinus

9

timpanikus. Suatu ruang yang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau

resesus fasial yang didapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal.

Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah superior oleh

prosesus brevis inkus yang melekat ke fosa inkudis. Lebar resesus fasialis 4,01mm

dan tidak bertambah semenjak lahir. Resesus fasialis penting karena sebagai pembatas

antara kavum timpani dengan kavum mastoid sehingga bila aditus ad antrum tertutup

karena suatu sebab maka resesus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan kavum

timpani dengan kavum mastoid.5

D. Dinding posterior

Dinding posterior dekat ke atap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang

menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui epitimpanum. Di

bawah aditus terdapat lekukan kecil yang disebut fosa inkudis yang merupakan suatu

tempat prosesus brevis dari inkus dan melekat pada serat-serat ligamen. Dibawah fosa

inkudis dan dimedial dari korda timpani adalah piramid, tempat terdapatnya tendon

muskulus stapedius, tendon yang berjalan keatas dan masuk ke dalam stapes. Diantara

piramid dan anulus timpanikus adalah resesus fasialis.

Disebelah dalam dari piramid dan nervus fasialis merupakan perluasan ke arah

posterior dari mesotimpani adalah sinus timpani. Perluasan sel-sel udara ke arah

dinding posterior dapat meluas seperti yang dilaporkan Anson dan Donaldson(1981),

bahwa apabila diukur dari ujung piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9mm kearah

tulang mastoid. Dinding medial dari sinus timpani kemudian berlanjut kebagian

posterior dari dinding medial kavum timpani dimana berhubungan dengan dua

fenestra dan promontorium.5

E. Dinding anterior

Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya dinding

medial dan dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah adalah lebih besar

dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotispada

saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior. Dinding anterior

ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius. Tuba ini berhubungan dengan

nasofaring dan mempunyai dua fungsi. Pertama menyeimbangkan tekanan membran

timpani pada sisi sebelah dalam, kedua sebagai drainase sekresi dari telinga tengah,

termasuk sel-sel udara mastoid. Diatas tuba terdapat sebuah saluran yang berisi otot

10

tensor timpani. Dibawah tuba, dinding anterior biasanya tipis dimana ini merupakan

dinding posterior dari saluran karotis.5

F. Dinding lateral

Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian

tulang berada diatas dan bawah membran timpani.5

Kavum timpani terdiri dari5 :

1. Tulang-tulang pendengaran ( maleus, inkus, stapes).

2. Dua otot.

3. Saraf korda timpani.

4. Saraf pleksus timpanikus.

1. Tulang – Tulang Pendengaran

Gambar 2.3 Tulang-Tulang pendengaran (Bhaat RA et al. Ear Anatomy)

a. Maleus

Maleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang-tulang

pendengaran dan terletak paling lateral, leher, prosesus brevis (lateral), prosesus

anterior, lengan (manubrium). panjangnya kira-kira 7,5 sampai 9,0 mm.

b. Inkus

11

Inkus terdiri dari badan inkus ( corpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus brevis dan

prosesus longus. Sudut antara prosesus brevis dan longus membentuk sudut lebih

kurang 100 derajat. Inkus berukuran 4,8 mm x 5,5 mm pada pinggir dari corpus,

prosesus longus panjangnya 4,3 mm-5,5 mm.

c. Stapes

Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti sanggurdi

beratnya hanya 2,5 mg, tingginya 4 mm - 4,5 mm. Stapes terdiri dari kepala, leher,

krura anterior dan posterior dan telapak kaki ( foot plate), yang melekat pada foramen

ovale dengan perantara ligamentum anulare. Tendon stapedius berinsersi pada suatu

penonjolan kecil pada permukaan posterior dari leher stapes.

2. Otot

Terdiri dari : otot tensor timpani dan otot stapedius. Otot tensor timpani adalah

otot kecil panjang yang berada 12 mm diatas tuba eustachius. Otot ini melekat pada

dinding semikanal tensor timpani. Kanal ini terletak diatas liang telinga bagian tulang

dan terbuka kearah liang telinga sehingga disebut semikanal. Serabut -serabut otot

bergabung dan menjadi tendon pada ujung timpani semikanal yang ditandai oleh

prosesus kohleoform. Prosesus ini membuat tendon tersebut membelok kearah lateral

kedalam telinga tengah. Tendon berinsersi pada bagian atas leher maleus. Muskulus

tensor timpani disarafi oleh cabang saraf kranial ke 5. kerja otot ini menyebabkan

membran timpani tertarik kearah dalam sehingga menjadi lebih tegang dan

meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara serta melemahkan suara

dengan frekuensi rendah.5

Otot stapedius adalah otot yang relatif pendek. Bermula dari dalam kanalnya

didalam eminensia piramid, serabut ototnya melekat ke perios kanal tersebut. Serabut-

serabutnya bergabung membentuk tendon stapedius yang berinsersi pada apek

posterior leher stapes. M. Stapedius disarafi oleh salah satu cabang saraf kranial ke 7

yang timbul ketika saraf tersebut melewati m. stapedius tersebut pada perputarannya

yang kedua. Kerja m.stapedius menarik stapes ke posterior mengelilingi suatu pasak

pada tepi posterior basis stapes. Keadaan ini stapes kaku, memperlemah transmisi

suara dan meningkatkan frekuensi resonansi tulang-tulang pendengaran.5

3. Saraf korda timpani

Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari

kanalikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior. Korda

12

timpani memasuki telinga tengah bawah pinggir posterosuperior sulkus timpani dan

berjalan keatas depan lateral keprosesus longus dari inkus dan kemudian ke bagian

bawah leher maleus tepatnya diperlekatan tendon tensor timpani. Setelah berjalan

kearah medial menuju ligamentum maleus anterior, saraf ini keluar melalui fisura

petrotimpani.5

Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang

berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui ganglion

submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3 depan lidah

bagian anterior.5

4. Pleksus timpanikus

Adalah berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan

nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis

interna. Saraf dari pleksus ini dan kemudian berlanjut pada :

1. Cabang-cabang pada membrana mukosa yamg melapisi kavum timpani, tuba

eustachius, antrum mastiod dan sel-sel mastoid.

2. Sebuah cabang yang berhubungan dengan nervus petrosus superfisial mayor.

3. Pada nervus petrosus superfisial minor, yang mengandung serabut-serabut

parasimpatis dari N. IX. Saraf ini meninggalkan telinga tengah melalui suatu saluran

yang kecil dibawah m. tensor timpani kemudian menerima serabut saraf

parasimpatik dari N. VII dengan melalui cabang dari ganglion genikulatum.

2.1.3 Tuba Eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faring timpani.Bentuknya

seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani

dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke

bawah, depan dan medial dari telinga tengah 13 dan pada anak dibawah 9 bulan

adalah 17,5 mm.1,5

Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu5 :

1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).

2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).

Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani, dan

bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini berjalan

kearah posterior, superior dan medial sepanjang 2/3 bagian keseluruhan panjang tuba

13

(4 cm), kemudian bersatu dengan bagian tulang atau timpani. Tempat pertemuan itu

merupakan bagian yang sempit yang disebut ismus. Bagian tulang tetap terbuka,

sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup dan berakhir pada dinding lateral

nasofaring. Pada orang dewasa muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-

2,5 cm, lebih tinggi dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba

pendek, lebar dan letaknya mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring ke

telinga tengah. Tuba dilapisi oleh mukosa saluran nafas yang berisi sel-sel goblet dan

kelenjar mukusdan memiliki lapisan epitel bersilia didasarnya. Epitel tuba terdiri dari

epitelselinder berlapis dengan sel selinder. Otot yang berhubungan dengan tuba

eustachius yaitu5 :

1. M. tensor veli palatini

2. M. elevator veli palatini

3. M. tensor timpani

4. M. salpingofaringeus

Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan

keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar,

drenase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret

dari nasofaring ke kavum timpani.5

2.1.4 Prosesus Mastoideus

Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah

kekaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding

lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah

ini.Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.Aditus antrum mastoid

adalah suatu pintu yang besar iregular berasal dari epitimpanum posterior menuju

rongga antrum yang berisi udara, sering disebut sebagai aditus ad antrum. Dinding

medial merupakan penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Dibawah dan sedikit

ke medial dari promontorium terdapat kanalis bagian tulang dari n. fasialis.5

2.2 Definisi

Otitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan

perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus

atau hilang timbul. Sekret mungkin encer, atau kental, bening atau berupa nanah.1

14

Penyakit ini biasanya dimulai pada anak sebagai perforasi membran timpani

spontan yang disebabkan oleh infeksi akut telinga tengah (dikenal sebagai otitis media

akut) atau sebagai sebuah sekuel dari bentuk otitis media yang lebih berat. (otitis

media sekretori). Infeksi ini seringkali timbul pada usia sebelum 6 tahun dengan

puncaknya pada usia sekitar 2 tahun.1

Titik dimana otitis media akut menjadi OMSK masih kontroversial. Umumnya,

pasien dengan perforasi membran timpani yang yang masih terdapat sekret mukoid

keluar dari telinga tengah diatas 2 bulan, walau telah mendapat terapi medis, dikenal

sebagai kasus OMSK.6

2.3 Epidemiologi

Survei prevalensi di seluruh dunia, menunjukkan beban dunia akibat OMSK

melibatkan 65-330 juta penderita dengan telinga berair, 60% diantaranya (39-200

juta) mengalami gangguan pendengaran yang signifikan. Ini menjadi masalah penting

untuk mengatasi ketulian yang kini menimpa negara berkembang, diperkirakan 28000

mengalami kematian dan <2 juta mengalami kecacatan; 94% terdapat di negara

berkembang.7

Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit THT yang paling banyak

ditemukan di negara sedang berkembang. Secara umum, insiden OMSK dipengaruhi

oleh ras dan faktor sosioekonomi. Prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan

termasuk dalam klasifikasi tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain.

Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran oleh

Departemen Kesehatan R.I tahun 1994-1996, angka kesakitan (morbiditas) Telinga,

Hidung, dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6% dengan prevalensi

morbiditas tertinggi pada kasus telinga dan gangguan pendengaran yaitu sebesar

38,6% dan prevalensi otitis media supuratif kronis antara 2,1-5,2%.2

2.4 Klasifikasi

Otitis media supuratif kronik dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu OMSK tipe

aman (tipe mukosa = tipe benigna) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe

maligna).1

1. OMSK tipe aman (benigna)

Tipe ini disebut tipe aman karena tidak menimbulkan komplikasi yang

berbahaya. Pada OMSK tipe ini, proses peradangan terbatas pada mukosa telinga

15

tengah saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral.

Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya.

Tidak terdapat kolesteatoma pada OMSK jenis ini.1

OMSK ini dikenal juga sebagai tipe tubotimpani, karena biasanya tipe ini

didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum

timpani.

2. OMSK tipe bahaya (maligna)1,3

Disebut dengan tipe bahaya karena sebagian besar komplikasi yang berbahaya

timbul pada OMSK jenis ini. Selain itu, jenis ini disebut juga dengan OMSK tipe

atiko-antral.OMSK tipe ini disertai dengan kolesteatoma. Kolesteatoma merupakan

suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk

terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar Perforasi membran

timpani letaknya bisa di marginal atau atik, kadang-kadang terdapat juga

kolesteatoma dengan perforasi subtotal. Komplikasi bisa terjadi ke dalam tulang

temporal dan ke intrakranial yang dapat berakibat fatal.

Selain klasifikasi di atas, OMSK juga dapat dibagi berdasarkan aktivitas sekret

yang keluar, yaitu OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif adalah OMSK

dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK

tenang ialah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering (sekret tidak

keluar secara aktif).1

2.5 Etiologi

Organisme yang menjadi penyebab pada OMSK sebagian besar merupakan

patogen yang bersifat oppurtunistik, terutama Pseudomonas aeruginosa. Di sebagian

besar negara, penelitian menunjukkan bahwa P. aeruginosa merupakan organisme

predominan dan terkait dengan kira-kira 20%-50% kasus OMSK. Staphylococcus

aureus juga umumnya dapat disolasikan dari sampel yang dikultur.. OMSK juga

terkait dengan H. influenzae (22%) dan S. pneumoniae paling jarang terdapat dalam

hasil kultur (3%).1,8

16

2.6 Faktor Risiko

Otitis media akut berulang (OMA) merupakan predisposisi dari OMSK. Pada

anak yang menderita OMA berulang, 35 % dari anak-anak tersebut akan menderita

otitis media kronik, dibandingkan dengan angka 4 % pada anak yang menderita OMA

kurang dari 5 kali.7

Terapi antibiotik yang tidak adekuat, seringnya infeksi saluran napas atas,

penyakit hidung, dan kehidupan ekonomi rendah dengan akses ke sarana pelayanan

kesehatan yang kurang merupakan hal-hal yang terkait dengan perkembangan OMSK.

Paparan pasif terhadap rokok, keikutsertaan dalam fasilitas pelayanan harian yang

padat, dan riwayat keluarga yang menderita otitis media juga merupakan beberapa

faktor risiko terjadiya otitis media.Beberapa ras tertentu juga memiliki predisposisi

untuk menderita OMSK, yaitu India Amerika Barat , Aborigin Australia, bangsa

Eskimo Alaska. 7

Risiko untuk terjadinya OMSK meningkat pada pasien dengan anomali

kraniofasial, seperti pasien dengan sindrom Down, atresia koana, palatoschizis, dan

mikrosefal. Kemungkinan ini berhubungan dengan terganggunya anatomi dan fungsi

tuba eustachius.6

2.7 Patogenesis

Banyak penelitian pada hewan percobaan dan preparat tulang temporal

menemukan bahwa adanya disfungsi tuba Eustachius, yaitu suatu saluran yang

menghubungkan rongga di belakang hidung (nasofaring) dengan telinga tengah

(kavum timpani), merupakan penyebab utama terjadinya radang telinga tengah ini.3

Pada keadaan normal, muara tuba Eustachius berada dalam keadaan tertutup dan

akan membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius ini berfungsi untuk

menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara luar (tekanan

udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum sempurna, tuba yang pendek, penampang

relatif besar pada anak dan posisi tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi

saluran nafas atas pada anak akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah sehingga

lebih sering menimbulkan OM daripada dewasa. Pada anak dengan infeksi saluran

nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring melalui tuba Eustachius ke telinga tengah

yang menyebabkan terjadinya infeksi dari telinga tengah.Pada saat ini terjadi respons

imun di telinga tengah.3

17

Mediator peradangan pada telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun

infiltrat, seperti netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti keratinosit dan

sel mastosit akibat proses infeksi tersebut akan menambah permeabilitas pembuluh

darah dan menambah pengeluaran sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya

peningkatan beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan mukosa telinga

tengah karena stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel peradangan

pada telinga tengah.Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah

bentuk dari satu lapisan, epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratified

respiratory epithelium dengan banyak lapisan sel di antara sel tambahan tersebut.

Epitel respirasi ini mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia,mempunyai stroma

yang banyak serta pembuluh darah.3

Penyembuhan OM ditandai dengan hilangnya sel-sel tambahan tersebut dan

kembali kebentuk lapisan epitel sederhana.Terjadinya OMSK disebabkan oleh

keadaan mukosa telinga tengah yang tidak normal atau tidak kembali normal setelah

proses peradangan akut telinga tengah, keadaan tuba Eustachius yang tertutup dan

adanya penyakit telinga pada waktu bayi.3

18

Gambar 2.4 Patogenesis terjadinya OMSK (Soepardi EA dkk. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher. Edisi 6)

2.8 Kolesteatoma1

Kolestetoma merupakan epitel kulit yang berada pada tempat yang salah. Banyak

teori dikemukan oleh para ahli tentang patogenesis koleteatoma, antara lain teori

invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi. Sebagaimana ynag kita

ketahui, bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous epithelium) pada

tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka atau terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di

liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen

padat di liang telinga dalam waktu lama maka dari epitel kulit yang berada medial

dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.

Berdasarkan proses terbentuknya, kolesteatoma dapat dibagi menjadi:

1. Kolesteatoma kongenital

Kolestatoma terbentuk pada masa embrionik dan ditemukan pada telinga

dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma

biasanya di kavum timpani, daerah petrosus mstoid atau di cerebellopontin

angle.

2. Kolesteatoma akuisital atau didapat, yang terbentuk setelah lahir. Jenis ini

dapat dibagi menjadi dua :

a) Kolesteatoma akuisital primer

Kolesteatoma terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran

timpani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari membran

timpani pars flaksid karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat

gangguan tuba (teori invaginasi).

b) Kolesteataoma akuisital sekunder

Kolesteatoma terbentuk setelah adanya perforasi membran timpani

sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir

19

perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori migrasi) atau terjadi

akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang

berlangsung lama (teori metaplasi).

Pada teori implantasi dikatakan bahwa kolesteatoma terjadi akibat

implantasi epitel kulit secara iatrogenik ke dalam telinga tengah sewaktu

operasi, setelah blust injury, setelah pemasangan pipa ventilasi atau setelah

miringotomi.

2.8 Manifestasi Klinis

1. Telinga berair (otorea)

Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)

tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas

kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe ganas unsur

mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan

mukosa secara luas. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah

kemungkinan tuberkulosis.3

Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti air dan encer)

tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas

kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan

yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi

iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.

Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat

disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar

setelah mandi atau berenang.3

Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adanya sekret telinga. Sekret

yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma

dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih,

mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah

berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang

bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip

telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu

sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.3

2. Gangguan pendengaran

20

Pada anak-anak gejala berupa hambatan dalam berbahasa dan perkembangan

kognitif. Berdasarkan WHO pertemuan para ahli dari 15 negara-negara di Afrika,

OMSK dianggap penyebab paling banyak dari persistent hingga moderate

kerusakan dari fungsi pendengaran pada anak dan dewasa.7

Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya

dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan

pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena

daerah yang sakit ataupun kolesteatom dapat menghantar bunyi dengan efektif ke

fenestra ovalis. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat

karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom

bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat

harus diinterpretasikan secara hati-hati.3

Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya

infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel

labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif

akan terjadi tuli saraf berat. Hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi

koklea.3,4

3. Otalgia (nyeri telinga)

Adanya nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK dan bila ada merupakan

suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya

drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan

pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman

pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya

otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK

seperti petrositis, subperiosteal abses, atau trombosis sinus lateralis.3

4. Vertigo

Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan

vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi

dinding labirin oleh kolesteatom. Pada penderita yang sensitif, keluhan vertigo

dapat terjadi karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan

labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam

labirin juga akan menyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat

komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi

kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam

21

sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji

fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini

memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada membran timpani.3

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :

a. Adanya abses atau fistel retroaurikular

b. Jaringan granulasi atau polip di liang telinga yang berasal dari kavum timpani.

c. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)

d. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.

2.9 Diagnosis1,3,4

Diagnosis OMSK ditegakkan dengan cara.

1. Anamnesis

Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita

seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang

paling sering dijumpai adalah telinga berair. Pasien dengan OMSK sering datang

dengan telinga berair, kering secara bergantian dan riwayat otitis media berulang.

Seringnya, pasien menyangkal adanya nyeri atau rasa tidak nyaman pada telinga.

Dan lebih sering datang dengan gejala kehilangan fungsi pendengaran. Apabila

keluhan pasien vertigo, demam dan nyeri kemungkinan keterlibatan

intratemporal atau komplikasi intrakranial. Liang telinga bagian luar

kemungkinan bisa edem. Cairan yang keluar dari telinga bervariasi dari berbau

busuk, purulen dan bisa seperti keju ataupun jernih dan serosa. Jaringan granulasi

sering terlihat di liang telinga bagian medial atau tengah, telinga tengah. Bila

terjadi perforasi maka akan terlihat edem, bengkak atau pun eritema. Ada kalanya

penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah

serta telinga terasa seperti tersumbat.

2. Pemeriksaan otoskopi

Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari

perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.

3. Pemeriksaan audiologi

Evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk menilai

hantaran tulang dan udara penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan

pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.

22

4. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis memiliki

nilai diagnostik yang terbatas bila dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan

audiometri. Pemeriksaan radiologi biasanya memperlihatkan mastoid yang

tampak sklerotik dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi

tulang yang berada di daerah atik memberi kesan adanya kolesteatom. Proyeksi

radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah proyeksi schuller dimana pada

proyeksi ini akan memperlihatkan luasnya pnematisasi mastoid dari arah lateral

dan atas.

Pada CT scan akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom,

ada atau tidaknya tulang–tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula

pada kanalis semisirkularis horizontal.

5. Pemeriksaan bakteriologi8

Walaupun perkembangan dari OMSK merupakan kelanjutan dari mulainya

infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan

yang ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai

pada OMSK adalah Pseudomonasaeruginosa, Staphylococcus aureus, dan

Proteus sp. Sedangkan bakteri pada otitis media supuratif akut adalah

Streptococcus pneumonie dan H. influenza.7

Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus

paranasal, adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah

pneumokokus, streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK

keadaan ini agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani maka

infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.

2.10 Penatalaksanaan1,3

Pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan

penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi

penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga.

Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -

obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang.

Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain

disebabkan oleh satu atau beberapa keadaaan, yaitu adanya perforasi membran

23

timpani yang permanen, terdapat sumber infeksi di faring , nasofaring, hidung , dan

sinus paranasal, sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga

mastoid, dan gizi serta hygine yang kurang.

Prinsip terapi OMSK tipe benigna adalah konservatif atau dengan

medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menurus, maka diberikan obat pencuci

telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka

terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik

dan kortikostiroid. Sebaiknya obat tetes telinga jangan diberikan lebih dari 1 atau 2

minggu atau pada OMSK yang sudah tenang karena banyak yang bersifat ototoksik.

Secara oral diberikan antibiotik dari golongan ampisilin atau eritromisin.

Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2

bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini

bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran

timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran

yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.

Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya

infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu.

Prinsip terapi OMSK tipe maligna adalah pembedahan , yaitu mastoidektomi.

Jadi bila terdapat OMSK tipe maligna, maka terapi yang tepat ialah dengan

melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif

dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan

pembedahan.

2.11 Komplikasi10

Otitis media supuratif, baik yang akut maupun kronis, mempunyai potensi untuk

menjadi serius karena komplikasinya yang dapat mengancam kesehatan dan dapat

menyebabkan kematian. Bentuk komplikasi ini tergantung pada kelainan patoligik

yang menyebabkan otore. Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe

maligna, tetapi OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan suatu komplikasi, bila

terinfeksi kuman yang virulen. Dengan tersedianya antibiotika mutahir komplikasi

otogenik menjadi semakin jarang, pemberian obat-obat itu sering menyebabkan gejala

dan tanda klinis komplikasi OMSK menjadi kabur. Hal tersebut menyebabkan

pentingnya mengenal pola penyakit yang berhubungan dengan komplikasi ini.

24

Klasifikasi komplikasi otitis media supuratif kronis

A. Komplikasi di telinga tengah :

1. Perforasi membran timpani persisten

2. Erosi tulang pendengaran

3. Paralisi nervus fasialis

B. Komplikasi di telinga dalam :

1. Fistula labirin

2. Labirintis supuratif

3. Tuli saraf

C. Komplikasi di ekstradural :

1. Abses ekstradural

2. Trombosis sinus lateralis

3. Petrositis

D. Komplikasi ke susunan saraf pusat :

1. Meningitis

2. Abses otak

3. Hidrosefalus otitis

2. 12 Prognosis2

Frekuensi komplikasi yang mengancam jiwa pada OMSK telah menurun secara

dramatis dengan ditemukannya antibiotik. Angka mortalitas menurun tajam dari 76%

pada tahun 1930-an menjadi 36% pada tahun 1980-an. Komplikasi ke intrakranial,

merupakan penyebab utama kematian pada OMSK dinegara berkembang, yang

sebagian besar kasus terjadi karena penderita mengabaikan keluhan telinga berair.

Meningitis atau radang pada selaput otak adalah komplikasi intrakranial yang paling

sering ditemukan di seluruh dunia. Kematian tejadi pada 18,6% kasus OMSK dengan

komplikasi intrakranial.

25

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas pasien

Nama : Iroh Juiroh

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 38 th

Alamat : Bekasi

Pekerjaan : Pegawai Garmen

Masuk poli THT-KL : 10 Juni 2015

3.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 10 Juni 2015 di Poli

THT-KL RSUD Kota Bekasi.

3.2.1 Keluhan Utama

Pasien mengeluh keluar cairan bening encer pada telinga kanan sejak

kemarin.

3.2.2 Keluhan Tambahan

26

Telinga kanan terasa gatal dan pendengaran telinga kanan berkurang.

3.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh keluar cairan bening encer pada telinga kanan sejak

kemarin. Cairan tersebut keluar hilang timbul tiba-tiba. Sebelumnya

pasien mengatakan telinga kanan terasa gatal serta pendengaran telinga

kanan dirasakan menurun.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan telinga kanan keluar cairan pada

tahun lalu, hal ini ia alami selama 2 hingga 3 bulan. Riwayat alergi

disangkal.

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan

seperti ini. Tidak terdapat riwayat asma, hipertensi dan Diabetes

Mellitus.

3.2.6 Riwayat Kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan mandi dan wudhu tanpa menggunakan

penutup telinga.

3.2.7 Riwayat Pengobatan

Pasien belum berobat ke klinik.

3.3. Pemeriksaan fisik

3.3.1 Keadaan Umum dan Tanda Vital

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital : Dalam batas normal

3.3.2 Status generalis

Kepala : Normosefali, tidak ada deformitas, tidak terdapat

facies adenoid

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Mulut : Halitosis (-), trismus (-)

Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Paru : Tidak ada keluhan

Jantung : Tidak ada keluhan

Abdomen : Tidak dilakukan

27

Ekstremitas : Tidak dilakukan

3.3.3 Status lokalis (THT)

a. Pemeriksaan telinga

Kanan Kiri

Telinga Luar

Daun telinga Normotia Normotia

Retroaurikuler Tidak hiperemis

Tidak ada abses

Tidak ada nyeri tekan

Tidak ada fistel

Tidak hiperemis

Tidak ada abses

Tidak ada nyeri tekan

Tidak ada fistel

Liang telinga

Lapang (+) (+)

Hiperemis (+) (-)

Sekret (+) (-)

Serumen (+) (+)

Membran timpani Perforasi Intak

Refleks cahaya (-) (+)

Pemeriksaan Fungsi Pendengaran

Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

b. Pemeriksaan hidung

Kanan Kiri

Pemeriksaan Luar

Deformitas (-) (-)

Nyeri tekan

Dahi (-) (-)

Pipi (-) (-)

Krepitasi (-) (-)

Rhinoskopi Anterior

Cavum nasi Lapang Lapang

28

Konka inferior Eutrofi Eutrofi

Konka media Tidak tampak Tidak tampak

Konka superior Tidak tampak Tidak tampak

Mukosa Edema, pucat Edema, pucat

Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi

Sekret (-) (-)

Rhinoskopi Posterior Tidak dilakukan

c. Pemeriksaan Mulut dan Orofaring

Gigi

Gigi berlubang (-)

Lidah

Warna Merah muda

Bentuk Normoglossia

Deviasi Tidak ada

Tremor Tidak ada

Arkus faring + uvula

Simetris/ tidak Arkus faring simetris, uvula di tengah

Warna Tidak hiperemis

Bercak eksudat Tidak ada

Peritonsil

Kanan Kiri

Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis

Edema Tidak ada Tidak ada

Abses Tidak ada Tidak ada

Tonsil

Ukuran T1 T1

Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis

Permukaan Rata Rata

Kripta Normal Normal

Post nasal-drip (+)

Dinding faring posterior

Warna Tidak hiperemis

29

Warna jaringan granulasi Tidak ada

Permukaan Licin

3.4 Resume

Pasien wanita usia 38 tahun datang ke Poli THT-KL RSUD Kota

Bekasi dengan keluhan keluar cairan bening encer pada telinga kanan sejak

kemarin, cairan tersebut keluar hilang timbul secara tiba-tiba. Sebelumnya

pasien mengatakan telinga kanan terasa gatal serta pendengaran telinga kanan

dirasakan menurun. Pasien memiliki kebiasaan tidak menggunakan penutup

telinga ketika mandi dan berwudhu.

Pada pemeriksaan fisik status generalis ditemukan dalam batas normal.

Pada pemeriksaan fisik status lokalis THT ditemukan pada telinga kanan

didapatkan liang telinga hiperemis, terdapat serumen dan sekret, membran

timpani perforasi dan tidak ditemukan adanya nyeri tekan pada tragus.

Sedangkan pada pemeriksaan fisik status lokalis telinga kiri didapatkan liang

telinga lapang, terdapat serumen, tidak ada sekret, membran timpani intak dan

tidak ditemukan adanya nyeri tekan pada tragus. Pada pemeriksaan status

lokalis THT didapatkan hidung dan tenggorokan dalam batas normal.

3.5 Diagnosis kerja

OMSK Aurikula Dextra Stadium Aktif Tipe Benigna

3.6 Penatalaksanaan

Medikamentosa

- Antibiotik topical

- Antibiotik oral

- Kortikosteroid

- Mukolitik

Non medikamentosa

- Edukasi

3.7 Prognosis

30

Ad vitam : Bonam

Ad functionam : Dubia ad malam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan infeksi kronis di telinga

tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah

terus menerus atau hilang timbul. Pada dasarnya penyakit ini adalah kelanjutan dari

otitis media akut dengan perforasi membran timpani yang berlangsung lebih dari 2

bulan. Berdasarkan aktivitas sekretnya OMSK dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe

aktif dan tipe tenang. Dari gejala bisa ditemukan telinga berair (otorea), gangguan

pendengaran, nyeri telinga (otalgia), vertigo.

Pada kasus ini, Ny. I umur 38 tahun mengalami otitis media supuratif kronis

auricular dextra stadium aktif tipe benigna. Hal ini didasarkan atas hasil anamnesis

dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. Ny. I didiagnosis OMSK berdasarkan

keluhannya yakni keluarnya cairan bening encer dari telinga kanan sejak satu hari

yang lalu. Pasien juga mengeluh rasa gatal serta pendengaran yang berkurang pada

telinga kanan. Pada pemeriksaan fisik THT ditemukan adanya sekret pada liang

31

telinga kanan serta perforasi membran timpani pada telinga kanan. Dari penemuan ini

pasien dapat didiagnosis OMSK stadium aktif tipe benigna berdasarkan adanya cairan

yang keluar dari telinga dan adanya perforasi pada membran timpani, perjalanan

penyakit yang lebih dari 2 bulan serta peradangan pada mukosa saja.

Prinsip terapi OMSK stadium aktif tipe benigna adalah konservatif atau dengan

medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menurus, maka diberikan obat pencuci

telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka

terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik

dan kortikostiroid. Sebaiknya obat tetes telinga jangan diberikan lebih dari 1 atau 2

minggu atau pada OMSK yang sudah tenang karena banyak yang bersifat ototoksik.

Secara oral dapat diberikan antibiotik dari golongan ampisilin atau eritromisin.1,9

Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2

bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini

bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran

timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran

yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.

Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya

infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu.

Penatalaksanaan yang diberikan pada Ny. I berupa tatalaksana medika mentosa

dan non medika mentosa. Terapi obat yang diberikan pada pasien ini antara lain

antibiotik oral, antibiotik tetes telinga, kortikosteroid, dan mukolitik. Pasien juga

diberi edukasi berupa telinganya tidak boleh kemasukan air, jangan mengorek telinga,

bila batuk pilek minum obat segera, kontrol ke dokter spesialis THT tiap 6 bulan

sekali.

Pada pasien ini disarankan untuk melakukan tes audiometri untuk mengetahui

jenis penurunan pendengaran serta derajatnya. Pada pasien ini belum diperlukan

pemeriksaan radiologi karena OMSK pada pasien merupakan tipe benigna serta tidak

ada tanda-tanda komplikasi ke intracranial seperti keluhan sakit kepala berat atau

demam tinggi. Pada pasien ini diperlukan pemeriksaan kultur bakteri apabila setelah

dilakukan terapi tetapi masih terdapat tanda-tanda infeksi.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

leher. Edisi 6. Jakarta : FKUI.2007.

2. Aboet A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Guru Besar

Tetap Bagian Ilmu Kesehatan Hidung Telinga Tenggorok Bedah Kepala Leher.

Kampus USU. 2007.

3. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies,

BukuAjar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.

4. Parry D. Chronic suppurative otitis media. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com /article/859501 pada tanggal 6 Januari 2013.

5. Bhaat RA et al. Ear Anatomy. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com /

pada tanggal 7 Januari 2013.

6. Wiertsema SP, Leach AJ. Theories of otitis media pathogenesis, with a focus on

Indigenous children. The Medical Journal of Australia 2009; 191:s50.

33

7. WHO. Chronic suppurative otitis media burden off illness and management

options. Child and Adolescent Health and Development Prevention of Blindness

and Deafness. Geneva Switzerland. 2004.

8. Nursiah S. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap

Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan.

Medan : FK USU. 2003.

9. Lutan R, Wajdi F. Pemakaian Antibiotik Topikal Pada Otitis Media Supuratif

Kronik Jinak Aktif. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.2001.

10. Helmi, Djaafar, Zainul A, Restuti, Ratna D. Komplikasi Otitis Media Supuratif

dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher

Edisi 6. 2010. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaI. Hal

78-85.

34