laporan kasus Odha

27
BAB I PENDAHULUAN HIV / AIDS I. Definisi AIDS (aquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Masalah HIV/AIDS adalah adalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara diseluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, dengan kata lain sebagai krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respon dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. II. Etiologi HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam Deoksiribonukleat

description

laporan kasus HIV

Transcript of laporan kasus Odha

BAB I

PENDAHULUAN

HIV / AIDS

I. Definisi

AIDS (aquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan

sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh

menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human

Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS

merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

Masalah HIV/AIDS adalah adalah besar yang mengancam

Indonesia dan banyak negara diseluruh dunia. Saat ini tidak ada

negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan

berbagai krisis secara bersamaan, dengan kata lain sebagai krisis

multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respon dari

masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan

untuk individu yang terinfeksi HIV.

II. Etiologi

HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III

(HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus

manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam

ribonukleatnya (RNA) menjadi asam Deoksiribonukleat (DNA) setelah

masuk kedalam sel penjamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivurus

sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh

dunia.

III. Epidemiologi

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang

mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik

homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan

narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV

ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok resiko tinggi

terhadap HIV /AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks

komersil dan pelanggannya, serta narapidana.

Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih sangat

jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu

dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS

semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat

peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan

melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir maret 2005 tercatat

6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan, jumlah itu tentu masih sangat

jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen kesehatan RI tahun 2002

memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV

adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.

IV. Patofisiologi

HIV dapat diisolasi dari darah , cairan cerebrospinal, semen, air

mata, sekresi vagina atau serviks, urine, ASI, dan air liur. Penularan

terjadi paling efisien melalui darah dan semen, HIV juga dapat

ditularkan melalui air susu dan sekresi vagina atau serviks, tiga cara

penularan adalah kontak dengan darah, dan kontak seksual, dan

kontak ibu-bayi. Setelah virus ditularkan akan terjadi serangkaian

proses yang kemudian menyebabkan infeksi.

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai avinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4

berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi immunologis yang

penting, hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon

imun yang progresif.

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya

atau kapsul viral terdiri dari lemak lapis ganda yang mengandung

banyak tonjolan protein, duri-duri ini terdiri dari 2 glikoprotein: gp120

dan gp41, gp mengacu pada Glikoprotein dan angka mengacu pada

massa protein dalam ribuan dalton. Gp120 adalah selubung

permukaan eksternal duri, dan gp41 adalah bagian transmembran.

Terdapat suatu protein matrix yang disebut p17 yang mengelilingi

segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh

suatu protein kapsid yang disebut p24. Didalam kapsid p24, terdapat 2

untai RNA identik dan molekul preformed reverse transcriptase adalah

enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus

masuk ke sel sasaran.enzim-enzim lain yang menyertai RNA adalah

integrase dan protease.

Gambar 1: struktur virion HIV dan cara replikasinya.

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang

memilki molekul reseptor membran CD4. Sejauh ini sasaran yang

disukai oleh HIV adalah limfosit T penolong positif-CD4, atau sel T4

(limfosit CD4+). Gp 120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4+

sehingga gp 41 dapat mementarai fusi membran virus ke membran

sel. Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptro permukaan sel,

CCR5 dan CXCR4 diperluakan, agar gliprotein gp120 dan gp41 dpaat

berikatan dengan reseptor CD4+. Koreseptor ini menyebabkan

perubahan-perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke

membran sel sasaran. Individu yang mewarisi 2 salinan defektif gen

reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap timbulnya AIDS,

walaupun berulang kali terpajan HIV, (sekitar 1% orang Amerika

keturunan caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini

tidak terlindung dari AIDS, tetapi awitan penyakit agak melambat.

Belum pernah ditemukan homozigot pada populasi Asia atau Afrika,

yang mungkin dapat membantu menerangkan mengapa mereka lebih

rentan terhadap infeksi HIV.

Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup

monosit dan makrofag. Monosi dan makrofag yang terinfeksi dapat

berfungsi sebagai reservoar untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh

virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel

manusia, seperti sel Natural Killer, limfosit B, sel Endotel, sel Epitel,

sel langerhans, sel dendritik (sel-sel yang terdpat dimukosa tubuh), sel

mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh.

Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung

serangkaian proseskompleks yang apabila berjalan lancar,

menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus baru dari sel yang

terinfeksi. Limfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam

keadaan provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus replikasi

sehingga menghasilkan banyak virus. Infeksi pada limfosit CD4+ juga

dapat menimbulkan sipatogenesitas melalui beragam mekanisme,

termasuk apoptosis, (kematian sel terprogram), anergi (pencegahan

fusi sel lebih lanjut) atau pembentukan sensitium (fusi sel).

Setelah terjadi fusi sel virus, RNA virus akan masuk kebagian

tengah sitoplasma limfosit CD4+, setelah nukleokapsid dilepas, maka

terjadi transkripsi terbalik (reverse transcritption) dari satu untai

tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai ganda virus.

Integrase HIV membantu insersi cDNA virus kedalam inti sel penjamu,

makadua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus

menghasilkan RNA messenger (mRNA) yang meninggalkan inti sel

dan masuk kedalam sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari

mRNA yang lengkap dan yang telah mengalami splicing

(penggabungan) setelah RNA genom dibebaskan kedalam

sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim

virus yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein

virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus,

membentuk partikel virus menular yang menonjol dari sel yang

terinfeksi. Sewaktu menonjol dari sel penjamu, partikel-partikel

tersebut akan terbungkus oleh sebgaian dari membran sel yang

terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang dapat menyerang sel-sel

rentan lainnya diseluruh tubuh.

V. Perkembangan Klinins

Fase Infeksi

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan immunologis dan

klinis kontinum yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”.

Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan pasien

terinfeksi. Tidak semua orang terpajan akan terinfeksi (misalnya,

homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain

dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi

awal oleh HIV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberap

bulan. Namun pasien ini bersifat menular selama periode ini dan

dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window

period”. Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul

sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.

Infeksi akut terjadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif

menjadi positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus

atau mirip mononukleosis infeksiosa yang berlangsung beberapa hari.

Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan

ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih

akut seperti meningitis atau pneumonitis. Selama periode ini, dapat

terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit

CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit dibawah kadar

semula untuk pasien yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke

fase asimptomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya

sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+

menurun secara bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi

ini, baik virus maupun antibodi virus dapat ditemukan didalam darah.

Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan

limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk kedalam periode laten

walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten.

Pada fase simptomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+

pasien biasanya telah turun dibawah 300 sel/ul. Dijumpai gejala-gejala

yang menunjukkan immunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai

pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait ADIS.

Gambar 2: windows Period dari infeksi virus HIV

Tabel 1: klasifikasi CDC untuk infeksi HIV yang didasarkan pada

patofisiologi penyakit seiring memburuknya secara progresif

fungsi.

kelas Kriteria

Grup I 1. Infeksi akut oleh HIV

2. Gejala mirip influenza;

mereda sempurna.

3. Antibodi HIV negtif

HIV Asimtomatik

Grup II 1. Antib odi HIV positif

2. Tidak ada indikator klinis

atau laboratorium adanya

immunodefisiensi

HIV Simtomatik

Grup III 1. Antibodi HIV positif

2. Limfadenopati generalisata

persisten.

Grup IV-A 3. Antibodi HIV positif

4. Penyakit konstitusional

(demam atau diare

menetap, menurunya berat

badan > 10% di banding

berat normal)

Grup IV-B 5. Sama seperti grup IV-A dan

6. Penyakit neurologik

(demensia, neuropati,

mielopati)

Grup IV-C 7. Sama seperti grup IV-B dan

8. Hitung limfosit CD4+ <

200/ul

Grup IV-D 9. Sama seperti grup IV-C dan

10.Tuberculosis paru, kanker

serviks invasif, atau

keganasan lain.

VI. Diagnosis HIV / AIDS

Pada sistem imun yang utuh, jumlah limfosit CD4+ berkisar 600

samapai 1200/ul (atau mm3) darah. Karena hitung limfosit CD4+ dapat

bervariasi bahkan pada orang yang sama, maka segera setelah

seseorang terpajan HIV harus dilakukan pemeriksaan untuk

menentukan jumlah basal sel. Segera setelah infeksi virus primer,

hitung limfosit CD4+ turun dibawah kadar normal untuk orang yang

bersangkutan. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi sampai kekadar

sedikit dibawah dari kadar normal untuk orang tersebut. Seiring

dengan waktu, erjadi penurunan secara perlahan hitung limfosit CD4+

yang berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Faktor-faktor

eksternal seperti stres, merokok, obat dan alkohol dapat

mempengaruhi fungsi hormon dan imun dan dapat berlaku sebagai

variabel pengganggu. Efek faktor-faktor tersebut pada hitung limfosit

CD4+ perlu dievaluasi lebih lanjut.

Pemeriksaan laboratorium terdapat dua uji yang khas digunakan

untuk mendeteksi antibodi terhdap HIV. Yang pertama, enzyme linked

immunosorbent assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya antibodi

dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila

terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif-palsu

dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar, sehingga hasil uji

ELISA yang positif diulang, dan apabila kedunya positif, maka

dilakukan uji yang lebih spesifik, western blot. Uji western blot juga

dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya memberi hasil

positif-palsu atau negatif-palsu.

WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi

pemeriksaan antibodi terhadap HIV dibawah ini, tergantung pada

tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien.

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya strtegi I, hanya

dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif maka

dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non

reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Regensia yang dipakai untuk

pemeriksaan ini harus memilki sensitivitas yang tinggi (>99%).

Strategi II menggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pertama

memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama

memberikan hasil non reaktif , maka dilaporkan hasil tesnya negatif.

Pemeriksaan pertama menggunakan regensia dengan sensitvitas

tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai regensi yang lebih

spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya yang dipakai pada

pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, mka

disimpulkan sebagai terinfeksi HIV namum jika hasil pemeriksaan

kedua juga non reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2

metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai

indeterminate.

Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan, bila hasil

pemeriksaan pertama, kedua dan ketiga reaktif, maka dapat

disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV, bila hasil

pemeriksaan tidak sama, misalnya pemeriksaa pertma reaktif, kedua

reaktif dan ketiga non reaktif ata pemeriksaan pertama reaktif,

pemeriksaan kedua dan ketiga non reaktif, maka keadaan ini disebut

sebagai equivocal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa

memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak beresiko tertular

HIV, makasil hasil dilaporkan sebagai non-reaktif.

Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis

harus mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar

pasien mendapat informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi

HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk

dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti.

Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes,

baik hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan

diberikan informasi untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta

cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif konseling tetap

perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana

mempertahankan perilaku yang tidak beresiko.

VII. Penatalaksanaan dan Terapi

Obat anti HIV (obat anti retroviral, di singkat ARV) bermanfaat

menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Manfaat

ARV dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan

pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik.

Selain ARV pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi

dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, sperti jamur,

tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker

serviks juga diperlukan. Pengobatan suportif yaitu makanan yang

mempunyai nilai gizi yang baik dan pegobatan pendukung lain seperti

dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup

dan perlu menjaga kebersihan.

Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside

reverse trancriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptasi inhibitor,

non-nucleoside transcriptase inhibitor dan inhibitor protease.

Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan

limfosit CD4+ < 200-350 sel/mm3.

Tabel 2: obat ARV yang beredar di indonesia

Nama Generik Golongan Sediaan Dosis (per hari)

Stafudin (d4T) NsRTI Tablet,

kandungan

zidovudin 300

mg, lamivudin

150 mg

Kapsul: 30 mg,

40 mg

2x1 tab.

>60 kg: 2x40

mg

<60 kg: 2x30

mg

Lamivudin

(3TC)

NsRTI Tablet 150 mg

lar. Oral 10

mg/ml

2x150 mg

<50 kg: 2mg/kg

2x1

Nevirapin

(NVP)

NNRTI Tablet 200 mg 1x200 mg

selama 14 hari,

dianjurkan.

2x200mg

Zidovudin

(ZDV, AZT)

NsRTI Kapsul 100 mg 2x300 mg atau

2x250 mg

(dosis alternatif)

Didanosin (ddl) NsRTI Tab. Kunyah

100 mg

>60 kg: 2x200

mg atau 1x400

mg

<60 kg: 2x125

mg atau 1x250

mg.

Efavirenz (EFV,

EFZ)

NNRTI Kapsul 200 mg 1x600 mg,

malam

Nelvinavir

(NFV)

PI Tab. 250 mg 2x1250 mg

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama: Tn. RG

Umur: 28 thn

Jenis kelamin: laki-laki

Alamat: dirahasiakan

Agama: Islam

Tgl pemeriksaan: 06 februari 2014

Ruangan: Rajawali Bawah

II. ANAMNESIS

Keluhan utama: putih – putih di lidah

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan putih-putih di

lidah yang dialami sejak 2 minggu yang lalu, pasien juga mengeluh

susah makan karena makanan terasa pahit, pasien juga mengeluh

sering BAB encer warna kuning dan berampas, tidak berlendir, tdk

ada darah, tidak berbusa, yang dialami sekitar 3 bulan, pasien

mengeluh demam sudah 1 bulan terakhir, pasien juga mengeluh

berat badan mulai menurun dalam 1 tahun terakhir dari 55 kg

menjadi 39 kg, BAK lancar. Riwayat merokok +, alkoholik +,

narkoba suntik -, tidak bertato, riwayat melakukan seks bebas 10

tahun lalu berlangsung 5 kali dan berganti-ganti pasangan, 1 tahun

lalu pernah dirawat di RS. Kota Makassar dan telah di diagnosis

HIV/AIDS.

Riwayat penyakit dahulu: DBD

Riwayat penyakit keluarga: -

III. PEMERIKSAAN FISIS

Keadaan umum:

SP: Compos mentis/ sakit sedang/ gizi kurang

BB: 39 kg, TB: 167 cm, IMT: 14,02 kg/mm2

Tanda Vital:

Tekanan darah: 110/80 mmHg

Nadi: 120x/mnt

Pernapasan: 20 x/mnt

Suhu: 37.4oC

KEPALA:

Wajah: pucat +

Deformitas: -

Bentuk: normocephal

Rambut: hitam, lurus, tidak rontok

Mata: konjungtiva anemis +/+, sklera: ikterus -/-, pupil: isokor 2 mm,

refleks cahaya normal +/+

Mulut: bibir kering, ulkus -, lidah dan rongga mulut berjamur,

hiperemis –

LEHER:

KGB: tidak ada pembesaran, nyeri tekan –

Tiroid : mengikuti gerakan menelan, tdk ada pembesaran

Massa lain: -

DADA/PARU-PARU:

Inspeksi: datar, simetris ki/ka, mengikuti gerakan napas

Palpasi: vocal premitus + dalam batas normal.

Perkusi: bunyi sonor

Asukultasi: suara napas vesikuler, ronki- / wheezing –

JANTUNG:

Inspeksi: ictus cordis dapat terlihat

Palpasi: ictus cordis dapat diraba

Perkusi:

Batas atas: linea parasternalis sinistra ICS II

Batas kanan: linea parasternalis dextra ICS IV

Batas kiri: linea midclavicula sinistra ICS V

Auskultasi: S1 dan S2 murni reguler, tidak ada bunyi tambahan

PERUT:

Inspeksi: cekung, massa -, edema –

Auskultasi: peristaltik usus + meningkat

Perkusi: bunyi tympani

Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tdk ada pembesaran hepar dan lien

ANGGOTA GERAK:

Atas: edema -, parese –

Bawah: edema -, parese –

PEMERIKSAAN KHUSUS:-

IV. RESUME

Laki-laki 28 thn, mengeluh candidiasis oral sejak 2 minggu

yang lalu, diare kronik sejak 3 bulan yang lalu, darah -, lendir -,

hanya ampas, BAK lancar, demam + 1 bulan terakhir, BB menurun

dalam 1 thn terakhir, riwayat merokok +, alkoholik +, narkoba suntik

-, bertato -, riwayat free sex 10 tahun lalu dengan 5 kali berganti

pasangan, telah terdiagnosa HIV/AIDS 1 tahun lalu di RS kota

Makassar.

Tanda vital: TD 110/80 mmHg, N 120x/mnt, P 20 x/ mnt, S 37.4oC.

Pemfis: wajah pucat, konjungtiva anemis +/+, candidiasis oral, lidah

kotor, bibir kering, kaheksi.

V. DIAGNOSIS KERJA

1. HIV/AIDS

2. Gastroenteritis Akut

3. Candidiasis Oral

VI. DIAGNOSIS BANDING

1.

VII. PENATALAKSANAAN

Non Medikamentosa:

1. Tirah baring

2. Diet rendah serat, tinggi kalori

3. Makan makanan yang bergizi

4. Terapi suppotif (psikologis)

Medikamentosa:

1. IVFD RL 28 tpm

2. Nystatin 1000 IU

3. Lodia 3x1

4. Ceftriaxone ap/12 jm/hari

5. Ij. Ranitidin ap/12 jm/hari

6. ARV kombinasi (lamivudin : bb < 50 kg: 2 mg/kgBB, 2x1 dan

nevirapin: 1x200 mg selama 14 hari)

7. PCT 3x1

8. Diazepam 0-0-1

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap:

WBC: 2.0 103/mm3

RBC: 3.85 106/mm3

HB: 11.0 g/dL

PLT: 310 103/mm3

Radiologi :

Foto Thorax PA: corakan bronkovaskular dalam batas normal, cor:

letak dan ukuran dalam batas normal, kedua sinus dan diaphragma

dalam batas normal, tulang-tulang rongga thorax intak.

EKG: -

Pemeriksaan lain: -

IX. DIAGNOSIS AKHIR

HIV/AIDS

X. ANJURAN PEMERIKSAAN

Periksa sel CD4+

ELISA dan Western Blot

VCT

XI. PROGNOSIS

Malam

XII. FOLLOW UP

No Tanggal Follow Up1. 07 maret 2014 S: lidah kotor berkurang, masih susah makan

namun dipaksa, sakit tenggorokan, bab

encer warna kuning dan berampas

O: TD: 110/80 mmHg

N: 96x/mnt

P: 20x/mnt

S: 36oC

A: HIV/AIDS

P: IVFD Dex:RL 20 tpm

Ranitidin injeksi ap/12 jm/hari

ARV lanjut

Enystatin

Neurobion ap/drips

2. 08 maret 2014

Hasil

pemeriksaan

elektrolit:

K+: 1.14 mmol/L

Na+: 127.04

mmol/L

Cl-: 88,19

mmol/L

S: sakit dan sulit menelan, putih-putih dilidah

sudah mulai berkurang.

O: TD: 100/60

N: 89x/mnt

P: 20x/mnt

S: 36.5oC

A: HIV/AIDS

GEA

Candidiasis Oral

Hipokalemia

Hiponatremi

P: dextrose 28 tpm

ARV lanjut

Ranitidin injeksi ap/12 jam/hari

KCL 50 mg dl NaCl 0.9 /12 jm

KSR 3x1

PEMBAHASAN

Pada kasus seorang laki-laki sejak 2 minggu lalu mengalami

candidiasis oral sebelum masuk RS, dan sisertai Diare kronis yang

berlangsung selama 3 bulan, kadang demam dan juga mengeluh berat

badan menurun drastis dalam 1 tahun terakhir, pada pemeriksaan fisik di

dapatkan lidah kotor dan berjamur dan juga gizi kurang, ini sesuai dengan

perjalanan infeksi dari HIV/AIDS yaitu adanya infeksi oportunistik yang

diakibatkan menurunya sistem pertahanan tubuh yang disebabkan oleh

virus HIV, kemudian di dukung dengan riwayat free sex 10 tahun lalu dan

juga telah didiagnosis AIDS ketika berobat di kota Makassar.

Kemudian dari hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan

kadar leukosit yang menurun: yaitu 2.0 x 103/mm3 yang merupakan

petanda bahwa daya tahan tubuh juga semakin menurun yang

disebabkan karena virus tersebut, diberikan obat Anti Retroviral (ARV)

untuk menurunkan angka mortalitas dan morbitis pasien tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 5th. Jakarta: InternaPublishing. 2009

2. Price S A, Wilson L M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit. Ed. 6th. Jakarta : EGC. 2005.

3. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Ed. 1st. New

York: Thieme. 2000.

4. Rabson A, Roitt I M, Delves P J. Really Essential Medical

Immunology. Ed. 2nd. Australia: Blackwell. 2005